Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KULIA

 Teori Struktur Fungsional


 Teori Konflik Sebagai Proses Sosial
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
 Politik identitas
Pendidikan Etnis di Indonesia
Multi Kultural

Dosen Pengampu :

Ahmad Atho’ul Karim M.Pd

Disusun Oleh :
Sudi Rahayu

PROGRAM STUDI MENEJEMEN PENDIDIKAN


ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL


ULUM PENARIK
Tahun Pelajaran 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulillah kami haturkan kehadirat Alloh Swt, atas segala
rahmat hidayah dan inayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah”Teori
Struktur Fungsional, Teori Konflik Sebagai Proses Sosial,Politik identitas Etnis di
Indonesia”
Penulis juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Sebagai penyusun,
kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari penyusunan maupun tata
bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari para pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini berguna bagi penulis dan kepada pembaca,
semoga setiap langkah kita selalu di lindungi oleh Alloh Swt dan juga mendapatkan
RidhoNya, aamiin.

Penarik, 2 November 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI………………..
……………………………………………………………………..iii

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………....………...
……………..……3
A. Latar Belakang…………………………………………….......………….…..….3
B. Rumusan Masalah....…………………………………………….………….……4

BAB 11 PEMBAHASAN
A. Teori Struktur Fungsional…….………………………….............……….……...5
B. Teori Konflik Sebagai Proses sosial…….....…..….........................................…10
C. Politik Identitas Etnis di Indonesia………………….......................….…..……14
BAB 111 PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………..………16
B. Daftar Pustaka………………….....…………………………………………….17

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk sosial tidak akan terlepas dari saling keterhubungan,
baik individu antar individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan
kelompok hal inilah yang membuat manusia menjadi mahluk yang ketergantungan. Dan
sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Ilmu
sosiologi dan antropologi yang mengkaji kehidupan manusia sehari-hari memiliki
memiliki banyak sekali kajian dan materi, salah satu materi yang menjadi
pembincangan hangat di dunia barat pada tahun 1930-1950 adalah mengenai teori
struktur fungsional. kajian ini sangat berkaitan mengenai sosial hubungan manusia.

Konflik adalah salah satu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi,
menghambat,atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok
masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi ( antonius dkk, 2002:175)

Konflik atau perselisihan adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar
individu atau antar kelompok orang. Potensi terjadinya konflik akan ada bila dua atau
lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian tujuan dalam
kondisi sumberdaya yang terbatas ( Herman batubara, 2013:7)

Politk identitas menurut Abdilah(2002) merupakan politik yang fokus utama


kajian dan permasalahanya menyangkut perbedaan-perbedaan yang di dasarkan atas
asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan
agama, kepercayaan atau bahasa Darity (2005) mendefinisikan bahwa etnis adalah
kelompok yang berbeda dari kelompok yang lain dalam suatu masyarakat dilihat dari
aspek budaya. Dengan kata lain, etnik adalah kelompok yang memiliki ciri-ciri budaya
yang membedakanya dari kelompok yang lain. Ciri khas budaya yang membedakanya
dari kelompok etnis yang lain terlihat dari aspek kekhasan sejarah, nenek moyang
bahasa dan sibol-simbol yang lain seperti pakaian, agama dan tradisi.

3
B. Rumusan masalah

1. Apa itu struktur fungsional dan bagaimana sejarahnya ?


2. Apa saja teori-teori dari para ahli mengenai struktur fungsional ?
3. Apa pengertian konflik sosial ?
4. Apa teori-teori konflik menurut para ahli ?
5. Bagaimana peran politik identitas etnis ?
6. Bagaimana dampak positif politik identitas etnis ?

4
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

A. TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

Dalam studi sains, teori penting untuk menganalisis serangkaian fakta dan
hubungannya dengan sesuatu yang lain. Teori utama sosiologi ini juga akan membantu
kita untuk lebih memahami fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan
hubungannya dengan hal-hal lain. Baik teori fungsionalisme struktural, teori konflik,
dan teori interaksi simbolik membantu menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana
masyarakat bekerja sehingga kita dapat menarik kesimpulan tentang apa yang dapat kita
lakukan untuk memperbaiki masyarakat kita.(Nugroho 2021, 15)

Teori struktural fungsional seringkali disebut sebagai perspektif fungsionalisme


adalah isi kajian yang mengemukakan tentang keseimbangan sosial yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Kesimbangan ini sendiri biasanya diperoleh karena masyarakat
dianggap sebagai susunan organisme yang saling berkitan antara satu dengan lainnya.
(Dosen Sosiologi 2023)

Organisme yang terbentuk dalam arti masyarakat menyebabkan adanya stabiltas


tatanan sosial yang di dapatkan dari berbagai tipe lembaga sosial dimasyarakat, baik
lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, ataupun lembaga pendidikan.

Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi


dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat
secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-lemen konstituennya; terutama norma,
adat, tradisi dan institusi.(Sujatmiko, n.d.)

Jenis Teori Struktural Fungsional Menurut Para Ahli

Penjelasan teori struktural fungsional tidak terlepas sebagai konsep dasar


sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, adapun para ahli yang menjelasakan tentang teori
sosiologi dan tokohnya ini antara lain;

1) Emile Durkheim

5
Emile Durkheim, adalah ahli sosiologi yang lahir pada Tahun 1858 dan
meningal pada tahun 1817. Ia salah seorang tokoh paling penting dalam sejarah
sosiologi. Bahkan dia sendiri diakui atas jasanya menjadikan sosiologi sebagai
sebuah ilmu pengetahuan, ketika ia menerapkan metodologi empiris pada
kajiannya.
Teori struktural fungsional menurut Emile Durkheim adalah susunan
masyarakat sebagai bagian tatanan sosial yang mengindikasikan bahwa memiliki
hidup harmonis. Fungsionalisme disini fokus pada struktur sosial yang levelnya
makro dalam masyarakat, hal ini juga ia tegaskan bahwa masyarakat sebagai
kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
2) Talcott Parsons
Talcott Parsons, adalah ahli sosiologi yang memberikan penjelasan
mengenai teori struktural fungsional sebagai bagian keseimbangan dalam adanya
institusi sosial, yang diakuinya akan eksis atau dikenal masyarakat apabila
berhasil menjalankan tugas serta fungsinya dengan baik, tanpa memberikan
perbedaan sedikitpun.
3) Robert K. Merton
Robert K. Merton, adalah tokoh sosiologi yang banyak menjelasakan tentang
bentuk kelompok sosial, bahkan ia sendiri menjelaskan anomi sebagai prilaku
dalam penyimpangan sosial yang dapat menganggu hubungan masyarakat. Pada
dasarnya Robert memberikan pandangan bahwa struktural fungsional adalah
kehidupan masyarakat dalam kesimbangan sosial yang akan berjalan jika
keteraturan sosial difungsikan dengan baik utamanya ketika adanya beragam
bentuk perubahan sosial yang terjadi.(Dosen Sosiologi 2023)
Pendapat Robert K. Merton yang mashur adalah
a. Fungsionalisme Struktural
Fungsionalisme Struktural atau lebih popular dengan ‘Struktural
Fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem
umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam
khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara
mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Pendekatan
strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya

6
pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem
sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya
berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah
konsep fungsi dan konsep struktur.
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok fungsionalisme adalah sebagai
berikut:
1. Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung,
dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap
bagian-bagian lainnya.
2. Setiap bagian dari masyarakat eksis karena bagian tersebut
memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan
stabilitas masyarakat secara keseluruhan, karena itu eksistensi
satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila
fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat
diidentifikasi.
3. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk
mengintegrasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat
merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari
mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat kepada
serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.
4. Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan
homeostatis, dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung
menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai
harmoni dan stabilitas.
5. Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam
masyarakat, tetapi bila itu terjadi, maka perubahan pada
umumnya akan membawa kepada konsekwensi-konsekwensi
yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan(Adibah
2017)
b. Teori Jarak Menengah (Midlde Range Teory)

