Anda di halaman 1dari 25

Pengertian Kreativitas

Kreatifitas merupakan suatu bidang kajian yang kompleks, yang menimbulkan berbagai
perbedaan pandangan. Perbedaan definisi kreativitas yang dikemukakan oleh banyak ahli
merupakan definisi yang saling melengkapi. Sudut pandang para ahli terhadap kreativitas
menjadi dasar perbedaan dari definisi kreativitas. Definisi kreativitas tergantung pada segi
penekanannya, kreativitas dapat didefinisikan kedalam empat jenis dimensi sebagai Four P’s
Creativity, yaitu dimensi Person,Proses, Press dan Product sebagai berikut :
1. Definisi kreativitas dalam dimensi Person
Definisi pada dimensi person adalah upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada
individu atau person dari individu yang dapat disebut kreatif.
“Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Guilford, 1950
dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001)
“Creative action is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an
unique and characteristic way”
(Hulbeck, 1945 dikutip Utami Munandar, 1999)
Guilford menerangkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan atau kecakapan yang ada
dalam diri seseorang, hal ini erat kaitannya dengan bakat. Sedangkan Hulbeck
menerangkan bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam
interaksi dengan lingkungannya. Definisi kreativitas dari dua pakar diatas lebih berfokus
pada segi pribadi.
2. Kreativitas dalam dimensi Process
Definisi pada dimensi proses upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada proses
berpikir sehingga memunculkan ide-ide unik atau kreatif.
“Creativity is a process that manifest in self in fluency, in flexibility as well in originality of
thinking” (Munandar, 1977 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001).
Utami Munandar menerangkan bahwa kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan
yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibititas), dan orisinalitas dalam berpikir,
serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci),
suatu gagasan. Pada definisi ini lebih menekankan pada aspek proses perubahan (inovasi
dan variasi). Selain pendapat yang diuraikan diatas ada pendapat lain yang menyebutkan
proses terbentuknya kreativitas sebagai berikut :
Wallas (1976) dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001 mengemukakan empat tahap dalam
proses kreatif yaitu :
Tahap Persiapan; adalah tahap pengumpulan informasi atau data sebagai bahan untuk
memecahkan masalah. Dalam tahap ini terjadi percobaan-percobaan atas dasar berbagai
pemikiran kemungkinan pemecahan masalah yang dialami.
Inkubasi; adalah tahap dieraminya proses pemecahan masalah dalam alam prasadar. Tahap
ini berlangsung dalan waktu yang tidak menentu, bisa lama (berhari-hari, berbulan-bulan,
bertahun-tahun), dan bisa juga hanya sebentar (hanya beberapa jam, menit bahkan detik).
Dalam tahap ini ada kemungkinan terjadi proses pelupaan terhadap konteksnya, dan akan
teringat kembali pada akhir tahap pengeraman dan munculnya tahap berikutnya.
Tahap Iluminasi; adalah tahap munculnya inspirasi atau gagasan-gagasan untuk
memecahkan masalah. Dalam tahap ini muncul bentuk-bentuk cetusan spontan, seperti
dilukiskan oleh Kohler dengan kata-kata now, I see itu yang kurang lebihnya berarti “oh
ya”.
Tahap Verifikasi; adalah tahap munculnya aktivitas evaluasi tarhadap gagasan secara kritis,
yang sudah mulai dicocokkan dengan keadaan nyata atau kondisi realita.
Dari dua pendapat ahli diatas memandang kreativitas sebagai sebuah proses yang terjadi
didalam otak manusia dalam menemukan dan mengembangkan sebuah gagasan baru yang
lebih inovatif dan variatif (divergensi berpikir).
3. Definisi Kreativitas dalam dimensi Press
Definisi dan pendekatan kreativitas yang menekankan faktor press atau dorongan, baik
dorongan internal diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri
secara kreatif, maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis. Definisi
Simpson (1982) dalam S. C. U. Munandar 1999, merujuk pada aspek dorongan internal
dengan rumusannya sebagai berikut :
“The initiative that one manifests by his power to break away from the usual sequence of
thought”
Mengenai “press” dari lingkungan, ada lingkungan yang menghargai imajinasi dan fantasi,
dan menekankan kreativitas serta inovasi. Kreativitas juga kurang berkembang dalam
kebudayaan yang terlalu menekankan tradisi, dan kurang terbukanya terhadap perubahan
atau perkembangan baru.
4. Definisi Kreativitas dalam dimensi Product
Definisi pada dimensi produk merupakan upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus
pada produk atau apa yang dihasilkan oleh individu baik sesuatu yang baru/original atau
sebuah elaborasi/penggabungan yang inovatif.
“Creativity is the ability to bring something new into existence”
(Baron, 1976 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001)
Definisi yang berfokus pada produk kreatif menekankan pada orisinalitas, seperti yang
dikemukakan oleh Baron (1969) yang menyatakan bahwa kreatifitas adalah kemampuan
untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru. Begitu pula menurut Haefele (1962)
dalam Munandar, 1999; yang menyatakan kreativitas adalah kemampuan untuk membuat
kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Dari dua definisi ini maka
kreatifitas tidak hanya membuat sesuatu yang baru tetapi mungkin saja kombinasi dari
sesuatu yang sudah ada sebelumnya.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan makna dari
kreativitas yang dikaji dari empat dimensi yang memberikan definisi saling melengkapi.
Untuk itu kita dapat membuat berbagai kesimpulan mengenai definisi tentang kreativitas
dengan acuan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli.
Dari beberapa uraian mengenai definisi kreativitas yang dikemukakan diatas peneliti
menyimpulkan bahwa :
“Kreativitas adalah proses konstruksi ide yang orisinil (asli), bermanfaat, variatif (bernilai
seni) dan inovatif (berbeda/lebih baik)”.

2. Ciri-ciri individu yang kreatif


Munandar (1999a) menyatakan bahwa ciri individu yang kreatif menurut para ahli psikologi
antara lain adalah bebas dalam berpikir, mempunyai daya imajinasi, bersifat ingin tahu,
ingin mencari pengalaman baru, mempunyai inisiatif, bebas berpendapat, mempunyai minat
luas, percaya pada diri sendiri, tidak mau menerima pendapat begitu saja, cukup mandiri
dan tidak pernah bosan.
Lebih lanjut Munandar (1999a) menjelaskan ciri-ciri pribadi kreatif meliputi ciri-ciri aptitude
dan non-aptitude. Ciri-ciri aptitude yaitu ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses
berpikir :
a. Keterampilan berpikir lancar, yaitu kemampuan mencetuskan banyak gagasan, jawaban,
penyelesaian masalah, atau pertanyaan.
b. Keterampilan berpikir luwes, yaitu kemampuan menghasilkan gagasan, jawaban, atau
pertanyaan yang bervariasi, serta dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang
berbeda-beda.
c. Keterampilan berpikir orisinal, yaitu kemampuan melahirkan ungkapan yang baru, unik,
dan asli.
d. Keterampilan memperinci (mengelaborasi), yaitu kemampuan mengembangkan,
memperkaya, atau memperinci detil-detil dari suatu gagasan sehingga menjadi lebih
menarik.
e. Keterampilan menilai (mengevaluasi), yaitu kemampuan menentukan penilaian sendiri
dan menentukan apakah suatu pertanyaan, suatu rencana, atau suatu tindakan itu
bijaksana atau tidak.
Ciri-ciri non-aptitude yaitu ciri-ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan,
motivasi atau dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu : a) Rasa ingin tahu; b) Bersifat
imajinatif; c) Merasa tertantang oleh kemajemukan; d) Berani mengambil risiko; e) Sifat
menghargai.
Sund (dalam Nursito, 2000) menyatakan bahwa individu dengan potensi kreatif memiliki
ciri-ciri yaitu (a) mempunyai hasrat ingin tahu, bersikap terhadap pengalaman baru, (b)
panjang akal, (c) keinginan untuk menemukan dan meneliti, (d) cenderung lebih suka
melakukan tugas yang lebih berat dan sulit, (e) berpikir fleksibel, bergairah, aktif dan
berdedikasi dalam tugas, (f) menanggapi pertanyaan dan mempunyai kebiasaan untuk
memberikan jawaban lebih banyak.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang kreatif
adalah bebas dalam berpikir dan bertindak, mempunyai daya imajinasi, bersifat ingin tahu,
ingin mencari pengalaman baru, mempunyai minat yang luas, mempunyai inisiatif, bebas
berpendapat, tidak pernah bosan, dan merasa tertantang oleh kemajemukan.
3. Aspek-aspek kreativitas
Guilford (Nursito, 2000) menyatakan bahwa aspek-aspek kreativitas adalah sebagai
berikut :
1. Fluency, yaitu kesigapan, keancaran untuk menghasilkan banyak gagasan
2. Fleksibilitas, yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan
dalam mengatasi persoalan.
3. Orisinalitas, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagsan yang asli.
4. Elaborasi, yaitu kemampuan untuk melakukan hal-hal secara detail atau terperinci.
5. Redefinition, yaitu kemampan untuk merumuskan batasan-batasan dengan melihat dari
sudut yang lain daripada cara-cara yang lazim.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-aspek kreativitas adalah
fluency (kelancaran), fleksibilitas, orisinalitas (murni), elaborasi, dan redenifition.

