Anda di halaman 1dari 106

HUKUM MEMBAKAR ORANG HIDUP MENURUT PENDAPAT IMĀM

AL-‘IMRĀNĪ DALAM KITAB AL-BAYĀN FI MAẒHAB AL-IMĀM AL-


SYĀFI’I

SKRIPSI

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh


Gelar Sarjana Strata Satu Dalam (S.1)
Dalam Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Disusun oleh :

Muhammad Sohib Aziz


Nim: 1602026029

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2022
KEMENTERIAN AGAMA R.I
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Semarang Telp.(024) 7601291
Fax.7624691 Semarang 50185

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING


Lamp : 4 (empat) Eksemplar Skripsi
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr.a Muhammad Sohib Aziz

Kepada
Yth. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Walisongo Semarang

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama


ini kami kirimkan naskah skripsi saudara :

Nama : Muhammad Sohib Aziz


NIM : 1602026029
Jurusan : Hukum Pidana Islam
Judul Skripsi : HUKUM MEMBAKAR ORANG HIDUP
MENURUT PENDAPAT IMĀM AL-‘IMRĀNĪ
DALAM KITAB AL-BAYĀN FI MAẒHAB AL-
IMĀM AL-SYĀFI’I

Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum adanya dan kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Semarang, 09 Agustus 2021


Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Eman Suleman. M.H. Ismail Marzuki, M.A. Hk


NIP. 19560101 198403 2001 NIP. 19830809 201503 1 002

i
KEMENTERIAN AGAMA R.I
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Semarang Telp.(024) 7601291
Fax.7624691 Semarang 50185

SURAT KETERANGAN
PENGESAHAN SKRIPSI
Nomor : B-
175.3/Un.10.1/D.1/PP.00.9/I/2022

Pimpinan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)


Walisongo Semarangmenerangkan bahwa skripsi Saudara/i,

Nama : Muhammad Sohib Aziz


NIM 1602026029
Program studi : Hukum Pidana Islam (HPI)*
Judul : Hukum Membakar Orang Hidup Menurut
Pendapat Imam Al- Imroni Dalam Kitab Al-
Bayan Fi-Madzab Al-Imam Al-Syafi’i
Pembimbing I : Drs. H. Eman Sulaeman. M.H.
Pembimbing II : Ismail Marzuki, M.A. Hk

Telah dimunaqasahkan pada tanggal 26 November 2021 oleh Dewan Penguji


Fakultas Syari’ahdan Hukum yang terdiri dari :
Penguji I / Ketua Sidang : Dr. H. Ja’far Baehaqi, S.Ag., M.H

Penguji II / Sekretaris Sidang : Drs. H. Eman Sulaeman, M.H.

Penguji III : Moh. Khasan, M.Ag.


Penguji IV : M. Harun, S.Ag., M.H.

dan dinyatakan LULUS serta dapat diterima sebagai syarat guna


memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S.1) pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Walisongo.

Demikian surat keterangan ini dibuat dan diberikan kepada yang


bersangkutan untukdipergunakan sebagaimana mestinya.

ii
Semarang, 7 Januari 2022
A.n. Dekan, Ketua Program Studi,
Wakil Dekan Bidang Akademik
& Kelembagaan

Dr. H. Ali Imron, SH., M.Ag. Rustam DKAH, M.Ag

iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi huruf Arab yang dipakai dalam menyusun skripsi ini


berpedoman pada Keputusan Bersama Menteri agama dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987.
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin
1 ‫ا‬ Tidak dilambangkan 16 ‫ط‬ ṭ
2 ‫ب‬ B 17 ‫ظ‬ Ż
3 ‫ت‬ T 18 ‫ع‬ ‘
4 ‫ث‬ ṡ 19 ‫غ‬ G
5 ‫ج‬ J 20 ‫ف‬ F
6 ‫ح‬ ḍ 21 ‫ق‬ Q
7 ‫خ‬ Kh 22 ‫ك‬ K
8 ‫د‬ D 23 ‫ل‬ L
9 ‫ذ‬ ẓ 24 ‫م‬ M
10 ‫ر‬ R 25 ‫ن‬ N
11 ‫ز‬ Z 26 ‫و‬ W
12 ‫س‬ S 27 ‫ه‬ H
13 ‫ش‬ Sy 28 ‫ء‬ '
14 ‫ص‬ ṣ 29 ‫ي‬ Y
15 ‫ض‬ ḍ

2. Vokal pendek 3. Vokal panjang


‫أ‬ =a ‫كتب‬ kataba ‫ئا‬ =ā ‫قال‬ qāla
‫إ‬ =i ‫ُسئل‬ su'ila ‫ئي‬ =ī ‫قيل‬ qīla
ُ
‫أ‬ =u ‫يذه ُب‬ yaẓhabu ‫ئو‬
ُ
=ū ‫ي ُقو ُل‬ yaqūlu
4. Diftong
‫ = اي‬ai ‫كيف‬ kaifa
‫او‬ = au ‫حول‬ ḥaula
5. Kata sandang Alif+Lam
Transliterasi kata sandang untuk Qamariyyah dan Shamsiyyah dialihkan
menjadi = al
‫ = الرحمن‬al-Rahman ‫ = العالين‬al-‘Ālamīn
Semarang, 7 Januari 2022
A.n. Dekan, Ketua Program Studi,
Wakil Dekan Bidang Akademik
& Kelembagaan
iv

Dr. H. Ali Imron, SH., M.Ag. Rustam DKAH, M.Ag


‫وما فَد َقد ْْ ََ ََلْنَدا لَِولِهِّ ِده ُ د ْلطَانًا‬ ِ ِ ‫وََل تَد ْقتُدلُوا النَّد ْف‬
َ ‫س الَّتي َح َّرَم اللَّهُ إََِّل بِال‬
ً ُ‫ْح ِّق َوَم ْن قُت َل َمظْل‬ َ َ
ِ ْ ‫فَ ََل يس ِر‬
‫ورا‬
ً‫ص‬ ُ ‫ف في الْ َق ْت ِل إِنَّهُ َكا َن َم ْن‬ ُْ
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampui batas
dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapatkan
pertolongan (Q.s Al-Isyrā’: 33).

v
“HALAMAN PERSEMBAHAN”

Kupersembahkan skripsiku ini untuk:

Kedua Orang tuaku tercinta,

Keluargaku terkasih,

Serta Almamaterku tercinta Jurusan Hukum Pidana Islam

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo

Semarang.

vi
HALAMAN DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan

bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh

orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi

pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam

referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 09 Agustus 2021


Deklarator,

Muhammad Sohib Aziz


NIM: 1602026029

vii
ABSTRAK

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan


dilarang yang disertai ancaman pidana pada barang siapa yang melanggar
larangan tersebut. Salah satu contoh tindak pidana yang dimuat dalam Buku II
KUHP adalah pembunuhan. Seiring dengan kehidupan manusia yang semakin
lama semakin berkembang, tindak pidana pembunuhan juga mengalami
perkembangan dalam modus operandi yang dilakukan seperti membakar mayat
hidup atau bahkan membunuhnya langsung dengan cara dibakar hidup-hidup.
Sebagai agama terbesar di Indonesia, Islam perlu memberikan subangsih dalam
menanggulangi “tindak pidana tersebut”. Terkait dengan sanksi pidana
pembunuhan dengan cara dibakar, Al-‘Imrānȋ memberikan hukuman sebagaimana
korban terbunuh. Lalu bagaiamana sesungguhnya, Ia memandang tindakan
pembunuhan dengan cara dibakar ini ?
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pokok rumusan masalahnya
adalah; 1. Bagaimana hukum membakar orang hidup menurut Imām Al-‘Imrānī
dalam Kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i ?, dan 2. Bagaimana
relevansi pendapat Imām Al-‘Imrānī tentang hukum membakar orang hidup
dengan konteks hukum pidana di Indonesia ?
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, data diperoleh dari bahan
hukum primer, yaitu kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i karya Al-
‘Imrānī serta sumber data lainnya. Metode analisis yang digunakan yaitu metode
deskriftif kualitatif dengan menggacu pada kerangka teori “pembunuhan”,
khususnya “qiṣāṣ.
Hasil penelitian menyimpulkan, 1. Pembunuhan dengan cara membakar
manusia hidup-hidup diklasifikasikan sebagai “pembunuhan sengaja”, yang
dikenai hukuman “qiṣāṣ”, yakni si pembunuh dibunuh dengan cara dibakarnya
pula, tetapi boleh dengan menggunanakan alat lain, seperti “pedang”. Penerapan
hukuman ini memerlukan beberapa persyaratan, baik bagi si pembunuh, orang
yang dibunuh, dan pembunuhan itu sendiri. Pembunuh yang dikenai qiṣāṣ harus
sudah baligh, berakal, sengaja membunuh, dan dalam keadaan tidak terpaksa.
Korban pembunuhan harus memenuhi syarat terlindung darahnya, bukan bagian
keluarga pembunuh, dan bukan milik pembunuh. Kemudian, penyelesaian
terhadap masalah ini tergantung kesepakaan antara dua pihak, yaitu pelaku dan
keluarga korban. Namun kewenangan memutuskan hukuman qiṣāṣ berada di
tangan hakim. Argumentasinya berdasarkan perintah Allah dalam surah al-
Baqarah ayat 194 dan perintah Nabi saw. 2. Hukuman pembakar orang, yaitu
dijatuhi hukuman qiṣāṣ, si pembunuh dihukum dengan cara dibakar pula, maka si
pembunuh, dihukum dengan cara dibakar pula. Sementara, dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, pelakunya dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 187,
338 dan Pasal 340, yaitu pelaku dapat dijatuhi hukuman “mati” dan atau pidana
penjara selama 15-20 tahun. Dengan demikian, pendapatnya Al-Imrānȋ relevan
dengan konteks hukum di Indonesia, sebab keduanya menerapkan hukuman
“mati”.
Kata Kunci: Hukum, Membakar Orang Hidup, Al-‘Imrānȋ.

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan untaian Tahmid Alhamdulillah, senantiasa penulis

panjatkan kehadirat Allah Swt, yang selalu menganugrahkan segala taufiq hidayah

serta inayah-Nya. Ṣolawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada

baginda Rasulullah saw yang selalu kita nanti-nantikan syafa’atnya fi yaumil

qiyamah.

Adalah kebahagian tersendiri jika tugas dapat terselesaikan meskipun

melebihi delapan semester. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat

terselesaikan dengan baik tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Drs. H. Eman Suleman. M.H. selaku Dosen pembimbing I dan Bapak
Ismail Marzuki, M.A. Hk selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan serta waktunya kepada penulis selama penyusunan skripsi
ini.
2. Bapak Rustam Dahar Karnadi Apollo Harahap, M.Ag selaku Ketua jurusan
Hukum Pidana Islam dan Bapak Dr. H. Ja’far Baehaqi, selaku Sekretaris
jurusan, atas kebijakan yang dikeluarkan khususnya yang berkaitan dengan
kelancaran penulisan skripsi ini.
3. Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang.
4. Bapak Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang.
5. Bapak Dr. H. Mohamad Arja Imroni, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
6. Segenap Dosen, Karyawan dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo.

ix
7. Teman-teman seperjuangan yang selalu kasih motivai semangat dan saran yang
namanya tidak dapat peneliti sebutkan satu per-satu. Tetaplah menjadi keluarga
walaupun kita telah menempuh jalan masing-masing.
8. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuan dan do’a yang
diberikan, semoga Allah Swt senantiasa membalas amal baik mereka dengan
sebaik-baik balasan atas naungan ridhanya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis sadar sepenuhnya bahwa

karya tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan. Sehingga kritik dan saran

konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan karya tulis selanjutnya.

Penulis berharap, skripsi ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi generasi

penerus, dan semoga karya kecil ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya

dan untuk pembaca pada umumnya.

Semarang, 09 Juni 202

Penyusun,
Muhammad Sohib Aziz
NIM: 1602026029

x
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... I

PENGESAHAN ....................................................................................... II

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................. III

MOTTO ................................................................................................... IV

PERSEMBAHAN .................................................................................... V

DEKLARASI ........................................................................................... VI

ABSTRAK ............................................................................................... VII

KATA PENGANTAR ............................................................................ VIII

DAFTAR ISI ............................................................................................ X

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7

E. Telaah Pustaka ......................................................................... 7

F. Metode Penelitian ..................................................................... 11

G. Sistematika Penelitian.............................................................. 14

BAB II PEMBUNUHAN DAN PENGATURAN HUKUMNYA


DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 16

A. Teori tentang Pembunuhan..................................................... 16

1. Pengertian Pembunhan .......................................................... 16


2. Dasar Hukum Pembunhan ..................................................... 18
3. Unsur-unsur Pembunhan ....................................................... 22
4. Macam-macam Pembunhan dan Sanksi Hukumnya ............. 26
5. Teknik Pelaksanaan Qiṣāṣ ..................................................... 29
6. Tujuan Pemberlakuan Hukuman Qiṣāṣ ................................. 31

xi
B. Pengaturan Hukum Tindak Pida Pembunhan dengan Cara
Membakar dalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia ................................................................................... 33

BAB III PENDAPAT DAN ISTINBĀṬ HUKUM IMĀM AL-


‘IMRĀNĪ TENTANG HUKUM MEMBAKAR ORANG
HIDUP ..................................................................................... 41

A. Biografi Imām Al-‘Imrānī .................................................... 41

1. Kelahiran ............................................................................ 41
2. Pendidikan dan Guru-gurunya ............................................ 42
3. Murid dan Karya-karya-nya ............................................... 43
4. Istinbāṭ Hukum Imām Al-‘Imrānī ...................................... 44

B. Pendapat dan Istinbāṭ Hukum Imām Al-‘Imrānī tentang


Hukum Membakar Orang Hidup ....................................... 48

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMĀM AL-


IMRĀNĪ TENTANG HUKUM MEMBAKAR ORANG
HIDUP SERTA RELEVANSINYA DENGAN
KONTEKS HUKUM PIDANA DI INDONESIA .............. 57

A. Analisis Terhadap Pendapat Imām Al-Imrānī Tentang


Hukum Membakar Orang Hidup ....................................... 57

B. Analisis Relevansi Pendapat Imām Al-‘Imrānī Tentang


Hukum Membakar Orang Hidup dengan Konteks
Hukum Pidana di Indonesia................................................. 78

BAB V PENUTUP ................................................................................... 90

A. Kesimpulan ............................................................................ 90

B. Saran-saran............................................................................ 91

C. Kata Penutup ......................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan


dilarang yang disertai ancaman pidana pada barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.1 Salah satu contoh tindak pidana yang dimuat dalam Buku II
KUHP adalah pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan adalah suatu
perbuatan yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menghilangkan nyawa
orang lain. Perbedaan cara melakukan tindak pembunuhan ini terletak pada
akibat hukumnya, ketika perbuatan tindak pidana ini dilakukan dengan sengaja
ataupun direncanakan terlebih dahulu maka akibat hukumnya yaitu sanksi
penjatuhan hukumannya akan lebih berat di banding dengan tindak pidana
pembunuhan tanpa adanya unsur-unsur pemberat yaitu merencanakan terlebih
dahulu.
Sanksi hukum atau “hukuman” merupakan isu kontroversial dalam
pembicaraan hukum. Pertanyaan yang kerap mengemuka adalah jenis hukuman
apa yang pantas diterapkan untuk seorang pelaku kriminalitas. Dalam sejarah
hukum pidana dikenal banyak jenis hukuman yang diterapkan untuk pelaku
tindak pidana, seperti hukuman cambuk hingga hukuman mati. Pelaksanaan
hukuman matipun bervariasi. Dalam sejarah hukum, eksekusi hukuman mati
dilaksanakan dengan memenggang kepala siterpidana dengan pisau Guillotine
seperti di Perancis atau dengan pedang seperti di negeri Arab.2
Suatu perbuatan bisa dikatakan pidana jika ada peraturan yang melarang
dan terdapat sanksi atau dapat diancamnya perbuatan tersebut dengan suatu
ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi
pidana, tergantung kepada apakah dalam perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan. Seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa
terlebih dahulu dia melakukan perbuatan pidana tersebut. Adalah dirasa tidak

1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet. 1, 67.
2
Faisar Ananda Arfa, “Denda Sebagai Alternatif Hukuman: Kajian Hukum Islam
Kontemporer”, Jurnal Analytica Islamica, Vol. 03, no. 01, 2014, 1.

1
2

adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan,
sedangkan dia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.3 Demikian hal-nya
dengan “pembunuhan”.
Pembunuhan merupakan tindakan anti kemanusiaan. Al-Qur’an
memotret tindakan tersebut dalam kisah Bani Adam (dalam tafsīr disebut
bernama Qabil dan Habil).4 Secara literal, kisah tersebut menceritakan
pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil, adiknya. Alasannya
adalah ketika keduanya mempersembahkan korban kepada Allah Swt, dan
hanya korban Habil yang diterima oleh-Nya. Karena alasan itulah Habil
terbunuh.5
Pada dasarnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang menghalalkan
pembunuhan, sebab tujuan agama adalah untuk perdamaian, menyebarkan
kasih sayang, dan mengatur tatanan sosial agar lebih baik. Demikian pula
dengan doktrin agama Islam, sejak awal penurunannya sudah ditegaskan
bahwa Islam mengemban visi “kerahmatan”. Dalam al-Qur’an dikatakan :

ِ ‫سددا فِددي ا ْ َ ْر‬ َ ‫ََد ِدل كَلِد‬


ِ ‫دَ َكتَْدنَددا َنلَددس بَنِددي إِ ْ ددراَِهل جَندَّدهُ َمد ْدن قَدتَددل نَد ْف‬ ِ
َ َ‫سددا بسَْهد ِر نَد ْفددس ج َْو ف‬
ً َ َ َ ْ ‫مد ْدن ج‬

‫داً ََ ِم ًهَددا َولََق د ْْ ََددا َتْد ُ ْ ُر ُ دلُنَا‬


َ ‫َحهَددا النَّد‬ ْ ‫داً ََ ِم ًهَددا َوَمد ْدن ج‬
ْ ‫َحهَا َ ددا فَ َكأَنَّ َمددا ج‬ َ ‫فَ َكأَنَّ َمددا قَدتَد‬
َ ‫دل النَّد‬

َ ‫لَ ُم ْس ِرفُو‬
.‫ن‬ َ ِ‫ات ثُ َّ إِ َّن َكثِ ًهرا ِم ْند ُ ْ بَد َْ َْ كَل‬
ِ ‫َ فِي ا ْ َْر‬ ِ َ‫بِالْ دهِّدن‬
َ
Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa
barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia
telah membunuh semua manusia (Q.s Al-Mā’idah: 32).6

3
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 165.
4
Sedikit berbeda dengan al-Qur’an, dalam Bibel di mana tokoh kisah tersebut diredaksikan
dengan nama Kai dan Habel. Siti Mariatul Kiptiyah, “Kisah Qabil dan Habil dalam Al-Qur’an:
Telaah Hermeneutis”, Jurnal Al-Dzikra; Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, vol. 13, no. 01,
Juni 2019, 32.
5
Ada beragam cerita mengenai bagaimana Qabil melakukan pembunuhan terhadap
adiknya. Dalam suatu riwayat, Qabil memukul kepala Habil dengan batu besar ketika Habil sedang
tertidur. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Qabil memukul adiknya dengan sebuah besi.
Adapun tempatnya ada yang mengatakan di gunung Qasiun (utara Damaskus), ada pula yang
mengatakan di sebuah padang rumput, juga di hutan. Menurut Kiptiyah, beberapa riwayat tersebut
bisa diterima dan tidak perlu dipertentangkan. Sebab, jika mau mencari kevalidan datanya, perlu
melakukan jejak historis. Ibid,. 47-48.
6
Ibid,. 28.
3

Ayat di atas merupakan salah satu contoh kecaman Islam atas setiap
pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena, bahkan membunuh satu
jiwa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia. Karena setiap
manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan Ia merupakan anggota dari
masyarakat. Oleh karenanya, membunuh satu orang, secara tidak langsung
akan menyakiti keluarga keturunan, dan msyarakat yang hidup di
sekelilingnya.7 Bahkan dalam hadis, Islam menggolongkan pembunuhan
sebagai dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah Swt).8
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keselarasan
di antara manusia. Ia selalu menekankan bahwa antara manusia yang satu
dengan yang lainnya adalah sama dan sederajat, hanya ketakwaannyalah yang
membedakannya. Hal itu dikarenakan manusia pada dasarnya diciptakan dari
jenis atau jiwa yang satu (min nafsin wāḥidah). Universalitas Islam ini
melampaui semua perbedaan manusia, yang meliputi suku, ras, agama,
kewarganegaraan, etnis, dan jenis kelamin. Demikian pula penegakan hukum
di Indonesia atas pembunuhan. Hukuman atas tindak pidana pembunuhan tidak
memandang suku, ras, agama, jenis kelamin dan lain sebagainya.
Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar “ ُ ْ‫”قَت ل‬, dari fi’il
māḍī “ َ ‫ ”قََْت‬yang artinya membunuh.9 Secara terminologi, dalam Ensiklopedi
Fikih Kuwait, pembunuhan merupakan perbuatan menghilangkan nyawa.10
Senada dengan itu, Al-Zuhaili mengatakan bahwa pembunuhan merupakan
suatu tindakan yang menghilangkan nyawa, atau mematikan, atau suatu
tindakan oleh manusia yang menyebabkan hiangnya kehidupan, yakni tindakan
yang merobohkan formasi bangunan yang disebut manusia.11 Lebih lanjut,

7
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 2002),
113.
8
Hegki Ferdiansah, “Hukum Membunuh dalam Islam”. Dikutip dari Www.nuonline.com.
Diakses, Rabu, 05 Mei 2021, pukul 20.00 WIB S/d.
9
Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,
2003), Cet. 7, 1433.
10
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, (Kuwait: Dāru al-Salāsil, 1472), Cet. 2, 321.
11
Wahbah Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Perj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. I, 542.
4

‘Aūdah mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu tindakan seseorang


untuk menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.12 Jadi
apapun perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa dapat
dikatakan sebagai “pembunuhan”.
Pembunuhan dalam hukum pidana Islam termasuk dalam klasifikasi
“‫( ” ِجنَايَت ل‬kejahatan atau kriminal) dan atau “‫”ج ِر لي َمت ل‬
َ (tindak pidana, peristiwa
pidana, perbuatan pidana, dan atau delik pidana).13 Sebab, istilah jarīmah
memiliki arti yang sama (sinonim) dengan istilah jināyah, yang diartikan
sebagai perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta benda maupun lainnya dan pembunuhan ini termasuk perbuatan
mengenai jiwa (manusia).14 Lebih lanjut, ‘Aūdah sebagaimana dikutip oleh
Rokhmadi jināyah maupun jarīmah terbagi menjadi tiga, yaitu; jarīmah ḥudūd,
seperti tindakan pemerkosaan, menuduh berzina, mengkonsumsi minuman
memabukkan, pencurian, perampokan, pemberontakan, dan murtad atau keluar
dari Islam,15 kedua jarīmah takzir dan jarīmah qiṣāṣ-diyat, seperti membunuh
dengan cara mencekik dan lain sebagainya.16 Jadi, tindak pidana Islam terbagi
menjadi tiga macam, yaitu tindak pidana ḥudūd (yaitu jarīmah yang diancam
hukuman ḥad), tindak pidana takzir dan tindak pidana qiṣāṣ-diyat.
Tindak pidana pembunuhan disebut juga dengan al-jināyah ‘alā al-nafs
al-insanīyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia).17 Dalam bahasa Indonesia,
pembunuhan diartikan dengan proses, perbuatan atau cara membunuh.18
Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut “ ُ ‫ ”اَ للقَ لْت‬yang berarti mematikan.19
Oleh karenanya, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang dapat

12
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah, Al-Tasyri’ Al-Jināī Al-Islāmī, Juz 2, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-
Ilmiah, 2011), 6.
13
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), Cet. I, 3.
14
Ibid,. h. 4.
15
Ibid,. Lihat selengkapnya pada buku tersebut.
16
Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyaah,. Op,. Cit,. Juz 32, 340.
17
Ro’fah, dkk, Fikih Ramah Difable, (Yogyakarta: Q-Media, 2015), Cet. I, 93.
18
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Nurani, Vol. 13,
No. 02, Desember, 2012, 1.
19
Anton M. Moeliono, et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,
1989), 138.
5

menghilangkan nyawa. Salah satu cara pelaku untuk membunuh korbannya


ialah dengan cara “membakar-nya”, sungguh sadis bukan perbuatan tersebut ?
Sebagai agama terbesar di Indonesia, Islam perlu memberikan subangsih
dalam menanggulangi “tindak pidana tersebut”. Terkait dengan sanksi pidana
pembunuhan dengan cara dibakar, ulama mazhab berbeda pendapat. Misalnya,
Al-Imrānī mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku yang membunuh
korbannya dengan cara dibakar yaitu dihukum (qisas) sebagaimana
perbuatanya tersebut (membunuh dengan cara dibakar dihukum dengan cara
dibakar pula). Pendapat-nya tersebut Ia tuangkan dalam karyanya, yakni :

. ‫ص ِم ْنهُ بِ َ ِذهِ ا ْ َ ْشهَا‬ ِ ِ َ ‫ فَم‬،‫وإِ ْن حرقَه‬


َ ُ‫ فَلل َْول ِّي جَ ْن يَد ْقت‬،‫ات‬
20
َ ُ ََ َ
(Al-Imrānī berkata) Apabila seseorang membakar orang lain, kemudian
meninggal dunia, maka bagi pemerintah memberikan hukuman (qiṣaṣ)
sebagaimana perbuatan yang Ia lakukan.

Teks di atas menjelaskan, apabila ada korban pembunuhan dengan cara


dibakar, maka pembunuh tersebut dihukum sebagaimana korban meninggal
dunia. Pendapat hukum tersebut, didasarkan atas al-Qur’an surah al-Baqarah
ayat 194 dan hadis Nabi saw sebagai berikut:21

َّ ‫فَ َم ِن ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ فَا ْنتَ ُْوا َنلَْه ِه بِ ِمثْ ِل َما ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ َواتَّد ُقوا اللَّ َه َوا ْنلَ ُموا ج‬
‫َن اللَّهَ َم َع‬

‫هن‬ ِ
َ ‫ال ُْمتَّق‬
Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan
serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah beserta orang-orang yang bertakwa (Q.s al-Baqarah: 194).22

َّ ‫ ج‬،ِ‫ َن ْن ََِّْه‬،‫ َن ْن جَبِ ِهه‬، ِ ‫ َن ْن ِن ْم َرا َن بْ ِن يَ ِزي َْ بْ ِن الَْد َرا‬،‫َوُرِّوينَا َن ْن بِ ْش ِر بْ ِن َحا ِزم‬
َ ‫َن النَِّ َّي‬
‫للَّس‬
23
.)‫(رَواهُ اَلَْد ْهد َ ِق ْي‬ َ َ‫اهللُ َنلَْه ِه َو َ لَّ َ ق‬
َ ُ‫ َوَم ْن غَ َّر َق غَ َّرقدْنَاه‬،ُ‫ َوَم ْن َح َر َق َح َرقدْنَاه‬:‫ال‬

20
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, Juz 11,
(Arab Saudi: Dāru Al-Minhāj, 2000), 414.
21
Ibid,. 145.
22
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 30.
6

Diriwayatkan dari Bisyr bin Ḥāzim dari ‘Imrān bin Yazīd bin Al-Barā’ dari
ayahnya dari kakkeknya, bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang
membakar, maka kita membakarnya dan barangsiapa menenggelamkan, maka
kita menenggelamkannya (H.R Al-Baihaqi).

Tujuan diterapkannya hukuman atau pemidanaan tersebut yaitu;


pertama, dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan
melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. Jangka
panjag aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas,
misalnya dalam hal hukuman qiṣaṣ yang merupakan bentuk keadilan tertinggi,
karena di dalamnya memuat keseimbangan antara dosa dan hukuman, kedua,
dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif, yang berarti pemidanaan dapat
memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa,
dan ketiga pemidanaan sebagai pencegahan khusus, artinya seseorang yang
melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak
mengulangi kejahatannya lagi.24
Fikih sebagai bagian dari produk hukum Islam diharapkan dapat ikut
menjawab permasalahan nasional. Atas pertimbangan tersebut, peneliti
mengambil tema penelitian ini dengan judul “Hukum Membakar Orang Hidup
Menurut Pendapat Imām Al-‘Imrānī dalam Kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-
Imām Al-Syāfi’i”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan secara
normatif tentang pandangan Imam Al-‘Imrani tentang hukum membakar orang
hidup”. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori yang terdapat dalam
hukum pidana Islam. Dalam meneliti pembunuhan dengan cara membakar,
maka secara spesifik teori yang digunakan adalah jarimah qiṣāṣ.

23
Imam Al-Baihaqi, Sunan Kubra li Al-Baihaqi, Juz 8, (Bairut: Daru Al-Kutub Al-Ilmiah,
2003), 79.
24
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 127-
128.
7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemuakan, maka


peneliti telah merumuskan beberapa pokok masalah yang akan menjadi
pembahasan dalam skripsi ini. Adapun pokok permasalahan tersebut adalah :
1. Bagaimana hukum membakar orang hidup menurut Imām Al-‘Imrānī dalam
Kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i ?
2. Bagaimana relevansi pendapat Imām Al-‘Imrānī tentang hukum membakar
orang hidup dengan konteks hukum pidana di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis hukum membakar orang hidup
menurut Imām Al-‘Imrānī dalam Kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-
Syāfi’i.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis relevansi pendapat Imām Al-‘Imrānī
tentang hukum membakar orang hidup dengan konteks hukum pidana di
Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka manfaat yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini sebagai tambahan pengetahuan yang selama ini
hanya didapat penulis secara teoritis.
2. Bagi akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dijadikan sebagai salah
satu bahan referensi serta rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan sebagai referensi dan informasi
bagi masyarakat.
8

E. Telaah Pustaka
Untuk menguji kemurnian hasil penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan
kajian pustaka untuk menguatkan bahwa penelitian ini belum pernah diteliti
sebelumya, yakni dengan memaparkan dengan singkat mengenai beberapa
karya tulis ilmiah sebelumnya yang fokus pada pembahasan tentang “hukum
membakar orang hidup”. Oleh karena itu, peneliti akan memaparkan beberapa
karya tulis ilmiah terdahulu yang fokus pada pembahasan sebagaimana peneliti
kemukakan.
Pertama, skripsi karya Yogi Pradoni dengan judul “Kajian Kriminologi
Terhadap PelakuPembakaran Kekasihnya yang Masih di Bawah Umur (Studi
di Polres Pelabuhan Belawan)”. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa kejahatan
pembunuhan dengan cara membakar korban terjadi akibat beberapa faktor
antara lain faktor dendam, sakit hati, faktor kejiwaan dan faktor lingkungan.
Oleh karena itu pihak aparatur penegak hukum baik kepolisian maupun badan
eksekutif untuk melakukan upaya-upaya secara kriminologi dengan cara
represif yaitu upaya masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dapat
dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana. Upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat
represif sesudah kejahatan terjadi dan upaya preventif adalah cara melakukan
suatu usaha yang positif, serta cara untuk menciptakan suatu kondisi seperti
keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya
dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan
ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan
menyimpang. Sehingga agar kejahatan pembunuhan terhadap anak perempuan
khususnya diwilayah Polres Pelabuhan Belawan bisa berkurang sehingga dapat
menimbulkan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.25
Kedua, skripsi karya Fathia Ruminta Lumbanbatu yang berjudul
“Pembuktian Tindak Pidana Dengan Sengaja Menimbulkan Kebakaran Yang
Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain (Studi Putusan No. 2261/
25
Yogi Pradoni, “Kajian Kriminologi Terhadap PelakuPembakaran Kekasihnya yang
Masih di Bawah Umur (Studi di Polres Pelabuhan Belawan)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, 2019.
9

PID.B/ 2017/ PN.MDN)”. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa dalam Putusan
No. 2261/ Pid.B/ 2017/ PN Mdn, jaksa penuntut umum menyusun dakwaan
secara alternatif dengan dakwaan melanggar Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55
KUHP, Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 KUHP, Pasal 187 KUHP Jo. Pasal 55
KUHP. Dalam putusannya, hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa
dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dikurangi masa tahanan
serta biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).26
Ketiga, skripsi karya Mgs. Ahmad Farhan S dengan judul “Sanksi Pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Disertai Mutilasi”. Hasil dari
penelitian ini yaitu bahwa untuk tidak mengulangi tindak pidana embunuhan
mutilasi sehingga dapat membuat jera si pelaku, maka perlu dilakukan
sosialisasi terhadap masyarakat bahwa tindak pidana mutilasi tersebut
merupakan perbuatan yang kejam atau sadis, pelaku harus dibeikan hukuman
maksimal yaitu berupa hukuman mati yang telah diatur dalam Pasal 340 JUHP,
aparat penegak hukum terutama hakim jangan tebang pilih dalam
memidanakan pelaku tindak pidana mutilasi dan harus teliti menentukan
hukuman yang diebrikan kepada pelaku tindak pidana mutilasi.27
Keempat, jurnal ilmiah karya Rokhmadi dengan judul “Hukuman
Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”. Hasil dari penelitian
ini disimpulkan bahwa pembunuhan dalam hukum pidana Islam termasuk
jarīmah qiṣāṣ-diyat, yaitu jarīmah yang diancam dengan hukuman qiṣāṣ
(hukuman sepadan/sebanding) atau hukuman diyat (denda/ganti rugi), yang
sudah ditentukan batasan hukumannya, namun dikategorikan sebagai hak
adami (manusia/perorangan), di mana pihak korban ataupun keluarganya dapat
memaafkan pelaku, sehingga hukuman (qiṣāṣ-diyat) bisa hapus sama sekali,
karena dalam qiṣāṣ ada pemberian hak bagi keluarga korban untuk berperan
sebagai “lembaga pemaaf”, mereka bisa meminta haknya untuk memaafkan

26
Fathia Ruminta Lumbanbatu, “Pembuktian Tindak Pidana Dengan Sengaja Menimbulkan
Kebakaran Yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain (Studi Putusan No. 2261/ PID.B/
2017/ PN.MDN)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2020.
27
Mgs. Ahmad Farhan S, “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan
Disertai Mutilasi”, Skripsi Fakultas Hukum niversitas Muhammadiyah Palembang, 2017.
10

atau tidak memaafkan terhadap perbuatan pelaku tindak pidana. Menurut


ulama salaf bahwa kebijakan hukuman yang diberikan adalah berdasarkan
sudut pandang kebiasaan masyarakat Arab yang pernah berlaku pada
masyarakat Muslim awal, yaitu mengenai siapa yang diberi wewenang untuk
menentukan kebijaksanaan qiṣāṣ atau mengenai diyat adalah sangat
dipengaruhi oleh praktek kebiasaan masyarakat Arab pada abad ke-7 M, baik
mengenai status sosial, maupun budaya setempat, maka sunnah dan praktek
yang dijalankan Muslim awal ini yang memberikan masukan atau tolok ukur
secara rinci terhadap prinsip-prinsp hukum pidana Islam (jināyat), sehingga
dalam penetapan hukumannya masih bersifat diskriminasi, baik status sosial,
gender dan agama. Oleh karena itu, di era modern menurut ulama khalaf bahwa
penetapan hukuman bagi pembunuhan harus disamakan antara pembunuhan
laki-laki dengan perempuan, pembunuhan orang Muslim dengan non-muslim,
pembunuhan seorang ayah dengan anaknya, harus tetap dikenai hukuman qiṣāṣ
dan jumlah diyat laki-laki dengan jumlah diyat untuk perempuan harus sama,
sehingga posisi manusia adalah sama di depan hukum (tidak ada lagi
diskriminasi; status sosial, kesetaraan gender dan agama.28
Kelima, Jurnal Ilmiah karya Sumardi Efendi yang berjudul “Kejahatan
Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Menurut Hukum Positif Dan Fiqh
jināyah”. Kesimpulan dalam jurnal ini bahwa main hakim sendiri merupakan
suatu kejahatan yang bisa menimbulkan kerugian bagi pelaku akibat dari
tindakannya sendiri, tindakan ini muncul akibat mistrust and distrust terhadap
penegak hukum dan hukum itu sendiri dihadapkan masyarakat. Dilain pihak
akibat tindakan tersebut mengakibatkan timbulnya korban. Dalam hukum
positif, para pelaku kejahatan main hakim sendiri dapat dijerat dengan Pasal
170 KUHP, mengatur tentang sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan
terhadap orang atau barang di muka umum sedangkan dalam fikih jināyah
tersebut dikenal dengan istilah al-tawfuq dimana beberapa orang yang
melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya

28
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”, Jurnal
At-Taqaddum, Vol. 08, No. 02, November, 2016.
11

karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba
dan uqubat yang diberikan pun akan berbeda di jatuhkan sesuai dengan peran
masing-masing dari mereka.29
Berdasarkan dari apa yang telah peneliti paparkan di atas, ditemukan
adanya beberapa penelitian yang sama terkait dengan pembunuhan dengan cara
dibakar Namun, secara spesifik penelitian peneliti berbeda dengan penelitian-
penelitian di atas, sebab penelitian peneliti yaitu penelitian kepustakaan tentang
hukum membakar orang hidup perspektif Imām Al-‘Imrānī. Dalam kitab Al-
Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i. Oleh karena-nya, penelitian ini layak
untuk dilakukan.
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah suatu metode cara kerja untuk dapat memahami
obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersagkutan. Metode adalah pedoman
cara seorang ilmuan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang
dipahami.30
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research), dan bersifat kualitatif. Menurut Robert Bogdan dan Steven
J.Taylor "qualitative methodologies refer to research procedures which
produce descriptive data, people's own written or spoken words and
observable behavior"31 (metodologi kualitatif adalah sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati). Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum ini dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, karenanya
merupakan penelitian hukum normatif.32 Dengan demikian, penelitian ini

29
Sumardi Efendi, “Kejahatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Menurut Hukum Positif
Dan Fiqh Jināyah”, Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam, Vol 05, No. 01, 2020.
30
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), 67.
31
Robert Bogdan, dkk, Introduction to Qualitative Research Methods, (New York : Delhi
Publising, 1975), 4.
32
Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2014), 13-14.
12

merupakan penelitian hukum normatif, yaitu jenis penelitian yang lazim


dilakukan dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum yang biasa disebut
dengan dogmatika hukum (rechtsdogmatiek).33
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
jenis penelitian library research,34 yaitu penelitian yang mengandalkan data
dari bahan pustaka untuk dikumpulkan kemudian diolah sebagai bahan
penelitian. Peneliti mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan skripsi
ini meliputi beberapa teori, kitab-kitab para ahli, dan karangan ilmiah.
Sedangkan sifat penelitian ini adalah kualitatif karena teknis penekananya
lebih menggunakan kajian teks.
2. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis,
yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala,
peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang. Skripsi ini merupakan studi
analisis terhadap pendapat Imām Al-‘Imrānī tentang hukum membakar
orang hidup. Berdasarkan hal itu, aplikasi metode ini adalah dengan
mendeskripsikan fakta-fakta itu, pada tahap permulaan tertuju pada usaha
mengemukakan gejala-gejala secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki,
agar jelas keadaan atau kondisinya yaitu hukuman atas tindak pidana
pembunuhan dengan cara membakar orang hidup.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi atau studi
documenter. Dokumentasi (documentation) dilakukan dengan cara
pengumpulan beberapa informasi pengetahuan, fakta dan data. Dengan
demikian maka dapat dikumpulkan data-data dengan kategorisasi dan
klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah

33
Sulistyowati Irianto, dkk, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), 142.
34
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1997), 9.
13

penelitian, baik dari sumber dokumen, buku-buku, jurnal ilmiah, koran,


majalah, website dan lain-lain.35
4. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu
sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder, yaitu berupa kepustakaan atau literatur yang membahas tentang
pendapat Imām Al-‘Imrānī tentang hukum membakar orang hidup.36 Di
dalam penelitian hukum normatif, data sekunder mencakup beberapa bahan
hukum, yaitu :37
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.38 Bahan hukum primer
dalam penelitian ini penulis dapatkan secara langsung dari kitab Al-Bayān
Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i karya Imām Al-‘Imrānī.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
baku primer. Maka dalam penelitian ini, data penunjang tersebut peneliti
dapatkan dari buku, skripsi, maupun jurnal yang mempunyai relevansi
langsung dengan tema penulisan skripsi ini.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan KUHP, kamus, dan lain sebagainya yang
terkait dengan tema pembahasan.
5. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis akan
menggunakan metode deskriptif yaitu cara penulisan dengan mengutamakan
pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang.

35
Menurut Arikunto, metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,
agenda, dan sebagainya. Lihat dalam; Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 206.
36
Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2015), 12.
37
Ibid, 52.
38
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 141, lihat juga
dalam Dyah Ochtorina Susanti, dkk, Penelitian Hukum (legal Research), (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), 52.
14

Skripsi ini merupakan kajian tentang hukum membakar orang hidup


menurut pendapat Imām Al-‘Imrānī dalam kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-
Imām Al-Syāfi’i. Berdasarkan hal itu, aplikasi metode ini adalah dengan
mendeskripsikan fakta-fakta itu, pada tahap permulaan tertuju pada usaha
mengemukakan gejala-gejala secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki,
agar jelas keadaan atau kondisinya yaitu hukum membakar orang hidup
perspektif Imām Al-‘Imrānī. Jadi, metode deskriptif digunakan untuk
menghimpun data aktual, mengartikan sebagai kegiatan pengumpulan data
dengan melukiskan sebagaimana adanya, tidak diiringi dengan ulasan atau
pandangan atau analisis dari peneliti.39 Peneliti mendeskripsikan apa yang
peneliti temukan dalam bahan pustaka sebagaimana adanya kemudian
menganalisanya secara mendalam sehingga diperoleh gambaran yang jelas
mengenai permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penelitian
Agar mudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis akan
menguraikan sistematika penulisan yang terbagi dalam 5 (lima) bab yang
diuraikan menjadi sub-sub bab. Sebelumnya penulis mengawali dengan
halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan,
halaman motto, halaman persembahan, halaman deklarasi, halaman abstrak,
halaman kata pengantar, kemudian dilanjutkan dengan lima (5) bab sebagai
berikut :
Bab I: Pendahuluan. Berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian
dan sistematika penelitian.
Bab II: Kerangka teori yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, teori
tentang pembunuhan yang berisi; pengertian pembunuhan, dasar hukum
pembunuhan, macam-macam pembunuhan, hukuman tindak pidana
pembunuhan, hukuman qiṣaṣ serta tujuan hukum pidana Islam, dan Ketiga,

39
Etta Mamang Sangaji dan Sopiah, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Offset,
2014), 21.
15

pengaturan pidana pembunuhan dengan cara membakar orang hidup dalam


peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Bab III: terdiri dari dua sub bab, bab pertama yaitu biografi Imām Al-
‘Imrānī yang berisi; kelahiran Imām Al-‘Imrānī, pendidikan dan guru-
gurunya, murid dan karyanya, dan istinbāṭ hukum Imām Al-‘Imrānī; dan sub
bab kedua yaitu tentang hukum membakar orang hidup menurut Imām Al-
‘Imrānī dalam Kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i serta istinbāṭ
hukum yang dipergunakannya.
Bab IV: Merupakan jawaban dari rumusan masalah yang berisi analisis
peneliti terhadap pendapat Imām Al-‘Imrānī tentang hukum membakar orang
hidup dalam kitab Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’I serta analisis
peneliti terhadap relevansi pendapat Imām Al-‘Imrānī tentang hukum
membakar orang hidup dengan konteks hukum pidana di Indonesia.
Bab V: Penutup yang berisikan: kesimpulan, saran-saran dan kata
penutup.
Daftar Pustaka, berisi: data-data tulisan atau suatu karya ilmiah atau
buku-buku yang terkait dengan penulisan skripsi ini.
BAB II
PEMBUNUHAN, DAN PENGATURAN HUKUMNYA DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Teori tentang Pembunuhan


1. Pengertian Pembunuhan
Sebelum mendevinisikan makna “pembunuhan” itu sendiri, peneliti
sedikit akan menyinggung tentang “membakar”. Kata “membakar”, menurut
ُ ‫ق ُه َو إِ لذه‬
ulama fikih yaitu “ِ َّ‫َاب النَّا ِر الش لَّي َء ِبا لل ُكلِّي‬ ُ ‫( ”ا لإل لح َرا‬melemparkan api
terhadap sesuatu secara menyeluruh).1 Membakar manusia dengan
menggunakan api sehingga meninggal dunia ini dikategorikan sebagai
pembunuhan sengaja.2 Pembunuhan dalam sejarah Islam pertama dalam
kehidupan manusia adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap
Habil.3 Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt dalam al-Qur’an
surah al-Ma’idah ayat 30, yakni :

.)03 :‫ين (اَل َْماَِ َْ ْة‬ ِ ِ ِ ِ


َ ‫َلَ َح م َن الْ َخا ِر‬
ْ ‫سهُ قَد ْت َل جَخهه فَد َقتَدلَهُ فَأ‬
ُ ‫ت لَهُ نَد ْف‬
ْ ‫فَطََّو َن‬
Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian
dia-pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia orang yang rugi
(Q.s al-Māidah: 30).4

Pembunuhan dalam hukum pidana Islam termasuk jarīmah qiṣāṣ-


diyat, yaitu jarīmah yang diancam dengan hukuman qiṣāṣ (hukuman
sepadan atau sebanding) atau hukuman diyat (denda atau ganti rugi), yang
sudah ditentukan batasan hukumannya, namun dikategorikan sebagai hak
adami (manusia atau perorangan), di mana pihak korban ataupun
keluarganya dapat memaafkan si pelaku, sehingga hukuman (qiṣāṣ-diyat)

1
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 2, (Kuwait: Dāru al-Salāsil, 1472), Cet. 2, 115.
2
Ibid., 119.
3
Akhmad Almubasir, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembunuhan yang
Dilakukan Orang Tua Kepada Anaknya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang
Nomor:128/Pid.B/2017/PN.Smg)”, Skripsi Prodi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018, 36.
4
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, (Semarang: Toha Putra
Semarang, 2002), 112.

16
17

tersebut bisa hapus sama sekali. Karena dalam qiṣāṣ ada pemberian hak bagi
keluarga korban untuk berperan sebagai “lembaga pemaaf”, mereka bisa
meminta haknya untuk memaafkan atau tidak memaafkan terhadap
perbuatan pelaku tindak pidana5 (restoratif).6
Pembunuhan merupakan salah satu tindak pidana menghilang-kan
nyawa seseorang dan termasuk dosa besar. Tindak pidana pembunuhan
disebut juga dengan al-jināyah ‘alā al-nafs al-insanīyyah (kejahatan
terhadap jiwa manusia).7 Dalam bahasa Indonesia, pembunuhan diartikan
dengan proses, perbuatan atau cara membunuh.8 Dalam bahasa Arab,
pembunuhan disebut “ ُ ْ‫ ”اَ للقَ ل‬berasal dari kata “ َ ََْ‫ ”ق‬yang sinonimnya “ َ‫”أَ َمات‬
yang berarti mematikan.9 Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembunuhan
secara bahasa merupakan suatu perbuatan yang dapat menghilangkan
nyawa.10
Kemudian, secara istilah pembunuhan diartikan oleh Al-Syarbīnī Al-
Syāfi’ī yaitu suatu tindakan yang dapat menghilangkan nyawa atau
mematikan,.11 Atau suatu tindakan oleh manusia yang menyebabkan
hilangnya kehidupan, yakni tindakan yang dapat merobohkan formasi
bangunan yang disebut manusia, ujar Ibn Al-Himām Al-Ḥanafī.12 Lebih
lanjut, ‘Āūdah mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu tindakan

5
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”, Jurnal
At-Taqaddum, Vol. 08, No. 02, November, 2016, 151.
6
Restoratif yaitu hak korban atau walinya atau keluarganya untuk memberikan pemaafan
atau pengampunan kepada pelaku tindak pidana, dan dengan prinsip inilah sesungguhnya yang
menjadi landasan syari‟at Islam sebagaimana isi yang terkandung dalam Q.S. al-Baqarah ayat 178.
7
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Nurani, Vol. 13,
No. 02, Desember, 2012, 1.
8
Anton M. Moeliono, et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,
1989), 138.
9
Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,
Cet. Ke-7, 2003), 1433.
10
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, 321.
11
Imām Al-Syarbīnī Al-Syāfi’ī, Mughnī Al-Muḥtāj Ilā Ma’rifah Ma’ānī Alfāẓ Al-Minhāj,
Juz 4, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), Cet. I, 3.
12
Ibn Al-Himām Al-Ḥanafī, Fatḥ Al-Qadīr, Juz 8, (t.tp: Dāru Al-Fikr, t.th), 244.
18

seseorang untuk menghilangkan nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa orang


lain.13
Definisi pembunuhan menurut hukum Islam sebenarnya sama dengan
definisi pada umumnya (hukum positif), yaitu perbuatan seseorang yang
menghilangkan nyawa,14 yang berarti menghilangkan nyawa anak adam
oleh perbuatan anak adam yang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pembunuhan adalah perampasan hak hidup seseorang atau peniadaan nyawa
seseorang oleh orang lain yang dapat mengakibatkan tidak berfungsinya
seluruh anggota badan disebabkan ketiadaan ruh, baik perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
2. Dasar Hukum Pembunuhan
Menurut Muh. Khasan, asas legalitas memiliki kedudukan yang sangat
fundamental dan menjadi asas penting dalam hukum pidana (baik hukum
pidana Islam maupun positif). Asas legalitas hukum pidana Islam memiliki
kedekatan dengan norma-norma agama karena bersumber dari nas. Oleh
karenanya, asas-asas legalitas yang dirumuskan sangat kental makna
teologis dan spiritualitas. Asas legalitas hukum pidana Islam memiliki
karakteristik fleksibilitas dalam penerapan asas-asas legalitasnya karena
dukungan klasifkasi tindak pidana yang efisien. Asas legalitas hukum
pidana Islam memiliki kontribusi signifkan dalam pembaharuan hukum
pidana di Indonesia yaitu kontribusi yang bersifat ideologis, berupa hukum
pidana dengan filosof “Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kontribusi yang
bersifat yuridis, berupa karakter hukum pidana yang sederhana, efsien,
responsif, progresif dan seimbang.15

13
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah, Al-Tasyri’ Al-Jināī Al-Islāmī, Juz 2, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-
Ilmiah, 2011), 6.
14
Sayyidah Nurfaizah, “Hukum Bagi Orang Tua Yang Membunuh Perspektif Hukum
Pidana Islam dan KUHP”, Jurnal Al-Jinayah: Jurnal Huku Pidana Islam, Vol. 02, No. 02,
DesembeR, 2016, 306.
15
Moh. Khasan, “Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum dalam Asas Legalitas Hukum Pidana
Islam”, Jurnal RECHTSVINDING Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 06, No. 01, April
2017, 65.
19

Menerapkan hukum memerlukan perangkat legislasi sehingga produk


hukum yang dihasilkan dapat diberlakukan.16 Dalam penerapan hukum,
terdapat ungkapan dalam bahasa latin; “Nullum Deliktum Nula Poena Sine
Lege, yang berarti tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih
dahulu”.17 Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu
dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.
Bahkan asas tersebut juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang
hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan
dilarang. Jadi berdasarkan asas tersbut, tiada satu perbuatan boleh dianggap
melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu
hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.18 Demikian pula
dalam hukum pidana Islam. Oleh karenanya, asas legalitas tindak pidana
pembunuhan adalah sebagai berikut :19
a. Dalam al-Qur’an

‫وما فَد َقد ْْ ََ ََلْنَدا لَِولِهِّ ِده ُ د ْلطَانًا‬ ِ ِ ‫وََل تَد ْقتُدلُوا النَّد ْف‬
َ ‫س الَّتي َح َّرَم اللَّهُ إََِّل بِال‬
ً ُ‫ْح ِّق َوَم ْن قُت َل َمظْل‬ َ َ
ِ ْ ‫فَ ََل يس ِر‬
‫ورا‬
ً‫ص‬ ُ ‫ف في الْ َق ْت ِل إِنَّهُ َكا َن َم ْن‬ ُْ
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampui batas
dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapatkan
pertolongan (Q.s Al-Isyrā’: 33).20

Kata “sulṭānan” dalam ayat di atas menunjukkan hak otoritas wali


(ahli waris) korban dalam melaksanakan hukuman qiṣāṣ. Jika ahli waris

16
Hajar M, Model-model Pendekatan dalam Penelitian Hukum dan Fiqih, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2017), Cet. I, 71.
17
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Persepektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2009), Cet. 2, 50.
18
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),
Cet. I, 10-11.
19
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, 322. Lihat pula dalam; Wahbah Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Perj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, Jilid 7, Cet. 1, 2011), 542 dan seterusnya.
20
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 285.
20

hanya seorang diri dan mukallaf, maka hukuman qiṣāṣ dapat


dilaksanakan. Namun, jika ahli waris tersebut belum baligh atau dalam
keadaan gila, maka ulama fikih berbeda pendapat. Sebagian ulama
Ḥanafīyah berpendapat bahwa hukuman qiṣāṣ ditunda sampai ahli waris
tersebut dewasa atau sembuh dari gilanya. Pendapat ini juga dianut oleh
ulama Syāfi‘īyah dan Ḥanābilah. Sementara itu, sebagian dari ulama
Ḥanafīyah berasumsi bahwa hukum qiṣāṣ dilaksanakan oleh hakim yang
mewakili ahli waris tersebut.21
M. Quraish Shihab memahami kekuasaan wali dalam ayat di atas
sebatas hak tuntutan melalui hakim yang berwenang, bukan dalam
pelaksanaan eksekusi hukuman qiṣāṣ. Wali tidak boleh melampaui batas
dalam menuntut, seperti menuntut qiṣāṣ kepada yang bukan pelaku, atau
menuntut qiṣāṣ dua orang padahal pelaku hanya satu orang, apalagi
melakukan qiṣāṣ dengan main hakim sendiri.22 Penafsiran ini sejalan
dengan konteks penegakan hukum di Indonesia, yakni hanya aparat
hukum yang berhak melaksanakan eksekusi atas putusan pengadilan.
ِ ِ ِ
َ ‫دل اللَّدهُ َنلَْهد ِه َولَ ََنَدهُ َوج‬
ُ‫َن َّدْ لَده‬ ِ
َ َ‫َوَم ْن يَد ْقتُ ْل ُم ْؤمنًا ُمتَد ََ ِّم ًْا فَ َج َدزاُهُ ََ َ دنَّ ُ َخالد ًْا فه َ دا َوغ‬
‫هما‬ ِ
ً ‫َن َذابًا َنظ‬
Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja,
maka balasannya ialah neraka jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah
murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar
baginya (Q.s Al-Nisā’: 93).23

b. Dalam al-Hadis

‫ َح َّدْثَدنَا‬،‫ َح َّدْثَدنَا فُ َ ْده ُل بْ ُدن غَ ْدزَوا َن‬،ْ‫ َح َّدْثَنِي يَ ْحهَدس بْ ُدن َ ِدَه‬،‫َح َّْثَدنَا َنلِدي بْ ُدن َن ْ ِدْ اللَّ ِده‬

: َ َّ‫لدلَّس اهللُ َنلَْهد ِه َو َ دل‬ ِ َ ‫دال ر د‬ ِ ِ


َ ‫دول اللَّدده‬ ُ َ َ ‫ قَد‬،‫ َند ِن ابْد ِن َنَّدداً َرَّد َدي اللَّددهُ َن ْند ُ َمددا‬،ُ،‫ن ْك ِرَمد‬

21
Bunyamin, “Qiṣāṣ dalam Al-Qur’an (Kajian Fiqih Jinayah dalam Kasus Pembunuhan
Disengaja”, Jurnal Al-Adl, Vol. 07, No. 02 Juli, 2014, 116.
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. 10, 467.
23
Ibid., 93.
21

ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ ‫فَِإ َّن َما َ ُك ْ َوج َْم َوالَ ُك ْ َنلَْه ُك ْ َح َر‬
ْ ‫ في َشد ْ ِرُك‬،‫ في بَدلَْ ُك ْ َ َذا‬،‫ يَد ْوم ُك ْ َ َذا‬،‫ َك ُح ْرَم‬،‫ام‬
24
.)‫(رَواهُ اَلُْ َخا ِر ْي‬
َ ‫َ َذا‬
‘Alī bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, Yaḥyā bin Sa’īd
telah menceritakan kepadaku, Fuḍaīl bin Ghazwān telah menceritakan
kepada kami, ‘Ikrimah telah menceritakan kepada kami dari Ibn ‘Abbā
r.a, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya darah dan harta benda
sebagian dari kamu sekalian yang lain, sama seperti keharamannya
pada hari kamu sekalian ini, di negeri sekalian kamu ini dan di bulan
kamu sekalian ini (HR. Al-Bukhārī).
َ ‫ قَد‬،‫الَ ِزي د ِز بْد ُدن َن ْد ِدْ اللَّد ِده‬
ْ‫ َند ْدن ثَد ْدوِر بْد ِن َزيْدد‬،‫ َحد َّدْثَنِي ُ دلَْه َما ُن بْد ُدن بِدَلَل‬:‫دال‬ َ ُْ ‫َحد َّدْثَدنَا َن ْ د‬

‫لدلَّس اهللُ َنلَْهد ِده‬ ِ ِ ِ


َ ‫ َند ِن النَِّد ِّدي‬،ُ‫ َند ْدن جَبِدي ُ َريْد َدرةَ َرَّد َدي اللَّددهُ َن ْندده‬، ‫ َند ْدن جَبِددي السَْهد‬،‫المد َْن ِّي‬
َ
ِ ‫دل الدنَّد ْف‬
‫س‬ ُ ‫ َوقَد ْتد‬،‫دح ُر‬ ِّ ‫ َو‬،‫الشد ْدر ُِ بِاللَّد ِده‬
ْ ‫السد‬ ِ ‫السد ْع الموبَِقد‬
ِّ :‫ قَددالُوا‬،‫دات‬ ِ ْ :‫دال‬
ُ َ َّ ‫اَتَن ُددوا‬ َ ‫َو َ دلَّ َ قَد‬

ِ
.)‫(رَواهُ اَلُْ َخا ِر ْي‬ َ ِ‫الَّتي َح َّرَم اللَّهُ إََِّل ب‬
25
َ ‫الح ِّق‬
‘Abd Al-Azīz bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, Ia berkata:
Sulaīmān bin Bilāl telah menceritakan kepadaku dari Saūr bin Zaīd Al-
Madanī dari Abī Al-Ghaīts dari Abī Huraīrah r.a dari Nabi saw, Ia
bersabda: Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, yaitu
menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah,
kecuali dengan alasan yang benar (HR. Al-Bukhārī).

c. Berdasarkan ijma’ ulama


Ulama bersepakat atas pengharaman tindak pidana pembunuhan.
Apabila ada seseorang melakukan pembunuhan dengan sengaja, maka ia
menjadi orang fasik dan urusannya terserah kepada Allah Swt. Jika
berkehendak, Allah Swt akan menyiksanya, dan jika berkehendak Allah
Swt akan mengampuninya. Kemudian taubat orang yang melakukan
kejahatan pembunuhan tetap diterima menurut mayoritas ulama.26

24
Muḥammad bin Ismāīl Abū ‘Abdullah al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 2, (Bairut
Libana: Dāru Ṭūq al-Najāh, 1422 H), 176.
25
Ibid, Juz 4, 10.
26
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 544.
22

3. Unsur-unsur Pembunuhan
Setelah peneliti memaparkan asas legalitas sanksi hukum tindak
pidana pembunuhan sebagaimana sub bab di atas, maka untuk
memberlakukan hukuman tersebut harus memenuhi unsur-unsur-nya. Untuk
keperluan dalam penelitian ini, peneliti fokus pada unsur-unsur pembunuhan
sengaja atau “‫العمد‬ ْ‫”الق‬, sebab menurut mayoritas ulama pembunuhan
dengan cara dibakar termasuk dalam kategori pembunuhan tersebut
(pembunuhan sengaja).
Dalam menetapkan perbuatan mana yang termasuk unsur kesengajaan
dalam membunuh terdapat perbedaan pendapat. Menurut ulama maẓhab
Ḥanafī, suatu pembunuhan dikatakan dilakukan dengan sengaja apabila alat
yang digunakan untuk membunuh itu adalah alat yang dapat melukai dan
memang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang, seperti senjata
(pistol, senapan, dan lain-lain), pisau, pedang, parang, panah, api, kaca, dan
alat-alat tajam lainnya.27 Sementara menurut maẓhab Syāfi’ī dan maẓhab
Ḥanbālī, alat yang digunakan dalam pembunuhan sengaja itu adalah alat-alat
yang biasanya dapat menghabisi nyawa seseorang, sekalipun tidak melukai
seseorang dan sekalipun alat itu memang bukan digunakan untuk
membunuh.28
Kemudian menurut maẓhab Mālikī, suatu pembunuhan dikatakan
sengaja apabila perbuatan dilakukan dengan rasa permusuhan dan
mengakibatkan seseorang terbunuh, baik alatnya tajam, biasanya digunakan
untuk membunuh atau tidak, melukai atau tidak. Bahkan apabila seseorang
menendang orang lain dan mengenai jantungnya, lalu meninggal, maka
perbuatan ini dinamakan pembunuhan sengaja.29
a. Unsur pembunuhan sengaja
1. Korban (orang yang terbunuh) adalah manusia hidup yang terlindungi
darahnya (keselamatannya) “ma’ṣūm al-dām” oleh Negara. Dengan
demikian, apabila korban kehilangan keselamatannya, seperti; murtad,

27
Ibid., Juz 7, 546.
28
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 3-4.
29
Ibid., 4.
23

pezina muḥṣān, pembunuh, pemberontak, maka pelaku pembunuhan


tidak dapat dikenai hukuman qiṣāṣ.
2. Pembunuhan atau kematian korban itu adalah sebagai akibat tindakan
pelaku. Dengan demikian, suatu tindak kejahatan tidak dianggap
sebagai pembunuhan kecuali jika pelaku melakukan suatu tindakan
yang tindakan itu memang dapat menimbulkan kematian. Oleh
karenanya, apabila kematian korban karena suatu tindakan yang tidak
mungkin untuk dinisbatkan kepada pelaku, atau tindakan yang
dilakukannya termasuk suatu tindakan yang tidak dapat
mengakibatkan kematian, maka pelaku tidak dapat dianggap sebagai
pembunuh.
3. Pelaku bermaksud, menghendaki dan menginginkan kematian korban
atau sengaja melakukan aniaya terhadapnya dengan suatu tindakan
yang basanya mematikan. Dengan demikian, apabila perbuatan
kejahatan yang dilakukannya itu tidak bermaksud membunuh seperti
mencubit, maka perbuatan itu tidak dapat dinamakan dengan
pembunuhan sengaja.30

Sumber perbedaan pendapat maẓhab Ḥanafī dengan maẓhab Syāfi’ī,


dan Ḥanbālī dalam menetapkan pembunuhan sengaja adalah bahwa maẓhab
Ḥanafī berpendapat bahwa pembunuhan sengaja itu adalah suatu
pembunuhan yang dikenakan hukuman qiṣāṣ, sehingga untuk
membuktikannya tidak boleh ada keraguan, baik dari segi niat atau tujuan
maupun dari segi alat yang digunakan. Alat yang digunakan itu, menurut
mereka, haruslah alat yang memang disediakan atau digunakan untuk
menghilangkan nyawa. Di samping itu, perbedaan mendasar antara
pembunuhan sengaja dan semi sengaja menurut mereka terletak pada niat
atau tujuan membunuh. Oleh sebab itu, dalam menetapkan pembunuhan
sengaja diperlukan kepastian dan kehati-hatian, sehingga tidak ada yang
meragukannya, baik dari segi niat atau tujuan maupun dari segi alat yang
digunakan. Akan tetapi, maẓhab Syāfi’ī dan Ḥanbālī berpendirian bahwa
untuk membuktikan suatu pembunuhan itu disengaja cukup dengan alat
yang digunakan, yakni alat yang biasanya (bukan pasti) membawa kematian
kepada korban, apapun jenis alat yang digunakan, benda tajam, ataupun
benda tumpul, asalkan berakibat kepada kematian.31

30
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 550-587.
31
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 4-5.
24

b. Unsur pembunuhan semi sengaja


1. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.
2. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan, tetapi tidak ada niat
untuk membunuh.
3. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian
korban (kematian adalah sebagai akibat dari perbuatan pelaku).32

Perbuatan yang mengakibatkan kematian itu tidak ditentukan


bentuknya, dapat berupa pemukulan, pelukan, penusukan, dan sebagainya.
Disyaratkan korban adalah orang yang terpelihara darahnya. Dalam hal
unsur kedua, persyaratan kesengajaan pelaku melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dengan tidak ada niat membunuh korban adalah satu-
satunya perbedaan antara pembunuhan sengaja dengan pembunuhan semi
sengaja.
Dalam pembunuhan sengaja, si pelaku memang sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan kematian, sedangkan dalam pembunuhan
semi sengaja, pelaku tidak bermaksud melakukan pembunuhan, sekalipun ia
melakukan penganiayaan. Sehubungan dengan unsur ketiga, disyaratkan
adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan penganiayaan, yaitu
penganiayaan itu menyebabkan kematian korban secara langsung atau
merupakan sebab yang membawa kematiannya. Jadi, tidak dibedakan antara
kematian yang terjadi seketika.33
Menurut Munajat, bahwa setiap perbuatan baru dianggap sebagai
tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsurnya atau memenuhi syarat
dan rukunnya. Rukun jarīmah dapat dikategorikan menjadi dua; pertama
rukun umum, yaitu unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarīmah.
Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis
jarīmah tertentu.34 Lebih jelasnya unsur-unsur umum jarīmah akan peneliti
deskripsikan di bawah ini :
1) Unsur formil (adanya undang-undang atau nas). Dalam artian, setiap
perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat

32
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), Cet. I, 137-138.
33
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 6.
34
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 10.
25

dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang mengaturnya.


Dalam hal ini, syari’at Islam mengenalnya dengan istilah al-rukn al-
syar’ī.
2) Unsur materil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku
seseorang yang membentuk jarīmah, baik dengan sikap berbuat maupun
sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam Islam dikenal dengan istilah al-rukn
al-mādī.
3) Unsur moril (pelakunya mukallaf). Artinya, pelaku jarīmah adalah
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarīmah
yang dilakukannya. Dalam syari’at Islam dikenal dengan istilah al-rukn
al-adabī.35

Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa unsur-unsur di atas tidak


selamanya terlihat jelas dan terang, namun dikemukakan guna untuk
mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalan hukum pidana Islam
dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan
unsur khusus adalah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana
tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarīmah yang satu
dengan lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara unsur
umum dan khusus pada jarīmah terdapat perbedaan. Unsur umum jarīmah
macamnya hanya satu dan sama pada setiap jarīmah. Sementara unsur yang
khusus bermacam-macam serta berbeda-beda pada setiap jenis jarīmah.36
Selain memenuhi rukun atau unsur umum dan khusus sebagaimana di
atas, setiap perbuatan dianggap sebagai tindak pidana apabila telah
memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu adanya pelaku, adanya korban, dan
adanya tindakan pidana sebagaimana peneliti paparkan di atas. Untuk lebih
jelasnya peneliti jelaskan kembali sebagaimana berikut :
1. Adanya Pelaku. Pelaku ini dapat dihukum apabila memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a. Pelaku harus orang dewasa atau mukallaf, yaitu baligh dan berakal.
b. Pelaku melakukannnya dengan disengaja;37
c. Pelaku harus seorang yang memiliki kebebasan.38
35
Ibid, 10-12.
36
Ibid, 11.
37
Menurut mayoritas ulama, bahwa pelaku yang melakukan pembunuhan menghendaki
(adanya niat) hilangnya nyawa, tetapi Imām Mālik tidak mensyaratkan adanya niat, melainkan
hanya mensyaratkan kesengajaan dalam melakukannya. Lihat selengkapnya dalam; Rokhmadi,
Op. Cit, 122.
26

2. Adanya korban. Korban ini memiliki persyaratan-persayartan, yaitu :

a. Korban harus seorang yang dilindungi keselamatannya oleh Negara;


b. Korban bukan bagian dari pelaku;
c. Korban harus sederajat dengan pelaku, baik Islam maupun
kemerdekaannya.

3. Adanya perbuatan. Perbuatan ini dilakukan dengan secara langsung.


Persyaratan ini menurut Ḥanāfīyyah, tetapi menurut mayoritas ulama,
bahwa tindak pidana tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman
qiṣaṣ.39
Kemudian sanksi pidana qiṣaṣ ini dapat gugur apabila pelakunya
meninggal dunia, hilangnya anggota badan (objek) yang diqiṣaṣ, taubatnya
pelaku, adanya perdamaian, adanya pengampunan, diwariskan hak qiṣaṣ dan
kedaluarsa.40
4. Macam-macam Pembunuhan dan Sanksi Hukumnya
Pembunuhan dalam sistem pidana Islam terbagi menjadi tiga macam
(versi Syāfi’īyah, dan Ḥanābilah), yaitu pembunuhan sengaja (al-qatl al-
amd), pembunuhan mirip sengaja atau semi sengaja (al-qatl syibh al-amd),
dan pembunuhan tersalah (al-qatl al-khaṭā’), sementara versi Ḥanafīyah
membagi pembunuhan pada lima macam dengan ditambahi “pembunuhan
yang berlaku seperti pembunuhan tersalah (mā jarā majrā al-khaṭa’) dan
pembunuhan dengan sebab (al-qatl bi al-tasabub)” dan hanya terbagi
menjadi dua menurut Mālikīyah, yaitu pembunuhan sengaja dan
pembunuhan tersalah.41
Sehubungan dengan itu, peneliti fokus pada pembahasan tentang
“pembunuhan sengaja dan pembunuhan mirip atau semi sengaja”, sebab

38
Menurut Ḥanāfīyyah bahwa orang yang dipaksa melakukan pembunuhan tidak dapat
diqiṣaṣ, tetapi menurut mayoritas ulama bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan pembunuhan
tetap harus dihukum qiṣaṣ. lihat dalam; Rokhmadi, Op. Cit, 122-123.
39
Menurut mayoritas ulama, bahwa pembunuhan tidak langsung tetap dikenakan hukuman
qiṣaṣ, seperti pembunuhan langsung, tetapi menurut Ḥanāfīyyah pembunuhan itu harus perbuatan
langsung. Apabila perbuatannya tidak langsung, maka hukumannya diyat, bukan qiṣaṣ. Lihat
dalam Rokhmadi, Op. Cit, 126.
40
Ibid., 127-130.
41
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 546-548.
27

fokus penelitian peneliti ada padaya. Pembunuhan sengaja menurut Al-


Kāsānī Al-Ḥanafī ialah pelaku pembunuhan yang memang sengaja dan
bermaksud menghantam orang lain dengan senjata, seperti dengan pedang,
pisau, tombak, dan peluru, atau dengan sesuatu yang disamakan dengan
senjata dalam hal bisa merobek bagian-bagian tubuh, seperti kayu dan batu
yang dilancipkan, api dan jarum yang ditusukkan pada bagian tubuh yang
sensitif dan mematikan. Singkatnya, ulama Ḥanafīyah mengatakan bahwa
alat yang dijadikan sebagai barometer yang mengindikasikan keberadaan
maksud, niat, menghendaki tersebut.42 Sedangkan maẓhab Syāfi’ī dan
Ḥanbālī, alat yang digunakan dalam pembunuhan sengaja itu adalah alat-alat
yang biasanya dapat menghabisi nyawa seseorang, sekalipun tidak melukai
seseorang dan sekalipun alat itu memang bukan digunakan untuk
membunuh.43
Kemudian, pembunuhan semi atau mirip sengaja para ulama berbeda
dalam mendefinisikannya. Menurut Ḥanafīyah, pembunuhan menyerupai
sengaja ialah suatu pembunuhan dimana pelaku sengaja memukul korban,
namun dengan menggunakan sesuatu yang tidak masuk kategori senjata atau
yang sama hukumnya dengan senjata, seperti pembunuhan dengan benda
tumpul semisal tongkat, atau kayu besar.44 Sedangkan menurut Ḥanābilah,
pembunuhan menyerupai sengaja ialah sengaja dalam melakukan perbuatan
yang dilarang, dengan alat yang pada umumnya tidak akan mematikan,
namun kenyataannya korban meninggal karenanya.45
Kemudian terkait dengan sanksi hukum atas tindakan pembunuhan
sengaja ulama fikih mengemukakan bahwa ada beberapa bentuk hukuman
yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan dengan sengaja,
yaitu hukuman pokok (al-uqūbah al-aṣlīyah), hukuman pengganti (al-
uqūbah al-badālīyah), dan hukuman tambahan (al-uqūbah al-ziyādah).

42
‘Alāuddīn Abī Bakar bin Mas’ūd al-Kāsāni al-Hanafī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz 7, (Bairut:
Dāru Al-Kutūb al-‘Ilmīyah, 1986), Cet. 2, 233.
43
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 3-4.
44
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 648-649.
45
Dikutip oleh Rokhmadi, Hukum Pidana Islam,. Op,. Cit,. 137.
28

Hukuman pokok dari tindak pembunuhan sengaja adalah qiṣāṣ. Hukuman


qiṣāṣ untuk pembunuhan sengaja merupakan hukuman pokok, bila hukuman
tersebut tidak bisa dilaksanakan, karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh
syara’ maka hukuman penggantinya adalah hukuman diyat.46
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jenis diyat. Menurut
Imām Mālik, Abū Ḥanīfah dan Al-Syāfi’ī, diyat dapat dibayar dengan salah
satu tiga jenis; yaitu Onta, Emas atau Perak. Alasannya “Sesungguhnya
barang siapa yang membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang sah dan
ada saksi, ia harus di qiṣāṣ, kecuali apabila keluarga korban merelakan
(memaafkannya) dan sesungguhnya dalam menghilangkan nyawa harus
membayar diyat, berupa seratus ekor Onta.47 Lebih lanjut, untuk hukuman
tambahan para ulama sepakat bahwa hukumannya ialah terhalangnya
mendapatkan warisan jika pembunuh adalah salah seorang ahli waris
terbunuh dan terhalang mendapat wasiat dari terbunuh bila si terbunuh
pernah membuat wasiat pada si pembunuh.48
Sedangkan sanksi hukum atas tindak pidana pembunuhan semi atau
mirip sengaja ada tiga (3) macam, yaitu hukuman pokok, hukuman
cadangan pengganti hukuman pokok, dan hukuman konsekuensi. Pertama,
hukuman pokok yang terdiri dari dua macam, yaitu diyat mughallaẓah
berupa seratus (100) unta yang terdiri dari tiga (3) spesifikasi unta, yakni 30
ekor betina umur tiga tahun masuk tahun keempat (hiqqah), 30 ekor unta
betina umur empat tahun masuk tahun ke lima (jaza’ah) dan 40 ekor unta
yang sedang bunting (khalafah) dan pembayarannya diberi tempo selama
tiga (3) tahun dan kafarat, yaitu memerdekakan budak. Apabila tidak dapat
mendapatkan budak untuk dimerdekakan, maka puasa dua bulan berturut-
turut. Kedua, hukuman cadangan pengganti untuk pembunuhan mirip
sengaja ialah takzir yang dalam hal ini diserahkan sepenuhnya kepada
kebijakan hakim. Ketiga, hukuman konsekuensi untuk pembunuhan mirip

46
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era Modern”. Op,.
Cit,. 152-153.
47
‘Alāuddīn Abī Bakar bin Mas’ūd al-Kāsāni al-Hanafī,. Op,. Cit,. Juz 7, 212.
48
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 10.
29

sengaja, di samping diyat pelaku pembunuhan mirip sengaja juga dikenai


dua bentuk sanksi hukuman lain, yaitu terhalang dari hak mendapatkan hak
warisan dan wasiatan.49
5. Teknik Pelaksanaan Qiṣāṣ
Peneliti mengingatkan kembali, bahwa maẓhab Mālikīyah tidak
mengenal adanya pembunuhan mirip sengaja. Menurut mereka pembunuhan
tersebut sama dengan pembunuhan sengaja kecuali dalam kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, maka ini
baru disebut pembunuhan mirip sengaja.50 Kemudian, dalam bahasa Arab,
qiṣaṣ adalah menelusuri jejak51 atau pencari jejak.52 Karena orang yang
berhak atas qiṣaṣ mengikuti dan menelusuri tindak pidana terhadap
pelaku.53 Sedangkan menurut istilah, qiṣaṣ ialah memberikan balasan
kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya.54 Senada dengan ini, menurut
Zahrā, qiṣaṣ adalah memberikan hukuman kepada pelaku seperti apa yang
dilakukan terhadap korban.55
Terkait dengan teknik pelaksanaannya, ulama fikih berbeda pendapat
dalam menetapkan hukuman qiṣāṣ. Menurut ulama maẓhab Ḥanafī dan
Ḥanbālī qiṣāṣ hanya bisa dilakukan dengan pedang dan senjata, baik
pembunuhan itu dilakukan dengan pedang atau tidak.56 Hal ini berdasarkan
hadis di bawah ini :

49
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 648-661.
50
Lihat pada sub bab “macam-macam pembunuhan” di atas, dan atau lihat dalam Wahbah
Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 7, 648.
51
Ibrāhīm Unaīs, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, Juz 2, (t.tp: Dāru Iḥyā al-Turāts al-‘Arabī, t.th), 739.
52
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Arab-Indonesia terlengkap), (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), 1126.
53
Wahbah Al-Zuhaili,. Op,. Cit,. Jilid 5, 304.
54
Ibid.
55
Dikutip oleh Rokhmadi, Op. Cit, 118.
56
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 9.
30

ِ ‫ ح َّْثَدنَا جَبو َن‬:‫ال‬


‫ َن ْدن‬،‫ َند ْن ََدابِر‬،‫ َن ْن ُ ْفهَا َن‬، ‫ال‬ ِ ِ ِ
ُ َ َ َ‫َح َّْثَدنَا إِبْد َرا ه ُ بْ ُن ال ُْم ْستَم ِّر الَُْ ُروقي ق‬

َ َ‫لدلَّس اهللُ َنلَْه ِده َو َ دلَّ َ ق‬


‫ ََل قَد َدو َ إََِّل‬:‫دال‬ ِ َ ‫َن ر‬
َ ‫ول اللَّه‬
ِ ِ
ُ َ َّ ‫ ج‬،‫ َن ِن الند َْ َمان بْ ِن بَشهر‬،‫جَبِي َنا ِزب‬
ِ َّ ِ‫ب‬
َ ‫(رَواهُ إِبْ ُن َم‬
57
.)،ْ َ‫ا‬ َ ‫الس ْهف‬
Ibrāhīm bin Al-MustamirAl-‘’Urūqī telah menceritakan kepadaku, Ia
berkata: Abū ‘Āṣim telah menceritakan kepadaku dari Jābir dari ‘Āzib dari
Al-Nu’mān bin Basyīr, bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak ada
hukuman terkecuali (pembunuhan) dengan menggunakan pedang (HR. Ibn
Mājah).

Sementara maẓhab Mālikī dan Syāfi’ī berpendapat bahwa qiṣāṣ itu


dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh. Hal ini
berdasarkan ayat al-Qur’an di bawah ini :
ِ َّ ِ‫لَدرتُ لَ ُ و َخ ْهدر ل‬ ِ ِِ ِ ِِ ِ
َ ‫لصاب ِر‬
‫ين‬ ٌ َ ْ ْ َ ‫َوإِ ْن َناقَد ْتُ ْ فَد ََاق ُوا بمثْ ِل َما نُوق ْتُ ْ به َولَئ ْن‬
Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar (Q.s Al-Naḥl:
126).58

Namun demikian ulama fikih sepakat bahwa jika ada alat lain yang
lebih cepat menghabisi nyawa (misalnya senjata api, pedang, kursi listrik,
dan lain-lain), maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit
yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.59 Hukuman qiṣaṣ merupakan
hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan
tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya). Hukuman
ini penerapannya ada beberapa kemungkinan, seperti hukum qiṣaṣ dapat
berubah menjadi diyat, hukuman diyat menjadi dimaafkan dan apabila
dimaafkan maka hukuman menjadi hapus. Hukuman qiṣaṣ maupun diyat ini
meliputi beberapa masalah, yakni 1. Pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd),
2 pembunuhan semi sengaja (al-qatl syibh al-amd), 3. Pembunuhan keliru
57
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz 2, (Bairut: Dāru Iḥyā’ Al-Kutub Al-‘Arabīyah, 1987),
889.
58
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 281.
59
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah,. Op,. Cit,. Juz 2, 154.
31

(al-qatl al-khaṭā’), 4. Penganiayaan sengaja (al-jarḥ al-amd), dan 5.


Penganiyaan salah (al-jarḥ al-khaṭā’).60
6. Tujuan Pemberlakuan Hukuman Qiṣāṣ
Secara umum tujuan Allah Swt dalam menetapkan sebuah hukum
adalah untuk kepentingan, kemaslahatan dan kebaikan manusia seluruhnya
baik di dunia maupun akhirat. Secara khusus terdapat tiga (3) sasaran utama
dari tujuan penetapan hukum Islam, yaitu pensucian jiwa, penegakan
keadilan, dan perwujudan kemaslahatan.61 Lebih lanjut, menurut Ali, tujuan
hukum Islam dapat di lihat dari segi pembuat hukum, yakni Allah Swt dan
Rasul-nya, dan dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana
hukum tersebut.62
Tujuan pidana Islam dari segi pembuat hukum adalah; 1.Memenuhi
keperluan manusia yang bersifat primer (kebutuhan yang harus dilindungi
dan dipelihara sebaik-baiknya agar kemaslahatan hidup manusia terwujud
yang terdiri dari agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, dan yang
bersifat sekunder (kebutuhan yang dibutuhkan untuk mencapai kebutuhan
primer seperti kemerdekaan dan persamaan), dan tersier (kebutuhan selain
kebutuhan primer dan sekuder seperti sandang, pangan, papan); 2.Untuk
ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan seharu -hari.
Sedangkan dari manusia sebagai pelaksana atau pelaku hukum Islam
bertujuan untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera dengan
cara mengambil manfaat, mencegah dan menolak yang madharat.63
Lebih lanjut, menurut Khalāf yang dikutip oleh Malik, secara garis
besarnya membagi tujuan syari’at Islam itu kepada dua (2) bagian yaitu
tujuan umum dan khusus. Tujuan umum ditetapkannya hukum Islam ialah
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dalam hidupnya, yang

60
Makhrus Munajat, Op,. Cit,. 13.
61
Zainuddin Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 10-11.
62
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 61.
63
Ibid.
32

prinsipnya menarik manfaat dan menolak kemadharatan,64 atau dalam


bahasa al-Syatibi, tujuan umum dari ditetapkannya hukum Islam ialah untuk
mewujudkan kepada tiga tingkatan, yakni darūriyat, hājiyyat, dan
tahsīniyyat.65
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ”uqūbah” yang berasal dari kata
“‫ ” َعقَ َب‬yang memiliki lawan kata “‫ ” َخلَفَهُ َو َجا َء بِ َعقِبِ ِه‬yang bermakna
mengiringnya dan datang dibelakangnya.66 Atau diambil dari kata “‫”عَاقَ َب‬
yang sinonimnya “ُ‫س َوا ًء بِ َما فَ َعلَه‬
َ ُ‫”ج َزاه‬,
َ yang berarti membalasnya sesuai apa
yang dilakukannya.67 Pembalasan hukuman yang sesuai dengan yang
dilakukannya ini menurut Muslich bertujuan untuk; 1.Pencegahan atau
langkah preventif, yaitu menahan orang yang berbuat jarīmah agar ia tidak
mengulangi perbuatan-nya dan atau ia tidak terus-menerus melakukan
perbuatannya dan 2.Perbaikan dan pendidikan. Mendidik pelaku jarīmah
agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di samping
kebaikan pribadi pelaku, penjatuhan hukuman bertujuan untuk membentuk
masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan
mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas hak dan
kewajibannya.68
Sementara menurut Munajat, tujuan diterapkannya hukuman,
pertama yaitu dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan
melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas.
Jangka panjang aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap
masyarakat luas, misalnya dalam hal hukuman qiṣaṣ yang merupakan
bentuk keadilan tertinggi, karena di dalamnya memuat keseimbangan antara
dosa dan hukuman, kedua, hukuman dimaksudkan sebagai pencegahan
kolektif, yang berarti pemidanaan dapat memberikan pelajaran bagi orang

64
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:
Satelit Buana, 2003), 42.
65
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep Al-Istiqrā Al-
Ma’nawī Al-Syāṭibī, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 165.
66
Ibrāhīm Unaīs, Op,. Cit,. 612.
67
Ibid,. 613.
68
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), Cet.
I, 137-138.
33

lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa, dan ketiga, hukuman sebagai
pencegahan khusus, artinya seseorang yang melakukan tindak pidana
setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi
kejahatannya kembali.69

B. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pembunuhan dengan Cara Membakar


dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Peneliti di atas telah menyampaikan bahwa pembunuhan dengan cara
membakar dikategorikan sebagai “pembunuhan sengaja”. Menurut maẓhab
Ḥanafī, suatu pembunuhan dikatakan dilakukan dengan sengaja apabila alat
yang digunakan untuk membunuh itu adalah alat yang dapat melukai dan
memang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang, seperti senjata (pistol,
senapan, dan lain-lain), pisau, pedang, parang, panah, api, kaca, dan alat-alat
tajam lainnya.70 Menurut maẓhab Syāfi’ī dan maẓhab Ḥanbālī, alat yang
digunakan dalam pembunuhan sengaja itu adalah alat-alat yang biasanya dapat
menghabisi nyawa seseorang, sekalipun tidak melukai seseorang dan sekalipun
alat itu memang bukan digunakan untuk membunuh.71 Menurut maẓhab Mālikī
mengatakan bahwa suatu pembunuhan dikatakan sengaja apabila perbuatan
dilakukan dengan rasa permusuhan dan mengakibatkan seseorang terbunuh,
baik alatnya tajam, biasanya digunakan untuk membunuh atau tidak, melukai
atau tidak. Bahkan apabila seseorang menendang orang lain dan mengenai
jantungnya, lalu meninggal, maka perbuatan ini dinamakan pembunuhan
sengaja.72
Sedangkan menurut hukum pidana positif “tindak pidana pembunuhan
atau kejahatan terhadap nyawa” dalam KUHP secara garis besar
dikelompokkan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu pertama berdasarkan unsur
kesalahannya, kedua berdasarkan objeknya. Berdasarkan unsur kesalahannya
tindak pidana pembunuhan dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :

69
Makhrus Munajat, Op,. Cit,. 127-128.
70
Ibid,. Juz 7, 546.
71
Imaning Yusuf,. Op,. Cit,. 3-4.
72
Ibid,. 4.
34

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus


misdrijven). Kejahatan ini diatur dalam Buku Kedua Bab XIX KUHP Pasal
338 sampai dengan Pasal 350.
2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja (culpose
misdrijven). Tindak pidana ini diatur dalam Buku Kedua Bab XXI KUHP
Pasal 359.