7
Sama seperti Talcott Parsons yang membangun teori Imperative
Fungsional, Robert K. Merton meluncurkan kritik dari strategi
fungsional Parsons untuk membangun teoi sosiologi. Dengan fasih dan
meyakinkan Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus
lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan
“teori-teori taraf menengah” dari pada teori-teori besar.
Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton adalah
sebagai teori yang terletak diantara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu,
yang berkembang semakin besar selama penelitian dari hari ke hari, dan
usaha yang mencakup semuanya mengembangkan suatu teori terpadu
yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku
sosial. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi
untuk membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan
penghubung teori umum mengenai sistem social yang terlalu jauh dari
kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, dan perubahan untuk
mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci
secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak digeneralisasi sama
sekali.(Adibah 2017)
Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang saling
terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa di peroleh. The
middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi
hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh
dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan
teori yang utuh. Merton mengajukan suatu argumentasi dasar bahwa
suatu teori harusnya tidak terlalu jauh dari bumi, dan sebagai jalan keluar
atas kesulitan teori fungsionalisme ala Parsons, maka Merton
mengembangkan suatu pendekatan teori tengah. Middle range teori pada
dasarnya berupaya untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan
bukti empiris. Tentu saja hal ini mudah di mengerti , mengingat Merton
mengkritisi para teoritis yang tidak memperhatikan bukti empiris, dan
para peneliti yang hanya mengumpulkan data berupa bukti empiris tanpa

8
memahami teori, Middle range teori dengan demikian di maksudkan
sebagai jembatan bagi para teorisi dan peneliti(Adibah 2017)

B. TEORI KONFLIK SEBAGAI PROSES SOSIAL

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.(Nilam 2017) Para
teoritisi konflik datang dengan mempertanyakan mengapa interaksi terjadi dan seiring
berjalan waktu bagaimana perubahan-perubahannya. Selanjutnya terlihat bahwa seluruh
teoritisi konflik dapat mengatakan perbedaan terhadap pendidikan dengan merujuk
terhadap akar struktural.(Poerwanto 2013, 25)

Pada tahun 1950-an hingga 1960-an teori konflik berkembang pertama kali.
Teori konflik berkembang berkat peran sejumlah teoretikus dan tempat awal mulanya
adalah di daratan Eropa dan kemudian meyeberang ke Amerika (Haryanto, 2016; 39).
Akibat berbagai kritik dan sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural teori
konflik dapat berkembang. Teori konflik mempersiapkan berbagai macam pilihan
terhadap fungsionalisme struktural, namun dalam beberapa tahun terakhir sudah
digantikan oleh berbagai pilihan teori neo-Marxian, salah satu kontribusi utama teori
konflik adalah menempatkan dasar untuk teori-toeri yang sangat diperlukan atau
digunakan oleh pemikiran Marx. Konflik awal dalam teori konflik adalah teori itu tak
pernah berhasil memutuskan dirinya dari akar struktural fungsionalnya. Teori ini lebih
merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang sombong dibandingkan teori yang
betul-betul berpandangan kritis terhadap masyarakatnya (Ritzer dan Goodman, 2010;
153).

Dalam teori ini masyarakat dinilai seolah-olah tidak menetap atau permanen,
terutama penyebab dari dinamika yang berkuasa, selalu bekerja, memelihara dan
mengejar kedudukannya. Teori struktural konflik menganggap kelompok-kelompok
tersebut tidak pernah terintegrasi dan memiliki maksud sendiri yang beraneka ragam.
Untuk menuju maksudnya, sebuah kelompok malah harus mengorbankan kelompok lain

9
dibandingkan kelompoknya pribadi. Dari kejadian tersebut sering muncul masalah dan
yang memelihara posisinya serta meningkatkan kedudukannya adalah kelompok yang
tergolong kuat. Secara berkesinambungan terus terjadi mempertahankan kekuasaan,
mengembangkan dan perjuangan merebut kedudukan. Ketika dominasi suatu kelompok
mampu memelihara keseimbangan kekuasaan dengan kelompok lain secara baik
barulah stabilitas terjadi dan itupun hanya bersifat sesaat. Setelah itu masalah sosial
terjadi dalama kehidupan lagi.

