Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PERTEMUAN 12

NILAI-NILAI PANCASILA DALAM STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU


PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Disusun Oleh :

Dwui Tamara (201030100446)

2A Ilmu Keperawatan

STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG


2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan banyak nikmatnya kepada penulis sehingga atas berkat dan rahmat serta
karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pancasila
Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu” .

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah
Pancasila di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatna Widya Dharma Husada, Tangerang.
Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah tersusun. Namun,
hanya lebih pendekatan pada study banding atau membandingkan beberapa materi yang
sama dari berbagai referensi. Dan semoga bisa memberi tambahan pengetahuan bagi kita
semua.

Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima
Kasih.

Pamulang, 18 Juni 2021

Penulis ,
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak 18 Agustus 1945, secara epistomologis, Pancasila dikaji oleh para ahli dan juga
diuji oleh berbagai peristiwa-peristiwa yang mencoba merongrong kemerdekaan dan keutuhan
Republik Indonesia. Secara empiris dan kenegaraan, Pancasila telah menunjukkan
ketangguhannya hingga pada saat ini. Pengujian secara kognitif telah dilakukan oleh para ahli
dengan berbagai pendekatan. Notonegoro dengan analisis teori causal, Driarkara dengan
pendekatan antroplogi metafisik, Eka Darmaputra dengan etika, Suwarno dengan pendekatan
historis, filosofis dan sosio-yuridis, Gunawan Setiardja dengan analisis yuridis ideologis
(Dimyati, 2006) dan bayak para ahli dan kalangan akademisi membuktikan Pancasila sebagai
filsafat

Sejak dulu, ilmu pengetahuan mempunyai posisi penting dalam aktivitas berpikir
manusia. Istilah ilmu pengetahuan terdiri dari dua gabungan kata berbeda makna, ilmu dan
pengetahuan. Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan definisi pengetahuan, sedangkan ilmu
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode
tertentu.

Sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di sekitarnya,
berbanding lurus dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Namun dalam
perkembangannya, timbul gejala dehumanisasi atau penurunan derajat manusia. Hal tersebut
disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh manusia, baik itu suatu teori maupun materi
menjadi lebih bernilai ketimbang penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila harus
diperkuat agar bangsa Indonesia tidak terjerumus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang
saat ini semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai –nilai Pancasila sesungguhnya telah tertuang secara filosofis-ideologis dan


konstitusional di dalam UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen. Nilai
–nilai Pancasila ini juga telah teruji dalam dinamika kehidupan berbangsa pada berbagai periode
kepemimpinan Indonesia. Hal ini sebenarnya telah menjadi kesadaran bersama bahwa Pancasila
merupakan tatanan nilai yang digali dari nilai-nilai dasar budaya bangsa Indonesia, yaitu kelima
sila yang merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga pemahaman dan pengamalannya
harus mencakup semua nilai yang terkandung di dalamnya. Hanya saja perlu diakui bahwa meski
telah terjadi amandemen hingga ke-4, namun dalam implementasi Pancasila masih banyak
terjadi distorsi dan kontroversi yang menyebabkan praktek kepemimpinan dan pengelolaan
bangsa dan Negara cukup memprihatinkan.

Bukti-bukti empiris menunjukkan hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari
suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antar-pemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan,
antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya. Aktivitas ini pun relatif belum terfasilitasi
dengan baik dalam beberapa kebijakan pemerintah

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian dari Ilmu ?
2. Bagaimana Pilar - Pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan ?
3. Bagaimana Prinsip-prinsip dalam berpikir ilmiah ?
4. Bagaimana aspek penting dalam ilmu pengetahuan ?
5. Bagaimana Strategi Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi ?
6. Bagaimana Hubungan Antara Pancasila dan Perkembangan IPTEK ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada pembahasan dalam makalah ini diantaranya :
1. Mengerti pengertian dari Ilmu
2. Mengetahui pilar-pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan
3. Memahami prinsip-prinsip dalam berpikir ilmiah
4. Mengetahui aspek penting dalam ilmu pengetahuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian ilmu

Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan
dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-
segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian
dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu
terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya
(Surajiyo. 2010).
Ilmu (Knowledge) merujuk kepada kefahaman manusia terhadap sesuatu perkara,
dimana ilmu merupakan kefahaman yang sistematik dan diusahakan secara sedar. Pada
umumnya, ilmu mempunyai potensi untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia. Ilmu adalah
sesuatu yang membedakan kita dengan makluk tuhan lainya seperti tumbuhan dan hewan.
Denagan ilmu kita dapat melakukan, membuat, menciptakan sesuatu yang membawa perbedaan
yang lebih baik bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan dimengerti sebagai pengetahuan
yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaianya dipertanggungjawabkan secara
teoretis. Sehingga ilmu pengetahun sangat diperlukan bagi setiap manusia untuk mencapai
kemajuan dan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi, membagi ilmu ke dalam
Natuurwissenchaft dan Geisteswissenchaft. Kelompok pertama sebagai Science of the World
menggunakan metode Erklaeren, sedangkan kelompok kedua adalah Science of Geist
menggunakan metode Verstehen. Kemudian Juergen Habermas, salah seorang tokoh mazhab
Frankfrut (Jerman) mengajukan klasifikasi lain lagi dengan the basic human interest sebagai
dasar, dengan mengemukakan klasifikasi ilmu-ilmu empiris-analitis, sosial-kritis dan historis-
hermeneutik, yang masing-masing menggunakan metode empiris, intelektual rasionalistik, dan
hermeneutik (Van Melsen, 1985).

2.2 Pilar - Pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan

Melalui teori relativitas Einstein paradigma kebenaran ilmu sekarang sudah berubah
dari paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun teori
absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi,
bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka objektif,
rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya ilmu tidak
mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan
dituntut mencari alternatif-alternatif pengembangannya melalui kajian, penelitian
eksperimen, baik mengenai aspek ontologis epistemologis, maupun ontologis. Karena setiap
pengembangan ilmu paling tidak validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat
dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of justification)
maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan
(context of discovery).

Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan.
Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite/saling
mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi,
epistemologi dan aksiologi.

1. Pilar ontologi (ontology)

Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).

a) Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme,
pluralisme )

b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme,
teleologisme, vitalisme dan organisme).

Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar-


dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan multidisipliner.
Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi
antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi
saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh
ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.

2. Pilar epistemologi (epistemology)

Selalu menyangkut problematika teentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran,


cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar kebenaran,
sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi
kita : (a) sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu (b)
memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu (c) mengembangkan
ketrampilan proses (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
3. Pilar aksiologi (axiology)

Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius)


dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat
memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang
profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan ilmu
secara imperative mengacu ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat integratif
dan prerequisite.

2.3 Prinsip-prinsip berpikir ilmiah

1) Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif (misal
: perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
2) Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain.
Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3) Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak
mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional,
begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4) Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap
berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
5) Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang
jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.

2.4 Beberapa aspek penting dalam ilmu pengetahuan


Melalui kajian historis tersebut yang pada hakikatnya pemahaman tentang sejarah
kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan
itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.
Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud / memanifestasikan
dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam kehidupan
kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah yang menurut partadigma Merton disebut
universalisme, komunalisme, dan skepsisme yang teratur dan terarah. Sebagai proses, ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut dalam
upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi,
seminar, konggres. Sedangkan sebagai produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
hasil kegiatan kelompok elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain
sebagaimana disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada
masyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan di dalamnya terdapat unsur-unsur
sebagai berikut.
1) Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui (Gegenstand)
2) Objek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa
mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang
justru muncul permasalahan-permasalah baru yang mendorong untuk terus menerus
mempertanyakannya.
3) Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus-menerus dipertanyakan.
4) Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento
Wibisono, 1985).

Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat mempercayai akan
kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat diketahui,
diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme ini, mereka selalu berpetualang untuk melakukan
penelitian secara kreatif dan inovatif.
Ciri khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional, antroposentris, dan
cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis dan mimbar akademis). Konsekuensi
yang timbul adalah dampak positif dan negatif. Positif, dalam arti kemajuan ilmu pengetahuan
telah mendorong kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress, improvement) dengan
teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan kemudahan-kemudahan yang semakin
canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran hidupnya secara fisik-material.
Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah
dengan menjauhi nilai-nilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan
manusia sendiri.
Akhirnya tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempunyai
kedudukan substantif dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kedudukan substantif itu ilmu
pengetahuan dan teknologi telah menjangkau kehidupan manusia dalam segala segi dan
sendinya secara ekstensif, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan teknologi merubah
kebudayaan manusia secara intensif.

2.5 Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi

Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan
manusia maka perlu mempertimbangan strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik dan benar
agar pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan memartabatkan
manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif kita meletakkan Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian
dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu.
Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk mencari
kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau ”an unfinished journey”. Ilmu tampil dalam
fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai
Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi aksiologis,
mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu adalah sila-sila Pancasila sebagai
satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan
kritis, maka diperlukan suatu situasi kondusif baik struktural maupun kultural.
Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.

1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan


perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini
menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.

2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak
hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.

3) Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang


lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam
sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak
mengganggu integrasi.

4) Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran
ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak
dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.

5) Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan
Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan
sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena
kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas
merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-
nilai Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan
kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa
fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak diri
seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata berpegang
pada kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya
yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.

2.7 Hubungan Antara Pancasila dan Perkembangan IPTEK


Negara Indonesia adalah Negara kepulauan, Jumlah pulau di Indonesia menurut data
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah.
7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama.
Indonesia memiliki perbandingan luas daratan dangan lautan sebesar 2:3. Letaknya sangat
strategis, di antara dua samudra yaitu samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta dihimpit
oleh dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Selain itu Negara kita dilintasi oleh
garis khatulistiwa yang menyebabkan Indonesia beriklim tropis. Hal ini menyebabkan
Indonesia sangat kaya akan fauna dan flouranya. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia
yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies mamalia dunia dan
16% spesies binatang reptil dan ampibi, serta 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies
ikan dunia. Sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah
tersebut.
Selain memiliki kekayaan alam yang menakjubkan, Indonesia juga sangat kaya akan
suku bangsa, budaya, agama, bahasa, ras dan etnis golongan. Sebagai akibat
keanekaragaman tersebut Indonesia mengandung potensi kerawanan yang sangat tinggi
pula, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik
sosial. Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat
menimbulkan konflik etnis kultural. Arus globalisasi yang mengandung berbagai nilai dan
budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang menyebabkan
konflik tata nilai.
Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi
dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini seiring dengan
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan komunikasi. Serta
sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan bentuk ancaman yang bersifat multi
dimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
Oleh karena itu. kemajuan dan perkembangan IPTEK sangat diperlukan dalam upaya
mempertahankan segala kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia serta menjawab segala
tantangan zaman. Dengan penguasaan IPTEK kita dapat tetap menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia sesuai dengan sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia.
Maka dari itu, IPTEK dan Pancasila antara satu dengan yang lain memiliki hubungan yang
kohesif. IPTEK diperlukan dalam pengamalan Pancasila, sila ketiga dalam menjaga
persatuan Indonesia. Di lain sisi, kita juga harus tetap menggunakan dasar-dasar nilai
Pancasila sebagai pedoman dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi agar
kita dapat tidak terjebak dan tepat sasaran mencapai tujuan bangsa.

- Sumber Historis, Sosiogis, Politis Tentang Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu di
Indonesia

a. Sumber Historis
Secara historis, butir-butir dalam pancasila merupakan hasil dari persidangan
BPUPKI pertama yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Sidang ini dilaksanakan
pada tanggal 28 mei 1945 - 1 juni 1945. Ketiga tokoh nasional yakni dr. Soepomo, moh.
Yamin, dan Ir. Soekarno mengutarakan pemikirannya mengenai dasar negara yang masing-
masing mengeluarkan lima buah gagasan. Soekarno sendiri menamai kelima gagasan
miliknya sebagai Pancasila pada tanggal 1 juni yang akhirnya diperingati sebagai hari
lahirnya pancasila. Pancasila sendiri ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 agustus
1945 pada sidang PPKI pertama.
Sebagai dasar negara pancasila merupakan landasan dan pandangan hidup dari
seluruh elemen kehidupan bangsa indonesia. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu menjiwai isi dari pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Dalam rangka mencerdaskan bangsa, maka hal ini memungkinkan akan ada banyak
ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang masuk ke Indonesia. Peran pancasila disini ialah
sebagai kerangka acuan mengenai tentang bagaimana ilmu-ilmu itu dapat berkembang akan
tetapi tetap sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam pancasila.

Ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut diharapkan dapat berkembang di Indonesia


guna mencerdaskan bangsa sesuai dengan apa yang terkandung dalam pancasila yakni ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut dapat membentuk manusia Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
b. Sumber Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu tentang interaksi antar manusia. Sosiologi mengkaji tentang
latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok
masyarakat, disamping juga mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan
dalam masyarakat.

Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan jika dilihat dari sudut
pandang sosiologi berarti ilmu pengetahuan itu digunakan untuk mengkaji struktur sosial,
proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial, dan masalah-masalah sosial yang patut
disikapi secara arif dengan menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai
Pancasila. Dalam hal ini kehidupan sosiologis bangsa indonesia sangat berkaitan dengan nilai
ketuhanan dan kemanusiaan. Bangsa indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius serta
selalu ramah terhadap semua orang. Maka cukuplah semua nilai-nilai itu menjadi rambu-
rambu jika pengembangan ilmu pengetahuan harus sesuai dengan keadaan sosiologis bangsa
indonesia serta haruslah memegang teguh nilai-nilai pancasila.
Secara sosiologis, nilai-nilai pancasila timbul dari hasil interaksi antar masyarakat
indonesia. Nilai-nilai tersebut kemudian hadir sebagai buah dari pemikiran, penelitian kritis
dan hasil refleksi bangsa Indonesia. Nilai-nilai bangsa Indonesia merupakan kebenaran bagi
bangsa Indonesia yang tampil sebagai norma dan moral kehidupan bangsa Indonesia yang
juga sebagai pelaksanaan sistem nilai budaya bangsa Indonesia.
c. Sumber Politis
Sumber politis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat
dirunut ke dalam berbagai kebijakan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara.
Dokumen pada masa Orde Lama yang meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan atau orientasi ilmu, antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno ketika
menerima gelar Doctor Honoris Causa di UGM pada 19 September 1951, mengungkapkan
hal sebagai berikut: “Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia
dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup manusia, atau praktiknya bangsa, atau
praktiknya hidup dunia kemanusiaan. Memang sejak muda, saya ingin mengabdi kepada
praktik hidup manusia, bangsa, dan dunia kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya selalu
mencoba menghubungkan ilmu dengan amal, menghubungkan pengetahuan dengan
perbuatan sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh
pengetahuan.
Ilmu dan amal harus wahyu-mewahyui satu sama lain. Buatlah ilmu berdwitunggal
dengan amal. Malahan, angkatlah derajat kemahasiswaanmu itu kepada derajat mahasiswa
patriot yang sekarang mencari ilmu, untuk kemudian beramal terus menerus di wajah ibu
pertiwi” (Ketut, 2011).
Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pada zaman Orde
Lama belum secara eksplisit dikemukakan, tetapi oleh Soekarno dikaitkan langsung dengan
dimensi kemanusiaan dan hubungan antara ilmu dan amal. Selanjutnya, pidato Soekarno pada
Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18 Maret 1962, mengatakan hal sebagai
berikut: “Ilmu pengetahuan itu adalah malahan suatu syarat mutlak pula, tetapi kataku tadi,
lebih daripada itu, dus lebih mutlak daripada itu adalah suatu hal lain, satu dasar. Dan yang
dimaksud dengan perkataan dasar, yaitu karakter.
Karakter adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tetap
adalah suatu syarat mutlak. Tanpa karakter yang gilang gemilang, orang tidak dapat
membantu kepada pembangunan nasional, oleh karena itu pembangunan nasional itu
sebenranya adalah suatu hal yang berlangit sangat tinggi, dan berakar amat dalam sekali.
Berakar amat dalam sekali, oleh karena akarnya itu harus sampai kepada inti-inti daripada
segenap cita-cita dan perasaan-perasaan dan gandrungan-gandrungan
rakyat”(Soekarno,1962).
Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menyinggung masalah Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan ilmu ketika memberikan sambutan pada Kongres Pengetahuan
Nasional IV, 18 September 1986 di Jakarta sebagai berikut: “Ilmu pengetahuan dan teknologi
harus diabdikan kepada manusia dan kemanusiaan, harus dapat memberi jalan bagi
peningkatan martabat manusia dan kemanusiaan.
Dalam ruang lingkup nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ingin kita kuasai
dan perlu kita kembangkan haruslah ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa memberi
dukungan kepada kemajuan pembangunan nasional kita. Betapapun besarnya kemampuan
ilmiah dan teknologi kita dan betapapun suatu karya ilmiah kita mendapat tempat terhormat
pada tingkat dunia, tetapi apabila kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat
membantu memecahkan masalah-masalah pembangunan kita, maka jelas hal itu merupakan
kepincangan, bahkan suatu kekurangan dalam penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan
teknologi” (Soeharto, 1986: 4).
Pada era Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan pada acara
silaturrahim dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan masyarakat ilmiah, 20
Januari 2010 di Serpong. SBY menegaskan sebagai berikut: Setiap negara mempunyai sistem
inovasi nasional dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisinya masing-masing. Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus mengembangkan
sistem inovasi nasional, yang didasarkan pada suatu kemitraan antara pemerintah, komunitas
ilmuwan dan swasta, dan dengan berkolaborasi dengan dunia internasional.
Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pada zaman Orde
Lama belum secara eksplisit dikemukakan, tetapi oleh Soekarno dikaitkan langsung dengan
dimensi kemanusiaan dan hubungan antara ilmu dan amal. Selanjutnya, pidato Soekarno pada
Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18 Maret 1962, mengatakan hal sebagai
berikut: “Ilmu pengetahuan itu adalah malahan suatu syarat mutlak pula, tetapi kataku tadi,
lebih daripada itu, dus lebih mutlak daripada itu adalah suatu hal lain, satu dasar. Dan yang
dimaksud dengan perkataan dasar, yaitu karakter.
Karakter adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tetap
adalah suatu syarat mutlak. Tanpa karakter yang gilang gemilang, orang tidak dapat
membantu kepada pembangunan nasional, oleh karena itu pembangunan nasional itu
sebenranya adalah suatu hal yang berlangit sangat tinggi, dan berakar amat dalam sekali.
Berakar amat dalam sekali, oleh karena akarnya itu harus sampai kepada inti-inti daripada
segenap cita-cita dan perasaan-perasaan dan gandrungan-gandrungan
rakyat”(Soekarno,1962).
Dalam ruang lingkup nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ingin kita kuasai
dan perlu kita kembangkan haruslah ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa memberi
dukungan kepada kemajuan pembangunan nasional kita. Betapapun besarnya kemampuan
ilmiah dan teknologi kita dan betapapun suatu karya ilmiah kita mendapat tempat terhormat
pada tingkat dunia, tetapi apabila kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat
membantu memecahkan masalah-masalah pembangunan kita, maka jelas hal itu merupakan
kepincangan, bahkan suatu kekurangan dalam penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan
teknologi” (Soeharto, 1986: 4).
Pada era Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan pada acara
silaturrahim dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan masyarakat ilmiah,
20 Januari 2010 di Serpong. SBY menegaskan sebagai berikut: Setiap negara mempunyai
sistem inovasi nasional dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan
dan kondisinya masing-masing. Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus
mengembangkan sistem inovasi nasional, yang didasarkan pada suatu kemitraan antara
pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan dengan berkolaborasi dengan dunia
internasional.

Oleh karena itu, berkaitan dengan pandangan ini dalam waktu dekat saya akan
membentuk komite inovasi nasional, yang langsung bertanggungjawab kepada presiden,
untuk ikut memastikan bahwa sistem inovasi nasional dapat berkembang dan berjalan dengan
baik. Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi knowledge society.
Strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju, developed country, adalah dengan
memadukan pendekatan sumber daya alam, iptek, dan budaya atau knowledge based,
Resource based and culture based development” (Yudhoyono, 2010).
Habibie dalam pidato 1 Juni 2011 menegaskan bahwa penjabaran Pancasila sebagai
dasar nilai dalam berbagai kebijakan penyelenggaraan negara merupakan suatu upaya untuk
mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan (Habibie, 2011: 6). Berdasarkan pemaparan
isi pidato para penyelenggara negara tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sumber politis
dari Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek lebih bersifat apologis karena hanya
memberikan dorongan kepada kaum intelektual untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila lebih
lanjut.
- Urgensi Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pentingnya/Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan ilmu tertuah dalam
hal-hal berikut ini:
1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi khususnya di Indonesia belum
melibatkan seluruh masyrakat luas Indonesia namun hanya berkutat dan menyejaterahkan
bagi kelompok elite saja yang mampu dan mengembangkan ilmu tersebut (scientist oriented).
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Indonesia berorientasi pada apa yang menjadi
kebutuhan pasar saja sehingga kebanyakan program studi yang ada dan berkembang di
Indonesia ialah program studi yang diminati dan yang terserap oleh pasar, sebaliknya dengan
program studi yang belum berkembang maka akan tertutupi dan tidak mendapat posisi di
pasar yang pada kenyatannya segala macam program studi akan membangun bangsa sebagai
penunjang Ilmu Pengetahuan bagi seluruh masyarakat luas.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dewasa kini tidak berdasar dan
berlandaskan berdasar pada nilai-nilai yang berkembang di Indonesia itu sendiri namun lebih
berioentasi pada nilai-nilai pada Barat dan politik global pun ikut mengancam nilai-nilai
kehidupan yang menjadi nilai bangsa Indonesia seperti gotong royong, rasa solidaritas dan
keadilan.
4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan kemajuan Teknologi seiring berjalannya waktu
menimbulkan perubahan baik dalam cara pandang masyarakat maupun cara berperilaku
masyarakat mengenai kehidupan bermasyarakat.

5. Penjabaran pada sila-sila Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu diharapkan
dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang sangat berpengaruh bagi cara berpikir dan bertindak pada
masyarakat luas di Indonesia yang cenderung Pragmatis, yaitu penggunaan benda/barang
teknologi dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia dewasa ini yang menggantikan peran
dari nilai luhur, yang diyakini dapat menciptakan pribadi masyarakat Indonesia memiliki sifat
sosial, humanis, dan religius.
6. Nilai-nilai Pancasila sebagai nilai-nilai perjuangan, adat istiadat, budaya dan agama
yang telah berakar di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia inilah yang
mengkristal menjadi lima sila yang saling menjiwai sehingga diharapkan menjadi nilai-nilai
kehidupan dari berbagai daerah di Indonesia yang mulai digantikan dengan gaya hidup
global, seperti : budaya gotong royong itu sendiri sudah mulai digantikan dengan sikap
individualisme yang tinggi pada diri masing-masing, sikap bersahaja yang mulai digantikan
dengan gaya hidup yang bermewah-mewahan atau sikap konsumtif yang merajalela, sikap
solidaritas sudah terkikis dan semangat individualisme semangkin memuncaki, dan
musyawarah untuk mufakat mulai digantikan dengan adanya sistem voting, dan lain
sebagainya perilaku yang mulai terkikis dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
G. Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pancasila sebagai pengembangan ilmu belum dibicarakan secara eksplisitoleh para
penyelenggara negara sejak Orde Lama sampai era Reformasi. Para penyelenggara negara
pada umumnya hanya menyinggung masalah pentingnya keterkaitan antara pengembangan
ilmu dan dimensi kemanusiaan (humanism). Kajian tentang pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu baru mendapat perhatian yang lebih khusus dan eksplisit oleh kaum
intelektual di beberapaperguruan tinggi masih sangat minim adanya dan pada kurun waktu
akhir-akhir ini, belum ada lagi suatu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila
dalam kaitan dengan pengembangan ilmu dan iptek di Indonesia.
Ada beberapa bentuk tantangan terhadap pancasila sebagai dasar pengembangan iptek
diIndonesia:
1. Kapitalisme yang sebagai menguasai perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu
menjadi terbatas. Upaya bagi pengembangan sitem ekonomi pancasila yang pernah dirintis
Prof. Mubyarto pada 1980an belum menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk
menangkal dan menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada pemilik modal besar.
2. Globalisasi yang menyebabkan lemahnya daya saing bangsa Indonesia dalam
pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai konsumen daripada
produsen dibandingkan dengan negaranegara lain.
3. Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi produk teknologi
negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai pengembangan ilmu baru pada taraf
wacana yang belum berada pada tingkat aplikasi kebijakan negara.
4. Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu; workability (keberhasilan),
satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) (Titus, dkk., 1984) mewarnani perilaku kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan
dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam
manusia.
 Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis
keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta
prerequisite/saling mempersyaratkan
 Prinsip-prinsip berpikir ilmiah diantaranya objektif, rasional, logis, metodologis dan
sistematis.
 Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan negatif. Positif, dalam arti kemajuan
ilmu pengetahuan telah mendorong kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress,
improvement) dengan teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan
kemudahan-kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan
kemakmuran hidupnya secara fisik-material. Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah
mendorong berkembangnya arogansi ilmiah dengan menjauhi nilai-nilai agama, etika,
yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri.
 Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-
nilai Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan
kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa
fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak
diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata
berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius,
dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.
3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari
segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya. Dari segi isi juga masih perlu
ditambahkan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar
dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Iriyanto, Ws, 2009, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu, Pascasarjana, Semarang.


Kunto Wibisono, 1985, Arti Perkembangan Menurut Positivisme, Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.

Kuswanjono, Arqom., E. S Nurdin, I. Widisuseno, dan Mukhtar Syamsudin. 2012. E-Materi


Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran
dan Kemahasiswaan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Van Melsen, 1985, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, Kanisius, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai