Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERNAFASAN : ASMA BRONCHIAL DI


PANTI WREDHA MADAGO TENTENA
Dibuat untuk memenuhi salah satu Tugas Praktik Profesi Keperawatan
Gerontik

DISUSUN OLEH :

INDRA SAHID

NIM: 2022031013

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

Awiendrawati Ekowiyono, S.Kep Ns. Adesulistyawati, S.Kep., MH.Kes


NIK. 20220901136

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA

2023
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
ditandai dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang
dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan
saluran pernapasan. (Infodatin, 2017).
Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan menjadi
hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, dan
hipersekresi kelenjar.(Nelson, 2013)
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan
peradangan. (Amin & Hardi, 2016). Beberapa faktor penyebab asma, antara
lain umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan.
Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan
dari luar, seperti debu rumah, bulu binatang, asap dan bahan lain penyebab
alergi. Gejala kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma bisa
datang secara tiba-tiba. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran
adanya radang yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian
bawah. Penyempitan iniakibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan,
pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir yang
berlebihan.

2. EPIDEMIOLOGI
Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada
anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju. Sejak dua
dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial meningkat pada
anak maupun dewasa. Prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan 7,2
% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi
pada tiap negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di dalam
suatu negara. Prevalensi asma bronkial di berbagai negara sulit dibandingkan,
tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan
kritertia diagnosis atau karena benar-benar terdapat perbedaan (IDAI, 2010)
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh badan penelitian
dan pengembangan kesehatan dalam rangka mengetahui berbagai prevalensi
penyakit pada tahun 2007 mendapatkan bahwa prevalensi penyakit asma
bronkial di Indonesia adalah sebesar 3,32%. Prevalensi asma bronkial terbesar
adalah di provinsi Gorontalo yaitu sebesar 7,23%, dan terendah adalah di
provinsi NAD (Aceh) sebesar 0,09%

3. PENYEBAB
Menurut (Nelson, 2013) dijelaskan etiologi asma sebagai berikut :
a. Faktor imunologis
Pada beberapa penderita yang disebut asma ekstrinsik atau alergik,
eksaserbasi terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti
debu rumah, tepungsari, dan ketombe. Bentuk asma adanya instrinsik dan
ekstrinsik. Perbedaan intrinsik dan ekstrinsik mungkun pada hal buatan
(artifisial), karena dasar imun pada jejas mukosa akibat mediator pada
kedua kelompok tersebut. Asma ekstrinsikmungkin dihubungkan dengan
lebih mudahnya mengenali 19 rangsangan pelepasan mediator daripada
asma instrinsik.
b. Faktor endokrin
Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan
menstruasi, terutama premenstruasi, atau dapat timbul pada saat wanita
menopause. Asma membaik pada beberapa anak saat pubertas.
c. Faktor psikologis
Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa
yang berpenyakit asma, tetapi “penyimpangan” emosional atau sifat-sifat
perilaku yang dijumpai pad anak asma tidak lebih sering daripada anak
dengan penyakit cacat kronis yang lain.(Nelson, 2013).