LAPORKAN IKLAN INI

2.1.1. Pribadi Kreatif


Definisi yang menekankan pada faktor pribadi misalnya dikemukakan oleh Sternberg
(Munandar, 1999), bahwa kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga
atribut psikologis: inteligensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi. Inteligensi meliputi
antara lain pemikiran dan pengetahuan serta integrasi intelektual secara umum. Gaya
kognitif atau intelektual dari pribadi yang kreatif menunjukkan kelonggaran dari keterikatan
pada konvensi, dengan menciptakan aturan sendiri atau melakukan hal-hal dengan cara
sendiri. Sedangkan dimensi kepribadian/motivasi meliputi ciri-ciri seperti fleksibilitas,
dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan, serta keuletan menghadapi
rintangan.
Erich Fromm (Langgulung, 1991) menggambarkan bahwa pribadi kreatif memandang
dengan cara baru pada yang lama. Setiap hari dalam hidupnya merupakan hari kelahiran
baru. Ia menghadapi hidup dengan berbagai suasananya seakan-akan ia mengalaminya
untuk pertama kali. Bagi orang kreatif, tidak ada yang lama, tidak ada yang berulang-ulang
dalam hidup ini. Seorang kreatif tidak melihat kecuali yang baru, maka gerak balas atau
responsnya juga baru dan orisinal (asli).
Definisi lain yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik, juga
dapat dilihat dalam pengertian pribadi. Maslow memaknai kreativitas sebagai kreativitas
aktualisasi-diri, yang dalam beberapa hal hampir serupa dengan kesehatan mental yang
baik, atau sifat-sifat istimewa bagi kemanusiaan yang sempurna. Bagi Maslow, seorang
yang kreatif dalam menjalani kehidupannya adalah dia yang telah mencapai tingkat
aktualisasi-diri (Langgulung, 1991).
Definisi kreativitas dalam aspek pribadi mendorong berbagai penelitian tentang ciri-ciri
orang kreatif. Mac Kinnon (Gandadiputra, 1983) meneliti sejumlah orang-orang superior
dari berbagai disiplin di institute riset penilaian kepribadian di Berkeley, dan menyimpulkan
bahwa mereka memiliki ciri-ciri:
1. Bebas dalam berpikir dan bertindak
2. Cenderung kurang dogmatis dan lebih relativistik dalam pandangan-pandangan hidupnya
3. Berkemauan untuk mengakui dorongan-dorongan dirinya yang tidak berdasarkan akal
(irasional)
4. Menyukai hal-hal yang rumit dan baru
5. Menghargai humor dan memiliki “a good sense of humor”
6. Menekankan pentingnya nilai-nilai teoretis dan estetik
Hilgard dan Atkinson menambahkan (Gandadiputra, 1983), orang-orang kreatif lebih
fleksibel dibandingkan orang tidak kreatif. Fleksibilitas ini membuat orang-orang kreatif
dapat menghindari rintangan-rintangan dalam memecahkan masalah.
Munandar meneliti sekitar seratus siswa kreatif, dan mendapatkan ciri-ciri sebagai berikut
(dalam Munandar, 1999):
1. Memiliki daya imajinasi yang kuat
2. Memiliki inisiatif
3. Memiliki minat yang luas
4. Bebas dalam berpikir (tidak kaku atau terhambat)
5. Bersifat ingin tahu
6. Selalu ingin mendapat pengalaman baru
7. Percaya pada diri sendiri
8. Penuh semangat
9. Berani mengambil risiko (tidak takut membuat kesalahan)
10. Berani dalam pendapat dan keyakinan (tidak ragu dalam menyatakan pendapat
meskipun mendapat kritik dan berani memertahankan pendapat yang menjadi
keyakinannya).
Melihat ciri-ciri di atas, orang-orang kreatif tampaknya memiliki sifat-sifat unggul dan ideal
yang tidak dimiliki orang-orang biasa. Namun satu yang perlu dicatat ialah bahwa tidak
berarti setiap orang kreatif memiliki semua ciri-ciri tersebut sekaligus. Misalnya, ada orang
yang memiliki daya imajinasi kuat, tetapi minatnya terbatas pada bidang yang ia geluti
saja. Tidak sedikit pula seniman yang mengalami depresi akut, neurotis, bahkan bunuh diri.
Hal lain yang menarik ialah bahwa kecerdasan (inteligensi) tidak dimasukkan sebagai ciri
pribadi kreatif. Mengapa demikian, hal tersebut akan diulas lebih lanjut pada bagian lain
bab ini.
2.1.2. Proses Kreatif
Definisi yang menekankan pada proses antara lain diajukan oleh Torrance (Langgulung,
1991) yang menyatakan, “Kreativitas adalah proses yang mengandung kepekaan terhadap
masalah-masalah dan kesenjangan-kesenjangan (gaps) di bidang tertentu, kemudian
membentuk beberapa pikiran atau hipotesis untuk menyelesaikan masalah tersebut,
menguji kesahihan hipotesis ini, dan menyampaikan hasilnya kepada orang lain.”
Dengan rumusan lain, definisi tersebut dapat pula dipandang sebagai suatu model proses
kreatif yang dibagi ke dalam empat tahap:*
1. Menyadari adanya masalah
2. Menyusun hipotesis
3. Menguji hipotesis
4. Membuat laporan
Tampak jelas bahwa proses di atas pada dasarnya mirip atau bahkan serupa dengan
langkah-langkah dalam metode ilmiah. Langkah-langkah yang umum diterima dalam
metode ilmiah, terlepas dari sejumlah variasi rumusan, adalah: 1) merumuskan masalah;
2) mengumpulkan data; 3) menyusun hipotesis; 4) menguji hipotesis dengan observasi
atau eksperimen; 5) menarik kesimpulan.
Jauh sebelumnya, dalam buku yang berjudul Art of Thought (1926) Graham Wallas dan
Richard Smith memerkenalkan satu model proses kreatif yang sangat populer dan menjadi
inspirasi bagi model-model proses kreatif yang dibuat para ahli belakangan. Model proses
kreatif versi Wallas dan Smith tersebut terdiri atas empat tahap (Munandar, 1983):
1. Persiapan (preparation), tahap pengumpulan informasi atau data yang diperlukan untuk
memecahkan suatu masalah.
2. Pengendapan (incubation), tahap di mana individu seakan-akan melepaskan diri untuk
sementara dari masalah tersebut, dalam arti ia tidak memikirkan masalahnya secara sadar,
melainkan mengeramnya di alam bawah sadar.
3. Iluminasi (illumination), saat timbulnya inspirasi (insight) atau gagasan baru.
4. Pengujian (verification), tahap di mana ide baru yang diperoleh itu diuji terhadap realitas.
Dua model di atas, juga umumnya model-model proses kreatif yang dikemukakan oleh para
ahli berikutnya seperti Rossman, Osborn, Koberg dan Bagnal (lihat Pelsek, 1996), melihat
kreativitas sebagai proses pemecahan masalah. Hal ini ditandai oleh tahap pertama
(persiapan, kepekaan terhadap masalah), di mana tersurat bahwa kreativitas adalah sebuah
proses yang direncanakan dan karena itu memiliki tujuan tertentu. Tujuannya adalah
memecahkan masalah, atau, lebih tepatnya, menemukan ide untuk memecahkan masalah.
Sebagian pakar psikologi meragukan model proses kreatif semacam ini dapat diterapkan
pada semua bentuk karya kreatif. Satu keberatan yang muncul adalah bahwa kreativitas
menjadi tidak ada bedanya dengan proses pemecahan masalah (problem solving). Taylor
(dalam Langgulung, 1991) menyatakan, “Ada semacam kebimbangan antara kreativitas dan
penyelesaian masalah. Ada di antara pencipta-pencipta yang tidak mengumpulkan data
yang cukup dalam bidang di mana ia bekerja atau berusaha membuat hipotesis-hipotesis,
tetapi dibiarkannya pikirannya menerawang bebas dalam bidang itu. Inilah yang
mengherankan teman-temannya.”
Hilgard (Langgulung, 1991) menyokong pendapat Taylor dengan menyatakan, “Ada
berbagai penyelesaian yang kita tidak menilainya menurut kesahihannya, tetapi menurut
keasliannya (originality). Sudah tentu ada karya seni dalam bidang sastra dan musik yang
tidak tunduk kepada bentuk penyelesaian masalah.”
Kalimat terakhir dari Hilgard itu dapat ditemukan contohnya dalam penciptaan puisi dan
lagu. Puisi dan lagu tidak selalu lahir dari suatu proses yang dipersiapkan terlebih dahulu.
Seringkali ia muncul begitu saja tanpa direncanakan, tanpa diniatkan, tanpa dipikirkan,
bahkan tanpa dikehendaki. Misalnya, seorang pemuda yang sedang patah hati, tanpa
berniat membuat puisi, tiba-tiba kalimat-kalimat puitis muncul begitu saja dalam benaknya.
Jika pemuda itu seorang penyair atau orang yang terbiasa menulis puisi, peristiwa ini dapat
dipahami sebagai hasil dari proses persiapan yang ia lakukan selama bertahun-tahun dalam
disiplin dan latihannya. Bagi seorang penyair, setiap saat atau periode dalam kehidupannya
dapat dipandang sebagai masa inkubasi, di mana dia akan selalu siap menerima inspirasi
(insight) apa pun yang muncul dari fase itu. Tetapi kasus semacam ini tidak jarang pula
menimpa orang yang sama sekali tidak pernah menulis puisi.
Terhadap keberatan ini, mungkin dapat dikatakan bahwa masalah dalam konteks kreativitas
adalah masalah dalam arti yang seluas-luasnya. Setiap bentuk kesenjangan antara harapan
atau keinginan dan realitas, itulah masalah. Abd. Ghafar menyatakan (Langgulung, 1991),
“Tidak ada perbedaan mendasar antara bentuk pemecahan masalah dan proses kreativitas.”
Satu hal yang membedakan proses kreatif dari pemecahan masalah biasa ialah adanya
unsur imajinasi. Menurut Vinacke (Suharnan, 2005), proses atau aktivitas kreatif dapat
dimengerti dengan baik apabila dipahami sebagai kombinasi antara pemecahan masalah
dan imajinasi. Meskipun dalam prosesnya menyertakan sejumlah informasi atau data-data,
seorang kreatif akan lebih dibimbing oleh faktor-faktor khayalan daripada informasi-
informasi itu. Makanya tidak heran jika pada akhirnya diperoleh suatu pemecahan yang
orisinal, tidak lazim, bagi suatu masalah.
Sementara itu, terhadap model yang dibuat Torrance, keberatan lain muncul ketika ia
mencantumkan tahap “menyampaikan hasilnya kepada orang lain” sebagai bagian dari
proses kreatif. Pertanyaannya: bagaimana dengan jenis orang yang pemalu; dia menulis
puisi tanpa maksud untuk dipublikasikan, melainkan untuk disimpan dan dibaca sendiri
dalam buku harian? Sepertinya, dalam hal ini Torrance agak berlebihan.
Berbeda dengan dua model di atas, namun masih dapat digolongkan ke dalam pengertian
proses, ialah teori Guilford yang melihat kreativitas sebagai suatu cara berpikir. Guilford
memerkenalkan dua macam cara berpikir yang disebut konvergen dan divergen. Cara
berpikir konvergen mencari satu cara yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah,
disebut juga cara berpikir analitis dan kritis. Cara berpikir divergen memerlakukan berbagai
alternatif pemecahan masalah dengan sikap yang sama, atau berpikir dengan cara di luar
kebiasaan umum. Secara lebih spesifik, cara berpikir divergen melibatkan kemampuan-
kemampuan intelektual tertentu, yang oleh Guilford diuraikan menjadi empat:
1. Kelancaran (fluency), ialah kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang banyak.
2. Kelenturan (flexibility), yaitu kemampuan untuk memberikan gagasan dari kategori yang
beragam atau melihat sesuatu dari beragam sudut pandang.
3. Elaborasi (elaboration), adalah kemampuan untuk memerinci suatu gagasan pokok ke
dalam gagasan-gagasan yang lebih kecil.
4. Keaslian (originality), atau berpikir secara tidak lazim (unusual thinking), yakni berpikir
mengenai sesuatu yang belum dipikirkan orang atau tidak sama dengan pemikiran orang-
orang pada umumnya (Suharnan, 2005).
Cara berpikir divergen inilah yang kemudian dijadikan sinonim dari kreativitas. Misalnya,
Munandar (2002) menyatakan, “Kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan
kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk
mengelaborasi (mengembangkan, memerkaya, memerinci) suatu gagasan.”
Istilah lain yang sering dianggap serupa dengan berpikir divergen misalnya lateral thinking,
flexible thinking, dan fluid intelligence. Psikologi populer sering menghubungkan kreativitas
atau berpikir divergen dengan kinerja otak kanan; sebaliknya, otak kiri dihubungkan
dengan berpikir konvergen (lihat, http://wikipedia.org).
2.1.3. Produk Kreatif
Kamus Lengkap Psikologi susunan J.P. Chaplin (2004) mendefinisikan kreativitas sebagai
“kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni, atau dalam permesinan, atau dalam
memecahkan masalah-masalah dengan metode-metode baru.” Sementara menurut Barron
(dalam Munandar, 1999), “Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan atau
menciptakan sesuatu yang baru.”
Terlepas dari pencantuman contoh-contoh yang agak spesifik dalam pengertian Chaplin,
dua definisi di atas menyebutkan sifat “baru” sebagai kriteria utama dan satu-satunya bagi
suatu produk kreatif.
Ada kriteria lain yang dikemukakan misalnya oleh Suharnan (2005), bahwa kreativitas
adalah “aktivitas kognitif atau proses berpikir untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang
baru dan berguna atau new ideas and useful.”
Jadi, di samping baru, produk kreatif itu juga harus berguna. Sifat berguna ini ditekankan
karena bisa saja suatu temuan baru tidak memiliki manfaat apa-apa atau malah merusak.
Menurut Stein (Munandar, 1983), karya kreatif harus memiliki makna sosial, dalam arti
bermanfaat bagi dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Carl R. Rogers (Munandar, 1983)
menggunakan istilah “constructive creativity” dan memeringatkan jangan sampai kreativitas
dari genius menghasilkan produk atau cara-cara baru untuk mengeksploitasi, menindas,
membunuh, pokoknya merugikan orang lain, atau untuk mengembangkan bentuk-bentuk
organisasi politik atau bentuk-bentuk seni yang membawa umat manusia pada destruksi diri
secara fisik atau psikologis.
Tetapi ada juga sebagian ahli yang memandang sifat kegunaan ini tidak perlu ditekankan.
Sebab kegunaan atau aspek praktis dari dari suatu gagasan seringkali bersifat relatif,
bergantung pada suatu budaya, perjalanan waktu, dan tujuan yang diinginkan oleh pemikir
sendiri (Suharnan, 2005). Terkadang suatu gagasan baru dianggap nyeleneh atau merusak
oleh suatu masyarakat, tetapi dianggap penting oleh masyarakat dari budaya lain. Atau
tidak jarang suatu gagasan atau produk kreatif dipandang dengan cemooh dan hina oleh
satu generasi, namun oleh generasi berikutnya dipandang dengan penuh apresiasi.
Kemudian tidak sedikit pula produk kreatif yang tidak memiliki makna sosial, misalnya
puisi-puisi karya seorang pemalu yang disimpan untuk dirinya sendiri.
Soal kekhawatiran Rogers bahwa suatu hasil kreativitas digunakan untuk merusak atau
mengeksploitasi, hal ini lebih merupakan masalah etis. Pisau dapat digunakan untuk
memotong sayur ataupun membunuh orang, tetapi bukan berarti pisau lalu tidak boleh
dibuat. Analogi ini tidak bermaksud menunjukkan bahwa produk kreatif sepenuhnya bersifat
netral. Tetapi dibanding materinya, faktor manusialah yang lebih berperan dalam
mengarahkan suatu hasil kreatif hendak dibawa ke mana atau untuk tujuan apa.
Tentang kriteria baru, sebenarnya sifatnya juga relatif. Tetapi semua ahli sepakat dengan
kriteria ini, dengan catatan bahwa produk atau gagasan itu mungkin baru secara mutlak,
dalam arti belum ada yang serupa dengan karya itu sebelumnya dan di tempat manapun,
atau mungkin baru hanya bagi penciptanya atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Ia
mungkin baru secara keseluruhan, mungkin baru dalam bagian-bagian. Menurut Abd.
Ghaffar, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung (1991), “Salah satu sifat terpenting
dari karya kreatif adalah sifat baru. Sedang baru itu bersifat nisbi, dapat dipahami menurut
apa yang diketahui atau diperkatakan dalam bidang tertentu dalam berbagai bidang
kehidupan, dan di kalangan anggota kumpulan tertentu dan dalam waktu tertentu.”
Menurut Anderson (Suharnan, 2005), sifat baru dari produk kreatif dapat dilihat dalam dua
perspektif: psikologis dan budaya. Dalam perspektif psikologis, suatu gagasan dipandang
baru jika ia baru bagi penciptanya, meski di tempat lain gagasan yang serupa telah pernah
diproduksi. Sementara dalam perspektif budaya, suatu gagasan dianggap baru jika gagasan
itu belum pernah dijumpai di lingkungan budaya masyarakat.
Selain itu, kriteria baru tidak berarti bahwa gagasan atau produk itu sama sekali belum
pernah ada, tetapi boleh jadi gagasan itu dikembangkan dari hasil modifikasi atau
mengubah gagasan-gagasan yang sudah ada sebelumnya. Oleh sebab itu, Evans
(Suharnan, 2005) berpendapat bahwa “kreativitas merupakan kemampuan membuat
kombinasi baru berdasarkan konsep-konsep yang sudah ada, selain juga kemampuan
menemukan hubungan-hubungan baru dan memandang sesuatu menurut perspektif yang
baru.” Pengertian inilah yang diadopsi oleh Wikipedia, ensiklopedi bebas di internet, yang
menyebutkan, “Kreativitas adalah suatu proses mental yang melibatkan penciptaan konsep
atau ide baru, atau hubungan-hubungan baru dari konsep atau ide yang sudah ada.”©
Tampaknya tidak begitu mudah menyepakati kriteria produk yang dianggap kreatif. Tapi
yang pasti, produk kreatif merupakan ukuran paling jelas dari kreativitas. Asalkan
seseorang telah menghasilkan suatu produk atau gagasan yang bersifat kreatif, berarti dia
adalah seorang yang kreatif, tak peduli bagaimana pun keadaannya. Makanya, dibanding
definisi lain, definisi produk tampaknya memeroleh perhatian yang paling besar dari para
ahli. Mereka yang mengartikan kreativitas dalam istilah pribadi atau proses pun tidak akan
lupa menyertakan kategori produk dalam definisi yang dibuatnya.
Erich Fromm, misalnya, di samping melihat kreativitas dari sisi pribadi, juga menyebutkan
bahwa kreativitas adalah kegiatan yang “menghasilkan sesuatu yang baru yang dapat
dilihat atau didengar orang lain” (Langgulung, 1991). Abraham Maslow (Langgulung, 1999)
menyebut kreativitas sebagai penciptaan produk baru ini dengan istilah “special talent
creativeness” (kreativitas bakat khusus), yaitu sebagaimana tampak pada orang yang
