Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION

LBM 2

Disusun oleh:

Nama : Dienda Rara Nursoleha


NIM : 021.06.0021
Kelompok : SGD 1
Blok : KARDIOVASCULAR 2
Fasilitator : dr. I Gede Ari Permana Putra, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya

sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan LBM 2.

Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat penilaian SGD (Small
Group Discussion). Terima kasih saya ucapkan kepada bapak dr. I Gede Ari Permana Putra,
S.Ked sebagai fasilitator yang telah membantu memberikan masukan dan bimbingan. Terima
kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung saya
sehingga saya bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Saya menyadari, bahwa laporan SGD yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna
baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan
agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga laporan ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Mataram, 23 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

1.1 Skenario ........................................................................................................................... 4

1.2 Deskripsi Masalah .......................................................................................................... 4

BAB II........................................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6

2.1 Anatomi dari Arteri Koroner ....................................................................................... 6

2.2 Perbedaan dari Ketiga Jenis ACS ................................................................................ 8

2.3 Gambaran EKG untuk Membedakan STEMI, Non-STEMI, dan Unstable Angina
Pectoris ............................................................................................................................ 9

2.4 Definisi ACS .................................................................................................................. 12

2.5 Faktor Risiko dan Patofisiologi dari ACS ................................................................. 13

2.6 Tanda dan Gejala dari ACS ........................................................................................ 15

2.7 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang dari ACS ..................................... 15

2.8 Penegakkan Diagnosis ACS ........................................................................................ 16

2.9 Tatalaksana Awal ACS ................................................................................................ 18

2.10 Prognosis ACS ............................................................................................................ 19

2.11 KIE ACS...................................................................................................................... 19

BAB III .................................................................................................................................... 20

PENUTUP................................................................................................................................ 20

1.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 21


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Seorang laki-laki usia 63 tahun datang ke IGD RS FK UNIZAR dengan keluhan nyeri
dada sejak 3 jam yang lalu. Nyeri dada dirasakan semakin memberat dan tidak hilang
dengan istirahat. Pasien baru pertama kali merasakan keluhan seperti ini. Pasien sudah
meminum obat penghilang rasa nyeri namun keluhan tidak membaik. Pasien menyangkal
keluhan sesak nafas. Terdapat Riwayat merokok. BB-101 kg. TB 167cm. KU: tampak
kesakitan, TD-130/80 mmHg N-100x/menit, RR 19x/menit, 1-36,5°C, apakah Langkah
awal yang dapat dilakukan oleh dokter jaga IGD tersebut?

1.2 Deskripsi Masalah


Pada scenario lbm 2 ini, pasien laki-laki berusia 63 tahun keluhan nyeri dada sejak
3 jam yang lalu. Nyeri dada dirasakan semakin memberat dan tidak hilang dengan
istirahat.. Nyeri dada yang dialami pasien dalam scenario ini merupakan keluhan utama
sebagian besar pasien dengan sindrom coroner akut (ACS). Nyeri yang dirasakan pasien
dalam scenario ini bisa saja disebabkan karena ada penyumbatan pada pembuluh darah
yang akan ke jantung. Ketika pasokan oksigen dan nutrisi ke otot jantung berkurang
(defisit) yang disebabkan karena pembuluh darah koroner mengalami penyempitan dengan
akibat pasokan darah ke organ jantung melalui pembuluh darah koroner tadi berkurang,
Hal ini menyebabkan vaskularisasi ke jantung berkurang sehingga menyebabkan
timbulnya nyeri dada yang dialami pasien. 5 Penyebab utama dari nyeri dada akut
meliputi: kardiak, gastroesofageal, muskuloskeletal, pulmonal, dan psikologis. Penyebab
kardiak iskemik meliputi penyakit jantung koroner, stenosis aorta, spasme arteri koroner,
dan kardiomiopati hipertrofi. Penyebab kardiak noniskemik meliputi perikarditis, diseksi
aorta, aneurisma aorta, dan prolaps katup mitral. Ada banyak faktor resiko yang membuat
seseorang dapat mengalami nyeri dada sindrom coroner akut ini. Penyakit ACS ini
merupakan salah satu penyakit yang sangat membahayakan pengidapnya apabila tidak
ditangani dengan segera dan dengan penanganan yang tepat. Sehingga, tak jarang jika
pasien dengan ACS ini rentan tak terselamatkan sampai merenggut nyawa karena
gejalanya yang dapat muncul dengan tiba-tiba, ditambah dengan faktor resiko yang
mempengaruhinya. Untuk itu, perlu kita ketahui dan pelajari lebih dalam lagi mengenai
ACS ini seperti yang dialami pasien dalam scenario, pada laporan SGD LBM 2 berikut
ini.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dari Arteri Koroner