4. PATOFISIOLOGI
Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan penyakit
yang disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja, sehingga terapi
utama pada saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti betaegonis dan
golongan 22 metil ksantin saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep baru
ayng kemudian digunakan hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan penyakit
inflamasi pada saluran pernafasan, yang ditandai dengan bronkokonstriksi,
inflamasi, dan respon yang berlebihan terhadap rangsangan
(hyperresponsiveness). Selain itu juga terdapat penghambatan terhadap aliran
udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat penyempitan bronkus.
Akibatnya terjadi hiperinflasi distal, perubahan mekanis paruparu, dan
meningkatnya kesulitan bernafasan. Selain itu juga dapat terjadipeningkatan
sekresi mukus yang berlebihan (Zullies, 2016)
Secara klasik, asma dibagidalam dua kategori berdasarkan faktor
pemicunya, yaitu asma ekstrinsik atau alergi dan asma intrinsik atau
idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena
menghirup alergen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki
keluarga dan riwayat penyakit alergi (baik eksim, utikaria atau hay fever).
Asma instrinsik mengacu pada asma yang disebabkan oleh karena faktor-
faktordi luar mekanisme imunitas, dan umumnya dijumpai pada orang
dewasa. Disebut juga asma non alergik, di mana pasien tidak memiliki riwayat
alergi. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma antara lain : udara
dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga. Khusus untuk asma yang dipicu oleh
olahraga. Khusus untuk asma yang dipicu oleh olahraga dikenal dengan istilah
(Zullies, 2016)
Seperti yang telah dikatakan diatas, asma adalah penyakit inflamasi
saluran napas. Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu respons
inflamasi, baik pada asma ekstrinik maupun instrinsik, tetapi karakteristik
inflamasi pada asma umunya sama, yaitu terjadinya infiltrasi eosinofil dan 23
limfosit serta terjadi pengelupasan sel-sel epitelial pada saluran nafas dan dan
peningkatan permeabilitas mukosa. Kejadian ini bahkan dapat dijumpai juga
pada penderita asma yang ringan. Pada pasien yang meninggal karena
serangan asma , secara histologis terlihat adana sumbatan (plugs) yang terdiri
dari mukus glikoprotein dan eksudat protein plasma yang memperangkap
debris yang berisi se-sel epitelial yang terkelupas dan sel-sel inflamasi. Selain
itu terlihat adanya penebalan lapisan subepitelial saluran nafas. Respons
inflamasi ini terjadi hampir di sepanjang saluran napas, dan trakea samapi
ujung bronkiolus. Juga terjadi hiperplasia dari kelenjar-kelenjar sel goblet
yang menyebabkan hiperserkesi mukus yang kemudian turut menyumbat
saluran napas (Zullies, 2016).
Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel
inflamasi, mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran napas. Sel-sel
inflamasi utama yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada
serangan asma antara lain adalah sel mast, limfosit, dan eosinofil, sedangkan
mediator inflamasi utama yang terlibat dalam asma adalah histamin,
leukotrein, faktor kemotaktik eosinofil dan beberapa sitokin yaitu : interleukin
(Zullies, 2016)
Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari
meningkatnya responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya rangsangan
dari luar, yang disebut alergen. Rangsangan ini kemudian akan memicu
pelepasan berbagai senyawa endogen dari sel mast yang merupakan mediator
inflamasi, yaitu histamin, leukotrien, dan faktor kemotaktik eosinofil.
Histamin dan leukotrien merupakan bronkokonstriktor yang poten, sedangkan
faktorkemotaktik eosinofil bekerja menarik secara kimiawi sel-sel eosinofil 24
menuju tempat terjadinya peradangan yaitu di bronkus (Zullies, 2016)
5. KLASIFIKASI
Keparahan asma juga dapat dinilai secara retrospektif dari tingkat obat
yang digunakan untuk mengontrol gejala dan serangan asma. Hal ini dapat
dinilai jika pasien telah menggunakan obat pengontrol untuk beberapa bulan.
Yang perlu dipahami adalah bahwa keparahan asma bukanlah bersifat statis,
namun bisa berubah dari waktu-waktu, dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke
tahun, (GINA, 2015) Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
a. Asma Ringan
Adalah asma yang terkontrol dengan pengobatan tahap 1 atau tahap 2,
yaitu terapi pelega bila perlu saja, atau dengan obat pengontrol dengan
intensitas rendah seperti steroid inhalasi dosis rendah atau antogonis
leukotrien, atau kromon.
b. Asma Sedang
Adalah asma terkontrol dengan pengobatan tahap 3, yaitu terapi dengan
obat pengontrol kombinasi steroid dosis rendah plus long acting beta
agonist (LABA).
c. Asma Berat
Adalah asma yang membutuhkan terapi tahap 4 atau 5, yaitu terapi
dengan obat pengontrol kombinasi steroid dosis tinggi plus long acting
beta agonist (LABA) untuk menjadi terkontrol, atau asma yang tidak
terkontrol meskipun telah mendapat terapi. Perlu dibedakan antara asma
berat dengan asma tidak terkontrol. Asma yang tidak terkontrol biasnya
disebabkan karena teknik inhalasi yang kurang tepat, kurangnya
kepatuhan, paparan alergen yang berlebih, atau ada komorbiditas. Asma
yang tidak terkontrol relatif bisa membaik dengan pengobatan. Sedangkan
asma berat merujuk pada kondisi asma yang walaupun mendapatkan
pengobatan yang adekuat tetapi sulit mencapai kontrol yang baik.