memiliki bakat dalam musik, melukis, bisnis, dan sebagainya, di mana faktor pembawaan
atau herediter memegang peranan besar.
Sehubungan dengan karya-karya agung, baik dalam seni, ilmu, maupun filsafat, menurut
Maslow (Munandar, 1983), yang dibutuhkan untuk mewujudkannya tidak hanya bakat,
tetapi juga kerja keras dengan pelibatan diri secara menyeluruh serta masa persiapan yang
lama dalam bentuk pendidikan atau latihan secara formal maupun informal serta
pengalaman. Juga menuntut criticism, kesediaan untuk menerima kritik dari dunia luar
maupun memberi kritik terhadap diri sendiri.
Sementara Rogers (Munandar, 1999) menerangkan kriteria produk kreatif itu ada tiga,
yaitu:
1. Produk itu harus nyata (observable)
2. Produk itu harus baru
3. Produk itu adalah hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
Kriteria “harus nyata” (observable) menunjukkan bahwa yang dimaksud Rogers dengan
produk adalah sesuatu yang berbentuk, atau merupakan suatu benda, baik abstrak maupun
konkret.
2.1.4. Pendorong Kreatif (Press)
Faktor pendorong ada dua macam, pendorong internal (press) dan pendorong eksternal
(environment). Dibandingkan tiga kategori sebelumnya, tidak banyak psikolog yang melihat
pengertian kreativitas dari segi pendorong atau lingkungan. Munandar (1999) mengajukan
satu definisi dari Simpson mengenai kreativitas yang merujuk pada aspek dorongan
internal, bahwa kreativitas adalah “suatu inisiatif yang diwujudkan oleh seseorang dengan
kemampuannya untuk melabrak cara berpikir yang lazim.”
Salah satu bentuk pendorong internal adalah motivasi. Dalam suatu survai terhadap
sejumlah ahli teknologi dan penemu ternama ditanyakan pada mereka mengenai tujuan
atau alasannya untuk bersibuk diri dengan penemuan-penemuan inovatif. Jawaban mereka
beragam, antara lain kesadaran akan pentingnya penemuan baru, kebutuhan akan
penghasilan, keinginan akan kemajuan, dan sebagainya. Namun motif yang paling sering
dikemukakan dan yang paling banyak disetujui adalah kesenangan dan kepuasan untuk
mencipta. Banyak inovator berpengalaman mengungkapkan bahwa kehidupan tanpa adanya
kesempatan untuk mencipta akan tidak berarti dan dirasakan sebagai tak tertahankan.
Dengan mencipta manusia mengalami kepuasan yang tidak ada taranya karena sekaligus
merupakan perwujudan dirinya atau aktualisasi dari potensi-potensi kreatifnya (Munandar,
1983).
Mengenai dorongan eksternal atau lingkungan, Munandar (1999) menjelaskan bahwa ada
lingkungan yang tidak menghargai imajinasi dan fantasi, dan ada lingkungan yang
menekankan kreativitas dan inovasi. Kreativitas tidak akan berkembang dalam kebudayaan
yang terlalu menekankan konformitas dan tradisi, serta kurang terbuka terhadap perubahan
atau perkembangan baru.
Meski tidak ada definisi yang secara spesifik merujuk pada aspek lingkungan, bukan berarti
para pakar kreativitas mengabaikan aspek ini. Ciri ketiga dari produk kreatif menurut
Rogers, “Produk itu adalah hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan
lingkungannya,” menunjukkan perhatian tersebut.
2.2. Hakikat Kreativitas
2.2.1. Pandangan Psikoanalisis
Konsep psikoanalisis tentang kreativitas tidak bisa dilepaskan dari teorinya tentang struktur
kepribadian dan dinamikanya. Menurut teori psikoanalisis, kepribadian manusia tersusun
dari tiga sistem, yaitu id, ego, dan superego. Aktivitas manusia merupakan hasil dari
interaksi di antara ketiga sistem tersebut (Hall & Lindzey, 1993).
Id adalah sistem kepribadian yang asli. Id berisi cadangan energi, insting, dan libido, dan
menjadi penggerak utama tingkah laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan
primitif dan hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure
principle). Tujuan prinsip kesenangan mengurangi ketegangan, karena ketegangan
merupakan sesuatu yang menyakitkan dan tidak menyenangkan (Hall & Lindzey, 1993).
Ketika kecil, pada manusia yang ada baru id-nya. Oleh karena itu anak kecil selalu ngotot
jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan mementingkan dirinya sendiri.
Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-kanakannya, sebagai
bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan rasional. Karena keinginan-
keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, ketika itulah ego memainkan peranan. Ego bekerja
berdasarkan prinsip realitas.
Super ego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam keluarga,
super ego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan buruk,
pantas dan tidak pantas, dsb. Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika
keinginan id tidak sesuai dengan norma masyarakat. Superego selalu menginginkan
kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.
Dorongan-dorongan pada id selalu menuntut pemuasan. Jika dorongan itu terpuaskan,
ketegangan berkurang. Jika tidak terpuaskan karena berbenturan dengan kenyataan,
dorongan itu tetap ada dan tersimpan dalam lapisan ketidaksadaran. Seringkali keinginan id
itu bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini pun bisa
membuat dorongan itu tertahan. Namun dorongan yang tidak terpuaskan ini menunggu
saat yang tepat untuk memunculkan diri.
Jika dorongan-dorongan id tetap tidak terpuaskan, hal ini akan menimbulkan bahaya bagi
kepribadian. Salah satu tugas besar yang dibebankan kepada ego adalah menangani
ancaman dan bahaya. Ego bisa menangani marabahaya dengan mengadopsi metode-
metode problem-solving yang realistik, atau ia bisa berusaha mengurangi kecemasan
dengan menggunakan metode-metode yang menyangkal atau mendistorsi realitas dan hal
itu menghambat perkembangan kepribadian. Metode-metode yang belakangan disebut
defense mechanism yang dimiliki ego.
Salah satu bentuk mekanisme pertahanan yang dimiliki ego adalah sublimasi. Dengan
sublimasi, dorongan-dorongan id diubah dari bentuknya yang primitif dan hewani (libido
seksual dan agresi) ke dalam bentuk yang dapat diterima oleh norma masyarakat. Proses
inilah yang melahirkan kreativitas.
Yang berlaku ketika ketika membuat karya kreatif adalah bahwa orang yang kreatif itu
menjauhkan diri dari realitas menuju kehidupan khayalan yang membolehkannya
menyatakan kandungan-kandungan tak sadar yang tak dapat dipuaskannya dalam
kehidupan nyata (Langgulung, 1991). Arah yang ditempuh oleh proses ini ditentukan oleh
dua faktor. Pertama, kemiripan objek pengganti dengan objek aslinya. Kedua, sanksi-sanksi
dan larangan-larangan yang diterapkan masyarakat (Hall & Lindzey, 1993). Misalnya
dorongan agresi, daripada ditampilkan apa adanya seperti memukul orang, lebih baik
dialihkan dalam aktivitas olah raga seperti tinju. Hasrat untuk berhubungan seksual dengan
seorang gadis dapat diwujudkan dalam bentuk puisi atau novel percintaan. Hal seperti ini
adalah sesuatu yang kreatif dan secara kultural dapat diterima oleh norma masyarakat.
Menurut Freud, sublimasi merupakan akar dari kebudayaan manusia. Dalam sublimasi,
terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel,
lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan agama,
pada dasarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi
dan diperlunak.
Karena kreativitas lahir dari sublimasi di mana sublimasi merupakan satu bentuk
mekanisme pertahanan ego, Freud cenderung beranggapan bahwa orang kreatif itu
bukanlah orang yang tergolong sehat secara mental. Orang kreatif tidak tumbuh secara
wajar dari segi psikologis, sebab ia lebih suka permainkan khayal kekanak-kanakan. Orang
kreatif adalah orang yang menolak pertumbuhan, kematangan, dan berhadapan dengan
kehidupan nyata; ia lebih suka pemuasan khayali terhadap kandungan-kandungan
psikologis tak sadar dengan menggunakan sublimasi (Langgulung, 1991).
Agak berbeda dengan Freud, Ernest Kris (Langgulung, 1991) berpendapat bahwa proses
psikologis yang melahirkan kreativitas adalah regresi untuk membantu ego (regression in
service of the ego). Seperti halnya sublimasi, regresi juga merupakan satu mekanisme
pertahanan ego. Dengan regresi, ego menghentikan pengawasannya untuk sementara
terhadap id dan membiarkan dorongan-dorongan tak-sadar dari id menyatakan dirinya
dalam bentuk karya kreatif.
Freud dan Kris sama-sama sepakat mengenai dorongan-dorongan id yang nota bene berada
dalam ketidaksadaran sebagai sumber utama karya kreatif. Materi atau kandungan yang
ada dalam ketidaksadaran itu sendiri berasal dari pengalaman individu sejak ia masih bayi
hingga dewasa.
2.2.2. Pandangan Behaviorisme
Konsep aliran behaviorisme tentang kreativitas dapat ditelusuri dari doktrin inti mereka,
yaitu hubungan antara stimulus dan respon (teori S-R). Tingkah laku manusia merupakan
