S K R I PS I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)
Dalam Ilmu Hukum Islam
Oleh:
BAABULLAH
NIM. 04531001
AL-AHWAL ASY-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2008
STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN
MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)
Dalam Ilmu Hukum Islam
Oleh:
BAABULLAH
NIM. 04531001
AL-AHWAL ASY-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2008
i
NOTA PEMBIMBING
Hal : Persetujuan Munaqosyah Skripsi Kepada Yth.
Bapak Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah
Surabaya
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Mengesahkan:
Dekan,
Drs. MAHMUDI
Tim Penguji Skripsi :
Ketua : Drs. Miftahul Arifin ( )
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puja puji dan lantun syukur hanya milik Allah SWT. Shalawat dan
salam hanya patut untuk Rasulullah Muhammad SAW.
iv
7. Kontributor utama yang tidak mau disebut namanya, atas pemberian buku
rujukan utama secara sukarela yang menjadi sumber utama skripsi ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa atas sumbangsih tenaga dan pikirannya.
9. Kontributor lain baik langsung maupun tidak langsung yang membantu proses
penyusunan skripsi ini.
10. Dan semua pihak yang tidak disebut namanya dengan tetap mengingat jasa
dan perannya bagi penulis.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh para pihak tersebut diatas
dihitung di hadapan Allah SWT kelak.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Sebab itu kritik dan saran
membangun penulis harapkan dan terima dengan lapang dada. Besar harapan
penulis agar karya ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi khalayak ramai.
BAABULLAH
v
ABSTRAK
STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN
MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
Oleh : BAABULLAH
NIM : 04531001
Fakultas : Agama Islam
Jurusan : Al-Ahwal As-Syakhsyiyyah (Syariah)
Dosen Pembimbing : Drs. Miftahul Arifin
Penelitian ini adalah sebuah studi analisis berdasarkan hukum Islam yang
mencoba menguak apa dan bagaimana pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai
hukum Akad Nikah melalui telepon berdasarkan putusan No. 1751/P/1989 pada
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pendapat Satria Effendi M. Zein yang dimaksud adalah pendapat tertulis
beliau yang tertuang dalam bukunya Analisis Yurisprudensi Mengenai Masalah
Keluarga Islam Kontemporer Indonesia. Pendapat tertulis Satria Effendi M. Zein
ini dikaji oleh peneliti dari segi dasar dan metode yang dipakai oleh Satria Effendi
M. Zein sekaligus kesimpulan beliau berdasarkan dasar dan metode yang beliau
pakai.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Satria Effendi M. Zein menawarkan
dua pendapat yang bertentangan, selama belum ada kekuatan hukum tetap, yakni
madzhab Syafi'i yang tidak mengesahkan praktek akad nikah melalui telepon, dan
madzhab Hanafi dan Hambali yang membolehkan, walau beliau cenderung
memilih pendapat kedua dengan alasan demi mengembangkan praktek akad nikah
yang lebih mengikuti zaman.
Selain itu, terungkap bahwa beliau menggunakan metode komparatif
vertikal, dalam arti beliau memperbandingkan antara pendapat para ulama
madzhab yang empat, kemudian menyimpulkan dengan berpegang teguh pada
maqasid syariah. Dan dasar-dasar yang beliau pakai, selain pendapat ulama' juga
qaidah ushuliyah dan alasan-alasan pensyariatan ala madrasah moderat.
Kata Kunci : Hukum Islam, Satria Effendi, Akad Nikah melalui telepon
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
vii
DAFTAR ISI
NOTA PEMBIMBING.........................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................iii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iv
ABSTRAK..........................................................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................................vii
DAFTAR ISI.....................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................4
C. KAJIAN PUSTAKA.................................................................................4
D. TUJUAN PENELITIAN..........................................................................5
F. DEFINISI OPERASIONAL.....................................................................7
G. METODE PENELITIAN.........................................................................8
2. Sumber Data........................................................................................8
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN..........................................................10
viii
BAB II KAJIAN TEORITIS HUKUM PERKAWINAN ISLAM
A. PENGERTIAN PERKAWINAN............................................................12
C. HUKUM PERKAWINAN......................................................................19
D. RUKUN PERKAWINAN.......................................................................28
E. SYARAT PERKAWINAN......................................................................30
F. HIKMAH PERKAWINAN.....................................................................44
ix
A. BIOGRAFI SATRIA EFFENDI M. ZEIN..............................................48
1. Riwayat Pendidikan...........................................................................48
1. Dari As-Sunnah.................................................................................63
2. Dari Literatur.....................................................................................64
BAB IV ANALISIS
x
C. ANALISIS ATAS METODE SATRIA EFFENDI M. ZEIN..................73
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN.......................................................................................77
B. SARAN...................................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum
dan pewarisan ini bersumber dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai
tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia yang
yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang bersifat ijtihad,
dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal
tersebut.
Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal
pelaksanaan akad nikah yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan
1
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta,
2004, hal. 2
1
2
semacam ini, namun putusan ini tetap dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah
Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad
nikah tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan
mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat
akad nikah, sang mempelai pria sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat.
Kedua belah pihak dapat melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat layanan
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin
Arif dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka
melangsungkan akad nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya
adalah, kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris,
dilangsungkan4.
2
“Seputar Ijab Kabul & Perceraian Jarak Jauh”, http://hukumonline.com/,15 April 2007
3
“Nikah Jarak Jauh Via “Teleconference”, http://www.pikiran-rakyat.com/,5 Des 2006
4
“Inggris-Cirebon Bersatu Dalam Pernikahan”,http://www.pikiran-rakyat.com/,26 Maret
2007
3
Fenomena seperti ini menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para
pakar hukum keluarga Islam di Indonesia. Oleh sebab praktek akad nikah jarak
jauh dengan menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai
pada jaman sebelumnya. Praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus
pelaku akad apabila pihak pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria)
Satria Effendi M. Zein sebagai salah satu pakar yang membidangi masalah
1989. Dalam pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua
macam putusan yang dapat dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu
menyerahkan putusan yang diambil sesuai dengan dasar yang dipakai majelis
hakim, dan memberikan penekanan bahwa keduanya boleh dipakai selama belum
menjelaskan bagaimana metode ijtihad yang dipakai oleh Satria Effendi M. Zein
B. RUMUSAN MASALAH
melalui telepon?
C. KAJIAN PUSTAKA
atas sumber primer, penulis juga mengkaji dalil-dalil yang dimuat dalam Al-
hukum akad nikah melalui telepon, juga Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk kemudian dijadikan sumber
sekunder.
melainkan lebih banyak membahas persoalan perkawinan dari sisi lain. Hal ini
seperti yang terdapat pada buku karya Drs. K.H. Miftah Faridl (1999) berjudul
150 Masalah Nikah dan Keluarga. Sedangkan buku-buku lain yang mengupas
permasalahan akad nikah, secara umum bukanlah sebuah analisis atas pendapat
Oleh karena sepanjang penelusuran penulis, tidak ada satupun karya tulis
yang secara khusus membahas tentang pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai
akad nikah, maka penulis berkeyakinan bahwa keaslian karya tulis ini dapat
dipertanggungjawabkan.
D. TUJUAN PENELITIAN
Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon. Secara khusus,
1. Pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon.
3. Metode ijtihad Satria Effendi M. Zein dalam menentukan hukum akad nikah
melalui telepon.
bagi pemerintah Indonesia selaku regulator serta para insan hukum, baik hakim,
advokat atau pengacara, pengamat dan pakar hukum, pun praktisi hukum Islam.
agar senantiasa mengikuti dan bergerak secara dinamis sesuai dengan pergerakan
Indonesia.
7
F. DEFINISI OPERASIONAL
Berikut ini adalah variabel yang tekandung dalam judul penelitian ini,
yaitu “Studi Analisis Hukum Islam terhadap Pendapat Satria Effendi M. Zein
1. Studi Analisis
2. Hukum Islam
G. METODE PENELITIAN
Berikut ini adalah metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
maka data yang hendak dikumpulkan adalah data-data yang berkenaan dengan
pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon,
2. Sumber Data
Sumber primer sebagai sumber pokok dalam studi analisis ini adalah buah
Islam Kontemporer”.
10
Ibid.
11
Ibid.
9
menelaah buku yang memuat pendapat Satria Effendi M. zein mengenai akad
nikah melalui telepon. Selain itu, untuk memperdalam ketajaman studi analisis
ini, penulis juga membaca dan menelaah kitab, buku maupun tulisan yang secara
Dalam studi analisis ini, data-data yang terhimpun akan dianalisis secara
a. Metode Deskriptif
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta secara apa
b. Metode Deduktif
Yaitu metode di mana studi analisis dilakukan dengan cara memberi alasan
berpikir dan bertolak dari pernyataaan umum yang bersifat umum secara teoritis
c. Metode Kualitatif
Yaitu metode di mana studi analisis akan mengeluarkan hasil berbentuk temuan-
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Dalam karya tulis ini, penulis menyajikan hasil studi analisis mengenai
pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon
dalam bentuk bab demi bab, yang terdiri dari lima bab. Bab-bab tersebut adalah
sebagai berikut:
Bab kedua adalah bab yang berisi Kajian Teoritis mengenai Hukum
Perkawinan.
Bab ketiga berisi permasalahan yang dibahas, yang terdiri dari Biografi
13
Ibid., hal. 197
11
Bab kelima adalah Penutup, yaitu kesimpulan yang didapat dari hasil studi
BAB II
A. PENGERTIAN PERKAWINAN
Perkawinan atau nikah, adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab
Berikut ini adalah pengertian kata ( )نكحsecara bahasa dan secara istilah:
pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata ( )نكحadalah () تزوج. Seperti
dalam Firman-Nya:
...ل زانJل زانية وكذلك الزانية ل يتزوجها إJل يتزوج الزاني إ...
Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna ( )الن كاحyang terdapat
pada ayat ini adalah ()الوطء. Sehingga takwilnya menjadi seperti ini:
ayat dalam Al-Quran yang memuat kata ( )الن كاحini selalu bermakna ()التزو يج.
Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata ( )الن كاحdi sini yang
bermakna ()التزويج. Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang
Arab memakai kata ( )الن كاحuntuk maksud ()ا لوطء. Dan sebaliknya, kata (جc) تزو
bersenggama ()الوطء.
Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau,
makna ( )الن كاحadalah ()ا لوطء. Sedangkan makna (دg )الع قdipakai apabila konteks
kalimat ( )هي ناكح في بني فلن-dia perempuan adalah mempelai di bani fulan yang di
Lalu Ibu Saidah berpendapat bahwa kata (Tكاحp )النbermakna (Tعg ضT)الب. Hanya
Golongan pertama berpendapat bahwa makna hakikat bagi kata ()الن كاح
adalah ()الوطء, sedangkan makna majaznya adalah (دg)الع ق. Oleh karena itu, apabila
dijumpai dalam Al-Quran ataupun Al-Hadits kata ( )الن كاحmaka pastilah makna
yang dipakai adalah ( )الوطءselama tidak ada qarinah (indikasi) yang menuju pada
ayat 22:
pertama. Mereka menyatakan bahwa makna hakikat dari ( )الن كاحadalah (دg)الع ق,
sedangkan makna majaznya adalah ()ا لوطء, dan pendapat ini rajih (lebih kuat).
ayat 230:
3
Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4
hal. 6
4
Ibid.
15
adalah musytarak (makna ganda/sinonim) dari makna (دg )الع قdan ()ا لوطء. Sebab
mereka mendasarkan pemakaian kata ini dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang
"Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan bersenang-
senang dengan sengaja".
النكاح بأنه عقد يتضمن ملك وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما
"Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah
atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut".
5
Ibid.
16
"Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna
bersenang-senang/ menikmati (wanita)6".
dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut
dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri8. Selain itu, mereka
عقد يفيد حل عشرة بين الرجل و المرأة و تعاونهما و يجد مالكيهما من حقوق و ما عليه من واجبات
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa11".
ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan
و من آياته أن خ لق لكم من أنف سكم أزوا جا لت سكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذ لك ل يات ل قوم
يتفكرون
10
Al-Utsaimin, At-Tafsir wa Ushuluhu, Wizarah At-Ta'lim Al-Aly, Riyadh, 1980, hal. 63
11
Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, 2004, hal. 117
18
وإن خف تم أل تق سطوا في الي تامى فانكحوا ما طاب لكم من الن ساء مث نى وثلث ور باع فإن خفتم أل ت عدلوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3)
وأنكحوا اليامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم ال من فضله وال واسع عليم
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
لكني أصلي وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني...
“Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi
wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk
umatku.” (HR. Muslim No. 1401)
C. HUKUM PERKAWINAN
Pada umumnya, hukum perkawinan dalam Islam ada lima macam: wajib,
haram, sunnah, makruh dan mubah12. Kelima macam hukum ini jatuh dan
keadaan menjadi sebab bervariasinya hukum yang jatuh, berikut akan dihadirkan
a. Wajib
Hukum perkawinan menjadi wajib bagi orang yang takut terjatuh pada
perbuatan zina, tidak mampu menahan nafsunya dengan puasa dan tidak mampu
memiliki budak. Apabila keadaan tersebut ada pada seseorang, maka hukum
– Tidak mampu berpuasa untuk menghindarkan dari zina, atau mampu berpuasa
Bagi orang yang mampu menikah, tapi ia mampu berpuasa dan membeli
budak sekaligus, maka hukum baginya adalah mukhayyar (boleh memilih antara
halal, maka misal yang dapat dipakai adalah sebagai berikut: Apabila dijumpai
keadaan seseorang takut berbuat zina, namun tidak mampu berpuasa dan memiliki
budak belian, maka belum jatuh hukum wajib kepadanya hingga ia mempunyai
b. Haram
Jatuh hukum haram menikah bagi laki-laki yang tidak khawatir terjerumus
Tapi apabila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon suami
Begitu pula bila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon istri
Dan bila calon istri tahu dan rela bahwa si laki-laki menafkahinya dengan
c. Sunnah
keturunan dan mampu untuk memenuhi kewajiban nafkah dengan halal serta
d. Makruh
kewajiban umum dalam perkawinan. Dan hukum ini jatuh tidak memandang laki-
laki maupun perempuan. Dan hukum makruh tidak berubah walaupun seseorang
e. Mubah
13
Ibid.
22
a. Fardhu
fardhu dan hukum wajib. Hukum fardhu jatuh bila syarat-syarat berikut terpenuhi
mampu berpuasa).
b. Wajib
Sedangkan hukum wajib (tapi tidak fardhu) jatuh bagi orang yang
c. Sunnah Muakkadah
padanya adalah hukum sunnah muakkadah, maka dosa yang ia dapatkan adalah
dosa yang ringan, lebih ringan dari dosa apabila meninggalkan nikah dalam
muakkadah dan wajib sebenarnya sama saja serta tidak ada perbedaan di antara
keduanya. Dan apabila melihat keterangan di atas, hukum wajib dan sunnah
– Apabila ada keinginan yang sangat atas pernikahan karena rasa takut terjatuh
– Apabila keinginan yang ada hanya sedang-sedang saja, maka menjadi sunnah
muakkadah.
memberi nafkah yang halal. Dalam arti apabila kedua unsur tersebut terpenuhi
tapi kemampuan memberi nafkah yang halal tidak terpenuhi, maka hukum sunnah
24
diniati untuk menghindarkan diri sekaligus pasangan dari dosa dan perilaku
haram, maka akan mendapatkan pahala. Namun apabila sebaliknya, tidak diniati
untuk menghindarkan diri dan pasangan dari perbuatan dosa, maka tidak akan
d. Haram
Hukum nikah menjadi haram bila seseorang yakin bahwa profesi yang ia
jalani adalah sebuah keharaman, karena mengandung sifat aniaya dan dzalim
kepada orang lain. Sebab pada dasarnya nikah oleh Islam disyariatkan untuk
pelakunya. Jadi bila nikah dilakukan dengan didukung perbuatan aniaya atas
orang lain, maka pernikahan semacam ini menjadi berdosa, karena tujuan
kemafsadatan.
e. Makruh
takut apabila dengan nikah justru menimbulkan kedzaliman dan aniaya, tapi kadar
f. Mubah
syarat-syarat berikut:
Karena apabila syarat yang terakhir berubah menjadi nikah diniatkan untuk
menghindarkan diri dari zina atau memiliki keturunan, maka hukumnya menjadi
sunnah. Maka perbedaan antara jatuh hukum sunnah atau mubah adalah dari niat
si pelaku14.
a. Mubah
Menurut kalangan ini, hukum asal nikah adalah mubah. Dan ini adalah
hukum yang jatuh bagi orang yang berniat dan menjalani perkawinan hanya untuk
b. Sunnah
Hukum asal mubah dapat menjadi sunnah, apabila diniati oleh si pelaku
14
Ibid.
26
c. Wajib
pelaku diniati untuk menolak dan menjauhkan diri dari perbuatan haram.
d. Makruh
Dan hukum asal mubah dapat pula menjadi makruh bila seseorang takut
dan khawatir tidak dapat mendirikan hak dan kewajiban rumah tangga dan sebagai
suami istri.
Dalam hal ini dapat diambil contoh semisal: seorang perempuan yang
tidak sedang ingin menikah, dan si calon suami tidak memiliki kemampuan
memberikan mahar dan nafkah halal, maka makruh bagi keduanya untuk
melangsungkan perkawinan15.
a. Fardhu
orang yang takut berzina bila tidak melaksanakan pernikahan, walau itu hanya
15
Ibid.
27
sekedar persangkaan. Hal ini sama saja bagi pria maupun wanita. Dan hal ini tidak
dari keharaman, maka jatuhlah hukum fardhu ini. Dan hukum fardhu juga jatuh
pada seseorang untuk mencari pekerjaan yang halal untuk memperoleh rejeki
Jadi, ketika seseorang takut berzina, maka fardhu baginya untuk menikah
b. Haram
Nikah menjadi haram pada darul harb (medan perang), kecuali dijumpai
kedaruratan. Dan apabila kedaruratan itu diangkat (dalam artian tidak ada), maka
melangsungkan perkawinan pada darul harb tidak dibolehkan sama sekali dalam
keadaan apapun.
c. Sunnah
tidak ada kekhawatiran jatuh kepada zina. Dan hukum ini jatuh baik untuk laki-
Dan perkawinan dalam keadaan seperti ini menjadi perbuatan sunnah yang
afdhal (sangat diutamakan dan dianjurkan) karena bertujuan untuk menjaga jiwa,
umat Muhammad, dan menjadi salah satu pilar pembangun masyarakat Islam.
d. Mubah
Sedangkan hukum mubah jatuh bila seseorang tidak sedang ingin menikah,
seperti orang yang sudah renta dan tak sanggup melakukan hubungan badan.
Hukum ini muncul dengan syarat bahwa tidak muncul kemudaratan oleh
sebab pernikahan tersebut dan tidak merusak akhlaknya. Bila kemudaratan dan
rusaknya akhlak muncul dari perkawinan semacam ini, maka hukumnya berubah
menjadi haram16.
D. RUKUN PERKAWINAN
Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua
hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud.
Hal yang pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau
orang yang mewakilinya. Dan yang kedua adalah qabul, yaitu lafadz yang
diucapkan oleh calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan
Hanafy17.
Kedua hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan
terdiri dari tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak,
yaitu ijab dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak
16
Ibid.
17
Ibid., hal. 11
29
perkawinan:
yaitu:
2. As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada
dilangsungkannya akad.
3. Calon suami.
4. Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah.
Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku
18
Ibid.
30
akad); yakni calon suami dan wali si perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang
dan yang terakhir adalah sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad
tidak termasuk rukun, juga tidak termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah
tanpa keberadaannya19.
perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan
sighat
Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat,
bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari
hakikat akad20.
E. SYARAT PERKAWINAN
syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang
19
Ibid., hal. 11
20
Ibid., hal. 11
31
terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi.
Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad memenuhi
– Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata
kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah
kata ( )تزو يجatau ()ان كاح. Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka
menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula
para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat
• Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-
• Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata-
32
• Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata-
– Sighat akad berupa ijab qabul harus ada dalam satu majelis.
– Tidak ada perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali
1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima nikahnya, dan aku
tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad seperti ini tidak sah.
– Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada kepastian
hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau secara tertulis (bila si
pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad tertulis dapat menjadi ganti
– Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki mengucapkan,
aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si perempuan menjawab,
aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini adalah nikah mut'ah.
– Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.
– Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan melakukan
akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak dalam keadaan
– Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang bapak
menyebutkan nama, maka akad seperti ini tidak sah. Kecuali bila salah satu
nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya yang belum
menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai putri bernama Fatimah,
tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut dengan nama Aisyah, maka akad
tidak sah.
mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka tidak sah.
Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan engkau dengan
– Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak
disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki disertai
dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah bila disaksikan
dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada seorang laki-laki yang
– Tidak disyaratkan saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksi
34
sedang ihram.
– Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal, baligh,
merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan kesaksian orang
gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah pula bila disaksikan kafir
dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut perempuan, maka tidak mengapa
selama ada saksi laki-laki yang muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah,
baik dua saksi kafir dzimmy tersebut mempunyai agama yang sama atau
berbeda.
– Akad boleh disaksikan oleh orang buta atau orang yang mendapat had akibat
– Akad nikah seorang perempuan boleh disaksikan oleh dua anak kandungnya.
Dan dengan dikiaskan dengan hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan
keberadaan akad dan hal isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian
dapat dilakukan oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi
tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila seorang laki-
laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil yang melakukan
akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi (saksi isbat akad), dan si
wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi pula (saksi keberadaan akad),
35
– Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka kesaksian
– Akad juga sah bila disaksikan orang bisu selama mereka mendengar dan
paham. Tidak disyaratkan bagi para saksi tersebut untuk paham lafadz akad
secara khusus, selama mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar
– Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab), selama
mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang mabuk atas
sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia saksikan adalah akad.
– Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah walau ada
perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan mempunyai sifat yang
dengan bercanda21.
21
Ibid., hal. 13
36
Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli,
diantaranya adalah:
– Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku nikahkan kamu
dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka akad semacam ini tidak
sah.
– Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi kamu
sekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam nikah
mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum dalam hadits
muttafaq alaihi.
– Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat akad nikah
yakni keharusan pemakaian lafadz ( )تزو يجatau ()ان كاح. Seperti dalam sighat
berikut: ( )أنكح تك موك لتيdan ()زوج تك اب نتي. Tapi pemakaian dua lafadz tersebut
mengandung unsur janji di dalamnya. Hal ini seperti yang terdapat dalam
sighat berikut: ()أزوجك ابنتي. Tapi bila kata tersebut ditambah keterangan waktu
semisal ( )أزوجك ابنتي النmaka boleh. Boleh pula jika memakai bentuk isim fail
(kata ganti subyek) disertai kata taukid (peneguhan) semisal: ()إني مزوجك ابنتي.
Karena hakikat isim fail pada kalimat ini tidak mengandung unsur janji.
– Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa Arab,
ini: ( )ملكتك إياها,( )وهبتها لك,( )بعتها لك,( )أحللت لك ابنتيdan semisalnya. Walau hal
Syafi'iyah tidak sah, dan harus menggunakan kata ( )ان كاحatau ()تزو يج. Dan
menurut Syafi'iyah inilah yang dimaksud dari “kalimat Allah” seperti yang
dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah. Sebab kinayah
– Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan ()قب لت ف يه زوا جه أو نكاح ها,
atau ( )أحبب ته,( )ر ضيت نكاح هاdan ()أرد ته. Tapi bila yang diucapkan qabiltu saja
– Mahram si perempuan.
38
– Baligh.
– Tidak buta.
• Terbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus istri
orang.
39
– Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik.
– Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga tidak ada
syarat, yakni:
Misal: sighat akad sah bila memakai kalimat ()زوجتك ابنتي فلنة. Namun bila
memakai kalimat ( )زوج تك اب نتيpadahal si wali mempunyai lebih dari satu putri,
maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon suami atau
Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi
untuk kalimat qabul cukup dengan kata ( )ر ضيتatau ()قب لت. Tidak disyaratkan
22
Ibid., hal. 13
40
dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya
dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat
dipahami.
– Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh,
merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut.
– Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, laki-
laki, baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka
orang tuli, kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke
– Syarat kelima: Tidak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan
23
Ibid., hal. 13
41
– Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut ini:
– Tidak disyaratkan berucap qabul dengan ()قب لت نكاح ها أو زواج ها, berlawanan
– Selain menggunakan kata ( )التزو يجdan ( )الن كاحmaka akad tidak sah.
semisal ( )أحل لت,( )أعط يت,( )ت صدقت,( )من حت,( )ب عتdan ( )مل كتdengan disertai
penyebutan mahar, maka hal ini masih diperselisihkan. Tapi pendapat yang
rajih adalah akad tidak sah. Bila kata-kata di atas tidak disertai penyebutan
– Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera ()ال فور. Bila
terpisah antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa.
– Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi, maka
– Laki-laki
– Merdeka
– Sehat akal
– Baligh
– Beragama Islam
– Tidak fasik
– Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak sah
Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing.
– Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka perkawinan
wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila hubungan intim
terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar mistly (mas kawin
43
– Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak hadir,
– Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhul wajib menghadirkan
saksi. Bila dukhul terjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus fasakh
dengan talak ba'in. Dan ini untuk menghindari terbukanya pintu zina.
– Kesaksian boleh berupa syahadatul abdaad (saksi silang), dan akad yang
terjadi sah. Misal: Seorang wali berakad dengan seorang laki-laki tanpa saksi,
lalu keduanya berpisah. Kemudian si wali menemui dua orang yang hendak ia
“aku bersaksi pada kalian bahwa aku telah mengawinkan si Polan dengan si
Polanah.”
Di tempat lain, si laki-laki yang berakad dengan wali tersebut bertemu pula
dengan dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan
– Bila hal seperti di atas terjadi, namun orang yang dijadikan saksi oleh si wali
dan si suami adalah orang yang sama, maka akad juga sah. Tapi kesaksian
tidak lagi bernama syahadatul abdaad. Dan jumlahnya cukup dengan dua
orang saja.
melakukan dhukul kepada istrinya tanpa saksi, maka jatuh had zina atas
keduanya.
melakukan perkawinan, semisal: bagi calon istri tidak sedang ihram, bukan istri
orang, tidak sedang iddah. Dan bagi keduanya tidak mempunyai hubungan darah,
F. HIKMAH PERKAWINAN
Bila ditilik lebih jauh, banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu
dapat disimpulkan bahwa hikmah perkawinan antara lain adalah sebagai berikut:
yang paling kuat dan paling dasar pada diri manusia yang membutuhkan
kepada Allah.
Perkawinan adalah jalan yang paling alamiah dan sesuai untuk memuaskan
dan memberi jalan penyaluran dari kebutuhan yang satu ini. Dengan perkawinan
maka tidak dapat dipungkiri seseorang akan mendapatkan badan yang sehat,
memperoleh jiwa yang tenang, mendapatkan pandangan yang terpelihara dari hal-
hal yang haram, memperoleh anugerah dengan berhak menikmati sesuatu dengan
halal sesuai dengan apa yang tersirat pada ayat dan hadits pada bagian
sebelumnya25.
25
Djamaan Nuur, Op. Cit., hal. 10
26
Ibid., hal. 11
46
buah hati, maka tumbuhlah naluri kebapakan atau keibuan dalam dirinya. Lalu
kedua naluri itu terus berkembang dan saling melengkapi sehingga menghasilkan
dan membentuk kehidupan berkeluarga yang penuh dengan perasaan yang ramah,
keluarga27.
keturunan, akan timbul rasa tanggungjawab dan dorongan yang kuat untuk
yang kuat ini akan mematangkan dan mendewasakan jiwa seseorang, sehingga ia
kewajibannya tersebut28.
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dengan berimbang.
Sehingga hal ini mewujudkan sinergi antara kedua insan tersebut. Perwujudan
27
Ibid., hal. 12
28
Ibid.
47
rumahtangga, pemelihara dan pendidik anak, dan suami sebagai pencari nafkah
dan kepala rumahtangga, akan menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi
kekeluargaan antar keluarga istri dan suami. Ikatan ini akan memperteguh rasa
saling mencintai antar keluarga yang terjalin di dalamnya. Hal ini juga berarti
memperteguh hubungan masyarakat Islam yang kokoh dan diridhai oleh Allah30.
29
Ibid.
30
Ibid.
48
BAB III
PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM
AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
1. Riwayat Pendidikan
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA. (Alm), adalah putra daerah yang
Universitas King Abdul Aziz Mekkah. Sedangkan gelar Doktoral dalam bidang
Ushul Fikih dengan yudisium cumlaude beliau peroleh dari Universitas Ummul
Dilalatuhu 'Ala Al-Ahkam”, sebuah studi kritis yang beliau lakukan atas
Selain itu, beliau juga dianugerahi gelar sebagai guru besar madya dalam
bidang ilmu Ushul Fikih yang ditetapkan pada tanggal 29 Desember 2000. Namun
49
sebelum beliau dikukuhkan sebagai seorang guru besar, beliau wafat terlebih
UIN), IAIN Yogyakarta, IAIN Riau, IAIN Padang dan IAIN Ujung Pandang.
Selain itu, beliau menjadi dosen pula di berbagai perguruan tinggi di Indonesia,
Institut Agama Islam Darurrahman dan Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah
(STAIDA).
tersebut di atas, beliau juga pernah memegang jabatan di beberapa bidang yang
sesuai dengan kompetensi beliau, seperti Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Fatwa MUI, Wakil Ketua
(DSN MUI), Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Asuransi MAA dan wakil
negara Indonesia pada Lembaga Pengkajian Hukum Islam (Majma' Al-Fiqh Al-
1
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta,
2004, hal. 539
2
Ibid.
50
aktif memberikan ceramah agama dan seminar, serta cukup banyak karya ilmiah
yang beliau hasilkan. Di antara karya beliau adalah “Fikih Umar Bin Khattab”,
Hukum Islam”, dalam buku Metode Mempelajari Islam, 1992, “Fikih Mu'amalat
(suatu upaya rekayasa sosial umat Islam Indonesia)”, dalam buku Aktualisasi
“Metodologi Hukum Islam”, dalam buku Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pendapat Satria Effendi tentang hukum akad nikah melalui telepon ini
adalah sebuah analisis yurisprudensi kritis yang beliau lakukan terhadap putusan
menyatakan bahwa persoalan semacam ini di kemudian hari dapat muncul dalam
bentuk lain. Semisal media komunikasi yang dapat didengar suaranya sekaligus
3
Ibid., Hal. 540
51
jangkau. Karena masalah ini merupakan persoalan baru di bidang Fiqh Islam,
akad nikah menurut beliau adalah berdasarkan perasaan suka sama suka
atau rela sama rela. Oleh karena perasaan semacam ini adalah sesuatu yang
abstrak, maka perwujudan keabstrakan akad ini diwakili oleh ijab dan kabul.
Maka karena itulah ijab dan kabul adalah unsur mendasar bagi keabsahan akad
nikah. Ijab diucapkan oleh wali mewakili pernyataan rela menyerahkan anak
perempuannya kepada si calon suami, dan kabul diucapkan oleh calon suami,
sebagai pernyataan rela menyunting calon istrinya. Lebih jauh lagi, ijab berarti
lambang penyerahan amanat Allah dari wali perempuan kepada calon suami, dan
kabul berarti sebagai lambang bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut.6
Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagai amanah dari Allah, dan dihalalkan
Beliau menyatakan makna “Kalimat Allah” dalam hadits yang beliau kutip
tidak lain adalah ucapan ijab dan kabul itu sendiri. Sebab begitu pentingnya arti
ijab dan kabul bagi keabsahan akad nikah, maka tersebutlah persyaratan-
akad seperti yang disepakati para ulama'. Hanya saja, dijumpai permasalah
tentang tafsiran dari ittihad al-majelis itu sendiri di kalangan para ulama'. Yang
kemudian setelah beliau telusuri berujung pangkal pada dua penafsiran yang
berbeda.8
a. Pendapat Pertama
adalah bahwa ijab dan kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat
dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu secara
terpisah.
7
Ibid.
8
Ibid.
53
upacara tersebut selesai kabul diucapkan pula pada upacara berikutnya, maka hal
ini tidak sah. Walaupun dua upacara tersebut dilakukan dalam satu tempat yang
terwujud maka tidak sah. Dalam hal ini beliau berkesimpulan bahwa persyaratan
kesatuan tempat.9
(bersatu majelis) dalam mazhab Hanafi. Misal, seorang calon suami mengirim
Sesampai surat tersebut dan kemudian isinya dibacakan dalam satu majelis, lalu
semacam ini menurut kalangan Hanafiyah sah, dengan alasan bahwa pembacaan
ijab calon suami yang tertulis di surat dan pengucapan kabul dari wali calon istri,
didengar oleh dua orang saksi dalam majelis yang sama, tidak dalam dua upacara
Sesuai contoh di atas, ijab diucapkan oleh calon suami, sedangkan kabul
diucapkan oleh wali calon istri. Dan menurut Hanafiyah hal ini boleh. Karena
ucapan akad yang diucapkan terlebih dahulu, disebut ijab, baik diucapkan oleh
9
Ibid.
54
wali, maupun oleh calon suami. Sedangkan ucapan akad yang disebut kemudian
disebut kabul, baik diucapkan oleh calon suami, maupun oleh wali calon istri.10
Yang beliau tekankan dalam keterangan ini adalah bentuk akad yang
dicontohkan ini bukan salah satu bentuk tawkil, karena yang didengar oleh para
saksi adalah redaksi tertulis dalam surat calon suami yang dibacakan didepannya,
dan pembaca surat bukanlah wakil dari si calon suami karena surat tersebut tidak
bahwa akad nikah ghaib mempunyai dua macam cara: pertama dengan mengutus
wakil, dan kedua dengan menulis surat kepada pihak lain untuk menyampaikan
akad nikahnya. Bagi si penerima surat yang setuju atas isi surat itu, hendaknya
langsung dalam satu majelis. Dalam praktik ini jelas bahwa dua orang saksi itu
hanya mendengar redaksi surat yang dibacakan, bukan dalam bentuk tawkil. 11
pendapat pertama ini, beliau menyatakan bahwa syarat ittihad al-majelis (bersatu
majelis) yang harus dipenuhi dalam suatu akad, bila hanya dimaksudkan untuk
10
Ibid., Hal. 4
11
Ibid.
55
di atas. Bila wali calon istri mengucapkan ijab dan calon suami mengucapkan
kabul di ruangan yang berbeda pada upacara dan waktu yang satu, dibantu oleh
alat pengeras suara, maka kesinambungan ijab dan kabul jelas terwujud.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah para saksi tidak harus dapat melihat
pendapat Ibnu Qudamah, seorang fuqaha' Hanabilah dalam kitab Al-Mughni yang
menegaskan bahwa kesaksian dua orang buta dalam akad nikah sah. Selama si
saksi buta dapat memastikan dengan yakin bahwa suara yang ia dengar sungguh-
sungguh diucapkan para pelaku akad nikah. Pendapat Ibnu Qudamah ini diikuti
antara ijab dan kabul. Kesinambungan ini adalah untuk mewujudkan kepastian
bahwa ijab dan kabul itu betul-betul sebuah manifestasi perasaan kedua belah
Dalam arti bahwa kabul yang segera diucapkan oleh wali setelah ijab
mengisyaratkan kerelaan calon suami. Dan sebaliknya, bila terentang jarak waktu
calon suami maupun wali calon istri. Maka menurut beliau, demi menghindari hal
12
Ibid., Hal. 5
56
surat dan keabsahan kesaksian dua orang buta digabungkan, maka syarat saksi
dapat melihat pelaku ijab kabul bukan lagi hal yang penting. Dengan demikian,
ketentuan kedua pelaku akad untuk hadir dan melaksanakan akad dalam satu
ruangan agar dapat dilihat kedua saksi, bukanlah syarat bagi keabsahan akad
nikah.14
b. Pendapat Kedua
tugas dua orang saksi. Karena menurut pendapat ini, kedua saksi harus mampu
melihat dengan mata kepalanya bahwa ijab dan kabul itu betul-betul diucapkan
Salah satu syarat sah akad nikah adalah dihadiri oleh dua orang saksi. Dan tugas
dua orang saksi itu adalah untuk memastikan keabsahan ijab kabul dari segi
redaksi dan pelaku akad, dan ini yang disepakati oleh para ulama.
13
Ibid.
14
Ibid., Hal. 6
15
Ibid.
57
dengan melihat secara langsung. Pendapat inilah yang diyakini oleh kalangan
Syafi'iyah.16
Maka konsekuensi dari pendapat ini membuat kesaksian orang buta tidak
lagi sah. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami, salah satu
fuqaha Syafi'iyah dalam kita Tuhfatul Muhtaj. Ibnu Hajar menolak kesaksian
orang buta dengan alasan bahwa kesaksian atas akad haruslah berdasarkan
penglihatan dan pendengaran. Sebab kesaksian orang buta sama saja seperti
kesaksian seseorang yang berada dalam keadaan gelap. Kedua macam kesaksian
ini tidak sah, sebab para saksi tidak mampu melihat para pelaku akad. Dengan
ketidakmampuan para saksi melihat para pelaku akad, maka tidak akan timbul
kepastian bahwa ijab dan kabul sungguh-sungguh dilakukan kedua pelaku akad.
penjelasan dari Syekh Abdul Hamid Asy-Syarwani terhadap pendapat Ibnu Hajar
sebagaimana berikut:
“Kesaksian orang dalam gelap tidak sah, karena tidak dapat mengetahui
kedua orang yang sedang melakukan akad. Sedangkan berpegang kepada suara
saja tidaklah memadai. Seandainya kedua orang saksi mendengar ijab dan kabul,
tetapi tidak melihat kedua orang yang mengucapkannya, meskipun dua orang
16
Ibid.
58
saksi mengetahui betul bahwa ijab dan kabul adalah suara dari kedua belah
pihak, namun akad nikahnya tetap dianggap tidak sah, dengan alasan tidak
keyakinan yang perlu dicapai dalam kesaksian akad nikah untuk mewujudkan
keabsahan. Dalam artian bahwa tingkat keyakinan atas suatu redaksi tidak
sebanding antara didengarkan saja dengan didengar dan dilihat. Dan dalam akad
para ulama' Syafi'iyah yang selalu bersikap hati-hati (ihtiyat) dalam menghukumi
sesuatu, lebih-lebih dalam masalah akad nikah. Karena akad nikah berdampak
Majmu' yan mencontohkan sebuah permisalan seperti berikut: jika wali calon istri
mengucapkan ijabnya dengan cara berteriak yang tak terlihat, kemudian teriakan
tersebut didengar calon suami dan segera mengucapkan kabulnya, maka akad
waktu, tapi masih menghendaki pemenuhan syarat lain, yaitu al-mu'ayanah. Yakni
17
Ibid., Hal. 7
18
Ibid.
59
kedua pelaku akad hadir di tempat yang sama. Sebab dengan cara itu syarat al-
maka tata laksananya harus bersifat tauqifiyah, harus terikat dengan apa yang
diwariskan oleh Nabi Muhammad, tidak ada peluang untuk mengadakan cara-cara
selain yang diwariskan oleh Nabi Muhammad. Dan itulah sebab mengapa
kalangan Syafi'iyah tidak membolehkan sighat akad selain lafal nikah atau
tazwij.19
tempat secara fisik. Karena dengan itu persyaratan al-mu'ayanah dengan arti
dapat dilihat secara fisik, dapat dipenuhi. Pandangan ini berhubungan dengan
dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Sebab itu jalan
19
Ibid., Hal. 8
20
Ibid.
60
perkara ini, para saksi formal yang ada di Indonesia dapat memastikan
terjadinya akad nikah dengan cara melihat wali calon istri mengucapkan
persyaratan para saksi harus secara yakin dan melihat pelaku akad telah
para saksi formal yang ada di Indonesia dan para saksi non formal yang di
dan serentak memastikan terjadinya ijab dan kabul antara kedua belah pihak,
b. Bila dilihat dari pandangan pendapat kedua, maka jelas praktik akad nikah
melalui telepon itu tidak sah. Berikut perbandingan antara praktik akad nikah
berikut:
21
Ibid., Hal. 9
61
Masalah akad nikah berunsur ta'abbud, Praktik penyaksian akad dengan dua
karena itu harus sesuai dengan contoh kelompok saksi yang berbeda tidak
Nabi Saw. pernah terjadi pada zaman Nabi Saw.
c. Mengenai cara akad nikah yang sesuai dengan contoh Nabi Muhammad Saw,
maka yang dikenal hanya dua macam. Yang pertama adalah calon suami hadir
dengan wali calon istri dalam satu tempat untuk melaksanakan akad, yang
Hadits pertama:
Hadits riwayat Abu Daud, dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah pernah
berkata kepada seorang lelaki, “Apakah engkau rela untuk saya kawinkan
bersedia untuk saya kawinkan dengan lelaki fulan? Perempuan itu menjawab,
Hadits kedua:
Hadits riwayat Abu Daud yang menceritakan bahwa Ummu habibah termasuk
d. Bila mengikuti pendapat Syafi'iyah, maka bila ada peristiwa akad nikah jarak
jauh di kemudian hari, dapat para pihak dapat didengar suaranya sekaligus
gambarnya, tentu tetap dinyatakan tidak sah. Sebab syarat al-mu'ayanah atau
permasalahan ini terasa amat kaku, sehingga dengan demikian tata laksana
(ihtiyat), agar tidak muncul praktik akad nikah yang tidak pasti.25
Bila sudah ada ketegasan pendapat mana yang disepakati untuk diberlakukan
22
Ibid., Hal. 11
23
Ibid., Hal. 12
24
Ibid., Hal. 13
25
Ibid.
63
(baik berwujud undang-undang atau peraturan), maka umat Islam wajib terikat
dengan undang-undang atau peraturan yang disepakati. Hal ini sesuai dengan
penafsiran. Maka perlu penegasa apakah tidak harus dihadiri secara fisik
1. Dari As-Sunnah
Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagai amanah dari Allah, dan dihalalkan
26
Ibid., Hal. 14
27
Ibid.
64
Beliau juga dua hadits riwayat Abu Daud tentang tawkil. Yang pertama
عن عقبة بن عامر أن النبي صلى ال عليه وسلم قال لرجل " أترضى أن أزوجك فلنة ؟ " قال نعم وقال
...للمرأة " أترضين أن أزوجك فلنا ؟ " قالت نعم فزوج أحدهما صاحبه
dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah pernah berkata kepada seorang
lelaki, “Apakah engkau rela untuk saya kawinkan dengan perempuan fulanah?”
Lelaki itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada
perempuan yang dimaksudkan, “Apakah kamu bersedia untuk saya kawinkan
dengan lelaki fulan? Perempuan itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian
Rasulullah menikahkan keduanya (HR. Abu Daud No. 2117)
dan yang kedua tentang perkawinan Nabi dengan Ummu Habibah yakni.
عن عروة بن الزبير عن أم حبيبة أنها كانت عند ابن جحش فهلك عنها وكان فيمن هاجر إلى أرض الحبشة
Dari Urwah bin Zubari, bahwasannya Ummu Habibah adalah istri dari
Ibnu Jahasy, kemudian suaminya meninggal, dan dia termasuk kelompok yang
berhijrah ke Habsyah, kemudian Najasyi menikahkannya dengan Rasulullah
SAW. (HR. Abu Daud No. 2086)
2. Dari Literatur
Selain itu beliau merujuk kepada pendapat para Ulama' dalam kitab-kitab
28
Ibid., Hal. 16
65
No. 1751/P/1989 tentang pengesahan praktik akad nikah melalui telepon dengan
Hadits Nabi, pendapat Ulama' madzhab yang empat, dan hukum atau peraturan
29
Ibid., Hal. xliii
66
Karena praktik akad nikah seperti ini pada jaman sebelumnya tidak dikenal
dan dijumpai, beliau menggunakan metode qiyas, salah satu metode istinbat
hukum yang disepakati para Ulama' mujtahid dan menjadi salah satu sumber
BAB IV
ANALISIS
belakang masalah yang menjadi obyek yang akan ia analisis. Yakni bagaimana
pentingnya mengomentari putusan ini, karena beliau menduga akan muncul media
komunikasi yang lebih maju dari telepon, yakni dapat didengar suaranya sekaligus
dilihat gambar yang berbicara, yang pada masa sekarang terwujud dalam
teknologi teleconference.
kepada hakikat dan kedudukan ijab kabul dalam akad nikah. Dengan
kesimpulan bahwa ijab kabul dalam akad nikah sangat penting. Oleh karena
begitu pentingnya, ijab kabul mempunyai syarat-syarat yang ketat untuk dianggap
sah. Dan salah satunya adalah syarat Ittihad Al-Majelis seperti yang disepakati
untuk menjelaskan lebih dalam maksud dari ittihad al-majelis yang jadi inti
permasalahan akad nikah semacam ini. Ulasan yang beliau hadirkan nampak
sedapat mungkin meliputi semua pendapat dari empat madzhab yang ada disertai
pendapat ulama' yang ada yang dikutipkan dari berbagai sumber, setelah itu ia
melakukan qiyas dan menguji maslahat serta Maqasid As-Syari'ah yang ada
dikenal oleh para koleganya sebagai pengikut mazhab Syafi'i, tetapi dalam
kuat argumentasinya.2
1
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta,
2004, hal. xxxix
2
Ibid.
69
tujuan ditetapkan hukum dalam Islam. Dalam hal ini, terlihat jelas bagaimana
b. Bercorak komparatif.5
dua pendapat yang beredar dalam menafsiri Ittihad Al-Majelis. Pendapat yang ia
bandingkan adalah pendapat madzhab Hanafy dan Hambaly di satu sisi dengan
madzhab Syafi'iy di sisi lain. Selain itu, corak komparatif ini juga nampak dalam
pemilihan kitab yang beliau rujuk, yakni Al-Fiqh 'Ala Mazahibil Arba'ah karya
Abdurrahman Al-Jaziri.
yang asing lagi, terutama pada periode modern ini. Berbagai literatur fikih
3
Ibid., hal. 529
4
Ibid., hal. 13
5
Ibid., hal. 529
70
menjadi inti persoalannya, dan yang mempeloporinya adalah Ibnu Rusyd dalam
Upaya untuk membangun fikih lintas mazhab terlihat jelas dalam analisis
satria Effendi terhadap berbagai masalah dalam buku ini. Yang menjadi menarik
manakala beliau mengungkap pendapat secara qauly sesuai dengan Ulama yang
berpendapat, dan kadangkala secara manhajiy.8 Hal ini bisa dilihat dalam
akad nikah, apakah tergolong Ta'abbudi atau Ta'aqquli. Pendekatan semacam ini
menjadikan kesimpulan yang beliau tawarkan lebih tajam, berbobot dan variatif.
muslim yang menganut paham Madrasah Moderat, suatu istilah yang digunakan
oleh Yusuf Qaradhawi dalam menjuluki kelompok penengah antara literal dan
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid.
71
2. Memahami teks dalam bingkai sebab dan kondisinya11. Ini terlihat ketika
tentang hadits riwayat Abu Daud dari Uqbah bin Amir tentang praktik tawkil.
berubah.13Ini terlihat dari anggapan beliau bahwa putusan akad nikah melalui
telepon perlu dan mendesak untuk dianalisis, karena bisa jadi di kemudian hari
5. Melihat perbedaan makna dalam ibadah dan muamalah14. Ini tidak lain adalah
pendekatan Ta'abbudi dan Ta'aqquli yang beliau anut yang telah disinggung di
bagian sebelumnya.
hukum positif dan sistem hukum sipil yang dianut di Indonesia. Satria
10
Yusuf Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2004, hal. 539
Fiqh maqashid syariah hal 160
11
Ibid., 167
12
Ibid.
13
Ibid., hal 214
14
Ibid., hal 217
72
sekarang ini, di luar Indonesia. Padahal perbandingan seperti itu amat diperlukan,
agar supaya para pemikir hukum Islam tidak sendirian di dalam melakukan
kajian komparatif horizontal. Sedangkan apa yang telah dilakukan oleh Satria
masalah hukum yang dihadapi dengan apa yang terdapat dalam kitab-kitab fikih.16
Selain itu, Pendapat Satria Effendi hanyalah bersifat catatan dan komentar
adalah mengikat, maka catatan dan komentar atas putusan tersebut hanya berperan
15
Satria Effendi, Op. Cit., hal. xviii-xix
16
Ibid., hal. xliii
17
Ibid., hal. xxiv
73
atau bahkan lebih penting dari kitab fiqh. Meskipun demikian, nampak bahwa
tepat. Satu hadits riwayat Muslim tentang keagungan akad nikah dan dua hadits
beliau jaga, dan maksud membangun fiqh lintas madzhab yang betul-betul toleran
dan dinamis. Kitab lintas madzhab yang diwakili oleh Fiqh As-Sunnah dan Fiqh
'Ala Madzahib Arba'ah, kemudian kitab yang mewakili pendapat pertama diwakili
oleh kitab Al-Mughni dan kitab yang mewakili pendapat kedua diwakili oleh kitab
multitafsir.
18
74
hukum akad nikah melalui telepon menggunakan hadits, pendapat ulama dan
peraturan perundangan yang ada. Metode komparatif vertikal ini adalah metode
yang tepat dimana peristiwa akad nikah melalui telepon yang bersifat dinamis,
untuk mengetahui kedudukan hukumnya maka perlu melihat dalil dan pendapat
tentang berbagai macam pelaksanaan akad nikah. Titik-titik kesamaan yang beliau
tentukan adalah:
1. Calon suami dengan wali calon istri tidak berkumpul dalam satu tempat ketika
berakad , yang pencarian hukumnya beliau kiaskan dengan akad melalui surat
ala Hanafiyah.
2. Para saksi tidak melihat pelaku akad secara langsung, yang pencarian
Kemungkinan salah atau keliru dalam putusan hakim tetap ada, karena itu
hakim tersebut.
Kemungkinan salah atau keliru pada hasil analisis penulis dalam karyanya
juga tetap ada. Hal ini karena menyangkut karakteristik fiqh muamalah
75
(ijtihadiyat) yang dikajinya, yaitu a). memiliki kebenaran yang sifatnya relatif, b).
keberlakuannya bisa tidak universal dan boleh jadi tidak permanen, dan c) bersifat
Baik para hakim yang telah memutus perkara maupun penulis dalam buku
ini telah melakukan ijtihad dalam kategori ijtihad tatbiqi ( )إجت هاد ت طبيقىyang
pijakannya bukan hanya nash-nash al-quran dan as-sunnah serta pendapat para
ulama, namun juga situasi dan kondisi pihak-pihak yang berperkara ()الظروف.
utamanya, yaitu:
Nash-nash Al-Quran dan atau As-Sunnah yang secara jelas dan tegas
atau hukum positif merupakan alternatif utama bilama seputar kasus yang
dianalisisnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Hal ini sesuai dengan
kaidah
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Satria Effendi M. Zein berpendapat bahwa hukum akad nikah melalui telepon
mempunyai dua macam hukum, yakni boleh menurut kalangan Hanafiyah dan
Hanabilah, serta tidak boleh menurut kalangan Syafi'iyah selama belum ada
kekuatan hukum tetap dari hakim. Namun Satria Effendi M. Zein mempunyai
madzhab seperti Fiqh Sunnah karya Sayid Sabiq, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-
Juga menimbangnya dari sisi hukum positif yang berlaku di Indonesia melalui
tidak tetap dan dapat berubah (dalam hal ini praktek akad nikah melalui
78
telepon) dengan dalil dan pendapat ulama yang bersifat tetap. Kemudian,
pendapat atas praktik akad nikah melalui surat dan kesaksian orang buta) dan
B. SARAN
1. Perlu adanya pengujian lebih lanjut atas pendapat Satria Effendi M. Zein
terutama dari konsekuensi hukum yang akan terjadi apabila dua pendapat yang
2. Perlu adanya dasar-dasar dan rujukan dari kitab-kitab tentang ushul fikih baik
Islam lain untuk menajamkan analisis yang telah diberikan oleh Satria Effendi
M. Zein.
hukum praktik akad nikah melalui telepon itu dari kacamata hukum Islam di
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Sulaiman bin Asy'ats, Sunan Abi Daud, Al-Maktabah As-Syamilah Ver.
1.0.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. MA, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, Jakarta, Kencana.