Anda di halaman 1dari 20

Tutorial …

Sistem Gastrointestinal

“Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas ini saya kerjakan


dengan sebaik-baiknya, tanpa melakukan plagiarisme”

Nama : Doni Rizki Saragih


NIM : 2250141166
Kelompok : 2
Seorang wanita 27 tahun, datang ke puskesmas tempat saudara bekerja dengan keluhan nyeri
ulu hati.
Skenario Lanjutan
Sejak Empat bulan yang lalu, pasien merasakan nyeri ulu hati berupa rasa perih seperti diiris,
yang terasa terutama saat perut kosong atau terlambat makan, dan nyeri bertambah bila diisi
makanan . Selain nyeri, pasien juga sering merasakan mual kadang sampai muntah, bahkan 2
hari terakhir sering muntah sampai tidak masuk makanan.Pasen juga merasakan perut
kembung, cepat kenyang bila diisi makanan / begah kadang sampai sesak nafas dan ulu hati
seperti terbakar. Keluhan dada terasa panas atau terbakar (-), mulut terasa pait dan asam
(- )Keringat dingin (-) Keluhan dirasakan hilang timbul Pasien adalah seorang pekerja yang
sibuk sehingga sering terlambat makan. Pasien juga suka makan makanan pedas dan asam,
dan minum kopi. Riwayat penggunaan obat anti nyeri/rematik disangkal rokok (-) BAB hitam
(-), mata kuning (-). Riwayat keluarga menderita sakit kuning (-), batu empedu (-)sakit
jantung (-) Penurunan BB disangkal. Riwayat operasi disangkal, tato (-),tindik (-),Riwayat
DM (-), gagal ginjal (-)
Pemeriksaan Fisik
K.U : composmentis, sakit sedang
Kepala : conjunctiva anemis (-), sclera ikterik (-), bibir kering
Thorax : cor/pulmo t.a.k
Abdomen : datar, lembut , Bising usus (+) normal, nyeri tekan di epigastrium (+), hepar/lien
tak teraba Meteorismus (-)
Extremitas : tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan Laboratorium : darah rutin dalam Hb: 13,5 g/dl, leukosit: 7500/mm3,
trombosit 278.000/mm3, HJ: 0/2/4/56/30/8
STEP 5 : LEARNING ISSUES
1. Bagaimana Kriteria dispepsia fungsional?
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural) dan fungsional (non-
organik).
 Pada dispepsia organik terdapat penyebab yang mendasari, seperti penyakit ulkus
peptikum (Peptic Ulcer Disease/PUD), GERD (GastroEsophageal Reflux Disease),
kanker, penggunaan alkohol atau obat kronis.1,3 Jika terdapat kerusakan jaringan
disebut dispepsia organik,
 Non-organik (fungsional) ditandai dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas
yang kronis atau berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik dan
endoskopi.1,3 jika tidak terdapat kerusakan jaringan disebut dispepsia fungsional. Pada
dispepsia fungsional gejala berlangsung sekurang-kurangnya tiga bulan dengan
awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan, hal ini dapat terjadi akibat
faktor psikologis atau akibat intoleransi terhadap makanan tertentu
Klasifikasi
Dalam sistem penggolongan menurut Kriteria Roma II, dispepsia fungsional diklasifikasikan
ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia apabila tidak dapat masuk ke
dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik Menurut Kriteria
Roma III pada tahun 2010 dalam American Journal of Gastroenterology, dispepsia
fungsional dibagi menjadi 2 kelompok,
Roma II
Dispepsia Fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:
 Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat di
abdomen atas)
 Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)
 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola dan
bentuk defekasi

a. Dispepsia like-ulcer
Rasa nyeri terutama dirasakan pada abdomen atas

b. Dispepsia like-dysmotility
Rasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen atas berupa rasa penuh, lekas
kenyang, sebah dan mual

c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific)


Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi criteria like-ulcer atau like-dysmotility

Tabel (a): Kriteria Roma II

Roma III
Dispepsia Fungsional
Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya:
Satu atau lebih gejala dibawah ini:
a. Rasa tidak nyaman setelah makan
b. Cepat merasa kenyang
c. Nyeri epigastrium
d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
Dan
Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan
gejala-gejala tesebut diatas.
*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah terdiagnosis

a. Sindroma distress postprandial


Kriteria diagnosis* Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala dibawah ini
1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-kurangnya
beberapa kali seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa
kali seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah terdiagnosis
Kritria supportif
1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa yang
berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik

b. Sindroma Nyeri Epigastrik


Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya::
Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium derajat sedang sekurang-
kurangnya sekali seminggu
1. Nyeri bersifat intermitten
2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah terdiagnosis

Kriteria supportif
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial.