Berdasarkan objeknya atau korban (kepentingan hukum yang dilindungi)


kejahatan terhadap nyawa dibedakan menjadi 3 (macam), yaitu ; 1. Kejahatan
terhadap nyawa manusia pada umumnya, diatur pada Pasal 338, 339, 340, 344,
dan 345 KUHP; 2. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat dilahirkan atau
sesaat atau tidak lama setelah dilahirkan, perbuatan ini diatur dalam Pasal 341,
342, dan 343 KUHP; 3. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam
kandungan atau masih berupa janin, dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan
349 KUHP.
Untuk keperluan dalam penelitian ini, peneliti fokus pada “pembunuhan
atau kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja”. Tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dalam KUHP terdiri dari 7 (tujuh)
macam, yaitu :73
1. Pembunuhan dalam bentuk biasa
Delik ini diatur dalam Pasal 338 KUHP yang merumuskan bahwa :
“barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Pada
pembunuhan biasa ini, pelaksanaannya haruslah tidak lama setelah
timbulnya kehendak (niat) dari pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.
Sebab apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama dari timbulnya
kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaannya, maka pembunuhan
tersebut termasuk dalam pembunuhan berencana. Pada pembunuhan biasa
ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman
pidananya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Disini
disebutkan bahwa “paling lama”, jadi tidak menutup kemungkinan hakim

73
Basse Muqita Rijal Mentari, “Sanksi Pidana Pembunuhan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Hukum Islam”, Jurnal Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 22, No. 01, Mei,
2020, 8-16.
35

akan memberikan sanksi pidana pidana kurang dari lima belas tahun
penjara.
2. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak
pidana lain
Delik ini diatur dalam Pasal 339 KUHP, yang rumusannya sebagai
berikut : “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu
perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau
mempermudah pelaksanaannya, atau melepaskan diri sendiri maupun
peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”. Pada pembunuhan dalam Pasal 339 KUHP
merupakan suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat.
3. Pembunuhan berencana
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang menyebutkan
sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan
rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Pembunuhan
berencana ini mencakup pada pembunuhan biasa atau yang diatur dalam
Pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur perencanaan terlebih
dahulu. Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat
daripada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan
merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana yang paling berat, yaitu
pidana mati, dimana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan
terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah
pada adanya perencanaan terlebih dahulu tersebut. Selain diancam dengan
pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat
dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun.
36

4. Pembunuhan oleh ibu terhadap bayinya


Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi ini dibagi menjadi 2 (dua)
macam, yaitu : Pertama, pembunuhan bayi yang dilakukan dengan tidak
berencana (pembunuhan bayi biasa). Kedua, pembunuhan bayi yang
dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu.
1) Pembunuhan bayi yang dilakukan dengan tidak berencana (pembunuhan
bayi biasa) Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 341 KUHP, rumusannya
adalah sebagai berikut : “Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan
melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian,
dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh
anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
2) Pada kasus pembunuhan ini KUHP memberikan ancaman hukuman bagi
pelakunya dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sanksi pidana
pembunuhan ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan pembunuhan
biasa. Peneliti berpendapat bahwa lebih ringannya sanksi pidana tersebut
karena dilihat dari subjek atau pelaku pembunuhannya.
5. Pembunuhan atas permintaan korban sendiri
Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 344 KUHP yang rumusannya
adalah sebagai berikut : “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Pembunuhan yang diatur dalam Pasal 344 KUHP ini berbeda dengan
pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. Perbedaannya ialah
pada pembunuhan ini; 1. dilakukan atas permintaan korban sendiri, dan 2.
secara jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati.
Apabila kedua unsur di atas tidak terbukti atau tidak ada, maka
pembunuhan tersebut akan masuk dalam pembunuhan biasa. Semua syarat
diatas bersifat kumulatif, artinya bahwa semua syarat tersebut harus
dipenuhi untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan
yang melanggar Pasal 344 KUHP. Menurut Pasal 344 KUHP, ancaman
pidana pada pembunuhan atas permintaan korban sendiri adalah pidana
penjara paling lama dua belas tahun. Hukuman ini relatif lebih ringan
daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP), mengingat bahwa inisiatif
37

dari pembunuhan ini dari permintaan korban itu sendiri, bukan dari pelaku.
Sehingga pelaku sedikit mendapatkan keringanan ancaman pidananya.
6. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri
Tindak pidana ini diatur di dalam Pasal 345 KUHP, yang rumusannya
adalah sebagai berikut: “Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk
bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”. Pada kejahatan terhadap nyawa yang
diatur dalam Pasal 345 KUHP ini, pelakunya diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun. Sanksi pidana ini termasuk yang paling
ringan diantara sanksi pidana kejahatan terhadap nyawa pada umumnya
lainnya. Hal ini didasarkan pada subjek atau pelaku tindak pidananya tidak
secara langsung melakukan pembunuhan, melainkan korban sendirilah yang
membunuh dirinya sendiri. Pelaku hanya sebagai pendorong, menolong,
atau memberi sarana dalam perbuatan bunuh diri. Berbeda dengan
pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana dimana yang melakukan
pembunuhan terhadap korban adalah pelakunya sendiri.
7. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan
Tindak pidana pengguguran terhadap janin ini berdasarkan subjeknya
dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu ; 1. Dilakukan sendiri, dan 2.
Dilakukan oleh orang lain, juga dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : 1.
Atas persetujuan wanita yang mengandung janin, 2. Tanpa persetujuan
wanita yang mengandung janin. Pada kejahatan terhadap nyawa ini, diatur
dalam empat pasal, yaituPasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Masing-
masing akan diuraikan sebagai berikut :
a) Pengguguran dan pembunuhan terhadap janin yang dilakukannya sendiri
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 346 KUHP, yang isinya; “seorang
wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungnnya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun” Adapun inisiatif dari dilakukannya kejahatan ini
adalah dari wanita yang mengandung janin itu sendiri, bukan orang lain.
Oleh karena itu wanita tersebut telah menghendaki perbuatannya dan
mengetahui akibat dari perbuatannya itu berupa gugur atau matinya janin
yang ada dikandungannya. Terhadap wanita yang melakukan tindak
38

pidana ini, KUHP memberikan ancaman sanksi pidana berupa pidana


penjara paling lama empat tahun. Ancaman sanksi pidana pada kejahatan
ini juga relatif ringan dibandingkan dengan kejahatan terhadap nyawa
lainnya.
b) Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan tanpa persetujuan
wanita yang mengandung Kejahatan terhadap nyawa ini diatur dalam
Pasal 347 KUHP yang menyatakan ; “Barangsiapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun (2). Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Maksud dari
“tanpa persetujuannya” adalah wanita tersebut tidak menghendaki akibat
perbuatan tersebut yang berupa gugurnya atau matinya kandungan yang
ada di rahimnya.
c) Pengguguran dan pembunuhan kandungan dengan persetujan wanita
yang mengandung. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 348 KUHP, yang
isinya sebagai berikut : “Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan (2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Oleh karena adanya
persetujuan dari wanita yang mengandung inilah sehingga ancaman
pidananya juga jauh lebih ringan daripada tanpa adanya persetujuan
(Pasal 347 KUHP). Dalam ayat (1) Pasal 348 disebutkan bahwa ancaman
pidana terhadap pelaku adalah pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan, sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa apabila
perbuatannya tersebut mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d) Pengguguran atau pembunuhan kandungan oleh tabib atau dokter, bidan,
atau juru obat. Pada kejahatan terhadap kandungan ini diatur dalam
ketentuan Pasal 349 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut :
“Jika seorang tabib, bidan, atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana kejahatan dilakukan”. Pada ketentuan pasal ini, disebutkan
bahwa yang bertindak sebagai subjek atau pelaku adalah tabib atau
dokter, bidan, atau juru obat. Perbuatan ini dapat berupa secara langsung
mauapun hanya membantu melakukan. Ancaman bagi pelaku kejahatan
ini lebih berat daripada pelaku kejahatan yang ada dalam Pasal 347
maupun 348 KUHP, yaitu pidananya dapat ditambah dengan
sepertiganya, meskipun sekedar sebagai pembantu saja. Selain itu, pelaku
juga dapat dipidana dengan dicabutnya haknya untuk melakukan
pencahariaannya itu. Misalnya seorang dokter atau bidan dapat dicabut
ijin prakteknya. Tentu hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57
39

KUHP tentang Pembantuan, dimana dalam Pasal 57 ancaman pidana


bagi Pembantu kejahatan justru dikurangi sepertiganya.

Kemudian secara spesifik, “jerat hukum bagi pembakar orang” yang


dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja (perspektif Al-Imrānȋ) dalam situs
online; “hukum online.com” dijelaskan bahwa hukum pembakar orang dapat
dijerat dengan menggunakan Pasal 187, 338 dan Pasal 340 KUHP sebagaimana
berikut :74
1. Pasal 187 KUHP, “Barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran,
ledakan atau banjir, diancam :
a. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena
perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
b. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena
perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
c. Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul
bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.

Melihat pada rumusan Pasal 187 KUHP, dapat dilihat bahwa tindak
pidana yang diatur dalam pasal ini merupakan tindak pidana “kesengajaan”.
Hal itu tegas terlihat di bagian awal kalimat Pasal 187 KUHP tersebut yang
menyatakan ‘Barangsiapa dengan sengaja...’. Mengenai pasal ini, Sianturi,
menjelaskan unsur tindakan yang dilarang ialah mengadakan kebakaran,
melakukan ledakan, atau menimbulkan banjir, yang dimaksud dengan
“mengadakan kebakaran” ialah membakar sesuatu, karenanya terjadi
kebakaran dan kebakaran itulah yang dikehendakinya. Bagaimana caranya
membakar, apakah dengan menyulutkan api, dengan cara kimiawi yang
dapat menyala kemudian, dengan cara elektronik, dan lain sebagainya, tidak
dipersoalkan, dan yang dimaksud dengan kebakaran ialah bahwa kobaran
api itu tidak di tempat yang semestinya.75
2. Pasal 340 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

74
Letezia Tobing, “Jerat Hukum Bagi Pembakar Orang”, dikutip dari
Https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5292962f27a9b/jerat-hukum-bagi-pembakar-
orang, diakses, Selasa, 01 Juni 2021, pukul 20.00 WIB S/d.
75
Ibid.
40

dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Terkait pasal ini, Soesilo menjelaskan bahwa “direncanakan terlebih
dahulu” maksudnya antara timbul maksud untuk membunuh dengan
pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang
memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan
dilakukan. “Tempo” itu tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya
juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempo itu
si pembuat (tindak pidana) dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang
sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan
membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan.76
3. Pasal 338 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun”.
Tindak pidana yang diatur dalam pasal tersebut merupakan tindak
pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara
lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Pembunuhan yang dilakukan
dengan cara membakar, Sianturi mengatakan bahwa apabila si petindak
sejak semula memang menghendaki matinya orang itu, maka telah terjadi
perbarengan antara Pasal 187 ke-3 KUHP dan Pasal 338 KUHP dan atau
atau Pasal 340 KUHP.77 Jadi, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat
pelaku “pembakar orang” yaitu Pasal 187 KUHP sebagai dasar laporan, dan
atau Pasal 187 KUHP dan Pasal 340 KUHP atau Pasal 187 KUHP dan Pasal
338 KUHP.78

76
Ibid.
77
Ibid.
78
Ibid.
BAB III
PENDAPAT DAN ISTINBĀṬ HUKUM IMĀM AL-‘IMRĀNĪ
TENTANG HUKUM MEMBAKAR ORANG HIDUP

A. Biografi Imām Al-‘Imrānī


1. Kelahiran Al-‘Imrānī
Al-Imrōnī lahir pada tahun 489 Hijriyah. Seorang Syaikh (mahaguru)
pengikut aliran fikih al-Syafi’i berkebangsaan Yaman ini mempunyai nama
lengkap Yaḥyā bin Abi Al-Khoir bin Sālim bin Sa’id bin ‘Abdillah bin
Muḥammad bin Musa bin Imron al-Imrōnī al-Yamani.1 Nama Al-Imrōnī
dinisbatkan kepada beliau karena ia merupakan keturunan dari ṣahabat
Imrōn bin Rabi’ah.2
Ia lahir di sebuah desa bernama Sair,3 terletak di sebelah timur laut
(syamāl syarq) kota Janad. Kota Janad sendiri adalah sebuah kota setingkat
kota kabupaten yang masuk dalam wilayah kegubernuran Taiz, Yaman.
Kota Janad terletak 21 km sebelah timur laut kota Taiz. Sedangkan Taiz
teletak di 1324 km sebelah barat Hadramaut.4 Menurut penuturan Qodli
Ismail al-Akwa’ dalam kitab Hijar al-‘ilm wa Ma’āqilihi fī al-Yaman,
Secara geografis desa tersebut merupakan wilayah dataran rendah Yaman
(al-Yaman al-asfal) karena letaknya berada pada lembah Sair (wādy sair).
Namun, Sair adalah desa yang masyhur sebagai daerah terdidik, banyak
alumninya yang menjadi tenaga pendidik, ahli fatwa, ahli fiqih, dan lain
sebagainya,5 namun sayang tidak disebutkan siapa saja tokoh yang lahir dari
desa tersebut.

1
Imām Al-Subukȋ, Ṭabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrō, (Jeddah: Dāru Ihyā’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, Juz VII, t.ṭh), Cet. I, 336.
2
Abū Muḫammad Qōsim bin Muḫammad bin ‘Ārif Agā al-Nūri, dalam al-‘Imrōnī, Al-
Bayān..., Juz I, 121.
3
Yāqūt al-Hamā, Mu’jām al-Baldān, Juz III, 296, dalam Al-‘Imrōnī, Al-Bayān..., Juz I,
121.
4
Dikutip dari id.wikipedia.org, Diakses, Selasa, 15 Juni 2021, pukul 22.44 WIB S/d.
5
Qodli Ismāil Al-Akwa’, Hijar al-‘ilm wa Ma’āqilihi fī al-Yaman, dalam al-‘Imrōnī, Al-
Bayān..., Juz I, 121-122.

41
42

2. Pendidikan dan Guru-gurunya


Selain dikenal sebagai seorang ‘Ālim (luas wawasan keilmuannya),
Imam Abū al-Husain al-Imrōnī juga dikenal sebagai pribadi yang santun,
mempunyai rasa hormat yang tinggi kepada sesama, sehingga dari sini
banyak orang yang akhirnya juga menaruh hormat dan cinta kepadanya. Ia
juga dikenal sebagai sosok yang disiplin dalam menggunakan waktu,
seluruh waktunya tidak boleh terlewat kecuali dengan selalu berżikir kepada
Allah dan mużakarah (mengingat-ingat) pelajaran atau ilmu.6
Pendidikam Al-Imrōnī tergolong sangat panjang. Ia mengembara ke
beberapa daerah untuk mendengar, mengkaji, dan belajar kepada beberapa
ulama, diantaranya adalah:
a. Imam Abū al-Futūh bin ‘Utsman al-Imrōnī, ia adalah paman Abū al-
Husain. kepadanya, Abū al-Husain belajar kitab al-Tanbīh dan Kāfi al-
Farāiḍ karya Syaikh Iṣhāq bin Yūsuf bin Ya’qūb al-Ṣardlofī.
b. Imam Zain bin ‘Abdillah al-Yafa’i
c. Abū al-Ḥasan Sirōjuddin ‘Ali bin Abi Bakr Himir al-Yamani al-
Hamdani, ia adalah ahli hadis terkenal. Kepadanya, Abū al-Husain juga
belajar kitab Kāfi al-Farāiḍ dan al-Tanbīh lagi.
d. Dan untuk kesekian kalinya, Abū al-Husain belajar lagi kitab al-Tanbīh,
kali ini dengan Imam Musa bin Ali al-Ṣa’bī.
e. Kemudian atas permintaan dari masyāyikh bani Imron, al-Faqīh
‘Abdullah bin Aḥmad al-Zabrani datang ke desa Sair, dan darinya Abū
al-Husain belajar kitab al-Muhażżab, al-Luma’ karya Abū Iṣhāq, al-
Mulakhkhoṣ, al-Irsyād karya Imam Ibnu ‘Abdawaih, dan untuk kesekian
kalinya belajar lagi kitab Kāfi al-Farāiḍ karya al-Ṣardafi.
f. Kemudian Abū al-Husain pindah ke Uhażah bersama al-Faqīh Umar bin
‘Alqomah, di sana beliau menimba ilmu dari Imam Zaid bin Hasan al-
Fāyisyi. Kitab yang dikaji adalah al-Muhażżab, Ta’līqat al-Syaikh Abi
Iṣhāq fī Uṣūl al-Fiqh, al-Mulakhkhoṣ, Ghorīb al-Hadīs karya Abū Ubaid

6
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, (Arab Saudi:
Dāru Al-Minhāj, Juz I, 2000), 127.
43

al-Harawi, Mukhtaṣar al-‘Ain karya Imam al-Khawafi, Niżām al-Ghorīb


karya al-Roba’i. Ketika kembali lagi ke desa Żi al-Safāl, ia belajar ilmu
Nahwu (tata bahasa Arab) dalam kitab al-Kāfyi karya Ibnu Ja’far al-
Ṣaffār, dan kitab al-Jumal karya al-Zijāji.7

3. Murid dan Karya-karyanya


Kecerdasan dan kealiman Abū al-Husain al-Imrōnī memang telah
dibuktikan ke dalam berbagai buah karya, dan kitab “al-Bayān” merupakan
master piece dari sekian puluh karyanya yang lain,8 diantaranya: 1) Al-
Zawāid (517-520 H); 2) Al-Ahdās; 3) Gharāib al-Wasīth; 4) Mukhtaṣar al-
Ihyā’; 5) Al-Intiṣār fī al-Radd ‘ala al-Qadariyyah al-Asyrār; 6) Manāqib al-
Imām al-Syāfi’i; 7) Al-Su`āl ‘ammā fī al-Muhaẓẓab min al-Isykāl; 8)
Musykil al-Muhaẓẓab (kitab ini menurut sebuah riwayat ditulis untuk
memenuhi permintaan muridnya, Muhammad bin Muflih, tahun 549 H); 9)
Al-Fatāwa; 10) Syarh al-Wasāil; 11) Al-Ihtirāzāt; 12) Maqāṣid al-Luma’;
13. Manāqib al-Imām Ahmad; 14) Al-Su`āl ‘ammā fī al-Muhadzab wa al-
Jawāb ‘anhā; 15) Al-Daur.
Produktifitas Imām Abū Al-Husain Al-Imrōnī dimulai ketika ia
mempersunting ibu dari putranya yang bernama Thahir.9 Ia mengawalinya
dengan mempelajari (muthala’ah) kitab Syarh al-Muzanni, al-Majmū’, al-
Lubāb, al-Tajrīd li al-Mahāmili, al-Syāmil li Ibn al-Shibbāgh, kitab al-
Furū’ li Sulaimān al-Rāzi, Syarh al-Muwallidāt li al-Qādli Abi al-Ṭayyib,
al-‘Iddah li al-Qādli Husain bin Ali al-Ṭabari, al-Ibānah li Abī al-Qāsim al-
Fūrāni. Syarh al-Talkhīṣ li Abī ‘Ali al-Sinjii. Dan ia menghimpun intisari
kitab-kitab tersebut sebagai komentar tambahan terhadap kitab al-Muhaẓẓab
ke dalam kitab yang ia namai dengan “al-Zawāid” pada tahun 517 H, dan
disempurnakannya hingga selesai pada tahun 520 H.

7
Ibid,. Juz I, 123.
8
Ibid,. Juz I, 129-130.
9
Baik di dalam Ṭabaqāt Fuqahā` al-Yaman, maupun al-Bayān juz I tidak menyebutkan
secara eksplisit nama istri beliau, di sana hanya disebutkan ummu waladihi Thāhir (ibu dari
anaknya yang bernama Thāhir). ‘‘Umar bin Ali bin Samurah al-Ja’idy, Ṭabaqāh al-Fuqahā’ al-
Yaman, 176. Abū Muhammad Qōsim bin Muhammad bin ‘Ārif Aghā al-Nūri, dalam Al-‘Imrōnī,
Al-Bayān,, 124.
44

Selesai dengan kitab al-Zawāid, ia pergi ke Makkah untuk


melaksanakan ibadah haji. Di sana ia bertemu dengan al-Faqīh Abū
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Yahyā bin Khair al-‘Utsmāni al-
Dībāji. Dengannya ia sering mendiskusikan problematika-problematika
fiqih, ushul fiqh, dan yang lainnya. Kembalinya dari Makkah ia ke Yaman
untuk melanjutkan aktifitas belajarnya (baik muthala’ah, murāja’ah, dan
mudzākarah). Kemudian muncul keinginan untuk mengarang kitab “al-
Bayān” yang terinspirasi dari beberapa masalah fiqih yang ia diskusikan
dengan al-‘Utsmani dan beberapa catatan penting (mu’alliqāt) hasil diskusi
dengannya sewaktu di Makkah.10
Tercatat ia menyelesaikan kitab “al-Bayān” selama hampir 6 tahun,
dimulai pada tahun 528 H sampai dengan 533 H.11 Al-Bayān ia susun
berdasarkan pada sistematika penyusunan kitab al-Muhaẓẓab yang telah ia
hafal. Lahirnya al-Bayān sebagai bukti akan kedalaman ilmu Abī al-Husain.
Terang saja, ia telah menghafal al-Muhaẓẓab di luar kepala karena memang
dalam sehari semalam ia selalu menghabiskan satu juz dari empat puluh satu
juz dari kitab al-Muhażżab.12
4. Istinbāṭ Hukum Imām Al-‘Imrānī
Dalam menjawab problematika syariah, sebagai ulama bermażhab al-
Syafi’i, Al-‘Imrōnī menggunakan metode-metode istinbāṭ hukum yang
lazim diterapkan dalam mażhab Syafi’i,13 yaitu sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Imām al-Syafi’i sebagai berikut:
Cara istidlal-nya Imām Syafi’i secara berurutan adalah pertama ia
berpegang pada ayat al-Quran. Jika tidak menemukan dalam ayat al-Quran
maka ia menggunakan hadis mutawatir. Jika tidak menemukannya, maka

10
Ibid,. Juz I, 125.
11
‘Umar bin Ali bin Samuroh al-Ja’idī, Ṭabaqāh al-Fuqahā’ al-Yaman, 177-178.
12
Ibid,. 178.
13
Metode-metode tersebut disusun oleh pendiri maẓhab Syafi’i, yaitu Muhammad bin Idris
al-Syafi’i. Dalam diverensiasi aliran uṣul fikih, maẓhab al-Syafi’i disebut sebagai aliran
mutakallimin. Aliran ini membangun uṣul fikih secari teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan (furū’). begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini
menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli. Lihat: Rachmat Syafe’i, Ilmu
Uṣūl Fiqh, 45.
45

mencari hadis ahad. Menurutnya bahwa hadits ahad itu termasuk dalil żanni
al-wurūd, oleh karena itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi
beberapa syarat, yaitu: perawinya itu (1) tsiqqah; (2) berakal; (3) dlābit; (4)
mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli ilmu yang juga
meriwayatkan hadis.14
Jika tidak menemukan hadits ahad, maka ia melihat pada żāhir an-nāṣ
al-Quran dan sunnah secara berurutan dan dengan teliti ia mencari segi-segi
kekhususannya. Jika tidak menemukan melalui żāhir an-nāṣ, maka ia
berpegang pada ijmak. Konsep ijmaknya adalah bahwa ijmak yan otoritatif
itu harus merupakan hasil kesepakatan ulama seluruh dunia, tanpa kecuali.
Oleh karena itu ia hanya menerima ijmak sahabat karena yang paling
mungkin terjadi kesepakatan seluruh ulama. Sedangkan ijma’ setelah
generasi sahabat, ia menolaknya. Ijma’ sahabat inilah yang menjadi hujjah
dalam istidlal. Kehujjahannya berdasarkan keyakinannya bahwa umat Islam
itu tidak mungkin sepakat dalam sesuatu yang menyimpang dari nas.
Namun demikian, ia mensyaratkan bahwa ijma’ itu harus disandarkan
kepada al-Quran dan sunnah. Disamping itu ia hanya menerima ijma’ ṣarih
dan menolak ijma’ sukuti.15
Menurutnya bahwa ijma’ dibagi dua, pertama, ijma’ al-nuṣūṣ, atau
yang berdasarkan pada nas, seperti dalam kewajiban ṣalat lima waktu,
jumlah rakaat dan waktunya ṣalat, zakat dan manasik haji. Jika ada dalil
juz’i (parsial) yang bertentangan dengan jenis ijma’ ini, maka
mengunggulkan ijma’nya. Kedua, ijma’ dalam hukm-hukum yang masih
menjadi objek perselisihan ulama, seperti pendapat Umar bin Khottob yang
tidak memberikan taah rampasan perang kepada prajurit. Meskipun ijmak
sukuti ini dapat dipegangi setelah tidak ada ijma’ nuṣuṣ namun bagi
pengingkarnya tidak dihukumi kafir, tidak seperti dalam ijmak nuṣuṣ tadi.

14
Abdul Mugits, Kritik Nalar..., 79.
15
Ibid,. 80.
46

Jika ijma’ ini bertentangan dengan dengan nas, meskipun parsial, maka ia
memilih naṣnya.16
Jika tidak menemukan ijma’ sahabat di atas, maka ia menerapkan
metode qiyas. Qiyas menurut al-Syafi’i ini hampir sama dengan konsep
qiyas para ulama pendahulunya. Hanya saja bedanya, al-Syafi’i memberikan
pengertian illat sebagai sifat yang jelas dan tegas (jaly) dan harus
disandarkan secara dalalah naṣ ke nas, bukan yang samar (khafi) seperti
maslahat dalam istihsan. al-Syafi’i dikenal sebagai orang yang pertama kali
merumuskan qiyas secara konseptual, meskipun secara teortis sudah ada
sejak masa Nabi. Qiyas menurutnya idenik dengan ijtihad, sebagaimana
ucapan Mu’aż bin Jabal “ajtahidu ra’yi wa la alu”. Penyamaan qiyas
dengan ijtihad ini berangkat dari anggapannya bahwa tidak ada ijtihad
menggunakan akal kecuali hanya qiyas. Oleh karena itu ia menolak metode-
metode rasio lainnya, seperti istihsān, istiṣlāh, zari’ah, dan ‘urf, kerena
menurutnya, bahwa al-Qur’an itu sudah meng-cover semua peristiwa hukum
dalam kehidupan manusia, meskipun dipahami dengan pendekatan ta’lili.
Oleh karena itu, qiyas bukan merupakan ketetapan hukum mujtahid tetapi
penjelasan terhadap hukum syara’ dalam masalah yang menjadi objek
ijtihad. Qiyas, menururtnya, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu, secara
berurutan, qiyas awlawi (dalalah an-naṣ), qiyas musawah dan qiyas dunya.
Kemudian, jika tidak dapat ditempuh dengan qiyas, maka ia mencari
qaul sahabat. Menurut satu riwayat, al-Syafi’i banyak menggunakan dalil
qaul sahabat ini dalam qaul qadimnya dan bukan dalam qaul jadidnya.
Tetapi menurut Rabi’ ibn Sulaiman bahwa ia juga menggunakan dalam qaul
jadidnya. Menurutnya qaul sahabat ini dibagi menjadi tiga, yaitu (1) qaul
sahabat yang disepakati semua sahabat lainnya (ijmak sahabat) yang
menurutnya termasuk dalil qaṭ’i yang menjadi hujjah, (2) qaul sahabat
secara perseorangan yang didiamkan oleh para sahabat lainnya atau sering
disebut ijma’ sukuti. Terhadap qaul yang terakhir ini al-Syafi’i tetap
memeganginya asal tidak menemukan dalil dalam nas dan ijmak sahabat

16
Ibid,. 81-82.
47

yang ṣarih, dan (3) qaul sahabat yang diperselisihkan ulama. Terhadap dalil
ini al-Syafi’i memilih yang lebih dekat dengan nas dan ijma’ yang
mengunggulkannya dengan qiyas, sebagaimana pendapat Abū Ḥanifah. Jika
tidak ada yang lebih dekat, maka ia mengikuti pendapat Abū Bakar, Umar,
dan Ali.
Menurut al-Syafi’i bahwa istihsan tidak menjadi hujjah. Menurutnya,
“barangsiapa yang beristihsan, maka sama halnya telah membuat syari’at”
sementara otoritas tasyri’ hanyalah di ”tangan” Tuhan. Secara terperinci ia
menyebutkan alasanya menolak istihsan: (1) ber-istihsan sama halnya
menganggap bahwa syariat ini tidak meng-cover semua masalah hukum,
sementara syari’at ini berlaku untuk semua zaman dan konteks; (2) Bahwa
ketaatan itu hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, oleh karena itu semua
hukum harus disandarkan pada semua ketetapan-Nya; (3) Nabi tidak pernah
menjelaskan hukum-hukumnya dengan istihsan tetapi dengan wahyu dan
qiyas; (4) Nabi pernah mengingkari keputusan sahabat yang menggunakan
istihsan; (5) Istihsan adalah teori hukum yang tidak ada patokan dan
ukurannya sehingga peran rasio dan hanya menambahkan metode istidlalnya
dengan qiyas dan membatasi penggunaan maslahat, ssehingga kurang dapat
mengimbangi dinamika hukum di masyarakat. akan mengantarkan pada
perselisihan; dan (6) jika istihsan diperbolehkan, maka banyak sekali hukum
ini hanya dapat diistinbāṭkan oleh orang yang berakal saja tanpa melibatkan
ahli ilmu. Tampak sekali bahwa asy-Syafi’i dalam beristidlal sangat
membatasi.17

17
Ibid,. 81-96.
48

B. Pendapat dan Istinbāṭ Hukum Imām Al-‘Imrānī tentang Hukum


Membakar Orang Hidup
1. Pendapat Imām Al-‘Imrānī
Pembunuhan merupakan tindakan anti kemanusiaan. Al-Qur’an
memotret tindakan tersebut dalam kisah Bani Adam (dalam tafsīr disebut
bernama Qabil dan Habil).18 Secara literal, kisah tersebut menceritakan
pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil,19 adiknya.
Alasannya adalah ketika keduanya mempersembahkan korban kepada Allah
Swt, dan hanya korban Habil yang diterima oleh-Nya. Karena alasan itulah
Habil terbunuh.20
Pada dasarnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang
menghalalkan pembunuhan, sebab tujuan agama adalah untuk perdamaian,
menyebarkan kasih sayang, dan mengatur tatanan sosial agar lebih baik.
Demikian pula dengan doktrin agama Islam, sejak awal penurunannya sudah
ditegaskan bahwa Islam mengemban visi “kerahmatan”. Dalam al-Qur’an
dikatakan :

ِ ‫سدا فِدي ا ْ َْر‬ َ ِ‫ََ ِل كَل‬


ِ ‫َ َكتَْدنَا َنلَس بَنِي إِ ْ راَِهل جَنَّهُ َم ْن قَدتَل نَد ْف‬ ِ
َ َ‫سدا بسَْهد ِر نَد ْفدس ج َْو ف‬
ً َ َ َ ْ ‫م ْن ج‬

‫داً ََ ِم ًهَددا َولََقد ْْ ََددا َتْد ُ ْ ُر ُ دلُنَا‬


َ ‫َحهَددا النَّد‬ ْ ‫داً ََ ِم ًهَددا َوَمد ْدن ج‬
ْ ‫َحهَا َ ددا فَ َكأَنَّ َمددا ج‬ َ ‫فَ َكأَنَّ َمددا قَدتَد‬
َ ‫دل النَّد‬

َ ِ‫ات ثُ َّ إِ َّن َكثِ ًهرا ِم ْند ُ ْ بَد َْ َْ كَل‬


.‫َ فِي ا ْ َْر ِ لَ ُم ْس ِرفُو َن‬ ِ َ‫بِالْ دهِّدن‬
َ
Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa
barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh

18
Sedikit berbeda dengan al-Qur’an, dalam Bibel di mana tokoh kisah tersebut
diredaksikan dengan nama Kai dan Habel. Siti Mariatul Kiptiyah, “Kisah Qabil dan Habil dalam
Al-Qur’an: Telaah Hermeneutis”, Jurnal Al-Dzikra; Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, Vol.
13, No. 01, Juni 2019, h. 32, jurnal dipublikasikan.
19
Ada beragam cerita mengenai bagaimana Qabil melakukan pembunuhan terhadap
adiknya. Dalam suatu riwayat, Qabil memukul kepala Habil dengan batu besar ketika Habil sedang
tertidur. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Qabil memukul adiknya dengan sebuah besi.
Adapun tempatnya ada yang mengatakan di gunung Qasiun (utara Damaskus), ada pula yang
mengatakan di sebuah padang rumput, juga di hutan. Menurut Kiptiyah, beberapa riwayat tersebut
bisa diterima dan tidak perlu dipertentangkan. Sebab, jika mau mencari kevalidan datanya, perlu
melakukan jejak historis. Ibid,. 47-48.
20
Ibid,. 28.
49

orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-
akan ia telah membunuh semua manusia (Q.s Al-Mā’idah: 32).21

Ayat di atas merupakan salah satu contoh kecaman Islam atas setiap
pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena, bahkan membunuh satu
jiwa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia. Karena setiap
manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan Ia merupakan anggota dari
masyarakat. Oleh karenanya, membunuh satu orang, secara tidak langsung
akan menyakiti keluarga keturunan, dan msyarakat yang hidup di
sekelilingnya.22 Bahkan dalam hadis, Islam menggolongkan pembunuhan
sebagai dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah Swt),23 sebagaimana
hadis berikut :

َ ‫ قَد‬،‫الَ ِزي د ِز بْد ُدن َن ْ د ِدْ اللَّد ِده‬


ْ‫ َند ْدن ثَ د ْدوِر بْ د ِن َزيْدد‬،‫ َحد َّدْثَنِي ُ دلَْه َما ُن بْد ُدن بِ دَلَل‬:‫دال‬ َ ُْ ‫َحد َّدْثَدنَا َن ْ د‬
َّ ِ ِ
َّ َ ‫ َند ِن النَِّ ِّدي‬،ُ‫َّي اللَّهُ َن ْنده‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫لدلس اهللُ َنلَْهده َو َ دل‬ َ ‫ َن ْن جَبي ُ َريْد َرةَ َر‬، ‫ َن ْن جَبي السَْه‬،‫الم َْن ِّي‬
َ
،‫الش ْدر ُِ بِاللَّ ِده‬ َ َ‫دول اللَّ ِده َوَمدا ُ َّدن ق‬
ِّ « :‫دال‬ ِ ‫الس ْع الموبَِق‬
َ ُ ‫ يَدا َر‬:‫ قَدالُوا‬،»‫ات‬ ِ ْ « :‫ال‬
ُ َ َّ ‫اَتَن ُوا‬ َ َ‫ق‬

ِ ِ ِ ِ ‫ وقَد ْتل النَّد ْف‬،‫الس ْحر‬


‫َّدولِّي‬
َ ‫ َوالتد‬، ِ ‫ َوجَ ْك ُل َمال الهَتده‬،‫الربَا‬ َ ِ‫س الَّتي َح َّرَم اللَّهُ إََِّل ب‬
ِّ ‫ َوجَ ْك ُل‬،ِّ‫الحق‬ ُ َ ُ ِّ ‫َو‬
.)‫ت ( َرَواهُ اَلُْ َخا ِر ْي‬ ِ َ‫ات الم ْؤِمن‬
ِ َ‫ات السَافَِل‬ ِ َ‫ف الم ْحصن‬ ِ ‫الز ْح‬
َ ُ ُ ‫ َوقَ ْذ‬،‫ف‬ َّ ‫يَد ْو َم‬
24
ُ
Abd Al-Azȋz bin Abdillah telah menceritakan kepada kami, Ia berkata:
Sulaȋman bin Bilāl telah menceritakan kepada kami, dari Saūr bin Zaȋd al-
Madanȋ, dari Abȋ Al-Ghaȋs, dari Abȋ Huraȋrah r.a, dari Nabi saw, beliau
bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan” Mereka (para
sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab,
“Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali
dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari
perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka

21
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, (Semarang: Toha Putra
Semarang, 2002), 113.
22
Hegki Ferdiansah, “Hukum Membunuh dalam Islam”. Dikutip dari Www.nuonline.com.
Diakses, Jum’ah, 18 Desember 2020, pukul 14.15 WIB S/d.
23
Lihat dalam bab II, pada sub bab “Dasar Hukum Pembunuhan”.
24
Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 4, (Bairut Libanan: Dāru Ṭūq al-Najāh, 1422 H),
10.
50

yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina” (HR.
Al-Bukhārȋ).

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kesetaraan dan


keselarasan di antara manusia. Ia selalu menekankan bahwa antara manusia
yang satu dengan yang lainnya adalah sama dan sederajat, hanya
ketakwaannyalah yang membedakannya. Hal itu dikarenakan manusia pada
dasarnya diciptakan dari jenis atau jiwa yang satu (min nafsin wāḥidah).25
Universalitas Islam ini melampaui semua perbedaan manusia, yang meliputi
suku, ras, agama, kewarganegaraan, etnis, dan jenis kelamin.26
Tindak pidana pembunuhan disebut juga dengan al-jināyah ‘alā al-
nafs al-insanīyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia).27 Dalam bahasa
Indonesia, pembunuhan diartikan dengan proses, perbuatan atau cara
membunuh.28 Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut “ ُ ْ‫ ”اَ للقَ ل‬yang berarti
mematikan.29 Oleh karenanya, pembunuhan merupakan suatu perbuatan
yang dapat menghilangkan nyawa.30 Pembunuhan, dalam hukum pidana
Islam termasuk jarȋmah qiṣāṣ-diyat, yaitu jarȋmah yang diancam dengan
hukuman qiṣāṣ (hukuman sepadan atau sebanding) atau hukuman diyat
(denda atau ganti rugi), yang sudah ditentukan batasan hukumannya.31 Salah
satu cara pelaku untuk membunuh korbannya ialah dengan cara
“membakarnya”.
Kasus korban pembakaran dengan berbagai motiv yang
melatarbelakanginya dapat dijumpai dalam beberapa media, sebut saja
lantaran lamaran ditolak dua lelaki tega membunuh seorang wanita di Desa

25
Surah al-Nisa’ ayat 1.
26
Ro’fah, dkk, Fikih Ramah Difable, (Yogyakarta: Q-Media, Cet. Ke-1, 2015), h. 93.
27
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Nurani, Vol. 13,
No. 02, Desember, 2012, 1.
28
Anton M. Moeliono, et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,
1989), 138.
29
Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, Cet. Ke-7, 2003), 1433.
30
Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyaah, Juz 32, (Kuwait: Dāru al-Salāsil, 1472), Cet. 2, 321.
31
Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam Modern”, Jurnal At-
Taqaddum, Vol. 08, No. 02, November 2016, 151.
51

Suradita, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang Selatan.32 Pembunuhan


sadis terhadap Rosida, gadis 18 tahun yang tewas dibakar di Banyuwangi,
Jawa Timur lantaran sering dipanggil kekasihnya dimuka umum dengan
sapaan “gendut”,33 dan kematian seorang istri muda ditangan suaminya
sendiri dengan cara dibakar hidup-hidup di warung atau kios miliknya,34
sungguh sadis perbuatan tersebut. Lantas, bagaiamana hukum
menghilangkan nyawa seseorang dengan cara dibakar tersebut ?
Menurut Al-Imranȋ, seorang syaikh (mahaguru) pengikut aliran fikih
Al-Syafi’i dalam kitabnya “Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfii’”
menjelaskan bahwa membunuh manusia (misalnya dengan cara dibakar)
dengan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at merupakan perbuatan yang
tidak diperbolehkan (haram- dosa besar). Keharaman ini-pun disepakati oleh
para ulama.35 Namun demikian, dalam kondisi tertentu, pembunuhan tetap
diperbolehkan (tidak haram) dengan beberapa syarat dan aturan. Ada dua
kondisi yang dibolehkan untuk menghilangkan nyawa manusia, yaitu
membunuh ketika peperangan36 yang terjadi dalam rangka mempertahankan
agama, negara, dan harga diri dan membunuh ketika menghukum.37
Kemudian, menurutnya kejahatan dengan cara membakar yang
menyebabkan kematian seseorang, maka pelakunya dihukum dengan
32
Tria Sutrisna, “Pembunuh yang Bakar Perempuan di Cisauk Ditangkap, Salah Satu
Pelaku Mantan Pacar Korban”, dikutip dari
Https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/11/13211271/pembunuh-yang-bakar-perempuan-
di-cisauk-ditangkap-salah-satu-pelaku?page=all, diakses, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB
S/d.
33
Eris Utomo, “Pembunuh Rosida Gadis Banyuwangi yang Tewas Dibakar Ditangkap
Polisi”, dikutip dari Https://jatim.inews.id/berita/pembunuh-rosida-gadis-banyuwangi-yang-tewas-
dibakar-ditangkap-polisi, dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.
34
Hasanal Bulkiyah, “Suami Bakar Istri di Dumai, Sempat Persiapkan Dua Botol Bensin”,
dikutip dari Https://riaupos.jawapos.com/dumai/08/07/2021/253387/suami-bakar-istri-di-dumai-
sempat-persiapkan-dua-botol-bensin.html, dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.
35
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, Juz 11,
(Arab Saudi: Dāru Al-Minhāj, 2000), h. 295-297.
36
Namun perlu digarisbawahi, membunuh dalam peperangan diperbolehkan ketika kedua
belah pihak sudah sepakat untuk berperang. Bila salah satunya sudah mengalah, maka menyerang
lawan tidak boleh dilakukan, dan perlu diketahui pula, yang diperbolehkan untuk dibunuh
hanyalah pasukan perang saja. Sementara anak, istri, dan keluarganya yang tidak ikut berperang
tidak boleh dibunuh. Hengki Ferdiansah, “Hukum Membunuh dalam Islam”, dikutip dari
Https://www.nu.or.id/post/read/65130/hukum-membunuh-dalam-islam, diakses, Jum’ah 11 Juni
2021, pukul 21.30 WIB S/d.
37
Surah al-Baqarah ayat 190.
52

hukuman qiṣāṣ atau hukuman sepadan, dikatakan sepadan sebab hukuman


qiṣāṣ adalah menelusuri jejak atau pencari jejak. Karena orang yang berhak
atas qiṣaṣ mengikuti dan menelusuri tindak pidana terhadap pelaku.38
Jelasnya, hukuman qiṣāṣ ini merupakan balasan sesuai dengan perbuatannya
dan atau memberikan hukuman kepada pelaku seperti apa yang dilakukan
terhadap korban,39 yakni sesuai dengan cara dan alat yang digunakan
pelaku, berdasarkan ayat al-Qur’an berikut :
ِ َّ ِ‫لَدرتُ لَ ُ و َخ ْهدر ل‬ ِ ِِ ِ ِِ ِ
َ ‫لصاب ِر‬
‫ين‬ ٌ َ ْ ْ َ ‫َوإِ ْن َناقَد ْتُ ْ فَد ََاق ُوا بمثْ ِل َما نُوق ْتُ ْ به َولَئ ْن‬
Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar (Q.s Al-Naḥl:
126).40

Jadi, apabila “membakar manusia” yang menyebabkan kematian


seseorang, maka pelakunya dihukum sesuai dengan perbutannya (dibakar
pula). Namun demikian ulama fikih sepakat bahwa jika ada alat lain yang
lebih cepat menghabisi nyawa (misalnya senjata api, pedang, kursi listrik,
dan lain-lain), maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit
yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.41 Selanjutnya, terkait dengan
eksekusi hukuman tersebut sepenuhnya diserahkan kepada Negara,
sebagaimana teks berikut :
42
. ‫ص ِم ْنهُ بِ َ ِذهِ ا ْ َ ْشهَا‬ ِ ِ َ ‫ فَم‬،‫وإِ ْن حرقَه‬
َ ُ‫ فَلل َْول ِّي جَ ْن يَد ْقت‬،‫ات‬ َ ُ ََ َ
(Al-Imrānī berkata) Apabila seseorang membakar orang lain, kemudian
meninggal dunia, maka bagi pemerintah memberikan hukuman (qiṣāṣ)
sebagaimana perbuatan yang Ia lakukan.

38
Ibrāhīm Unaīs, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, (t.tp: Dāru Iḥyā al-Turāts al-‘Arabī, Juz II, t.th), h.
739. Lihat pula; Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Arab-Indonesia terlengkap),
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1126.
39
Wahbah Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Perj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. 1, 304.
40
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 281.
41
‘Abd Al-Qādir ‘Aūdah, Al-Tasyri’ Al-Jināī Al-Islāmī, Juz 2, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-
Ilmiah, 2011), h. 154. Lihat pula dalam; Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab
Al-Imām Al-Syāfi’i, Juz 11, 415.
42
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, (Arab Saudi:
Dāru Al-Minhāj, Juz 11, 2000), 414.
53

Berdasarkan teks di atas, peneliti menyimpulkan bahwa membunuh


seseorang dengan cara dibakar, maka pelakunya dihukum sesuai perbuatan
yang mengakibatkan korban terbunuh (qiṣāṣ), yakni dengan cara dibakar
pula. Argumentasi pendapatnya tersebut, didasarkan atas al-Qur’an surah al-
Baqarah ayat 194 dan hadis Nabi saw yang akan peneliti paparkan secara
mendetail sebagai berikut.
2. Istinbāṭ hukum Imām Al-‘Imrānī
Hukum Islam dimaknai sebagai hukum yang bersumber dari wahyu,
sehingga berbeda dengan produk hukum lainnya, seperti hukum adat dan
hukum positif. Wahyu adalah sesuatu yang transenden, memiliki kedudukan
lebih tinggi dari akal, sehingga kebenaran hukum yang bersumber dari
wahyu memiliki derajat yang lebih kuat dan mengikat daripada hukum akal.
Atas argumentasi inilah hukum Islam ditempatkan sebagai hukum yang
mutlak, absolut, tetap, dan berlaku universal.43 Sebagai agama universal,
Islam memiliki sifat sālih li kulli al-zamān wa al-makān, dalam arti dapat
diimplementasikan di wilayah mana-pun dan pada waktu kapan-pun.44
Dalam ranah realitas kehidupan umat Islam, perbincangan tentang
hukum menghasilkan dua konsep penting, yaitu “syari’ah dan fikih”.
Syari’ah dimaknai sebagai khiṭāb atau aturan Syāri’ (Allah dan Rasul-Nya
dalam kedudukannya sebagai pembuat atau penetap hukum).45 Khiṭāb
tersebut terdapat dalam teks-teks hukum, baik yang terdapat dalam al-
Qur’an maupun dalam hadis. Teks-teks inilah yang kemudian ditafsirkan,
diijtihadkan kandungan hukumnya sehingga menghasilkan rincian hukum
yang detail dan operasional. Penafsiran dan ijtihad terhadap teks-teks
hukum merupakan kerja akal atau rasio yang dilakukan oleh para ulama
(mujtahid) untuk kepentingan praktis memberikan solusi hukum. Hasil

43
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”, Jurnal Al-Mazāhib,
Vol. 05, No. 02, Desember 2017, 198.
44
Ali Sodiqin, “Fiqh Sains: Elaborasi Konsep ‘Illat Menuju Pembentukan Hukum Islam
Yang Aktual”, Jurnal Perbandingan Hukum, Vol. 01, No. 05, Oktober 2017, 2.
45
Wahbah Al-Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmȋ, Juz I, (Bairut: Dāru al-Fikr al-Mu’asir,
2013), 119.
54

pemahaman atau penafsiran para ulama terhadap teks-teks hukum disebut


dengan istilah “fikih”.46
Syari’ah adalah wahyu, sedangkan fikih adalah pemahaman atas
wahyu dengan melibatkan kerja akal. Fikih inilah yang menjadi panduan
umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya, termasuk di dalamnya
ajaran yang berbentuk hukum (hukm al-amaliyah). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hukum Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat
muslim adalah produk akal para ulama terhadap wahyu, bukan hukum
berdasar wahyu semata. Dalam konteks yang lebih filosofis, hukum Islam
mengandung dua aspek sekaligus, yaitu divinitas dan humanitas. Hukum
Islam adalah divine law (hukum Tuhan) dari sisi sumbernya, namun di sisi
yang lain hukum Islam adalah human made law (hukum produk akal
manusia) dari aspek implementasinya.47
Persoalan divinitas dan humanitas dalam hukum Islam menjadi
masalah yang krusial ketika menyangkut hukum pidana Islam, sebut saja
hukuman “qiṣāṣ”, sebuah jarīmah yang hukumannya diterapkan kepada si
pelaku untuk melindungi kepentingan perorangan, meskipun tidak lepas dari
kepentingan masyarakat. Hukuman qiṣāṣ, hukuman yang salah satunya
diperuntukkan bagi pelaku pembunuhan pembakaran sebagaimana
pendapatnya Al-Imranȋ di atas berdasarkan penelusuran peneliti pada kitab
“Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfii’”, sebuah kitab yang disusun
selama kurang dari (6) enam tahun berdasarkan sistematika kitab “al-
Muhaẓẓab” karya Imām Al-Syaȋrazȋ Al-Syāfii’ ini berdasarkan sumber
hukum dari al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 194, yakni :

46
Mohammad Hashim Kamali, Membumikan Syari’ah, Pergulatan Mengaktualkan Islam,
Penj. Miki Salman, (Jakarta: Penerbit Naura Books, 2013), 5.
47
Ide fundamental yang kerap mengawali teori hukum Islam adalah bahwa setiap aturan
hukum, ketika disampaikan oleh mujtahid, tidak dipandang sebagai pendapatnya semata,
melainkan sebagai hukum Allah, hukum yang suci dan harus ditaati, walaupun ia adalah hasil
pemikiran manusia. Lihat dalam Abdul Mun’in Saleh, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan,
Berpikir Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 93.
55

َّ ‫فَ َم ِن ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ فَا ْنتَ ُْوا َنلَْه ِه بِ ِمثْ ِل َما ا ْنتَ َْى َنلَْه ُك ْ َواتَّد ُقوا اللَّهَ َوا ْنلَ ُموا ج‬
َ‫َن اللَّه‬

‫هن‬ ِ
َ ‫َم َع ال ُْمتَّق‬
Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan
serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa (Q.s al-Baqarah: 194).48

Latar belakang turunnya ayat tersebut, diceritakan oleh Ibnu Jarȋr dari
Qatādah, katanya, "Nabi saw berangkat pada bulan Zulkaidah bersama
sahabat-sahabatnya untuk melakukan umrah lengkap dengan hewan-hewan
kurban untuk disembelih. Sesampainya di Hudaȋbiah, mereka dihalangi oleh
orang-orang musyrik, yang akhirnya membuat perjanjian dengan Nabi saw
yang isinya agar Nabi beserta pengikut-pengikutnya kembali pulang pada
tahun itu, sedangkan pada tahun berikutnya mereka boleh datang lagi, yaitu
untuk melakukan umrah tersebut. Tatkala datang waktu setahun itu, Nabi
bersama para sahabat-pun pergi ke Makkah untuk berumrah, yakni pada
bulan Zulkaidah. Mulanya orang-orang musyrik membanggakan diri karena
berhasil menghalangi kaum muslimin masuk Makkah, tetapi sekarang ini
mereka menerima hukum qiṣāṣ dari Allah Swt yang telah memasukkan
kaum muslimin itu ke Masjid al-Haram, justru pada bulan di mana mereka
pernah ditolak dulu. Allah menurunkan ayat bulan suci dengan bulan suci,
pada sesuatu yang suci itu berlaku hukum “qiṣāṣ”.49
Selain bersandar pada hal tersebut, Ia mengutip sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Baȋhaqȋ. Bahwasannya, barangsiapa yang membunuh
dengan cara dibakar maka hukumnnya dibakar pula, tetapi diperbolehkan
pula dengan menggunakan samurai, sebab alat ini dapat mempercepat
kematian atau jauh dari penyiksaan.

48
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya,. Op,. Cit,. 30.
49
Jalāl Al-Dȋn Al-Suyūṭȋ, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penj. Tiem Abdul Hayyie Al-
Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2008), 76-77.
56

ُ‫ف؛ ِِلَنَّه‬
ِ ‫س لي‬ َ ْ‫ َولِ لل َولِ ِّي أَنل يَ لق‬،‫ف‬
َّ ‫ُص بِال‬ َّ ‫ َكال‬،‫ص بِ ِه‬
ِ ‫س لي‬ ِ ‫صا‬ ‫فَ َجا َز اِ ل‬
َ ِ‫سِْ ليفَا ُء ا للق‬
ِ ‫أَ لو َحى َوأَ لر َو َح ِمنَ الَّْ لع ِذ لي‬
50
‫ب‬
Diperbolehkan mengqishos dengan menggunakan pedang atau alat
yang lain sekiranya lebih mudah untuk menghabisi atau mengeluarkan
nyawa agar tidak tersiksa. sebagaimana hadis berikut :

َّ ‫ ج‬،ِ‫ َن ْن ََِّْه‬،‫ َن ْن جَبِ ِهه‬، ِ ‫ َن ْن ِن ْم َرا َن بْ ِن يَ ِزي َْ بْ ِن الَْد َرا‬،‫َوُرِّوينَا َن ْن بِ ْش ِر بْ ِن َحا ِزم‬
‫َن النَِّ َّي‬
51
.)‫(رَواهُ اَلَْد ْهد َ ِق ْي‬ َ َ‫للَّس اهللُ َنلَْه ِه َو َ لَّ َ ق‬
َ ُ‫ َوَم ْن غَ َّر َق غَ َّرقدْنَاه‬،ُ‫ َوَم ْن َح َر َق َح َرقدْنَاه‬:‫ال‬ َ
Diriwayatkan dari Bisyr bin Ḥāzim dari ‘Imrān bin Yazīd bin Al-Barā’ dari
ayahnya dari kakkeknya, bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa
yang membakar, maka kita membakarnya dan barangsiapa
menenggelamkan, maka kita menenggelamkannya (H.R Al-Baȋhaqȋ).

Hadis tersebut menjelaskan hukuman sepadan, sebanding atau “qiṣāṣ”


bagi siapapun yang berbuat kejahatan, seperti membunuh seseorang dengan
cara dibakar, maka pelakunya dibunuh dengan cara dibakar pula. Menurut
Al-Baȋhaqȋ, bahwasanya hadis tersebut, sebagaimana dikutip oleh Al-
Ṣyaūkānȋ adalah hadis yang sebagian sanadnya tidak diketahui (perawi tidak
dikenal atau tidak diketahui perilakunya).52 Dengan demikian, bahwa tindak
pidana pembunuhan dengan cara membakar manusia hidup-hidup,
hukumnya “haram” dan pelakunya dikenai hukuman sepadan atau “qiṣāṣ”
berdasarkan surah al-Baqarah ayat 194 dan hadis sebagaimana di atas.

50
lihat dalam; Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i,
Juz 11, 415
51
Imam Al-Baihaqi, Sunan Kubra li Al-Baihaqi, Juz 8, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-Ilmiah,
2003), 79.
52
Al-Ṣyaūkānȋ, Naȋl Al-Aūṭār, Juz 7, (Mesir: Dāru al-Hadis, 1993), 26.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMĀM AL-IMRĀNĪ TENTANG
HUKUM MEMBAKAR ORANG HIDUP SERTA RELEVANSINYA
DENGAN KONTEKS HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Analisis Terhadap Pendapat Imām Al-Imrānī Tentang Hukum


Membakar Orang Hidup
Pembakaran manusia hidup-hidup, sebut saja lantaran lamaran ditolak
dua lelaki tega membunuh seorang wanita di Desa Suradita, Kecamatan
Cisauk, Kabupaten Tangerang Selatan.1 Pembunuhan sadis terhadap Rosida,
gadis 18 tahun yang tewas dibakar di Banyuwangi, Jawa Timur lantaran sering
dipanggil kekasihnya dimuka umum dengan sapaan “gendut”,2 dan kematian
seorang istri muda ditangan suaminya sendiri dengan cara dibakar hidup-hidup
di warung atau kios miliknya,3 adalah beberapa dari sekian kasus sepanjang
sejarah di Indonesia. Dalam sejarah Islam, Nabi Ibrahim a.s. dibakar oleh
penguasa saat itu, namun ia diselamatkan Allah Swt dengan mendinginkan api
yang esensinya panas dan membakar. Masyitah pelayan Fir’aun digoreng di
kuali di atas tungku api, lantaran menyatakan keimanannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan mengingkari ketuhanan Fir’aun. Barangkali termasuk
dalam aksi tersebut, meskipun tidak secara langsung terhadap korban,
melainkan melalui pembakaran rumah misalnya, yang dialami Fāṭimah Zahrā

1
Tria Sutrisna, “Pembunuh yang Bakar Perempuan di Cisauk Ditangkap, Salah Satu Pelaku
Mantan Pacar Korban”, dikutip dari
Https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/11/13211271/pembunuh-yang-bakar-perempuan-
di-cisauk-ditangkap-salah-satu-pelaku?page=all, diakses, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB
S/d.
2
Eris Utomo, “Pembunuh Rosida Gadis Banyuwangi yang Tewas Dibakar Ditangkap
Polisi”, dikutip dari Https://jatim.inews.id/berita/pembunuh-rosida-gadis-banyuwangi-yang-tewas-
dibakar-ditangkap-polisi, dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.
3
Hasanal Bulkiyah, “Suami Bakar Istri di Dumai, Sempat Persiapkan Dua Botol Bensin”,
dikutip dari Https://riaupos.jawapos.com/dumai/08/07/2021/253387/suami-bakar-istri-di-dumai-
sempat-persiapkan-dua-botol-bensin.html, dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.