respon atas stimulus yang diterimanya. Dan stimulus atau perangsang itu umumnya
dipahami sebagai faktor lingkungan.
Mednick (Langgulung, 1991) menyebutkan, “Proses pemikiran kreatif adalah mencapai
struktur-struktur baru dari unsur-unsur asosiasi di mana terpenuhi syarat-syarat tertentu
dan bahwa ia haruslah memiliki faidah.” Ini berarti tercipta hubungan-hubungan baru
antara sejumlah stimulus dan respon yang sebelumnya belum ada. Tentang syarat harus
berfaidah, Mednick mencontohkan bahwa banyak pikiran-pikiran orisinal dimunculkan oleh
para penghuni rumah sakit jiwa, tetapi sukar untuk menganggapnya sebagai pikiran-pikiran
kreatif.
Menurut Mednick (Langgulung, 1991), proses asosiasi (hubungan antara stimulus dan
respon) yang menghasilkan karya kreatif itu berlaku dalam tiga pola.
1. Keberuntungan (serendipity). Terkadang suatu hubungan kreatif muncul secara
kebetulan. Niatnya mencari A, yang ditemukan B, dan B ini lebih menguntungkan daripada
A. Contohnya adalah penemuan penisilin, hukum archimedes, dan sinar-X.
2. Keserupaan (similarity). Keserupaan dapat terjadi pada unsur-unsur yang berdampingan,
baik berupa stimulus maupun respon. Ini memudahkan terjadinya hubungan yang
diinginkan. Contohnya seperti tampak jelas dalam bidang penulisan kreatif, puisi, musik,
dan lukisan, sebab banyak bergantung pada keserupaan unit-unit yang membentuk karya
itu, misalnya kata-kata dan bunyi pada puisi.
3. Perantara (mediation), yakni unsur-unsur dihubungkan dengan perantaraan unsur-unsur
lain yang sudah dikenal. Pola ini kita dapati pada bidang-bidang yang bergantung pada
penggunaan simbol seperti matematika, kimia, dan logika.
Behaviorisme atau aliran asosiasi tidak berbicara mengenai faktor-faktor tak-sadar. Mereka
hanya berbicara mengenai apa yang tampak atau terukur. Oleh karena itu, meski
tampaknya agak aneh ketika mereka percaya pada faktor keberuntungan, hal itu mungkin
dilihat sebagai sesuatu yang biasa terjadi pada pengalaman manusia.
2.2.3. Pandangan Humanistik
Pandangan ini diwakili antara lain oleh Abraham Maslow dan Carl R. Rogers. Pandangan
humanistik membawa gagasan yang lebih optimistik tentang manusia dibanding dua
pandangan sebelumnya, psikoanalisis dan behaviorisme. Mazhab humanistik berpandangan
bahwa manusia dibekali dengan kebebasan memilih yang mendorongnya untuk terus
bertumbuh dan berkembang menuju aktualisasi-diri, yaitu perwujudan sepenuhnya segala
potensi yang dimilikinya. Setiap manusia memiliki potensi kreatif. Perbedaannya hanya
pada segi derajat. Perwujudan potensi ini dipengaruhi oleh kondisi sosial di mana ia hidup.
Jika masyarakat itu bebas, lepas dari tekanan dan ketakutan, di situlah tenaga kreatif
manusia akan berkembang menuju perwujudan diri (Langgulung, 1991).
Mazhab humanistik sangat menekankan faktor lingkungan. Rollo May, seorang tokoh yang
dapat dipandang sebagai eksponen gerakan humanistik, menyebutkan bahwa kreativitas
lahir dari perjumpaan secara intensif antara manusia yang sadar dengan dunianya (May,
2004). Seorang kreatif menjumpai dunia dan terserap ke dalamnya. Keterserapan ini akan
membawa pada suatu keadaan riang (joy). Pada saat mengalami keriangan, emosi berjalan
seiring kesadaran yang memuncak. Pada saat itulah ide-ide kreatif akan muncul.
Rogers (Munandar, 1999) menekankan bahwa sumber kreativitas adalah kecenderungan
untuk mengaktualisasi-diri, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang,
kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme.
Oleh karena itu, berbeda dengan mazhab psikoanalisis, mazhab humanistik memandang
bahwa manusia kreatif adalah ia yang sehat secara mental.
Mazhab humanistik tidak menyangkal faktor ketidaksadaran. Mereka juga mengakui adanya
insting-insting dan naluri-naluri seperti halnya pada psikoanalisis. Tetapi isi ketidaksadaran
bukan itu saja, melainkan juga potensi-potensi terpendam. Dan yang disebut insting bukan
hanya merupakan sesuatu yang negatif. Kebutuhan-kebutuhan manusia adalah sesuatu
yang instingtif. Sebagaimana tampak pada teori Maslow tentang hierarki kebutuhan,
pemenuhan satu kebutuhan akan membawa pada usaha untuk memenuhi kebutuhan pada
tingkat yang lebih tinggi. Begitu seterusnya hingga tercapai kebutuhan tingkat tertinggi,
yaitu aktualisasi-diri. Gerak dari kebutuhan tingkat rendah hingga kebutuhan tingkat
tertinggi merupakan sesuatu yang alamiah (instingtif) pada manusia.
Seperti telah disebutkan secara terpisah di awal, Maslow membedakan dua macam
kreativitas. Pertama, kreativitas bakat khusus, misalnya bakat musik, bakat melukis, bakat
memimpin, bakat berdagang, dsb., yang merupakan bawaan sejak lahir. Tentang ini Maslow
tidak berbicara banyak. Tetapi ia menekankan bahwa agar bakat ini terwujud sepenuhnya,
diperlukan pula usaha yang tekun dan sungguh-sungguh dalam bentuk belajar dan latihan,
komitmen yang kuat, kemampuan berpikir kritis, serta kesediaan menerima kritik.
Kedua, kreativitas aktualisasi-diri. Dalam hierarki kebutuhan, aktualisasi-diri adalah
kebutuhan tingkat tertinggi. Dengan kata lain, kreativitas aktualisasi-diri merupakan suatu
cara seseorang mewujudkan dirinya. Sampainya seseorang pada peringkat yang sesuai
dengan perwujudan potensi-potensi kreatifnya sama dengan mencapai peringkat yang
sesuai dalam kesehatan mental, atau sampainya ia pada peringkat kemanusiaan yang
sempurna (Langgulung, 1991).
2.2.4. Pandangan Islam
Allah telah meniupkan roh-Nya ke dalam diri manusia. Dengan demikian, di dalam diri
manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan walaupun dalam kadar yang jauh lebih rendah.
Seperti diketahui, Allah memiliki 99 sifat yang disebut asmaul husna. Dengan adanya roh
Tuhan di dalam dirinya, manusia memiliki pula 99 sifat Tuhan tersebut. Dari 99 sifat itu,
setidaknya ada tiga yang berkaitan dengan kreativitas, yaitu al-khaliq (pencipta), al-
mushawwir (pemberi bentuk), dan al-mubdi (yang pertama memulai).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya kreativitas merupakan anugerah
Allah bagi manusia. Sifat-sifat kreatif hanya diberikan kepada manusia, tidak kepada
makhluk-makhluk lain. Kreativitas merupakan sesuatu yang membedakan manusia dari
makhluk Allah lainnya.
Sifat-sifat kreatif itu memang patut ditanamkan ke dalam diri manusia karena menurut al-
Quran, manusia diturunkan untuk menjadi khalifah di bumi (2:30). Sebagai khalifah,
manusia bertugas untuk mengelola, merawat, dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan
dirinya dan keturunannya. Tugas tersebut hanya mungkin diemban jika manusia memiliki
bekal. Bekal tersebut adalah kreativitas.
Tanpa kreativitas, kehidupan manusia tidak akan mengalami perubahan dan
perkembangan. Jika pada awal tugasnya manusia tinggal di gua-gua, sampai sekarang pun
manusia akan tetap tinggal dalam gua. Masalahnya, kuantitas gua di dunia ini sangat
terbatas, sementara jumlah manusia terus bertambah dengan laju pertumbuhan yang
membuat cemas.
Tetapi dengan adanya kreativitas, manusia kemudian membangun gubuk, rumah, dan
gedung. Dengan kreativitas, manusia mampu menyiasati segala keterbatasannya.
Kendaraan dibuat agar perjalanan menjadi lebih cepat dan kaki tidak pegal. Pesawat
terbang diciptakan agar manusia bisa melihat bumi dari udara seperti burung. Bersama-
sama komunitasnya, manusia menyusun cara-cara mengelola hidup bersama. Agar hidup
menjadi lebih mudah, manusia mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Agar hidup
menjadi lebih indah, manusia menciptakan karya seni.
Semua itu dimungkinkan karena adanya sifat-sifat kreatif yang ditiupkan Tuhan ke dalam
diri manusia bersama sifat-sifat lainnya.
2.3. Kreativitas, Kaitannya dengan Inteligensi dan Emosi
2.3.1. Kreativitas dan Inteligensi
Meski inteligensi atau kecerdasan tidak dimasukkan sebagai ciri-ciri orang kreatif, bukan
berarti inteligensi tidak berperan sama sekali dalam kreativitas. Jika kreativitas disamakan
dengan cara berpikir divergen, inteligensi merupakan nama lain dari cara berpikir
konvergen. Dalam model proses kreatif dari Wallas, tahap pertama (persiapan) dan tahap
terakhir (verifikasi) merupakan tahap yang sepenuhnya melibatkan inteligensi atau cara
berpikir konvergen. Sedangkan tahap kedua (inkubasi) dan ketiga (iluminasi) tergolong cara
berpikir divergen. Dilihat dari model ini, tampak bahwa kreativitas merupakan gabungan
antara cara berpikir konvergen dan cara berpikir divergen. Dengan kata lain, ada peran
inteligensi dalam aktivitas kreatif, dan peran itu cukup besar sehingga tidak bisa
diremehkan.
Pemikiran ini didukung oleh beberapa hasil penelitian (Suharnan, 2005). Misalnya,
Munandar menemukan korelasi positif dan signifikan antara inteligensi (IQ) dengan
kreativitas dengan angka korelasi 0,53. Hasil penelitian Suharnan menemukan angka
korelasi sebesar 0,23. Wijati menemukan angka korelasi 0,23. Nur menemukan angka
korelasi 0,34. Kemudian Kuncel, Hezlett, dan Ones menemukan angka korelasi 0,36.
Berdasarkan hasil penelitian ini, korelasi antara inteligensi dengan kreativitas cenderung
bergerak dari tingkat rendah sampai sedang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang-orang dengan inteligensi tinggi
cenderung lebih kreatif daripada mereka yang inteligensinya rendah. Namun tidak berarti
bahwa makin tinggi inteligensi (IQ) seseorang, dengan sendirinya ia akan lebih kreatif
daripada orang lain. Sebab antara inteligensi dengan kreativitas menunjukkan korelasi yang
tidak sempurna atau sedang-sedang saja. Menurut Davidoff (1991), ukuran inteligensi dari
pengarang, seniman, ahli matematika, dan ilmuwan hampir selalu di atas rata-rata. Tetapi
angka IQ sendiri tidak dapat meramalkan seberapa jauhkah seseorang itu kreatif nantinya.
Dengan kata lain, memang orang-orang dengan inteligensi tinggi cenderung atau berpotensi
menjadi orang kreatif. Tetapi untuk menjadi kreatif, bekal inteligensi saja tidak cukup.
Masih diperlukan peran-peran tertentu dari variabel-variabel penting lain misalnya
pengetahuan, imajinasi, motivasi, karakteristik kepribadian tertentu, dan lingkungan
(Suharnan, 2005).
Heyes (Suharnan, 2005) menyimpulkan bahwa kreativitas memerlukan inteligensi pada
taraf tertentu. Tanpa inteligensi yang memadai, bisa jadi seseorang akan kesulitan
mengerjakan tugas-tugas baru yang menuntut pencarian gagasan-gagasan baru dan
bermutu. Menurut Csikszentmihalyi (Suharnan, 2005), orang-orang kreatif cenderung
memiliki IQ sekitar 120 poin, dan akan kesulitan jika IQ-nya lebih rendah daripada itu.
Tetapi IQ di atas itu tidak secara otomatis menjadikan mereka bertambah kreatif.
2.3.2. Kreativitas dan Emosi
Seperti halnya dengan inteligensi, kaitan kreativitas dengan emosi pun tampaknya tidak
mudah diramalkan. Ciri-ciri pribadi kreatif sebagaimana diterangkan di bagian awal bab ini
dapat dibagi ke dalam dua kategori: aptitude dan nonaptitude. Aptitude berkaitan dengan
bakat atau pembawaan alami dari seorang kreatif, yaitu kemampuan kognitif seperti
kelancaran, keluwesan, keaslian, dan elaborasi. Nonaptitude berkaitan dengan sikap dan
perasaan, seperti rasa ingin tahu, senang bertanya, dan selalu ingin mencari pengalaman-
pengalaman baru. Kesemua ciri tersebut menggambarkan bahwa pribadi kreatif itu seorang
yang ideal: di samping cerdas, dia juga memiliki sikap dan emosi yang baik. Bahkan Maslow
dalam teorinya mengidentikkan kreativitas dengan aktualisasi-diri atau sifat-sifat
kemanusiaan yang sempurna.
Namun beberapa kontradiksi dapat segera ditemukan. Misalnya, hasil penelitian Torrance
(Gandadiputra, 1983) menunjukkan bahwa pada anak-anak SD (terutama kelas 1, 2, dan
3), anak-anak yang mendapat skor tinggi pada tes kreativitas sering dijuluki teman-
temannya sebagai murid bebal (silly), nakal (naughty), atau dianggap liar dan sembrono
(wild) oleh guru-gurunya sendiri. Artinya, banyak anak-anak kreatif menunjukkan keadaan
mental yang bermasalah.
Tetapi itu pada anak-anak. Terhadap masalah mereka mungkin dapat diajukan kilah: emosi
mereka memang belum stabil.
Pada orang dewasa, masalahnya lebih pelik. Fakta menunjukkan bahwa sejumlah seniman
dan pengarang besar memiliki masalah psikologis yang serius. Rollo May (2004)
mencontohkan, “Van Gogh menjadi psikotis, Gauguin tampaknya menderita schizoid, Poe
kecanduan alkohol, dan Virginia Wolf betul-betul depresi.” Bahkan Wolf kemudian bunuh
diri, menyusul atau disusul nama-nama tenar dalam dunia seni semisal Ernest Hemingway,
Kawabata Yasunari, Sylvia Plath, Jose Maria Arguedas, Anne Sexton, H.S. Babra, dan
sekitar 400 nama lain (lihat Indirani, 2008). Selain itu dapat ditambahkan pula Freidrich
Nietzsche yang pernah masuk rumah sakit jiwa atau Chairil Anwar yang tidak segan
mencuri selimut tetangga.
Di dunia ilmiah, kasusnya mungkin tidak setragis dunia seni. Tetapi Roe (dalam
Gandadiputra, 1983) menyimpulkan dari penelitiannya tentang karakteristik kepribadian
dari pada ilmuwan termasyhur, bahwa meski secara emosi mereka stabil, mereka
cenderung menarik diri dari pergaulan (hubungan-hubungan antarmanusia).
Dari fakta-fakta ini, dapat dimengerti ketika Freud menyebut kreativitas sebagai satu
bentuk dari kepribadian neurotis, Adler yang menyimpulkan kreativitas sebagai bentuk
kompensasi dari kekurangan, atau Kris yang melihat kreativitas sebagai mekanisme regresi.
Memang banyak pula seniman kreatif yang sehat secara psikologis. Orang kreatif yang
sekaligus sehat mungkin lebih banyak jumlahnya daripada orang kreatif yang sakit. Maslow
misalnya menyebut orang-orang semacam Max Wertheimer, Ruth Benedict, Thomas
Jefferson, Abraham Lincoln, Baruch Spinoza, Albert Einstein, Eleanor Roosevelt, J.W. von
Goethe, Pablo Casals, John Keats, Adlai Stevenson, Robert Browning, dan Martin Buber
sebagai wakil-wakil yang paling baik dari spesies manusia (Schultz, 1991). Barangkali
Abraham Maslow sendiri dapat dimasukkan ke dalam kategori itu: kreatif, cerdas, sekaligus
sehat. Namun dua fakta yang berkontradiksi di atas justru menunjukkan tidak adanya
hubungan antara kreativitas dengan emosi atau kesehatan mental.
Bahasan ini akan ditutup dengan simpulan Gandadiputra (1983): “Orang yang kreatif belum
tentu cerdas. Orang yang kreatif belum tentu pula memunyai kehidupan emosional yang
stabil. Mereka belum tentu pandai bergaul, belum tentu pula mereka itu neurotis.”
Referensi:
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
Chaplin, J.P., 2004, Kamus Lengkap Psikologi, cet. ke-9, Penerjemah: Dr. Kartini Kartono,
Jakarta: Rajawali Pers.
Davidoff, Linda L., 1991, Psikologi Suatu Pengantar Jilid 2 Edisi Kedua, Penerjemah: Mari
Juniati, Jakarta: Erlangga.
Echols, John M., dan Hassan Shadily, 2000, Kamus Inggris Indonesia, cet. ke-25, Jakarta:
Gramedia.
Gandadiputra, Mulyono, 1983, dalam S. Takdir Alisjahbana (ed.), Kreativitas, Jakarta: Dian
Rakyat.
Hall, Calvin S., dan Gardner Lindzey, 1993, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Penerjemah:
Yustinus, Yogyakarta: Kanisius.
Langgulung, Hasan, 1991, Kreativitas dan Pendidikan Islam Analisis Psikologi dan Falsafah,
Jakarta: Pustaka al-Husna.
May, Rollo, 2004, The Courage to Create, Penerjemah: Hani’ah, Jakarta: Teraju.
Munandar, Utami, 1999, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta.
______, 1992, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta: Grasindo.
______, 1983, dalam S. Takdir Alisjahbana (ed.), Kreativitas, Jakarta: Dian Rakyat.
Schultz, Duane, 1991, Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian Sehat,
Penerjemah: Yustinus, Yogyakarta: Kanisius.
Suharnan, 2005, Psikologi Kognitif, Surabaya: Srikandi.
Internet:
http://wikipedia.org/wiki/Creativity
Plsek, Paul E., 1996, Working Paper: Models for the Creative Process,
dalam http://www.directedcreativity.com/pages/WPModels.htm
________________________________________
* Dalam rumusan yang disampaikan oleh Torrance sendiri, proses tersebut terdiri dari lima
tahap. Dalam Munandar (1999), disebutkan bahwa kreativitas menurut Torrance adalah “…
the process of 1) sensing difficulties problems, gaps in information, missing elements,
something asked; 2) making guesses and formulating hypothesis about these deficiencies;
3) evaluating and testing these guesses and hypotheses; 4) possibly revising and retesting
them; 5) communicating the results.”
Perbedaannya dengan terjemahan yang dibuat oleh Langgulung (1991), dalam versi
Munandar di atas pengujian hipotesis dilakukan dua kali (tahap 3 dan 4).
§ Empat tahap ini adalah model yang disajikan oleh banyak pakar kreativitas dalam tulisan-
tulisan mereka. Wikipedia, ensiklopedi bebas yang dapat diakses secara gratis di internet,
edisi berbahasa Inggris menulis bahwa sebenarnya Wallas dan Smith memerkenalkan lima
tahap proses kreatif, yakni 1) persiapan; 2) inkubasi; 3) intimasi; 4) iluminasi; dan 5)
verifikasi. Intimasi (intimation) adalah tahap ketika seseorang “merasa” mendapatkan solusi
atau ide atas permasalahannya. Penghilangan tahap ini barangkali disebabkan kebanyakan
penulis menganggap intimasi lebih merupakan bagian dari iluminasi daripada sebagai tahap
yang terpisah.
Pengertian Kreativitas :
Kreatif adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa
gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk karya baru maupun kombinasi dengan