Sumber :
 Appendix B: Rome III Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal Disorders.
American Journal of Gastroenterology 105(4):p 798-801, April 2010. | DOI:
10.1038/ajg.2010.73
 Dyspepsia gastritis. Kolegium Dokter Indonesia

2. Bagaimana pencegahan dari dispepsia fungsional?


 Pencegahan primer dilakukan dengan cara pola makan yang baik, mengurangi
makanan yang dapat memicu timbulnya keluhan seperti pedas, asam, tinggi lemak
dan mengandung soda. Selain itu, penggunaan NSAID, kortikosteroid dan
antikoagulan digunakan secara rasional dan bijak karena penggunaan obat tersebut
merupakan salah satu etiologi utama.
 Skrining H.pylori perlu dilakukan karena dapat muncul tanpa disertai gejala dan untuk
mengurangi risiko kanker lambung.
 Pencegahan sekunder dilakukan terutama pada orang-orang yang berisiko tinggi
seperti pasien kritis, riwayat ulkus atau perdarahan saluran cerna, usia tua,
penggunaan NSAID dosis tinggi, sedang menggunakan kortikosteroid atau
antikoagulan dengan cara pemberian obat H2 antagonis atau PPI.

 Pencegahan Primordial
Pada tahap ini dilakukan pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor
risiko penyakit dispepsia. Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan
memberikan penyuluhan mengenai kebiasaan dan faktor risiko yang dapat
menimbulkan penyakit dispepsia agar dihindari (Alexander D, et al, 2010. Desai
 Pencegahan Primer Tahap pencegahan primer diberikan kepada orang-orang yang
memiliki faktor risiko penyakit dispepsia dengan cara membatasi dan menghilangkan
kebiasaan tidak sehat yang dapat memicu kerusakan pada saluran pencernaan,
seperti makanan tidak sehat. Selain itu, penggunaan obat penghilang nyeri seperti
NSAIDs juga harus diperhatikan, jika memungkinkan diganti (Kusumanto R, et al,
2011. Baker G, et al, 2006)
 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder diberikan kepada para penderita dispepsia. Usaha yang
dapat dilakukan antara lain dengan mengatur pola makan, makanan harus mudah
dicerna, tidak merangsang peningkatan asam lambung dan menetralisasi asam HCL.
Selain itu, obat-obatan seperti antasida, antagonis reseptor H2 PPI (proton pump
inhibitor), sitoprotektif, dan prokinetik perlu diberikan pada penderita untuk mengatasi
dispepsia (Sulistia G, et al, 2009. Alexander D, et al, 2010).
 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier umumnya dilakukan oleh para tenaga medis untuk menelusuri
kejadian yang diderita pasien dengan mencari dan menemukan sistem terapi
terpadu, misalnya dengan rehabilitasi mental sehingga diharapkan terjadi kemajuan
dalam kesembuhan setelah faktor stres ditangani (CHDF, 2015. Desai, HG, 2012).

Sumber :
 EFERONI GULO. GAMBARAN PENGETAHUAN PASIEN TENTANG
PENYAKIT DISPEPSIA DI PUSKESMAS MORO’O KECAMATAN MORO’O
KABUPATEN NIAS BARAT POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
PRODI D-III KEPERAWATAN GUNUNGSITOLI :2019
 Dyspepsia gastritis. Kolegium Dokter Indonesia
3. Hal yang dapat memperberat dan memperingan dispepsia fungsional?
 Pola makan yang tidak teratur , jenis makanan pedas, dan porsi makan yang besar
 Sering minum kopi dan teh
 Infeksi bakteri atau parasit
 Penggunaan obat analgetik, steroid dan antikoagulan
 Usia 20-40 tahun, sering juga pada usia lanjut
 Alkoholisme
 Stres
 Pasien kritis
 Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluk sempedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS,
Crohn’s disease

 Sekresi Asam Lambung


Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaanstress, pemasukan
makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding
lambung. Kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang
akan merangsang terjadinya kondisi asam lambung, sehingga rangsangan di medula
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan. Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambungm baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang
rata-rata normal. Di duga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak perut (Djojodiningrat D,IPD,2014.
Abdullah M, et al, 2012).
 Infeksi Helicobacter pylori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya di
mengerti dan di terima. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin
lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan
menurunkan tingkat somatostatin (Djojodiningrat D, IPD,2014. Abdullah M, et al,
2012. Vilaichone R.K, et al, 2014).
 Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tiap kolerasi antara faktor
psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial.
Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun hal tersebut merupakan gangguan
emosi, akan tetapi terdapat pula gangguan somatik. Pada praktek kedokteran umum
sering ditemukan kasus depresi dengan manifestasi. Tidak jarang mereka datang
dengan berbagai manifestasi. Tidak jarang mereka datang dengan berbagai keluhan
fisik (somatik), seperti sakit kepala, nafsu makan hilang, letih, lesu, tidak
bersemangat, konstipasi, nausea, jantung berdebar-debar, kurang konsentrasi, sukar
tidur dan sebagainya. Bila diadakan pemeriksaan lebih lanjut, biasanya keluhan
tersebut jarang sekali disertai penemuan kelainan organik (Djojodiningrat D,
IPD,2014. Kusumanto R, et al, 2011. Taska R.J, 2011).
 Akibat OAINS
Dalam dua studi berbasis populasi bahwa ada hubungan gejala dispepsia dengan
penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Dalam sebuah survei terhadap
orang dewasa Amerika dari suatu lembaga, penggunaan rutin OAINS dan Aspirin
sangat terkait dengan dispepsia fungsional. (Mahadeva S, et al, 2006)

Sumber :
 EFERONI GULO. GAMBARAN PENGETAHUAN PASIEN TENTANG
PENYAKIT DISPEPSIA DI PUSKESMAS MORO’O KECAMATAN MORO’O
KABUPATEN NIAS BARAT POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
PRODI D-III KEPERAWATAN GUNUNGSITOLI :2019
 Dyspepsia gastritis
4. Bagaimana anatomi, fisiologi dan histologi organ lambung atau gaster?

Ventriculus(Gaster/Stomach/Lambung)

Anatomi
Ventriculus merupakan organ tractus gastrointestinalis yang paling berdilatasi dan berbentuk
seperti huruf J. ventriculus terletak di regio epigastrica, regio umbilicalis, dan regio
hypochondriaca sinistra.

memiliki 4 regiones utama, yaitu cardia, fundus, corpus, dan pars pylorica.

 Cardia mengelilingi muara oesophagus ke ventriculus. Sudut superior yang terbentuk


ketika oesophagus masuk ke lambung disebut incisura cardiaca.
 Bagian yang membulat di atas dan kiri cardia disebut fundus.
 Inferior dari fundus terdapat bagian sentral ventriculus yang besar yang disebut
corpus.
 Pars pylorica terbagi menjadi 3 regio, yaitu antrum pyloricum, canalis pylorica, dan
pylorus.
o Antrum pyloricum berhubungan dengan corpus ventriculi.
o Canalis pylorica merupakan saluran bagian tengah.
o Bagian paling distal dari pars pylorica adalah pylorus. Pylorus ditandai di
permukaan organ oleh pyloric constriction dan mengandung cincin otot
sirkuler lambung yang menebal yaitu m. sphinter pylorica. M. sphincter
pylorica mengelilingi ujung distal lambung yaitu orificium pylorica. Pylorus
berhubungan dengan duodenum. Ketika lambung kosong, mucosanya
membentuk lipatan besar yang disebut rugae (plica) ventriculi. Pylorus
berhubungan dengan duodenum melalui sfingter otot polos yang disebut m.
sphincter pylorica. Tepi medial lambung yang cekung disebut curvatura
minor, sedangkan tepi lateral yang cembung disebut curvatura major.
Tikungan di curvatura minor disebut incisura angularis (gambar 1.12)

Vaskularisasi
Arteri : (suplai dari a. coeliaca)
- pars superior oleh a. gastroduodenale
- pars descendens, transversa, dan ascenden oleh a. pancreaticaduodenale
superior
- bagian distal : a. mesenterica superior
Vena :
- Bag. proximal bermuara kevena porta via v.gastrica dekstra
- Bag.distal bermuara ke v mesenterica superior via v.pancreoticoduodenale
inferior
- Transperitoneal anastomose denganvena cava inferior melalui vena Retzius
(vena retroperitoneal) → vena porta cava
Limpatik:
Paralel dengan vena, bermuara ke nodus limpatikus coleacus, mesenterica superior
dan cisterna chylii.
Inervasi :
Parasimpatis : n.vagus via plexus coleacus
Simpatis : n.splanchnicus mayor → ggl coleacu →plexus coleacus

Histologi

Dinding lambung memiliki empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis propria, dan
subserosa. Selain mukosa, lapisan-lapisan ini secara struktural mirip dengan dinding usus
pada tempat lain di saluran pencernaan. Bila dilihat dari dekat, permukaan mukosa dibagi
oleh lekukan tipis disebut areae gastricae, yang secara struktural menetap dan tidak mendatar
ketika lambung mengembang. Dapat dilihat dengan baik ketika mukosa dilihat menghadap
kedepan dengan lensa tangan. Areae gastricae bisa ditunjukkan secara radiologis melalui
pemeriksaan barium kontras ganda tetapi juga dapat dikenali pada pemeriksaan histologi
terutama dari spesimen gastrektomi, yang tampak sebagai sedikit depresi pada permukaan
yang halus (Gambar 23.3)

Gambar 23.2 Zona mukosa lambung. Mukosa kardia (C) berada distal pada batas distal
esofagus (E). Mukosa pilorik (P) menempati zona segitiga proksimal dari duodenum (D). Di
tempat lain, mukosa fundus (F) menunjukkan lipatan rugal yang menonjol.
Histologi Lambung Manusia Pada pengamatan histologi, dinding lambung terdiri dari tunika
mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Di dalam lapisan-
lapisan ini terdapat kelenjar-kelenjar lambung yang membantu dalam proses pencernaan yaitu
kelenjar kardia, kelenjar korpus dan fundus, serta kelenjar pilorus (Geneser, 1994:121).
Gambar 2.2 Histologi lambung manusia
(Sumber:http://www.siumed.edu/~dking2/erg/GI10b.htm).
a. Tunika Mukosa Mukosa lambung terdiri atas epitel permukaan, parietal cell, kelenjar
lambung, chiefcell, lamina propria, dan muskularis mukosa.
Membran mukosa
o sangat tebal
o mempunyai permukaan seperti beludru.
o warna merah apabila dalam keadaan hidup
o warnanya menjadi lebih merah muda apabila dekat dengan pilorus dan kardia.

o Permukaan dalam lambung tampak berlubang-lubang kecil seperti sumur-


sumur lambung atau faveola gastrika, dengan garis tengah sampai 0,2 mm.
Sumur-sumur ini dilapisi epitel permukaan lambung dilapisi epitel selapis
silindris. Sel epitel ini disebut juga sebagai sel mukosa bagian permukaan. Sel-
sel inilah yang nantinya akan menghasilkan mukus, yakni melapisi seluruh
permukaan mukosa. Fungsinya untuk melumasi mukosa, sekaligus
melindunginya terhadap asam dan enzim-enzim 11
o Pada lamina propria terdiri atas lapisan yang berisi jaringan ikat jarang, kaya
akan sel retikular yang mengisi celah di antara kelenjar. Sel retikular tersebut
meliputi sel fibroblast, limfosit, sel plasma, makrofag, leukosit, eosinofil, dan
sel mast. Jaringan ini banyak mengandung sejumlah pembuluh darah
(Geneser, 1994:128).
o Lapisan luar mukosa dibatasi selapis otot polos yang tipis yakni mukosa
muskularis yang terdiri atas lapisan sirkuler pada bagian dalam dan
longitudinal pada bagian luar. Serat otot polos dan mukosa muskularis meluas
dan terjulur ke dalam lamina propria diantara kelenjar lambung ke arah epitel
permukaan (Junqueira dalam Rahmawati, 2010:13).
b. Tunika Submukosa Submukosa merupakan lapisan tepat di bawah mukosa
muskularis. Pada lambung yang kosong, lapisan ini meluas sampai ke dalam lipatan
(rugae). Submukosa mengandung jaringan ikat tidak teratur yang lebih padat dan
lebih banyak serat kolagen dibandingkan dengan lamina propria. Pada tunika
submukosa ini berisi pembuluh darah besar, pembuluh limfe dan saraf (Junqueira
dalam Rahmawati, 2010:15).
c. Tunika Muskularis Eksterna Terdiri atas jaringan ikat longgar (areolar) (Bajpai,
1987:144). Tunika muskularis eksterna dibentuk oleh tiga lapisan otot polos yakni
lapisan luar longitudinal, lapisan tengah yang sirkular, dan lapisan serong (oblik) yang
berbentuk lengkungan otot yang berjalan dari kardia mengitari fundus dan korpus.
Lapisan sirkular di tengah menglilingi seluruh lambung dan berkembang baik ke arah
pilorus yang membentuk sfingter sirkular tebal biasa disebut sphincter phylorikum
(Lesson et al., 1996:358 dalam Rakhmawati, 2007:24).
d. Lapisan Serosa Lapisan serosa merupakan lapisan luar lambung. Lapisan serosa
dilapisi oleh sel selapis mesotel (epitel selapis gepeng) dan jaringan ikat subserosa.
Lapisan ini merupakan lapisan peritoneum viseral (Bajpai, 1987:144). 12
DiigiittallReposiittorryUniiverrsiittasJemberr
e. Kelenjar lambung Terdapat tiga jenis kelenjar yakni :
a. Kelenjar Kardia Kardia merupakan sabuk melingkar sempit dengan ukuran
1,5-3 cm pada pertemuan antara esofagus dan lambung. Kelenjar kardia
lambung berada di antara lamina propria. Kelanjar kardia merupakan kelenjar
yang terletak dekat lubang yang ada di sebelah esofagus, berbentuk tubular
simpleks atau kompleks, terdiri atas selapis sel silindris dengan sitoplasma
pucat. Sel-selnya terutama terdiri atas sel-sel yang menghasilkan mukus, dan
hanya sedikit sel zimogen serta sel parietal (Bajpai, 1987:145; dan Rahmawati,
2010:13).
b. Kelenjar Korpus dan Kelenjar Fundus Kelenjar ini terdapat di korpus dan
fundus. Kelenjar-kelenjar ini tersusun melingkar berbentuk tubular lurus-lurus
dengan kedalaman antara 1⁄3 sampai 1⁄4 tebalnya mukosa. Kelenjar ini terdiri
atas tiga bagian yakni bagian dasar, leher, dan ismus di bagian atas. Bagian
leher terdiri atas sel mukosa leher, sedangkan bagian dasarnya mengandung
parietal cell, chief cell, dan sel enteroendokrin. Sel mukosa leher pada bagian
korpus-fundus mempunyai bentuk kolumnar pendek dengan inti di bagian
basal. Sel ini mempunyai sejumlah granula padat di bagian apical sitoplasma.
Chief cell atau sel zimogen mempunyai jumlah yang banyak, dengan granula
zimogen di apikal. Inti sel zimogen terletak tengah-tengah bagian basal. Pada
sel zimogen ini, granula-granulanya berisi proteolitik pepsin. Parietal cell
berupa sel bulat atau berbentuk piramid dengan satu inti bulat di tengah
berwarna gelap (Rahmawati, 2010:13). Sitoplasma sel parietal sangat asidofil
dan mengandung banyak mitokondria sehingga warnanya tampak sangat
merah saat diwarnai hematoksilin dan eosin (Geneser, 1994:121).
c. Kelenjar Pilorus Kelenjar pilorus merupakan kelenjar tubular berkelok dan
bercabang. Sel-sel kelenjarnya terdiri atas sel parietal yang jumlahnya sedikit,
tetapi di dalam kelenjar ini banyak ditemukan lisozim. Kelenjar ini berisi
hanya satu jenis sel, mempunyai 13
DiigiittallReposiittorryUniiverrsiittasJemberr sitoplasma yang pucat, dengan
inti gepeng atau oval bila terpotong melintang dan terletak di daerah basal
(Geneser, 1994:123). Pada kelenjar ini mengeluarkan mukus, dan sel gastrin
atau sel G akan melepas gastrin yang tersebar diantara sel mukosa pada
kelenjar pilorus. Gastrin akan merangsang pengeluaran HCl oleh parietal cell
dari kelenjar lambung. Perangsangan sel G ini disebabkan adanya mikrovili di
bagian apical (Bajpai, 1987:145; dan Rahmawati, 2010:13).
Fisiologi Lambung Manusia
Lambung mempunyai fungsi motorik dan fungsi pencernaan serta sekresi.
 Fungsi motorik lambung terdiri atas
fungsi reservoir yakni makanan dari esofagus disimpan sementara melalui orifisum
kardiak, kemudian sedikit demi sedikit dicerna menjadi partikel-partikel yang lebih
kecil. Makanan yang telah menjadi partikel kecil kemudian bergerak pada saluran
cerna selanjutnya. Saat makanan bergerak menuju saluran cerna berikutnya, makanan
oleh lambung dicampur dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang
mengelilingi lambung.
 Fungsi pencernaan yaitu proses pencernaan protein oleh pepsin dan asam klorida
(HCl), sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dikonsumsi.
 Fungsi sekresi lambung yaitu sekresi bikarbonat bersamaan dengan sekresi gel mukus
yang berperan sebagai barrier dari asam klorida (HCl) dan pepsin (Price dan Wilson,
1992:374). Asam klorida (HCl) mempunyai peranan penting yakni membunuh bakteri
yang tertelan, membantu pencernaan protein, memberikan pH yang diperlukan agar
pepsin memulai pencernaan protein serta merangsang aliran empedu dan getah
pankreas. Asam klorida disekresi di dalam proksimal lambung oleh parietal cell.
Rangsangan fisiologi lambung untuk memproduksi asam lambung, yakni apabila
memakan suatu makanan.
o Terdapat tiga fase sekresi asam lambung yang saling berhubungan yakni
 Fase vagal merupakan fase disaat hypothalamus dalam cortex
menerima rangsangan untuk pelepasan gastrin dari sel G antrum,
sehingga lambung memproduksi asam lambung.
 Fase gaslik yaitu fase pengeluaran asam total lambung. Fase gaslik
akan berlangsung selama beberapa jam untuk mengosongkan lambung.
 Fase intestinal merupakan fase produksi asam lambung akhir setelah
pengosongan lambung total. Pada fase ini, apabila chime masih berada
di bagian proksimal usus halus, fase akan terus berlanjut secara
kontinu (Sabiston, 1992:517-518).