Anatomi normal arteri coronaria. Arteri coronaria kanan dan kiri berasal dari
kedalaman kantong-kantong pada sisi kiri dan kanan katup-katup aorta, berupa suatu
benjolan pada pangkalnya yang disebut bulbus aorticus atau sinus aortae atau sinus
aorticus Valsava. Jadi arteri coronaria merupakan percabangan pertama dari aorta,
sebelum pembuluh besar ini mendistribusikan darah yang dipompakan oleh jantung ke
seluruh tubuh. Arteri coronaria kiri berasal dari sinus aorticus kiri, sedangkan arteri
coronaria kanan berasal dari sinus aorticus kanan (Tortora, G.J & Derrickson, B 2016).

(Tortora, G.J & Derrickson, B 2016)

Kedua sinus yang terletak berdekatan dengan truncus pulmonalis merupakan


tempat bermulanya kedua arteri coronaria kiri dan kanan, sedangkan sinus yang lain tidak
berhubungan dengan arteri coronaria. Berdasarkan struktur tersebut, penamaan dari sinus
aorticus Valsava dapat berupa sinus coronaria kanan, sinus coronaria kiri dan sinus
aorticus noncoronaria. Arteri-arteri tersebut mengelilingi jantung dalam suatu alur
koroner yang terdapat pada bagian epicardium, pada tiap sisi permukaan bawah, kemudian
memasuki myocardium dari sebelah luar (Tortora, G.J & Derrickson, B 2016).

Arteri coronaria kiri. Arteri coronaria kiri mempunyai diameter 5-10 mm, lebih
besar dari arteri coronaria kanan. Setelah suatu perjalanan pendek; biasanya tidak lebih
dari 1-2 cm dari mulainya percabangan dari sinus aorta; arteri coronaria kiri bercabang
menjadi cabang ventriculare anterior atau ramus descendens anterior yang terletak dalam
sulcus interventriculare anterior; cabang kedua adalah arteri circumflexia yang berjalan
pada sulcus coronaria. Arteri circumflexia bercabang menjadi dua arteri diagonalis dan
arteri marginalis. Cabang-cabang arteri coronaria ini biasanya memberikan aliran darah
dengan volume yang besar untuk myocardium, terutama yang terletak pada ventrikel kiri,
otot septum ventricular dan otot-otot papillaris daerah supero-lateral dari katup mitral.
Demikian juga dengan otot jantung pada atrium kiri, dan cabang arteri untuk sinus node
walau jarang (Tortora, G.J & Derrickson, B 2016).

Gambar. Arteriogram dari arteri coronaria kiri

(Tortora, G.J & Derrickson, B 2016)

Arteri coronaria kanan. Arteri coronaria kanan memberikan aliran darah


terutama untuk permukaan diafragma dari ventrikel, yang dijumpai pada sembilan dari
sepuluh individu. Pada pangkal arteri coronaria kanan terdapat cabang arteri sinoatrialis
(SA) node. Selanjutnya arteri coronaria kanan memberikan cabang arteri marginalis di
daerah anterior. Sedangkan pada daerah posterior terdapat cabang arteri atrioventricular
(AV) node. Arteri ini berakhir sebagai cabang ventriculare posterior atau ramus
descendens posterior yang terletak dalam sulcus interventriculare posterior (Tortora, G.J
& Derrickson, B 2016).
2.2 Perbedaan dari Ketiga Jenis ACS
a. STEMI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya (Kasma,
2011). Oklusi yang terjadi pada STEMI, menetap dan tidak dikompensasi oleh
kolateral sehingga keseluruhan lapisan miokard mengalami nekrosis. Infark miokard
dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total
pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi
untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil
peningkatan marka jantung (Fadiah, Y 2017).

b. NSTEMI

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak, erosi dan ruptur plak
ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non
STEMI, thrombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh
pada lumen arteri koroner. Non STEMI memiliki gambaran klinis dan patofisilogi
yang mirip dengan angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaan keduanya tidak
berbeda. Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Selain itu
dapat juga dilihat dari hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna (Fadiah, Y 2017).

c. UAP

Sindroma klinis nyeri dada yang sebagian besar disebabkan oleh disrupsi plak
aterosklerosis dan diikuti kaskade proses patologis yang menurunkan aliran darah
koroner, ditandai dengan peningkatan frekuensi, intensitas atau lama nyeri. Angina
timbul pada saat melakukan aktivitas ringan atau istirahat, tanpa terbukti adanya
nekrosis miokard. Diagnosis angina pektoris tidak stabil memiliki kemiripan dengan
IMA NSTEMI, di mana terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen
ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan, namun pada angina pektoris
tidak stabil penanda biomarka jantung tidak mengalami peningkatan (Fadiah, Y
2017).

• Terjadi saat istirahat (dengan tenaga minimal) biasanya berakhir setelah lebih
dari 20 menit.
• Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan onset
baru (dalam 1 bulan)
• Terjadi dengan pola crescendo (jelas lebih berat, berkepanjangan, atau sering
dari sebelumnya)

2.3 Gambaran EKG untuk Membedakan STEMI, Non-STEMI, dan Unstable Angina
Pectoris
a. STEMI
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan.

Infark anterior
Adanya perubahan EKG ST elevasi pada lead V3 - V4 disebut infark anterior.
Infark anterior terjadi bila adanya oklusi pada left anterior desending (LAD). LAD
mensuplai darah ke dinding anterior ventrikel kiri dan 2/3 area septum intraventrikular
anterior. Komplikasi dari STEMI anterior adalah disfungsi ventrikel kiri yang berat
yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung dan shock kardiogenik.
(Akbar, H et al 2022)
Kunci Warna: ST Elevasi pada lead anterior=Oranye, ST Depresi pada lead
inferior=Biru.

Infark inferior
Infark inferior dan posterior diakibatkan oleh oklusi right coronary artery (RCA) pada
80-90% pasien sedangkan 10- 20% pasien diakibatkan oleh oklusi arteri left
circumflex (LCX). Pada infark inferior dijumpai adanya perubahan EKG ST elevasi
pada lead II, III, aVF sedangkan infark posterior dijumpai adanya ST segmen depresi
di V1 - V4.
b. NSTEMI

(Nugraha, Y.O & Trihartanto, M.A 2021)


Pemeriksaan EKG memberikan hasil sinus rthym, irama reguler, frekuensi
nadi 75 x/menit, axis normal, ST inversi di hampir seluruh lead (Nugraha, Y.O &
Trihartanto, M.A 2021)
c. UAP

Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan
His dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada ATS
bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun
sersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila
perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka
disebut sebagai IMA (Fadiah, Y 2017).
2.4 Definisi ACS
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan bagian dari Penyakit Jantung Koroner
(PJK). SKA merupakan dekompensasi jantung akut akibat tidak adekuatnya suplai
darahoksigen ke jantung. Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan kebutuhan oksigen,
transpor oksigen darah berkurang dan yang paling sering yaitu pengurangan aliran koroner
karena penyempitan atau obstruksi arteri yang disebabkan oleh aterosklerosis (Aryadana et
al 2016).

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak menular
dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri koroner
yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium dan UAP (Unstable Angina
Pectoris) serta Infark Miokard Akut (IMA) seperti Non-ST Elevation Myocardial Infarct
(NSTEMI) dan ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI) (Muhabah, 2019).

Epidemiologi

Laki-laki mengalami SKA lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause,


insidennya meningkat pada perempuan). Risiko perempuan relatif lebih kecil terkena SKA
sampai usia sebelum menopause. Ketika perempuan sudah menopause, risikonya setara
dengan laki – laki. Estrogen memiliki efek perlindungan sebelum wanita
menopausedengan melindungi pembuluh darah dari kerusakan (Aryadana et al 2016).