hal-hal yang sudah ada, yang belum pernah ada sebelumnya dengan menekankan
kemampuan yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasikan,
memecahkan atau menjawab masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif
(www.labschool-unj.sch.id/smpjkt/materi_download.php? id=7).
Definisi Kreativitas
oKreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, dalam bentuk
suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru (Hurlock
dalam Basuki, 2010).
oProses kreatif adalah munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari
keunikan individu, dan dari pengalaman yang menekankan pada produk yang baru,
interaksi individu dengan lingkungannya atau kebudayaannya (Rogers dalam Basuki, 2010).
oKreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk membangun dirinya
dalam berbagai aspek kehidupannya dengan tujuan menikmati kualitas kehidupan yang
semakin baik (Alvian dalam Basuki, 2010).
oKreativitas adalah suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas)
dan originalitas dalam berfikir (Munandar dalam Basuki, 2010).
oDefinisi Kreativitas menurut Clark (dalam Basuki, 2010) :
Clark berdasarkan hasil berbagai penelitian tentang spesialisasi belahan
otak,mengemukakan : “Kretivitas merupakan ekspresi tertinggi keterbakatan dan sifatnya
terintegrasikan, yaitu sintesa dari semua fungsi dasar manusia yaitu : berfikir, merasa,
menginderakan dan intuisi (basic function of thingking, feelings, sensing and intuiting)”
(Jung 1961, Clark 1986).
Definisi Kreativitas 4 P (Product, Process, Press, Person)
oPerson
Ditinjau dari aspek pribadi, kreativitas muncul dari interaksi pribadi yang unik dengan
lingkungannya (www.labschool-unj.sch.id/smpjkt/materi_download. php?id=7).
Faktor pribadi yang kreatif menurut Roger (dalam Afifa, 2007) :
•Keterbukaan kepada pengalaman,
•Kemampuan untuk memberikan penilaian secara internal sesuai dengan lokus pribadinya,
•Kemampuan untuk secara spontan bereksplorasi bermain dengan elemen-elemen dan
konsep-konsep.
Menurut Sternberg (dalam Afifa, 2007) seseorang yang kreatif adalah seorang yang dapat
berpikir secara sintesis artinya dapat melihat hubungan-hubungan di mana orang lain tidak
mampu melihatnya yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis ide-idenya sendiri
serta mengevaluasi nilai ataupun kualitas karya pribadinya, mampu menterjemahkan teori
dan hal-hal yang abstrak ke dalam ide-ide praktis, sehingga individu mampu meyakinkan
orang lain mengenai ide-ide yang akan dikerjakannya.
Kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu
gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru (Hurlock dalam
Basuki, 2010).
Proses kreatif adalah suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu di satu pihak,
dan dari pengalaman (Rogers dalam Basuki, 2010).
Basuki (2010) kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk
membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya. Tujuan pembangunan diri itu
ialah untuk menikmati kualitas kehidupan yang semakin baik (Alvian dalam Basuki, 2010).
Kreativitas adalah suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas)
dan originalitas dalam berfiir (Munandar dalam Basuki, 2010).
Basuki (2010) menjelaskan, kreativitas merupakan ungkapan unik dari seluruh pribadi
sebagai hasil interaksi individu, perasaan, sikap dan perilakunya yang dimulai dengan
kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu yang baru, dimana seorang individu yang
kreatif memiliki sifat yang mandiri, tidak merasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku.
Kreativitas merupakan sifat pribadi seorang individu yang tercermin dari kemampuannya
untuk menciptakan sesuatu yang baru (Soemardjan dalam Basuki, 2010).
oPress
Ditinjau dari aspek pendorong kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan
internal maupun eksternal dari lingkungan
(www.labschool-unj.sch.id/smpjkt/materi_download. php?id=7).
Kreativitas dapat terwujud dengan adanya dorongan dari diri individu (intrinsic) dan
lingkungan (ekstrinsik).
Csikszentmihalyi (dalam Afifa, 2007) ada beberapa faktor yang mendorong tumbuhnya
kreativitas yaitu:
•Predisposisi genetik (Genetic predisposition)
Predisposisi genetik atau genetic predisposition sebagai faktor pertama yang memberikan
peluang terhadap tumbuhnya kreativitas, seseorang yang mempunyai potensi keterampilan
kinestetik yang baik akan berpeluang menjadi penari, namun ia juga harus mempunyai
kepekaan terhadap nada dan suara untuk memahami musik yang berkaitan erat dengan
tari. Dengan memperoleh keberhasilan yang terus meningkat menjadi lebih baik pada
ranahnya masing-masing, minat seorang anak akan lebih mendalam dan ingin mempelajari
sesuatu yang diminatinya lebih jauh lagi.
•Akses terhadap ranah (Acces to a domain)
Untuk memicu tumbuhnya kreativitas menurut Csikszentmihalyi (dalam Afifa, 2007)
diperlukan akses terhadap ranah yang diminati, yang ditentukan juga oleh faktor
keberuntungan. Contohnya adalah bila anak dilahirkan dalam keluarga yang mendukung
minatnya, sekolah yang memberikan terhadap tumbuhnya berbagai aspek kecerdasan,
adanya pembimbing yang dapat mengarahkan minat dan bakatnya (sebagai motivator dan
fasilitator), serta adanya guru atau pelatih yang kompeten di bidangnya.
•Akses terhadap bidang (Acces to a field)
Pengakuan terhadap kreativitas seseorang penting bagi orang-orang yang sedang berkarya
di bidangnya. Karenanya ia perlu membina hubungan baik di lapangan dengan para pakar
dan orang yang relevan di bidangnya. Dalam hal ini sekolah perlu membantu siswa yang
menunjukkan minat dan bakat kreatifnya di bidang seni. Caranya antara lain, membina
hubungan dengan lembaga-lembaga terkait melalui program-programnya. Seperti
contohnya di Jakarta, dengan: Dewan Kesenian Jakarta, Indonesian Dance Festival (di
Institut Kesenian Jakarta), Gedung Kesenian Jakarta dan lain-lain.
oProcess
Ditinjau sebagai proses, menurut Torrance (1988) kreativitas adalah proses merasakan
dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini,
menilai, dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubah dan mengujinya lagi, dan
akhirnya menyaipaikan hasil-hasilnya (www.labschool-unj.sch.id/smpjkt/materi_download.
php?id=7).
Munandar (2002) mengemukakan bahwa untuk mengembangkan kreativitas anak ada
beberapa cara yang dapat digunakan antara lain memberi kesempatan untuk menyibukkan
diri secara kreatif, merangsang individu untuk melibatkan diri dalam berbagai kegiatan
kreatif, memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan diri secara kreatif,
menghargai kreativitas individu, meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan konstruktif
yang diminati oleh individu.
Wallace dalam bukunya The Art of Thought (dalam Afifa, 2007) menjelaskan langkah-
langkah atau tahapan dalam proses kreativitas yang meliputi tahap persiapan, inkubasi,
iluminasi dan verifikasi.
oProduct
Definisi produk kreativitas menekankan bahwa apa yang dihasilkan dari proses kreativitas
adalah sesuatu yang baru, orisinil, dan bermakna
(www.labschool-unj.sch.id/smpjkt/materi_download. php?id=7).
Mengenali bakat, ciri pribadi, mendorong dengan motivasi, menyediakan waktu dan
sarana prasarana, serta mempertunjukkan hasil karya guna menggugah minat untuk
berkreasi akan membuat individu terpacu untuk kreatif (Munandar, 2002).
Munandar (dalam Afifa, 2007) menyatakan bahwa suatu karya cipta pada hakikatnya
tidaklah baru sama sekali tetapi merupakan pengembangan atau kombinasi baru
berdasarkan data, informasi atau unsurunsur yang sudah ada sebelumnya.
Stein (dalam Basuki, 2010) menyatakan bahwa suatu produk baru dapat disebut karya
kreatif jika mendapatkan pengakuan (penghargaan) oleh masyarakat pada waktu tertentu.
Definisi Operasional Kreatifitas
oKreativitas merupakan kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan
(fleksibilitas), dan originalitas dalam berfikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi
(mengembangkan, memperkaya, memperinci suatu gagasan (Munandar dalam Basuki,
2010).
Daftar Pustaka
Afifa, Nindah Nur. (2007). Peran seni dalam mengembangkan kreatifitas
siswa. http://media.diknas.go.id/media/document/5465.pdf.
Basuki, Heru. (2010). Pendahuluan. http://v-class.gunadarma.ac.id/mod/ resource/view.
php?id=15517. Saturday, 13 February 2010, 20:08.
Basuki, Heru. (2010). Teori-Teori Mengenai Kreativitas. http://v-class.gunadarma. ac.id/
mod/resource/view.php?id=15524.
Munandar, Utami. (2002). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi
kreatif dan bakat. http://www.maindexchange.com/index2.php?option=com_ docman&
task=doc_view&gid=99&Itemid=28.
Sponsored Content