Berbagai perubahan sosial dan kebudayaan. dapat berakibat menguntung- kan


atau sebaliknya. Jika lerjadi perubaban, tidak selalu berada pads tingkat yang sema.
Pada suatu waktu, terjadi perubahan besar, sedang pada kebudayaan lainnya, hanya
mengalami perubahan yang kurang berarti.Upaya mengklasifikasikan permasalahan
yang berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi, merupakan tahapan yang harus
dilakukan oleh para ahli antropologi. Hal ini dimaksudkan agar fenomena perubahan
dan stabilitas suatu kebudayaan lebih dapat dipahami. dan menjadi bahan analisisnya.
(Poerwanto 2013)

Ciri-ciri yang lain dari teori konflik adalah sebagai rasionalisasi untuk
keberadaan kelompok yang berkuasa lebih memandang moral, ide dan nilai. Landasan
untuk perubahan terdapat pada struktur masyarakat dan tidak terdapat pada nilai-nilai
seseorang. Dengan demikian, kekuasaan menempel pada posisi orang dalam masyarakat
dan tidak menempel dalam diri seseorang. Teori konflik memiliki fungsionalisme
struktural adalah berpatokan pada belajar susunan hubungan dan lembaga-lembaga
sosial, hanya bedanya fungsionalisme struktural menilai masyarakat adalah menetap,
tertata bagus dan masing-masing bagiannya menyumbangkan stabilitas dan
menyebarkan nilai untuk memelihara kohesi. Sedangkan teori konflik memandang
masyarakat terus-menerus menciptakan perubahan sosial, tidak menetap dan masing-
masing bagian dalam masyarakat potensial memacu. Teori ini lebih menekankan pada
peranan kekuasaan dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial (Usman, 2012; 55-56).

Dalam hubungan dengan lingkungannya, manusia cenderung memahaminya


melalul budaya yang dimiliki; misalnya pengetahuan tentang sistem simbol, pemaknaan
dan sistem nilai (Sahlins, 1977) . Sementara itu, sering kali pertimbangan praktis juga
dijadikan dasar untuk memberikan jawaban atas perubahan yang sedang teadi (Kessing .

10
1971) . Kebudayaan bukan hanya dikembangkan oleh slam pemikiran manusia,
melainkan juga terbentuk dan dihasilkan oleh sistem sosiallertenlu. Untuk itu
diper1ukan perspektif teoritis yang dapat menjelaskan kekuatan-kekuatan pembentuk
dan penghambat suatu perubahan. Di satu pihak perubahan dapat dikaji melatui sistem
pemaknaan, dan di lain pihak juga harus memperhatikan sistem hubungan sosial.

Kelompok dan lembaga sosial adalah bentuk struktural dari masyarakat. Dalam
menghadapi situasi tertentu, dinamika- nya akan tergantung pada pola-pola perilaku
para warganya. Dinamika suatu masyarakat tercermin dalam perkembangan dan
perubahan yang terjsdi, yaitu akibal hubungan orang-perorangan, antar kelompok
maupun antara orang perorangan dengan kelompok. Berbagai benlu k interaksi sosial
yang ditandai oleh terjadi- nya konlak dan komunikasi, merupakan aspek penting untuk
mempelajari proses- proses sosial. Apablla terjadi suatu perubahan yang menyebabkan
goyahnya sendi-sendi kehidupan yang ada, pengetahuan tentang proses-proses sosial
akan dapat dipakai guna memahami peri-taku yang akan muncul (Gillin dan Gillin ,
1954).

Potensi Konflik dan Ekspresi Kesukubangsaan Pada akhir-akhir ini, konflik


yang berdimensi kesukubangsaan merupakan fenomena umum di banyak negara , dan
biasanya bahaya latent. Melemahnya semangat lntegrasi dan rnenguatnya loyalilas serta
solidaritas kesuku-bangsaan yang berdimensi politik, sering rnencuat ke permukasn.
Sebagai akibatnya . kondisi seperti itu tidak jarang menggiring suatu bangsa yang plural
ke dalam sikap saling bermusuhan. Pada akhimya, hal seperti itu akan berrnuara kepada
terjadinya disinlegrasi suatu negars kebangsaan , dengan tuntutan pembagian witayah
sehingga memungkinkan munculnya negara nasional baru yang lebih homogen
(Horowitz. 1985)

