Anda di halaman 1dari 28

19

BAB II
GEOMORFOLOGI

Geomorfologi berasal dari bahasa yunani kuno, terdiri dari tiga akar kata,

yaitu Geo = bumi, morphe = bentuk dan logos = ilmu, sehingga kata

geomorfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk permukaan

bumi. Berasal dari bahasa yang sama, kata geologi memiliki arti ilmu yang

mempelajari tentang proses terbentuknya bumi secara keseluruhan. Jadi

geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi

serta proses-proses yang berlangsung terhadap permukaan bumi sejak bumi

terbentuk sampai sekarang (Van Zuidam, 1985).

2.1 Geomorfologi Regional

Geomorfologi regional daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi

Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo, Sulawesi pada koordinat

118o45’00” – 120o30’00” Bujur Timur dan 3o00’00” – 4o00’00” Lintang Selatan

yang meliputi daerah Pare–Pare, Sidrap, Wajo, Pinrang, Enrekang, Luwu, Palopo

dan Tana Toraja, yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan serta

Majene, Polmas dan Mamasa, yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi

Barat. Lembar peta geologi ini berbatasan dengan Lembar Mamuju di bagian

utara, Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat di bagian selatan, Selat

Makassar di bagian barat dan Teluk Bone di bagian timur (Djuri dan Sudjatmiko,

1974 ; Djuri dkk, 1998). Daerah penelitian juga termasuk dalam wilayah Peta

Geologi Lembar Belajen, Sulawesi dengan koordinat 119o52’00” – 119o56’00”

19
20

Bujur Timur dan 3o24’00” – 3o28’00” Lintang Selatan meliputi daerah Sidrap,

Enrekang dan Pinrang yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan

(Sukido dkk, 1997 dalam Djuri dkk, 1998).

Sukido dkk, 1997 dalam Djuri dkk, 1998 membagi satuan geomorfologi

daerah penelitian yang terdiri dari dataran rendah (plain area), perbukitan

bergelombang (rolling hills) dan pegunungan (mountainous). Daerah dataran

rendah menempati bagian barat yang memanjang hingga bagian tenggara daerah

penelitian. Sedangkan daerah perbukitan bergelombang umumnya menempati

bagian tengah dan timur daerah penelitian, serta sedikit dibagian selatan. Daerah

pegunungan menyusun bagian utara hingga timur laut daerah penelitian.

Sebagian pegunungan ini terbentuk oleh batuan gunung api dengan

ketinggian rata-rata 1500 m dari permukaan laut ke arah timur rangkaian

pegunungan ini relatif menyempit dan lebih rendah dengan morfologi

bergelombang lemah sampai kuat. Di bagian pesisir timur yang berbatasan dengan

Teluk Bone merupakan dataran rendah, secara umum disusun oleh alluvium.

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi daerah penelitian membahas mengenai kondisi

geomorfologi daerah Passui dan sekitarnya Kecamatan Buntubatu Kabupaten

Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan, kondisi ini meliputi pembagian satuan

geomorfologi, analisis sungai, berupa jenis sungai, pola aliran sungai, klasifikasi

sungai, tipe genetik sungai, serta stadia sungai yang terdapat pada daerah

penelitian yang akhirnya dapat diketahui stadia daerah penelitian. Pembahasan

mengenai geomorfologi daerah penelitian ini berdasarkan atas kondisi geologi


21

yang dijumpai di lapangan, interpretasi peta topografi, studi literatur yang

mengacu pada teori dari beberapa ahli yang pada akhirnya akan menghasilkan

suatu kesimpulan mengenai stadia daerah penelitian.

2.2.1 Satuan Geomorfologi

Geomorfologi banyak didefinisikan oleh para ahli geomorfologi dalam

bukunya. Menurut A.K. Lobeck (1939), geomorfologi didefinisikan sebagai studi

tentang bentuk lahan. Geomorfologi juga didefinisikan sebagai ilmu tentang

bentuk lahan (Thornbury, 1969). Sedangkan menurut Van Zuidam (1985),

geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan

proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan

keruangannya. Adapula pendapat dari Djauhari (2001) bahwa bentang alam

(landscape) itu sendiri merupakan panorama alam yang disusun oleh elemen–

elemen geomorfologi yang lebih luas. Sedangkan bentuk lahan (landforms) adalah

kompleks fisik permukaan ataupun dekat permukaan suatu daratan yang

dipengaruhi oleh kegiatan manusia.