57
58

dan keluarganya, atau terhadap kemah yang di dalamnya adalah keluarga al-
Ḥusaȋn cucu Nabi saw di Karbala.4
Kasus sebagaimana tersebut seolah-olah nyawa manusia begitu mudah
hilang dan tidak berarti. Padahal manusia merupakan makhluk Allah Swt yang
paling mulia, Allah Swt menciptakan manusia sebagai sebaik-baiknya
makhluk. Allah menjamin segala macam hak-hak yang dibutuhkan manusia,
mulai dari hak hidup, hak kepemilikan, hak memelihara kehormatan, hak
kemerdekaan, hak persamaan, hak menuntut ilmu pengetahuan, dan hak-hak
yang lain. Hak yang paling utama dan wajib mendapat perhatian ialah “hak
hidup”. Sebab hal itu merupakan hak yang suci dan tidak seorang-pun
dibenarkan secara hukum untuk melanggar hak ini, dengan alasan apapun
yang tidak dibenarkan,5 Allah Swt berfirman :

‫ومدا فَد َقد ْْ ََ ََلْنَدا لَِولِهِّ ِده ُ د ْلطَانًا فَ َدَل‬


ً ُ‫دل َمظْل‬
ِ
َ ‫ْح ِّق َوَم ْدن قُت‬
ِ ‫وََل تَد ْقتُدلُوا النَّد ْف‬
َ ‫س الَّتي َح َّرَم اللَّهُ إََِّل بِال‬
َ َ
ِ ْ ‫يس ِر‬
‫ورا‬
ً‫ص‬ ُ ‫ف في الْ َق ْت ِل إِنَّهُ َكا َن َم ْن‬ ُْ
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampui batas
dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapatkan
pertolongan (Q.s Al-Isyrā’: 33).6

Oleh karenanya, bagi seseorang yang melanggar hak hidup orang lain
(misalnya dengan cara dibakar hidup-hidup) maka akan diancam dengan
“hukuman qiṣāṣ”. Pembahasan tentang qiṣāṣ, dalam istilah fikih masuk dalam
pembahasan “fikih jināyah”, yaitu merupakan bagian dari fikih Islam yang
mengatur tentang hukum-hukum kriminalitas. Tindakan kriminal tersebut
dikenal dengan istilah jarȋmah, sehingga terkadang tindakan pidana dalam

4
Ahmad Rusydi Al-Aydrus, “Membakar Orang Hidup-hidup, Wajarkah ?”, dikutip dari
http://ikmalonline.com/membakar-orang-hidup-hidup-wajarkah/, dikases, Senin, 14 Juni 2021,
pukul 15.00 WIB S/d.
5
Sa’adah, Yani Handayani, “Pembunuhan Terhadap Jiwa Menurut Hukum Islam dan
Positif”, makalah Sekolah Tinggi Agama Islam Siliwangi, Garut, 2013, 1.
6
Tim Penerjemah, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 2002),
285.
59

Islam disebut dengan kata jarȋmah atau jināyah. Sesuai dengan namanya,
maka ruang lingkup atau objek pembahasan dari fikih jināyah adalah
perbuatan-perbuatan yang masuk kategori pidana, yaitu tindakan yang
mengganggu atau membahayakan kepentingan umum maupun individu.7
Secara strukural, fikih jināyah diderivasi dari sumber hukum Islam,
yaitu al-Qur’an dan hadis. Nas-nas (ayat-ayat) al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi
menjadi guide line (petunjuk atau garis panduan) dalam pengembangan
wilayah kajian atau muatan fikih jināyah. Dalam pemikiran para ulama fikih,
kategori fikih jināyah dibagi menjadi tiga, diantaranya yaitu qiṣāṣ-diyat. Dasar
pembagian ini adalah jenis perbuatan serta jelas tidaknya jenis hukumannya
dalam al-Qur’an maupun hadis. Hukuman qiṣāṣ-diyat adalah kategori hukum
pidana Islam yang menyangkut masalah pembunuhan dan penganiayaan atau
pelukaan.8 Hukuman yang dikenakan untuk tindak kriminal ini adalah dibunuh
(qiṣāṣ), membayar ganti rugi atau denda materiil (diyat), dan atau membayar
kafarat (sanksi teologis, seperti memerdekakan budak, puasa, atau memberi
makan kepada fakir miskin). Jenis hukuman tersebut bersifat alternatif, yang
dapat dipilih salah satunya. Penentuan hukuman pada kategori ini sangat
terkait dengan hak korban, artinya jika keluarga korban memaafkan tindakan
pembunuhan tersebut, maka gugurlah hukum qiṣāṣ-nya. Dengan kata lain,
Syari’ (Tuhan) menetapkan jenis hukuman yang dapat diberlakukan,
sedangkan penentuan jenis hukum yang dikenakan menjadi kewenangan
keluarga korban pembunuhan.9
Ketentuan tentang hukum qiṣāṣ-diyat secara kronologis didasarkan pada
nas-nas al-Qur’an. Berdasarkan periodisasi Makkiyah-Madaniyyah, ayat-ayat
yang berbicara tentang qiṣāṣ-diyat pada periode Makkah adalah surah al-Isra’

7
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 2.
8
Para Fuqaha’ membagi jenis pembunuhan menjadi tiga tingkat, yaitu pembunuhan sengaja
(’amd), semi-sengaja (’amd khaṭa’), dan tidak sengaja (khaṭa’). Perbedaan tingkatan berakibat
perbedaan hukuman yang dikenakan. Bagi pembunuhan sengaja hukumannya adalah dibunuh,
untuk semi sengaja hukumannya membayar diyat (ganti rugi) dan kafarat, sedangkan untuk
pembunuhan tidak sengaja ditebus dengan diyat dan ta’zȋr. Lihat selengkapnya dalam; Wahbah
Al-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Perj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), Cet. I, 546-549.
9
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”, Jurnal Al-Mazāhib,
Vol. 05, No. 02, Desember 2017, 203-204.
60

ayat 33 sebagaimana peneliti kemukakan di atas dan surah al-Syura ayat 40,10
sedangkankan yang turun pada periode Madinah adalah surah al-Baqarah ayat
178,11 179,12 surah al-Nisa’ ayat 92,13 93,14 dan surah al-Maidah15 ayat 45.16
Ayat-ayat tentang qiṣāṣ-diyat tersebut mengindikasikan adanya lima tahapan
dalam proses inkulturasinya (sebagai penyisipan ke dalam suatu kebudayaan-

10
َ‫بِ إِنَّ تهُ َن يُ ِ تتب ال َّتتالِ ِمين‬ َّ ‫ْ تلَ َع فَتته َ لج ُرهُ َعلَتتى‬ ‫س تيِّ َ ل ِم لالُ َمتتا فَ َمتتنل َعفَتتا َوأَ ل‬ َ ‫س تيِّ َ ي‬
َ ‫( َو َج تزَا ُء‬Dan balasan suatu
kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik
“kepada orang yang berbuat jahat” maka pahalnaya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai
orang-orang zalim, Q.s al-Syura: 40). Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 487.
11
‫اص فِي ا للقَ لْلَى ا لل ُ ر بِا لل ُ ِّر َوا لل َع لب ُد بِا لل َع لب ِد َو لاِلُ لناَى بِ لتاِلُ لناَى فَ َمتنل ُعفِت َي لَتهُ ِمتنل أَ ِخيت ِه‬ ُ ‫ص‬ َ ِ‫ب َعلَ لي ُك ُم ا للق‬ َ ِْ‫يَا أَي َما الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُك‬
َ
‫اب ألِتي لم‬ ‫سا ين َذلِ َك ت لَخفِيفل ِمنل َربِّ ُك لم َو َر لح َم ل فَ َم ِن ا لعَْدَى بَ لع َد َذلِ َك فَلَتهُ عَتذ ل‬
َ َ ‫وف َوأَدَا لء إِلَ لي ِه بِإ ِ لح‬ ‫َي لء فَاتِّبَا ل‬
ِ ‫ع بِا لل َم لع ُر‬ ‫( ش ل‬Wahai orang-
orang yang beriman!, Diwajibkan atas kamu “melaksanakan” qisas berkenaan dengan orang
yang dibunuh. Orang merdeka dengan dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba
sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya,
hendaklah ia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat “tebusan” kepadanya dengan baik
“pula”. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhamu. Barang siapa melampui
batas stelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih, Q.s al-Baqarah: 178). Al-Qur’an
Al-Karim dan Terjemahannya, 27.
َ‫ب لَ َعلَّ ُكت لم تََّْقُتون‬ ِ ‫ص َحيَاةل يَا أُولِتي لاِلَ للبَتا‬ َ ِ‫( َولَ ُك لم فِي ا للق‬Dan dalam qisas itu ada “jaminan” kehidupan
12
ِ ‫صا‬
bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa, Q.s al-Baqarah: 179). Al-Qur’an
Al-Karim dan Terjemahannya, 27.
13
‫ستلَّ َم ل إِلَتى أَ لهلِت ِه إِ َّن أَنل‬ َ ‫َو َمتا َكتانَ لِ ُمتِل ِم ين أَنل يَ لقُْت َ ُمِل ِمنًتا إِ َّن َخوَته ً َو َمتنل قََْت َ ُمِل ِمنًتا َخوَته ً فََْ ل ِريت ُر َرقَبَت ي ُمِل ِمنَت ي َو ِديَت ل ُم‬
‫ستلَّ َم ل إِلَتى أَ لهلِت ِه‬ ‫م‬
َ ُ َِ ‫ل‬‫ل‬ ‫ت‬‫ي‬ ‫د‬َ ‫ف‬ ‫ق‬ ‫تا‬َ ‫ا‬ ‫ي‬ ِ ‫ص َّدقُوا فَإِنل َكانَ ِمنل قَ لو يم َع ُد ٍّو لَ ُك لم َو ُه َو ُمِل ِمنل فََْ ل ِري ُر َرقَبَ ي ُمِل ِمنَ ي َوإِنل َكانَ ِمنل قَ لتو يم بَ ليتنَ ُك لم َوبَ لي ُ ل‬
‫م‬ ‫م‬ ‫م‬ َ ‫ن‬ ‫ت‬ َّ َ‫ي‬
‫بُ َعلِي ًمتا َح ِكي ًمتا‬ َّ َ‫بِ َو َكتان‬ َّ َ‫صتيَا ُم شَت لم َر لي ِن ُمََْْتابِ َع لي ِن ت لَوبَت ً ِمتن‬ ِ َ‫( َوتَ ل ِريت ُر َرقَبَت ي ُمِل ِمنَت ي فَ َمتنل لَت لم يَ ِجت لد ف‬Dan tidak patut bagi
seorang yang beriaman membunuh seorang yang beriman “yang lain”, kecuali karena tersalah
“tidak sengaja”. Barang siapa membunuh orang karena tersalah “hendaklah” dia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta “membayar” tebusan yang diserahkan kepada
keluarganya “si terbunuh itu”, kecuali jika mereka “keluarga terbunuh” membebaskan
pembayaran. Jika ia “si terbunuh” dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang yang
beriman, maka “hendaklah si pembunuh” memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika
ia “si terbunuh” dari kaum “kafir” yang ada perjanjian “damai” antara mereka dan kamu, maka
“hendaklah si pembunuh” membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya “si terbunuh”
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak menemukan “hamba
sahaya”, maka hendaklah dia “si pembunuh” berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat
kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana, Q.s al-Nisa: 72). Al-Qur’an Al-
Karim dan Terjemahannya, 93.
14
‫بُ َعلَ ليت ِه َولَ َعنَتهُ َوأَعَت َّد لَتهُ عَت َذابًا َع ِ ي ًمتا‬ َّ ‫تب‬ ِ ََ ‫( َو َمنل يَ لقُْ ل ُمِل ِمنًا ُمَْ َع ِّمتدًا فَ َجتزَا ُههُ َج َمتنَّ ُم َخالِتدًا فِي َمتا َو‬Dan barang
َ ‫َّللا‬
siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka
Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan
azab yang besar baginya, Q.s al-Nisa: 93). Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 93.
َ ‫ف َو لاِلُ ُذنَ بِ لتاِلُ ُذ ِن َوالسِّتنَّ بِالسِّتنِّ َوا لل ُجت ُر‬ ِ ‫س َوا لل َعيلنَ بِا لل َع لي ِن َو لاِلَ لنفَ بِ لاِلَ لن‬
ِ ‫س بِالنَّ لف‬ َ ‫َو َكَْ لبنَا َعلَ لي ِم لم فِي َما أَنَّ النَّ لف‬
15
‫تاص‬
‫ص ل‬ َ ِ‫وح ق‬
َ‫بُ فَهُولَ ِت َك هُت ُم ال َّتالِ ُمون‬ َّ َ ‫ق بِ ِه فَمُ َو َكفَّتا َرةل لَتهُ َو َمتنل لَت لم يَ ل ُكت لم بِ َمتا أَ لنت َز‬ َ َ‫( فَ َمنل ت‬Kami telah menetapkan bagi mereka
َ ‫ص َّد‬
didalamnya “Taurat” bahwa nyawa “dibalas” dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka “pun” ada qisasnya “balasan yang
sama”. Barang siapa melepaskan “hak qisasnya”, maka itu “menjadi” penebus dosa baginya.
Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah , maka mereka itulah
orang-orang zalim, Q.s al-Maidah: 45). Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, 115.
16
Selengkapnya lihat dalam; Ali Sodiqin, Hukum Qisas, Dari Tradisi Arab Menuju Hukum
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010).
61

Arab).17 Tahap pertama adalah perubahan struktural terhadap pelaksanaan


tradisi qiṣāṣ-diyat (surah al-Isra’ ayat 33). Ayat ini masih berbicara tentang
larangan pembunuhan secara umum dan belum secara tegas menyebut praktik
qiṣāṣ-diyat.18 Tahapan kedua adalah legitimasi, transformasi, dan penegasan
filosofi pelaksanaan qiṣāṣ-diyat (surah al-Baqarah ayat 178 dan 179). Pada
tahap ini al-Qur’an menegaskan prinsip kesepadanan dalam pembalasannya.
Tahap ketiga adalah penjelasan aturan-aturan khusus (surah al-Nisa’ ayat 92),
berupa pengecualian sekaligus batasan dalam pelaksanaan hukum qiṣāṣ-diyat.
Al-Qur’an menegaskan perbedaan hukuman antara pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja dengan yang tidak sengaja. Tahapan keempat
adalah finalisasi aturan hukum (surah al-Nisa ayat 93), yang menurut Rida
merupakan ayat yang terakhir tentang qiṣāṣ-diyat.19 Jika ayat-ayat sebelumnya
al-Qur’an menjelaskan sanksi pembunuhan dari aspek sosiologisnya, maka
melalui ayat ini al-Qur’an menjelaskan sanksi teologisnya. Pembunuh yang
dengan sengaja melakukan pembunuhan, maka dia akan menerima hukum
qiṣāṣ dan akan mendapatkan siksa di akhirat. Dengan kata lain, pembunuhan
tidak hanya merupakan kejahatan kemanusiaan tetapi juga termasuk kejahatan
keagamaan.20 Demikian hal-nya dengan “jerat hukum pembakar manusia”.21
Hukuman qiṣāṣ (hukuman sepadan) bagi pembakar manusia
sebagaimana pendapatnya Imām Al-Imrānȋ merupakan hukum yang
terbentuk melalui integrasi antara wahyu dengan akal. Wahyu memberikan
nilai, norma, dan prinsip dasar dalam penegakan hukum, sedangkan akal
berfungsi menjelaskan, merinci, dan mengoperasionalkan ketentuan-
ketentuan dalam prinsip dasar tersebut. Oleh karenanya, dalam penetapan

17
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat ini turun setelah ayat tentang larangan membunuh anak
dan larangan berbuat zina. Lihat dalam; Wahbah al-Zuhaili, Tafsȋr al-Munȋr fȋ ‘Aqȋdah wa al-
Syari’ah wa al-Manhaj, Juz 15, (Bairut: Dāru al-Fikr al-Ma’asir, 1998), 70.
18
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat ini turun setelah ayat tentang larangan membunuh anak
dan larangan berbuat zina. Lihat dalam; Wahbah al-Zuhaili, Tafsȋr al-Munȋr fȋ ‘Aqȋdah wa al-
Syari’ah wa al-Manhaj, Juz 15, (Bairut: Dāru al-Fikr al-Ma’asir, 1998), 70.
19
Rasyid Rida, Tafsȋr al-Qur’an al-‘Azȋm al-Ma’rūf bi Tafsȋr al-Manār, Juz 2, (Bairut:
Dāru Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2002), 287
20
Lihat selengkapnya dalam; Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-
Imām Al-Syāfi’i, Juz 11, (Arab Saudi: Dāru Al-Minhāj, 2000), 295 dan seterusnya.
21
Ibid,. 414.
62

hukum qiṣāṣ terdapat dua pihak yang berperan, yaitu Syāri’ (yang diartikan
pembuat hukum), dan Mujtahid22 (yang berfungsi sebagai penjelas hukum).
Syāri’ memiliki otoritas membuat hukum yang menjadi sumber peraturan
hukum manusia. Hukum dari Syāri’ berupa wahyu yang mutlak kebenarannya
dan universal keberlakuannya.
Dalam konteks ini, maka wujud aturan hukum yang berupa wahyu
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yang keduanya disebut dengan law in
book. Mujtahid berperan sebagai pihak yang mengungkap dan menjelaskan
aturan Syāri’, yang tentu produknya tidak setara dengan wahyu. Aturan
hukum yang dihasilkan mujtahid bersifat relatif dan partikular yang mewujud
dalam keragaman pendapat ulama. Aturan hukum hasil kajian mujtahid lebih
aplikatif dan disebut dengan law in action. Oleh sebab itu, dalam realitas
keberagamaan, produk hukum mujtahid inilah yang menjadi pedoman umat
Islam dalam menjalankan ajaran agamanya. Dari aspek penetapan hukum
Islam, peran manusia (mujtahid) lebih dominan, karena memiliki kewenangan

22
Posisi Imām Al-Imrānȋ sendiri sebagai “Mujtahid Mutlak Ghaȋr Al-Musytaqil”. Al-
Zuhaili mengemukakan tingkatan mujtahid menurut al-Suyūṭȋ, ibnu al-Ṣalah dan al-Nawāwȋ yang
membaginya ke dalam lima tingkatan; Pertama, al-Mujtahid al-Mustaqil, yaitu mujtahid yang
mendirikan fikih atas dasar metode dan kaidah yang ditetapkannya sendiri. Imam empat adalah
contoh mujtahid yang tergolong dalam kategori ini. Kedua, al-Mujtahid al-Muthlaq Ghair al-
Mustaqil, ialah mujtahid yang mencakup kriteria (syarat-syarat) berijtihad tetapi metode yang
digunakannya terikat pada imam yang dianutnya. Mujtahid level ini, walaupun terikat pada salah
satu metode mazhab dalam melakukan ijtihad, ia tidak terpengaruh oleh Imam Mazhab tersebut.
Dengan kata lain, ia adalah tingkatan mujtahid yang memiliki fikih sendiri, tetapi tidak memiliki
uṣūl fiqh. Contoh mujtahid' dafam tingkatan ini, antara lain, Abū Yusūf (113-183 H), Muḫammad
(132-189 H), dan Zufar (110-157H), pengikut Abū Hanȋfah; Ibn al-Qāsim (w. 191 H) dan Asyhab
(140-204 H) dari pengikut Malik, al-Buwaiṭȋ (w. 231 H), al-Za'farani (w. 306 H), al-Muzānȋ (175-
264 H) dari kalangan pengikut al-Syafi'i dan lain sebagainya. Ketiga, al-Mttjtahid al-Muqayyad
atau al-Mujtahid al-Takhrȋj, yaitu seseorang yang telah memenuhi kriteria berijtihad dan mampu
menggali hukum dari sumbernya. Walaupun ia mujtahid yang tidak menginginkan keluar dari
dalil-dalil dan pandangan imamnya, namun ia tetap berupaya meng-istinbaṭ-kan hukumnya.
Mujtahid dalam katagori ini boleh disebut juga dengan mujtahid fi al-Mazhab. Di antara mujtahid
yang tergolong pada peringkat ini ialah; Ḥasan ibn Ziyad (w. 240 H.), al-Karkhȋ (260-340 H), al-
Sarakhsȋ (w. 418 H) dari mazhab Hanafi; al-Abhari (w 395 H.) dan Ibn Abi Zaid (w. 386 H) dari
mazhab Maliki; Abū Isḫāq al-Syirazȋ (w. 476 H.) dan al-Mawardi (w. 462 H.) dari mazhab Syafi'i.
Keempat, Mujtahid al-Taryib, yaitu pakar fikih yang dengan sungguh-sungguh mempertahankan
mazhab imamnya dengan mengetahui konstelasi pandangan imamnya, dan mampu men-tarjȋḫ-kan
pendapat yang kuat dari imam dan pendapat-pendapat yang terdapat dalam mazhabnya. Kelima,
Mujtahid al-Fatwa, ialah pakar fikih yang berusaha memelihara mazhabnya, mengembangkan dan
mengetahui seluk beluknya serta mampu memberikan fatwa dalam koridor yang telah ditetapkan
oleh Imam Mazhabnya, tetapi tidak mampu ber-istidlal. Lihat selengkapnya dalam; Fauzul Iman,
“Ijtihad dan Mujtahid”, Jurnal Al-Qalam, Vol. 21, No. 100, Januari-April, 2014, 3-4.
63

menjelaskan aturan hukum yang aplikatif. Dengan demikian terdapat ruang


humanitas dalam hukum Islam yang bersumber dari wahyu. Sehingga hukum
Islam, termasuk hukum pidananya, adalah perpaduan antara hukum Tuhan
dengan hukum manusia.
Dalam kajian uṣūl fikih ada dua konsep yang dapat dijadikan sebagai
teori untuk menjelaskan tentang aspek humanitas dalam hukum pidana Islam.
Kedua konsep tersebut adalah Al-Ḥākim sebagaimana peneliti paparkan di atas
dan Maḫkūm Fih. Dalam konsep maḫkūm fih dijelaskan bahwa perbuatan yang
masuk kategori objek hukum memenuhi tiga asas, yaitu ; asas legalitas, asas
otoritas, dan asas kapabilitas. Asas legalitas menegaskan bahwa sebuah
perbuatan hukum harus ada aturan yang mengaturnya, asas otoritas
mempersyaratkan bahwa aturan hukum harus ditetapkan oleh otoritas yang
berwenang (al-Ḥākim), dan asas kapabilitas berhubungan dengan perbuatan
hukum yang dituntut harus berada dalam kemampuan subjek hukum
(manusia).23
Maka atas dasar itulah, para ulama membagi objek hukum dari sisi
kewenangan pelaksanaannya ke dalam empat kategori, yaitu ; pertama, murni
hak Allah dan termasuk ibadah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut
kemaslahatan umum tanpa kecuali, termasuk di dalamnya hukum ḫudūd.
Kedua, murni hak hamba (manusia), yaitu yang menyangkut hak pribadi
seseorang, seperti ganti rugi barang yang rusak. Ketiga, mengandung dua hak,
yaitu hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan, seperti
hukuman qaẓāf, dan keempat, mengandung dua hak, tetapi hak hamba lebih
dominan, seperti hukum “qiṣāṣ”.24
Qiṣāṣ merupakan kata turunan dari ‘‫صتا‬
ً ‫ص‬
َ ِ‫صتا َوق‬ َّ َ‫ ’ق‬yang bermakna
ً ِ‫يَقُص ق‬-‫ص‬
menggunting, mendekati, menceritakan, mengikuti (jejaknya), dan
membalas.25 Qiṣāṣ juga diartikan dengan ‘ُ ‫’اَ لل ُم َماثَلَت‬, yaitu “keseimbangan dan

23
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”, 207-208.
24
Muḫammad Abū Ḥasan, Aḫkām Al-Jarȋmah wa ‘Uqūbah Fi Al-Syari’ah Al-Islāmiyah,
Dirāsah Muqāranah, (Ardan: Maktabah al-Manār, 1987), 171.
25
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), 1126. Lihat pula dalam; Ibrāhīm Unaīs, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, Juz II, 739.
64

kesepadanan”.26 Ibn Mandhūr menyebutkan, “ ‫القِصتاص هُت َو أَن يَ لف َعت َ بِت ِه ِم لات َ فِ لعلِت ِه ِمتنل‬
‫”قَ لْت ي‬, yaitu suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk
tindak pidana yang dilakukan, seperti membunuh dibalas dengan
membunuh.27 Demikian pula apabila si pembunuh membunuh si terbunuh
dengan mambakarnya (yang dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja).
Apabila demikian maka pembunuh dibunuh dengan cara dibakarnya pula,
tetapi boleh dengan menggunanakan alat lain, seperti “pedang”, kata Al-
Imrānȋ.
Penerapan hukuman qiṣāṣ terhadap “pembunuhan sengaja memerlukan
persyaratan yang ketat. Para ulama menyebutkan beberapa ketentuan yang
terkait dengan pembunuh, orang yang dibunuh, dan pembunuhan itu sendiri.
Ketiga unsur tersebut harus terpenuhi sebagai syarat untuk dapat dijatuhkan
hukuman qiṣāṣ. Pembunuh yang dikenai qiṣāṣ harus sudah baligh, berakal,
sengaja membunuh, dan dalam keadaan tidak terpaksa.28 Penentuan terhadap
syarat ini menjadi kewenangan hakim.29 Syarat ini tidak langsung menjadikan
pembunuhnya diqiṣāṣ, tetapi bergantung pada ketentuan yang berlaku
terhadap korban. Korban pembunuhan harus memenuhi syarat terlindung
darahnya, bukan bagian keluarga pembunuh, dan bukan milik pembunuh.
Orang yang terlindung darahnya adalah orang Islam yang tidak melakukan
zina muhsan.30 Sehingga apabila korban pembunuhan adalah pelaku zina
muhsan, atau orang murtad (keluar dari agama Islam), maka pembunuhnya
tidak dihukum qiṣāṣ.31

26
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, 589.
27
Jamāluddin ibn Mandhūr, Lisān Al-‘Arab, Juz VII, (Bairut: Dāru Ṣādir, 1414), Cet. 3, 76.
28
Mengenai syarat tersebut lihat dalam al-Syafi’i, Al-Umm, Juz VII, h. 17. Ibn ‘Ābidȋn
mensyaratkan mukallaf dan berakal, lihat dalam Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-
Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X (Bairut: Dāru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 162.
29
Ibn Ḥazm, Al-Muḫallā bi al-Aṣar, Juz X, (Bairut: Dāru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), 216.
30
Di kalangan fuqaha terdapat perbedaan terhadap korban zina muhson, apakah pelakuknya
diqiṣāṣ atau tidak. Ulama Ḥanābilah pelakunya tidak diqiṣāṣ, sedangkan menurut ulama Syāfi’iyah
terbelah menjadi dua, sebagian berpendapat bahwa pelakunya tetap diqiṣāṣ dan sebagian yang lain
berpendapat tidak. Lihat dalam Muḫammad Maḫmūd Bakar, al-Fiqh al-Jinā'i al-Islāmȋ fi Daū al-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Dāru al-Kutub al-Ilmiah, 2015), 43.
31
Dasar dari ketentuan ini adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhārȋ Muslim dari
Abdullah Ibn Mas’ūd yang artinya: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulullah, kecuali karena tiga hal: laki-laki yang sudah
berkeluarga yang berzina, pembunuh di luar hak, dan orang yang murtad”.
65

Korban pembunuhan juga bukan anak dari pembunuh. Di kalangan


jumhur fuqaha sepakat bahwa jika seorang bapak membunuh anaknya, maka
dia tidak dapat dihukum qiṣāṣ. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku
sebaliknya, dalam arti jika anak yang membunuh bapaknya dia tetap dikenai
hukuman qiṣāṣ.32 Argumentasinya adalah bahwa bapak menjadi penyebab
kehidupan anak dan bukan sebaliknya. Jika anak membunuh orang tuanya
maka dia tidak hanya diqiṣāṣ, tetapi dia juga tidak berhak menerima warisan
atau wasiat.33
Seorang tuan pemilik budak juga tidak diqiṣāṣ jika dia membunuh
budaknya, tetapi jika budak yang membunuh tuannya dia dijatuhi hukuman
qiṣāṣ,34 kecuali ulama Ḥanāfiyah.35 Perbedaan pendapat ini didasarkan pada
diferensiasi penafsiran terhadap asas kesepadanan. Menurut pendapat jumhur
(mayoritas ulama), asas kesepadanan terletak pada kemerdekaan dan
keimanan, sehingga jika terjadi perbedaan status merdeka dengan tidak
merdeka (tuan-budak), beriman dengan tidak beriman (muslim-kafir), maka
tidak dapat dilaksanakan qiṣāṣ.36
Hukuman bagi pelakunya adalah memerdekakan budak, atau membayar
harga budak yang dibunuh tersebut. Pendapat ini juga didasarkan pada hadis
nabi.37 Ketentuan ini mengadopsi langsung apa yang terjadi pada masa nabi,
tanpa mengkontekstualisasikannya dengan situasi pada masa para fuqaha
tersebut hidup. Sementara ulama Ḥanāfiyah menganggap asas kesepadanan

32
Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat. Abū Ḥanȋfah, Al-Syafi’i, dan Aḫmad
Ibn Ḥanbal berpendapat bapak tersebut tidak dibunuh, tetapi Imām Mālik menetapkan bahwa
bapak tersebut dikenai hukuman qiṣāṣ. Lihat dalam Abdul Khāliq Nawawi, Jarāim al-Qatl fi al-
Syari’ah al-Islāmiyah wa al-Qanūn al-Wad’ȋ, (Bairut: Mansyurah al-Maktabah al-Isyriyah, 1980),
h. 64.
33
Dasarnya adalah hadis: “orang tua tidak diqiṣāṣ karena membunuh anaknya”, dan juga
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan”.
34
Imām Al-Sarkhasī, Al-Mabsūṭ li al-Syamsuddīn al-Sarkhasī, Juz 10, (t.tp: Darul Kutub
al-Ilmiyah, t.th), 129-130.
35
Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X, h.
164.
36
Imām Al-Syafi’i, Al-Umm, Juz VII, 72.
37
Hadis tersebut berbunyi: “Bahwa seorang laki-laki telah membunuh hambanya dengan
memenjarakannya dengan sengaja. Maka Nabi menjilidnya sebanyak seratus kali, membuangnya
selama setahun, dan menghapus sahamnya dari kaum muslimin. Akan tetapi beliau tidak
mengqiṣāṣnya, beliau memerintahkannya agar ia membebaskan hamba sahaya”.
66

tersebut didasarkan pada prinsip jiwa dengan jiwa sebagaimana ketentuan


dalam surat al-Maidah ayat 45. Hukuman qiṣāṣ akan dijatuhkan terhadap
pembunuhan yang dilakukan oleh individu tanpa memandang status sosial
maupun religiusnya. Dengan demikian tuan yang membunuh budak tetap
dijatuhi hukuman qiṣāṣ.38
Di samping itu para fuqaha juga membuat pembedaan pembunuhan
yang dilakukan muslim terhadap non muslim, pemerintah terhadap rakyat, dan
pembunuhan yang dilakukan secara kolektif dengan korban satu orang.
Pembedaan kategori ini juga merupakan penafsiran ulama terhadap
kesepadanan dalam qiṣāṣ. Bagi jumhur, muslim tidak dapat diqiṣāṣ karena
membunuh kafir. Qiṣāṣ dalam pandangan mereka diterapkan pada
pembunuhan yang setara antara pelaku dengan korbannya. Kesetaraan tersebut
dilihat pada status sosial masing-masing. Jika antara pelaku dan korban tidak
sepadan, maka qiṣāṣ tidak dapat dilaksanakan.39 Sementara ulama Ḥanāfiyah
tetap menerapkan hukum qiṣāṣ bagi muslim yang membunuh kafir atas dasar
kesamaan jiwa dengan jiwa.40
Dari segi tindakan, para fuqaha membedakan pembunuhan yang
dilakukan dengan alat untuk membunuh (qatl al-mubāsyarah), menjadi syarat
terjadinya pembunuhan (qatl bi al-syarat),41 dan menjadi sebab terjadinya
pembunuhan (qatl bi al-sabab).42 Mereka berselisih tentang jenis perbuatan

38
Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X,
164.
39
Kewajiban qiṣāṣ ditetapkan atas dasar Islam (muslim) dan aman (kafir zimmi dan
musta’man). Lihat dalam Syamsuddȋn Muḫammad Ibn Muḫammad al-Khāṭib al-Syarbinȋ, Mugni
al-Muhtāj, Juz V (Bairut: Dāru al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h. 229, Ibn Ḥazm, Al-Muḫallā bi al-
Aṣar, Juz X, 230.
40
Ibn ‘Ābidȋn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-Abṣār, Juz X,
165.
41
Jenis pembunuhan dengan syarat maksudnya adalah jika seseorang membuat sesuatu
yang menyebabkan orang lain terbunuh, meskipun si pembuatnya tidak bermaksud demikian.
Contohnya seseorang yang membuat sumur dan tidak ditutupi kemudian ada orang yang terjatuh
ke dalamnya dan meninggal. Pemilik sumur dianggap memiliki keterkaitan dengan korban yang
meninggal tersebut, karena kelalainnya menutup sumur miliknya.
42
Pembunuhan dengan sebab adalah pembunuhan yang tidak disengaja oleh pelakunya,
dalam arti sejak awal dia tidak memiliki tujuan membunuh korban. Namun tindakannya dianggap
menjadi sebab terjadinya pembunuhan. Seperti jika seseorang melempar binatang tetapi kemudian
mengenai manusia dan mati, maka dia dianggap menjadi penyebab terjadinya pembunuhan
tersebut.
67

mana yang dikenakan hukuman qiṣāṣ. Ḥanafȋ berpendapat bahwa hanya


pembunuhan yang menggunakan alat membunuh (qatl al-mubāsyarah) sajalah
yang diqiṣāṣ, sedangkan jenis lainnya tidak.43 Sementara Mālikȋ, Syāfi’ȋ, dan
Ḥanbālȋ mengatakan bahwa qiṣāṣ diberlakukan bagi jenis qatl al-mubāsyarah
dan qatl al-sabab.44
Di samping itu pelaku pembunuhan juga harus dilihat dari motif
tindakannya, apakah dia terpaksa melakukannya atau atas niatnya sendiri.
Dalam kategori ini para fuqaha juga berbeda pendapat tentang pembunuhan
yang dilakukan secara terpaksa. Siapa yang harus dikenakan qiṣāṣ, orang yang
memaksa pelaku ataukah pelaku sendiri. Jumhur ulama menetapkan bahwa
kedua-duanya dijatuhi hukuman qiṣāṣ karena dianggap memenuhi syarat,45
sedangkan Abū Yūsuf berpendapat sebaliknya yaitu keduanya tidak dapat
diqiṣāṣ. Di pihak lain, Abū Ḥanȋfah menyatakan bahwa yang diqiṣāṣ adalah
orang yang menyuruh, karena dialah yang memiliki niat dan kesengajaan
dalam membunuh.46 Sementara pelaku hanyalah alat untuk melakukan
pembunuhan sehingga tidak dapat dikenakan qiṣāṣ.
Pembedaan jenis pembunuhan ini mengindikasikan adanya kehati-hatian
para fuqaha dalam menetapkan berlakunya hukum qiṣāṣ. Hal ini untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam penetapan hukuman. Ukuran
kesengajaan dalam melakukan pembunuhan adalah inti dasar berlakunya
qiṣāṣ, sehingga para fuqaha merincinya dengan membuat spesifikasi tindakan
pembunuhan. Hukuman qiṣāṣ didasarkan pada kesepadanan antara kejahatan
dengan hukuman. Identifikasi terhadap bentuk kejahatan menjadi sangat
penting agar tujuan penetapan hukum qiṣāṣ memenuhi asas keadilan hukum.

43
Imām Al-Sarkhasī, Al-Mabsūṭ li al-Syamsuddīn al-Sarkhasī, Juz 10, 69.
44
Lihat dalam Paizah Haji Ismail, Undang-undang Jenazah Islam, (Selanggor: Dewan
Pustaka Islam, 1996), 117.
45
Abū Ishāq Ibrāhīm bin ‘Ali bin Yūsuf al-Syirāzī, al-Muhaẓẓab fi Fiqh al-Imām al-Syafi’i,
Tahqiq Muḥammad al-Zuahili, Juz 5, (Damaskus: Dāru al-Qolam, 1996), Cet. Ke-I, h. 27. Lihat
pula dalam; Ibn Qudāmah, al-Kāfī fi Fiqh al-Imām Aḥmad, Juz 7, (Bairut: Dāru al-Kutub al-
Ilmiah, 1994), Cet. I, 645.
46
Orang yang membunuh karena terpaksa tidak dapat dijatuhi hukuman qiṣāṣ. Lihat dalam;
Abdul Ḥāmid Maḫmūd Tahamazȋ, al-Fiqh al-Ḥanafȋ fi Saūbih al-Jadȋd, Juz III, (Bairut: Dāru al-
Syamsiyah, 2000), 324.
68

Dalam masalah pelaksanaan qiṣāṣ ditemukan aspek baru dari pemikiran


fuqaha. Penuntutan terhadap hukuman qiṣāṣ masih menjadi hak keluarga
korban atau disebut walȋ al-qiṣāṣ atau walȋ al-dam. Para fuqaha tetap
menganggap tindakan pembunuhan sebagai civil wrong47 atau perkara perdata.
Penyelesaian terhadap masalah ini tergantung kesepakaan antara dua pihak,
yaitu pelaku dan keluarga korban. Namun kewenangan memutuskan hukuman
qiṣāṣ berada di tangan hakim.
Sultan atau pemerintah (walȋ al-amr) juga memiliki hak hadir dalam
pelaksanaan qiṣāṣ, tetapi tidak terlibat dalam penetapan hukum qiṣāṣ. Para
fuqaha berbeda tentang siapa yang termasuk dalam kategori walȋ al-dam
tersebut. Imām Mālik menyatakan bahwa kelompok aṣābah (laki-laki) adalah
yang berhak dalam penuntutan qiṣāṣ. Ulama Ḥanāfiyah, Syafi’i, al-Tsaūrȋ, dan
Aḫmad Ibn Ḥanbal berpendapat bahwa seluruh ahli waris, karena hubungan
nasab atau pertalian darah atau sebab lain, baik laki-laki maupun perempuan,
memiliki kewenangan menuntut qiṣāṣ secara kolektif.48 Ulama Zahiriyah
menganggap semua ahli waris, baik orang tua, anak, maupun suami atau istri,
masuk kategori walȋ al-dam.49
Di tangan walȋ al-dam inilah hukuman bagi pembunuh ditetapkan,
apakah diqiṣāṣ atau diganti dengan membayar ganti rugi atau diyat. Para
fuqaha mempertahankan sifat perdata dari kasus pembunuhan sesuai dengan
ketentuan ayat al-Qur’an. Secara sosio-politik, situasi dan kondisi masyarakat
berbeda antara ketika wahyu diturunkan dengan ketika kitab-kitab fikih
tersebut ditulis. Secara politik, pada masa fuqaha institusi negara lebih mapan
dibanding pada abad pertama Islam. Terjadi pembedaan antara wilayah politik
yang dikuasai khalifah atau sultan dengan wilayah agama yang menjadi
tanggungjawab para qādȋ. Di samping itu, transformasi sosial dalam

47
Mohamed S. El-Awa, Punishment in Islamic Law: A Comparative Study (Indianapolis:
American Trust Publications, 2000), 69.
48
Abū Ishāq Ibrāhīm bin ‘Ali bin Yūsuf al-Syirāzī, al-Muhaẓẓab fi Fiqh al-Imām al-Syafi’i,
Juz 5, 50.
49
Yusrā Ibrāhim Abū Sa’dah, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi al-Fiqh al-Islamȋ, Dirāsah
Muqāranah, (Riyadh: Dāru al-Wataniyah al-Su’udiyah li al-Nasyri wa al-Tauzi’, 1980), 71-76.
69

masyarakat mengalami kompleksitas, terkait dengan semakin meluasnya


wilayah Islam dan adanya pertemuan dengan budaya luar Arab.
Dari sisi tindakan, sebenarnya pembunuhan dapat dikategorikan sebagai
masalah publik karena mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat
umum. Dalam hukum modern, kejahatan yang membahayakan masyarakat
umum menjadi wewenang pemerintah untuk menanganinya. Pihak korban
hanya memiliki hak melapor dan menuntut kepada pihak yang memiliki
otoritas hukum. Negara, yang diwakili oleh institusi hukum, menjadi pihak
yang berwenang untuk menangani dan menetapkan hukumannya. Dalam
konsep fuqaha memang menyebut eksistensi pemerintah sebagai bagian dari
pelaksanaan qiṣāṣ. Keberadaannya hanyalah untuk menyaksikan implementasi
dari hukuman tersebut agar dijalankan sesuai dengan aturan. Meskipun hak
penuntutan qiṣāṣ ada pada walȋ al-dam, tetapi dia tidak dapat melakukannya
sendiri tanpa sepengetahuan pemerintah yang dalam hal ini diwakili hakim
atau qadi.50 Qiṣāṣ yang dituntut oleh walȋ al-dam baru dapat dilaksanakan
apabila sudah ada keputusan hakim.51 Kombinasi antara kewenangan walȋ al-
dam, keputusan hakim, dan persetujuan sultan menunjukkan adanya
kontekstualisasi penafsiran fuqaha dalam masalah qiṣāṣ.
Hal lain yang diatur dalam penegakan hukum qiṣāṣ adalah hukum
acaranya, yaitu prosedur atau tata cara penetapan hukum. Pelaksanaan hukum
qiṣāṣ harus melalui pembuktian, dimana sejumlah syarat harus terpenuhi.
Hakim dalam memutuskan hukuman qiṣāṣ harus memperhatikan empat hal,
yaitu: adanya pengakuan, indikasi atau qarȋnah yang kuat, adanya saksi, atau
dengan sumpah atau qasamah.52 Pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan
dari pelaku pembunuhan, sedangkan qarinah adalah petunjuk kuat atau alat
bukti yang mengarah kepada terjadinya tindak pidana. Jumlah saksi dalam
kasus ini haruslah dua orang laki-laki yang adil dan berakal. Qasamah atau

50
Jika walȋ al-dam masih belum dewasa, menurut fuqaha pelaksanaan hukumannya
menunggu sampai dia sudah dewasa atau menyerahkannya kepada qadi. Lihat dalam Aḫmad Fatḫi
Bahnasȋ, Al-Qiṣāṣ fi Fiqh al-Islamȋ, (Kairo: Maktabah al-Anjilu al-Misriyah, 1969), 157.
51
Yusrā Ibrāhim Abū Sa’dah, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi al-Fiqh al-Islamȋ, Dirāsah
Muqāranah, 83.
52
Abdullah Alȋ al-Rakban, Al-Qiṣāṣ fi al-Nafs, (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1981), 115.
70

sumpah berlaku terhadap kasus pembunuhan yang tidak diketahui


pembunuhnya. Sumpah ini dilakukan oleh masyarakat yang bertempat di
lokasi pembunuhan. Tujuannya adalah menyatakan bahwa masyarakat tidak
terlibat dalam pembunuhan.53
Syarat-syarat pembuktian di atas bersifat alternatif dan bukan
komplementer. Artinya semua syarat tidak harus ada, tetapi jika salah satunya
terbukti maka hukuman qiṣāṣ dapat dijatuhkan. Dengan demikian tuntutan
walȋ ad-dam terhadap qiṣāṣ tidak secara langsung dapat dilakukan, tetapi
harus melalui proses pembuktian. Dalam hal ini negara, melalui hakim, adalah
pihak yang berwenang melaksanakannya. Disamping itu hukum qiṣāṣ ini
dapat gugur apabila pelaku meninggal, dimaafkan oleh keluarga korban, atau
terjadi perdamaian antara pelaku dengan keluarga korban.54 Pelaku
pembunuhan sengaja yang tidak diqiṣāṣ, karena dimaafkan oleh keluarga
korban, tidak terbebas dari hukuman. Para fuqaha memberikan hukuman
pengganti qiṣāṣ yaitu membayar kafarat dan dikenakan hukuman ta’zir.
Kafarat bagi pembunuhan sengaja adalah memerdekakan budak atau puasa
dua bulan berturut turut.55 Di samping itu pelaku juga harus dijilid seratus kali
dan dipenjara selama setahun.56
Penetapan prosedur beracara dalam penegakan hukum qiṣāṣ
menandakan adanya modernisasi dalam sistem hukum. Ulama
mengimplementasikan aturan qiṣāṣ dalam al-Qur’an dalam tataran praktis
untuk memberi pegangan bagi para qadi dalam menjalankan tugasnya.

53
Syarat qasamah antara lain: (1) jumlah orang yang bersumpah minimal 50 orang, (2)
terdiri dari laki-laki yang berakal, (3) Dilakukan setelah terjadi penuntutan oleh wali korban, (4)
Terdapat bekas pembunuhan pada korban, (5) Tidak diketahui pembunuhnya, (6) Pembunuhan
terjadi di tempat yang terbuka. Lihat dalam Abdul Ḥāmid Maḫmūd Tahamazȋ, al-Fiqh al-Ḥanafȋ fi
Saūbih al-Jadȋd, Juz III, 383.
54
Yusrā Ibrāhim Abū Sa’dah, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi al-Fiqh al-Islamȋ, Dirāsah
Muqāranah, 103-124.
55
Para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya kafarat bagi pembunuhan sengaja.
Ulama Ḥanāfiyah, Mālikiyah, Zahiriyah, dan sebagian Ḥanābilah berpendapat bahwa tidak wajib
kafarat. Cukup baginya bertobat dan memperbanyak amal salih. Ulama Syāfi’iyah, Syiah
Zaidiyah, Imāmiyah, dan sebagian Ḥanābilah menyatakan harus membayar kafarat. Selengkapnya
lihat dalam Ḥasan Maḫmūd Muḫammad, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi Fiqh al-Islam, (Kuwait:
Muassasah Dāru al-Kitab, 1994), 266-269.
56
Imām Mālik, Al-Muwaṭṭa, (Bairut: Dāru al-Kutub al-Ilmiah, 2000), 548.
71

Meskipun fikih berasal dari pemikiran individu, namun rumusannya menjadi


dasar pelaksanaan ajaran Islam oleh masyarakat maupun negara. Dalam hal ini
para fuqaha mentransformasikan nilai-nilai modernitas sehingga hukum Islam
menjadi sistem hukum yang aplikatif.

B. Analisis Relevansi Pendapat Imām Al-‘Imrānī Tentang Hukum


Membakar Orang Hidup dengan Konteks Hukum Pidana di Indonesia
Menerapkan hukum memerlukan perangkat legislasi sehingga produk
hukum yang dihasilkan dapat diberlakukan.57 Dalam penerapan hukum ini,
terdapat ungkapan dalam bahasa latin; “Nullum Deliktum Nula Poena Sine
Lege, yang berarti tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih
dahulu”.58 Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu
dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.
Bahkan asas tersebut juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim,
menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang.59
Demikian pula dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam
terdapat kaidah ; “Tidak ada suatu perbuatan boleh dianggap sebagai suatu
jarīmah (tindak pidana), dan tidak ada pula suatu hukuman (pidana) yang
boleh dijatuhkan kepada pelakunya kecuali sebelumnya telah ada nas (aturan
hukum) yang menentukan demikian.60 Dengan demikian, berdasarkan asas
tersebut, tiada satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum jika belum
dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu
belum dilakukan.61 Hal ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke
belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, oleh

57
Hajar M, Model-model Pendekatan dalam Penelitian Hukum dan Fiqih, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2017), Cet. I, 71.
58
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Persepektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2009), Cet. 2, 50.
59
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),
Cet. I, 10-11.
60
Ibid,.
61
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 5,
58.
72

karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan sebagaimana asas-asat


tersebut.62
Sistem hukum Indonesia sebagai sebuah sistem aturan yang berlaku di
Negara Indonesia adalah sistem aturan yang sangat luas dan kompleks, yang
terdiri dari unsur-unsur hukum, diantara unsur hukum yang satu dengan yang
lain saling berhubungan, saling mempengaruhi dan saling mengisi. Oleh
karenanya, membicarakan satu bidang atau subsistem hukum yang berlaku di
Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, unsur hukum seperti
satu organ yang tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain. Indonesia adalah
negara huum. Sebagai negara hukum tentu harus memilki hukum nasional
sendiri, dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan roda
pemerintahan.
Indonesia termasuk negara yang menganut sistem hukum Eropa
Continental atau civil law. Ciri yang melekat pada sistem ini adalah kodifikasi
hukum dalam aturan perundang-undangan. Hukum baru memperoleh kekuatan
mengikat bila berbentuk undang-undang. Kepastian hukum yang merupakan
nilai utama sekaligus tujuan hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku
manusia diatur dalam peraturan tertulis.63 Sistem hukum Eropa Kontinental
sampai di Indonesia dibawa oleh pemerintah Belanda yang melakukan asas
konkordansi dan menghentikan peran hukum adat. Sistem inilah yang
berlanjut dan diterima sebagai sendi utama sistem hukum Indonesia.64
Penerapan sistem hukum ini memiliki berbagai kesulitan, yang disebabkan
oleh: pertama, hukum sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mencakup
semua aspek kehidupan masyarakat. Mengingat aspek masyarakat sangat luas
dan kompleks adalah tidak mungkin menjelmakan dalam suatu sistem hukum
perundang-undangan. Kedua, hukum perundang-undangan sebagai hukum

62
Topo Santoso, Op,. Cit,. 12.
63
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1994), 74.
64
Indonesia cenderung menerapkan sistem hukum Eropa Continental dengan landasan
Pasal 102 UUD 1950 dan UU No. 14 Tahun 1970, namun tetap mengakui hukum tak tertulis. Lihat
Zulfa Joko Basuki, “Mazhab Sejarah dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Hukum Nasional
Indonesia”, dalam Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 40.
73

tertulis bersifat statis, tidak dapat dengan leluasa mengikuti laju pertumbuhan,
perkembangan dan perubahan masyarakat yang harus diembannya.65
Di Indonesia terdapat beberapa kitab hukum produk kodifikasi, salah
satu bidang hukum itu adalah “hukum pidana”. Hukum pidana ialah hukum
yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dalam hukum pidana Indonesia,
dikenal dengan adanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht) atau yang sering disebut dengan KUHP, merupakan pokok dari
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum pidana yang
berupa “pelanggaran dan kejahatan” terhadap norma-norma hukum mengenai
kepentingan umum yang berlaku di Indonesia. KUHP dibuat oleh Badan
Legislatif yang tertinggi dan sesuai dengan asas unifikasi hukum.66
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat dengan (KUHP)
merupakan kumpulan peraturan yang mengatur tentang perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku. KUHP merupakan hukum pidana materiil yang berisi tentang:
perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman, siapa siapa yang dapat
dihukum atau dimintai pertanggungjawaban pidana, dan hukuman apa yang
dapat dijatuhkan.67 Dengan demikian, suatu perbuatan dapat dikatakan tindak
pidana jika diatur dalam KUHP. Demikian hal-nya dengan tindak pidana
“pembunuhan”.
Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam perbuatan yang diatur
dalam KUHP, yaitu pada Buku Kedua Bab XIX tentang kejahatan terhadap
nyawa. Untuk membuktikan adanya tindak pidana pembunuhan harus
memenuhi unsur obyektif, yaitu: adanya tingkah laku seseorang, baik positif
(berbuat sesuatu) maupun negatif (tidak berbuat sesuatu), adanya akibat yang
menjadi syarat mutlak delik (hilangnya nyawa), adanya sifat melawan hukum

65
Ibid,. 103.
66
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), 23.
67
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. 2, 6.
74

(dibuktikan dalam persidangan), unsur melawan hukum yang memberatkan


pidana atau hukuman, unsur yang menentukan sifatnya perbuatan sengaja atau
tidak sengaja), dan unsur tambahan dalam perbuatan pidana, yaitu tindakan
atau sifat yang menyertai perbuatan menghilangkan nyawa.68 Jika unsur-unsur
di atas dapat dibuktikan, maka pidana terhadap perbuatan tersebut dapat
dijatuhkan. Akan tetapi jika unsur-unsur obyektif tidak terbukti, maka pelaku
tidak dapat dijatuhi pidana.
Dalam KUHP setiap tindak pidana akan diberikan pidana atau hukuman
bagi pelakunya. Pidana merupakan suatu nestapa atau penderitaan yang
sengaja diberikan oleh negara kepada pelaku tindak pidana. Sebuah pidana
merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan,69 yang dapat berupa pidana
pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dalam KUHP dapat berupa
hukuman mati, pen jara, kurungan, dandenda. Pidana tambahan biasanya
berupa pencabutan hak atau perampasan barang. Pengenaan pidana ini
bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat dari kejahatan dan atau
kesewenangan penguasa.70 Penjatuhan pidana merupakan kewenangan negara
yang dalam hal ini berada di tangan pengadilan. Artinya, hukum pidana
merupakan bagian dari hukum publik, yang objeknya adalah kepentingan
umum.
Pemerintah (negara) merupakan pihak yang berwenang dalam
menjalankan dan mempertahankan hukum pidana. Meskipun pihak yang
berperkara tidak menghendaki perkara pidana dilanjutkan ke pengadilan,
namun pemeriksaan dan penanganannya tidak dapat dihentikan. Di sisi lain,
korban juga tidak memiliki hak dalam hal penuntutan (kecuali dalam hal delik
aduan), karena semua sudah diambil alih oleh negara.71 Dengan demikian
kepentingan yang dilindungi dalam hukum pidana meliputi: kepentingan

68
Soeharto RM, Hukum Pidana Materiil, Unsur Unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 27-55.
69
Dwija Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2009), Cet. 2, 7.
70
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), 12.
71
Ibid,. 16.
75

hukum negara, kepentungan masyarakat, dan kepentingan perseorangan.


Demikian halnya dalam tindak pidana pembunuhan, kewenangan
penanganannya berada di tangan pemerintah. Mulai penyelidikan, penyidikan,
penuntutan hingga penjatuhan hukuman pemerintah bertindak mewakili
kepentingan korban. Negaralah yang memiliki wewenang menjatuhkan pidana
atau memberikan balasan atas perilaku tindak pidana. Dasar penetapan
hukuman tersebut sudah diatur dalam undang-undang, yang dalam hal ini
KUHP. Di dalam KUHP hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana pembunuhan meliputi; hukuman mati,72 hukuman penjara
seumur hidup,73 dan hukuman penjara mulai 5 hingga 20 tahun. Perbedaan
jenis hukuman ini tergantung pada berat ringannya tindak pidana pembunuhan
yang dilakukan.
Secara spesifik, “jerat hukum bagi pembakar orang” yang dikategorikan
sebagai pembunuhan sengaja (perspektif Al-Imrānȋ), bahwa hukum pembakar
orang dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 187, 338 dan Pasal 340
KUHP.74 Pertama, Pasal 187 KUHP, “Barangsiapa dengan sengaja
menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa
orang lain dan mengakibatkan orang mati”. Sianturi menjelaskan, yang

72
Tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati adalah: makar membunuh kepala
negara (Pasal 104); mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (Pasal 111 ayat 2); memberi
pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (Pasal 124 ayat 3); membunuh kepala
negara sahabat, (Pasal 140 ayat 1); pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu (Pasal 140 ayat 3
); pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau
dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang berluka berat atau mati
(Pasal 365 ayat 4); pembunuhan berencana (Pasal 340); pembajakan di laut, di pesisir, di pantai,
dan kali sehingga ada orang mati (Pasal 444); dalam waktu perang menganjurkan huru-hara,
pemberontakan, dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara (Pasal
124 bis); dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (Pasal 127
dan 129); pemerasan dengan pemberatan (Pasal 368 ayat 2).
73
Pidana penjara seumur hidup diberlakukan pada tindak pidana pembunuhan dengan
penga niayaan dan pembunuhan berencana. Pembunuhan denganpenganiayaan dan perampasan,
sebagaimana diatur dalam pasal 339 KUHP, dijatuhi hukuman minimal 20 tahun dan maksimal
pidana penjara seumur hidup. Pembunuhan berencana (pasal 340) ancaman hukumannya adalah
maksimal pidana mati.
74
Letezia Tobing, “Jerat Hukum Bagi Pembakar Orang”, dikutip dari
Https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5292962f27a9b/jerat-hukum-bagi-pembakar-
orang, diakses, Selasa, 01 Juni 2021, pukul 20.00 WIB S/d.
76

dimaksud dengan “mengadakan kebakaran” ialah membakar sesuatu,


karenanya terjadi kebakaran dan kebakaran itulah yang dikehendakinya.
Bagaimana caranya membakar, apakah dengan menyulutkan api, dengan cara
kimiawi yang dapat menyala kemudian, dengan cara elektronik, dan lain
sebagainya.75 Kedua, Pasal 340 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”, dan
ketiga, Pasal 338 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun”. Dengan demikian, apabila si petindak sejak semula
memang menghendaki matinya orang itu, maka telah terjadi perbarengan
antara Pasal 187 ke-3 KUHP dan Pasal 338 KUHP dan atau atau Pasal 340
KUHP.76 Artinya, pelaku dapat dijatuhi hukuman “mati” dan atau pidana
penjara selama 15-20 tahun.
Sedangkan jerat hukum pembakar orang perspektif Al-Imrānȋ, si pelaku
dijatuhi hukuman qiṣāṣ (hukuman sepadan), dan atau memberikan balasan
kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya. Artinya, apabila si terbunuh
dibunuh dengan cara dibakar, maka si pembunuh, dihukum dengan cara
dibakar pula, tetapi menurutnya (Al-Imrānȋ), apabila didapati alat lain yang
lebih cepat menghabisi nyawa (misalnya, pedang), maka boleh digunakan,
sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu
lama yang eksekusinya sepenuhnya diserahkan kepada negara.77 Hukuman
tersebut (qiṣāṣ), dapat digantikan dengan membayar ganti rugi atau denda
materiil (diyat), dan atau membayar kafarat (sanksi teologis, seperti
memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan kepada fakir miskin).
Penentuan hukuman pada kategori ini sangat terkait dengan hak korban,
artinya jika keluarga korban memaafkan tindakan pembunuhan tersebut, maka

75
Ibid.
76
Ibid.
77
Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā Al-‘Imrānī, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-Syāfi’i, (Arab Saudi:
Dāru Al-Minhāj, Juz 11, 2000), 414-415.
77

gugurlah hukum qiṣāṣ-nya.78 Dengan demikian, pendapatnya Al-Imrānȋ


relevan dengan konteks hukum di Indonesia, sebab keduanya menjatuhkan
hukuman “mati”.
Terlepas dari itu, qiṣāṣ merupakan hukum asal dalam pembunuhan
sengaja, sedangkan diyat merupakan hukum alternatif yang diterapkan apabila
keluarga korban memaafkan si pembunuh. Secara umum, ulama bersepakat
bahwa ukuran dasar diyat adalah 100 ekor unta.79 Namun mereka juga
memberikan alternatif lain yaitu dengan emas, perak atau binatang lain. Jika
dibayar dengan emas jumlahnya adalah 1000 dinar, jika perak sebanyak
10.000 dirham. Jika membayar dengan sapi sejumlah 200 ekor, dan apabila
dengan kambing 1000 ekor.80 Ketentuan penggantian qiṣāṣ dengan diyat
merupakan alternatif penyelesaian tindak pidana pembunuhan tanpa
menerapkan hukuman fisik. Di sisi lain, aturan pidana Islam memberi ruang
bagi korban untuk terlibat dalam penyelesaian perkara. Pembayaran diyat
kepada keluarga korban adalah bukti bahwa Islam memberikan perlindungan
kepada pihak korban, sehingga terjadi keseimbangan dalam hubungan sosial,
terutama antara pelaku, korban, dan masyarakat. Penyelesaian tindak pidana
dengan melibatkan semua pihak untuk mencari solusinya ini dinamakan
dengan pendekatan restorasi atau restorative justice.
Pendekatan restorasi adalah suatu alternatif penyelesaian masalah
pidana dengan penekanan pada pemulihan masalah atau konflik dan
pengembalian keseimbangan dalam masyarakat. Tindak pidana dipandang
sebagai suatu konflik yang terjadi dalam hubungan sosial masyarakat yang
harus diselesaikan dan dipulihkan oleh semua pihak secara bersama-sama.81
Fokus pendekatan ini adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang

78
Ali Sodiqin, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Al-Mazāhib,
Vol. 05, No. 02, Desember 2017, h. 203-204, dipublikasikan.
79
Ali Sodiqin, “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan: Perspektif Hukum
Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 49, No. 01,
2015, 67.
80
Lihat dalam Naṣr Farid Wasil, al-Fiqh al-Jinā’ȋ al-Muqāran fi al-Tasyri’ al-Islām,
(Kairo: Maktabah al-Safa, 2000), h. 150, Maḫmūd Bakar, al-Fiqh al-Jinā’ȋ, h. 178, dan Aḫmad
Muḫammad al-Husairi, al-Qiṣāṣ, al-Diyat, al-‘Isyan al-Muṣallah fi al-Fiqh al-Islām (Kairo:
Maktabah Kulliyah al-Azhar, 1973), 634.
81
Ali Sodiqin, “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan..., 68.
78

disebabkan oleh tindak pidana, sehingga perlu ditunjang dengan konsep


restitusi, yaitu upaya pemulihan kembali kerugian yang diderita oleh korban.82
Kejahatan, menurut pendekatan restorasi, bukanlah pelanggaran hukum yang
harus diberi sanksi oleh negara, tetapi perbuatan yang harus dipulihkan
melalui ganti rugi atau hal lain yang sifatnya menjauhi pemenjaraan.83
Pendekatan restorasi berusaha menyelesaikan kejahatan dengan membangun
kembali hubungan setelah terjadi tindak pidana.
Perspektif sosiologi dan antropologi hukum, sebuah aturan hukum itu
harus disesuaikan dengan sistem dan struktur sosial masyarakat yang menjadi
sasarannya dan diadaptasikan dengan hukum yang sudah melembaga di dalam
masyarakat. Penetapan sanksi badan adalah tahap awal dialektika hukum
antara wahyu dengan tradisi. Posisi tradisi hukum masyarakat Arab adalah
sebagai sarana, media bagi inkulturasi hukum al-Qur’an. Pada tahap
berikutnya al-Qur’an mengubah paradigma tradisi hukum adat Arab dengan
mengintegrasikan alternatif hukuman, seperti permaafan (dalam hukum qiṣāṣ).
Keberadaan bentuk hukum tersebut menunjukkan bahwa hukuman
badan bukan tujuan hukum, tetapi media untuk memperbaiki proses
penegakan hukum yang berbasis moralitas dan keadilan. Dalam perspektif hak
asasi manusia, bentuk hukuman dalam hukuman pidana Islam harus dilihat
secara komprehensif. Hukuman badan bukanlah satu-satunya karena terdapat
bentuk hukuman lain yang disertakan dan ditransformasikan untuk
memperbaiki kerusakan hukum saat itu. Hukuman badan tidak bersifat qaṭȋ’,
karena bukan satu satunya pilihan dan bukan itu tujuan pemidanaannya. Dari
tinjauan maqāṣid al-syari’ah justru ditemukan bahwa tujuan pemidanaan
adalah untuk melindungi hak asasi manusia, yaitu hak hidup (dalam hukum
qiṣāṣ). Satu hal yang ditekankan dalam implementasi hak-hak asasi manusia
tersebut adalah moralitas dalam pelaksanaannya. Hukum dalam Islam tidak
hanya mengandung aspek legal saja, tetapi merupakan paduan antara aspek
legal dengan aspek ethic. Keduanya harus sejalan dan beriringan sehingga
82
Ibid.
83
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 113
79

pemidanaan di dalam hukum Islam bukan sekedar untuk menegakkan hukum


tetapi juga bertujuan untuk menegakkan keadilan sosial.84
Aspek kedua terdapat pada model penegakan hukum. Hukum pidana
Islam menganut model restorative justice, yang menekankan bukan pada
pemberian hukuman bagi pelaku tindak pidana, tetapi menitikberatkan pada
pulihnya ketertiban masyarakat setelah terjadinya tindak pidana. Tindak
pidana dipandang sebagai suatu konflik yang terjadi dalam hubungan sosial
masyarakat yang harus diselesaikan dan dipulihkan oleh semua pihak secara
bersama sama.85 Prinsip ini memberikan tempat yang tinggi dan luas kepada
para pihak dalam hal keterlibatannya menyelesaikan masalah pidana. Para
pihak yang dimaksud adalah: pelaku pidana, korban tindak pidana dan
keluarganya, masyarakat serta negara yang diwakili oleh aparat penegak
hukum. Negara tidak memonopoli penyelesaian tindak pidana, tetapi menjadi
mediator untuk memastikan bahwa penyelesaian tindak pidana telah disetujui
oleh para pihak.86 Pendekatan restoratif menempatkan hukum sebagai bagian
dari aspek kehidupan masyarakat, yang berhubungan dengan aspek kehidupan
yang lain. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak semata difokuskan pada
pemberian hukuman, tetapi mengembalikan dan memulihkan ketertiban sosial.
Keadilan yang dihadirkan melalui pendekatan ini bukan sekedar keadilan
hukum tetapi sekaligus juga mencapai keadilan sosial. Untuk implementasinya
perlu dilakukan perubahan paradigma dari rule of law menuju rule of social
justice, sehingga keadilan sosial sejajar dengan keadilan individu.87 Dengan

84
Cakupan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penetapan hukum meliputi segala
manfaat terkait dengan dunia dan akhirat, terkait individu dan masyarakat, material, moral dan
spiritual, serta yang terkait dengan generasi masa kini maupun masa depan. Lihat dalam
Muhammad Hashim Kamali, Membumikan Syari’ah, Pergulatan Mengaktualkan Islam, Penj. Miki
Salman, (Jakarta: Penerbit Moura Books, 2013), 175.
85
Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition (Colorado,
USA: Westview, 2004), 332.
86
Restorative Justice mengansumsikan bahwa kejahatan berkaitan dengan hubungan
pribadi antara masyarakat, dan tidak termasuk masalah publik yang harus diambil alih oleh negara.
Lihat dalam Mutaz M. Qafisheh, “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to
the Global System”, Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 07 Issue 1 Januari-Juni, 2012, 487.
87
Achmad Gunaryo, “Dari Rule of Law Menuju Rule of Social Justice”, dalam Ahmad
Gunawan dan Mu’ammar Ramdhan, Menggagas Hukum Progressif di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo, 2012), 36-37.
80

demikian, penyelesaian tindak pidana dalam Islam justru lebih manusiawi


karena mempertimbangkan hak-hak para pihak yang terlibat. Jika
dibandingkan dengan sistem hukum pidana modern, termasuk yang dianut dan
dipraktikkan di Indonesia, yang hanya melindungi hak pelaku pidana, maka
hukum pidana Islam melindungi hak korban dan hak masyarakat.88 Posisi
negara (aparat penegak hukum) tidak dominan tetapi berfungsi sebagai
mediator. Hak asasi korban dan masyarakat didudukkan sejajar dengan hak
pelaku, sehingga penyelesaian pidananya ditujukan untuk memulihkan hak-
hak yang rusak akibat tindak pidana.89 Penyelesaian model restorasi ini tidak
hanya menyelesaikan masalah antara pelaku dengan korban, tetapi juga
mengembalikan kondisi ketertiban di dalam masyarakat. Maka ruang lingkup
perlindungan hak asasi manusia dalam hukum pidana Islam lebih luas
cakupannya daripada hukum pidana modern.
Aspek ketiga adalah orientasi hukum. Hukum pidana Islam adalah untuk
mewujudkan perlindungan sosial (social defense). Hukum pidana bukan
sekedar bertujuan untuk memberikan balasan atas tindakan kejahatan yang
dilakukan seseorang (retributive), atau untuk mempertahankan kepentingan
negara sebagai pemegang otoritas hukum. Hukum pidana Islam menempatkan
hukum sebagai bagian dari aspek kehidupan yang lain, seperti aspek sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan lain lain, sehingga penegakannya harus
memfungsikan aspek kehidupan yang lain pula. Oleh karena itu jika terjadi
suatu tindak pidana, maka hukum pidana ditempatkan sebagai cara yang
terakhir dalam penanggulangan tindak pidana. Dalam hukum pidana Islam,
orientasi ini terlihat dengan adanya bentuk penyelesaian yang non-pidana,
seperti permaafan, taubat, pembayaran ganti rugi (restitusi), kafarat, dan lain
lain. Sanksi non-pidana ini merupakan wujud orientasi hukum pidana Islam

88
Analisis komparatif antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana Indonesia dalam
penerapan restorative justice dapat dilihat di Ali Sodiqin, “Restorative Justice dalam Tindak
Pidana Pembunuhan Perpektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam” dalam Asy-
Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 49 No. 1 Juni 2015, 63-100.
89
Pendekatan restoratif pada hakikatnya memberikaan perhatian yang lebih berimbang
pada hak dan kepentingan pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat. Lihat dalam Natangsa
Surbakti, Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiris, Teori, dan Kebijakan, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2015), 84.
81

yang lebih mementingkan terciptanya perlindungan sosial dalam masyarakat.


Dengan kata lain hukum pidana Islam mengapresiasi hak asasi manusia, baik
bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Dengan model orientasi ini, penanganan
tindak pidana dalam hukum pidana Islam dapat menciptakan keadilan sosial
bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Semua hak dan kepentingan dalam
masyarakat yang tercabik akibat adanya tindak pidana, dapat terselesaikan
dengan baik. Model orientasi ini selaras dengan upaya melindungi hak asasi
manusia, yaitu menjadikan hukum sebagai sarana untuk mewujudkan
perlindungan dan kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, tujuan penetapan hukum qiṣāṣ, membayar ganti rugi
atau denda materiil (diyat), dan atau membayar kafarat (sanksi teologis,
seperti memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan kepada fakir
miskin), dan atau keluarga korban memaafkan tindakan pembunuhan tersebut
adalah untuk penegakan hak asasi manusia, seperti hak hidup, hak
berkeluarga, hak milik, hak harga diri, hak berpikir, dan hak-hak dasar
lainnya. Jaminan perlindungan hak asasi manusia juga terlihat dalam bentuk
sanksi hukuman (sebagaimana tersebut), model penegakan hukum dan
orientasi penegakan hukumnya. Sanksi hukum bukanlah tujuan penegakan
hukum tetapi cara atau strategi sehingga bersifat adaptable. Penegakan
hukumnya mengacu pada restorative justice yang melibatkan pelaku, korban,
masyarakat, dan negara. Orientasi hukumnya bukan hanya untuk
menyelesaikan konflik hukum, tetapi untuk menegakkan perlindungan sosial.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan akhir pembahasan tentang “Hukum Membakar
Orang Hidup Perspektif Imām Al-‘Imrānī, peneliti dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-‘Imrānȋ menyatakan, pembunuhan dengan cara membakar manusia
hidup-hidup diklasifikasikan sebagai “pembunuhan sengaja”, yaitu si
pembunuh memang sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
kematian. Oleh karenanya, dikenai hukuman “qiṣāṣ”, yakni si pembunuh
dibunuh dengan cara dibakarnya pula, tetapi boleh dengan menggunanakan
alat lain, seperti “pedang”. Penerapan hukuman “pembunuhan sengaja” ini
memerlukan persyaratan, baik bagi si pembunuh, orang yang dibunuh, dan
pembunuhan itu sendiri. Pembunuh yang dikenai qiṣāṣ harus sudah baligh,
berakal, sengaja membunuh, dan dalam keadaan tidak terpaksa. Korban
pembunuhan harus memenuhi syarat terlindung darahnya, bukan bagian
keluarga pembunuh, dan bukan milik pembunuh. Kemudian, penyelesaian
terhadap masalah ini tergantung kesepakaan antara dua pihak, yaitu pelaku
dan keluarga korban. Namun kewenangan memutuskan hukuman qiṣāṣ
berada di tangan hakim. Aargumentasinya berdasarkan perintah Allah dalam
surah al-Baqarah ayat 194 dan perintah Nabi saw “Barang siapa yang
membakar, maka kita membakarnya”.
2. Menurutnya, hukuman bagi pembakar orang, yaitu si pelaku dijatuhi
hukuman qiṣāṣ (hukuman sepadan), dan atau memberikan balasan kepada
pelaku sesuai dengan perbuatannya. Apabila si terbunuh dibunuh dengan
cara dibakar, maka si pembunuh, dihukum dengan cara dibakar pula, tetapi
apabila didapati alat lain yang lebih cepat menghabisi nyawa, maka boleh
digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana
tidak terlalu lama yang eksekusinya sepenuhnya diserahkan kepada negara.
Sementara, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pelakunya dapat

82
83

dijerat dengan menggunakan Pasal 187, 338 dan Pasal 340, yaitu pelaku
dapat dijatuhi hukuman “mati” dan atau pidana penjara selama 15-20 tahun.
Dengan demikian, pendapatnya Al-Imrānȋ relevan dengan konteks hukum di
Indonesia, sebab keduanya menerapkan hukuman “mati”.

B. Saran-saran
Setelah peneliti menguraikan serta menganalisisnya terkait dengan
“Hukum Membakar Orang Hidup Perspektif Imām Al-‘Imrānī”, peneliti dapat
memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Pembunuhan dapat menghancurkan tata nilai hidup yang telah dibangun
oleh kehendak Allah Swt dan sekaligus merampas hak hidup korban, dapat
mengakibatkan permusuhan dengan keluarga korban bahkan tidak menutup
kemungkinan dapat mengganggu kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan
keluarga. Oleh karenanya, aparat hukum sebagai penegak hukum dapat
memberikan sanksi seberat-beratnya, tidak tumpul ke bawah hanya karena
“ada uang- penyuapan”.
2. Apapun alasannya, membunuh manusia dengan cara dibakar hidup-hidup
merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi, bahkan Allah Swt
melarang keras “haram”, membunuh hewan dengan cara membakarnya.
Oleh karena itu, pelakunya pantas mendapatkan hukuman setimpal, sesuai
apa yang diperbuatnya.
3. Sebaiknya, bagi siapapun agar lebih berhati-hati dalam berteman, khususnya
berteman melalui media sosial, sebab berdasarkan informasi media sosial,
banyak pembunuhan yang yang dilakukan seseorang yang dikenalnya
melalui media sosial, misalnya melalui Face Book, Instragam, dan lain
sebagainya.
84

C. Kata Penutup
Alhamdulilah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat sang pencipta
alam ini, Allah Swt yang telah memberikan kenikmatan-kenikmatan, lebih-
lebih kenikmatan memperoleh Ilmu yang insya Allah penuh barakah dan
manfaat ini, serta hidayah, inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tulisan yang sederhana ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu atas selesainya skripsi ini. Meskipun penulis menyadari masih
ada kekurangan, kesalahan, kekhilafan dan kelemahan, namun penulis tetap
berharap, bahwa semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
serta pembaca pada umumnya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt,
kekurangan pastilah milik kita, dan hannya kepada Allah-lah penulis memohon
petunjuk dan pertolongan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Atabik, dkk, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi


Karya Grafika, 2003), Cet. Ke-7.

Ali, Mohammad Daud, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).

Almubasir, Akhmad, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap


Pembunuhan yang Dilakukan Orang Tua Kepada Anaknya (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Semarang
Nomor:128/Pid.B/2017/PN.Smg)”, Skripsi Prodi Hukum Pidana
Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang,
2018, h. 36, dipublikasikan.

Arfa, Faisar Ananda, “Denda Sebagai Alternatif Hukuman (Kajian Hukum


Islam Kontemporer), Jurnal Analytica Islamica, Vol. 03, No. 01,
2014, h. 1, dipublikasikan.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,


(Jakarta: Rineka Cipta, 2012).

‘Aūdah, ‘Abd Al-Qādir, Al-Tasyri’ Al-Jināī Al-Islāmī, Juz 2, (Bairut: Dāru


Al-Kutub Al-Ilmiah, 2011).

‘Ābidȋn, Ibn, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Dāru al-Mukhtār Syarh Tanwȋr al-
Abṣār, Juz X (Bairut: Dāru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994).

Al-Husairi, Aḫmad Muḫammad, al-Qiṣāṣ, al-Diyat, al-‘Isyan al-Muṣallah fi


al-Fiqh al-Islām, (Kairo: Maktabah Kulliyah al-Azhar, 1973).

Al-Baȋhaqȋ, Imām, Sunan Kubra li Al-Baihaqi, Juz 8, (Bairut: Dāru Al-


Kutub Al-Ilmiah, 2003).

Al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismāīl Abū ‘Abdullah, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 2,


(Bairut Libanan: Dāru Ṭūq al-Najāh, 1422 H).

Al-Himām Al-Ḥanafī, Ibn, Fatḥ Al-Qadīr, Juz 8, (t.tp: Dāru Al-Fikr, t.th).

Al-Kāsāni al-Hanafī, ‘Alāuddīn Abī Bakar bin Mas’ūd, Badāi’ al-Shanāi’,


Juz 7, (Bairut: Dāru Al-Kutūb al-‘Ilmīyah, 1986), Cet. Ke-2.

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI,


(Semarang: Toha Putra Semarang, 2002).

82
Al-Aydrus, Ahmad Rusydi, “Membakar Orang Hidup-hidup, Wajarkah ?”,
dikutip dari http://ikmalonline.com/membakar-orang-hidup-hidup-
wajarkah/, dikases, Senin, 14 Juni 2021, pukul 15.00 WIB S/d.

Al-‘Imrānī, Abū Al-Ḥusaīn Yaḥyā, Al-Bayān Fi Maẓhab Al-Imām Al-


Syāfi’i, Juz 11, (Arab Saudi: Dāru Al-Minhāj, 2000).

Al-Rakban, Abdullah Alȋ, Al-Qiṣāṣ fi al-Nafs, (Bairut: Muassasah ar-


Risalah, 1981).

Al-Sarkhasī, Imām, Al-Mabsūṭ li al-Syamsuddīn al-Sarkhasī, Juz 10, (t.tp:


Darul Kutub al-Ilmiyah, t.th).

Al-Subukȋ, Imām, Ṭabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrō, (Jeddah: Dāru Ihyā’ al-


Kutub al-‘Arabiyyah, Juz VII, t.ṭh), Cet. Ke-I.

Al-Suyūṭȋ, Jalāl Al-Dȋn, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penj. Tiem Abdul
Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2008).

Al-Syarbīnī Al-Syāfi’ī, Imām, Mughnī Al-Muḥtāj Ilā Ma’rifah Ma’ānī Alfāẓ


Al-Minhāj, Juz 4, (Bairut: Dāru Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), Cet.
Ke-I.

Al-Ṣyaūkānȋ, Naȋl Al-Aūṭār, Juz 7, (Mesir: Dāru al-Hadis, 1993).

Al-Syirāzī, Abū Ishāq Ibrāhīm bin ‘Ali bin Yūsuf, al-Muhaẓẓab fi Fiqh al-
Imām al-Syafi’i, Tahqiq Muḥammad al-Zuahili, Juz 5, (Damaskus:
Dāru al-Qolam, 1996), Cet. Ke-I.

Al-Zuhaili, Wahbah, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Perj. Abdul Hayyie


al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. Ke-I.

Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsȋr al-Munȋr fȋ ‘Aqȋdah wa al-Syari’ah wa al-


Manhaj, Juz 15, (Bairut: Dāru al-Fikr al-Ma’asir, 1998).

Al-Zuhaili, Wahbah, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmȋ, Juz I, (Bairut: Dāru al-Fikr al-
Mu’asir, 2013).

Bogdan, Robert, dkk, Introduction to Qualitative Research Methods, (New


York : Delhi Publising, 1975).

Bunyamin, “Qiṣāṣ dalam Al-Qur’an (Kajian Fiqih Jinayah dalam Kasus


Pembunuhan Disengaja”, Jurnal Al-Adl, Vol. 07, No. 02 Juli, 2014,
h. 116, dipublikasikan.

Bukhārī, Imām, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 4, (Bairut Libanan: Dāru Ṭūq al-
Najāh, 1422 H).
Bulkiyah, Hasanal, “Suami Bakar Istri di Dumai, Sempat Persiapkan Dua
Botol Bensin”, dikutip dari
Https://riaupos.jawapos.com/dumai/08/07/2021/253387/suami-
bakar-istri-di-dumai-sempat-persiapkan-dua-botol-bensin.html,
dikases, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB S/d.

Bahnasȋ, Aḫmad Fatḫi, Al-Qiṣāṣ fi Fiqh al-Islamȋ, (Kairo: Maktabah al-


Anjilu al-Misriyah, 1969).

Basuki, Zulfa Joko, “Mazhab Sejarah dan Pengaruhnya terhadap


Pembentukan Hukum Nasional Indonesia”, dalam Lili Rasjidi dan
B Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994).

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989).

Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali,


1994).

Efendi, Sumardi, “Kejahatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Menurut


Hukum Positif Dan Fiqh Jināyah”, Jurnal Perundang Undangan
dan Hukum Pidana Islam, Vol 05, No. 01, 2020, dipublikasikan.

Farhan S, Mgs. Ahmad, “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana


Pembunuhan Disertai Mutilasi”, Skripsi Fakultas Hukum niversitas
Muhammadiyah Palembang, 2017, dipublikasikan.

Ferdiansah, Hegki, “Hukum Membunuh dalam Islam”. Dikutip dari


Www.nuonline.com. Diakses, Jum’ah, 18 Desember 2020, pukul
14.15 WIB S/d.

Gunaryo, Achmad, “Dari Rule of Law Menuju Rule of Social Justice”,


dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramdhan, Menggagas
Hukum Progressif di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
IAIN Walisongo, 2012).

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1997).

Ḥasan, Muḫammad Abū, Aḫkām Al-Jarȋmah wa ‘Uqūbah Fi Al-Syari’ah Al-


Islāmiyah, Dirāsah Muqāranah, (Ardan: Maktabah al-Manār,
1987).

Ḥazm, Ibn, Al-Muḫallā bi al-Aṣar, Juz X, (Bairut: Dāru al-Kutub al-


‘Ilmiyah, 1988).

Hajar M, Model-model Pendekatan dalam Penelitian Hukum dan Fiqih,


(Yogyakarta: Kalimedia, 2017), Cet. Ke-I.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), Cet. Ke-5.

Hutauruk, Rufinus Hotmaulana, Penanggulangan Kejahatan Korporasi


Melalui Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013).

Irianto, Sulistyowati, dkk, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan


Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011).

Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep Al-


Istiqrā Al-Ma’nawī Al-Syāṭibī, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2008).

Id.wikipedia.org, Diakses, Selasa, 15 Juni 2021, pukul 22.44 WIB S/d.

Iman, Fauzul, “Ijtihad dan Mujtahid”, Jurnal Al-Qalam, Vol. 21, No. 100,
Januari-April, 2014, h. 3-4, dipublikasikan.

Ismail, Paizah Haji, Undang-undang Jenazah Islam, (Selanggor: Dewan


Pustaka Islam, 1996).

Kiptiyah, Siti Mariatul, “Kisah Qabil dan Habil dalam Al-Qur’an: Telaah
Hermeneutis”, Jurnal Al-Dzikra; Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Hadits, Vol. 13, No. 01, Juni 2019, h. 32, dipublikasikan.

Kamali, Mohammad Hashim, Membumikan Syari’ah, Pergulatan


Mengaktualkan Islam, Penj. Miki Salman, (Jakarta: Penerbit Naura
Books, 2013).

Lumbanbatu, Fathia Ruminta, “Pembuktian Tindak Pidana Dengan Sengaja


Menimbulkan Kebakaran Yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa
Orang Lain (Studi Putusan No. 2261/ PID.B/ 2017/ PN.MDN)”,
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2020,
dipublikasikan.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).

Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras,


2009).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005).

Moeliono, Anton M., et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
pustaka, 1989).
Moh. Khasan, “Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum dalam Asas Legalitas
Hukum Pidana Islam”, Jurnal Media Pembinaan Hukum Nasional,
Vol. 06, No. 01, April 2017, h. 65, dipublikasikan.

Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawir (Arab-Indonesia


terlengkap), (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).

Mājah, Ibn, Sunan Ibn Mājah, Juz 2, (Bairut: Dāru Iḥyā’ Al-Kutub Al-
‘Arabīyah, 1987).

Malik, Muhammad Abduh, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan


KUHP, (Jakarta: Satelit Buana, 2003).

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika


Offset, 2005), Cet. Ke-I.

Mentari, Basse Muqita Rijal, “Sanksi Pidana Pembunuhan dalam Kitab


Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Islam”, Jurnal Al-
Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 22, No. 01, Mei, 2020, h. 8-16,
dipublikasikan.

Mohamed S. El-Awa, Punishment in Islamic Law: A Comparative Study


(Indianapolis: American Trust Publications, 2000).

Muḫammad, Ḥasan Maḫmūd, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi Fiqh al-Islam,


(Kuwait: Muassasah Dāru al-Kitab, 1994).

Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2013).

Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition


(Colorado, USA: Westview, 2004).

Nurfaizah, Sayyidah, “Hukum Bagi Orang Tua Yang Membunuh Perspektif


Hukum Pidana Islam dan KUHP”, Jurnal Al-Jinayah: Jurnal Huku
Pidana Islam, Vol. 02, No. 02, DesembeR, 2016, h. 306,
dipublikasikan.

Nawawi, Abdul Khāliq, Jarāim al-Qatl fi al-Syari’ah al-Islāmiyah wa al-


Qanūn al-Wad’ȋ, (Bairut: Mansyurah al-Maktabah al-Isyriyah,
1980).

Pradoni, Yogi, “Kajian Kriminologi Terhadap PelakuPembakaran


Kekasihnya yang Masih di Bawah Umur (Studi di Polres
Pelabuhan Belawan)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, 2019, dipublikasikan.
Priyatno, Dwija, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,
(Bandung: Refika Aditama, 2009), Cet. Ke-2.

Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), Cet.
Ke-I, h. 3.

Ro’fah, dkk, Fikih Ramah Difable, (Yogyakarta: Q-Media, 2015), Cet. Ke-I.

Rokhmadi, “Hukuman Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam di Era


Modern”, Jurnal At-Taqaddum, Vol. 08, No. 02, November, 2016,
dipublikasikan.

Rida, Rasyid, Tafsȋr al-Qur’an al-‘Azȋm al-Ma’rūf bi Tafsȋr al-Manār, Juz


2, (Bairut: Dāru Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2002).

Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,


1986).

.................................., dkk, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan


Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015).

Susanti, Dyah Ochtorina, dkk, Penelitian Hukum (legal Research), (Jakarta:


Sinar Grafika, 2014).

Sangaji, Etta Mamang, dan Sopiah, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta:


Andi Offset, 2014).

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-


Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-10.

Sutrisna, Tria, “Pembunuh yang Bakar Perempuan di Cisauk Ditangkap,


Salah Satu Pelaku Mantan Pacar Korban”, dikutip dari
Https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/11/13211271/pemb
unuh-yang-bakar-perempuan-di-cisauk-ditangkap-salah-satu-
pelaku?page=all, diakses, Jum’ah 11 Juni 2021, pukul 21.30 WIB
S/d.

Sodiqin, Ali, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”,


Jurnal Al-Mazāhib, Vol. 05, No. 02, Desember 2017, h. 198,
dipublikasikan.

....................., “Fiqh Sains: Elaborasi Konsep ‘Illat Menuju Pembentukan


Hukum Islam Yang Aktual”, Jurnal Perbandingan Hukum, Vol.
01, No. 05, Oktober 2017, h. 2, dipublikasikan.

....................., Hukum Qisas, Dari Tradisi Arab Menuju Hukum Islam,


(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010).
....................., “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan:
Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”,
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 49, No. 01, 2015, h. 67,
dipublikasikan.

Saleh, Abdul Mun’in, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan, Berpikir


Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model Al-Qawa’id Al-
Fiqhiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Sa’adah, Yani Handayani, “Pembunuhan Terhadap Jiwa Menurut Hukum


Islam dan Positif”, makalah Sekolah Tinggi Agama Islam
Siliwangi, Garut, 2013, h. 1, dipublikasikan.

Sa’dah, Yusrā Ibrāhim Abū, ‘Uqūbah al-Qatl al-‘Amdi fi al-Fiqh al-Islamȋ,


Dirāsah Muqāranah, (Riyadh: Dāru al-Wataniyah al-Su’udiyah li
al-Nasyri wa al-Tauzi’, 1980).

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani


Press, 2003), Cet. Ke-I.

Soeharto RM, Hukum Pidana Materiil, Unsur Unsur Obyektif sebagai


Dasar Dakwaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993).

Surbakti, Natangsa, Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiris, Teori, dan


Kebijakan, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), h. 84.

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Persepektif


Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), Cet. Ke-2.

Tobing, Letezia, “Jerat Hukum Bagi Pembakar Orang”, dikutip dari


Https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5292962f27a
9b/jerat-hukum-bagi-pembakar-orang, diakses, Selasa, 01 Juni
2021, pukul 20.00 WIB S/d.

Tahamazȋ, Abdul Ḥāmid Maḫmūd, al-Fiqh al-Ḥanafȋ fi Saūbih al-Jadȋd, Juz


III, (Bairut: Dāru al-Syamsiyah, 2000).

Unaīs, Ibrāhīm, Al-Mu’jam Al-Wāsīṭ, Juz 2, (t.tp: Dāru Iḥyā al-Turāts al-
‘Arabī, t.th).

Utomo, Eris, “Pembunuh Rosida Gadis Banyuwangi yang Tewas Dibakar


Ditangkap Polisi”, dikutip dari
Https://jatim.inews.id/berita/pembunuh-rosida-gadis-banyuwangi-
yang-tewas-dibakar-ditangkap-polisi, dikases, Jum’ah 11 Juni
2021, pukul 21.30 WIB S/d.

Wizārah al-Aūqāf wa Al-Syu’ūn Al-Islāmiyyah, Al-Maūsū’ah Al-Fiqhiyyah


Al-Kuwaitiyaah, Juz 32, (Kuwait: Dāru al-Salāsil, 1472), Cet. Ke-2.
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
Cet. Ke-2.

Wasil, Naṣr Farid, al-Fiqh al-Jinā’ȋ al-Muqāran fi al-Tasyri’ al-Islām,


(Kairo: Maktabah al-Safa, 2000).

Yusuf, Imaning, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal


Nurani, Vol. 13, No. 02, Desember, 2012, h. 1, dipublikasikan.

Zainuddin Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,


(Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Qafisheh, Mutaz M., “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A


Contribution to the Global System”, Journal of Criminal Justice
Sciences, Vol. 07 Issue 1 Januari-Juni, 2012, h. 487,
dipublikasikan.

Qudāmah, Ibn, al-Kāfī fi Fiqh al-Imām Aḥmad, Juz 7, (Bairut: Dāru al-
Kutub al-Ilmiah, 1994), Cet. Ke-I.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
1. Nama : Muhammad Sohib Aziz
2. Tempat, tanggal, : Pati, 30 Desember 1996
lahir
3. Alamat Rumah : Jl. Jakenan-Pucakwangi, Ds. Jatisari Rt. 01 Rw. 02,
Kec. Jakenan, Kab. Pati, Jawa Tengah

B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
1. TK Jatisari Lulus tahun 2003
2. SDN Negeri Jatisari Lulus tahun 2009
3. MTS Matholiul Huda Lulus tahun 2012
Sokopuluhan
4. MA Matholiul Huda Sokopuluhan Lulus tahun 2016
5. UIN Walisongo Semarang -

2. Pendidikan Non Formal


1. -
2. -

Semarang, 09 Agustus 2021


Muhammad Sohib Aziz

Nim: 1602026029

Anda mungkin juga menyukai