Ciri-ciri yang lain dari teori konflik adalah sebagai rasionalisasi untuk
keberadaan kelompok yang berkuasa lebih memandang moral, ide dan nilai. Landasan
untuk perubahan terdapat pada struktur masyarakat dan tidak terdapat pada nilai-nilai
seseorang. Dengan demikian, kekuasaan menempel pada posisi orang dalam masyarakat
dan tidak menempel dalam diri seseorang. Teori konflik memiliki fungsionalisme
struktural adalah berpatokan pada belajar susunan hubungan dan lembaga-lembaga
sosial, hanya bedanya fungsionalisme struktural menilai masyarakat adalah menetap,

11
tertata bagus dan masing-masing bagiannya menyumbangkan stabilitas dan
menyebarkan nilai untuk memelihara kohesi. Sedangkan teori konflik memandang
masyarakat terus-menerus menciptakan perubahan sosial, tidak menetap dan masing-
masing bagian dalam masyarakat potensial memacu. Teori ini lebih menekankan pada
peranan kekuasaan dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial (Usman, 2012; 55-56).

Adapun strategi konflik yang disebutkan oleh Stephen K Sanderson (Stephen K.


Sanderson, 2020), adalah sebagai berikut :

1. Kehidupan sosial merupakan arena konflik atau pertentangan di dalam


kelompok-kelompok yang bertentangan.
2. Berbagai sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik adalah hal penting,
sehingga berbagai kelompok berusaha untuk merebutnya.
3. Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah adanya pembagian masyarakat
menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang
tersubordinasi.
4. Pola sosial dasar dari suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial
dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
5. Konflik dan pertentangan sosial dalam yang ada dalam berbagai masyarakat
melahirkan kekuatan-kekuatan yang mampu menggerakkan perubahan sosial.
6. Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka
perubahan sosial juga menjadi hal umum yang sering terjadi.(Poerwanto 2013)

Dalam sosiologi, kita mengenal adanya teori konflik yang berupaya memahami
konflik dari sudut pandang ilmu sosial. Teori konflik adalah sebuah teori yang
memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai
yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori konflik lahir sebagai
sebuah antitesis dari teori struktural fungsional yang memandang pentingnya
keteraturan dalam masyarakat.

Teori konflik ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung
terhadap teori struktural fungsional, karena itu tidak mengherankan apabila preposisi
yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan preposisi yang terdapat
dalam teori struktural fungsional. Kalau menurut teori struktural fungsional memandang

12
masyarakat dalam kondisi statis atau lebih tepatnya bergerak dalam kondisi
keseimbangan, maka menurut teori konflik malah sebaliknya. Masyarakat senantiasa
berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan yang terus menerus
diantara unsur-unsurnya. Kalau menurut teori struktural fungsional setiap elemen atau
setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas maka teori konflik melihat
bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disitegrasi sosial. Kontras
lainnya adalah bahwa penganut teori struktural fungsional melihat anggota masyarakat
terikat secara informal oleh nilai-nilai, norma-norma, dan moralitas umum, maka teori
konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan orang yang
berkuasa.(Rosana 2015)

Teor teori Konflik menurut Para Ahli

a. Menurut Karl Marx dan Weber

menurut Marx dan Weber, konflik dan konflik kepentingan masing-masing individu
dan setiap kelompok saling bertentangan dan merupakan penentu terpenting
organisasi kehidupan sosial. Karl Marx (1818-1883) dianggap sebagai pelopor
penting teori konflik. Dasar pemikiran Marx adalah eksploitasi massal, yang
diyakini sebagai pendorong utama kekuatan sejarah. Marx menganggap perbedaan
kelas, yang salah satunya disebabkan oleh proyek industrialisasi, dan ini hanya
mengejar keuntungan ekonomi (Musleh Wahid, 2019). Perjuangan masyarakat kelas
merupakan konsep fundamental yang dikonseptualisasikan oleh Karl Marx pada saat
itu yang dikelilingi oleh industrialisasi pada abad ke-19: industrialisasi menciptakan
kelas pekerja dan industrialis, yang pada gilirannya menyebabkan keterasingan.
(Nugroho 2021)

b. Stephen K Sanderson (Stephen

K. Sanderson, 2020), adalah sebagai berikut :

a. Kehidupan sosial merupakan arena konflik atau pertentangan di dalam


kelompok-kelompok yang bertentangan.
b. Berbagai sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik adalah hal penting,
sehingga berbagai kelompok berusaha untuk merebutnya.

13
c. Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah adanya pembagian masyarakat
menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang
tersubordinasi.
d. Pola sosial dasar dari suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial
dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
e. Konflik dan pertentangan sosial dalam yang ada dalam berbagai masyarakat
melahirkan kekuatan-kekuatan yang mampu menggerakkan perubahan sosial.
(Nugroho 2021)

c. Ralf Dahrendolf

Ralf Dahrendolf berasumsi bahwa masyarakat setia dalam proses perubahan dan
konflik. Konflik dan berbagai elemen masyarakat yang ada dalam sistem sosial
dianggap berkontribusi terhadap disintegrasi dan perubahan. Baginya, ketertiban
yang dapat diciptakan dalam masyarakat tidak lain adalah paksaan terhadap
anggotanya, yang dilakukan oleh yang berkuasa. Artinya kekuasaan dalam sistem
sosial ini berperan dalam menjaga ketertiban dalam masyarakat.

d. Lewis A. Coser

Lewis A.Coser berpendapat bahwa konflik memiliki fungsi positif jika mampu
dikelola dan diekspresikan sewajarnya. Teori konflik yang dikemukakakn oleh
Lewis A.Coser mempengaruhi sosialogi konflik pragmatis atau multidisipliner, yang
digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan ataupun organisasi modern
lainnya.

Beberapa kritik yang ditujukan pada teori konflik, meliputi :

a. teori konflik dianggap mengabaikan ketertiban dan stabilitas dalam masyarakat.


Padahal, sekalipun konflik konflik dan perubahan adalah bagian dari
masyarakat, tapi bukan berarti masyarakat tidak pernah mengalami kondisi
dengan ketertiban dan stabilitas.
b. teori konflik memiliki dasar ideologi radikal. Sama halnya dengan
fungsionalisme yang dikritik karena ideologi konservatifnya, kedua teori ini

14
dianggap tidak cukup memadai dalam menganalisa kehidupan sosial masyarakat
karena masing – masing hanya dapat menerangkan sebagian kehidupan sosial
saja. Padahal, diperlukan perspektif teoritis yang mampu menerangkan konflik
dan ketertiban sekaligus.(Nugroho 2021)

C. POLITIK IDENTITAS ETNIS DI INDONESIA

Pertama kali batasan tentang politik identitas dicetuskan oleh feminis kulit hitam
Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Pada awalnya politik
identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang
selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton dari pada nilai strategis perbedaan.
Demokrasi di tengah masyarakat yang plural tidak selalu mulus. Kita menghadapi
berbagai persoalan. Harus diakui pesta demokrasi seperti pemilihan kepala negara dan
kepala daerah langsung turut mendorong politik identitas.

Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan, salah satunya adalah


merebaknya politik identitas yang mengedepankan identitas golongan atau simbol
tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.mPolitik identitas yang dimaksud adalah
politisi yang mengedepankan identitas seperti suku, ras, agama, dan identitas
kedaerahan untuk meraih suara terbanyak ketimbang program kerja yang paling baik
untuk kepentingan masyarakat atau politik yang berorientasi kerja.

Politik identitas pada dasarnya sesuatu yang alamiah, nilai dan keyakinan yang
ada dalam diri setiap manusia. Hanya, saja tingkat pendidikan, hukum, regulasi, nilai
dan pemahaman tiap manusia pada setiap region bahkan negara kesadaran untuk tidak
mengkedepankan ini menjadi pembeda. Buruknya, politik identitas yang membuat
masyarakat terpecah, mereka tidak lagi peduli bagaimana mengembalikan agar
masyarakat bersatu kembali sebagai bangsa yang berbeda tetap satu tujuan, Bhineka
Tunggal Ika. Dalam rangka memuluskan politik identitas di atas, tidak jarang para
politisi memproduksi ragam berita bohong yang mendorong ujaran kebencian dan m
enyumbangperpecahan di masyarakat. Berita bohong, atau lebih dikenal dengan sebutan
hoax, sengaja dibuat tim para pemenang untuk menjatuhkan lawan politik dengan
ragam berita bohong. Dalam etnis cenderung dijadikan sebagai legitimasi politik untuk
meraih kekuasaan, kelompok yang tergabung secara struktural dimanfaatkan oleh