Pembentukan bentangalam dari suatu daerah merupakan hasil akhir dari

proses geomorfologi yang disebabkan oleh gaya endogen dan eksogen.

Bentangalam tersebut mempunyai bentuk yang bervariasi dan dapat

diklasifikasikan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor

tersebut meliputi proses, stadia, jenis litologi serta pengaruh struktur geologi atau

tektonik yang bekerja.

Pembagian satuan geomorfologi serta analisis kondisi geomorfologi pada


22

daerah penelitian digunakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan

suatu bentangalam. Faktor tersebut adalah proses-proses geomorfologi, stadia dan

jenis batuan penyusun daerah tersebut, serta struktur geologi (Thornbury, 1969).

Salah satu proses geomorfologi adalah pelapukan. Pelapukan adalah proses

berubahnya batuan menjadi tanah (soil) baik oleh proses fisik atau mekanik

(disintegrasi) maupun oleh proses kimia (decomposition).

Klasifikasi keteknikan batuan lapuk merupakan usaha untuk mengetahui

adanya urutan perubahan akibat adanya proses pelapukan fisik dan kimia yang

berperan dalam individu atau kombinasinya, beserta sifat-sifat keteknikan pada

masing-masing derajat pelapukannya. Namun, pelapukan batuan pada lokasi

penelitian tidak membahas sifat keteknikannya lebih detail melainkan lebih

mengacu pada pendeskripsian di lapangan. Tingkat pelapukan pada batuan yang

menjadi parameter dari tabel diatas yaitu perubahan warna, kekerasan batuan, dan

kondisi permukaan massa batuan yang dibagi menjadi 6 derajat pelapukan dari

batuan segar (fresh rock) hingga menjadi tanah residu (residual soil). Parameter

tersebut kemudian menjadi perbandingan derajat tingkat pelapukan pada lokasi

penelitian.

Pengelompokan morfologi menjadi satuan-satuan geomorfologi daerah

penelitian dilakukan melalui dua pendekatan yaitu morfogenesa dan morfografi.

Pendekatan morfogenesa (genetik) yaitu berdasarkan asal-usul pembentukan yang

dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen serta proses ekstra terrestrial

(Thornbury,1969). Proses endogen ini meliputi vulkanisme, pembentukan

pegunungan lipatan, patahan yang cenderung untuk bersifat membangun (bersifat


23

konstruktif), sedangkan proses eksogen meliputi erosi, abrasi, gerakan tanah,

pelapukan (kimia, fisika, biologi), serta campur tangan manusia yang cenderung

bersifat merusak (bersifat destruktif).

Pendekatan morfografi (bentuk) yaitu pengelompokkan bentangalam yang

didasarkan pada bentuk permukaan bumi yang tampak di lapangan berupa

topografi pedataran, bergelombang miring, bergelombang landai, perbukitan dan

pegunungan. Adapun aspek aspek ini perlu memperhatikan parameter dari setiap

topografi seperti bentuk puncak, bentuk lembah dan bentuk lereng (Van Zuidam,

1985).

Berdasarkan pendekatan tersebut maka daerah Passui dan sekitarnya

Kecamatan Buntubatu Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan dapat

dibagi menjadi dua satuan geomorfologi yaitu :

1. Satuan Geomorfologi Pegunungan Struktural

2. Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional

2.2.1.1 Satuan Geomorfologi Pegunungan Struktural

Satuan bentangalam ini menempati wilayah dengan luas sekitar 23,04 km2

atau sekitar 42 % dari luas keseluruhan daerah penelitian. Penyebaran satuan ini

menempati bagian Timur yang memanjang dari Utara-Timur Laut hingga ke

Tenggara, meliputi Kalimbua, Gura, Bontongan, Bonto Tanglah, dan Buntu

Mondong pada bagian Utara-Timur Laut terdiri dari puncak Buttu Marruh di

Utara, puncak Buttu Racak di Timur Laut dan desa Matawai, Bongso, Potokullin

dan

Katangka pada bagian Timur-Tenggara daerah penelitian.