6. GEJALA KLINIS
Berikut ini adalah tanda dan gejala asma, menurut Zullies (2016), tanda dan
gejala pada penderita asma dibagi menjadi 2, yakni :
a. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
3) Wheezing belum ada
4) Belum ada kelainana bentuk thorak
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE
6) Blood gas analysis (BGA) belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :


1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
2) Wheezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4) Penurunan tekanan parial O2
b. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi
2) Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan
3) Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
5) Thorak seperti barel chest
6) Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
7) Sianosis
8) Blood gas analysis (BGA) Pa O2 kurang dari 80 %
9) Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan
kiri
10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik
Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/ tanpa stetoskop,
batuk produktif, sering pada malam hari, nafas atau dada seperti
tertekan, ekspirasi memanjang
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Ngastiyah (2013), ada beberapa pemeriksaan diagnostik bagi para
penderita asma, antara lain :
a. Uji faal paru
Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil
provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan
penyakit. Alat yang digunakan untuk uji faal paru adalah peak flow meter,
caranya anak disuruh meniup flow meter beberapa kali (sebelumnya
menarik napas dalam melalui mulut kemudian menghembuskan dengan
kuat) dan dicatat hasil.
b. Foto toraks
Foto toraks dilakukan terutama pada anak yang baru berkunjung pertama
kali di poliklinik, untuk menyingkirkan kemungkinan ada penyakit lain.
Pada pasien asma yang telah kronik akan terlihat jelas adanya kelainan
berupa hiperinflasi dan atelektasis.
c. Pemeriksaan darah
Hasilnya akan terdapat eosinofilia pada darah tepi dan sekret hidung. Bila
tidak eosinofilia kemungkinan bukan asma. Selain itu juga, dilakukan uji
tuberkulin dan uji kulit dengan menggunakan alergen.

8. THERAPY
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien asma yaitu:
a. Prinsip umum dalam pengobatan asma:
1) Menghilangkan obstruksi jalan napas.
2) Menghindari faktor yang bisa menimbulkan serangan asma.
3) Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit asma
dan pengobatannya.
b. Pengobatan pada asma
1) Pengobatan farmakologi
a) Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran napas. Terbagi
menjadi dua golongan, yaitu:
 Adrenergik (Adrenalin dan Efedrin), misalnya
terbutalin/bricasama.
 Santin/teofilin (Aminofilin) 20
b) Kromalin
Bukan bronkhodilator tetapi obat pencegah seranga asma pada
penderita anak. Kromalin biasanya diberikan bersama obat anti
asma dan efeknya baru terlihat setelah satu bulan.
c) Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam
dosis dua kali 1mg/hari. Keuntungannya adalah obat diberikan
secara oral.
d) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg jika tidak ada respon
maka segera penderita diberi steroid oral.
2) Pengobatan non farmakologi
a) Memberikan penyuluhan
b) Menghindari faktor pencetus
c) Pemberian cairan
d) Fisioterapi napas (senam asma)
e) Pemberian oksigen jika perlu (Wahid & Suprapto, 2013)
3) Pengobatan selama status asmathikus
a) Infus D5:RL = 1 : 3 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen nasal kanul 4 L permenit
c) Aminophilin bolus 5mg/ KgBB diberikan pelan-pelan selama 20
menit dilanjutkan drip RL atau D5 mentenence (20 tpm) dengan
dosis 20 mg/kg bb per 24 jam
d) Terbutalin 0.25 mg per 6 jam secara sub kutan 21
e) Dexametason 10-2- mg per 6 jam secara IV f) Antibiotik
spektrum luas (Padila, 2013)
9. KOMPLIKASI
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri
dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada
burung dara dan tampak sulkus Harrison. Bila sekret banyak dan kental, salah
satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus 28
segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah atelektasis.
Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkietasis, dan
bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus
menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi
dengan obat-obat yang biasa disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong
dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan pernafasan dan
kegagalan jantung
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Menurut Nuraruf & Kusuma (2015), meliputi :
a. Biodata
Identitas pasien berisikan nama pasien, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, tanggal masuk sakit, rekam medis.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma adalah dispnea
(sampai bisa berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk, dan mengi (pada
beberapa kasus lebih banyak paroksimal).
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor prediposisi timbulnya
penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan riwayat penyakit
saluran nafas bagian bawah (rhinitis, utikaria, dan eskrim).
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien dengan asma sering kali didapatkan adanya riwayat penyakit
turunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak ditemukan adanya
penyakit yang sama pada anggota keluarganya.
e. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
a) Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, klien pada posisi
duduk
b) Dada diobservasi
c) Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah
d) Inspeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya,
skar, lesi, massa, dan gangguan tulang belakang, seperti kifosis,
skoliosis, dan lordosis.
e) Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan
pergerakkan dada.
f) Observasi tipe pernapasan, seperti pernapasan hidung pernapasan
diafragma, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
g) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I)
dan fase eksifirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya 1:2. Fase
ekspirasi yang memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada
jalan napas dan sering ditemukan pada klien Chronic Airflow
Limitation (CAL) / Chornic obstructive Pulmonary Diseases
(COPD)
h) Kelainan pada bentuk dada
i) Observasi kesimetrisan pergerakkan dada. Gangguan pergerakan
atau tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit
pada paru atau pleura
j) Observasi trakea abnormal ruang interkostal selama inspirasi,
yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
2) Palpasi
a) Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keadaan kulit,
dan mengetahui vocal/ tactile premitus (vibrasi)
b) Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat
inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.
c) Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan
ketika berbicara(Nuraruf & Kusuma, 2015)
3) Perkusi Suara perkusi normal :
a) Resonan (sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada
jaringan paru normal.
b) Dullnes : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas
bagian jantung, mamae, dan hati
c) Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut yang
berisi udara
d) Hipersonan (hipersonor) : berngaung lebih rendah dibandingkan
dengan resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah.
e) Flatness : sangat dullnes. Oleh karena itu, nadanya lebih tinggi.
Dapat terdengar pada perkusi daerah hati, di mana areanya
seluruhnya berisi jaringan. (Nuraruf & Kusuma, 2015)
4) Auskultasi
a) Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup
mendengarkan bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan
(abnormal).
b) Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika
melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
c) Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular dan
vesikular.
d) Suara nafas tambahan meliputi wheezing : peural friction rub,
dan crackles.(Nuraruf & Kusuma, 2015)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien asma menurut
SDKI (2017) dan Donsu, Induniasih, dan Purwanti (2015) yaitu :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga memberikan perawatan bagi anggotanya
yang sakit
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga memberikan perawatan bagi anggotanya yang sakit
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga memberikan perawatan bagi anggotanya yang sakit
d. Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengambil
keputusan dalam merawat anggota yang sakit
e. Manajement kesehatan keluarga tidak efektif berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam merawat
anggota yang sakit
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Rencanaan keperawatan merupakan rencana tindakan yang akan diberikan kepada klien sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul. Rencana keperawatan berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI, 2018) dan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI,2019) dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut :

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


1. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Intervensi : Manajement jalan nafas
efektif berhubungan dengan keperawatan diharapkan klien jalan 1. Observasi
ketidakmampuan keluarga nafas klien tetap paten dengan a. Monitor bunyi nafas tambahan
memberikan perawatan bagi kriteria hasil : b. Monitor sputum
anggotanya yang sakit 1. Batuk efektif meningkat 2. Terapeutik
2. Produksi sputum menurun a. Posisikan semifowler atau fowler
3. Mengi menurun b. Berikan minum hangat
4. Wheezing menurun c. Berikan oksigen jika perlu
5. Gelisah menurun 3. Edukasi
6. Frekuensi nafas membaik a. Ajarkan teknik batuk efektif
7. Pola nafas membaik 4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian bronkodilator
Intervensi : Manajement Asma
1. Observasi
a. Monitor frekuensi dan keadaan nafas
b. Monitor tanda dan gejala hipoksia
c. Monitor bunyi nafas tambahan
2. Terapeutik
a. Berikan posisi semifowler 30-45o
3. Edukasi
a. Anjurkan meminimalkan ansietas yang dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen
b. Anjurkan bernafas lambat dan dalam
c. Ajarkan mengidentifikasi dan menghindari pemicu
2. Gangguan pertukaran gas Setelah diberikan tindakan Intervensi : Pemantauan respirasi
berhubungan dengan keperawatan diharapkan pernafasan 1. Observasi
ketidakmampuan keluarga pasien membaik, dengan kriteria a. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
memberikan perawatan bagi hasi : b. Monitor pola nafas
anggotanya yang sakit 1. Tingkat kesadaran pasien c. Monitor kemampan batuk efektif
meningkat d. Monitor adanya produksi sputum
2. Bunyi nafas tambahan menurun e. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
3. Gelisah menurun f. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
4. Nafas cuping hidung menurun g. Auskultasi bunyi nafas
h. Monitor saturasi oksigen
2. Terapeutik
a. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
b. Dokumentasikan hasil pantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil pemantauan
Intervensi : Dukungan ventilasi
1. Observasi
a. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
b. Monitorr status respirasi dan oksigenasi
2. Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan jalan nafas
b. Berikan posisi semifowler atau fowler
c. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
3. Edukasi
a. Ajarkan malakukan teknik relaksasi nafas dalam
b. Ajarkan teknik batuk efektif
3. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Intervensi : Manajement jalan nafas
berhubungan dengan keperawatan pola nafas pasien 1. Observasi
ketidakmampuan keluarga kembali normal, dengan kriteria a. Monitor pola nafas
memberikan perawatan bagi hasil : 2. Terapeutik
anggotanya yang sakit 1. Ventilasi semenit meningkat a. Posisikan semifowler atau fowler
2. Tekanan ekspirasi dan inspirasi b. Berikan oksigen jika perlu
meningkat 3. Edukasi
3. Penggunaan otot bantu nafas a. Ajarkan teknik batuk efektif
menurun Intervensi : Dukungan ventilasi
4. Frekuensi nafas membail 1. Observasi
5. Kedalaman nafas membaik a. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
b. Monitor status respirasi dan oksigenasi
2. Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan jalan nafas
b. Berikan posisi semifowler atau fowler
c. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
3. Edukasi
a. Ajarkan malakukan teknik relaksasi nafas dalam
4. Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Intervensi : Terapi relaksasi otot progresif
ketidakmampuan keluarga keperawatan diharapkan kecemasan 1. Observasi
mengambil keputusan dalam pasien berkurang, dengan kriteria a. Identifikasi tempat yang tenang dan nyaman
merawat anggota yang sakit hasil b. Monitor secara berkala untuk memastikan otot rileks
1. Kekhawatiran akibat kondisi c. Monitor adanya indikator tidak rileks
yang dihadapi menurun 2. Terapeutik
2. Perilaku gelisah menurun a. Atur lingkungan agar tidak ada gangguan saat terapi
3. Perilaku tegang menurun b. Berikan posisi yang nyaman bersandar dikursi atau
4. Frekuensi pernafasan menurun posisi tidur
5. Frekuensi nadi menurun c. Beri waktu mengungkapkan perasaan tentang terapi
6. Tekanan darah menurun 3. Edukasi
7. Pucat menurun a. Anjurkan memakai pakaian yang nyaman dan tidak
8. Konsentrasi membaik sempit
b. Ajarkan langkahlangkah sesuai prosedur
c. Anjurkan menegangkan otot selama 5 sampai 10
detik, kemudian anjurkan merilekskan otot 20- 30
detik, masing masing 4-8 kali
d. Anjurkan menegangkan otot kaki selama tidak lebih
dari 5 detik untuk menghindari kram
e. Anjurkan fokus pada sensasi otot yang menegang f
f. Anjurkan fokus pada sensasi otot yang rileks g.
Anjurkan bernafas dalam dan perlahan
DAFTAR PUSTAKA

Clark Varnell Margaret. (2013). Asma; Panduan Penatalaksanaan Klinis. Jakarta :


EGC

Diagnosa Keperawatan : Definisi Keperawatan 2015-2017. Jakarta: EGC

Huda Amin, Kusuma Hardhi. (2016). Asuhan keperawatan praktis : berdasarkan


penerapan diagnosa Nanda, Nic, Noc. Yokyakarta : Mediaction Jogja.

Ikawati Zullies. (2016). Penatalaksanaan Terapi : Penyakit Sistem Pernafasan.


Yogyakarta : Bursa Ilmu

Infodatin. Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI. ISSN 2442-7659.

Nelson. (2013). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, vol.1. Jakarta : EGC

NIC (2016) Nursing Interventions Classification. Edisi keenam.

Ngastiyah. (2013).Perawatan anak sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

NOC, 2016. Nursing Outcomes Classification. Edisi kelima.

Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep & Praktik.


Jakarta : Salemba Medika

Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta :Nusa Medika

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. (2013). fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Buku Kuliah :Ilmu Kesehatan Anak

Anda mungkin juga menyukai