Pemberian dana terbesar dalam Belanjawan 2024Majoriti | Sponsored

Sekolah Model Khas memfokuskan kepada orang aslimStar | Sponsored

KWAPM akan diperluaskan kepada pelajar sehingga Tingkatan 3Majoriti |


Sponsored

Memastikan murid di Sabah memperoleh pendidikan baikMajoriti | Sponsored


BAGIKAN INI:

 Twitter
 Facebook

Memuat...
TERKAIT
MAKALAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN16 Januari 2015dalam "Tak Berkategori"
MAKALAH LINGUISTIK UMUM16 Januari 2015dalam "Tak Berkategori"
MAKALAH PERBAKAN TEORI SASTRA16 Januari 2015dalam "Tak Berkategori"

Navigasi pos
← Previous postNext post →
TINGGALKAN BALASAN

Iklan
LAPORKAN IKLAN INI
BERLANGGANAN

 Entries (RSS)

 Comments (RSS)
ARSIP
 Januari 2015
KATEGORI

 Tak Berkategori
META

 Daftar

 Masuk

Blog di WordPress.com.
 Komentar

 Ikuti


Tutup dan terima
Privasi & Cookie: Situs ini menggunakan cookie. Dengan melanjutkan menggunakan
situs web ini, Anda setuju dengan penggunaan mereka.
Untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk cara mengontrol cookie, lihat di sini: Kebijakan Cookie
Iklan
LAPORKAN IKLAN INI

Anda mungkin juga menyukai