24

Foto 2.1 Satuan geomorfologi pegunungan struktural pada stasiun


25

Satuan bentangalam ini berada pada ketinggian antara 850-1750 meter

diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng yang relatif terjal dengan beda

tinggi ± 900 meter. Kenampakan topografi dari satuan ini memberikan gambaran

pola kontur yang rapat, ditandai dengan adanya bentuk puncak yang runcing,

bentuk lembah menyerupai huruf “V” serta bentuk lereng relatif terjal.

Kenampakan morfologi di lapangan yang dilihat secara langsung memperlihatkan

adanya bentuk topografi pegunungan dan struktur geologi turut mengontrol

pembentukan satuan bentangalam ini, dimana satuan bentang alam yang tersusun

oleh satuan Filit ini tersingkap ke permukaan akibat pengangkatan sesar naik.

Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik di atas maka analisis morfologi daerah

ini merupakan pegunungan struktural (Foto 2.1).

Proses geomorfologi yang bekerja pada satuan bentangalam ini adalah

proses pelapukan dan erosi. Proses pelapukan yang dijumpai berupa pelapukan

biologi dan kimia. Pelapukan biologi ditandai dengan adanya aktifitas biologi atau

organisme pada batuan tersebut. Misalnya pertumbuhan akar pohon atau aktivitas

organisme lainnya melalui bidang-bidang lemah batuan dan memberikan tekanan

yang pada akhirnya batuan akan mengalami disintegrasi (Foto 2.2). Sedangkan

pelapukan kimia ditandai dengan adanya perubahan warna pada batuan yang

semula berwarna abu-abu kehijauan berubah menjadi kecoklatan sampai

kehitaman pada litologi Filit, hal ini menandakan bahwa telah terjadi perubahan
26

komposisi kimia dari batuan tersebut (Foto2.3). Tingkat pelapukan pada daerah

penelitian tergolong rendah ditandai dengan ketebalan soil yang dijumpai yaitu

0,3- 1 m dan jenis soil secara umum adalah residual soil yang terbentuk dari hasil

lapukan batuan

dibawahnya

Foto 2.2 Pelapukan biologi ditandai dengan tanaman yang tumbuh pada celah
batuan Filit pada stasiun 20 difoto ke arah N139o E.

Foto 2.3 Pelapukan kimia yang menunjukkan perubahan warna pada litologi
Filit, pada stasiun 4 difoto ke arah foto N 218°E (A) dan stasiun
22 difoto ke arah N145°E (B)
27

Jenis erosi yang berkembang pada daerah penelitian berupa erosi alur (rill

erosion). Rill erosion adalah erosi yang berbentuk alur yang tidak lebih dari 50 cm

dan belum mengalami pelebaran (Foto 2.4).


27

Foto 2.4 Rill erosion pada litologi Filit, pada stasiun 12 difoto ke arah N3°E

Adapun tata guna lahan satuan bentang alam ini dimanfaatkan sebagai

area pemukiman dan perkebunan penduduk. Terdapat pula air terjun yang

berpotensi sebagai tempat wisata pada daerah Katangka.

2.2.1.2 Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional

Satuan geomorfologi ini menempati wilayah dengan luas sekitar 31,66

km2 atau sekitar 58 % dari luas keseluruhan daerah penelitian. Penyebaran satuan

ini menempati bagian Barat yang memanjang dari Utara hingga ke Barat Daya-

Selatan, meliputi Desa Tirowali, Bontongan, Lunjen, dan Passui pada bagian

Utara-Barat terdiri dari puncak Buntu Pangalih dan Buntu Batu dan Desa

Janggurara, Eranbatu pada bagian Barat Daya-Selatan daerah penelitian.

Satuan bentangalam ini berada pada ketinggian antara 500-1205 meter

diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng yang relatif terjal dengan beda

tinggi ±705 meter. Kenampakan topografi dari satuan ini memberikan gambaran

pola kontur yang relatif renggang, ditandai dengan bentuk puncak yang tumpul,

bentuk lereng landai sebagai akibat dari proses denudasional. Satuan bentangalam

yang tersusun oleh litologi batulempung, batugamping, dan batulempung


28

karbonatan ini umumnya dikontrol oleh proses geomorfologi berupa pelapukan,

erosi, gerakan tanah dan sedimentasi. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik di

atas maka analisis morfologi daerah ini merupakan pegunungan denudasional

(Foto 2.5 dan Foto 2.6).

Foto 2.5 Satuan geomorfologi pegunungan denudasional pada stasiun 37


difoto ke arah N366°E
29

Foto 2.6 Satuan geomorfologi pegunungan denudasional


30

Proses geomorfologi yang dominan pada satuan bentangalam ini berupa

proses pelapukan, erosi, dan gerakan tanah. Proses pelapukan yang dijumpai

berupa pelapukan kimia dan biologi. Pelapukan kimia pada bentangalam ini

ditandai dengan adanya perubahan warna pada Batulempung yang semula

berwarna merah kecoklatan berubah menjadi berwarna coklat kehitaman dan pada

litologi Batugamping yang semula berwarna abu-abu berubah menjadi coklat

kehitaman (Foto 2.7), hal ini disebabkan karena adanya perubahan komposisi

kimia dari batuan tersebut dan pada akhirnya akan menjadi soil.

A B

Foto 2.7 Pelapukan kimia yang menunjukkan perubahan warna pada litologi
Batulempung pada stasiun 27 difoto ke arah N254°E (A) dan pada litologi
Batugamping pada stasiun 18 difoto ke arah N37°E (B)

Air mempunyai peran utama dalam pelapukan kimiawi sedangkan peran

utama dalam reaksi-reaksi kimia sebagai medium yang mentransportasikan unsur-

unsur yang ada di atmosfir langsung ke mineral-mineral pada batuan dimana

reaksi dapat berlangsung. Air juga memindahkan hasil pelapukan sehingga

tersingkap sebagai batuan segar. Kecepatan dan derajat pelapukan kimia sangat

dipengaruhi oleh curah hujan. Proses pelapukan kimia kadang-kadang diikuti juga

oleh pelapukan mekanik. Proses ini dapat terjadi pada batuan yang telah

mengalami rekahan yang teratur dan pelapukan kimia terjadi melalui rekahan
31

tersebut. Fragmen batuan yang mengalami pelapukan akan terlepas dari batuan

induknya melalui bidang yang membundar (spherical). Di lokasi penelitian

dijumpai spheroidal weathering pada Batulempung (Foto 2.8) sekitar 20 m dari

stasiun 44

Foto 2.8 Spheroidal weathering pada litologi Batulempung difoto ke arah


N63°E

Pelapukan biologi juga ditemukan pada litologi Batugamping di daerah

Dadoke ditandai dengan adanya pertumbuhan akar pohon atau aktivitas

organisme lainnya melalui bidang-bidang lemah batuan dan memberikan tekanan

yang pada akhirnya batuan akan mengalami disintegrasi (Foto 2.9).


32

Foto 2.9 Pelapukan biologi pada litologi Batugamping pada stasiun 42 difoto
ke arah N63°E
Tingkat pelapukan pada daerah penelitian relatif sedang sampai tinggi,

yang dapat dilihat dari ketebalan soil sekitar 1 - 2,4 meter (foto 2.10). Jenis soil

secara umum merupakan jenis residual soil yang terbentuk dari hasil lapukan

batuan yang ada dibawahnya.

Foto 2.10 Soil pada litologi Batulempung di daerah Bambak difoto ke arah
N355°E

Kondisi bentangalam yang relatif terjal menyebabkan banyak dijumpai

bidang/alur gully erosion yang berperan juga sebagai bidang rayapan, dimana

material lepas yang terkikis oleh air hujan, terangkut dan terakumulasi kemudian

melewati alur-alur erosi sehingga memungkinkan potensi gerakan tanah lebih

tinggi. Pada foto 2.11 dibawah, menunjukkan gerakan tanah yang teridentifikasi

sebagai debris slide yaitu gerakan tanah melalui bidang gelincir dengan material

yang bergerak tersusun atas material tak terkonsolidasi yang terdiri dari tanah,

material berukuran pasir hingga kerakal.


33

Foto 2.11 Debris slide pada daerah Salo Passui difoto ke arah N166°E

Jenis erosi yang berkembang pada daerah penelitian berupa erosi saluran

(gully erosion). Gully erosion merupakan erosi berbentuk saluran dengan ukuran

lebar tidak lebih dari 1 meter dan telah mengalami pelebaran, berada sekitar 15

meter dari stasiun 38.

Foto 2.12 Gully erosion pada daerah Loko difoto ke arah N247°E
34

Proses sedimentasi yang ada pada satuan morfologi ini berupa endapan sungai

seperti point bar (foto 2.13). Material penyusun point bar yaitu berangkal – pasir

kasar.

Foto 2.13 Point bar pada daerah Salo Passui difoto ke arah N317°E

Satuan morfologi pengunungan denudasional ini disusun oleh litologi

Batulempung, Batugamping dan Batulempung karbonatan. Tata guna lahan

dimanfaatkan sebagai area perkebunan dan area pemukiman penduduk. Terdapat

pula gumuk pasir yang berpotensi sebagai tempat wisata pada daerah Buttu

Pangalih dan sekitarnya (Foto 2.14 dan Foto 2.15).


35

Foto 2.14 Gumuk pasir pada daerah Tampang difoto ke arah N57°E

Foto 2.15 Gumuk pasir pada daerah Buttu Pangalih difoto ke arah N166°E

2.2.2 Sungai

Sungai adalah tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu pola

dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury,1969). Sungai yang mengalir pada

daerah penelitian yaitu Sungai Passui, terdapat dibagian Barat Laut daerah

penelitian dengan arah aliran Timur-Barat Laut, dan Sungai Bangkan yang berada

di bagian Selatan daerah penelitian dengan arah aliran Selatan-Barat Laut.

Pembahasan tentang sungai pada daerah penelitian meliputi pembahasan tentang

klasifikasi sungai yang didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh

sungai sepanjang waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti

kemiringan lereng, kontrol struktur, vegetasi dan kondisi iklim. Tipe genetik

menjelaskan tentang hubungan arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Dari
36

hasil pembahasan di atas maka pada akhirnya dapat dilakukan penentuan stadia

sungai daerah penelitian.

2.2.2.1 Jenis Sungai

Berdasarkan sifat alirannya maka aliran sungai pada daerah penelitian

termasuk dalam aliran air yang mengalir di permukaan bumi membentuk sungai.

Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai (Thornbury,1969) maka jenis

sungai

dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

 Sungai normal (permanen), merupakan sungai yang volume airnya

sepanjang tahun selalu normal.

 Sungai periodik, merupakan sungai yang kandungan airnya tergantung

pada musim, dimana pada musim hujan debit alirannya menjadi besar dan

pada musim kemarau debit alirannya menjadi kecil.

 Sungai episodik, merupakan sungai yang hanya dialiri air pada musim

hujan, tetapi pada musim kemarau sungainya menjadi kering.

Berdasarkan debit air pada tubuh sungai (kuantitas air sungai), maka jenis

sungai pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi sungai permanen dan

sungai episodik. Sungai permanen berkembang pada sungai utama yaitu Salu Passui

(Foto 2.16), sedangkan sungai episodik berkembang pada anak-anak sungai Passui

(Foto 2.17). Jenis sungai permanen membuat keberadaan sungai ini sangat penting

bagi masyarakat setempat, karena digunakan sebagai sumber air untuk kehidupan

sehari-hari.
37

Foto 2.16 Salu Passui merupakan sungai permanen pada stasiun 33 dengan
arah aliran N 67oE, difoto ke arah N56oE

Foto 2.17 Anak sungai Passui merupakan sungai episodik pada stasiun 28
dengan arah aliran N354oE, difoto ke arah N254oE

2.2.2.2 Pola Aliran Sungai


38

Pola aliran sungai (drainage pattern) merupakan penggabungan dari

beberapa individu sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam

kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Perkembangan pola aliran sungai yang ada

pada daerah penelitian dikontrol oleh beberapa faktor, seperti kemiringan lereng,

kontrol struktur, dan stadia geomorfologi dari suatu cekungan pola aliran sungai,

vegetasi dan kondisi iklim.

