Anda di halaman 1dari 3

Malin Kundang

“Hu huuuu huuu.” tangis Malin Kundang sambil memegangi lengannya yang berdarah.
Rupanya lagi-lagi ia dipatok oleh ayam jago milik Datuk Firman. Bunda membersihkan
lukanya dengan sabar. Kali ini, luka Malin cukup parah. Bunda Malin Kundang yang bernama
Mande Rubayah membalutnya dengan perban.
“Malin, jangan nakal. Jangan kau kejar-kejar lagi ayam jago itu. Ingat, kau sudah tidak punya
ayah, kaulah satu-satunya harapan Bunda,” nasihat ibunya. Malin hanya mengangguk dan
menyeringai.
Sejak ayah Malin meninggal, ibunya bekerja keras untuk menghidupi Malin. Ia membantu
para nelayan membongkar ikan hasil tangkapan di pantai. Kadang, Malin ikut dengannya. Di
sana, Malin bertemu dengan Saudagar Ali, salah satu orang kaya di kampung itu. Saudagar
Ali telah menganggap Malin seperti anaknya sendiri. Beliau mengajari Malin cara berdagang
dan mengemudikan kapal. Bagi Saudagar Ali, Malin cerdas dan dewasa, tidak seperti anak
kecil pada umumnya.
Ketika Malin beranjak dewasa, Saudagar Ali mengajaknya untuk ikut berlayar ke negeri
seberang. Di sana, ia akan mengenalkan Malin pada saudaranya yang juga memiliki usaha
perdagangan. Malin pun berpamitan pada ibunya Mande Rubayah. “Bunda, Saudagar Ali
mengajakku untuk ikut dengannya. Izinkan aku pergi Bunda, karena aku ingin bekerja di
negeri seberang. Jika aku sukses, aku akan kembali dan memboyong Bunda.” Ibunya
menunduk. Tak terasa, air matanya menetes. “Bunda tak bisa melarangmu, Malin. Bunda
tahu keinginanmu begitu besar,” jawabnya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, Malin berlayar ke negeri seberang. Rasanya seperti
mimpi yang jadi kenyataan. Saat Malin sedang melamun, tiba-tiba kapal berhenti. Seperti
ada sesuatu yang menabraknya. Mendengar suara gaduh di bawah, Malin melongokkan
kepalanya. Ia melihat segerombolan orang dengan pedang terhunus menaiki kapal itu.
Malin merasa tak enak. “Pasti mereka para perompak. Aku harus segera bersembunyi,”
katanya dalam hati. Beruntung, ia menemukan sebuah keranjang ikan dari bambu yang
cukup besar untuk bersembunyi.
Para perompak itu mengambil semua uang dan emas milik Saudagar Ali. Mereka juga
membunuh Saudagar Ali dan anak buahnya. Malin selamat, karena para perompak itu tidak
tertarik pada keranjang bambu tempat persembunyian Malin. Mereka hanya mengobrak-
abrik peti-peti yang berisi uang dan emas. Sepeninggal para perompak itu, Malin keluar dari
tempat persembunyiannya. Ia mengemudikan kapal itu ke daratan terdekat. Malin lalu
menceritakan apa yang terjadi pada penduduk setempat. Warga bergotong royong untuk
menguburkan jenazah Saudagar Ali dan anak buahnya.
Karena tak tahu harus pergi ke mana, Malin memutuskan untuk tinggal di sana. Ia
menggunakan kapal Saudagar All untuk mengangkut barang- barang penduduk yang akan
dikirim ke tempat lain. Malin menerima bayaran dari jasa pengiriman itu. Lama kelamaan,
jasa pengirimannya itu berkembang pesat. Malin bahkan bisa membeli kapal-kapal yang
lain.
Malin sekarang telah menjadi pemuda yang kaya raya. Ia menikahi seorang gadis yang
cantik, anak tetua kampung itu. Sadar bahwa istrinya berasal dari keluarga yang terpandang,
Malin pun merahasiakan asal-usulnya. Tiap kali istrinya bertanya tentang orang tuanya,
Malin selalu menjawab kalau mereka sudah meninggal. Malin mengatakan, bahwa Saudagar
Ali adalah ayahnya. Ia tak tahu bahwa ibunya menunggu dengan hati cemas di kampung
halaman.
Suatu hari, Malin dan istrinya pergi berlayar. Entah mengapa, nahkoda membawa kapal itu
ke arah kampung halaman Malin. Mendekati bibir pantai, Malin tersadar. “Bukankah ini
kampung halamanku?” bisiknya cemas. Baru saja Malin ingin meminta nahkoda untuk
berbalik arah, istrinya berteriak kegirangan, “Suamiku… lihat! Kapal nelayan itu sedang
membongkar ikan. Aku ingin sekali makan ikan segar. Ayo kita turun untuk membeli ikan!”
Malin tak kuasa menolak. Ia dan istrinya berjalan menuju kapal nelayan itu. “Minggir…
minggir… Saudagar Malin mau lewat…” kata anak buah Malin.
Mande Rubayah ibu Malin yang kebetulan sedang membantu para nelayan terkesiap.
“MALIN? Apakah aku tidak salah dengar?” Mata wanita itu mencari-cari dan hatinya
berdesir, “Ya, benar. Itu Malin anakku!” Tak bisa menahan diri, ia berlari ke arah Malin.
“MALIN… MALIN KUNDANG anakku!!” teriak ibunya. Ia memeluk Malin erat-erat dan
menangis. Malin kaget bukan kepalang, ia tak siap dengan keadaan itu. Istrinya menatapnya
dengan heran, “Malin, bukankah kau bilang ibumu sudah meninggal sejak kau kecil?”
Malin cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan ibunya. “Hei kau wanita tua, berani sekali
kau menyebutku anakmu,” teriak Malin lantang.
Bunda terpana mendengar ucapan Malin itu. “Malin anakku sayang… sudah lupakah kau
pada bundamu sendiri?” ratap wanita itu.
Istri Malin berusaha menengahi keadaan, “Wahai Ibu, apakah Ibu bisa membuktikan bahwa
Malin benar-benar anak Ibu?” tanyanya dengan santun.
“Semua orang di kampung ini tahu bahwa Malin adalah anakku. Namun jika kau tak percaya,
cobalah periksa lengan kanannya. Ada bekas luka karena patokan ayam Datuk Firman.
Bunda percaya kau masih ingat hal itu Malin,” kata Bunda sambil menatap Malin tajam. Istri
Malin kemudian memeriksa lengan kanan suaminya dan benar, ada bekas luka di sana.
Istrinya memandang Malin dengan sedih, “Malin, kenapa kau mengingkari ibumu sendiri?”
“Istriku, kau harus percaya padaku. Ibuku sudah meninggal ketika melahirkanku. Tentu Ibu
ini tahu tentang luka di lenganku, karena semua orang di sini tahu cerita itu,” kata Malin
membela diri.
Setelah berkata demikian, Malin mengajak istrinya pergi dari tempat itu. Mereka menaiki
kapal. Bunda menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh di bawah kapal. “Malin anakku…
jangan kau tinggalkan Bundamu lagi, Nak… Bunda sangat merindukanmu. Kaulah satu-
satunya harta Bunda di dunia ini,” ratapnya. Malin bergeming. Sambil memandang sinis ke
bawah, ia meludahi ibunya. “Dasar orang tua tak tahu diri, berani sekali kau mengaku
sebagai ibuku!”
Hati wanita tua itu sakit sekali. Tanpa sadar, ia mengucap doa, “Ya Tuhan, sadarkan anak
hamba. Ia telah mengingkariku sebagai ibu yang pernah melahirkan dan menyusuinya.”
Seketika itu juga langit menjadi mendung clan hujan turun deras sekali. Petir menggelegar
dan angin bertiup sangat kencang. Tiba-tiba, petir menyambar tepat di depan kaki Malin.
Ajaib, di tengah gemuruh hujan, tubuh Malin langsung kaku.
Mula-mula kakinya tak bisa digerakkan. Istrinya berteriak, “Malin, apa yang terjadi pada
kakimu? Kakimu seperti batu!” Rupanya tak hanya kakinya yang menjadi batu, perlahan-
lahan seluruh tubuhnya juga jadi batu. Malin sangat ketakutan. Ia sadar ini adalah hukuman
Tuhan atas perbuatannya. “Bunda, ampuni aku. Tolong selamatkan aku Bunda…” teriaknya.
Namun semuanya sudah terlambat. Seluruh tuhuh Malin akhirnya jadi batu.
Mulutnya menganga karena ia berteriak mohon ampun. Ibunya menangis, istri Malin pun
menangis. Mereka berdua memeluk Malin yang sudah jadi patung.

Anda mungkin juga menyukai