SKRIPSI
Disusun oleh :
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Walisongo Semarang
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum adanya dan kami ucapkan terima kasih.
i
KEMENTERIAN AGAMA R.I
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Semarang Telp.(024) 7601291
Fax.7624691 Semarang 50185
SURAT KETERANGAN
PENGESAHAN SKRIPSI
Nomor : B-
175.3/Un.10.1/D.1/PP.00.9/I/2022
ii
Semarang, 7 Januari 2022
A.n. Dekan, Ketua Program Studi,
Wakil Dekan Bidang Akademik
& Kelembagaan
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
v
“HALAMAN PERSEMBAHAN”
Keluargaku terkasih,
Semarang.
vi
HALAMAN DEKLARASI
bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi
vii
ABSTRAK
viii
KATA PENGANTAR
panjatkan kehadirat Allah Swt, yang selalu menganugrahkan segala taufiq hidayah
qiyamah.
melebihi delapan semester. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat
terselesaikan dengan baik tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
1. Bapak Drs. H. Eman Suleman. M.H. selaku Dosen pembimbing I dan Bapak
Ismail Marzuki, M.A. Hk selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan serta waktunya kepada penulis selama penyusunan skripsi
ini.
2. Bapak Rustam Dahar Karnadi Apollo Harahap, M.Ag selaku Ketua jurusan
Hukum Pidana Islam dan Bapak Dr. H. Ja’far Baehaqi, selaku Sekretaris
jurusan, atas kebijakan yang dikeluarkan khususnya yang berkaitan dengan
kelancaran penulisan skripsi ini.
3. Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang.
4. Bapak Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang.
5. Bapak Dr. H. Mohamad Arja Imroni, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
6. Segenap Dosen, Karyawan dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo.
ix
7. Teman-teman seperjuangan yang selalu kasih motivai semangat dan saran yang
namanya tidak dapat peneliti sebutkan satu per-satu. Tetaplah menjadi keluarga
walaupun kita telah menempuh jalan masing-masing.
8. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuan dan do’a yang
diberikan, semoga Allah Swt senantiasa membalas amal baik mereka dengan
sebaik-baik balasan atas naungan ridhanya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis sadar sepenuhnya bahwa
karya tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan. Sehingga kritik dan saran
Penulis berharap, skripsi ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi generasi
penerus, dan semoga karya kecil ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya
Penyusun,
Muhammad Sohib Aziz
NIM: 1602026029
x
DAFTAR ISI
PENGESAHAN ....................................................................................... II
MOTTO ................................................................................................... IV
PERSEMBAHAN .................................................................................... V
DEKLARASI ........................................................................................... VI
B. Rumusan Masalah.................................................................... 6
G. Sistematika Penelitian.............................................................. 14
xi
B. Pengaturan Hukum Tindak Pida Pembunhan dengan Cara
Membakar dalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia ................................................................................... 33
1. Kelahiran ............................................................................ 41
2. Pendidikan dan Guru-gurunya ............................................ 42
3. Murid dan Karya-karya-nya ............................................... 43
4. Istinbāṭ Hukum Imām Al-‘Imrānī ...................................... 44
A. Kesimpulan ............................................................................ 90
B. Saran-saran............................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet. 1, 67.
2
Faisar Ananda Arfa, “Denda Sebagai Alternatif Hukuman: Kajian Hukum Islam
Kontemporer”, Jurnal Analytica Islamica, Vol. 03, no. 01, 2014, 1.
1
2
adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan,
sedangkan dia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.3 Demikian hal-nya
dengan “pembunuhan”.
Pembunuhan merupakan tindakan anti kemanusiaan. Al-Qur’an
memotret tindakan tersebut dalam kisah Bani Adam (dalam tafsīr disebut
bernama Qabil dan Habil).4 Secara literal, kisah tersebut menceritakan
pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil, adiknya. Alasannya
adalah ketika keduanya mempersembahkan korban kepada Allah Swt, dan
hanya korban Habil yang diterima oleh-Nya. Karena alasan itulah Habil
terbunuh.5
Pada dasarnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang menghalalkan
pembunuhan, sebab tujuan agama adalah untuk perdamaian, menyebarkan
kasih sayang, dan mengatur tatanan sosial agar lebih baik. Demikian pula
dengan doktrin agama Islam, sejak awal penurunannya sudah ditegaskan
bahwa Islam mengemban visi “kerahmatan”. Dalam al-Qur’an dikatakan :
َ لَ ُم ْس ِرفُو
.ن َ ِات ثُ َّ إِ َّن َكثِ ًهرا ِم ْند ُ ْ بَد َْ َْ كَل
ِ َ فِي ا ْ َْر ِ َبِالْ دهِّدن
َ
Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa
barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia
telah membunuh semua manusia (Q.s Al-Mā’idah: 32).6
3
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 165.
4
Sedikit berbeda dengan al-Qur’an, dalam Bibel di mana tokoh kisah tersebut diredaksikan
dengan nama Kai dan Habel. Siti Mariatul Kiptiyah, “Kisah Qabil dan Habil dalam Al-Qur’an:
Telaah Hermeneutis”, Jurnal Al-Dzikra; Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, vol. 13, no. 01,
Juni 2019, 32.
5
Ada beragam cerita mengenai bagaimana Qabil melakukan pembunuhan terhadap
adiknya. Dalam suatu riwayat, Qabil memukul kepala Habil dengan batu besar ketika Habil sedang
tertidur. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Qabil memukul adiknya dengan sebuah besi.
Adapun tempatnya ada yang mengatakan di gunung Qasiun (utara Damaskus), ada pula yang
mengatakan di sebuah padang rumput, juga di hutan. Menurut Kiptiyah, beberapa riwayat tersebut
bisa diterima dan tidak perlu dipertentangkan. Sebab, jika mau mencari kevalidan datanya, perlu
melakukan jejak historis. Ibid,. 47-48.
6
Ibid,. 28.
3
Ayat di atas merupakan salah satu contoh kecaman Islam atas setiap
pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena, bahkan membunuh satu
jiwa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia. Karena setiap
manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan Ia merupakan anggota dari
masyarakat. Oleh karenanya, membunuh satu orang, secara tidak langsung
akan menyakiti keluarga keturunan, dan msyarakat yang hidup di
sekelilingnya.7 Bahkan dalam hadis, Islam menggolongkan pembunuhan
sebagai dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah Swt).8
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keselarasan
di antara manusia. Ia selalu menekankan bahwa antara manusia yang satu
dengan yang lainnya adalah sama dan sederajat, hanya ketakwaannyalah yang
membedakannya. Hal itu dikarenakan manusia pada dasarnya diciptakan dari
jenis atau jiwa yang satu (min nafsin wāḥidah). Universalitas Islam ini
melampaui semua perbedaan manusia, yang meliputi suku, ras, agama,
kewarganegaraan, etnis, dan jenis kelamin. Demikian pula penegakan hukum
di Indonesia atas pembunuhan. Hukuman atas tindak pidana pembunuhan tidak
memandang suku, ras, agama, jenis kelamin dan lain sebagainya.
Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar “ ُ ْ”قَت ل, dari fi’il
māḍī “ َ ”قََْتyang artinya membunuh.9 Secara terminologi, dalam Ensiklopedi
Fikih Kuwait, pembunuhan merupakan perbuatan menghilangkan nyawa.10
Senada dengan itu, Al-Zuhaili mengatakan bahwa pembunuhan merupakan
suatu tindakan yang menghilangkan nyawa, atau mematikan, atau suatu
tindakan oleh manusia yang menyebabkan hiangnya kehidupan, yakni tindakan
yang merobohkan formasi bangunan yang disebut manusia.11 Lebih lanjut,
7
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 2002),
113.
8
Hegki Ferdiansah, “Hukum Membunuh dalam Islam”. Dikutip dari Www.nuonline.com.
Diakses, Rabu, 05 Mei 2021, pukul 20.00 WIB S/d.
9
Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,
2003), Cet. 7, 1433.
10
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, (Kuwait: Dāru al-Salāsil, 1472), Cet. 2, 321.
11
Wahbah Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Perj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. I, 542.
4
12
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah, Al-Tasyri’ Al-Jināī Al-Islāmī, Juz 2, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-
Ilmiah, 2011), 6.
13
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), Cet. I, 3.
14
Ibid,. h. 4.
15
Ibid,. Lihat selengkapnya pada buku tersebut.
16
Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyaah,. Op,. Cit,. Juz 32, 340.
17
Ro’fah, dkk, Fikih Ramah Difable, (Yogyakarta: Q-Media, 2015), Cet. I, 93.
18
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Nurani, Vol. 13,
No. 02, Desember, 2012, 1.
19
Anton M. Moeliono, et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,
1989), 138.
5
َّ فَ َم ِن ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ فَا ْنتَ ُْوا َنلَْه ِه بِ ِمثْ ِل َما ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ َواتَّد ُقوا اللَّ َه َوا ْنلَ ُموا ج
َن اللَّهَ َم َع
هن ِ
َ ال ُْمتَّق
Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan
serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah beserta orang-orang yang bertakwa (Q.s al-Baqarah: 194).22
َّ ج،ِ َن ْن ََِّْه، َن ْن جَبِ ِهه، ِ َن ْن ِن ْم َرا َن بْ ِن يَ ِزي َْ بْ ِن الَْد َرا،َوُرِّوينَا َن ْن بِ ْش ِر بْ ِن َحا ِزم
َ َن النَِّ َّي
للَّس
23
.)(رَواهُ اَلَْد ْهد َ ِق ْي َ َاهللُ َنلَْه ِه َو َ لَّ َ ق
َ ُ َوَم ْن غَ َّر َق غَ َّرقدْنَاه،ُ َوَم ْن َح َر َق َح َرقدْنَاه:ال
20
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, Juz 11,
(Arab Saudi: Dāru Al-Minhāj, 2000), 414.
21
Ibid,. 145.
22
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 30.
6
Diriwayatkan dari Bisyr bin Ḥāzim dari ‘Imrān bin Yazīd bin Al-Barā’ dari
ayahnya dari kakkeknya, bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang
membakar, maka kita membakarnya dan barangsiapa menenggelamkan, maka
kita menenggelamkannya (H.R Al-Baihaqi).
23
Imam Al-Baihaqi, Sunan Kubra li Al-Baihaqi, Juz 8, (Bairut: Daru Al-Kutub Al-Ilmiah,
2003), 79.
24
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 127-
128.
7
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis hukum membakar orang hidup
menurut Imām Al-‘Imrānī dalam Kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-
Syāfi’i.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis relevansi pendapat Imām Al-‘Imrānī
tentang hukum membakar orang hidup dengan konteks hukum pidana di
Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka manfaat yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini sebagai tambahan pengetahuan yang selama ini
hanya didapat penulis secara teoritis.
2. Bagi akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dijadikan sebagai salah
satu bahan referensi serta rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan sebagai referensi dan informasi
bagi masyarakat.
8
E. Telaah Pustaka
Untuk menguji kemurnian hasil penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan
kajian pustaka untuk menguatkan bahwa penelitian ini belum pernah diteliti
sebelumya, yakni dengan memaparkan dengan singkat mengenai beberapa
karya tulis ilmiah sebelumnya yang fokus pada pembahasan tentang “hukum
membakar orang hidup”. Oleh karena itu, peneliti akan memaparkan beberapa
karya tulis ilmiah terdahulu yang fokus pada pembahasan sebagaimana peneliti
kemukakan.
Pertama, skripsi karya Yogi Pradoni dengan judul “Kajian Kriminologi
Terhadap PelakuPembakaran Kekasihnya yang Masih di Bawah Umur (Studi
di Polres Pelabuhan Belawan)”. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa kejahatan
pembunuhan dengan cara membakar korban terjadi akibat beberapa faktor
antara lain faktor dendam, sakit hati, faktor kejiwaan dan faktor lingkungan.
Oleh karena itu pihak aparatur penegak hukum baik kepolisian maupun badan
eksekutif untuk melakukan upaya-upaya secara kriminologi dengan cara
represif yaitu upaya masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dapat
dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana. Upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat
represif sesudah kejahatan terjadi dan upaya preventif adalah cara melakukan
suatu usaha yang positif, serta cara untuk menciptakan suatu kondisi seperti
keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya
dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan
ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan
menyimpang. Sehingga agar kejahatan pembunuhan terhadap anak perempuan
khususnya diwilayah Polres Pelabuhan Belawan bisa berkurang sehingga dapat
menimbulkan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.25
Kedua, skripsi karya Fathia Ruminta Lumbanbatu yang berjudul
“Pembuktian Tindak Pidana Dengan Sengaja Menimbulkan Kebakaran Yang
Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain (Studi Putusan No. 2261/
25
Yogi Pradoni, “Kajian Kriminologi Terhadap PelakuPembakaran Kekasihnya yang
Masih di Bawah Umur (Studi di Polres Pelabuhan Belawan)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, 2019.
9
PID.B/ 2017/ PN.MDN)”. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa dalam Putusan
No. 2261/ Pid.B/ 2017/ PN Mdn, jaksa penuntut umum menyusun dakwaan
secara alternatif dengan dakwaan melanggar Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55
KUHP, Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 KUHP, Pasal 187 KUHP Jo. Pasal 55
KUHP. Dalam putusannya, hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa
dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dikurangi masa tahanan
serta biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).26
Ketiga, skripsi karya Mgs. Ahmad Farhan S dengan judul “Sanksi Pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Disertai Mutilasi”. Hasil dari
penelitian ini yaitu bahwa untuk tidak mengulangi tindak pidana embunuhan
mutilasi sehingga dapat membuat jera si pelaku, maka perlu dilakukan
sosialisasi terhadap masyarakat bahwa tindak pidana mutilasi tersebut
merupakan perbuatan yang kejam atau sadis, pelaku harus dibeikan hukuman
maksimal yaitu berupa hukuman mati yang telah diatur dalam Pasal 340 JUHP,
aparat penegak hukum terutama hakim jangan tebang pilih dalam
memidanakan pelaku tindak pidana mutilasi dan harus teliti menentukan
hukuman yang diebrikan kepada pelaku tindak pidana mutilasi.27
Keempat, jurnal ilmiah karya Rokhmadi dengan judul “Hukuman
Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”. Hasil dari penelitian
ini disimpulkan bahwa pembunuhan dalam hukum pidana Islam termasuk
jarīmah qiṣāṣ-diyat, yaitu jarīmah yang diancam dengan hukuman qiṣāṣ
(hukuman sepadan/sebanding) atau hukuman diyat (denda/ganti rugi), yang
sudah ditentukan batasan hukumannya, namun dikategorikan sebagai hak
adami (manusia/perorangan), di mana pihak korban ataupun keluarganya dapat
memaafkan pelaku, sehingga hukuman (qiṣāṣ-diyat) bisa hapus sama sekali,
karena dalam qiṣāṣ ada pemberian hak bagi keluarga korban untuk berperan
sebagai “lembaga pemaaf”, mereka bisa meminta haknya untuk memaafkan
26
Fathia Ruminta Lumbanbatu, “Pembuktian Tindak Pidana Dengan Sengaja Menimbulkan
Kebakaran Yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain (Studi Putusan No. 2261/ PID.B/
2017/ PN.MDN)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2020.
27
Mgs. Ahmad Farhan S, “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan
Disertai Mutilasi”, Skripsi Fakultas Hukum niversitas Muhammadiyah Palembang, 2017.
10
28
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”, Jurnal
At-Taqaddum, Vol. 08, No. 02, November, 2016.
11
karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba
dan uqubat yang diberikan pun akan berbeda di jatuhkan sesuai dengan peran
masing-masing dari mereka.29
Berdasarkan dari apa yang telah peneliti paparkan di atas, ditemukan
adanya beberapa penelitian yang sama terkait dengan pembunuhan dengan cara
dibakar Namun, secara spesifik penelitian peneliti berbeda dengan penelitian-
penelitian di atas, sebab penelitian peneliti yaitu penelitian kepustakaan tentang
hukum membakar orang hidup perspektif Imām Al-‘Imrānī. Dalam kitab Al-
Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i. Oleh karena-nya, penelitian ini layak
untuk dilakukan.
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah suatu metode cara kerja untuk dapat memahami
obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersagkutan. Metode adalah pedoman
cara seorang ilmuan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang
dipahami.30
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research), dan bersifat kualitatif. Menurut Robert Bogdan dan Steven
J.Taylor "qualitative methodologies refer to research procedures which
produce descriptive data, people's own written or spoken words and
observable behavior"31 (metodologi kualitatif adalah sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati). Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum ini dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, karenanya
merupakan penelitian hukum normatif.32 Dengan demikian, penelitian ini
29
Sumardi Efendi, “Kejahatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Menurut Hukum Positif
Dan Fiqh Jināyah”, Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam, Vol 05, No. 01, 2020.
30
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), 67.
31
Robert Bogdan, dkk, Introduction to Qualitative Research Methods, (New York : Delhi
Publising, 1975), 4.
32
Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2014), 13-14.
12
33
Sulistyowati Irianto, dkk, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), 142.
34
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1997), 9.
13
35
Menurut Arikunto, metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,
agenda, dan sebagainya. Lihat dalam; Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 206.
36
Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2015), 12.
37
Ibid, 52.
38
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 141, lihat juga
dalam Dyah Ochtorina Susanti, dkk, Penelitian Hukum (legal Research), (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), 52.
14
G. Sistematika Penelitian
Agar mudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis akan
menguraikan sistematika penulisan yang terbagi dalam 5 (lima) bab yang
diuraikan menjadi sub-sub bab. Sebelumnya penulis mengawali dengan
halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan,
halaman motto, halaman persembahan, halaman deklarasi, halaman abstrak,
halaman kata pengantar, kemudian dilanjutkan dengan lima (5) bab sebagai
berikut :
Bab I: Pendahuluan. Berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian
dan sistematika penelitian.
Bab II: Kerangka teori yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, teori
tentang pembunuhan yang berisi; pengertian pembunuhan, dasar hukum
pembunuhan, macam-macam pembunuhan, hukuman tindak pidana
pembunuhan, hukuman qiṣaṣ serta tujuan hukum pidana Islam, dan Ketiga,
39
Etta Mamang Sangaji dan Sopiah, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Offset,
2014), 21.
15
1
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 2, (Kuwait: Dāru al-Salāsil, 1472), Cet. 2, 115.
2
Ibid., 119.
3
Akhmad Almubasir, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembunuhan yang
Dilakukan Orang Tua Kepada Anaknya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang
Nomor:128/Pid.B/2017/PN.Smg)”, Skripsi Prodi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018, 36.
4
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, (Semarang: Toha Putra
Semarang, 2002), 112.
16
17
tersebut bisa hapus sama sekali. Karena dalam qiṣāṣ ada pemberian hak bagi
keluarga korban untuk berperan sebagai “lembaga pemaaf”, mereka bisa
meminta haknya untuk memaafkan atau tidak memaafkan terhadap
perbuatan pelaku tindak pidana5 (restoratif).6
Pembunuhan merupakan salah satu tindak pidana menghilang-kan
nyawa seseorang dan termasuk dosa besar. Tindak pidana pembunuhan
disebut juga dengan al-jināyah ‘alā al-nafs al-insanīyyah (kejahatan
terhadap jiwa manusia).7 Dalam bahasa Indonesia, pembunuhan diartikan
dengan proses, perbuatan atau cara membunuh.8 Dalam bahasa Arab,
pembunuhan disebut “ ُ ْ ”اَ للقَ لberasal dari kata “ َ ََْ ”قyang sinonimnya “ َ”أَ َمات
yang berarti mematikan.9 Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembunuhan
secara bahasa merupakan suatu perbuatan yang dapat menghilangkan
nyawa.10
Kemudian, secara istilah pembunuhan diartikan oleh Al-Syarbīnī Al-
Syāfi’ī yaitu suatu tindakan yang dapat menghilangkan nyawa atau
mematikan,.11 Atau suatu tindakan oleh manusia yang menyebabkan
hilangnya kehidupan, yakni tindakan yang dapat merobohkan formasi
bangunan yang disebut manusia, ujar Ibn Al-Himām Al-Ḥanafī.12 Lebih
lanjut, ‘Āūdah mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu tindakan
5
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”, Jurnal
At-Taqaddum, Vol. 08, No. 02, November, 2016, 151.
6
Restoratif yaitu hak korban atau walinya atau keluarganya untuk memberikan pemaafan
atau pengampunan kepada pelaku tindak pidana, dan dengan prinsip inilah sesungguhnya yang
menjadi landasan syari‟at Islam sebagaimana isi yang terkandung dalam Q.S. al-Baqarah ayat 178.
7
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Nurani, Vol. 13,
No. 02, Desember, 2012, 1.
8
Anton M. Moeliono, et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,
1989), 138.
9
Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,
Cet. Ke-7, 2003), 1433.
10
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, 321.
11
Imām Al-Syarbīnī Al-Syāfi’ī, Mughnī Al-Muḥtāj Ilā Ma’rifah Ma’ānī Alfāẓ Al-Minhāj,
Juz 4, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), Cet. I, 3.
12
Ibn Al-Himām Al-Ḥanafī, Fatḥ Al-Qadīr, Juz 8, (t.tp: Dāru Al-Fikr, t.th), 244.
18
13
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah, Al-Tasyri’ Al-Jināī Al-Islāmī, Juz 2, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-
Ilmiah, 2011), 6.
14
Sayyidah Nurfaizah, “Hukum Bagi Orang Tua Yang Membunuh Perspektif Hukum
Pidana Islam dan KUHP”, Jurnal Al-Jinayah: Jurnal Huku Pidana Islam, Vol. 02, No. 02,
DesembeR, 2016, 306.
15
Moh. Khasan, “Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum dalam Asas Legalitas Hukum Pidana
Islam”, Jurnal RECHTSVINDING Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 06, No. 01, April
2017, 65.
19
وما فَد َقد ْْ ََ ََلْنَدا لَِولِهِّ ِده ُ د ْلطَانًا ِ ِ وََل تَد ْقتُدلُوا النَّد ْف
َ س الَّتي َح َّرَم اللَّهُ إََِّل بِال
ً ُْح ِّق َوَم ْن قُت َل َمظْل َ َ
ِ ْ فَ ََل يس ِر
ورا
ًص ُ ف في الْ َق ْت ِل إِنَّهُ َكا َن َم ْن ُْ
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampui batas
dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapatkan
pertolongan (Q.s Al-Isyrā’: 33).20
16
Hajar M, Model-model Pendekatan dalam Penelitian Hukum dan Fiqih, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2017), Cet. I, 71.
17
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Persepektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2009), Cet. 2, 50.
18
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),
Cet. I, 10-11.
19
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, 322. Lihat pula dalam; Wahbah Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Perj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, Jilid 7, Cet. 1, 2011), 542 dan seterusnya.
20
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 285.
20
b. Dalam al-Hadis
َح َّدْثَدنَا، َح َّدْثَدنَا فُ َ ْده ُل بْ ُدن غَ ْدزَوا َن،ْ َح َّدْثَنِي يَ ْحهَدس بْ ُدن َ ِدَه،َح َّْثَدنَا َنلِدي بْ ُدن َن ْ ِدْ اللَّ ِده
21
Bunyamin, “Qiṣāṣ dalam Al-Qur’an (Kajian Fiqih Jinayah dalam Kasus Pembunuhan
Disengaja”, Jurnal Al-Adl, Vol. 07, No. 02 Juli, 2014, 116.
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. 10, 467.
23
Ibid., 93.
21
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ فَِإ َّن َما َ ُك ْ َوج َْم َوالَ ُك ْ َنلَْه ُك ْ َح َر
ْ في َشد ْ ِرُك، في بَدلَْ ُك ْ َ َذا، يَد ْوم ُك ْ َ َذا، َك ُح ْرَم،ام
24
.)(رَواهُ اَلُْ َخا ِر ْي
َ َ َذا
‘Alī bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, Yaḥyā bin Sa’īd
telah menceritakan kepadaku, Fuḍaīl bin Ghazwān telah menceritakan
kepada kami, ‘Ikrimah telah menceritakan kepada kami dari Ibn ‘Abbā
r.a, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya darah dan harta benda
sebagian dari kamu sekalian yang lain, sama seperti keharamannya
pada hari kamu sekalian ini, di negeri sekalian kamu ini dan di bulan
kamu sekalian ini (HR. Al-Bukhārī).
َ قَد،الَ ِزي د ِز بْد ُدن َن ْد ِدْ اللَّد ِده
ْ َند ْدن ثَد ْدوِر بْد ِن َزيْدد، َحد َّدْثَنِي ُ دلَْه َما ُن بْد ُدن بِدَلَل:دال َ ُْ َحد َّدْثَدنَا َن ْ د
ِ
.)(رَواهُ اَلُْ َخا ِر ْي َ ِالَّتي َح َّرَم اللَّهُ إََِّل ب
25
َ الح ِّق
‘Abd Al-Azīz bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, Ia berkata:
Sulaīmān bin Bilāl telah menceritakan kepadaku dari Saūr bin Zaīd Al-
Madanī dari Abī Al-Ghaīts dari Abī Huraīrah r.a dari Nabi saw, Ia
bersabda: Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, yaitu
menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah,
kecuali dengan alasan yang benar (HR. Al-Bukhārī).
24
Muḥammad bin Ismāīl Abū ‘Abdullah al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 2, (Bairut
Libana: Dāru Ṭūq al-Najāh, 1422 H), 176.
25
Ibid, Juz 4, 10.
26
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 544.
22
3. Unsur-unsur Pembunuhan
Setelah peneliti memaparkan asas legalitas sanksi hukum tindak
pidana pembunuhan sebagaimana sub bab di atas, maka untuk
memberlakukan hukuman tersebut harus memenuhi unsur-unsur-nya. Untuk
keperluan dalam penelitian ini, peneliti fokus pada unsur-unsur pembunuhan
sengaja atau “العمد ْ”الق, sebab menurut mayoritas ulama pembunuhan
dengan cara dibakar termasuk dalam kategori pembunuhan tersebut
(pembunuhan sengaja).
Dalam menetapkan perbuatan mana yang termasuk unsur kesengajaan
dalam membunuh terdapat perbedaan pendapat. Menurut ulama maẓhab
Ḥanafī, suatu pembunuhan dikatakan dilakukan dengan sengaja apabila alat
yang digunakan untuk membunuh itu adalah alat yang dapat melukai dan
memang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang, seperti senjata
(pistol, senapan, dan lain-lain), pisau, pedang, parang, panah, api, kaca, dan
alat-alat tajam lainnya.27 Sementara menurut maẓhab Syāfi’ī dan maẓhab
Ḥanbālī, alat yang digunakan dalam pembunuhan sengaja itu adalah alat-alat
yang biasanya dapat menghabisi nyawa seseorang, sekalipun tidak melukai
seseorang dan sekalipun alat itu memang bukan digunakan untuk
membunuh.28
Kemudian menurut maẓhab Mālikī, suatu pembunuhan dikatakan
sengaja apabila perbuatan dilakukan dengan rasa permusuhan dan
mengakibatkan seseorang terbunuh, baik alatnya tajam, biasanya digunakan
untuk membunuh atau tidak, melukai atau tidak. Bahkan apabila seseorang
menendang orang lain dan mengenai jantungnya, lalu meninggal, maka
perbuatan ini dinamakan pembunuhan sengaja.29
a. Unsur pembunuhan sengaja
1. Korban (orang yang terbunuh) adalah manusia hidup yang terlindungi
darahnya (keselamatannya) “ma’ṣūm al-dām” oleh Negara. Dengan
demikian, apabila korban kehilangan keselamatannya, seperti; murtad,
27
Ibid., Juz 7, 546.
28
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 3-4.
29
Ibid., 4.
23
30
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 550-587.
31
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 4-5.
24
32
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), Cet. I, 137-138.
33
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 6.
34
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 10.
25
38
Menurut Ḥanāfīyyah bahwa orang yang dipaksa melakukan pembunuhan tidak dapat
diqiṣaṣ, tetapi menurut mayoritas ulama bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan pembunuhan
tetap harus dihukum qiṣaṣ. lihat dalam; Rokhmadi, Op. Cit, 122-123.
39
Menurut mayoritas ulama, bahwa pembunuhan tidak langsung tetap dikenakan hukuman
qiṣaṣ, seperti pembunuhan langsung, tetapi menurut Ḥanāfīyyah pembunuhan itu harus perbuatan
langsung. Apabila perbuatannya tidak langsung, maka hukumannya diyat, bukan qiṣaṣ. Lihat
dalam Rokhmadi, Op. Cit, 126.
40
Ibid., 127-130.
41
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 546-548.
27
42
‘Alāuddīn Abī Bakar bin Mas’ūd al-Kāsāni al-Hanafī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz 7, (Bairut:
Dāru Al-Kutūb al-‘Ilmīyah, 1986), Cet. 2, 233.
43
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 3-4.
44
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 648-649.
45
Dikutip oleh Rokhmadi, Hukum Pidana Islam,. Op,. Cit,. 137.
28
46
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”. Op,.
Cit,. 152-153.
47
‘Alāuddīn Abī Bakar bin Mas’ūd al-Kāsāni al-Hanafī,. Op,. Cit,. Juz 7, 212.
48
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 10.
29
49
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 648-661.
50
Lihat pada sub bab “macam-macam pembunuhan” di atas, dan atau lihat dalam Wahbah
Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 648.
51
Ibrāhīm Unaīs, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, Juz 2, (t.tp: Dāru Iḥyā al-Turāts al-‘Arabī, t.th), 739.
52
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Arab-Indonesia terlengkap), (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), 1126.
53
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 5, 304.
54
Ibid.
55
Dikutip oleh Rokhmadi, Op. Cit, 118.
56
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 9.
30
Namun demikian ulama fikih sepakat bahwa jika ada alat lain yang
lebih cepat menghabisi nyawa (misalnya senjata api, pedang, kursi listrik,
dan lain-lain), maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit
yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.59 Hukuman qiṣaṣ merupakan
hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan
tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya). Hukuman
ini penerapannya ada beberapa kemungkinan, seperti hukum qiṣaṣ dapat
berubah menjadi diyat, hukuman diyat menjadi dimaafkan dan apabila
dimaafkan maka hukuman menjadi hapus. Hukuman qiṣaṣ maupun diyat ini
meliputi beberapa masalah, yakni 1. Pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd),
2 pembunuhan semi sengaja (al-qatl syibh al-amd), 3. Pembunuhan keliru
57
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz 2, (Bairut: Dāru Iḥyā’ Al-Kutub Al-‘Arabīyah, 1987),
889.
58
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 281.
59
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah,. Op,. Cit,. Juz 2, 154.
31
60
Makhrus Munajat, Op,. Cit,. 13.
61
Zainuddin Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 10-11.
62
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 61.
63
Ibid.
32
64
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:
Satelit Buana, 2003), 42.
65
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep Al-Istiqrā Al-
Ma’nawī Al-Syāṭibī, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 165.
66
Ibrāhīm Unaīs, Op,. Cit,. 612.
67
Ibid,. 613.
68
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), Cet.
I, 137-138.
33
lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa, dan ketiga, hukuman sebagai
pencegahan khusus, artinya seseorang yang melakukan tindak pidana
setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi
kejahatannya kembali.69
69
Makhrus Munajat, Op,. Cit,. 127-128.
70
Ibid,. Juz 7, 546.
71
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 3-4.
72
Ibid,. 4.
34
73
Basse Muqita Rijal Mentari, “Sanksi Pidana Pembunuhan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Hukum Islam”, Jurnal Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 22, No. 01, Mei,
2020, 8-16.
35
akan memberikan sanksi pidana pidana kurang dari lima belas tahun
penjara.
2. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak
pidana lain
Delik ini diatur dalam Pasal 339 KUHP, yang rumusannya sebagai
berikut : “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu
perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau
mempermudah pelaksanaannya, atau melepaskan diri sendiri maupun
peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”. Pada pembunuhan dalam Pasal 339 KUHP
merupakan suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat.
3. Pembunuhan berencana
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang menyebutkan
sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan
rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Pembunuhan
berencana ini mencakup pada pembunuhan biasa atau yang diatur dalam
Pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur perencanaan terlebih
dahulu. Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat
daripada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan
merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana yang paling berat, yaitu
pidana mati, dimana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan
terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah
pada adanya perencanaan terlebih dahulu tersebut. Selain diancam dengan
pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat
dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun.
36
dari pembunuhan ini dari permintaan korban itu sendiri, bukan dari pelaku.
Sehingga pelaku sedikit mendapatkan keringanan ancaman pidananya.
6. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri
Tindak pidana ini diatur di dalam Pasal 345 KUHP, yang rumusannya
adalah sebagai berikut: “Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk
bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”. Pada kejahatan terhadap nyawa yang
diatur dalam Pasal 345 KUHP ini, pelakunya diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun. Sanksi pidana ini termasuk yang paling
ringan diantara sanksi pidana kejahatan terhadap nyawa pada umumnya
lainnya. Hal ini didasarkan pada subjek atau pelaku tindak pidananya tidak
secara langsung melakukan pembunuhan, melainkan korban sendirilah yang
membunuh dirinya sendiri. Pelaku hanya sebagai pendorong, menolong,
atau memberi sarana dalam perbuatan bunuh diri. Berbeda dengan
pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana dimana yang melakukan
pembunuhan terhadap korban adalah pelakunya sendiri.
7. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan
Tindak pidana pengguguran terhadap janin ini berdasarkan subjeknya
dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu ; 1. Dilakukan sendiri, dan 2.
Dilakukan oleh orang lain, juga dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : 1.
Atas persetujuan wanita yang mengandung janin, 2. Tanpa persetujuan
wanita yang mengandung janin. Pada kejahatan terhadap nyawa ini, diatur
dalam empat pasal, yaituPasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Masing-
masing akan diuraikan sebagai berikut :
a) Pengguguran dan pembunuhan terhadap janin yang dilakukannya sendiri
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 346 KUHP, yang isinya; “seorang
wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungnnya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun” Adapun inisiatif dari dilakukannya kejahatan ini
adalah dari wanita yang mengandung janin itu sendiri, bukan orang lain.
Oleh karena itu wanita tersebut telah menghendaki perbuatannya dan
mengetahui akibat dari perbuatannya itu berupa gugur atau matinya janin
yang ada dikandungannya. Terhadap wanita yang melakukan tindak
38
Melihat pada rumusan Pasal 187 KUHP, dapat dilihat bahwa tindak
pidana yang diatur dalam pasal ini merupakan tindak pidana “kesengajaan”.
Hal itu tegas terlihat di bagian awal kalimat Pasal 187 KUHP tersebut yang
menyatakan ‘Barangsiapa dengan sengaja...’. Mengenai pasal ini, Sianturi,
menjelaskan unsur tindakan yang dilarang ialah mengadakan kebakaran,
melakukan ledakan, atau menimbulkan banjir, yang dimaksud dengan
“mengadakan kebakaran” ialah membakar sesuatu, karenanya terjadi
kebakaran dan kebakaran itulah yang dikehendakinya. Bagaimana caranya
membakar, apakah dengan menyulutkan api, dengan cara kimiawi yang
dapat menyala kemudian, dengan cara elektronik, dan lain sebagainya, tidak
dipersoalkan, dan yang dimaksud dengan kebakaran ialah bahwa kobaran
api itu tidak di tempat yang semestinya.75
2. Pasal 340 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
74
Letezia Tobing, “Jerat Hukum Bagi Pembakar Orang”, dikutip dari
Https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5292962f27a9b/jerat-hukum-bagi-pembakar-
orang, diakses, Selasa, 01 Juni 2021, pukul 20.00 WIB S/d.
75
Ibid.
40
dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Terkait pasal ini, Soesilo menjelaskan bahwa “direncanakan terlebih
dahulu” maksudnya antara timbul maksud untuk membunuh dengan
pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang
memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan
dilakukan. “Tempo” itu tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya
juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempo itu
si pembuat (tindak pidana) dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang
sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan
membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan.76
3. Pasal 338 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun”.
Tindak pidana yang diatur dalam pasal tersebut merupakan tindak
pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara
lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Pembunuhan yang dilakukan
dengan cara membakar, Sianturi mengatakan bahwa apabila si petindak
sejak semula memang menghendaki matinya orang itu, maka telah terjadi
perbarengan antara Pasal 187 ke-3 KUHP dan Pasal 338 KUHP dan atau
atau Pasal 340 KUHP.77 Jadi, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat
pelaku “pembakar orang” yaitu Pasal 187 KUHP sebagai dasar laporan, dan
atau Pasal 187 KUHP dan Pasal 340 KUHP atau Pasal 187 KUHP dan Pasal
338 KUHP.78
76
Ibid.
77
Ibid.
78
Ibid.
BAB III
PENDAPAT DAN ISTINBĀṬ HUKUM IMĀM AL-‘IMRĀNĪ
TENTANG HUKUM MEMBAKAR ORANG HIDUP
1
Imām Al-Subukȋ, Ṭabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrō, (Jeddah: Dāru Ihyā’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, Juz VII, t.ṭh), Cet. I, 336.
2
Abū Muḫammad Qōsim bin Muḫammad bin ‘Ārif Agā al-Nūri, dalam al-‘Imrōnī, Al-
Bayān..., Juz I, 121.
3
Yāqūt al-Hamā, Mu’jām al-Baldān, Juz III, 296, dalam Al-‘Imrōnī, Al-Bayān..., Juz I,
121.
4
Dikutip dari id.wikipedia.org, Diakses, Selasa, 15 Juni 2021, pukul 22.44 WIB S/d.
5
Qodli Ismāil Al-Akwa’, Hijar al-‘ilm wa Ma’āqilihi fī al-Yaman, dalam al-‘Imrōnī, Al-
Bayān..., Juz I, 121-122.
41
42
6
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, (Arab Saudi:
Dāru Al-Minhāj, Juz I, 2000), 127.
43
7
Ibid,. Juz I, 123.
8
Ibid,. Juz I, 129-130.
9
Baik di dalam Ṭabaqāt Fuqahā` al-Yaman, maupun al-Bayān juz I tidak menyebutkan
secara eksplisit nama istri beliau, di sana hanya disebutkan ummu waladihi Thāhir (ibu dari
anaknya yang bernama Thāhir). ‘‘Umar bin Ali bin Samurah al-Ja’idy, Ṭabaqāh al-Fuqahā’ al-
Yaman, 176. Abū Muhammad Qōsim bin Muhammad bin ‘Ārif Aghā al-Nūri, dalam Al-‘Imrōnī,
Al-Bayān,, 124.
44
10
Ibid,. Juz I, 125.
11
‘Umar bin Ali bin Samuroh al-Ja’idī, Ṭabaqāh al-Fuqahā’ al-Yaman, 177-178.
12
Ibid,. 178.
13
Metode-metode tersebut disusun oleh pendiri maẓhab Syafi’i, yaitu Muhammad bin Idris
al-Syafi’i. Dalam diverensiasi aliran uṣul fikih, maẓhab al-Syafi’i disebut sebagai aliran
mutakallimin. Aliran ini membangun uṣul fikih secari teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan (furū’). begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini
menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli. Lihat: Rachmat Syafe’i, Ilmu
Uṣūl Fiqh, 45.
45
mencari hadis ahad. Menurutnya bahwa hadits ahad itu termasuk dalil żanni
al-wurūd, oleh karena itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi
beberapa syarat, yaitu: perawinya itu (1) tsiqqah; (2) berakal; (3) dlābit; (4)
mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli ilmu yang juga
meriwayatkan hadis.14
Jika tidak menemukan hadits ahad, maka ia melihat pada żāhir an-nāṣ
al-Quran dan sunnah secara berurutan dan dengan teliti ia mencari segi-segi
kekhususannya. Jika tidak menemukan melalui żāhir an-nāṣ, maka ia
berpegang pada ijmak. Konsep ijmaknya adalah bahwa ijmak yan otoritatif
itu harus merupakan hasil kesepakatan ulama seluruh dunia, tanpa kecuali.
Oleh karena itu ia hanya menerima ijmak sahabat karena yang paling
mungkin terjadi kesepakatan seluruh ulama. Sedangkan ijma’ setelah
generasi sahabat, ia menolaknya. Ijma’ sahabat inilah yang menjadi hujjah
dalam istidlal. Kehujjahannya berdasarkan keyakinannya bahwa umat Islam
itu tidak mungkin sepakat dalam sesuatu yang menyimpang dari nas.
Namun demikian, ia mensyaratkan bahwa ijma’ itu harus disandarkan
kepada al-Quran dan sunnah. Disamping itu ia hanya menerima ijma’ ṣarih
dan menolak ijma’ sukuti.15
Menurutnya bahwa ijma’ dibagi dua, pertama, ijma’ al-nuṣūṣ, atau
yang berdasarkan pada nas, seperti dalam kewajiban ṣalat lima waktu,
jumlah rakaat dan waktunya ṣalat, zakat dan manasik haji. Jika ada dalil
juz’i (parsial) yang bertentangan dengan jenis ijma’ ini, maka
mengunggulkan ijma’nya. Kedua, ijma’ dalam hukm-hukum yang masih
menjadi objek perselisihan ulama, seperti pendapat Umar bin Khottob yang
tidak memberikan taah rampasan perang kepada prajurit. Meskipun ijmak
sukuti ini dapat dipegangi setelah tidak ada ijma’ nuṣuṣ namun bagi
pengingkarnya tidak dihukumi kafir, tidak seperti dalam ijmak nuṣuṣ tadi.
14
Abdul Mugits, Kritik Nalar..., 79.
15
Ibid,. 80.
46
Jika ijma’ ini bertentangan dengan dengan nas, meskipun parsial, maka ia
memilih naṣnya.16
Jika tidak menemukan ijma’ sahabat di atas, maka ia menerapkan
metode qiyas. Qiyas menurut al-Syafi’i ini hampir sama dengan konsep
qiyas para ulama pendahulunya. Hanya saja bedanya, al-Syafi’i memberikan
pengertian illat sebagai sifat yang jelas dan tegas (jaly) dan harus
disandarkan secara dalalah naṣ ke nas, bukan yang samar (khafi) seperti
maslahat dalam istihsan. al-Syafi’i dikenal sebagai orang yang pertama kali
merumuskan qiyas secara konseptual, meskipun secara teortis sudah ada
sejak masa Nabi. Qiyas menurutnya idenik dengan ijtihad, sebagaimana
ucapan Mu’aż bin Jabal “ajtahidu ra’yi wa la alu”. Penyamaan qiyas
dengan ijtihad ini berangkat dari anggapannya bahwa tidak ada ijtihad
menggunakan akal kecuali hanya qiyas. Oleh karena itu ia menolak metode-
metode rasio lainnya, seperti istihsān, istiṣlāh, zari’ah, dan ‘urf, kerena
menurutnya, bahwa al-Qur’an itu sudah meng-cover semua peristiwa hukum
dalam kehidupan manusia, meskipun dipahami dengan pendekatan ta’lili.
Oleh karena itu, qiyas bukan merupakan ketetapan hukum mujtahid tetapi
penjelasan terhadap hukum syara’ dalam masalah yang menjadi objek
ijtihad. Qiyas, menururtnya, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu, secara
berurutan, qiyas awlawi (dalalah an-naṣ), qiyas musawah dan qiyas dunya.
Kemudian, jika tidak dapat ditempuh dengan qiyas, maka ia mencari
qaul sahabat. Menurut satu riwayat, al-Syafi’i banyak menggunakan dalil
qaul sahabat ini dalam qaul qadimnya dan bukan dalam qaul jadidnya.
Tetapi menurut Rabi’ ibn Sulaiman bahwa ia juga menggunakan dalam qaul
jadidnya. Menurutnya qaul sahabat ini dibagi menjadi tiga, yaitu (1) qaul
sahabat yang disepakati semua sahabat lainnya (ijmak sahabat) yang
menurutnya termasuk dalil qaṭ’i yang menjadi hujjah, (2) qaul sahabat
secara perseorangan yang didiamkan oleh para sahabat lainnya atau sering
disebut ijma’ sukuti. Terhadap qaul yang terakhir ini al-Syafi’i tetap
memeganginya asal tidak menemukan dalil dalam nas dan ijmak sahabat
16
Ibid,. 81-82.
47
yang ṣarih, dan (3) qaul sahabat yang diperselisihkan ulama. Terhadap dalil
ini al-Syafi’i memilih yang lebih dekat dengan nas dan ijma’ yang
mengunggulkannya dengan qiyas, sebagaimana pendapat Abū Ḥanifah. Jika
tidak ada yang lebih dekat, maka ia mengikuti pendapat Abū Bakar, Umar,
dan Ali.
Menurut al-Syafi’i bahwa istihsan tidak menjadi hujjah. Menurutnya,
“barangsiapa yang beristihsan, maka sama halnya telah membuat syari’at”
sementara otoritas tasyri’ hanyalah di ”tangan” Tuhan. Secara terperinci ia
menyebutkan alasanya menolak istihsan: (1) ber-istihsan sama halnya
menganggap bahwa syariat ini tidak meng-cover semua masalah hukum,
sementara syari’at ini berlaku untuk semua zaman dan konteks; (2) Bahwa
ketaatan itu hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, oleh karena itu semua
hukum harus disandarkan pada semua ketetapan-Nya; (3) Nabi tidak pernah
menjelaskan hukum-hukumnya dengan istihsan tetapi dengan wahyu dan
qiyas; (4) Nabi pernah mengingkari keputusan sahabat yang menggunakan
istihsan; (5) Istihsan adalah teori hukum yang tidak ada patokan dan
ukurannya sehingga peran rasio dan hanya menambahkan metode istidlalnya
dengan qiyas dan membatasi penggunaan maslahat, ssehingga kurang dapat
mengimbangi dinamika hukum di masyarakat. akan mengantarkan pada
perselisihan; dan (6) jika istihsan diperbolehkan, maka banyak sekali hukum
ini hanya dapat diistinbāṭkan oleh orang yang berakal saja tanpa melibatkan
ahli ilmu. Tampak sekali bahwa asy-Syafi’i dalam beristidlal sangat
membatasi.17
17
Ibid,. 81-96.
48
18
Sedikit berbeda dengan al-Qur’an, dalam Bibel di mana tokoh kisah tersebut
diredaksikan dengan nama Kai dan Habel. Siti Mariatul Kiptiyah, “Kisah Qabil dan Habil dalam
Al-Qur’an: Telaah Hermeneutis”, Jurnal Al-Dzikra; Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, Vol.
13, No. 01, Juni 2019, h. 32, jurnal dipublikasikan.
19
Ada beragam cerita mengenai bagaimana Qabil melakukan pembunuhan terhadap
adiknya. Dalam suatu riwayat, Qabil memukul kepala Habil dengan batu besar ketika Habil sedang
tertidur. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Qabil memukul adiknya dengan sebuah besi.
Adapun tempatnya ada yang mengatakan di gunung Qasiun (utara Damaskus), ada pula yang
mengatakan di sebuah padang rumput, juga di hutan. Menurut Kiptiyah, beberapa riwayat tersebut
bisa diterima dan tidak perlu dipertentangkan. Sebab, jika mau mencari kevalidan datanya, perlu
melakukan jejak historis. Ibid,. 47-48.
20
Ibid,. 28.
49
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-
akan ia telah membunuh semua manusia (Q.s Al-Mā’idah: 32).21
Ayat di atas merupakan salah satu contoh kecaman Islam atas setiap
pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena, bahkan membunuh satu
jiwa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia. Karena setiap
manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan Ia merupakan anggota dari
masyarakat. Oleh karenanya, membunuh satu orang, secara tidak langsung
akan menyakiti keluarga keturunan, dan msyarakat yang hidup di
sekelilingnya.22 Bahkan dalam hadis, Islam menggolongkan pembunuhan
sebagai dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah Swt),23 sebagaimana
hadis berikut :
21
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, (Semarang: Toha Putra
Semarang, 2002), 113.
22
Hegki Ferdiansah, “Hukum Membunuh dalam Islam”. Dikutip dari Www.nuonline.com.
Diakses, Jum’ah, 18 Desember 2020, pukul 14.15 WIB S/d.
23
Lihat dalam bab II, pada sub bab “Dasar Hukum Pembunuhan”.
24
Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 4, (Bairut Libanan: Dāru Ṭūq al-Najāh, 1422 H),
10.
50
yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina” (HR.
Al-Bukhārȋ).
25
Surah al-Nisa’ ayat 1.
26
Ro’fah, dkk, Fikih Ramah Difable, (Yogyakarta: Q-Media, Cet. Ke-1, 2015), h. 93.
27
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Nurani, Vol. 13,
No. 02, Desember, 2012, 1.
28
Anton M. Moeliono, et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,
1989), 138.
29
Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, Cet. Ke-7, 2003), 1433.
30
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, (Kuwait: Dāru al-Salāsil, 1472), Cet. 2, 321.
31
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam Modern”, Jurnal At-
Taqaddum, Vol. 08, No. 02, November 2016, 151.
51
38
Ibrāhīm Unaīs, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, (t.tp: Dāru Iḥyā al-Turāts al-‘Arabī, Juz II, t.th), h.
739. Lihat pula; Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Arab-Indonesia terlengkap),
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1126.
39
Wahbah Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Perj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. 1, 304.
40
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 281.
41
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah, Al-Tasyri’ Al-Jināī Al-Islāmī, Juz 2, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-
Ilmiah, 2011), h. 154. Lihat pula dalam; Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab
Al-Imām Al-Syāfi’i, Juz 11, 415.
42
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, (Arab Saudi:
Dāru Al-Minhāj, Juz 11, 2000), 414.
53
43
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”, Jurnal Al-Mazāhib,
Vol. 05, No. 02, Desember 2017, 198.
44
Ali Sodiqin, “Fiqh Sains: Elaborasi Konsep ‘Illat Menuju Pembentukan Hukum Islam
Yang Aktual”, Jurnal Perbandingan Hukum, Vol. 01, No. 05, Oktober 2017, 2.
45
Wahbah Al-Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmȋ, Juz I, (Bairut: Dāru al-Fikr al-Mu’asir,
2013), 119.
54
46
Mohammad Hashim Kamali, Membumikan Syari’ah, Pergulatan Mengaktualkan Islam,
Penj. Miki Salman, (Jakarta: Penerbit Naura Books, 2013), 5.
47
Ide fundamental yang kerap mengawali teori hukum Islam adalah bahwa setiap aturan
hukum, ketika disampaikan oleh mujtahid, tidak dipandang sebagai pendapatnya semata,
melainkan sebagai hukum Allah, hukum yang suci dan harus ditaati, walaupun ia adalah hasil
pemikiran manusia. Lihat dalam Abdul Mun’in Saleh, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan,
Berpikir Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 93.
55
َّ فَ َم ِن ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ فَا ْنتَ ُْوا َنلَْه ِه بِ ِمثْ ِل َما ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ َواتَّد ُقوا اللَّهَ َوا ْنلَ ُموا ج
ََن اللَّه
هن ِ
َ َم َع ال ُْمتَّق
Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan
serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa (Q.s al-Baqarah: 194).48
Latar belakang turunnya ayat tersebut, diceritakan oleh Ibnu Jarȋr dari
Qatādah, katanya, "Nabi saw berangkat pada bulan Zulkaidah bersama
sahabat-sahabatnya untuk melakukan umrah lengkap dengan hewan-hewan
kurban untuk disembelih. Sesampainya di Hudaȋbiah, mereka dihalangi oleh
orang-orang musyrik, yang akhirnya membuat perjanjian dengan Nabi saw
yang isinya agar Nabi beserta pengikut-pengikutnya kembali pulang pada
tahun itu, sedangkan pada tahun berikutnya mereka boleh datang lagi, yaitu
untuk melakukan umrah tersebut. Tatkala datang waktu setahun itu, Nabi
bersama para sahabat-pun pergi ke Makkah untuk berumrah, yakni pada
bulan Zulkaidah. Mulanya orang-orang musyrik membanggakan diri karena
berhasil menghalangi kaum muslimin masuk Makkah, tetapi sekarang ini
mereka menerima hukum qiṣāṣ dari Allah Swt yang telah memasukkan
kaum muslimin itu ke Masjid al-Haram, justru pada bulan di mana mereka
pernah ditolak dulu. Allah menurunkan ayat bulan suci dengan bulan suci,
pada sesuatu yang suci itu berlaku hukum “qiṣāṣ”.49
Selain bersandar pada hal tersebut, Ia mengutip sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Baȋhaqȋ. Bahwasannya, barangsiapa yang membunuh
dengan cara dibakar maka hukumnnya dibakar pula, tetapi diperbolehkan
pula dengan menggunakan samurai, sebab alat ini dapat mempercepat
kematian atau jauh dari penyiksaan.
48
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 30.
49
Jalāl Al-Dȋn Al-Suyūṭȋ, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penj. Tiem Abdul Hayyie Al-
Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2008), 76-77.
56
ُف؛ ِِلَنَّه
ِ س لي َ ْ َولِ لل َولِ ِّي أَنل يَ لق،ف
َّ ُص بِال َّ َكال،ص بِ ِه
ِ س لي ِ صا فَ َجا َز اِ ل
َ ِسِْ ليفَا ُء ا للق
ِ أَ لو َحى َوأَ لر َو َح ِمنَ الَّْ لع ِذ لي
50
ب
Diperbolehkan mengqishos dengan menggunakan pedang atau alat
yang lain sekiranya lebih mudah untuk menghabisi atau mengeluarkan
nyawa agar tidak tersiksa. sebagaimana hadis berikut :
َّ ج،ِ َن ْن ََِّْه، َن ْن جَبِ ِهه، ِ َن ْن ِن ْم َرا َن بْ ِن يَ ِزي َْ بْ ِن الَْد َرا،َوُرِّوينَا َن ْن بِ ْش ِر بْ ِن َحا ِزم
َن النَِّ َّي
51
.)(رَواهُ اَلَْد ْهد َ ِق ْي َ َللَّس اهللُ َنلَْه ِه َو َ لَّ َ ق
َ ُ َوَم ْن غَ َّر َق غَ َّرقدْنَاه،ُ َوَم ْن َح َر َق َح َرقدْنَاه:ال َ
Diriwayatkan dari Bisyr bin Ḥāzim dari ‘Imrān bin Yazīd bin Al-Barā’ dari
ayahnya dari kakkeknya, bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa
yang membakar, maka kita membakarnya dan barangsiapa
menenggelamkan, maka kita menenggelamkannya (H.R Al-Baȋhaqȋ).
50
lihat dalam; Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i,
Juz 11, 415
51
Imam Al-Baihaqi, Sunan Kubra li Al-Baihaqi, Juz 8, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-Ilmiah,
2003), 79.
52
Al-Ṣyaūkānȋ, Naȋl Al-Aūṭār, Juz 7, (Mesir: Dāru al-Hadis, 1993), 26.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMĀM AL-IMRĀNĪ TENTANG
HUKUM MEMBAKAR ORANG HIDUP SERTA RELEVANSINYA
DENGAN KONTEKS HUKUM PIDANA DI INDONESIA
1
Tria Sutrisna, “Pembunuh yang Bakar Perempuan di Cisauk Ditangkap, Salah Satu Pelaku
Mantan Pacar Korban”, dikutip dari
Https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/11/13211271/pembunuh-yang-bakar-perempuan-
di-cisauk-ditangkap-salah-satu-pelaku?page=all, diakses, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB
S/d.
2
Eris Utomo, “Pembunuh Rosida Gadis Banyuwangi yang Tewas Dibakar Ditangkap
Polisi”, dikutip dari Https://jatim.inews.id/berita/pembunuh-rosida-gadis-banyuwangi-yang-tewas-
dibakar-ditangkap-polisi, dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.
3
Hasanal Bulkiyah, “Suami Bakar Istri di Dumai, Sempat Persiapkan Dua Botol Bensin”,
dikutip dari Https://riaupos.jawapos.com/dumai/08/07/2021/253387/suami-bakar-istri-di-dumai-
sempat-persiapkan-dua-botol-bensin.html, dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.
57
58
dan keluarganya, atau terhadap kemah yang di dalamnya adalah keluarga al-
Ḥusaȋn cucu Nabi saw di Karbala.4
Kasus sebagaimana tersebut seolah-olah nyawa manusia begitu mudah
hilang dan tidak berarti. Padahal manusia merupakan makhluk Allah Swt yang
paling mulia, Allah Swt menciptakan manusia sebagai sebaik-baiknya
makhluk. Allah menjamin segala macam hak-hak yang dibutuhkan manusia,
mulai dari hak hidup, hak kepemilikan, hak memelihara kehormatan, hak
kemerdekaan, hak persamaan, hak menuntut ilmu pengetahuan, dan hak-hak
yang lain. Hak yang paling utama dan wajib mendapat perhatian ialah “hak
hidup”. Sebab hal itu merupakan hak yang suci dan tidak seorang-pun
dibenarkan secara hukum untuk melanggar hak ini, dengan alasan apapun
yang tidak dibenarkan,5 Allah Swt berfirman :
Oleh karenanya, bagi seseorang yang melanggar hak hidup orang lain
(misalnya dengan cara dibakar hidup-hidup) maka akan diancam dengan
“hukuman qiṣāṣ”. Pembahasan tentang qiṣāṣ, dalam istilah fikih masuk dalam
pembahasan “fikih jināyah”, yaitu merupakan bagian dari fikih Islam yang
mengatur tentang hukum-hukum kriminalitas. Tindakan kriminal tersebut
dikenal dengan istilah jarȋmah, sehingga terkadang tindakan pidana dalam
4
Ahmad Rusydi Al-Aydrus, “Membakar Orang Hidup-hidup, Wajarkah ?”, dikutip dari
http://ikmalonline.com/membakar-orang-hidup-hidup-wajarkah/, dikases, Senin, 14 Juni 2021,
pukul 15.00 WIB S/d.
5
Sa’adah, Yani Handayani, “Pembunuhan Terhadap Jiwa Menurut Hukum Islam dan
Positif”, makalah Sekolah Tinggi Agama Islam Siliwangi, Garut, 2013, 1.
6
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 2002),
285.
59
Islam disebut dengan kata jarȋmah atau jināyah. Sesuai dengan namanya,
maka ruang lingkup atau objek pembahasan dari fikih jināyah adalah
perbuatan-perbuatan yang masuk kategori pidana, yaitu tindakan yang
mengganggu atau membahayakan kepentingan umum maupun individu.7
Secara strukural, fikih jināyah diderivasi dari sumber hukum Islam,
yaitu al-Qur’an dan hadis. Nas-nas (ayat-ayat) al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi
menjadi guide line (petunjuk atau garis panduan) dalam pengembangan
wilayah kajian atau muatan fikih jināyah. Dalam pemikiran para ulama fikih,
kategori fikih jināyah dibagi menjadi tiga, diantaranya yaitu qiṣāṣ-diyat. Dasar
pembagian ini adalah jenis perbuatan serta jelas tidaknya jenis hukumannya
dalam al-Qur’an maupun hadis. Hukuman qiṣāṣ-diyat adalah kategori hukum
pidana Islam yang menyangkut masalah pembunuhan dan penganiayaan atau
pelukaan.8 Hukuman yang dikenakan untuk tindak kriminal ini adalah dibunuh
(qiṣāṣ), membayar ganti rugi atau denda materiil (diyat), dan atau membayar
kafarat (sanksi teologis, seperti memerdekakan budak, puasa, atau memberi
makan kepada fakir miskin). Jenis hukuman tersebut bersifat alternatif, yang
dapat dipilih salah satunya. Penentuan hukuman pada kategori ini sangat
terkait dengan hak korban, artinya jika keluarga korban memaafkan tindakan
pembunuhan tersebut, maka gugurlah hukum qiṣāṣ-nya. Dengan kata lain,
Syari’ (Tuhan) menetapkan jenis hukuman yang dapat diberlakukan,
sedangkan penentuan jenis hukum yang dikenakan menjadi kewenangan
keluarga korban pembunuhan.9
Ketentuan tentang hukum qiṣāṣ-diyat secara kronologis didasarkan pada
nas-nas al-Qur’an. Berdasarkan periodisasi Makkiyah-Madaniyyah, ayat-ayat
yang berbicara tentang qiṣāṣ-diyat pada periode Makkah adalah surah al-Isra’
7
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 2.
8
Para Fuqaha’ membagi jenis pembunuhan menjadi tiga tingkat, yaitu pembunuhan sengaja
(’amd), semi-sengaja (’amd khaṭa’), dan tidak sengaja (khaṭa’). Perbedaan tingkatan berakibat
perbedaan hukuman yang dikenakan. Bagi pembunuhan sengaja hukumannya adalah dibunuh,
untuk semi sengaja hukumannya membayar diyat (ganti rugi) dan kafarat, sedangkan untuk
pembunuhan tidak sengaja ditebus dengan diyat dan ta’zȋr. Lihat selengkapnya dalam; Wahbah
Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Perj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), Cet. I, 546-549.
9
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”, Jurnal Al-Mazāhib,
Vol. 05, No. 02, Desember 2017, 203-204.
60
ayat 33 sebagaimana peneliti kemukakan di atas dan surah al-Syura ayat 40,10
sedangkankan yang turun pada periode Madinah adalah surah al-Baqarah ayat
178,11 179,12 surah al-Nisa’ ayat 92,13 93,14 dan surah al-Maidah15 ayat 45.16
Ayat-ayat tentang qiṣāṣ-diyat tersebut mengindikasikan adanya lima tahapan
dalam proses inkulturasinya (sebagai penyisipan ke dalam suatu kebudayaan-
10
َبِ إِنَّ تهُ َن يُ ِ تتب ال َّتتالِ ِمين َّ ْ تلَ َع فَتته َ لج ُرهُ َعلَتتى س تيِّ َ ل ِم لالُ َمتتا فَ َمتتنل َعفَتتا َوأَ ل َ س تيِّ َ ي
َ ( َو َج تزَا ُءDan balasan suatu
kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik
“kepada orang yang berbuat jahat” maka pahalnaya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai
orang-orang zalim, Q.s al-Syura: 40). Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 487.
11
اص فِي ا للقَ لْلَى ا لل ُ ر بِا لل ُ ِّر َوا لل َع لب ُد بِا لل َع لب ِد َو لاِلُ لناَى بِ لتاِلُ لناَى فَ َمتنل ُعفِت َي لَتهُ ِمتنل أَ ِخيت ِه ُ ص َ ِب َعلَ لي ُك ُم ا للق َ ِْيَا أَي َما الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُك
َ
اب ألِتي لم سا ين َذلِ َك ت لَخفِيفل ِمنل َربِّ ُك لم َو َر لح َم ل فَ َم ِن ا لعَْدَى بَ لع َد َذلِ َك فَلَتهُ عَتذ ل
َ َ وف َوأَدَا لء إِلَ لي ِه بِإ ِ لح َي لء فَاتِّبَا ل
ِ ع بِا لل َم لع ُر ( ش لWahai orang-
orang yang beriman!, Diwajibkan atas kamu “melaksanakan” qisas berkenaan dengan orang
yang dibunuh. Orang merdeka dengan dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba
sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya,
hendaklah ia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat “tebusan” kepadanya dengan baik
“pula”. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhamu. Barang siapa melampui
batas stelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih, Q.s al-Baqarah: 178). Al-Qur’an
Al-Karim dan Terjemahannya, 27.
َب لَ َعلَّ ُكت لم تََّْقُتون ِ ص َحيَاةل يَا أُولِتي لاِلَ للبَتا َ ِ( َولَ ُك لم فِي ا للقDan dalam qisas itu ada “jaminan” kehidupan
12
ِ صا
bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa, Q.s al-Baqarah: 179). Al-Qur’an
Al-Karim dan Terjemahannya, 27.
13
ستلَّ َم ل إِلَتى أَ لهلِت ِه إِ َّن أَنل َ َو َمتا َكتانَ لِ ُمتِل ِم ين أَنل يَ لقُْت َ ُمِل ِمنًتا إِ َّن َخوَته ً َو َمتنل قََْت َ ُمِل ِمنًتا َخوَته ً فََْ ل ِريت ُر َرقَبَت ي ُمِل ِمنَت ي َو ِديَت ل ُم
ستلَّ َم ل إِلَتى أَ لهلِت ِه م
َ ُ َِ لل تي دَ ف ق تاَ ا ي ِ ص َّدقُوا فَإِنل َكانَ ِمنل قَ لو يم َع ُد ٍّو لَ ُك لم َو ُه َو ُمِل ِمنل فََْ ل ِري ُر َرقَبَ ي ُمِل ِمنَ ي َوإِنل َكانَ ِمنل قَ لتو يم بَ ليتنَ ُك لم َوبَ لي ُ ل
م م م َ ن ت َّ َي
بُ َعلِي ًمتا َح ِكي ًمتا َّ َبِ َو َكتان َّ َصتيَا ُم شَت لم َر لي ِن ُمََْْتابِ َع لي ِن ت لَوبَت ً ِمتن ِ َ( َوتَ ل ِريت ُر َرقَبَت ي ُمِل ِمنَت ي فَ َمتنل لَت لم يَ ِجت لد فDan tidak patut bagi
seorang yang beriaman membunuh seorang yang beriman “yang lain”, kecuali karena tersalah
“tidak sengaja”. Barang siapa membunuh orang karena tersalah “hendaklah” dia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta “membayar” tebusan yang diserahkan kepada
keluarganya “si terbunuh itu”, kecuali jika mereka “keluarga terbunuh” membebaskan
pembayaran. Jika ia “si terbunuh” dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang yang
beriman, maka “hendaklah si pembunuh” memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika
ia “si terbunuh” dari kaum “kafir” yang ada perjanjian “damai” antara mereka dan kamu, maka
“hendaklah si pembunuh” membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya “si terbunuh”
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak menemukan “hamba
sahaya”, maka hendaklah dia “si pembunuh” berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat
kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana, Q.s al-Nisa: 72). Al-Qur’an Al-
Karim dan Terjemahannya, 93.
14
بُ َعلَ ليت ِه َولَ َعنَتهُ َوأَعَت َّد لَتهُ عَت َذابًا َع ِ ي ًمتا َّ تب ِ ََ ( َو َمنل يَ لقُْ ل ُمِل ِمنًا ُمَْ َع ِّمتدًا فَ َجتزَا ُههُ َج َمتنَّ ُم َخالِتدًا فِي َمتا َوDan barang
َ َّللا
siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka
Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan
azab yang besar baginya, Q.s al-Nisa: 93). Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 93.
َ ف َو لاِلُ ُذنَ بِ لتاِلُ ُذ ِن َوالسِّتنَّ بِالسِّتنِّ َوا لل ُجت ُر ِ س َوا لل َعيلنَ بِا لل َع لي ِن َو لاِلَ لنفَ بِ لاِلَ لن
ِ س بِالنَّ لف َ َو َكَْ لبنَا َعلَ لي ِم لم فِي َما أَنَّ النَّ لف
15
تاص
ص ل َ ِوح ق
َبُ فَهُولَ ِت َك هُت ُم ال َّتالِ ُمون َّ َ ق بِ ِه فَمُ َو َكفَّتا َرةل لَتهُ َو َمتنل لَت لم يَ ل ُكت لم بِ َمتا أَ لنت َز َ َ( فَ َمنل تKami telah menetapkan bagi mereka
َ ص َّد
didalamnya “Taurat” bahwa nyawa “dibalas” dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka “pun” ada qisasnya “balasan yang
sama”. Barang siapa melepaskan “hak qisasnya”, maka itu “menjadi” penebus dosa baginya.
Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah , maka mereka itulah
orang-orang zalim, Q.s al-Maidah: 45). Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 115.
16
Selengkapnya lihat dalam; Ali Sodiqin, Hukum Qisas, Dari Tradisi Arab Menuju Hukum
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010).
61
17
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat ini turun setelah ayat tentang larangan membunuh anak
dan larangan berbuat zina. Lihat dalam; Wahbah al-Zuhaili, Tafsȋr al-Munȋr fȋ ‘Aqȋdah wa al-
Syari’ah wa al-Manhaj, Juz 15, (Bairut: Dāru al-Fikr al-Ma’asir, 1998), 70.
18
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat ini turun setelah ayat tentang larangan membunuh anak
dan larangan berbuat zina. Lihat dalam; Wahbah al-Zuhaili, Tafsȋr al-Munȋr fȋ ‘Aqȋdah wa al-
Syari’ah wa al-Manhaj, Juz 15, (Bairut: Dāru al-Fikr al-Ma’asir, 1998), 70.
19
Rasyid Rida, Tafsȋr al-Qur’an al-‘Azȋm al-Ma’rūf bi Tafsȋr al-Manār, Juz 2, (Bairut:
Dāru Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2002), 287
20
Lihat selengkapnya dalam; Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-
Imām Al-Syāfi’i, Juz 11, (Arab Saudi: Dāru Al-Minhāj, 2000), 295 dan seterusnya.
21
Ibid,. 414.
62
hukum qiṣāṣ terdapat dua pihak yang berperan, yaitu Syāri’ (yang diartikan
pembuat hukum), dan Mujtahid22 (yang berfungsi sebagai penjelas hukum).
Syāri’ memiliki otoritas membuat hukum yang menjadi sumber peraturan
hukum manusia. Hukum dari Syāri’ berupa wahyu yang mutlak kebenarannya
dan universal keberlakuannya.
Dalam konteks ini, maka wujud aturan hukum yang berupa wahyu
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yang keduanya disebut dengan law in
book. Mujtahid berperan sebagai pihak yang mengungkap dan menjelaskan
aturan Syāri’, yang tentu produknya tidak setara dengan wahyu. Aturan
hukum yang dihasilkan mujtahid bersifat relatif dan partikular yang mewujud
dalam keragaman pendapat ulama. Aturan hukum hasil kajian mujtahid lebih
aplikatif dan disebut dengan law in action. Oleh sebab itu, dalam realitas
keberagamaan, produk hukum mujtahid inilah yang menjadi pedoman umat
Islam dalam menjalankan ajaran agamanya. Dari aspek penetapan hukum
Islam, peran manusia (mujtahid) lebih dominan, karena memiliki kewenangan
22
Posisi Imām Al-Imrānȋ sendiri sebagai “Mujtahid Mutlak Ghaȋr Al-Musytaqil”. Al-
Zuhaili mengemukakan tingkatan mujtahid menurut al-Suyūṭȋ, ibnu al-Ṣalah dan al-Nawāwȋ yang
membaginya ke dalam lima tingkatan; Pertama, al-Mujtahid al-Mustaqil, yaitu mujtahid yang
mendirikan fikih atas dasar metode dan kaidah yang ditetapkannya sendiri. Imam empat adalah
contoh mujtahid yang tergolong dalam kategori ini. Kedua, al-Mujtahid al-Muthlaq Ghair al-
Mustaqil, ialah mujtahid yang mencakup kriteria (syarat-syarat) berijtihad tetapi metode yang
digunakannya terikat pada imam yang dianutnya. Mujtahid level ini, walaupun terikat pada salah
satu metode mazhab dalam melakukan ijtihad, ia tidak terpengaruh oleh Imam Mazhab tersebut.
Dengan kata lain, ia adalah tingkatan mujtahid yang memiliki fikih sendiri, tetapi tidak memiliki
uṣūl fiqh. Contoh mujtahid' dafam tingkatan ini, antara lain, Abū Yusūf (113-183 H), Muḫammad
(132-189 H), dan Zufar (110-157H), pengikut Abū Hanȋfah; Ibn al-Qāsim (w. 191 H) dan Asyhab
(140-204 H) dari pengikut Malik, al-Buwaiṭȋ (w. 231 H), al-Za'farani (w. 306 H), al-Muzānȋ (175-
264 H) dari kalangan pengikut al-Syafi'i dan lain sebagainya. Ketiga, al-Mttjtahid al-Muqayyad
atau al-Mujtahid al-Takhrȋj, yaitu seseorang yang telah memenuhi kriteria berijtihad dan mampu
menggali hukum dari sumbernya. Walaupun ia mujtahid yang tidak menginginkan keluar dari
dalil-dalil dan pandangan imamnya, namun ia tetap berupaya meng-istinbaṭ-kan hukumnya.
Mujtahid dalam katagori ini boleh disebut juga dengan mujtahid fi al-Mazhab. Di antara mujtahid
yang tergolong pada peringkat ini ialah; Ḥasan ibn Ziyad (w. 240 H.), al-Karkhȋ (260-340 H), al-
Sarakhsȋ (w. 418 H) dari mazhab Hanafi; al-Abhari (w 395 H.) dan Ibn Abi Zaid (w. 386 H) dari
mazhab Maliki; Abū Isḫāq al-Syirazȋ (w. 476 H.) dan al-Mawardi (w. 462 H.) dari mazhab Syafi'i.
Keempat, Mujtahid al-Taryib, yaitu pakar fikih yang dengan sungguh-sungguh mempertahankan
mazhab imamnya dengan mengetahui konstelasi pandangan imamnya, dan mampu men-tarjȋḫ-kan
pendapat yang kuat dari imam dan pendapat-pendapat yang terdapat dalam mazhabnya. Kelima,
Mujtahid al-Fatwa, ialah pakar fikih yang berusaha memelihara mazhabnya, mengembangkan dan
mengetahui seluk beluknya serta mampu memberikan fatwa dalam koridor yang telah ditetapkan
oleh Imam Mazhabnya, tetapi tidak mampu ber-istidlal. Lihat selengkapnya dalam; Fauzul Iman,
“Ijtihad dan Mujtahid”, Jurnal Al-Qalam, Vol. 21, No. 100, Januari-April, 2014, 3-4.
63
23
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”, 207-208.
24
Muḫammad Abū Ḥasan, Aḫkām Al-Jarȋmah wa ‘Uqūbah Fi Al-Syari’ah Al-Islāmiyah,
Dirāsah Muqāranah, (Ardan: Maktabah al-Manār, 1987), 171.
25
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), 1126. Lihat pula dalam; Ibrāhīm Unaīs, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, Juz II, 739.
64
kesepadanan”.26 Ibn Mandhūr menyebutkan, “ القِصتاص هُت َو أَن يَ لف َعت َ بِت ِه ِم لات َ فِ لعلِت ِه ِمتنل
”قَ لْت ي, yaitu suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk
tindak pidana yang dilakukan, seperti membunuh dibalas dengan
membunuh.27 Demikian pula apabila si pembunuh membunuh si terbunuh
dengan mambakarnya (yang dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja).
Apabila demikian maka pembunuh dibunuh dengan cara dibakarnya pula,
tetapi boleh dengan menggunanakan alat lain, seperti “pedang”, kata Al-
Imrānȋ.
Penerapan hukuman qiṣāṣ terhadap “pembunuhan sengaja memerlukan
persyaratan yang ketat. Para ulama menyebutkan beberapa ketentuan yang
terkait dengan pembunuh, orang yang dibunuh, dan pembunuhan itu sendiri.
Ketiga unsur tersebut harus terpenuhi sebagai syarat untuk dapat dijatuhkan
hukuman qiṣāṣ. Pembunuh yang dikenai qiṣāṣ harus sudah baligh, berakal,
sengaja membunuh, dan dalam keadaan tidak terpaksa.28 Penentuan terhadap
syarat ini menjadi kewenangan hakim.29 Syarat ini tidak langsung menjadikan
pembunuhnya diqiṣāṣ, tetapi bergantung pada ketentuan yang berlaku
terhadap korban. Korban pembunuhan harus memenuhi syarat terlindung
darahnya, bukan bagian keluarga pembunuh, dan bukan milik pembunuh.
Orang yang terlindung darahnya adalah orang Islam yang tidak melakukan
zina muhsan.30 Sehingga apabila korban pembunuhan adalah pelaku zina
muhsan, atau orang murtad (keluar dari agama Islam), maka pembunuhnya
tidak dihukum qiṣāṣ.31
26
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, 589.
27
Jamāluddin ibn Mandhūr, Lisān Al-‘Arab, Juz VII, (Bairut: Dāru Ṣādir, 1414), Cet. 3, 76.
28
Mengenai syarat tersebut lihat dalam al-Syafi’i, Al-Umm, Juz VII, h. 17. Ibn ‘Ābidȋn
mensyaratkan mukallaf dan berakal, lihat dalam Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-
Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X (Bairut: Dāru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 162.
29
Ibn Ḥazm, Al-Muḫallā bi al-Aṣar, Juz X, (Bairut: Dāru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), 216.
30
Di kalangan fuqaha terdapat perbedaan terhadap korban zina muhson, apakah pelakuknya
diqiṣāṣ atau tidak. Ulama Ḥanābilah pelakunya tidak diqiṣāṣ, sedangkan menurut ulama Syāfi’iyah
terbelah menjadi dua, sebagian berpendapat bahwa pelakunya tetap diqiṣāṣ dan sebagian yang lain
berpendapat tidak. Lihat dalam Muḫammad Maḫmūd Bakar, al-Fiqh al-Jinā'i al-Islāmȋ fi Daū al-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Dāru al-Kutub al-Ilmiah, 2015), 43.
31
Dasar dari ketentuan ini adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhārȋ Muslim dari
Abdullah Ibn Mas’ūd yang artinya: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulullah, kecuali karena tiga hal: laki-laki yang sudah
berkeluarga yang berzina, pembunuh di luar hak, dan orang yang murtad”.
65
32
Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat. Abū Ḥanȋfah, Al-Syafi’i, dan Aḫmad
Ibn Ḥanbal berpendapat bapak tersebut tidak dibunuh, tetapi Imām Mālik menetapkan bahwa
bapak tersebut dikenai hukuman qiṣāṣ. Lihat dalam Abdul Khāliq Nawawi, Jarāim al-Qatl fi al-
Syari’ah al-Islāmiyah wa al-Qanūn al-Wad’ȋ, (Bairut: Mansyurah al-Maktabah al-Isyriyah, 1980),
h. 64.
33
Dasarnya adalah hadis: “orang tua tidak diqiṣāṣ karena membunuh anaknya”, dan juga
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan”.
34
Imām Al-Sarkhasī, Al-Mabsūṭ li al-Syamsuddīn al-Sarkhasī, Juz 10, (t.tp: Darul Kutub
al-Ilmiyah, t.th), 129-130.
35
Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X, h.
164.
36
Imām Al-Syafi’i, Al-Umm, Juz VII, 72.
37
Hadis tersebut berbunyi: “Bahwa seorang laki-laki telah membunuh hambanya dengan
memenjarakannya dengan sengaja. Maka Nabi menjilidnya sebanyak seratus kali, membuangnya
selama setahun, dan menghapus sahamnya dari kaum muslimin. Akan tetapi beliau tidak
mengqiṣāṣnya, beliau memerintahkannya agar ia membebaskan hamba sahaya”.
66
38
Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X,
164.
39
Kewajiban qiṣāṣ ditetapkan atas dasar Islam (muslim) dan aman (kafir zimmi dan
musta’man). Lihat dalam Syamsuddȋn Muḫammad Ibn Muḫammad al-Khāṭib al-Syarbinȋ, Mugni
al-Muhtāj, Juz V (Bairut: Dāru al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h. 229, Ibn Ḥazm, Al-Muḫallā bi al-
Aṣar, Juz X, 230.
40
Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X,
165.
41
Jenis pembunuhan dengan syarat maksudnya adalah jika seseorang membuat sesuatu
yang menyebabkan orang lain terbunuh, meskipun si pembuatnya tidak bermaksud demikian.
Contohnya seseorang yang membuat sumur dan tidak ditutupi kemudian ada orang yang terjatuh
ke dalamnya dan meninggal. Pemilik sumur dianggap memiliki keterkaitan dengan korban yang
meninggal tersebut, karena kelalainnya menutup sumur miliknya.
42
Pembunuhan dengan sebab adalah pembunuhan yang tidak disengaja oleh pelakunya,
dalam arti sejak awal dia tidak memiliki tujuan membunuh korban. Namun tindakannya dianggap
menjadi sebab terjadinya pembunuhan. Seperti jika seseorang melempar binatang tetapi kemudian
mengenai manusia dan mati, maka dia dianggap menjadi penyebab terjadinya pembunuhan
tersebut.
67
43
Imām Al-Sarkhasī, Al-Mabsūṭ li al-Syamsuddīn al-Sarkhasī, Juz 10, 69.
44
Lihat dalam Paizah Haji Ismail, Undang-undang Jenazah Islam, (Selanggor: Dewan
Pustaka Islam, 1996), 117.
45
Abū Ishāq Ibrāhīm bin ‘Ali bin Yūsuf al-Syirāzī, al-Muhaẓẓab fi Fiqh al-Imām al-Syafi’i,
Tahqiq Muḥammad al-Zuahili, Juz 5, (Damaskus: Dāru al-Qolam, 1996), Cet. Ke-I, h. 27. Lihat
pula dalam; Ibn Qudāmah, al-Kāfī fi Fiqh al-Imām Aḥmad, Juz 7, (Bairut: Dāru al-Kutub al-
Ilmiah, 1994), Cet. I, 645.
46
Orang yang membunuh karena terpaksa tidak dapat dijatuhi hukuman qiṣāṣ. Lihat dalam;
Abdul Ḥāmid Maḫmūd Tahamazȋ, al-Fiqh al-Ḥanafȋ fi Saūbih al-Jadȋd, Juz III, (Bairut: Dāru al-
Syamsiyah, 2000), 324.
68
47
Mohamed S. El-Awa, Punishment in Islamic Law: A Comparative Study (Indianapolis:
American Trust Publications, 2000), 69.
48
Abū Ishāq Ibrāhīm bin ‘Ali bin Yūsuf al-Syirāzī, al-Muhaẓẓab fi Fiqh al-Imām al-Syafi’i,
Juz 5, 50.
49
Yusrā Ibrāhim Abū Sa’dah, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi al-Fiqh al-Islamȋ, Dirāsah
Muqāranah, (Riyadh: Dāru al-Wataniyah al-Su’udiyah li al-Nasyri wa al-Tauzi’, 1980), 71-76.
69
50
Jika walȋ al-dam masih belum dewasa, menurut fuqaha pelaksanaan hukumannya
menunggu sampai dia sudah dewasa atau menyerahkannya kepada qadi. Lihat dalam Aḫmad Fatḫi
Bahnasȋ, Al-Qiṣāṣ fi Fiqh al-Islamȋ, (Kairo: Maktabah al-Anjilu al-Misriyah, 1969), 157.
51
Yusrā Ibrāhim Abū Sa’dah, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi al-Fiqh al-Islamȋ, Dirāsah
Muqāranah, 83.
52
Abdullah Alȋ al-Rakban, Al-Qiṣāṣ fi al-Nafs, (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1981), 115.
70
53
Syarat qasamah antara lain: (1) jumlah orang yang bersumpah minimal 50 orang, (2)
terdiri dari laki-laki yang berakal, (3) Dilakukan setelah terjadi penuntutan oleh wali korban, (4)
Terdapat bekas pembunuhan pada korban, (5) Tidak diketahui pembunuhnya, (6) Pembunuhan
terjadi di tempat yang terbuka. Lihat dalam Abdul Ḥāmid Maḫmūd Tahamazȋ, al-Fiqh al-Ḥanafȋ fi
Saūbih al-Jadȋd, Juz III, 383.
54
Yusrā Ibrāhim Abū Sa’dah, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi al-Fiqh al-Islamȋ, Dirāsah
Muqāranah, 103-124.
55
Para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya kafarat bagi pembunuhan sengaja.
Ulama Ḥanāfiyah, Mālikiyah, Zahiriyah, dan sebagian Ḥanābilah berpendapat bahwa tidak wajib
kafarat. Cukup baginya bertobat dan memperbanyak amal salih. Ulama Syāfi’iyah, Syiah
Zaidiyah, Imāmiyah, dan sebagian Ḥanābilah menyatakan harus membayar kafarat. Selengkapnya
lihat dalam Ḥasan Maḫmūd Muḫammad, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi Fiqh al-Islam, (Kuwait:
Muassasah Dāru al-Kitab, 1994), 266-269.
56
Imām Mālik, Al-Muwaṭṭa, (Bairut: Dāru al-Kutub al-Ilmiah, 2000), 548.
71
57
Hajar M, Model-model Pendekatan dalam Penelitian Hukum dan Fiqih, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2017), Cet. I, 71.
58
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Persepektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2009), Cet. 2, 50.
59
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),
Cet. I, 10-11.
60
Ibid,.
61
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 5,
58.
72
62
Topo Santoso, Op,. Cit,. 12.
63
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1994), 74.
64
Indonesia cenderung menerapkan sistem hukum Eropa Continental dengan landasan
Pasal 102 UUD 1950 dan UU No. 14 Tahun 1970, namun tetap mengakui hukum tak tertulis. Lihat
Zulfa Joko Basuki, “Mazhab Sejarah dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Hukum Nasional
Indonesia”, dalam Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 40.
73
tertulis bersifat statis, tidak dapat dengan leluasa mengikuti laju pertumbuhan,
perkembangan dan perubahan masyarakat yang harus diembannya.65
Di Indonesia terdapat beberapa kitab hukum produk kodifikasi, salah
satu bidang hukum itu adalah “hukum pidana”. Hukum pidana ialah hukum
yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dalam hukum pidana Indonesia,
dikenal dengan adanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht) atau yang sering disebut dengan KUHP, merupakan pokok dari
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum pidana yang
berupa “pelanggaran dan kejahatan” terhadap norma-norma hukum mengenai
kepentingan umum yang berlaku di Indonesia. KUHP dibuat oleh Badan
Legislatif yang tertinggi dan sesuai dengan asas unifikasi hukum.66
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat dengan (KUHP)
merupakan kumpulan peraturan yang mengatur tentang perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku. KUHP merupakan hukum pidana materiil yang berisi tentang:
perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman, siapa siapa yang dapat
dihukum atau dimintai pertanggungjawaban pidana, dan hukuman apa yang
dapat dijatuhkan.67 Dengan demikian, suatu perbuatan dapat dikatakan tindak
pidana jika diatur dalam KUHP. Demikian hal-nya dengan tindak pidana
“pembunuhan”.
Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam perbuatan yang diatur
dalam KUHP, yaitu pada Buku Kedua Bab XIX tentang kejahatan terhadap
nyawa. Untuk membuktikan adanya tindak pidana pembunuhan harus
memenuhi unsur obyektif, yaitu: adanya tingkah laku seseorang, baik positif
(berbuat sesuatu) maupun negatif (tidak berbuat sesuatu), adanya akibat yang
menjadi syarat mutlak delik (hilangnya nyawa), adanya sifat melawan hukum
65
Ibid,. 103.
66
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), 23.
67
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. 2, 6.
74
68
Soeharto RM, Hukum Pidana Materiil, Unsur Unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 27-55.
69
Dwija Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2009), Cet. 2, 7.
70
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), 12.
71
Ibid,. 16.
75
72
Tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati adalah: makar membunuh kepala
negara (Pasal 104); mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (Pasal 111 ayat 2); memberi
pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (Pasal 124 ayat 3); membunuh kepala
negara sahabat, (Pasal 140 ayat 1); pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu (Pasal 140 ayat 3
); pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau
dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang berluka berat atau mati
(Pasal 365 ayat 4); pembunuhan berencana (Pasal 340); pembajakan di laut, di pesisir, di pantai,
dan kali sehingga ada orang mati (Pasal 444); dalam waktu perang menganjurkan huru-hara,
pemberontakan, dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara (Pasal
124 bis); dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (Pasal 127
dan 129); pemerasan dengan pemberatan (Pasal 368 ayat 2).
73
Pidana penjara seumur hidup diberlakukan pada tindak pidana pembunuhan dengan
penga niayaan dan pembunuhan berencana. Pembunuhan denganpenganiayaan dan perampasan,
sebagaimana diatur dalam pasal 339 KUHP, dijatuhi hukuman minimal 20 tahun dan maksimal
pidana penjara seumur hidup. Pembunuhan berencana (pasal 340) ancaman hukumannya adalah
maksimal pidana mati.
74
Letezia Tobing, “Jerat Hukum Bagi Pembakar Orang”, dikutip dari
Https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5292962f27a9b/jerat-hukum-bagi-pembakar-
orang, diakses, Selasa, 01 Juni 2021, pukul 20.00 WIB S/d.
76
75
Ibid.
76
Ibid.
77
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, (Arab Saudi:
Dāru Al-Minhāj, Juz 11, 2000), 414-415.
77
78
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Al-Mazāhib,
Vol. 05, No. 02, Desember 2017, h. 203-204, dipublikasikan.
79
Ali Sodiqin, “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan: Perspektif Hukum
Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 49, No. 01,
2015, 67.
80
Lihat dalam Naṣr Farid Wasil, al-Fiqh al-Jinā’ȋ al-Muqāran fi al-Tasyri’ al-Islām,
(Kairo: Maktabah al-Safa, 2000), h. 150, Maḫmūd Bakar, al-Fiqh al-Jinā’ȋ, h. 178, dan Aḫmad
Muḫammad al-Husairi, al-Qiṣāṣ, al-Diyat, al-‘Isyan al-Muṣallah fi al-Fiqh al-Islām (Kairo:
Maktabah Kulliyah al-Azhar, 1973), 634.
81
Ali Sodiqin, “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan..., 68.
78
84
Cakupan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penetapan hukum meliputi segala
manfaat terkait dengan dunia dan akhirat, terkait individu dan masyarakat, material, moral dan
spiritual, serta yang terkait dengan generasi masa kini maupun masa depan. Lihat dalam
Muhammad Hashim Kamali, Membumikan Syari’ah, Pergulatan Mengaktualkan Islam, Penj. Miki
Salman, (Jakarta: Penerbit Moura Books, 2013), 175.
85
Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition (Colorado,
USA: Westview, 2004), 332.
86
Restorative Justice mengansumsikan bahwa kejahatan berkaitan dengan hubungan
pribadi antara masyarakat, dan tidak termasuk masalah publik yang harus diambil alih oleh negara.
Lihat dalam Mutaz M. Qafisheh, “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to
the Global System”, Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 07 Issue 1 Januari-Juni, 2012, 487.
87
Achmad Gunaryo, “Dari Rule of Law Menuju Rule of Social Justice”, dalam Ahmad
Gunawan dan Mu’ammar Ramdhan, Menggagas Hukum Progressif di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo, 2012), 36-37.
80
88
Analisis komparatif antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana Indonesia dalam
penerapan restorative justice dapat dilihat di Ali Sodiqin, “Restorative Justice dalam Tindak
Pidana Pembunuhan Perpektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam” dalam Asy-
Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 49 No. 1 Juni 2015, 63-100.
89
Pendekatan restoratif pada hakikatnya memberikaan perhatian yang lebih berimbang
pada hak dan kepentingan pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat. Lihat dalam Natangsa
Surbakti, Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiris, Teori, dan Kebijakan, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2015), 84.
81
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan akhir pembahasan tentang “Hukum Membakar
Orang Hidup Perspektif Imām Al-‘Imrānī, peneliti dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-‘Imrānȋ menyatakan, pembunuhan dengan cara membakar manusia
hidup-hidup diklasifikasikan sebagai “pembunuhan sengaja”, yaitu si
pembunuh memang sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
kematian. Oleh karenanya, dikenai hukuman “qiṣāṣ”, yakni si pembunuh
dibunuh dengan cara dibakarnya pula, tetapi boleh dengan menggunanakan
alat lain, seperti “pedang”. Penerapan hukuman “pembunuhan sengaja” ini
memerlukan persyaratan, baik bagi si pembunuh, orang yang dibunuh, dan
pembunuhan itu sendiri. Pembunuh yang dikenai qiṣāṣ harus sudah baligh,
berakal, sengaja membunuh, dan dalam keadaan tidak terpaksa. Korban
pembunuhan harus memenuhi syarat terlindung darahnya, bukan bagian
keluarga pembunuh, dan bukan milik pembunuh. Kemudian, penyelesaian
terhadap masalah ini tergantung kesepakaan antara dua pihak, yaitu pelaku
dan keluarga korban. Namun kewenangan memutuskan hukuman qiṣāṣ
berada di tangan hakim. Aargumentasinya berdasarkan perintah Allah dalam
surah al-Baqarah ayat 194 dan perintah Nabi saw “Barang siapa yang
membakar, maka kita membakarnya”.
2. Menurutnya, hukuman bagi pembakar orang, yaitu si pelaku dijatuhi
hukuman qiṣāṣ (hukuman sepadan), dan atau memberikan balasan kepada
pelaku sesuai dengan perbuatannya. Apabila si terbunuh dibunuh dengan
cara dibakar, maka si pembunuh, dihukum dengan cara dibakar pula, tetapi
apabila didapati alat lain yang lebih cepat menghabisi nyawa, maka boleh
digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana
tidak terlalu lama yang eksekusinya sepenuhnya diserahkan kepada negara.
Sementara, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pelakunya dapat
82
83
dijerat dengan menggunakan Pasal 187, 338 dan Pasal 340, yaitu pelaku
dapat dijatuhi hukuman “mati” dan atau pidana penjara selama 15-20 tahun.
Dengan demikian, pendapatnya Al-Imrānȋ relevan dengan konteks hukum di
Indonesia, sebab keduanya menerapkan hukuman “mati”.
B. Saran-saran
Setelah peneliti menguraikan serta menganalisisnya terkait dengan
“Hukum Membakar Orang Hidup Perspektif Imām Al-‘Imrānī”, peneliti dapat
memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Pembunuhan dapat menghancurkan tata nilai hidup yang telah dibangun
oleh kehendak Allah Swt dan sekaligus merampas hak hidup korban, dapat
mengakibatkan permusuhan dengan keluarga korban bahkan tidak menutup
kemungkinan dapat mengganggu kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan
keluarga. Oleh karenanya, aparat hukum sebagai penegak hukum dapat
memberikan sanksi seberat-beratnya, tidak tumpul ke bawah hanya karena
“ada uang- penyuapan”.
2. Apapun alasannya, membunuh manusia dengan cara dibakar hidup-hidup
merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi, bahkan Allah Swt
melarang keras “haram”, membunuh hewan dengan cara membakarnya.
Oleh karena itu, pelakunya pantas mendapatkan hukuman setimpal, sesuai
apa yang diperbuatnya.
3. Sebaiknya, bagi siapapun agar lebih berhati-hati dalam berteman, khususnya
berteman melalui media sosial, sebab berdasarkan informasi media sosial,
banyak pembunuhan yang yang dilakukan seseorang yang dikenalnya
melalui media sosial, misalnya melalui Face Book, Instragam, dan lain
sebagainya.
84
C. Kata Penutup
Alhamdulilah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat sang pencipta
alam ini, Allah Swt yang telah memberikan kenikmatan-kenikmatan, lebih-
lebih kenikmatan memperoleh Ilmu yang insya Allah penuh barakah dan
manfaat ini, serta hidayah, inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tulisan yang sederhana ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu atas selesainya skripsi ini. Meskipun penulis menyadari masih
ada kekurangan, kesalahan, kekhilafan dan kelemahan, namun penulis tetap
berharap, bahwa semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
serta pembaca pada umumnya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt,
kekurangan pastilah milik kita, dan hannya kepada Allah-lah penulis memohon
petunjuk dan pertolongan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).
‘Ābidȋn, Ibn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-
Abṣār, Juz X (Bairut: Dāru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994).
Al-Himām Al-Ḥanafī, Ibn, Fatḥ Al-Qadīr, Juz 8, (t.tp: Dāru Al-Fikr, t.th).
82
Al-Aydrus, Ahmad Rusydi, “Membakar Orang Hidup-hidup, Wajarkah ?”,
dikutip dari http://ikmalonline.com/membakar-orang-hidup-hidup-
wajarkah/, dikases, Senin, 14 Juni 2021, pukul 15.00 WIB S/d.
Al-Suyūṭȋ, Jalāl Al-Dȋn, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penj. Tiem Abdul
Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Al-Syirāzī, Abū Ishāq Ibrāhīm bin ‘Ali bin Yūsuf, al-Muhaẓẓab fi Fiqh al-
Imām al-Syafi’i, Tahqiq Muḥammad al-Zuahili, Juz 5, (Damaskus:
Dāru al-Qolam, 1996), Cet. Ke-I.
Al-Zuhaili, Wahbah, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmȋ, Juz I, (Bairut: Dāru al-Fikr al-
Mu’asir, 2013).
Bukhārī, Imām, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 4, (Bairut Libanan: Dāru Ṭūq al-
Najāh, 1422 H).
Bulkiyah, Hasanal, “Suami Bakar Istri di Dumai, Sempat Persiapkan Dua
Botol Bensin”, dikutip dari
Https://riaupos.jawapos.com/dumai/08/07/2021/253387/suami-
bakar-istri-di-dumai-sempat-persiapkan-dua-botol-bensin.html,
dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989).
Iman, Fauzul, “Ijtihad dan Mujtahid”, Jurnal Al-Qalam, Vol. 21, No. 100,
Januari-April, 2014, h. 3-4, dipublikasikan.
Kiptiyah, Siti Mariatul, “Kisah Qabil dan Habil dalam Al-Qur’an: Telaah
Hermeneutis”, Jurnal Al-Dzikra; Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Hadits, Vol. 13, No. 01, Juni 2019, h. 32, dipublikasikan.
Moeliono, Anton M., et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
pustaka, 1989).
Moh. Khasan, “Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum dalam Asas Legalitas
Hukum Pidana Islam”, Jurnal Media Pembinaan Hukum Nasional,
Vol. 06, No. 01, April 2017, h. 65, dipublikasikan.
Mājah, Ibn, Sunan Ibn Mājah, Juz 2, (Bairut: Dāru Iḥyā’ Al-Kutub Al-
‘Arabīyah, 1987).
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), Cet.
Ke-I, h. 3.
Ro’fah, dkk, Fikih Ramah Difable, (Yogyakarta: Q-Media, 2015), Cet. Ke-I.
Unaīs, Ibrāhīm, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, Juz 2, (t.tp: Dāru Iḥyā al-Turāts al-
‘Arabī, t.th).
Qudāmah, Ibn, al-Kāfī fi Fiqh al-Imām Aḥmad, Juz 7, (Bairut: Dāru al-
Kutub al-Ilmiah, 1994), Cet. Ke-I.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama : Muhammad Sohib Aziz
2. Tempat, tanggal, : Pati, 30 Desember 1996
lahir
3. Alamat Rumah : Jl. Jakenan-Pucakwangi, Ds. Jatisari Rt. 01 Rw. 02,
Kec. Jakenan, Kab. Pati, Jawa Tengah
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
1. TK Jatisari Lulus tahun 2003
2. SDN Negeri Jatisari Lulus tahun 2009
3. MTS Matholiul Huda Lulus tahun 2012
Sokopuluhan
4. MA Matholiul Huda Sokopuluhan Lulus tahun 2016
5. UIN Walisongo Semarang -
Nim: 1602026029