Berdasarkan kenampakan lapangan dan interpretasi peta topografi, maka

pola aliran sungai daerah penelitian termasuk dalam pola aliran dasar (basic

pattern) yaitu pola aliran yang mempunyai karakteristik khas yang bisa dibedakan

dengan pola aliran lainnya (A.D Howard, 1967 dalam van Zuidam, 1985).

Berdasarkan hal tersebut maka pada daerah penelitian termasuk dalam jenis pola

paralel. Pola aliran paralel dibentuk dari aliran cabang – cabang sungai yang

sejajar atau paralel pada bentang alam yang memanjang serta mencerminkan

kemiringan lereng yang cukup besar.

Pola aliran tersebut berkembang pada daerah penelitian secara dominan.

Induk sungai yang mengontrol pola aliran pada daerah penelitian yaitu Salu

Passui. Penyebaran anak sungainya dari arah timur ke arah barat daya daerah

penelitian. (Gambar 2.1).


39

39

Gambar 2.1 Pola aliran sungai parallel yang berkembang pada daerah penelitian
40

2.2.2.3 Tipe Genetik Sungai

Tipe genetik sungai merupakan salah satu jenis sungai yang didasarkan

atas genesanya yang merupakan hubungan antara arah aliran sungai dan terhadap

kedudukan batuan (Thornbury, 1969).

Secara umum tipe genetik sungai yang terdapat pada daerah penelitian

terdiri atas :

a. Tipe Genetik Sungai Konsekuen

Tipe genetik sungai konsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah

aliran sungainya mengalir searah kemiringan perlapisan batuan (dip). Tipe genetik

ini dijumpai pada sungai Passui pada litologi batupasir di stasiun 48 (Foto 2.18).

Foto 2.18 Aliran sungai yang searah dengan kemiringan perlapisan pada litologi
Batupasir pada stasiun 48 difoto ke arah N56o E.

2.2.2.4 Stadia Sungai

Penentuan stadia sungai daerah penelitian didasarkan atas kenampakan

lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi yang

bekerja dan proses sedimentasi di beberapa tempat di sepanjang sungai.


41

A.K Lobeck (1939) membagi stadia sungai kedalam tiga jenis yaitu sungai

muda (young river), dewasa (mature river), dan tua (old age river).

Sungai muda (young river) memiliki karakteristik dimana dinding-dinding

sungainya berupa bebatuan, dengan dinding yang sempit dan curam, terkadang

dijumpai air terjun, aliran air yang deras, dan biasa pula dijumpai potholes yaitu

lubang-lubang yang dalam dan berbentuk bundar pada dasar sungai yang

disebabkan oleh batuan yang terbawa dan terputar-putar oleh arus sungai. Selain

itu, pada sungai muda (young river) proses erosi masih berlangsung dengan kuat

karena kecepatan dan volume air yang besar dan deras yang mampu mengangkut

material-material sedimen dan diwaktu yang sama terjadi pengikisan pada saluran

sungai tersebut. Karakteristik sungai dewasa (mature river) biasanya sudah tidak

ditemukan adanya air terjun, arus air relatif sedang, dan erosi yang bekerja relatif

seimbang antara erosi vertikal dan lateral, dan sudah dijumpai sedimentasi

setempat-setempat, serta dijumpai pula adanya dataran banjir. Sedangkan sungai

tua (old age river) memiliki karakteristik berupa arus sungai lemah yang disertai

dengan sedimentasi, erosi lateral mendominasi, dijumpai adanya oxbow lake atau

danau tapal kuda (A.K Lobeck, 1939 hal.161).

Secara umum, sungai-sungai yang mengalir pada daerah penelitian

memiliki profil lembah sungai berbentuk “V” dan “U”. Profil lembah sungai “V”

(Foto 2.19) pada anak sungai Passui dengan penampang yang curam dan relatif

sempit dan pola saluran yang berkelok-kelok.


42

Foto 2.19 Anak sungai Passui dengan penampang sungai berbentuk “V” pada
stasiun 30 difoto ke arah N68oE

Sedangkan profil lembah sungai berbentuk “U” dijumpai pada sungai

Passui (Foto 2.20) dengan pola sungai yang relatif lurus dan kadang berkelok.

Foto 2.20 Sungai Passui dengan penampang sungai berbentuk “U” pada
stasiun 14 difoto ke arah N 76oE

Erosi yang berkembang pada sungai-sungai daerah penelitian yaitu erosi

lateral (Foto 2.21), umumnya terjadi pada lereng-lereng bukit yang membentuk

sungai akibat arus pada sungai Passui.


43

Foto 2.21 Hasil dari proses erosi lateral yang memperlihatkan dinding sungai
berupa bebatuan dan arus yang deras yang mengangkut material
berukuran bongkah hingga kerikil pada sungai Passui difoto arah
N237oE

Sedangkan erosi vertikal lebih dominan bekerja pada daerah yang

memiliki kemiringan lereng yang relatif besar yang umumnya terjadi pada litologi

Filit, hal ini ditunjukkan dengan keberadaan air terjun yang cukup banyak.

Terdapat material sedimen berukuran bongkah hingga kerikil pada tepi

sungai akibat aktivitas arus sungai. Dijumpai pula adanya proses sedimentasi yang

ditandai dengan adanya endapan sungai berukuran bongkah hingga pasir pada

point bar di sungai Passui.

Berdasarkan data-data lapangan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa stadia sungai pada daerah penelitian mengarah kepada stadia sungai muda

menjelang dewasa.

2.2.3 Stadia Daerah Penelitian

Menurut Thornbury (1969) penentuan stadia suatu daerah harus

memperlihatkan hasil kerja proses-proses geomorfologi yang diamati pada


44

bentuk-bentuk permukaan bumi yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi

dan pelapukan yang bekerja pada suatu daerah mulai saat terangkatnya hingga

pada terjadinya perataan bentangalam. Sedangkan menurut Van zuidam (1985),

dalam penentuan stadia suatu daerah aspek yang digunakan disebut

morfokronologi dimana penentuan umur relatif suatu daerah dilakukan dengan

melihat perkembangan dari proses geomorfologi yaitu morfografi di lapangan dan

analisis morfometri sebagai pembandingnya.

Pada daerah penelitian proses erosi terjadi secara lateral dan vertikal yang

menyebabkan terjadinya proses pengikisan lembah-lembah sungai yang

menghasilkan profil sungai. Selain proses erosi juga terjadi proses sedimentasi

yang megendapkan material – material yang berukuran bongkah sampai pasir

kerikil. Kedua proses tersebut dijumpai di daerah penelitian dan membentuk

morfologi pegunungan.

Proses erosi pada daerah penelitian dapat dilihat dari bentuk penampang

melintang dari lembah sungainya, yang memperlihatkan bentuk profil menyerupai

huruf “V” dan “U”, pada daerah pegunungan.

Analisis morfogenesa daerah penelitian secara umum diidentifikasi oleh

adanya bidang-bidang erosi berupa erosi rill pada daerah pegunungan struktural,

erosi gully pada daerah pegunungan denudasional. Jenis erosi yang terjadi pada

satuan morfologi tersebut berupa erosi lateral dan erosi vertikal yang bekerja

bersama-sama membentuk morfologi tersebut. Proses sedimentasi material

ditandai dengan adanya endapan-endapan material-material di sepanjang sungai

membentuk point bar. Jenis sungainya berupa permanen dan episodik,


45

penampang sungai pada berbentuk “V” dan “U”. Pada daerah penelitian dijumpai

pola saluran yang lurus dan sebagian berkelok. Tingkat pelapukan pada daerah

penelitian mengalami lapuk rendah hingga membentuk tanah residual. Jenis

pelapukan yang terjadi adalah pelapukan kimia dan biologi. Vegetasi relatif

sedang sampai tinggi dengan tata guna lahan perkebunan dan pemukiman.

Berdasarkan paremeter analisis morfografi dan morfogenesa pada daerah

penelitian serta analisis terhadap dominasi dari persentase penyebaran

karakteristik atau ciri-ciri bentukan alam yang dijumpai di lapangan maka stadia

daerah penelitian mengarah pada stadia muda menjelang dewasa.

Anda mungkin juga menyukai