15
pelaku lokal guna mencapai kekuasaan melalui proses politik yang cenderung
memobilisasi jaringan melalui identitas yang diciptakan untuk memenangkan
pertarungan(Baidawi 2022)

Sebelum masa media sosial berkembang, berita bohong lebih banyak beredar
dari mulut ke mulut dan terbatas di masa atau wilayah tertentu. Seiring pertumbuhan
internet, media sosial pun berkembang luas dankarenanya berita bohong pun tumbuh
dan berkembang. Berita bohong tidak lagi terkendali ketika media sosial kini berada di
tangan para penggunanya melalui telepon genggam pintar (smart phone). Asal
terhubung internet, semua informasi baik berita kredibel maupun berita bohong beredar.

Identifikasi identitas etnik yang lazim dilakukan pada masyarakat multi etnik
senantiasa diarahkan pada situasi dan konteks dimana seseorang berada. Dalam konteks
politik, terutama dalam pilkada, identifikasi identitas etnik menjadi hal penting dalam
aktifitas politik. Identitas etnik adalah sesuatu yang problematik ketika dihadapkan
dengan komunikasi politik, terutama dalam sistem pemilu yang demokratis. Hal tersebut
bisa menjadi pembeda atau ko-identifikasi bagi pihak-pihak yang menggunakannya
untuk tujuan meraih dukungan politik. Pada awalnya politik identitas etnis lebih
mengarah pada gerakan kaum yang terpinggirkan dalam kondisi sosial, politik dan
kultural tertentu dalam masyarakat.

Dalam perjuangan politiknya, penggunaan identitas etnis memberi hasil positif


yang berpengaruh secara signifikan. Secara operasionalnya, politik identitas etnis adalah
konsep kunci dalam arena politik yang memanfaatkan penggolongan manusia
berdasarkan perbedaan yang disebabkan oleh ketimpangan atau ketidakadilan dalam
pendistribusian sumber daya ekonomi, kekuasaan, wilayah, peluang kerja. Mendukung
ini, Usman Hamid salah seorang aktivis demokrasi mengatakan politik identitas di
Indonesia telah digunakan sebagai alat untuk mengembalikan distribusi sumber daya.

Saat ini politik identitas tidak dapat dihindari di dalam demokrasi. Bahkan
politik identitas merupakan sebuah fenomena politik yang tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya dengan pola dan karakteristik sesuai
dengan konteks yang terjadi di negara tersebut. Dalam demokrasi, politik identitas
merupakan tindakan pengorganisasian identitas tertentu secara politis yang sering kali
digunakan dalam rangka penyaluran aspirasi untuk memengaruhi baik kebijakan

16
maupun tujuan kekuasaan. “Bila politik identitas digunakan secara berlebihan dan
dimanipulasi dengan cara membenturkan identitas lain, tentunya akan menimbulkan
polarisasi di tengah masyarakat.

Lalu, apakah Politik Identitas Baik?, dalam hal ini Francis Fukuyama menyebut
politik identitas sebagai salah satu "ancaman utama" yang dihadapi demokrasi,
mengalihkan energi dan berpikir jauh dari masalah yang lebih besar, seperti
meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi. "Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu
yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil? “Di
jalan ini terletak, pada akhirnya, kehancuran dan kegagalan negara,” Fukuyama
memperingatkan.

Jika logika politik identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas
satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi individu dan
setiap individu, adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua. Jadi,
menurut Fukuyama, daripada menuju politik identiitas, kita harus bergerak menuju
politik solidaritas. Tetapi agar solidaritas itu bertahan, ia harus bergulat dengan politik
identitas. Politik identitas, dengan segala kekurangannya, tidak bertentangan dengan visi
nasional yang menyeluruh menjadikan kita satu. Politik identitas yang berlebihan akan
bermuara pada konflik SARA, tidak saja berimplikasi pada kualitas demokrasi tapi juga
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Idealnya identitas yang dibawa ke dalam
politik tersebut diperankan dalam koridor etika dan moral, sehingga tidak ada hak orang
lain yang dilanggar serta tidak mengganggu ketertiban umum.(Yudha, Amalia Fitri, and
Arini 2022)

17
18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Merujuk kepada hasil Pembahasan ya ng merupakan jawaban terhadap beberapa
Permasalaha pada Makalah ini, maka dapat disimpulkan :
Berdasarkan yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa teori
strukturalfungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki hubungan dan keteraturan
yang samadengan yang dipertahankan oleh consensus umum. Sedangkan teori konflik
cenderungmenekankan kekacauan antar fakta sosial serta gagasan mengenai keteraturan
dipertahankanmelalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Dalam pendidikan,
suasana kondusifselalu harus dijaga dan menghindari konflik dengan stakeholders
.Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dengan kelompok
lain dapatmemperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur
ke dalam duniasosial sekelilingnya. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang
sebenarnya dapatmemperkuat struktur sosial. Sehingga ketiadaan konflik bukanlah
indikator dari kekuatandan kestabilan suatu hubungan. Pendidikan yang dilaksanakan
baik pemerintah maupunswasta adalah pendidikan yang tidak statis, akan tetapi penuh
dengan dinamika sosial.Konflik yang terjadi dalam pendidikan adalah bagian dari
proses konstruksi pendidikankearah yang lebih baik
Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa “arti” munculdari proses
interaksi sosial yang telah dilakukan. Seorang pendidik tidak cukupmenjastifikasi
peserta didiknya dari hasil penilaian sesaat dan parsial, tetapi penilaian ituharus holistic
dan berkelanjutan yang didasarkan pada interaksi timbal balik. SedangkanAsumsi dasar
teori tindakan adalah bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya dandari situasi
lingkungan yang mengitarinyaPemahaman teori interaksi simbolik diperlukan untuk
memperoleh pemahaman interpretatif terhadap fenomena sosial yang ada. Esensi utama
dari interaksionisme simbolik itu sendiri adalah fokus mempelajari hakikat interaksi,
yang merupakan aktivitas sosial manusia yang dinamis. Politk Identitas yang muncul
merupakan Penguatan dan Kesadaran pentingnya berpolitik untuk memajukan
Etnisnya. Bangsa Indonesia merupakan Bangsa yang Multi Etnis, maka hal itu akan
menimbulkan Konflik Antar Etnis, selusinya adalah harus dibingkai dengan Fluralisme
(Nasionasilme)

19
B. DAFTAR PUSTAKA

Adibah, Ida Zahara. 2017. “Struktural Fungsional Robert K. Merton: Aplikasinya


Dalam Kehidupan Keluarga.” Jurnal Inspirasi 1 (1): 172.
http://ejournal.undaris.ac.id/index.php/inspirasi/article/view/12/11.

Baidawi, Ahmad. 2022. “Praktek Etnisitas Dalam Politik Identitas Di Tengah


Multikulturalisme Bangsa Indonesia.” Jurnal Sains Sosio Humaniora 6 (2): 217–
27.

Dosen Sosiologi. 2023. “TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL.” Sosiologi 2.

Nilam, Rafika. 2017. “Manajemen Pendidikan ‘ Teori Konflik.’” Deepublish.

Nugroho, Ari Cahyo. 2021. “Teori Utama Sosiologi (Fungsionalisme Struktural, Teori
Konflik, Interaksi Simbolik).” Majalah Ilmiah Semi Populer Komunikasi Massa 2
(2): 185–94. https://portal-ilmu.com/teori-utama-sosiologi/.

Poerwanto, Heri. 2013. “Teori Konflik Dan Dinamika Hubungan Antarsuku-Bangsa.”


Humaniora 1 (6).

Rosana, Ellya. 2015. “Konflik Pada Kehidupan Masyarakat.” Al-AdYaN 10 (2): 218.

Sujatmiko, Agung Tri Haryanta dan Eko. n.d. “Kamus Sosiologi.” Aksara Sinergi
Media.

Yudha, Gesit, Tin Amalia Fitri, and Isti Arini. 2022. “Politik Identitas Etnis Dan
Representasi Praktek Kekuasaan Simbolis Dalam Harmonisasi Antar Etnis.”
Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam 18 (1): 77–96.
https://doi.org/10.24042/tps.v18i1.12902.

20
21

Anda mungkin juga menyukai