World Health Organization (WHO) padatahun 2015 melaporkan penyakit kardio-vaskuler


menyebabkan 17,5 juta kemati-an atau sekitar 31% dari keseluruhan kematian secara
global dan yang diakibatkan sindrom coroner akut sebesar 7,4 juta. Penyakit ini
diperkirakan akan mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (Muhabah, 2019).

Etiologi

Etiologi SKA umumnya disebabkan adanya pecahnya plak, trombosis atau iskemia.
Dasar mekanisme terjadinya SKA umumnya adalah aterosklerosis. Aterosklerosis adalah
penyakit inflamasi imun sistemik yang disebabkan oleh lipid. Inflamasi, merupakan salah
satu faktor penyebab SKA, yang bersifat lokal dan sistemik. Inflamasi berperan dalam
inisiasi dan perkembangan plak aterosklerotik,yang kemudian menyebabkan
ketidakstabilan plak dengan pembentukan thrombus. Semua penyebab di atas dapat
menyebabkan hipoksia dan terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pemakaian
oksigen pada pembuluh darah coroner (Suhardi, 2021).
Sindrom koroner akut disebabkan oleh aterosklerosis yaitu proses ter-bentuknya
plak yang berdampak pada intima dari arteri, yang mengakibatkan terbentuknya
trombus sehinggamem-buat lumen menyempit, yang menyebab-kan terjadinya
gangguan suplai darah sehigga kekuatan kontraksi otot jantung menurun. Jika
thrombus pecah sebelum terjadinya nekrosis total jaringan distal, maka terjadilah infark
pada miokardium (Muhabah, 2019).

2.5 Faktor Risiko dan Patofisiologi dari ACS


Faktor Risiko
Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua
atau lebih fakor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable
factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors). Faktor yang dapat
dimodifikasi, yaitu merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, obesitas, hipertensi dan
dibetes mellitus. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis
kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Fadiah, Y 2017).
Patofisiologi
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil
yang ditandai dengan penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan
makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke
tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri
koroner, aorta dan arteri-arteri serebral. Langkah pertama dalam pembentukan
aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat
terjadi setelah cidera pada sel endotel atau dari stimulus lain, Cidera pada sel endotel
meningkatkan permeabilitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam
lemak dan trigliserida, sehingga zat ini dapat masuk ke dalam arteri. Oksidasi asam
lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh
darah. Cidera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun, termasuk
menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke area cidera.
Sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian memperburuk
situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area 15 lesi,
menstimulasi proses pembekuan, mengaktifkan sel T dan B, dan melepaskan senyawa
kimia yang berperan sebagai chemoatractant (penarik kimia) yang mengaktifkan siklus
inflamasi, pembekuan dan fibrosis (Fadiah, Y 2017).
(Fadiah, Y 2017)

Pada saat ditarik ke area cidera, sel darah putih akan menempel di sana oleh
aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket
terutama terhadap sel darah putih. Pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit
dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-sel endotel ke ruang interstisial. Di ruang
interstisial, monosit yang matang menjadi makrofag dan bersama netrofil tetap
melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga
merangsang proliferasi sel otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di
tunika intima. Selain itu, kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima
karena permeabilitas lapisan endotel meningkat. Pada tahap indikasi dini terdapat
kerusakan pada lapisan lemak di arteri. Apabila cidera dan inflamasi terus berlanjut,
agregasi trombosit meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (thrombus), sebagian
dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding
pembuluh darah. Hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan
deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi
sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila
kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat
berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian
terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium
sehingga menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya
asam laktat sehingga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang
berkaitan dengan angina pektoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel
otot jantung yang berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak teratasi maka
terjadilah kematian otot jantung yang dikenal sebagai infark miokard (Fadiah, Y 2017).

2.6 Tanda dan Gejala dari ACS


Manifestasi klinis utama PJK adalah nyeri dada iskemik (angina). Angina dapat
digambarkan dengan ketidaknyamanan, rasa seperti ditekan, dan rasa seperti terbakar serta
diremas. Angina biasanya dirasakan di bagian dada tetapi bisa juga menjalar ke bahu dan
lengan kiri, leher, punggung serta pada rahang. Jika arteri koroner menyempit, maka suplai
darah dan oksigen ke jantung tidak mencukupi sesuai kebutuhan terutama apabila jantung
berdegup kencang sewaktu orang tersebut melakukan aktivitas fisik atau berolahraga. Pada
awalnya, penyempitan aliran darah mungkin tidak menyebabkan gejala pada penyakit
jantung koroner, namun apabila deposit lemak terus berakumulasi pada arteri koroner,
akan menimbulkan gejala-gejala pada PJK, seperti nyeri dada atau angina, nafas cepat dan
dangkal serta serangan jantung (Fadiah, Y 2017).

2.7 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang dari ACS


Pada umumnya pemeriksaan fisik penderita Angina pektoris stabil, seringkali tidak
ditemukan kelainan berarti. Namun demikian pencarian adanya penyakit-penyakit seperti
hipertensi, penyakit paru kronis (akibat rokok), dislipedemia, dan bukti adanya penyakit
aterosklerosis bukan koroner (pulsasi nadi lemah, bruit carotis atau renal, aneurisma aorta
abdominalis) penting sekali. Adanya temuan penyakit – penyakit tersebut berguna dalam
penentuan risiko dan manfaat suatu strategi pengobatan dan kebutuhan akan pemeriksaan
tambahan lainnya (Rampengan, S.H 2018).
Pada auskultasi jantung, khususnya sewaktu sakit dada berlangsung, bisa terdengar
suara jantung tiga (S3) atau empat (S4) karena adanya disfungsi sementara ventrikel kiri.
Bisa juga terdengar murmur regurgitasi mitral akibat disfungsi otot papillaris sewaktu
iskemia miokard terjadi. Adanya ronki basah dibasal kedua paru mungkin saja
mengidikasikan adanya gagal jantung kongestif (Rampengan, S.H 2018).
2.8 Penegakkan Diagnosis ACS
Berbagai jenis pemeriksaan dapat dilaksanakan untuk menegakkan diagnosis PJK dan
menentukan derajat penyakit jantung koroner. Jenis pemeriksaan tersebut antara lain
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan EKG Gambaran EKG atau pemeriksaan aktivitas listrik jantung
merupakan pemeriksaan penunjang untuk memberi petunjuk adanya penyakit jantung
koroner. Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien
dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu normal, nondiagnostik, LBBB (Left
Bundle Branch Block) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inverse
gelombang T (PERKI, 2015). Dengan pemeriksaan ini, dapat diketahui apakah telah
terjadi tanda-tanda munculnya PJK seperti serangan jantung terdahulu, penyempitan
atau serangan jantung yang baru terjadi, dan masing-masing memberikan gambaran
yang berbeda (Fadiah, Y 2017).
2. Latihan tes stress jantung (treadmill) Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang
yang standar dan banyak digunakan untuk mendiagnosa PJK. Ketika melakukan
treadmill detak jantung, irama jantung dan tekanan darah terus-menerus dipantau. Jika
arteri koroner mengalami penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan
segmen depresi ST pada hasil rekaman (Fadiah, Y 2017).
3. Foto Rontgen Dada Pemeriksaan ini tidak spesifik untuk mendiagnosa PJK karena
kelainan pada koroner tidak dapat dilihat melalui foto rontgen. Foto rontgen dilakukan
agar dapat diketahui ukuran jantung apakah mengalami pembesaran atau tidak, karena
dari ukuran jantung yang terlihat membesar dapat menunjukkan gambaran terjadnya
PJK (Fadiah, Y 2017).
4. Kateterisasi Jantung Kateterisasi jantung dilakukan dengan memasukkan kateter ke
pembuluh nadi (arteri), bisa melalui pangkal paha, lipatan lengan atau melalui
pembuluh darah di lengan bawah. Kateter didorong dengan tuntunan alat rontgen
langsung ke muara pembuluh koroner. Setelah tepat pada lubangnya, cairan kontras
disuntikkan sehingga mengisi pembuluh koroner yang dimaksud, kemudian dilihat
dengan menggunakan fluroskopi sinar X untuk mengetahui keadaan pembuluh koroner.
Apabila terjadi penyumbatan pada hasil kateterisasi maka dapat ditentukan penanganan
lebih lanjut. Apakah pasien cukup hanya mendapatkan terapi dengan obat-obatan saja
atau mungkin memerlukan intervensi berupa revaskularisasi (pemasangan stent) atau
perlu dilakukan operasi (pembedahan) (Fadiah, Y 2017).
Penanda biokimia jantung
• Troponin adalah protein kompleks yang terdiri atas tiga subunit yaitu troponin C,
troponin I, dan troponin T. tiap-tiap komponen troponin memainkan fungsi khusus.
Troponin C mengikat Ca2+, troponin I menghambat aktivitas ATPase aktomiosin dan
troponin T mengatur ikatan troponin pada tropomiosin. Susunan asam amino dari
troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada troponin I dan
troponin T berbeda. Kadar normal troponin I adalah <1,00 µg/L sedangkan kadar
normal troponin T adalah <0,01 ng/mL. Sehingga troponin jantung spesifik petunjuk
adanya cidera miokardium adalah cTNT dan cTNI. Peningkatan kadar serum bersifat
spesifik untuk pelepasan dari miokardium. Troponin akan meningkat 4 hingga 6 jam
setelah cidera miokardium dan akan menetap selama 10 hari. Peningkatan awal
troponin dikarenakan pelepasan cytoplasmic troponin di mana peningkatan selanjutnya
yang terus menerus disebabkan oleh pelepasan troponin yang kompleks dari
miofilamen-miofilamen yang hancur (Fadiah, Y 2017).
• CK-MB (juga disebut MB-bands)
Kreatinin kinase merupakan suatu senzim yang dilepaskan saat terjadi cidera
otot. Cidera otot menyebabkan terjadinya peningkatan kreatinin kinase. Apabila
pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB
merupakan pertanda cidera otot yang paling spesifik seperti infark miokardium. Setelah
infark akut, CK-MB meningkat dalam waktu 4-6 jam dengan kadar puncak dalam 18-
24 jam kembali menurun dan normal kembali setelah 2-3 hari ((Fadiah, Y 2017).
• Protein C-reaktif (C-reactive protein/CRP)
Perkembangan lesi aterosklerosis dari destabilisasi plak terjadi akibat inflamasi suatu
peristiwa inflamasi akut (missal angina tidak stabil) menyebabkan peningkatan CRP
(Fadiah, Y 2017).
• Corangiografi Koroner
Corangiografi koroner saat ini merupakan satu-satunya metode yang menggambarkan
anatomi koroner untuk menentukan prognosis dan tindakan ini harus dilakukan sebelum
dilakukan pemasangan stent. Pada pemeriksaan ini dapat menentukan derajat keparahan
stenosis pembuluh darah koroner (Fadiah, Y 2017).
2.9 Tatalaksana Awal ACS
Perawatan awal untuk semua ACS termasuk aspirin (300 mg) dan heparin bolus
dan infus heparin intravena (IV) jika tidak ada kontraindikasi yang sama (Singh, A et al
2022).
o Terapi inisial
Terapi awal untuk pasien dengan angina antara lain aspirin, oksigen, nitrogliserin
dan morfin sulfat. Biasanya disingkat dengan MONA yaitu singkatan dari morfin, oksigen,
nitrogliserin, aspirin (Aryadana et al 2016).
Pasien dapat diberikan aspirin dengan dosis 162-325 mg per oral (dapat digerus
atau dikunyah) secepat mungkin setelah serangan timbul, kecuali ada kontraindikasi.
Aspirin menghambat agregasi trombosit dan vasokonstriksi dengan menghambat produksi
tromboksan A2. Aspirin dikontraindikasikan pada pasien dengan ulkus peptikm, kelainan
perdarahan, dan alergi terhadap penisilin (Aryadana et al 2016)
Oksigen diberikan melalui kanul nasal dengan kecepatan 2-4 L/menit untuk
menjaga SaO2 lebih dari 90%. Perhatikan tanda-tanda hipoksemia, seperti konfusi, agitasi,
restlessness, pucat, dan perubahan pada temperatur kulit. Dengan meningkatnya jumlah
oksigen yang dialirkan ke miokard, penambahan oksigen akan mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan iskemik miokard (Aryadana et al 2016).
Nitrogliserin tablet (0,3-0,4 mg) harus diberikan sublingual setiap lima menit,
hingga tiga kali pemberian. Nitrogliserin menyebabkan dilatasi arteri dan vena, yang akan
menurunkan baik preload dan afterload dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung.
Tersedia dalam bentuk tablet atau spray atau juga dapat diberikan secara intravena. Karena
nitrogliserin dapat menyebabkan hipotensi, pasien sebaiknya berada di tempat tidur atau
diposisikan duduk sebelum pemberian obat. Nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien
yang mengkonsumsi sildenafil (viagra) 24 jam sebelumnya (Aryadana et al 2016).
Jika pasien tidak membaik setelah pemebrian nitrogliserin, maka dapat diberikan
morfin sulfat dengan dosis inisial 2-4 mg intravena dapat diulang setiap 5 hingga 15 menit
hingga rasa nyeri dapat terkontrol. Morfin menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena,
menurunkan preload dan afterload, dan kemampuan analgesiknya dapat mengurangi nyeri
dan kecemasan yang diakibatkan SKA. Namun, morfin dapat menyebabkan hipotensi dan
depresi pernapasan, sehingga tekana darah, frekuensi napas, tingkat SaO2 harus dimonitor
(Aryadana et al 2016).
2.10 Prognosis ACS
Prognosis Prognosis umumnya dubia, tergantung pada tatalaksana dini dan tepat
terapi (IDI, 2014). Pada pasien ini prognosisnya dubia et bonam (cenderung baik).