Sumber :

 (Tortora dan Nielsen, 2017; Drake et al., 2018; Wineski, 2019; Barr dan Almond,
2016).
 Juncquiera
 dr. I Gusti Ayu STOMACH.Histology for Pathologists, third edition, Lippincott
Williams & Wilkins, 2007, PP 589-602

5. Bagaimana biokimia pembetukan asam lambung?


Tanpa bantuan karbonat anhydrase

 Sebelah kiri banyak pembuluh darah


 Tengah sel parietal
 Kanan lumen
 Pada sel parietal ada tiga zat penting yaitu H2O, Ka(Karbonat anhydrase), dan
CO2
 saat kita melihat makan yang enak asetilkolin keluar dan Ketika makanan
masuk hormone gastrin merangsang H2O memecah diri menjadi H+ dan OH-
 OH- akan bereaksi dengan CO2 akan membentuk HCO3- yang kemudian akan
dikeluarkan menuju pembuluh darah melalui transport aktif sekunder dan akan
ditukar/ difusi dengan Cl- yang ada di pembuluh darah
 Saat Cl- sudah banyak di sel parietal akan memicu difusi ke konsentrasi yang
lebih rendah yaitu lumen gaster dengan transport pasif
 H+ tidak mengalami proses apapun sehingga langsung menuju lumen gaster
dengan transport aktif primer dengan bantuan ATP dan terjadi pertukaran K+
dari lumen gaster
 H+ dan Cl- di lumen gaster akan berikatan dan membentuk HCl
Dengan bantuan karbonat anhydrase

 Sebelah kiri banyak pembuluh darah


 Tengah sel parietal
 Kanan lumen
 Pada sel parietal ada tiga zat penting yaitu H2O, Ka(Karbonat anhydrase), dan
CO2
 saat kita melihat makan yang enak asetilkolin keluar dan Ketika makanan
masuk hormone gastrin merangsang H2O memecah diri menjadi H+ dan OH-
 OH- akan bereaksi dengan CO2 dibantu enzim Ka (Karbonat Anhydrase)
menghasilkan H2CO3 yang kemudian akan memecah menjadi H+ dan HCO3-
 HCO3- kemudian akan dikeluarkan menuju pembuluh darah melalui transport
aktif sekunder dan akan ditukar/ difusi dengan Cl- yang ada di pembuluh darah
 Saat Cl- sudah banyak di sel parietal akan memicu difusi ke konsentrasi yang
lebih rendah yaitu lumen gaster dengan transport pasif
 H+ tidak mengalami proses apapun sehingga langsung menuju lumen gaster
dengan transport aktif primer dengan bantuan ATP dan terjadi pertukaran K+
dari lumen gaster
 H+ dan Cl- di lumen gaster akan berikatan dan membentuk HCl
G cel adalah entero endokrin yang menghasilkan gastrin dan ditangkap oleh ecl (entero
cromafin like cell) parakrin yang menghasilkan histamine

Sumber :
https://youtu.be/JdqnUm-2UnU?si=YIaSFTb0N0KJQKS6
https://youtu.be/gvEa4k5YQnA?si=6Pr9yGTpGWtY0_jo
6. Bagaimana mekanisme atau fisiologi tubuh dalam peranan mual dan muntah?

 Dari factor ini


 Mengirim impuls melalui saraf aferen menuju pusat muntah (medulla oblongata)
 Lalu memberikan respon melalui saraf eferen yang dikirim dari nervus vagus
sehingga muncul rasa mual
 Lalu akan terjadi spasme diafragma dan otot abdomen lalu akan menekan organ
instestinal dan juga gaster
 Dimana musculus abdomen akan menekan ke atas kemudan diafragma menekan
kebawah sehingga terjadi kompresi dari dua arah sehingga isi bisa keluar ke atas
melalui esofagus
 Bisa terjadi dua kemungkinan
o Pengeluaran disertasi retching tanpa isi lambung
o Pengeluaran isi lambung (mual disertai muntah)
Sumber :
https://youtu.be/auoDL6NbDTI?si=SNZxmOOwUawF4Zkv

7. Apa faktor resiko dari penyakit dispesia fungsional?


Faktor diet (makanan dibakar, cepat saji, berlemak, pedas, kopi, teh) dan pola hidup
(merokok, alkohol, obat NSAID/aspirin, kurang olahraga) diyakini berkontribusi pada
dispepsia.1,3-5 Rokok dianggap menurunkan efek perlindungan mukosa lambung, sedangkan
alkohol dan obat antiinflamasi berperan meningkatkan produksi asam lambung.
Studi di India pada penderita dispepsia rerata usia 20,43±1,05 tahun, secara signifikan terkait
dengan faktor gaya hidup seperti konsumsi makanan berlemak, rokok, NSAID, dan aktivitas
fisik yang rendah.4 Studi di Arab menganalisis hubungan pola hidup dan diet pada dispepsia.
Sekitar 77 (43,8%) dari 176 pelajar rerata usia 20,67±2,57 tahun menderita dispepsia, dan
terdapat korelasi bermakna dispepsia dengan merokok, kurang tidur, stres, faktor akademis
(p<0,05), sementara alkohol, obat antinyeri, faktor diet (makanan cepat saji, asin, pedas, kopi,
buah, sayur, air) dan tingkat aktivitas fisik tidak memiliki hubungan bermakna dengan
dispepsia.5 Studi di Thailand mendapatkan bahwa dispepsia pada 283 (24%) dari total 1.181
pelajar rerata usia 14,7±1,8 tahun, dengan prevalensi lebih tinggi pada perempuan, riwayat
keluarga ulkus peptikum, riwayat penggunaan obat, alkohol, dan stres berat (p<0,05);
sedangkan diet (makanan cepat saji, berlemak, pedas, produk susu, kafein, minuman bersoda,
konsumsi buah dan sayur) tidak berkorelasi dengan gejala dispepsia pada penelitian tersebut. 8
Faktor risiko dispepsia organik antara lain
 usia >50 tahun,
 riwayat keluarga kanker lambung,
 riwayat ulkus peptikum,
 kegagalan terapi,
 riwayat perdarahan saluran cerna,
 anemia,
 penurunan berat badan,
 muntah persisten,
 perubahan kebiasaan buang air besar,
 penggunaan NSAID dosis tinggi atau jangka panjang, alkohol kronis, dll.
Sumber :
 Purnamasari Lina Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia. RS St. Elisabeth
Semarang vol. 44 no. 12 th. 2017

8. Bagaimana perjalanan Patofisiologi dari dispepsia fungsional!


Sumber :

9. Apa Pemeriksaan penunjang yang dapaat dilakukan untuk menegakkan diagnosis?


Pada fasilitas kesehatan tingkat pertama
a. Pemeriksaan darah lengkap: dapat terjadi anemia, penurunan MCV
b. Pemeriksaan feses: darah samar untuk mengetahui perdarahan saluran cerna
Pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut
1. Pemeriksaan H.pylori (Urea breath test)
2. Pemeriksaan USG dan Endoskopi.
Sumber :
 Purnamasari Lina Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia. RS St. Elisabeth
Semarang vol. 44 no. 12 th. 2017
 Budi lilik.Laporan pendahuluan keperawatan dengan dyspepsia di ruang flamboyant 3
RSUD Salatiga.STIKES Widya Husada. Semarang :2014
10. Bagaimana Tatalaksana yang pada dispepsia fungsional? (nonfarmakologi dan
farmakologi, edukasi)
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres postprandial.
 Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan asam lambung (H2-
blocker, PPI). Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti
metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor asetilkolinesterase),
cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis
5HT1a).12,
 Bila lini pertama gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik
untuk tipe nyeri.12 Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada
beberapa pasien.7 Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat
digunakan secara berurutan ataupun kombinasi.2
 Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut, digunakan antidepresan.7,12
Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari)
selama 8-12 minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak
lebih efektif dari plasebo.15,1Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori
pada kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut umumnya asimptomatik. 2,7,16
 Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau depresi dapat membantu pada kasus dispepsia
sulit/ resisten.16 Terapi psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada
dispepsia fungsional masih belum terbukti.7,8
 Edukasi pasien penting untuk menghindari faktor pencetus seperti mengurangi stres/
kecemasan, memulai pola makan teratur porsi lebih sedikit dan menghindari makanan
pemicu.7,16
 Terapi GERD bertujuan untuk mengurangi jumlah asam lambung yang memasuki
esofagus distal dengan cara menetralkan asam lambung, mengurangi produksi, dan
meningkatkan pengosongan lambung ke duodenum, serta menghilangkan
ketidaknyamanan akibat rasa terbakar.1 Terapi pilihan, yaitu PPI atau H2-blocker,6
dapat didukung dengan pemberian antasida, agonis 5-HT4, atau analog prostaglandin
(sukralfat, misoprostol).1 Edukasi pasien untuk mengurangi makanan/minuman
pemicu gejala dispepsia (pedas, berlemak, asam, kopi, dan alkohol), membiasakan
makan porsi sedikit frekuensi sering, tidak langsung berbaring setelah makan, elevasi
tubuh bagian atas saat tidur dan menurunkan berat badan direkomendasikan.1
 Terapi ulkus H. pylori bertujuan eradikasi kuman dan menyembuhkan ulkus, melalui
3 regimen, yaitu: PPI (co. omeprazole 2x20- 40 mg) atau H2-blocker (co. ranitidine
2x150 mg atau 300 mg sebelum tidur), ditambah dua antibiotik berikut: klaritomisin
2x500 mg, amoksisilin 2x1 g, atau metronidazol 2x400- 500 mg selama 7-14 hari.
Jika alergi terhadap penisilin, diberikan 4 macam terapi, yaitu: PPI (co. omeprazole
2x20-40 mg), bismuth 4x120 mg, metronidazol 4x250 mg, dan tetrasiklin 4x500 mg
selama 10-14 hari.1,6,14 Eradikasi H. pylori perlu diverifikasi dengan tes non-invasif (uji
napas urea, tes antigen tinja) 4 minggu setelah selesai terapi.2
 Terapi ulkus peptikum terkait NSAID adalah dengan menghentikan penggunaan
NSAID atau mengganti dengan antinyeri inhibitor COX-2 selektif.1 Terapi dengan PPI
cukup efektif pada ulkus terkait NSAID (lebih superior dibandingkan H2-blocker).1,2
Infus kontinu PPI selama 72 jam direkomendasikan pada kasus perdarahan ulkus
peptikum berat, untuk mempertahankan pH lambung >6.1
Sumber :
 Purnamasari Lina Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia. RS St. Elisabeth
Semarang vol. 44 no. 12 th. 2017

11. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini jika tidak ditangani dengan
baik?
 Perdarahan saluran cerna bagian atas
 Ulkus peptikum
 Perforasi lambung
 Anemia
 Ca Lambung
 Defiseinsi vitamin B12
 Anemia
Sumber :
 Purnamasari Lina Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia. RS St. Elisabeth
Semarang vol. 44 no. 12 th. 2017

12. Bagaimana prognosis untuk dispepsia fungsional?


 Qua vitam : ad bonam
 Qua sanationam :ad bonam
 Qua functionam : ad bonam
13. Bagaimana aspek etik PBHL?

Anda mungkin juga menyukai