2.11 KIE ACS


Ada berbagai cara pencegahan sekunder pasien dengan infark miokard yaitu
dengan mengontrol atau modifikasi berbagai faktor risiko Penyakit jantung koroner
yang dimiliki yaitu (Muhabah, 2019):
1. Berhenti merokok
2. Melakukan latihan atau aktifitas fisik secara teratur dengan target latihan 30 menit
tiap latihan dan dilakukan 3-4 x/minggu
3. Memiliki berat badan ideal dengan target IMT 18,5 – 22,5 dan lingkar metabolic <
35 inch pada wanita dan < 40 inch pada laki-laki mmHg
4. Mengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes yaitu dengan target HbA1C
< 6,5 %
5. Mengontrol tekanan darah dengan target < 140/90 atau < 100 mmHg, trigliserida
< 150 mg/dl dan HDL > 40 mg/d
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan jika pasien pada scenario ini mengalami
Acute Coronary Syndrome (ACS). Hal ini dikarenakan sesuai dengan apa yang terdapat di
dalam scenario. Mulai dari gejala-gejala yang dialami pasien yang merasakan nyeri pada
dada sebelah kiri sekitar 3 jam. Nyeri dada yang dirasakan pasien juga dirasakan hingga ke
leher dan juga lengan kirinya. Rasa nyeri dada yang dialami pasien ini merupakan suatu
gejala utama dari terjadinya ACS. Namun, dari skenario tersebut belum dapat menuntukan
klasifikasi dari ACS yang mana karena tidak adanya hasil pemeriksaan penunjang berupa
EKG, pemeriksaan laboratorium dan marka jantung pada scenario. Jadi penatalaksanaan
yang dapat kita berikan sesuai dengan penatalaksaan awal dari SKA sambil menunggu hasil
pemeriksaan penunjang. Agar prognosis yang diberikan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, H et al 2022, Acute ST Elevation Myocardial Infarction¸StatPearls

Aryadana et al 2016, Karakteristik Penderita Sindroma Koroner Akut Di Rsup Sanglah


Denpasar Tahun

Fadiah, Y 2017, Studi Penggunaan (Isdn) Pada Pasien Jantung Koroner (Penelitian Dilakukan
Di Rsud Sidoarjo) Isosorbide Dinitrate, University Of Muhammadiyah Malang.

Muhabah, 2019, Karakteristik Pasien Sindrom Koroner Akut Pada Pasien Rawat Inap Ruang
Tulipdi Rsud Ulinbanjarmasin.

Nugraha, Y.O & Trihartanto, M.A 2021, Non-St Elevation of Myocardial Infarction Segments
with Alcoholism and Heavy Smoking Habits, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Singh, A et al 2022 Acute Coronary Syndrome, StatPearls

Suhardi, 2021, Sindroma Koroner Akut Akibat Hipoksia: Sebuah Laporan Kasus oleh.

Tortora, G.J & Derrickson, B 2016, Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition, United
States of America: John Wiley & Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai