Anda di halaman 1dari 100

1

BAHAN/MATERI AJAR
MATA KULIAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM
‫ِبْس ِم ِهَّللا الَّر ْح َم ِن الَّر ِحيم‬
‫ َﻭ َﻣ ْﻦ َﺃَﺭ ﺍَﺩ ُﻫَﻤ ﺎ َﻓَﻌ َﻠْﻴِﻪ ِﺑﺎْﻟِﻌ ْﻠﻢ‬، ‫ َﻭ َﻣ ْﻦ َﺃَﺭ ﺍَﺩ ﺍَﻷِﺧَﺮ َﺓ َﻓَﻌ َﻠْﻴِﻪ ِﺑﺎْﻟِﻌ ْﻠِﻢ‬، ‫َﻣ ْﻦ َﺃَﺭ ﺍَﺩ ﺍﻟُّﺪ ْﻧَﻴﺎ َﻓَﻌ َﻠْﻴِﻪ ِﺑﺎْﻟِﻌ ْﻠِﻢ‬
Artinya : “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barang siapa
yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu.Barang siapa yang mengingin-
kan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”
‫َم ْن َج َّد َو َج َد‬
siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan menemukan atau siapa yang bersungguh-
sungguh maka ia akan berhasil.
PERTEMUAN KE SATU.
MORALITAS ETIKA AKADEMIK SIKAP ILMIYAH DAN OBJEKTIF
(Kontrak Kuliah)
1. Perkenalan dengan memberikan apresiasi, motivasi dan mengajak mahasiswa
bermimpi membayangkan nilai-nilai hidup sebelum, sedang dan setelah mengikuti
kuliah sesuai dengan program dan prodi yang dipilih dengan semangat untuk
berlomba dalam berprestasi.
2. Melakukan absensi dengan memperkenalkan nama-nama mahasiswa beseta latar
belakangnya dan kondisi keluarga yang mendukung sehingga mahasiswa dapat
menyelesaikan kuliahnya dengan baik mengajak mahasiswa untuk mengutamakan
kuliah dari pada kegiatan yang lain yang menghambat proses penyelesaian
pendidikan.
3. Menjelaskan sistem perkuliahan perhitungan kali pertemuan dengan rumus 1 s/d 7
proses penyampaian materi ke 8 UTS, lalu dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya
9 s/d 15 dengan materi-materi berikutnya.
4. Menjelaskan sistem penilaian dalam dan selama mengikuti perkulian:
a. Nilai kehadiran (absensi) setiap kali dosen masuk melakukan absensi dengan
mencatan (A, I, dan S) dan meminta kepada mahasiswa bila berhalangan hadir
membuat bukti fisik (surat) untuk dijadikan catatan administrasi dalam penilaian.
b. Nilai tugas, pada setiap priode pembelajaran dilakukan penajaman kemampuan
dan keterampilan sebagai upaya melatih mahasiswa menyusun dan membua tugas
(resume, makalah, hafalan, presentasi dll) sehingga mahasiswa memiliki Kognitif,
afektif dan psikomotorik.
c. Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) untuk menguji daya ingat mahasiswa setelah
mengikuti perkuliahan selama 7 x pertemuan, maka pada pertemuan ke 8
dilakukan UTS yang dilakukan berdasarkan kalender akademik yang diberla-
kukan pihak fakultas.
d. Nilai Ujian Akhir Semester (UAS) pada akhir semester dengan mempedomani
kalender pendidikan dan perhitungan kali pertemuan PBM sudah mencapai 15 x
maka mahasiswa wajib mengikuti UAS dan kegiatan ini sangat menentukan
perhitungan nilai akhir mahasiswa pada akhir mengikut perkuliahan semester
berjalan.
Semua penjelasan ini disampaikan secara jelas kepada seluruh mahasiswa untuk
dapat difahami dan diharapkan tidak ada permasalahan bagi dosen dan mahasiswa
dalam melaksanakan program pembe lajaran selama satu semester berjalan.
2

5. Mengajak mahasiswa selalu menyiapkan diri mengutamakan kuliah, mendisiplinkan


diri saat kuliah masuk sesuai waktu pulang berdasarkan waktu, berkomunikasi
dengan dosen untuk pelaksanaan perkuliahan.
6. Secara administrasi pada kelas ada perangkat kelas yang selalu siap bekerjasama,
melengkapi sarana kelas yang dibutuhkan, termasuk keberadaan ruang belajar
sebagai tempat PBM berlangsung.
7. Kegitan Kontrak kuliah disetujui dan mahasiswa 1 kelas siap untuk melaksanakan
perkuliahan dengan baik, sehingga materi kuliah siap dilaksanakan pada pertemuan
ke 2 sesuai jadwal.
PERTEMYAN KE DUA
KONSEP, RUANG LINGKUP DAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
A. Memahami Konsep Dasar dan Lingkup Kajian
Memahami pendidikan Islam dapat ditelusuri melalui keseluruhan sejarah
kemunculan Islam itu sendiri. Tentu saja untuk memahaminya, tidaklah dipahami
sebagai sebuah sistem pendidikan yang sudah mapan dan sistematis, melainkan
proses pendidikan lebih banyak terjadi secara insidental bahkan mungkin lebih
banyak yang bersifat jawaban dari berbagai problematika yang berkembang pada
masa itu.
Pendidikan dalam Islam, secara bahasa memiliki terma yang sangat varian.
Perbedaan ini tidak terlepas dari banyaknya istilah yang muncul dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits sebagai sumber rujukan utama pendidikan Islam yang menyebutkan kata
(kalimah) yang memiliki konotasi pendidikan atau pengajaran.
Setidaknya, ada empat (4) istilah yang digunakan untuk menyebutkan makna
pendidikan, misalnya tarbiyah, ta’dib, ta’lim dan riyadhah. Tiga (3) dari empat (4)
istilah tersebut pernah direkomendasikan oleh Konfrensi Internasional I tentang
Pendidikan Islam di Mekkah pada tahun 1977. Masing-masing terma tersebut, jelas
memiliki aksentuasi dan implikasi yang berbeda. Berikut akan dijelaskan masing-
masing istilah tersebut.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada
terjemahan al-tarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut terjemah-an
yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah al-tarbiyah.
Sedangkan al-ta’dib dan al-ta’lim jarang digunakan .
1. Al-Tarbiyah
Menurut Abdurrahman Al-Nahlawi, kata tarbiyah secara bahasa merupakan
kata yang berasal tiga (3) akar kata, yakni,
pertama raba – yarbu, yang berarti bertambah atau bertumbuh. Pengertian ini
dapat dilihat dalam Al-Qur’an, surat Al-Rum, ayat 39.
‫َو َم ٓا ٰا َتْيٰۤلُتْم ِّم ْن ِّرًبا ِّلَيْر ُبَو ۠ا ِفْٓي َاْم َو اِل الَّناِس َفاَل َيْر ُبْو ا ِع ْنَد ِهّٰللاۚ َو َم ٓا ٰا َتْيُتْم ِّم ْن َز ٰك وٍة ُتِر ْيُد ْو َن َو ْج َه‬
‫ِهّٰللا َفُاو ِٕىَك ُهُم اْلُم ْض ِع ُفْو َن‬
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia
bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah,
maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).
Kedua, berasal dari rabiya-yarba, yang berarti menjadi dasar, dan yang
3

ketiga, rabba-yarubbu, yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntut


menjaga dan memelihara. Pengertian ini dapat dilihat pada Al-Qur’an, surat Al-
Isra, ayat 24.
‫َو اْخ ِفْض َلُهَم ا َج َناَح الُّذ ِّل ِم َن الَّرْح َم ِة َو ُقْل َّرِّب اْر َحْم ُهَم ا َك َم ا َر َّبٰي ِنْي َص ِغ ْيًرا‬
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang
dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”
Sementara, menurut Naquib Al-Attas, kata tarbiyah mengandung konotasi
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, menum
buhkan (membentuk) dan juga menjadikannya lebih matang.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan Al-Tarbiyah adalah proses
mengasuh, membina, mengembangkan, memelihara serta menjadi kematangan
bagi suatu objek. Bahkan dalam hal ini, Imam Baidawi memperjelas makna
Tarbiyah dengan “Al Rabbu fi al Ashli bima’na al-Tarbiyah, wahiya al-Tabligh al-
Syai’u ila kamalihi syai’an fa syay’an (Al-Rabb asal katanya bermakna Tarbiyah,
yakni menyampaikan atau mengantarkan sesuatu menuju ke arah kesempurna-an
sedikti demi sedikit).
2. Al-Ta’dib
Kata Ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addaba, yang berarti
pengenalan dan pengakuan yang secara bertahap ditanamkan kepada manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
Kekuasaan dan Keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
Pengertian ini didasarkan pada Hadits Rasulullah saw. yang mengatakan
“addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku, sehingga
menjadikan baik pendidikanku). Kata Ta’dib ini menurut Naquib Al-Attas
merupakan istilah yang lebih mendekati pemahaman ilm. Atau dengan kata
lain Ta’dib dipahami sebagai istilah pendidikan yang lebih mengarah pada proses
pembelajaran, pengetahuan dan pengasuhan. Oleh karenanya, Naquib berang-
gapan bahwa penggunaan istilah Ta’dib lebih proporsional ketimbang istilah
Tarbiyah untuk menyebut istilah Pendidikan Islam.
3. Al-Ta’lim
Menurut Abdul Fattah Jalal dalam buku Minal Ushul al-Tarbawiyah fi al-
Islam, istilah Ta’lim diartikan dengan proses yang terus menerus diusahakan
manusia sejak lahir untuk melakukan pembinaan pengetahuan, pemahaman,
pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah.
Batasan pengertian ini dipahami lebih luas cakupannya dibandingkan dengan
istilah Al-Tarbiyah, terutama dalam konteks sequency (cakupan dan wilayah)
subjek atau objek didiknya. Sementara menurut Athiyah Al-Abrasy ta’lim diartikan
dengan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu
saja. Al-Ta’lim merupakan bagian kecil dari al-tarbiyah alaqli-yah yang hanya
mencakup domaik kognitif saja dan tidak menyentuh aspek (domain) afektif dan
psikomotorik.
4. Riyadhah
Istilah riyadhah merupakan istilah pendidikan yang digunakan dan
dikembangkan oleh Imam Al-Ghazali untuk menyebutkan istilah pelatihan
4

terhadap pribadi individu pada fase anak-anak, atau yang dikenal dengan
riyadhatusshibyan. Imam Al-Ghazali dalam mendidik anak, lebih menekankan
pada domain afektif dan psikomotor dibandingkan penguasan dan pengisian
domain kognitif (intelektual).
Dalam praktisnya, para pakar berbeda pendapat mengenai definisi pendidikan
Islam itu sendiri. Berikut beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam dalam
mendefinisikan istilah Pendidikan Islam;
a. Muhammad Athiyah Al Abrasyi; “Pendidikan Islam (Al Tarbiyah Al Islamiyah)
adalah usaha untuk menyiapkan manusia agar hidup dengan sempurna dan
bahagia, mencintai tanah air, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya,
halus perasaannya, mahir dalam pekerjaan, manis tutur katanya baik lisan
maupun tulisan.
b. D. Marimba; Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani dan rohani
berdasarkan hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.
c. M. Yusuf Al Qardawi; pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuh-
nya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya.
Karenanya pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam
keadaan damai maupun perang dan menyiapkannya untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya serta manis dan
pahitnya.
d. Hasan Langgulung; Pendidikan Islam merupakan suatu proses penyiapan
generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-
nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia
dan memetik hasilnya di akhirat.
e. Azyumardi Azra; Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari
ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat
mencapai kehidupan berbahagia di dunia dan akhirat.
f. Zakiyah Daradjat; Pendidikan Islam merupakan proses pembentukan
kepribadian manusia sebagai muslim.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan
pendidikan Islam adalah proses bimbingan kepada manusia yang mencakup
jasmani dan rohani yang berdasarkan pada ajaran dan dogma agama (Islam) agar
terbentuk kepribadian yang utama menurut aturan Islam dalam kehidupannya
sehingga kelak memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti.
Pertanyaan yang muncul dan dapat didiskusikan adalah dari beberapa istilah
tersebut (tarbiyah, ta’dib, ta’lim dan riyadhah) manakah yang relevan untuk
menyebutkan dan mewakili istilah pendidikan Islam?, Pertanyaan lain yang dapat
dimunculkan adalah “apakah pendidikan Islam itu sama atau berbeda
dengan pendidikan pada umumnya berkaitan dengan dasar (sumber),
orientasi serta nilai yang ditransfer”.
C. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam
Secara sederhana yang dimaksud dengan Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang
membahas dan memuat teori tentang pendidikan Islam. Akan tetapi, yang menjadi
5

pertanyaan apakah dalam Ilmu Pendidikan Islam, terdapat teori yang tidak
berdasarkan Islam?. Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang
Ilmu Pendidikan Islam ini, maka akan diulas terlebih dulu mengenai pengertian ilmu
itu sendiri. Menurut Ahmad Tafsir, Ilmu merupakan pengetahuan yang logis dan
mempunyai bukti empirik dan dilakukan dengan cara riset (penelitian) Singkatnya
menurut Tafsir yang dimaksud dengan ilmu haruslah memuat objek yang empiris
serta dapat diterima dengan logis.
Lebih lanjut, Tafsir membuat matriks pengetahuan manusia sebagai berikut:
yang dimaksud dengan ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia atas dasar
riset, bersifat empiris dan dapat dilakukan dengan menggunakan indera dan akal.
Pertanyaannya kemudian, apakah Pendidikan Islam sudah memenuhi aspek-aspek
tentang Ilmu tersebut atau belum?. Jika sudah maka Pendidikan Islam dapat
dikategorikan sebagai ilmu (science), akan tetapi jika salah satu syaratnya hilang,
maka Pendidikan Islam belum “layak” dikategorikan sebagai suatu ilmu (science).
Seperti disinggung dimuka, bahwa Ilmu Pendidikan Islam secara teoritikal
merupakan pengetahuan yang membahas tentang teori-toeri pendidikan yang
berdasarkan atas Islam, yang oleh karenanya pembahasan yang dimuat dalam Ilmu
Pendidikan Islam adalah teori-teori yang terkait dengan pendidikan dalam perspektif
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
D. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam
Sebagaimana pengertiannya, maka lingkup bahasan yang menjadi kajian Ilmu
Pendidikan Islam ini adalah masalah-masalah pendidikan atas dasar ajaran Islam
yang mencakup aspek tujuan, pendidik, anak didik, bahan, metode, kurikulum, alat,
evaluasi dan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan Islam.
E. Fungsi Pendidikan Islam
Secara sederhana, fungsi Pendidikan Islam adalah sarana untuk menyediakan
fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan Islam dapat tercapai dan
berjalan dengan lancar. Menurut Kurshid Ahmad, fungsi pendidikan Islam adalah:
1. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat
kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis
besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan dan melatih tenaga-
tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial
dan ekonomi.
F. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam,
yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan
akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin,
baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang
dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui
pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya
6

tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan


kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-
tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah
dicapai.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujud-nya
manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadi-
kan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan
tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup
menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a
Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah
kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada
menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji,
serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal,
pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek
ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat
mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala
yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang
disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa
pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat,
tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat,
memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai
ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
7

G. Sistem Pendidikan Islam


Pendidikan dalam Islam merupakan proses perubahan sikap dan tingkah laku
orang dalam usaha mendewasakan manusia supaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan Islam adalah usaha maksimal untuk menentukan kepribadian anak didik
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah di gariskan dalam al-qur’an dan as-
sunnah/al-hadits.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa sistem berarti
perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas, susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya. Sistem
juga diartikan dengan metode. Kalau dikaitkan dengan pengertian dan tujuan
pendidikan islam, maka dapat dipahami bahwa sistem pendidikan islam adalah
seperangkat unsur yang terdapat dalam pendidikan yang berorientasi pada ajaran
islam yang saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan dalam mencapai
satu tujuan.
Sistem adalah suatu cara dan langkah yang tersusun secara terpadu untuk
dapat digunakan dan dilaksanakan dalam suatu usaha dengan baik dan teratur.
Sistem pendidikan Islam berarti cara dan langkah yang tersusun berdasarkan
sumber-sumber ajaran Islam dalam melaksanakan usaha pendidikan secara baik dan
teratur dalam mencapai tujuan pendidikan Islam.
H. Sistem Pendidikan Islam di Indonesia.
1. Sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa/murid di
bawah pengawasan guru. Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi bangunan
atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberi pelajaran.
WJS.Poerwadarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menerangkan bahwa
sekolah adalah:
a. Bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran.
b. Waktu atau pertemuan ketika murid-murid diberi pelajaran.
c. Usaha menuntut ilmu pengetahuan.
Sekolah menitikberatkan kepada pendidikan formal, di sekolah prosedur
pendidikan telah diatur sedemikian rupa, ada guru, ada siswa, ada jadwal
pelajaran yang berpedoman kepada kurikulum dan silabus, ada jam-jam tertentu
waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan fasilitas pendidikan serta
perlengkapan-perlengkapan dan peraturan-peraturan lainnya.
2. Madrasah
Madrasah adalah suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
Ditinjau dari segi tingkatannya madrasah dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Tingkat Ibtidaiyah (Tingkat Dasar)
b. Tingkat Tsanawiyah (Tingkat Menengah)
c. Tingkat Aliyah (Tingkat Menengah Atas)
Tugas lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam adalah :
a) Merealisasikan pendidikan Islam yang didasarkan atas prinsip pikir, akidah, dan
tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan realisasi
itu ialah agar peserta didik beribadah, mentauhidkan Allah SWT, tunduk dan
patuh atas perintah-Nya serta syariat-Nya.
8

b) Memelihara fitrah anak didik sebagai insan mulia, agar tak menyimpang tujuan
Allah menciptakannya.
c) Membersihkan pikiran dan jiwa dari pengaruh subjektivitas (emosi), karena
pengaruh zaman dewasa ini lebih mengarah pada penyimpangan fitrah
manusiawi.
d) Memberikan wawasan nilai dan moral, serta peradaban manusia yang membawa
khazanah pemikiran anak didik menjadi berkembang.
e) Menciptakan suasana kesatuan dan kesamaan antar anak didik.
3. Pondok Pesantren
Pondok Pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang didalamnya
terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta
didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan
tersebut, serta adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para
santri. Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat
terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab,
hukum Islam, Hadits, tafsir Al-Qur’an, teologi Islam, tasawuf, tarikh, dsb. Literatur
ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah “kitab
kuning”.
Tujuan pendidikan dalam pesantren yaitu untuk mempersiapkan pemimpin-
pemimpin akhlak dan keagamaan.
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan
dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan umum
nya, yaitu:
a. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka
praktis bekerja sama mengatasi problem non kurikuler mereka sendiri.
b. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah,
karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri
dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal
itu karena tujuan mereka hanya ingin mencari keridhaan Allah SWT semata.
c. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,
persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
I. Keistemewaan Sistem Pendidikan Islam
Islam adalah agama paripurna. Dalam pendidikan pun, Siapapun yang menelaah
sistem pendidikan didalam Islam akan melihat banyak keistimewaan.
Keistimewaan – keistimewaan tersebut antara lain:
1. Dasarnya adalah akidah islamiyah (iman/al-aqidah al-islamiyyah).
2. Islam menjadikan akidah sebagai landasan dalam pendidikan. Sejak awal, kaum
Muslim saat menuntut ilmu baik yang fardlu kifayah maupun fardlu ’ain dasarnya
adalah keimanan kepada Allah.
3. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam dan
memberikan keterampilan dalam ilmu kehidupan.
4. Tolak ukur bukan sekedar berupa nilai. Konsekuensi dari tujuan di atas,
penilaian bukan hanya didasarkan pada nilai melainkan juga ketaatan kepada
Allah SWT.
5. Pendidikan terpadu. Dalam sistem pendidikan saat ini kebanyakan hanya
memadukan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Padahal, aspek-aspek
9

tersebut hanya menyelesaikan persoalan individual. Karenanya, perlu dipadukan


juga aspek yang terkait materi. Dilihat dari materi yang diberikan, keterpaduan
berarti memadukan antara kepribadian Islam, ilmu keislaman dan ilmu
kehidupan.
PERTEMUAN KE TIGA (3)
A. METODE PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Metode Pendidikan Islam
Metode berasal dari dua perkataan yaitu meta yang artinya melalui dan hodos
yang artinya jalan atau cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan.
Sedangkan menurut terminologi (istilah) para ahli memberikan definisi yang
beragam tentang metode, terlebih jika metode itu sudah disandingkan dengan kata
pendidikan atau pengajaran diantaranya:
a. Winarno Surakhmad mendefinisikan bahwa metode adalah cara yang di dalam
fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
b. Abu Ahmadi mendefinisikan bahwa metode adalah suatu pengetahuan tentang
cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur
c. Ramayulis mendefinisikan bahwa metode mengajar adalah cara yang
dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada
saat berlangsungnya proses pembelajaran. Dengan demikian metode mengajar
merupaka alat untuk menciptakan proses pembelajaran.
d. Omar Mohammad mendefinisikan bahwa metode mengajar bermakna segala
kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-
kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, cirri-ciri perkembangan muridnya,
dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk
mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada
tingkah laku mereka.
Sementara itu, pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta
bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah
kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Fungsi dan Tujuan Metode
Fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau
cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan
tersebut. Sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk
menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan
disiplin ilmu.
Dari dua pendekatan tersebut dapat dilihat pada intinya metode berfungsi
mengantarkan pada suatu tujuan objek sasaran tersebut. Oleh karena itu terdapat
suatu prinsip yang umum dalam memfungsikan metode, yaitu suatu prinsip agar
pengajaran dapat disampaikan dalam suasana yang menyenang kan,
menggembirakan, penuh dorongan dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi
didikan itu dapat dengan mudah diberikan. Menurut Abuddin Nata juga
menjelaskan bahwa, “pada intinya metode berfungsi menghantarkan suatu tujuan
kepada objek sasaran dengan cara yang sesuai dengan objek sasaran tersebut”.
10

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa metode adalah cara yang


efektif dan efisien, digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam kegiatan nyata, agar tujuan yang telah disusun tercapai secara
optimal, ini berarti metode bertujuan untuk merealisasikan strategi yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, metode dalam rangkaian system pembelajaran
memegang peran yang sangat penting. Keberhasilan implementasi strategi
pembelajaran sangat tergantung pada cara guru menggunakan metode
pembelajaran, karena suatu strategi pembelajaran hanya mungkin dapat
diimplementasikan melalui penggunaan metode pembelajaran.
B. PENDEKATAN PENDIDIKAN ISLAM
a. Pengertian Pendekatan dalam Pendidikan Islam
Pendekatan atau Approach dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “Came
near (menghampiri), go to (jalan ke) dan way path dengan (arti jalan). Dalam
pengertian ini dapat dikatakan bahwa approach adalah cara menghampiri atau
mendatangi sesuatu.
H.M. Habib Thaha mendefiniskan pendekatan adalah cara pemprosesan
subyek atas obyek untuk mencapai tujuan. Pendekatan ini juga berarti cara
pandang terhadap sebuah obyek permasalahan, dimana cara pandang tersebut
adalah cara pandang yang luas. Sedangkan Oteng Sutisna, lebih praktis dalam
memahami pengertian ”pendekatan”. Pendekatan adalah apa yang hendak ia
kerjakan dan bagaimana ia akan mengerjakan sesuatu.
Penggunaan istilah ”pendekatan” memiliki arti yang berbeda-beda tergan-tung
kepada obyek apa yang akan menjadi tema sentral perencanaan kerja dan kajian
pemikiran yang akan dikembangkan. Dalam konteks belajar, approach dipahami
sebagai segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik untuk menunjang
efesiensi dan efektifitas dalam proses pembelajaran tertentu. Dengan demikian
sesungguhnya approach adalah seperangkat langkah operasional yang direkayasa
sedemikian rupa, untuk memecahkan masalah atau untuk mencapai tujuan
belajar tertentu. Approach dalam pengertian tersebut membutuhkan pandangan
falsafi (mendasar) terhadap subyek materi yang diajarkan, selanjut-nya akan
melahirkan metode mengajar yang dijabarkan dalam bentuk tehnik penyajian
pembelajaran.
Pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem
pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupan-nya
sesuai dengan cita-cita Islam sehingga dengan mudah ia dapat membentuk
hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.
Pengertian tersebut mengacu pada perkembangan kehidupan manusia di masa
yang akan datang, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip Islam yang diamanahkan
Allah kepada manusia, sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan
hidupnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Beberapa pakar pendidikan memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai
dengan tinjauan yang mereka kembangkan dan dengan demikian maka terjadi
variasi dan polarisasi pengembangan pemikiran pendidikan. Berikut ini
dikemukakan beberapa defenisi pendidikan Islam menurut para ahli, diantara-nya
ialah:
1). AL-Toumy al-Syaibany
11

Pendidikan Islam sebagai suatu proses untuk mengubah tingkah laku indivdu
pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara
pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara berbagai
profesi asasi dalam masyarakat.
2). Fadhil al-Jamaliy
Pendidikan Islam diartikan sebagai upaya mengembangkan, mendorong dan
mengajak manusia ke arah yang lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai
yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.
Berdasarkan beberapa rumusan tentang defenisi pendekatan dan pendidikan
Islam di atas, maka penulis mencoba menawarkan suatu bentuk rumusan
pengertian pendekatan dalam pendidikan Islam, yaitu suatu upaya atau cara
yang dilakukan oleh pendidik dalam proses kegiatan belajar mengajar untuk
mendekati dan mengantarkan peserta didik dalam mengenal dan mencari
keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia serta
mempersiapkan peserta didik tersebut untuk hidup secara layak dan berguna di
tengah-tengah komunitas sosialnya dan mampu meraih kesempurnaan hidup
dalam segala aspeknya.
b. Konsep Pendekatan Pengamalan, Pengalaman, Rasional, Emosional Dan
Pembiasaan dalam Pendidikan Islam
1. Pendekatan Pengamalan
Pendidikan Islam Secara filosofis, bertujuan untuk membentuk al-insan al-
kamil atau manusia paripurna. Manusia dalam kepribadiannya selalu
mencerminkan sikap seorang muslim yang merealisasikan dengan penuh
tanggung jawab hubungannya dengan sesama manusia (horizontal)
(horizontal) serta ketundukan secara totalitas vertikal kepada Allah swt.
Ahmad Tafsir memberikan suatu pandangan bahwa tujuan umum
pendidikan Islam adalah membentuk muslim yang sempurna dalam artian
beriman dan bertakwa atau manusia yang beribadah kepada Allah. Selain itu al-
Gazali dan Ali al-Jumbulati juga mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan
adalah bersifat keagamaan dan akhlak untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt. dan sekaligus untuk mendapatkan keridhaan-Nya, karena agama
merupakan sistem kehidupan yang menitipberatkan pada pengalaman.
Kedua pandangan di atas memberikan makna bahwa pendidikan Islam
tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan aspek kognitif tetapi juga
mengembangkan aspek afektif dan psikomotorik yang menyangkut bagaimana
akhlak dan sikap yang baik ditengah masyarakat, serta pengamalan ajaran
agama Islam secara kaffah.
Untuk mempengaruhi perubahan sosial ke arah yang lebih baik, maka
pendidik haruslah mendidik dan membimbing peserta didik untuk
mengaktualkan ajaran Islam dalam bentuk pengamalan dengan penuh tanggung
jawab dan niat karena Allah swt. karena pada hakikatnya pendidikan Islam
adalah pendidikan yang mengarahkan manusia untuk memiliki wawasan
keilmuan yang luas serta merealisasikan pengetahuannya dalam bentuk
12

pengamalan. Karena, sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu


yang diamalkan.
Sehingga dapat dipahami bahwa manusia yang diberi rezki oleh Allah
berupa ilmu, kemudian mengamalkan ilmu yang dimilikinya itu untuk
memikirkan hal-hal yang positif dan memikirkan perjuangan dijalan Allah.
Manusia yang sedemikian ini akan mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan
Allah swt.
2. Pendekatan Pengalaman
Pendekatan pengalaman yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada
peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan baik secara
individual maupun kelompok. Pengalaman adalah suatu hal yang sangat
berharga dalam kehidupan manusia. Syaiful Bachri Djamrah menjelaskan
bahwa pengalaman adalah guru tanpa jiwa, namun selalu dicari oleh siapapun
juga.
Al Qur’an memberikan contoh yang sangat jelas bagaimana pendekatan
pengalaman dipakai dalam memberikan pelajaran dan peringatan kepada semua
manusia agar mereka tidak terjerumus dalam situasi dan perbuatan yang
sama. misalnya bagaimana Allah menjadikan jasad Fir’aun sebagai sumber
pelajaran dengan pola pendekatan pengalaman. Firman Allah
dalam Q.S.Yunus/10: 92.

‫َفاْلَي ْو َم ُنَن ِّج ْي َك ِبَب َد ِنَك ِلَت ُك ْو َن ِلَم ْن َخ ْلَفَك ٰا َي ًة ۗ َو ِاَّن َك ِثْيًر ا ِّم َن الَّن اِس َع ْن ٰا ٰي ِتَن ا َلٰغ ِفُلْو َن‬
Artinya::”Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguh-nya
kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”.
Sedemikian pentingnya pendekatan pengalaman dalam pembelajaran
pendidikan Islam, sehingga Allah berkali-kali memerintahkan umat Islam atau
manusia pada umumnya untuk mencari pengalaman dengan mengkaji riwayat
bangsa-bangsa terdahulu dan terus menerus melakukan kajian terhadap bekas
tempat tinggal dan kehidupan mereka, juga dengan berbagai peristiwa alam
yang terjadi dalam kehidupan sebagaimana firman Allah dalam QS Yunus 39
dan 73.
‫َبْل َك َّذ ُبو۟ا ِبَم ا َلْم ُيِح يُطو۟ا ِبِع ْلِم ِهۦ َو َلَّم ا َيْأِتِهْم َتْأِو يُلُهۥۚ َك َٰذ ِلَك َك َّذ َب ٱَّلِذ يَن ِم ن َقْبِلِهْم ۖ َفٱنُظْر َك ْيَف َك اَن‬
‫َّٰظ‬
‫َٰع ِقَبُة ٱل ِلِم يَن‬
Artinya : ”Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka
belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka
penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendusta
kan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu”.
‫َٰٓل‬
‫َفَك َّذ ُبوُه َفَنَّجْيَٰن ُه َو َم ن َّمَع ۥُه ِفى ٱْلُفْلِك َو َجَع ْلَٰن ُهْم َخ ِئَف َو َأْغ َر ْقَنا ٱَّلِذ يَن َك َّذ ُبو۟ا ِبَٔـاَٰي ِتَناۖ َفٱنُظْر َك ْيَف‬
‫َك اَن َٰع ِقَبُة ٱْلُم نَذ ِر يَن‬
Artinya :”Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamat-kan dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu
pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang
diberi peringatan itu”.
13

Metode mengajar yang dapat dipakai dalam pendekatan pengalaman,


diantaranya adalah metode eksperimen (percobaan), metode drill (latihan),
metode sosiodrama dan bermain peran, dan metode pemberian tugas belajar
dan resitasi dan lain sebagainya.
Mendidik peserta didik merupakan aktivitas yang sangat mulia, menuntut
kemampuan wawasan keilmuan serta persiapan yang baik. Karena anak sebagai
objek dan subjek pendidikan memiliki perbedaan dan perbedaan tersebut secara
berkelanjutan saling mempengaruhi terhadap sikap dan tingkah lakunya. Dalam
hal ini Jean Sota dan Ibrahim Amini mengata-kan bahwa:
Setiap anak-anak memerlukan metode penanganan tersendiri karena setiap
individu manusia itu sangat unik. Seluruh karakter manusia itu harus didekati
dan dipahami secara spesifik dan maksimal. Sel-sel otak manusia misalnya
sangat luar biasa dan memerlukan pengetahuan yang luar biasa pula.
Perbedaan manusia itu bukan hanya karena faktor-faktor IQ saja tapi juga
faktor lain yaitu karakter yang termasuk akhlak, kepribadian, pembawa-an dan
sebagainya.
Perbedaan karakter, kecerdasan, akhlak, kepribadian, dan pembawaan
peserta didik haruslah diketahui dan dipahami para pendidik sebagai aspek
pendukung efisiensi dan efektifitas proses pembelajaran. Pendidik sebagai
proses transformasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik haruslah dilakukan
dengan perencanaan yang baik, mengingat pendidikan Islam adalah solusi yang
mampu mengajak, membawa, dan mengeluarkan masyarakat dari kebodohan,
pesimis, dan akhlak yang caruk maruknya menuju masyarakat yang ideal dalam
konsep Islam.
Untuk mewujudkan hal tersebut pendidikan pengalaman merupakan salah
satu aspek lain yang dibutuhkan pendidik dalam mentrasnfer nilai-nilai Islam.
Karena dengan pengalaman, peserta didik dibiarkan untuk mengalami dan
merasakan langsung pengalaman keagamaan baik secara individu maupun
masyarakat. Pengalaman yang dijalani oleh peserta didik saat ini akan
mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya dimasa yang akan datang, karena
setiap pengalaman mengambil sesuatu yang telah dilalui dan bisa saja merubah
sikap, dan kualitas pengalaman anak dimasa mendatang.
Pengalaman bagi John Dewey adalah daya penggerak. Nilai pengalaman
hanya bisa dilihat dari kearah mana dan kedalam apa ia bergerak.[16] Maka
penyelenggaraan pendidikan sebagai penanaman ideologi yang memiliki visi
tertentu terhadap pendidikan Islam haruslah diselenggaran dengan cita-cita
yang mulia.
3. Pendekatan Rasional
Pendekatan Rasional adalah suatu pendekatan mempergunakan rasio (akal)
dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah. Ajaran agama
Islam sebagian harus diyakini tanpa ada interpretasi karena, tetapi dalam
konteks yang lain terdapat ajaran yang harus dicerna dengan pendekatan rasio.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia, penciptaan alam
semesta, kekayaan dan keragaman hayati dan aspek-aspek lain dari keindahan
tata ruang angkasa membutuhkan kecermelangan rasio untuk memahami
nya. Out put pemahaman dengan pendekatan rasio terhadap keajaiban alam
14

menjadikan manusia bertambah keimanannya. mereka yang mampu mengguna-


kan rasio alam memahami kekuasaan dan kebesaran Allah tersebut dikenal
dengan ”Ulul Albab” hal ini terlihat dalam petikan ayat al-Qur’an sebagai
berikut:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Q.S.Ali
Imran/3:190)
‫ِإ َّن ِف ي َخ ْل ِق الَّس َم ا َو ا ِت َو ا َأْل ْر ِض َو ا ْخ ِت اَل ِف ال َّل ْي ِل َو ال َّنَه ا ِر آَل َي ا ٍت ُأِلو ِل ي ا َأْلْل َب ا ِب‬
Artinya: Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau mencipta-kan Ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali
Imran/3:191)
Perintah menggunakan akal sebagai alat eksplorasi keilmuan dan keimanan
menjadi begitu penting karena akal adalah pintu utama masuknya ilmu
pengetahuan dan dengan akal pula manusia mampu memikirkan kebesar-an
dan kekuasaan Allah. Sehubungan hal ini al-Qur’an menyatakan:
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?
Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya
melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan
Sesungguhnya keba-nyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan
Pertemuan dengan Tuhannya. (Q.S. Ar Rum/30:8).
Dalam kehidupan, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi
segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi ada pula yang dapat
dinyatakan secara eksplisit, ada juga bersifat multidimen-sional, relatif dan yang
rasional. Belajar rasional ialah belajar dengan menggunakan kemampuan
berpikir secara logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat) Kemampuan
berpikir secara logis dan rasional inilah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Tidak mengherangkan jika Rene Descartes dari pendapatnya
tentang segala kebenaran itu memunculkan diktum yang sangat terkenal
“cogitoergosum” Persoalannya, apakah berpikir itu menjadi kualitas yang
inheren pada setiap manusia atau lebih sebagai kualitas yang diperoleh lewat
upaya tersengaja. Tujuan pendidikan telah mengeksplisikan pentingnya kualitas
kecerdasan. Dimana pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar manusia
untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik
dengan cara mendorong dan menfasilitasi mereka. Secara detail, dalam undang-
undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab
II pasal 3 sebagai berikut:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembang-nya potensi
peserta didik agar 1 negara yang demokratis serta bertang-gung jawab.[22]
Dari tujuan pendidikan Nasional diatas telah menegaskan pentingnya
mengembangkan potensi kecerdasan bangsa dan tanpa pendidikan potensi
tersebut, peserta didik tidak akan berkembang secara maksimal.
15

Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengeta-huan


pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam.[23] Karena, sebagai
mana telah di ketahui bahwa al-Quran merupakan petunjuk yang memberikan
tuntunan bimbingan serta bantuan dalam memahami realitas sesuatu. Akan
tetapi, al-Qur’an tidak akan dapat dipahami oleh orang-orang yang tidak
menggunakan akalnya, melaingkan oleh orang-orang yang memiliki ilmu serta
mempergunakan akalnya untuk mengetahui. Oleh karena itu, dibutuhkan
pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai media atau alat untuk
mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an
sebagai cermin dari ajaran Islam.[24]
Dalam Islam mengetahui sesuatu ilmu pengetahuan sama pentingnya
dengan pengamalannya secara konkrit.[25] Oleh sebab itu, pendekatan rasional
memiliki posisi dan fungsi yang penting dimana pendidikan Islam berusaha
untuk menyelaraskan antara iman, ilmu, dan amal.
4. Pendekatan Emosional
Pendekatan emosional merupakan usaha yang dilakukan oleh pendidik
untuk mengubah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran
Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan yang buruk. Peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan peserta didik akan menjadi bangunan emosi atau
perasaan mereka. Proses belajar di sekolah adalah proses belajar yang sifatnya
kompleks dan menyeluruh. Untuk meraih prestasi yang tinggi, seseorang harus
memiliki Intelligence Quetient (IQ) yang tinggi, karena intelegensi merupakan
bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada giliranya akan
menghasilkan prestasi belajar yang optimal.
Kenyataan dalam proses belajar di sekolah terkadang ditemukan siswa yang
prestasinya tidak sesuai dengan kemampuan intelligence-nya. Itu sebabnya
kemampuan intelligence bukanlah salah satu faktor yang menentu-kan prestasi
peserta didik, akan tetapi ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi
diantaranya adalah faktor kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ)
yakni kemampuan atau potensi kejiwaan yang ada pada diri seseorang yang
memberikan tanggapan atau respon terhadap suatu peristiwa. Dalam perspektif
Islam, emosi dengan segala macam ekspresinya dapat dilihat berdasarkan
firman-Nya dalam Q.S. An-Najm/53: 43-44.
‫َو َاَّن ٗه ُه َو َاۡض َح َك َو َاۡب ٰك ۙى َو َأ َّنُه ُه َو َأ َم اَت َو َأ ْح َي ا‬
Artinya: Dan bahwasanya dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis
dan bahwasanya dialah yang mematikan dan menghidupkan.[26]
Sedangkan menurut Menurut Daniel Goleman dan Hamsah B. Uno ekspresi
emosi pada diri seseorang dapat terlihat dan dipahami melalui:
a. Amarah: bringas, mengamuk, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu,
rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan yang paling hebat adalah
tindakan kekerasan dan kebencian patologis.
b. Kesedihan: pedih, sedih, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian,
ditolak, putus asa, dan kalau menjadi petologis depresi berat.
c. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
sebagai patologi, fabia dan fanatik.
16

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga,


kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi,
kegirangan luar biasa, senang-senang, senang sekali, dan batas ujungnya,
maniak.
e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,
bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f. Terkejut: terkesiap, takjub, terpana.
g. Jengkel: hina, jijik, muak, benci, tidak suka, mau muntah.
h. Malu: rasa salah, malu hati, sesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur
lebur.[27]
Kekayaan ekspresi emosi manusia (amarah, kesedihan, rasa takut,
kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu) sebagai tanggapan atau respon
terhadap setiap peristiwa yang menjadi tantangan dan sekaligus peluang
seorang pendidik dalam meyakinkan peserta didiknya agar mengerja-kan segala
apa yang diperintahkan oleh Allah swt. dan meninggalkan apa yang dilarangnya.
oleh karena itu emosi adalah salah satu pendekatan dalam pendidikan Islam
dalam membentuk kepribadian anak didik berdasarkan konsep Islami.
Dalam kegiatan proses belajar, kedua intelligence itu sangat dibutuhkan. IQ
tidak dapat bekerja secara maksimal tanpa partisipasi penghayatan secara
emosional terhadap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Peserta
didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik dapat menjadi
lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, terampil dalam
memusatkan perhatian, lebih baik dan cakap dalam berhubungan dengan orang
lain serta kerja akademis di sekolah menunjukkan hasil yang lebih memuaskan.
Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, akan
tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang
membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif
akan diperoleh bila peserta didik diajarkan keterampilan dasar kecerdasan
emosional. Secara emosional anak akan lebih cerdas, terbuka, optimis, lebih
mampu dalam melihat dan memperlakukan perbedaan-perbedaan sikap
sosial, tidak mudah terjerumus dalam pergaulan yang sifatnya negatif
(tawuran, minum-minuman keras, obat-obat terlarang, dan sebaginya) dan
aktualisasi nilai-nilai keagamaan lebih baik.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kecerdasan emosional
merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh peserta
didik yang ingin meraih berprestasi belajar yang lebih baik di sekolah dan juga
kecerdasan emosional diciptakan oleh Allah untuk membentuk manusia yang
lebih sempurna.

5. Pendekatan Pembiasaan
Pendekatan pembiasaan merupakan suatu tingkah laku tertentu yang
sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja
tanpa dipikirkan lagi. Pembiasaan pendidikan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk terbiasa mengamalkan ajaran agamanya, baik secara
individu maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari .
17

Teori pembiasaan merupakan teori belajar yang masih sangat berpengaruh


dikalangan para ahli psikologi masa kini. Pencetusnya bernama Burrhus
Frederic Skinner lahir tahun 1904, seorang penganut behaviorisme yang
dianggap kontroversial. Salah satu tema pokok yang mewarnai karya-karyanya
adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri.
Pendekatan pembiasaan meningkat menjadi kebiasaan membutuhkan suatu
proses yang bertahap seperti halnya ketika Allah swt. melarang hamba-hamba-
Nya melakukan perzinahan dan meminum-minuman keras, tidak secara
langsung diperintahkan untuk meninggalkan secara total tetapi melalui
langkah-langkah pembiasaan secara bertahap sehingga tidak dirasakan
larangan itu sebagai suatu beban yang sulit ditinggalkan. Imam al-Gazali
mengatakan bahwa metode pembiasaan sangat tepat diterapkan dalam
mendidik peserta didik
Belajar dengan pendekatan kebiasaan, bertujuan agar peserta didik
memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih
tepat dan positif dalam arti selaras dengan aturan dan prinsip-prinsip agama
Islam sebagai sumber dan landasan ideologi dalam menetapkan tujuan yang
sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).
Dalam pandangan Islam, anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah
memiliki sifat yang suci dan bersih. Oleh karena itu pendidikan dituntut untuk
menjaganya dengan membiasakan peserta didik dengan sikap yang baik, serta
melarang mereka untuk tidak membiasakan diri dengan sikap yang buruk.
Sehingga nantinya sifat-sifat yang baik menjadi kebiasaan yang tertanam dalam
jiwanya. Terkait dalam hal ini Ibnu Sina berpendapat bahwa:
Pendidikan anak-anak dan membiasakan dengan tingkah laku yang terpuji
haruslah dimulai sejak sebelum tertanam padanya sifat-sifat yang buruk,
karena akan sukarlah bagi si anak melepaskan kebiasaan-kebiasaan tersebut
bila sudah menjadi kebiasaan dan telah tertanam dalam jiwanya.
Sehingga dapat dipahami bahwa pembiasaan merupakan salah satu
pendekatan dalam pendidikan Islam yang memiliki pengaruh yang besar dalam
membentuk kepribadian peserta didik. Jadi, sejak anak dilahirkan,
pendidik dalam hal ini adalah orang tua harus memiliki peranan yang sangat
penting untuk melatih, membimbing dan mendidik seorang anak untuk terbiasa
dalam berbuat suatu kebaikan sehingga terbentuk karakter, akhlak, dan watak
yang mungkin saja terus berpengaruh terhadap anak sampai hari tua.
Menanamkan kebiasaan yang baik kepada peserta didik, seorang pendidik harus
memiliki jiwa yang sabar, sikap tauladan, tekun, pantang menyerah dan
memiliki wawasan keilmuan. Karena menanamkan kebiasaan adalah sukar dan
kadang-kadang membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut M. Ngalim
Purwanto, ada beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi agar pendekatan
pembiasaan itu dapat lekas tercapai dan menunjukkan hasil yang lebih baik.
Adapun syarat yang dimaksud adalah:
a. Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak mempunyai
kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
18

b. Pembiasaan itu hendaknya terus-menerus (berulang-ulang) dijalankan secara


teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Untuk itu,
dibutuhkan pengawasan.
c. Pendidikan hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan tepat teguh terhadap
pendiriannya yang telah diambilnya. Jangan memberi kesempat-
an kepada anak itu melanggar pembiasaan yang telah ditetapkan itu.
d. Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistik itu harus semakin pembiasaan
yang disertai kata hati anak itu sendiri.
Syarat-syarat di atas akan sangat membantu jika secara berangsur disertai
pula dengan penjelasan-penjelasan dan nasihat-nasihat yang baik oleh pendidik
sehingga makin lama timbullah pengertian dalam diri peserta didik
C. EVALUASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN ISLAM
MAKNA EVALUASI, PENGUKURAN DAN PENILAIAN PEMBELAJARAN
1. Makna Evaluasi
Makna evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation, yang lazim di artikan
dengan makna penafsiran atau penilian. Yang kata kerjanya evaluate, di artikan
menaksir (Evelina Siregar & Hartini Nara, 2014141-142). Adapun makna evaluasi
dalam bahasa arab disebut al-Thaqdir bermakna penilaian. Akar katanya adalah
al-Qimah bermakna nilai. Dengan demikian secara harfiah evaluasi pembelajaran
(Educational evaluation=al-Taqdir al Tarbawy) diartikan sebagai penilaian dalam
pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegitan
pendidikan dan pembelajaran (Anas Sudijono, 2009:1)
Dalam Al-Qur’an terminologi evaluasi pendidikan terdapat beberapa makna
dengan mengacu kepada makna kalimat;
a. Al-Hisāb/al-Muhāsabah
‫ِل َّلِه َم ا ِف ي الَّس َم ا َو ا ِت َو َم ا ِف ي ا َأْل ْر ِض ۗ َو ِإ ْن ُت ْبُد وا َم ا ِف ي َأ ْنُف ِس ُك ْم َأ ْو ُتْخ ُف و ُه ُيَح ا ِس ْب ُك ْم ِب ِه ال َّل ُه‬
‫ۖ َف َي ْغ ِف ُر ِل َم ْن َي َش ا ُء َو ُيَع ِّذ ُب َم ْن َي َش ا ُء ۗ َو ال َّلُه َع َل ٰى ُك ِّل َش ْي ٍء َق ِد يٌر‬
Artinya: Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya
dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (Q.S. alBaqarah: 284).
Terma al-hisāb/al-muhāsabahi dianggap yang paling dekat dengan kata
evaluasi, berasal dari kata “‫ب‬----‫ ”حس‬yang berarti menghitung. Al-Ghazali
mempergunakan kata ini di dalam menjelaskan tentang evaluasi diri yaitu suatu
upaya mengoreksi dan menilai diri sendiri setelah melakukan aktivitas (Al-
Ghazali, t.th: 391).
b. Al-Hukm :
‫ِإ َّن َر َّبَك َي ْق ِض ي َب ْيَن ُه ْم ِب ُح ْك ِم ِه ۚ َو ُهَو ا ْل َع ِز ي ُز ا ْل َع ِل ي ُم‬
Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara antara mereka
dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (Q.S. AL-
Naml: 78).
19

Al ‘Askari berpendapat bahwa, fitnah adalah ujian yang sangat berat.


Menjadikan sebuah kenikmatan itu sebagai sarana fitnah adalah bentuk
hiperbola, sebagaimana emas meskipun secara lahiriyah merupakan
kenikmatan perhiasan namun kualitas sebenarnya terlihat ketika dibakar.
Dalam ayat ini juga terkandung pengertian bahwa ujian memiliki sifat
intensif atau terus menerus, bukan sesuatu yang baru atau tanpa perencanaan
dan tujuan. Az Zuhaili mengatakan ujian adalah sunnah Allah yang bersifat
permanen atas ciptaan-Nya sejak masa lampau hingga masa yang akan datang.
c. Al-Bala. Artinya: (Dialah Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun, (Q.S. al-Mulk: 2). Secara bahasa al bala berarti
ujian yang bisa berupa kebaikan dan keburukan. Dalam pengertian lain “ ”
(Murtadho Az-Zubaidy, tt:207.) bala itu bisa berupa anugerah maupun bencana.
Al bala juga berarti pengujian dan latihan untuk mengetahui hakikat sesuatu
melalui pengalaman.
Raghib al Ashfihani membedakan ujian yang datang karena kehendak Allah
dan musibah yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Menurutnya perbedaan
tersebut bisa dilihat dari penggunaan kata balaa dan ibtalaa. Penggunaan kata
balaa (menguji) dimaksudkan untuk sebuah ketetapan Allah atas hambanya,
sedangkan penggunaan kata ibtalaa (mendapatkan ujian) bisa bermakna selain
hal tersebut sebelumnya juga bisa bermakna orang tersebut memahami keadaan
yang berlaku pada dirinya dan tidak memahami sesuatu diluas batasannya
(Ashfihani, 1412 H: 61-62).
Dalam arti luas makna evaluasi sebagaimana yang dikutif oleh ngalim
purwanto dalm mehrens & Lehmann, (1978), menjelaskan adalah suatu proses
merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan
untuk alternatifalternatif keputusan (Purwanto, 2009:3). Evaluasi mengandung
makna, sebagai alat penilaian bagi guru untuk mengetahui keberhasilan dan
pencapaian tujuan setelah berlansung (Azhar, 1991: 117). Mardapi (2009: 231),
Evaluasi memiliki makna adanya pengumpulan informasi, penggambaran,
pencarian, dan penyajian informasi guna pengambilan keputusan tentang
program yang dilaksanakan. Sax (1980:18) juga berpendapat “evaluation is a
process through which a value judgement or decision is made from a variety of
observations and from the background and training of the evaluator” evaluasi
adalah suatu proses dimana pertimbangan atau keputusan suatu nilai dibuat
dari berbagai pengamatan, latar belakang serta pelatihan dari evaluator
(Ismanto, 2014: 216).
Dari beberapa pendapat, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi yaitu
suatu proses dan tindakan yang terencana untuk mengumpulkan informasi
tentang kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan (peserta didik) terhadap
tujuan (pendidikan), sehingga dapat disusun penilaiannya yang dapat dijadikan
dasar untuk membuat keputusan.
2. Pengukuran
Pengukuran adalah proses pemberian bilangan atau angka pada objek-objek
atau sesuatu kejadian menurut aturan tertentu (Kerlinger, 1986), pengukuran terdiri
dari aturan-aturan tertentu untuk memberikan angka atau bilangan kepada objek
20

dengan cara tertentu pula sehingga angka itu dapat mempre-sentasikan dalam
bentuk kuantitatif sifat-sifat dari objek tersebut (Purnomo dan Munadi, 2005: 265-
266).
Menurut Ismanto dalam Allendan Yen (1979: 2), pengukuran didefinisikan
sebagai penetapan suatu angka terhadap suatu subjek dengan cara yang
sistematik. Jadi pengukuran adalah memberi bentuk kuantitatif pada subjek, objek
atau kejadian dengan memperhatikan aturan-aturan tertentu sehingga bentuk
kuantitatif tersebut betul-betul menunjukkan keadaaan yang sebenarnya yang
diukur (Ismanto, 2014: 214).
Pada hasil pengukuran yang berupa angka/skor, objek yang diukur berupa
pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai satu kesatua yang utuh yang
menunjukkan kualitas perilaku belajar dari peserta didik. Subjek dalam hal ini
menunjuk pada peserta didik, objek menunjuk kepada domain hasil belajar, dan
kejadian ditunjukkan oleh kualitas perilaku belajar peserta didik (Ismanto, 2014:
214).
3. Penilaian
Penilaian merupakan suatu kegiatan untuk menentukan tingkat atau derajat
sesuatu objek atau kejadian yang didasarkan atas hasil pengukuran objek
tersebut. Ismanto dalam Hill (1997), menjelaskan penilaian adalah kegiatan
mengolah informasi yang diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisisdan
mempertimbangkan unjuk kerja peserta didik pada tugas-tugas yang relevan.
Kegiatan ini juga digunakan untuk menilai materi, program, atau kebijakan-
kebijakan dengan maksud untuk menetapkan nilai kelayakan peserta didik
(Ismanto, 2014: 214).
Nitko (1996: 4) menjelaskan “assessment is abroadterm defined as aprocess
for obtaining information that is used formaking decisions about students,
curricula and programs, and educational policy” penilaian merupakan suatu proses
yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dengan tujuan memper-mudah
mengambil keputusan tentang peserta didik, kurikulum, program, dan kebijakan
pendidikan. Jadi, penilaian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan formal
untuk menentukan tingkat atau status, penafsiran dan deksripsi hasil pengukuran
hasil belajar peserta didik dibandingkan dengan aturan tertentu.
Penilaian (assessment) diartikan sebagai prosedur yang digunakan untuk
mendapatkan informasi untuk mengukur taraf pengetahuan dan keterampilan
subjek didik yang hasilnya akan digunakan untuk keperluan evaluasi (Subali,
2010: 3). Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Informasi
adalah data yang diperoleh melalui pengukuran dan non pengukuran termasuk di
dalamnya dengan melakukan observasi kelas, menggunakan tes yang standar atau
tes buatan guru, proyek, dan portofolio subjek belajar.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat
21 dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,
penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertang
gung jawaban penyelenggaraan pendidikan. Pejelasan tersebut tertuang dalam
peraturan Pemerintah 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I pasal 1
21

ayat 17 dikemukakan bahwa “penilaian adalah proses pengumpulan dan


pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik
(Ditjen Dikdasmen Depdiknas, 2003: 1).
Ditjen Dikdasmen Depdiknas secara eksplisit mengemukakan bahwa antara
evaluasi dan penilaian mempunyai persamaan dan perbedaan. Adapun kesamaan
nya adalah keduanya mempunyai sama-sama bermakna menilai atau menentukan
nilai sesuatu. Adapun perbedaannya terletak pada konteks penggunaannya.
Penilaian (assessment) digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya
dilaksanakan secara internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian atau
terlibat dalam sistem yang bersangkutan, seperti guru menilai hasil belajar murid,
atau supervisor menilai guru. Guru dan supervisor merupakan bahagian penting
dalam sistem pendidikan. Adapun evaluasi digunakan dalam konteks yang lebih
luas dan biasanya dilaksanakan secara eksternal, seperti konsultan yang disewa
untuk mengevaluasi suatu program, baik pada level terbatas maupun pada level
yang luas (Suryana, 2016: 290).

TUJUAN EVALUASI PEMBELAJARAN


Menurut Abdul Mujib dkk, tujuan evaluasi adalah:
1. Merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa
adanya evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada
peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing
2. Mengetahui tingkat efektifitas metode yang digunakan dalam meningkatkan
kemampuan pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran yang di pelajari,
serta melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali
materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan perilakunya
(Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, 2008: 211).
3. Mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga
yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya (Abdul
Mujib & Jusuf Mudzakir, 2008: 211).
4. Mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk
mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah
dicapai untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya (Arief, 2002: 53).
Pendapat senada mengungkapkan bahwa tujuan evaluai yaitu untuk mengeta-hui
penguasaan peserta didik dalam kompitensi/subkompitensi tertentu setelah
mengikuti proses pembelajaran, untuk mengetahui kesulitan belajar peserta didik
(diagnostic test) dan untuk memberikan arah dan lingkup pengembangan eavaluasi
selanjutnya. Ada tiga tujuan pedagogis dari sistem evaluasi Tuhan terhadap
perbuatan manusia, (M. Arifin, 2009: 163- 164) yaitu:
1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam
problema kehidupan yang dialaminya.
2. Untuk mengetahui sejauhmana hasil pendidikan Islam yang telah diterapkan
Rasulullah SAW. terhadap umatnya.
3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup keislaman atau
keimanan manusia, sehingga diketahui manusia yang paling mulia di sisi Allah
SWT yaitu paling bertaqwa kepadaNya, manusia yang sedang dalam iman atau
ketaqwaannya, manusia yang ingkar kepada ajaran Islam
FUNGSI DAN KEGUNAAN EVALUASI PEMBELAJARAN
22

Di antara kegunaan yang dapat di ambil dari kegiatan evaluasi pendidikan dan
pembelajaran di sekolah mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Terbukanya kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang
hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pendidikan dan
pembelajaran.
2. Untuk mengetahui peserta didik yang terpandai dan terkurang di kelasnya.
3. Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta didik.
4. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mengalami
pendidikan dan pengajaran.
5. Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai
penyesuaian dalam kls.
6. Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk raport, ijazah,
piagam dan sebagainya (Sudijono, 2009: 17).

Hamalik, menjelaskan bahwa fungsi evaluasi adalah untuk membantu peserta


didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar,
serta memberi bantuan padanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat
sebagaimana mestinya, selain itu juga dapat membantu seorang pendidik dalam
mempertimbangkan adequate (cukup memadai) metode pengajaran serta membantu
dan mempertimbangkan administrasinya (Oemar Hamalik, 1982:212).
Sementara pendapat lain mengemukakan, evaluasi berfungsi sebagai (M. Arifin,
2009: 167)
1. Mengidentifikasi dan merumuskan jarak dari sasaran-sasaran pokok dari
kurikulum secara komprehensif;
2. Penetapan bagi tingkah laku apa yang harus direalisasikan oleh siswa;
3. Menyeleksi atau membentuk instrumen-instrumen yang valid, terpercaya dan
praktis untuk menilai sasaran-sasaran utama proses kependidikan atau ciri-ciri
khusus dari perkembangan dan pertumbuhan manusia didik.
Kemudian, secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam
(Al-Rasyidin dkk, 2005: 77-78), diantaranya:
1. Dari segi pendidik, yaitu untuk membantu seorang pendidik mengetahui
sejauhmana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya
2. Dari segi peserta didik, yaitu membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau
mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
3. Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, untuk membantu para pemikir pendidikan
Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka
dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus
dinamika zaman yang senantiasa berubah.
4. Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam, untuk membantu mereka
dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang
akn diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam). Sementara itu, sasaran
evaluasi pendidikan meliputi: peserta didik dan juga pendidik untuk mengetahui
sejauhmana ia bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam (AlAbrasyî, t.th: 362).
Sementara menurut Abudin Nata, bahwa sasaran evaluasi yaitu untuk
mengevaluasi peserta didik, pendidik, materi pendidikan, proses penyampaian materi
pelajaran, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan materi pendidikan
23

(Abudin Nata, 308). Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya
melihat empat kemampuan peserta didik (M. Arifin, 2009:162-163) yaitu:
1. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam
sekitarnya.
4. Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah Swt, anggota
masyarakat serta selaku khalifah-Nya di muka bumi.
5.Allah Swt. dalam mengevaluasi hambahamba-Nya tidak memandang formalitas,
tetapi memandang substansi di balik tindakan hambahamba-Nya. Kualitas
perilaku lebih dipentingkan daripada kualitasnya dalam proses evaluasi (Abdul
Mujib & Jusuf Mudzakir, 2008: 213).
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagung-
kan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.
PERTEMUAN KEEMPAT
A. KEDUDUKAN PENDIDIKAN ISLAM DENGAN PENDIDIKAN NASIONAL
1. Sejarah UU Sisdiknas dan Pendidikan Agama
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang
mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan
keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan
pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan
menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan
persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan
tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini.
Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak
memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan
agama.
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan.
Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor
2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang
disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39
tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan
pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan
dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur
pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap
jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
2. Jejak Religiusitas UU Sisdiknas 2003
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari
amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan
Kebudayaan Pasal 13 yang mengamanatkan bahwa : Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
24

3. Kedudukan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional


Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab Vi
Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan
Keagamaan Pasal 30 isinya adalah :
a. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
b. Pendidkan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
c. Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
informal dan nonformal.
d. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
e. Ketentuan mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1,2,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Dari penjalasan di atas dapat dikatakan bahwa : implikasi Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 terhadap sistem pendidikan Islam, secara konseptual memberikan
landasan kuat dalam mengembangkan dan memberdayakan sistem pendidikan Islam
dengan prinsip demokrasi, desentralisasi, pemerataan/ keadilan, mutu dan relevansi,
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga terwujud akuntabi-litas
pendidikan yang mandiri menuju keunggulan. Implikasi tersebut mengindikasikan
upaya pembaharuan sistem pendidikan Islam baik kandungan, proses maupun
manajemen. Karena itu, konsep yang ditawarkan dan sekaligus sebagai konsekuensi
berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, adalah mereformulasikan konsep
pendidikan Islam yang berwawasan semesta, dengan langkah-langkah membangun
kerangka filosofis-teoritis pendidikan, dan membangun sistem pendidikan Islam yang
diproyeksikan melalui Laboratorium fungsi ganda, yakni peningkatan mutu akademik
dan pengembangan usaha bisnis. Upaya ini dilakukan dalam kerangka mewujudkan
akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju keunggulan, sehingga
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan
negara Indonesia.
B. HUBUNGAN PENDIDIKAN ISLAM DENGAN PENDIDIKAN NASIONAL
Hubungan pendidikan Islam dan pendidikan Nasional tidak dapat dipisahkan,
keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini dikaitkan dengan
konsep penyusunan sistem pendidikan nasional tersebut. Suatu sistem pendidikan
nasional harus mementingkan masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan
elcsistensi bangsa Indonesia khususnya dalam hubungan masa lalu, masa kini dan
kemungkinan perkembangan masa depan.
Dari bunyi UU No. 2 tahun 1989 beserta peraturan yang menyertai jelas bahwa
pendidikan agama islam adalah kurikulum wajib bagi yang harus diberikan. Jika
pendidikan agama (islam) tidak diberikan, berarti tujuan pendidikan nasional tidak
akan pernah tercapai secara maksimal, karena ada sebagian siswa, khusus-nya yang
berada pada satuan pendidikan tertentu tidak mendapat pendidikan agam islam.
Karena itu kehadiran guru pendidikan agama islam yang prefesional sangat
dibutuhkan.
25

Dan jika kita menengok kepada tujuan pendidikan sebagaimana tertuang dalam
tujuan pendidikan nasional (pasal 4 UU no. 2 tahun 1989) yang berbunyi
“mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kepada
masyarakat dan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan islam adalah sebagai
bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran islam.
Dengan melihat kedua tujuan pendidikan diatas, baik tujuan pendidikan
nasional maupun tujuan pendidikan islam ada kesamaan yang ingin di wujudkan
yaitu: dimensi transcendental (ukhrowi) dan dimensi duniawi (material).
Pendidikan Islam dan pendidikan nasional terdapat 3 segi yang dapat ditelusuri
Pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional indonesia itu sendiri.
Kedua, dari hakikat pendidikan islam dan kehidupan beragama kaum muslimin di
Indonesia. Ketiga, dari segi kedudukan pendidikan islam dalam sistem pendidikan
nasional.
Pendidikan Islam merupakan suatu Lembaga sesuai dengan peraturan
pemerintah No. 28 tahun 1990, No. 60 tahun 1999 dan No. 73 tahun 1991.
Pendidikan keagamaan diselenggarakan pemerintah sesuai peraturan perundang-
undangan dimana Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat serta pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan
pada jalur pendidikan formal, non formal dan informal, pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman. Pendidikan Islam juga Sebagai
Mata Pelajaran dimana jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan
pancasila, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Dalam pasal 3 isi
kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan
pelajaran (PP 28 Bab. VII pasal 14 ayat 2) meliputi
1. Pendidikan Pancasila
2. Pendidikan Agama
3. Pendidikan Kewarganegaraan
4. Bahsa Indonesia
5. Membaca Dan Menulis
6. Matematika (Termasuk Berhitung)
7. Pengantar Sains Dan Teknologi
8. Ilmu Bumi
9. Kerajinan Tangan Dan Kesenian
10. Pendidikan Jasmani Dan Kesehatan
11. Menggambar
12. Bahasa Inggris
Pada PP 29 tahun 1990 Bab VIII pasal (15) ayat (2) isi kurikulum pendidikan
menengah wajib memuat bahan kajian dan mata pelajaran tentang:
1. Pendidikan Pancasila
2. Pendidikan Agama
3. Pendidikan Kewarganegaraan
26

Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 dicantumkan tentang beberapa hal


yang berkenaan dengan pendidikan agama. Pasal 37 (1): kurikulum pendidikan dasar
dan menengah wajib memuat:
1. Pendidikan Agama
2. Pendidikan Kewarganegaraan
3. Pendidikan Bahasa
4. Matematika
5. Ilmu Pengetahuan Alam
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
7. Seni Dan Budaya
8. Pendidikan Jasmani Dan Olahraga
9. Keterampilan / Kejuruan
10. Muatan Lokal
11. Selain Itu Kurikulum Pendidikan Tinggi Wajib Memuat:
12. Pendidikan Agama
13. Pendidikan Kewarganegaraan
14. Bahasa
Ada beberapa pokok-pokok pikiran nilai-nilai yang terkandung dalam undang-
undang nomor 20 tahun 2003, yaitu:
1. pendidikan nasional adalah pelaksanaan pembangaunan nasional dibidang
pendidikan
2. asas dan dasar pendidikan berdasarkan pancasila dan UUD 1945
3. tujuan pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik
4. pendidikan nasional bersifat demokratis dan humanis yakni memberikan
kesempatan kepada setiap negara untuk memperoleh pendidikan
5. memberikan kesempatan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan
fisik atau mental
6. menekankan pentingnya pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan seumur hidup
7. pendidikan keagamaan merupakan satu jenis pendidikan yang khusus
mengajarkan agama tertentu.
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa suatu sistem pendidikan
nasional tidaklah berlaku umum. Maksudnya adalah pola penyusunan sistem
pendidikan nasional harus berdasarkan keberadaan umat manusia dan latar
belakang sejarah bangsa masa lalu, sekarang dan masa depan.
Dalam laporan komisi pembaharuan pendidikan nasional dikatakan bahwa
pengembangan bangsa merupakan kriteria dasar dalam membangun suatu sistem
pendidikan nasional dengan mewujudkan keselarasan, keseimbangan dan kesera-
sian antara pengembangan kwantitatif dan pengembangan kwalitatif serta antara
aspek lahiriah dan aspek rohaniah.
Dari keterangan tersebut dikatakan bahwa penyusunan sistem pendidikan
nasional harus berdasarkan dan pertimbangan faktor bangsa dan masyarakat
Indonesia serta aspek lahiriah dan rohaniah bangsa Indoneisa, sebab bangsa
Indonesia telah menjalani penindasan dan perjuangan melawan penjajah, tentu
27

dalam hal ini ada keterkaitan dengan masa awal perkembangan dan pendidikan
Islam di tanah air sampai sekarang ini.
Ditinjau dari segi hakikat pendidikan Islam, kegiatan mendidik merupakan
bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan agama Islam di Indoneisa
dengan sistem pendidikan Islam dan usaha-usaha penyiaran agama di masyarakat.
Islam dapat tersebar di seluruh masyarakat Indonesia. Ditambah lagi dengan
kebutuhan akan pendidikan di masyarakat akan semakin meningkat. Karena
pendidikan adalah suatu usaha yang teratur, rinci dan terarah dalam pemeliharaan,
pengembangan dan peningkatan kebudayaan bangsa baik dalam bidang pendidikan
formal maupun non formal.
Dengan adanya sistem pendidikan Barat yang terkoordinir dan sistematis,
menguntungkan pendidikan secara umum namun mempengaruhi sistem pendidikan
Islam. Pada keharusannya memperbaharui sistem pendidikan Islam pada lembaga
keagamaan ke arah sistem yang lebih sempurna. Dan disamping itu muncul lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan sekolah-sekolah nasional swasta dengan
menggunakan pola Barat yang berorientasi kepada kepentingan nasional dan
semangat kebangsaan. Berdasarkan hal ini pendidikan akan tetap tumbuh dan
berkembang untuk mendidik masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
dan juga lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, sekolah
umum yang berdasarkan keagamaan dan yang lainnya. Dan lembaga-lembaga inilah
yang akan menjadi modal dasar dan modal pokok dari pendidikan nasional yang akan
disusun bangsa Indonesia yang sudah merdeka, bersatu dan berdaulat.
PERTEMUAN KE LIMA (5)
A. HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Sumber dasar Ajaran Islam yaitu Al-qur`an dan Hadis, tidak saja mengandung
doktrin-doktrin teologis tentang keimanan kepada Allah swt, tetapi juga berisikan
tentang hal-hal terkait dengan isyarat ilmiah tentang pendidikan. Membicarakan
konsep dasar pendidikan persfektif Islam, tentunya harus merujuk kepada informasi
dalam Al-Quran dan hadis.
Dalam makna yang luas dengan analisis mendalam, maka ada tiga term yang
ada dalam Al-quran dan hadis tentang konsep pendidikan Islam, dan tiga term itu
adalah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Walaupun tiga term ini mempunya dasar arti yang
sama, akan tetapi pada hakikatnya mempunya perbedaan yang sangat mendasar.
Untuk memaknai ini tentunya perlu memahami dan mengetahuinya secara rinci.
1. Tarbiyah dalam Pendidikan Islam
Tarbiyah berasal dari bahasa arab yaitu rabb yang bermakna tumbuh dan
berkembang. Jika ditinjau menurut al-qurthuby maka tarbiyah diartikan sebagai
makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya. Jika menurut al-asfahany, kata al-rabb diartikan
mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau membuat
sesuatu untuk mencapai kesempurnaan secara bertahap.
Istilah tarbiyah muncul berkaitan dengan gerakan tajdid (pembaharuan)
pendidikan di dunia Arab pada perempat kedua abad ke-20. Oleh karenanya,
penggunaannya dalam konteks pendidikan dewasa ini tidak ditemukan dalam
referensi-referensi klasik. Yang ditemukan adalah istilah-istilah seperti ta’lim, ‘ilm,
ta’dib dan tahdzib.
28

Mengutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan Al-Quran


Tentang Pendidikan, bahwa kata tarbiyah dengan berbagai derivasinya di dalam
Al-Quran terulang sebanyak 952 kali yang terbagi menjadi dua bentuk sebagai
berikut.
Pertama, berbentuk isim fa’il (rabbani). Bentuk ini terulang sebanyak 3 kali
yang kesemuanya berbentuk jama’ yaitu rabbaniyyina dan rabbaniy yuna yang
juga memiliki keterkaitan dengan term mengajar (ta’lim) dan belajar (tadris)
sebagaimana ditunjukkan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 79,

‫ُك ْو ُنْو ا ِع َباًدا ِّلْي ِم ْن ُد ْو ِن ِهّٰللا َو ٰل ِكْن ُك ْو ُنْو ا َر َّباِنّٖي َن ِبَم ا ُكْنُتْم ُتَع ِّلُم ْو َن اْلِكٰت َب َو ِبَم ا ُكْنُتْم َتْد ُرُسْو َن‬
“…Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi
(hendak-nya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu
mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” (Q.S. Ali Imran [3]: 79).
Kata rabbani dalam ayat tersebut, sebagaimana penjelasan Ahmad Munir,
dinisbahkan kepada kata rabba, artinya yang mendidik manusia dengan ilmu dan
pengajaran semasa kecil. Ibn Abbas dalam tafsirnya menjelaskan kata rabbani
berasal dari kata rabbaa, yang mendapat imbuhan alif dan nun yang
menunjukkan makna mubalaghah.
Lebih dari itu, sebagian ulama berpendapat bahwa rabba bermakna tokoh
ilmuwan (arbaba al-‘ilm) yang mendidik dan memperbaiki kondisi sosial
masyarakatnya. Ada juga yang berargumen bahwa kata tersebut bermakna orang
yang memiliki ekspertasi dan mengamalkan keilmuannya secara memadai.
Kedua, berbentuk mashdar (rabban). Bentuk ini, seperti yang dipaparkan
Ahmad Munir, terulang dalam Al-Quran sebanyak 947 kali; empat kali berbentuk
jama’ (arbaban) dalam Q.S. Yusuf [12]: 39, satu kali berbentuk tunggal dalam Q.S.
al-An’am [6]: 164, dan selebihnya berupa isim sebanyak 141 kali yang mayoritas
dikontekskan dengan alam, masalah nabi, manusia, sifat Allah, dan ka’bah.
Ketiga, berbentuk kata kerja (rabbaa). Bentuk ini terulang sebanyak 2 kali,
yaitu dalam Q.S. al Isra [17]: 24 dan Q.S. al-Syu’ara [26]: 18.
Makna Tarbiyah
Istilah tarbiyah secara umum berakar pada tiga kata. Pertama, kata raba-
yarbu, artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, rabba/rabiya-yarba, artinya
tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki,
menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara seperti yang dikemukakan
Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam:
Tinjauan dari Aspek Semantik.
Term al-Rabba menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Mufradat Alfadz al-
Qur’an mempunyai padanan kata yang sama dengan term tarbiyah yang bermakna
menumbuhkan atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-
angsur. Pendapat lain mengatakan, al-Jauhari misalnya, kata tarbiyah dan
berbagai bentuk derivasinya sebagaimana diriwayatkan al-Asma’i,
bermakna rabban dan rabba, artinya memberi makan, memelihara, dan
mengasuh. Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti halnya
anak-anak, tanaman, hewan, dan seterusnya.
Hal senada juga dituturkan Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab, kata tarbiyah
secara bahasa berasal dari rabba-yurabbi-tarbiyah, artinya mendidik, mengampu
dan memelihara. Tidak jauh berbeda, Quraish Shihab dalam Tafsir al-misbah
29

mengungkapkan kata tarbiyah seakar dengan kata rabbiyatu, yakni mengarahkan


sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya.
Abdurrahman al-Nahlawi dalam Ushul al-Tarbiyah mengemukakan kata
tarbiyah berasal dari kata rabaa-yarbu, bermakna bertambah dan bertumbuh
rabiya-yarba artinya menjadi besar, dan rabba-yarubbu bermakna memperbaiki,
menguasai urusan, menuntun, menjaga, mengasuh dan memelihara. Dengan
demikian, menurutnya, tarbiyah mencakup sekurang-kurangnya empat hal, yakni
(1) memelihara fitrah anak; (2) menumbuhkan bakat dan potensinya; (3)
mengarahkan seluruh fitrah dan potensinya agar berkembang dengan baik dan
terarah; dan (4) dalam proses perkembangannya dilakukan secara gradual atau
bertahap.
Jika makna tarbiyah dihubungkan dengan Q.S. al-Isra [17]: 24, Muhammad
al-Naquib al-Attas dalam The Concept of Education in Islam: A Frame Work for an
Islamic phylosofhy of Education berpendapat bahwa kata “rabayani” di situ
bermakna rahmah (ampunan atau kasih sayang), pakaian dan tempat berteduh,
serta pemeliharaan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Jadi, kata
tarbiyah dalam konteks ayat tersebut (Q.S. al-Isra [17]: 24) bermakna rahmah
(kasih sayang) atau maghfirah (ampunan).
Senada dengan al-Attas, Abdul Fattah Jalal, sebagaimana dikutip Ahmad
Syah, menjelaskan yang dimaksud kata tarbiyah dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 24 dan
Q.S. al-Syu’ara [26]: 18 adalah pendidikan yang berlangsung pada fase bayi dan
kanak-kanak sehingga mereka sangat bergantung pada pemeliharaan dan kasih
sayang kedua orang tuanya.
B. Taklim Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan hal penting dalam setiap aktivitas kehidupan manusia.
Pendidikan memberikan kebebasan pada akal untuk berpikir. salah satunya adalah
pendidikan islam. Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian
pendidikan Islam.
Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia
supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya,
sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus,
profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya.
Selama ini buku-buku ilmu pendidikan islam telah memperkenalkan paling
kurang tiga kata yang berhubungan dengan pendidikan islam yaitu, al-tarbiyah, al-
ta’lim dan al ta’dib.
Dan yang paling sering dicari seseorang adalah buku atau kitab Silsilah Ta’lim Al
Lughah Al Arabiyah PDF yang seperti disediakan oleh blog Hamam.id.
Nah,disini kita akan membahas salah satunya dulu tentang apa itu Al-Ta’lim.
Istilah ta’lim, seperti yang disampaikan Abdul Fattah Jalal dalam Min al-Ushul al-
Tarbawiyah fi al-Islam, adalah serangkaian proses pembinaan pengetahuan,
pemahaman, intelektualitas, dan tanggung jawab yang ditujukan kepada manusia
yang dilakukan secara berkelanjutan. Dalam definisi yang lain, Athiyah al-Abrasy,
misalnya, ta’lim diartikan sebagai upaya untuk mempersiapkan individu dengan
mengacu pada aspek tertentu. Menurutnya, ta’lim merupakan bagian terkecil
dari tarbiyah di mana hanya mencakup domain kognitif atau intelektualitas saja, dan
tidak menyentuh domain afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan).
30

Lebih dari itu, filsuf Islam kenamaan asal Indonesia, Syed Muhammad Naquib al-
Attas dalam the Concept of Education in Islam, ia menjelaskan secara etimologis kata
ta’lim bermakna pengajaran (bentuk dari kata ‘allama-yu’allimu-ta’liman). Sementara
itu, secara istilah ta’lim ialah serangkaian proses transmisi ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) yang dilakukan oleh guru kepada muridnya.
Guna menjustifikasi pendapatnya ini, al-Attas menyuguhkan Q.S. al-Nahl [16]:
78,
‫َو ٱُهَّلل َأْخ َر َج ُك م ِّم ۢن ُبُطوِن ُأَّم َٰه ِتُك ْم اَل َتْع َلُم وَن َش ْئًـا َو َج َعَل َلُك ُم ٱلَّسْمَع َو ٱَأْلْبَٰص َر َو ٱَأْلْفِٔـَدَةۙ َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُروَن‬
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati nurani agar kamu bersyukur. (Q.S. al-Nahl [16]: 78)
Al-Tabari dalam tafsirnya menafsirkan kata la ta’lamuna syai-an dengan la
ta’qiluna syai-an wa la ta’lamuna (kamu tidak mengerti apa-apa dan kamu tidak
tahu), lalu Allah memberimu beberapa akal (‘uqulan) supaya kalian paham betul
sehingga dapat membedakan mana yang baik dan buruk (tafqahuna biha wa
tumayyizuna biha al-khaira min al-syarri), dan menganugerahkan penglihatan dan
pendengaran agar kamu dapat menggunakannnya deengan baik.
Tidak jauh berbeda dengan Al-Attas, Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim
dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam membagi beberapa makna ta’lim yang ia nukil
dari Abdul Fattah Jalal, sebagai berikut.
Pertama, ta’lim merupakan proses pembelajaran yang dilakukan sejak manusia
lahir dengan mengembangkan segala potensinya, baik potensi pendengaran,
penglihatan dan potensi hati. Pengertian ini digali dari Q.S. al-Nahl [16]: 78.
Kedua, proses ta’lim tidak boleh mandeg alias berhenti hanya pada pencapaian
aspek kognitif saja, melainkan menjangkau aspek afektif dan psikomotorik. Sebab,
menurut Abdul Fattah Jalal, Al-Quran me-warning seseorang yang hanya memiliki
pengetahuan saja, dan mengabaikan aspek-aspek yang lain, semisal aspek afektif dan
psikomotorik. Ia mendasarkannya pada firman Allah Q.S. al-Baqarah [2]: 151.
C. Ta’dib dalam pendidikan Isalam
Secara literal, ta’dib berasal dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, bagai mana
dikemukakan Atiyah al-Abrashi dalam Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, yang
berkonotasi pada pembimbingan peserta didik oleh seorang pendidik, terutama
akhlakul karimah. Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab seperti yang dikutip Ahmad
Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam, ta’dib merujuk
pada pendidikan adab atau sopan santun. Arti dasar ta,dib, menurut Ibn Mandzur,
yaitu “undangan kepada suatu perjamuan”.
Makna “perjamuan” menyiratkan bahwa tuan rumah adalah orang yang mulia
dan tentu banyak sekali orang yang hadir di dalam acara tersebut. Mereka yang
hadir, demikian kata Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education, adalah
orang-orang yang berkedudukan mulia, terhormat, berpendidikan tinggi sehingga
diharapkan dapat berperilaku, bersikap yang baik lagi sopan maupun bertutur kata
yang baik (qaulan kariman).
Pengertian yang disuguhkan Al-Attas merujuk pada hadits Nabi saw dalam Syarah
Sunan al-Darimi (Fathul Mannan), yang artinya :
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Khalid bin Hazim telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami
31

Abu Sinan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah ia berkata,
“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu
kalian. Sungguh, aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih kosong dari kebaikan selain
rumah yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an. Sungguh, hati yang di dalamnya
tidak ada bacaan Al Qur’an adalah hancur seperti hancurnya rumah yang tidak
berpenghuni.” (H.R. al-Darimi nomor 3173).
Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda, “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”
(Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadilah pendidikanku yang
terbaik). Di dalam hadits tersebut, kata ta’dib secara eksplisit diartikan dengan
pendidikan, dari kata addaba yang berarti mendidik dengan adab. Term ini, menurut
al-Zajjaj sebagaimana dikutip Ibn Mandzur, dimaknai sebagai cara Tuhan mendidik
Nabi-Nya, yang sudah barang tentu mengandung konsepsi pendidikan yang
sempurna.
Lebih jauh, Ibn Mandzur seperti yang dikutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi:
Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan, ta’dib juga dapat dimaknai dengan
doa. Sebab doa mampu membimbing manusia kepada sifat yang terpuji dan
menghindarikan dari hal-hal yang tidak terpuji. Bahkan, cendekiawan Muslim
Indonesia, al-Attas meneguhkan kata ta’dib untuk menggambarkan pendidikan
Islam ketimbang tarbiyah.
Meskipun kata adab tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, namun
ditemukan pujian yang terkait dengan akhlak Nabi saw sebagaiamana yang terekam
dalam Q.S. al-Qalam [68]: 4,
‫َو ِاَّنَك َلَع ٰل ى ُخ ُلٍق َع ِظ ْيٍم‬
Artinya:“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti
luhur”. (Q.S. al-Qalamm [68]: 4).
Ayat di atas khususnya diksi la’ala (berada di atas) menunjukkan betapa adab
(budi pekerti) Nabi saw melampaui batas budi pekerti manusia pada umumnya
sehingga Allah swt begitu “takjub dan terkesima” dengan akhlak Rasul saw yang
terlampau luhur dan mulia.
PERTEMUAN KE ENAM
KOMPONEN DAN SUMBER PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidik dalam Pendidikan Islam
Di dalam kegiatan belajar-mengajar pasti ada yang sering kita sebut
dengan pendidik dan peserta didik, yang mana keduanya memiliki keterikatan
yang sangat kuat,karena pendidik tanpa peserta didik tidak akan terjadi kegiatan
belajar mengajar begitu juga sebaiknya.
Sebelum melangkah lebih jauh tentang pendidik dalam pendidikanislam, maka
terlebih terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian dari pendidikan islam
tersebut, pendidikan islam adalah suatu kajian yang memuat teori-teori tentang
pendidikan serta data-data dan penjelasannya sesuai dengan perspektif islam.
Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensiafektif (rasa), kognitif
(cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Dalam literature Islam, seorang pendidik biasa disebut sebagai ustadz, mu‟allim,
murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu‟addib.
32

Kata ustadz biasanya digunakan untuk memanggil seorang professor, hal ini
bermakna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme
dalam mengemban tugasnya.
Kata mualim berasal dari kata„ilm yang berarti menangkap hakekat sesuatu.
Dalam setiap ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensiamaliah. Hal ini
mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untukmenjlaskan hakikat ilmu
pengetahuan yang dikerjakannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya,
dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya.
Kata murabbiy berasal dari kata dasar Rabb. Tuhan adalah sebagai Rabb-al-
„alamin dan Rabb al-nash, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara
alam seisinya termasuk manusia. Manusia sebagai khalifahnya diberi tugas untuk
menumbuh kembangkan kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan
memelihara alam seisinya. Dari pengertian ini pendidik adalah seseorang yang
mendidikdan menyiapkan peserta didik agar mempu berkreasi, sekaligus mengaturda
n memelihara kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya.
Kata mursyid biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah (Tasawuf).Seorang
mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan akhlak dankepribadiannya kepada
peserta didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya,etos kerjanya, etos belajarnya,
maupun dedikasinya yang serba Lillahi Ta‟ala (karena mengharap ridha Allah
semata). Dengan demikian dalamkonteks pendidikan mengandung makna bahwa
guru merupakan model atau sentral indentifikasi diri,yakni pusat anutan dan teladan
bahkan konsultan bagi pesrta didiknya.
Kata mudarris berasal dari kata darasa-yadrusu-darsan wa durusann wadira-
satan, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang,
melatih, mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guruadalah berusaha
mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas
kebodohan mereka, serta memilihketidaktahuan atau memberantas kebodohan
mereka, serta melatihketrampilan mereka sesuai dengan bakat,minat dan
kemampuannya.
Kata muadddib berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab, atau
kemajuan lahir dan batin. Jadi guru adalah orang yang beradabsekaligus memiliki
peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa
depan.Pengertian pendidik secara umum dapat diartikan sebagai orang
yang bertanggung jawab atas pendidik dan pengajaran.
Sedangkan secara bahasa pendidik adalah orang yang pekerjaanya mengajar.
Dalam konteks yang lebih luas setiap individu adalah pendidik, oleh sebab itu ia
harus menjaga dan meningkatkan kualitas diri dan sekaligus menjadi tauladan bagi
sesamanya. Sedangkan pendidik dalam islam adalah setiap individu yang
bertanggung bertanggung jawab terhadap perkembangan subjek didik.
Seorang pendidik merupakan komponen yang sangat penting dalam system
kependidikan, karena pendidiklah yang akan mengantarkan anak didik pada tujuan
yang telah ditentukan, yang mana tujuan pendidikan islam adalah
menciptakan/membentuk manusia yang sempurna (insan kamil) yang sesuai dengan
ukuran islam. Hal tersebuttidak mudah seperti membalikkan sebuah telapak tangan,
mengapa demikian ! karena seorang pendidik memiliki tanggung jawab yang sangat
besar untuk menjadikan pesertadidik lebih baik dari sebelum-sebelumnya
B. Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
33

Peserta didik merupakan anak didik yang sedang mengalami proses


perkembangan dan pertumbuhan kepribadian menurut fitrahnya masing-masing.
Peserta didik membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari suatu lembaga
pendidikan agar bisa mengoptimalkan kemampuan fitrahnya. Dalam bahasa Arab,
peserta didik lebih dikenal dengan istilah tilmidz (untuk peserta didik SD) dan thalib
al-ilm (peserta didik SMA, SMP, Perguruan Tinggi).
Pendidikan dalam Islam secara umum bertujuan untuk membentuk hamba Allah
yang berserah diri dan menjaga fitrah keagamaan seseorang sampai akhir hayatnya.
Sehingga bisa menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter melalui pokok-
pokok ajaran Islam (aqidah, Ibadah dan akhlak).
Seorang pendidik harus bisa mendidik dengan baik sehingga bisa membentuk
peeserta didik yang berakhlakul karimah dan sesuai dengan tujuan yang
diharapakan dalam perspektif Islam.
Biasanya supaya pelaksanaan proses Pendidikan Islam bisa mencapai tujuan
yang diinginkan, peserta didik harus menyadari tugas dan kewajibannya yaitu ;
a. Sebelum mulai belajar, peserta didik harus membersihkan hatinya terlebih dahulu,
karena belajar adalah ibadah, dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang
bersih.
b. Tujuan utama belajarnya adalah untuk menghiasi jiwanya dengan beberapa
keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
c. Harus memiliki keinginan yang besar untuk menuntut ilmu, walaupun harus pergi
ke berbagai tempat yang jauh dari keluarga maupun tanah kelahiran.
d. Peserta didik juga wajib untuk menghormati, memuliakan dan mengangungkan
pendidiknya karena Allah, juga berusaha untuk menyenangkan pendidik dengan
cara yang baik dan mulia
e. Selain itu peserta didik juga harus bersungguh-sungguh dan tabah dalam proses
pembelajaran.
Ada beberapa sifat yang wajib dan harus dimiliki oleh seorang peserta didik,
a. Meniatkan belajar hanya untuk ibadah dalam rangka taqarrub pada Allah.
b. Harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena akan
melengahkannya dari menuntut ilmu
c. Menjaga pikiran agar tetap bersih dari berbagai pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran dan lingkungan
d. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum mauupun ilmu agama
e. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi
"Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat;
aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan,hasrat atau
motivasi yang keras, sabar, modal {sarana}, petunjuk guru, dan masa yang panjang
{kontinu}".
Dari syair Ali bin Abi Thalib tersebut kita bisa tahu bahwa ada enam syarat-
syarat yang harus dimilki oleh peserta didik dan merupakan kompetensi mutlak yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan pendidikan, antara lain;
a. Memiliki kecerdasan (dzaka); yaitu penalaran atau imajinasi, wawasan (insight),
pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara
cepat dan tepat.
34

b. Memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi
dalam menuntut ilmu, juga tidak mudah merasa puas terhadap ilmu yang
diperolehnya. Hal ini penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, karena
belajar bukan hanya masalah mampu (qudrah) tetapi juga mau atau ingin (iradah).
Sehingga, harapannya nanti akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi
pendidikan yang maksimal.
c. Bersabar dan tabah (ishtibar), juga tidak pernah putus asa dalam belajar,
walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis,
sosiologis, politik, ataupun administratif.
d. Memiliki modal dan sarana (bulghah) yang memadai untuk belajar
e. Adanya petunjuk dari pendidik, agar tidak mengakibatkan atau memicu
kesalahpahaman (misunderstanding) terhadap apa yang telah dipelajari.
f. Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tanpa henti dalam mencari ilmu
(no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian
sampai liang lahat).
Tujuan akhir pendidikan Islam menurut Imam al-Gazali adalah untuk mencapai
keutamaan dan taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Tujuan pendidikan
Islam yaitu membentuk kepribadian muslim/berakhlakul karimah dan untuk
mewujudkannya memerlukan proses yang sangat panjang.
C. Tujuan dan Kurikulum Pendidikan Islam
1. Tujuan Pendidikan Islam
Setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah
ditetapkan. Dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk
mengakhiri suatu usaha, mengarahkan usaha yang dilalui, dan merupakan titik pangkal
untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Selain itu tujuan dapat membatasi ruang gerak
agar kegiatan yang dilakukan dapat terfokus pada apa yang telah dicita-citakan.
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan islam memiliki kejelasan tujuan
yang hendak dicapai. Banyak dari para ahli yang mengkaji dengan sungguh-sungguh apa
yang menjadi tujuan pendidikan tersebut. Hal ini bisa dimengerti karena tujuan pendidikan
mempunyai kedudukan yang amat penting.
Semua tujuan pastilah membahas mengenai sasaran yang hendak dicapai dalam satu
waktu tertentu. Demikian pula dalam pendidikan islam, dengan meneliti maksud dari
beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist, Para ahli kemudian mencoba merumuskan tujuan
pendidikan islam. Prof. Dr. M. A’thiyah Al-Abrasyi menyimpulkan dalam satu kata bahwa
tujuan pendidikan itu ialah fadhilah atau keutamaan. Maksudnya adalah bahwa
pendidikan dan pengajaran bukanlah untuk memenuhi otak peserta didik dengan berbagai
macam ilmu yang belum mereka ketahui, akan tetapi tujuannya adalah mendidik akhlak
dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah, membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi, mempersiapkan mereka dalam menghadapi kehidupan dengan ikhlas dan
jujur. Al-Ghazali pun berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri
kepada Allah SWT, bukan mencari pangkat ataupun bermegah-megahan.
Tujuan pendidikan islam menurut Kongres Pendidikan Islam sedunia di Islamabad
pada tahun 1980, bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita islami yang mencakup
pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis
berdasarkan potensi psikologis dan filosofis (jasmaniah). Manusia mengacu kepada
keimanan dan ilmu pengetahuan secara seimbang sehingga terbentuklah muslim yang
35

berjiwa tawakkal secara total kepada Allah SWT. Hal ini diambil dari firman Allah dalam Q.S
Al-An’am ayat 162 :
‫قْل ِإَّن َص اَل ِتي َو ُنُسِكي َو َم ْح َياَي َو َمَم اِتي ِلَّلِه َر ِّب اْلَع اَلِميَن‬
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.” ( Q.S Al-An’am : 162 )
Rumusan di atas juga sesuai dengan firman Allah SWT :
‫َيْر َفِع الَّلُه اَّلِذيَن آَم ُنوا ِم ْنُكْم َو اَّلِذيَن ُأوُتوا اْلِع ْلَم َد َرَج اٍتۚ َو الَّلُه ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”( Q.S Al-Mujaadalah : 11 ).
Dengan demikian tujuan pendidikan islam sama luasnya dengan kebutuhan manusia,
baik masa kini maupun masa yang akan datang. Manusia tidak hanya memerlukan iman
atau agama, akan tetapi manusia juga memerlukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
sebagai alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan sebagai sarana untuk
mencapai kehidupan spiritual yang baik di akhirat kelak.
Perumusan tujuan Pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang
meliputi beberapa aspek, yaitu;
a. Tujuan dan tugas hidup manusia
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu.
Tugas manusia berupa ibadah (sebagai Abdullah) dan tugas sebagai wakil Allah di muka
bumi (Khalifatullah). Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia, yaitu konsep
tentang manusia bahwa ia diciptakan sebagai khalifah Allah di muka bumi,
serta untuk beribadah kepada-Nya.
b. Tuntutan masyarakat
Tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga
dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan
kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia modern.
c. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia di dunia, untuk mengelola dan memanfaatkan dunia
sebagai bekal kehidupan di akhirat serta mengandung nilai yang mendorong manusia
berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan.
Manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang
dimiliki. Namun demikian, kemelaratan dan kemiskinan dunia harus diberantas, sebab
kemelaratan dunia bisa menjadikan ancaman yang menjerumuskan manusia pada
kekufuran. Dimensi tersebut dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan
ukhrowi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi
daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang
menggoda ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual,
sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.
Upaya dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam harus dilaksanakan dengan
semaksimal mungkin. Abdurrahman Saleh Abdullah dalam bukunya “Educational
Theory, a Qur’anic Outlock” menyatakan, tujuan pendidikan Islam dapat dibagi menjadi
empat macam, yaitu :
1. Tujuan pendidikan jasmani (ahdaf Al-jismiyah)
Tujuan pendidikan jasmani digunakan untuk mempersiapkan diri manusia sebagai
pengemban tugas khalifah di bumi melalui pelatihan keterampilan-keterampilan fisik.
36

2. Tujuan pendidikan rohani


Tujuan pendidikan rohani digunakan untuk meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang
hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh
Nabi Muhammad SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam Al-Qur’an.
Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua, berupaya memurnikan dam
menyucikan diri manusia secara individual dan sikap negatif.
3. Tujuan pendidikan akal
Pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan
telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan dari ayat-ayat-Nya yang
membawa iman kepada sang pencipta. Tahapan pendidikan akal ini adalah:
a. Pencapaian kebenaran ilmiah
b. Pencapaian kebenaran empiris
c. Pencapaian kebenaran meta empiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai
kebenarann filosofis.
d. Tujuan pendidikan sosial
Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh dari roh,
tubuh, dan akal. Identitas individu di sini tercermin sebagai “an nas” yang hidup pada
masyarakat plural.
2. Kurikulum Pendidikan Islam
a. Pengertian Kurikulum dan Kurikulum Pendidikan Islam
Istilah kurikulum memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh para pakarnya
sejak dulu sampai dengan dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tersebut berbeda satu sama lain,
sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar bersangkutan. Istilah kurikulum
berasal dari bahasa latin, yakni “Curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan
yang harus ditempuh oleh peserta didik yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Selain
itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematis dan koordinatif dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Kartomo Wirosukoarjo mendefinisikan kurikulum sebagai suatu kegiatan yang
direncanakan untuk dialami, diterima, dan dilakukan oleh peserta didik agar dapat
mencapai tujuan.Prof. Dr. Sikun Pribadi juga mengungkapkan bahwa kurikulum ialah
suatu program belajar yang merupakan pengalaman belajar bagi para pelajarnya yang
mengikuti program studi tersebut. Sedangkan Drs. Dakir mendefinisikan kurikulum
sebagai suatu sistem perencanaan kegiatan pendidikan yang ditujukan kepada peserta
didik oleh suatu lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari
bermacam-macam definisi ini, dapat dilihat bahwa pengertiannya hampir sama, yaitu
merupakan satu perencanaan pengajaran, baik berupa bahan pelajaran ataupun
kegiatan pembelajaran.
Kurikulum pendidikan islam mengandung arti sebagai suatu rangkaian program
yang mengarahkan kegiatan belajar-mengajar secara terencana, sistematis, dan
mencerminkan cita-cita para pendidik sebagai pembawa aroma islami. Dengan kata lain,
materi-materi yang diajarkan haruslah sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Menurut
pandangan Prof. Dr. Mohammad al-Djamaly, semua jenis ilmu yang terkandung dalam
Al-Qur’an harus diajarkan oleh peserta didik. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu agama,
sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, biologi, ilmu
37

hitung, ilmu hukum, sosiologi, ekonomi, balaghah, bahasa arab, dan segala ilmu yang
dapat mengembangkan kehidupan umat manusia dan yang mempertinggi derajatnya.
b. Ciri-Ciri Kutikulum dalam Pendidikan Islam
Omar Mohammad al-Toumy menyebutkan lima ciri-ciri dari kurikulum pendidik-an
islam. Kelima ciri tersebut secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan
kandungan, metode, alat, ataupun tekhnik bercorak agama.
2. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Maksudnya adalah bahwa
kurikulum harus betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran dan ajarannya
menyeluruh. Di samping itu ia juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatikan
pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar.
3. Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum.
4. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh
peserta didik.
5. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan minat dan bakat peserta didik.
6. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Selain memiliki ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, kurikulum pendidikan juga
mempunyai beberapa prinsip yang harus ditegakkan. Al-Syaibany menyebutkan tujuh
prinsip kurikulum pendidikan islam, yaitu :
1. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilai-nilainya.
Setiap bagian yang terdapat dalam kurikulum , mulai dari tujuan, kandungan,
metode, dan sebagainya harus berdasarkan pada agama dan akhlak islam.
2. Prinsip menyeluruh pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum,
yakni mencakup tujuan membina akidah, akal, dan jasmaninya.
3. Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum.
4. Prinsip keterkaitan antara bakat, minat, kemampuan, maupun kebutuhan ajar.
5. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual di antara peserta didik, baik
dar segi minat maupun bakatnya.
6. Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan
zaman dan tempat.
7. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman
dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
8. Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Muh.al-Thoumy al Syaibany, menetapkan empat dasar pokok dalam kurikulum
pendidikan Islam, yaitu:
1. Asas Agama
Dasar yang ditetapkan berdasarkan nilai-nilai ilahi yang tertuang dalam Al-Quran
maupun As-Sunnah, karena kedua kitab tersebut merupakan nilai kebenaran yang
universal, abadi dan bersifat futuristik. Selain kedua sumber tersebut masih ada
sumber lain, yaitu dasar yang bersumber dari dalil ijtihad. Dalil ijtihad berupa ijma’,
Qiyas, Istihsan dan lain-lain.
2. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar
filosifis, sehingga susunan kurikulum PAI mengandung suatu kebenaran, terutama
dari nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenaran. Hal tersebut karena
salah satu kajian filsafat adalah sistem nilai, baik yang berkaitan dengan arti hidup,
masalah kehidupan, norma-norma yang muncul dari idividu, sekelompok
masyarakat, maupun suatu bangsa yang dilatar belakangi oleh pengaruh agama, adat
istiadat, dan konsep individu tentang pendidikan.
3. Asas Psikilogis
38

Dasar psikologis mempertimbangkan tahapan psikis anak didik, yang berkaitan


dengan perkembangan jasmaniah, kematangan, bakat-bakat jasmaniah, intelektual,
bahasa, emosi, sosial, kebutuhan dan keinginan individu, minat dan kecakapan.
1. Asas Sosial
Dasar sosiologis memberikan implikasi bahwa kurikulum pendidikan memegang
peranan penting terhadap penyampaian dan pengembangan kebudayaan, proses
sosialisasi individu, rekonstruksi masyarakat.

D. ALAT DAN SARANA PENDIDIKAN ISLAM


Alat pendidikan adalah suatu tindakan/perbuatan/situasi/benda yang sengaja
diadakan untuk mempermudah pencapaian pendidikan. Alat pendidikan dapat juga
di sebut sebagai sarana/prasarana pendidikan. Sarana pendidikan terbagi kepada
dua bagian yaitu : Pertama, Sarana fisik pendidikan; Kedua, Sarana non fisik
pendidikan.
1. Sarana Fisik Pendidikan.
a) Lembaga Pendidikan
Lembaga atau badan pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia,
yang memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Lembaga
pendidikan ini dapat berbentuk formal, informal, dan non formal.
Secara formal pendidikan di berikan di sekolah yang terkait aturan – aturan
tertentu, sedangkan non formal di berikan berupa kursus-kursus yang
aturannya tidak terlalu ketat, dan yang secara informal pendidikan di berikan di
lingkungan keluarga.
b) Media Pendidikan.
Media disini berarti alat-alat/benda-benda yang dapat membantu kelancaran
proses pendidikan, Seperti: OHP, Komputer, dan sebagainya.
2. Sarana Non Fisik Pendidikan
Yaitu alat pendidikan yang tidak berupa bangunan tapi berupa materi atau
pokok-pokok pikiran yang membantu kelancaran proses pendidikan. Sarana
pendidikan non fisik ini terdiri dari :
a) Kurikulum
Kurikulum merupakan bahan-bahan pelajaran yang harus di sajikan dalam
proses pendidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Dalam IPI
kurikulum merupakan komponen yang amat penting karena juga sebagai alat
pencapaian tujuan pendidikan itu. Selain itu kurikulum yang diberikan di
upayakan agar anak didik dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
b) Metode
Metode dapat di artikan sebagai cara mengajar untuk pencapaian tujuan.
Penggunaan metode dapat memperlancar proses pendidikan sehingga tujuan
pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Metode-metode tersebut, seperti: Metode Ceramah, Metode Tanya jawab,
Metode Hafalan, Cerita, Diskusi, dan lain-lain.
c) Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu cara memberikan penialaian terhadap hasil
belajar murid. Evaluasi dapat berbentuk tes dan non tes. Evaluasi tes dapat
berupa: essay, tes objektif, dan sebagainya. Sedangkan evaluasi non tes dapat
berupa: penilaian terhadap kehadiran, pengendalian diri, nalar, dan
pengalaman.
39

d) Manajemen
Pengelolaan yang baik dan terarah sangat diperlukan dalam mengelola
lembaga pendidikan agar tujuan yang di harapkan dapat tercapai.
Pengembangan sistem pendidikan islam membutuhkan manajemen yang
baik. Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, penempatan pegawai, dan
pengawasan yang baik akan memperkuat pendidikan Islam sehingga out put
yang di hasilkan akan berkualitas dan dapat menjawab tantangan zaman.
e) Mutu Pelajaran
Peningkatan mutu pelajaran tidak terlepas dari peningkatan kualitas tenaga
pengajar. Kualitas tenaga pengajar ini dapat di usahakan melalui bimbingan,
penataran, pelatihan, dan lain-lain.
f) Keuangan
E. Lingkungan Pendidikan Islam
Pada dasarnya, sebagai manusia secara umum telah mengetahui bahwa anak-
anak harus mengalami perkembangan semenjak dilahirkan sampai menjadi manusia
dewasa yang dapat berdiri sendiri dan bertanggungjawab sendiri dalam masyarakat.
Baik atau buruknya perkembangan anak itu, sangat bergantung pada pengaruh-
pengaruh yang diterima anak itu dari berbagai lingkungan pendidikan yang
dialaminya.
Ngalim Purwanto menyebutkan bahwa lingkungan pendidikan itu bermacam-
macam, akan tetapi pada dasarnya hanya terbagi dalam tiga macam lingkungan
pendidikan yaitu lingkungan pendidikan sekolah, lingkungan pendidikanan
keluarga dan lingkungan pendidikan masyarakat. Ngalim Purwanto (1994 : 111)
Berikut ini, akan dikupas ketiga lingkungan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Lingkungan Keluarga
Di dalam keluarga hendaknya diletakkan dasar-dasar pengalaman melalui
cinta dan kasih sayang, kebutuhan akan kewibawaan dan nilai-nilai kepatuhan,
sehingga dengan pergaulan yang demikian itu, hubungan antar pribadi dalam
keluarga tersebut adalah hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, dan
penghayatan terhadapnya adalah sangat wajar. Keluarga merupakan masyarakat
alamiah yang pergaulan di antara anggotanya memiliki corak khusus. Di sini
pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan yang berlaku di
dalamnya. Hal ini berarti bahwa tatanan pendidikan tanpa harus diumumkan atau
tertulis terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh seluruh anggota keluarga.
Seorang ibu yang memahamai alat-alat pendidikan yang baik, tentu ia dapat
menggunakannya dengan baik pula. Demikian halnya, seorang ayah yang lebih
memahami metode pendidikan, tentu ia dapat menerapkannya pada anggota
keluarganya. Dengan demikian, pemahaman ayah dan ibu tentang pendidikan
keluarga sangatlah penting karena ia merupakan lingkungan pertama dan utama
seorang anak yang akan menjalani hidupnya pada masa kini dan akan
datang. Suatu kehidupan keluarga yang baik, sesuai dan tetap menjalankan
ajaran-ajaran agama Islam, merupakan persiapan yang baik untuk memasuki
pendidikan sekolah. Oleh karena itu, suasana keluarga yang demikian itu tumbuh
berkembang efektif anak secara benar sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar. Keserasian pokok yang harus terbina adalah keserasian antara
kepala keluarga dan anggota keluarga terutama ibu yang keduanya merupakan
komponen pokok dalam setiap keluarga. Darajat (1992 : 67).
40

Al-Gazali menyebutkan bahwa, anak adalah amanat Tuhan untuk kedua orang
tuanya. Hatinya suci bagaikan jauhar yang indah, sederhana dan bersih dari
segala goresan dan bentuk. Ia masih menerima segala apa yang digoreskan
kepadanya dan cenderung kepada setiap hal yang ditujukan kepadanya. Zainuddin
(t.th : 88-89). Dengan demikian dapat dipahami bahwa :
1) Anak itu lahir di dunia dalam keadaan suci bersih dan sederhama.
2) Kedua orangtuanyalah yang harus menanggung resiko yang timbul akibat
perbuatannya yaitu bertanggungjawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak-
anaknya sebagai amanat dari Tuhan.
Perintah bertanggungjawab dan memelihara anggota keluarga dapat ditemukan
dalam Alquran surah al-Tahrim (66) ayat 6 yang artinya ”wahai orang-orang yang
beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka”.
Demikianlah lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama
yang perlu diperhatikan dalam mendidik generasi muda. Keberhasilan dalam
lingkungan pendidikan keluarga merupakan salah satu modal awal dalam
melakukan pendidikan selanjutnya.
2. Lingkungan Sekolah
Sebagaimana halnya dengan lingkungan pendidikan keluarga, lingkungan
sekolah juga memiliki peranan yang sangat penting dalam merubah tingkah laku
peserta didik. Sekolah harus menjadi satu lembaga yang membantu bagi
tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Bagi
masyarakat Islam, lembaga pendidikan yang dapat memenuhi harapan adalah
lembaga pendidikan Islam. Hal ini berarti bahwa lembaga pendidikan Islam itu
tidak hanya sekedar mengajarkan pendidikan agama Islam, akan tetapi lebih dari
itu, ia harus merupakan lembaga pendidikan Islam yang secara keseluruhannya
bernafaskan Islam. Hal ini mungkin terwujud, apabila ada keserasian antara
rumah dan sekolah dalam pandangan keagamaan.
Anak-anak dari keluarga muslim yang bersekolah, sesungguhnya secara
serentak telah hidup di dalam tiga lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah
dan masyarakat. Ketiga unsur lingkungan ini harus serasi dan saling mengisi
dalam membentuk kepribadian anak didik. Prof. Dr. Ahmad Syalaby menjelaskan:
”Sejarah pendidikan Islam amat erat pertaliannya dengan masjid, oleh karena
itu, apabila kita membicarakan masjid berarti kita membicarakan suatu lembaga
yang dipandang sebagai tempat yang asasi untuk menyiarkan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam. Lingkaran-lingkaran pelajaran telah diadakan di masjid
semenjak didirikan”. Ahmad Syalabi (1987 : 93-94).
Ada beberapa perbedaan antara lingkungan keluarga dengan lingkungan
sekolah, sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto sebagai berikut :
1) rumah atau lingkungan keluarga adalah lingkungan pendidikan yang
sewajarnya, perasaan dan tanggungjawab yang ada pada orang tua untuk
mendidik anak-anaknya timbul dengan sendirinya secara alami, tidak dipaksa.
Sedangkan lingkungan pendidikan sekolah adalah buatan manusia. Sekolah
didirikan oleh masyarakat atau negara untuk memenuhi kebutuhan suatu
keluarga untuk memberi bekal persiapan hidup bagi anak-anaknya.
2) Perbedaan suasana. Suasana di lingkungan keluarga senantiasa diliputi oleh
rasa kasih sayang di antara anggota-anggotanya, sedangkan kehidupan dan
pergaulan di lingkungan sekolah lebih lugas dan terbatas karena sekolah harus
41

ada ketertiban dan peraturan-peraturan tertentu yang harus dijalankan oleh


tiap-tiap murid dan guru.
3) Perbedaan tanggungjawab. Dalam lingkungan keluarga, orang tua menerima
tanggungjawab mendidik anak-anaknya dari Allah swt. sementara di sekolah
para guru lebih merasa tanggungjawab terhadap pendidikan intelektualnya atau
bagaimana menambah wawasan setiap anak serta pendidikan keterampilan
atau skill yang berhubungan dengan kebutuhan anak itu untuk hidup di dalam
masyarakatnya suatu waktu.
Dengan demikian, adanya perbedaan lingkungan keluarga dengan lingkungan
sekolah seperti tersebut di atas, hendaknya menyadarkan kita semua bahwa untuk
mendidik peserta didik itu tidak hanya dibutuhkan peranan sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal, tetapi hendaknya lingkunga yang satu dengan
lingkungan yang lainnya dijadikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling
mengisi.
3. Lingkungan Masyarakat
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa lingkungan pendidikan
yang ketiga adalah lingkungan masyarakat. Seperti halnya lingkungan pendidikan
yang telah dikemukakan di atas, lingkungan masyarakat juga mempunyai peranan
penting dalam keberhasilan pendidikan anak.
Tanggungjawab dalam pendidikan sungguh merupakan hal yang sangat
penting. Tanggungjawab tersebut menjelma dalam beberapa perkara dan cara yang
dipandang merupakan metode pendidikan masyarakat yang utama. Cara yang
terpenting menurut al-Nahlawi adalah :
Pertama, Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh untuk
menggalakkan kebaikan di tengah masyarakat sekaligus pelarang untuk
melakukan kemungkaran dan perbuatan keji. Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah
swt. di dalam Alquran surah Ali Imran ayat 110 yang artinya :
”Jadilah umat yang terbaik yang memerintahkan umat manusia untuk
melaksanakan amar makruf dan melarang untuk malakukan perbuatan mungkar,
dan beriman kepada Allah...” (QS. Ali Imran (4) : 110)
Kedua, Dalam masyarakat Islam, seluruh anak-anak dianggap sebagai anak
sendiri atau anak sosial bukan anak karena ada hubungan nasab,atau anak
saudaranya sehingga ketika seseorang memanggil seorang anak, mereka
memanggilnya dengan hai anak saudaraku. Hal ini terwujud berkat pengamalan
firman Allah swt. di dalam surah al-Hujurat ayat 10 yang artinya : ”Sesungguhnya
orang-orang muslim itu bersaudara...”.
Semenjak terbitnya fajar Islam, kaum muslimin telah merasakan
tanggungjawab bersama untuk mendidik generasi muda. Salah satu hadis
Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Anas, al-Bukhrai meriwayatkan yang
artinya :
”Dahulu aku menjadi pelayan Nabi Muhammad saw. Aku selalu masuk ke
Rasulullah tanpa izin terlebih dahulu. Suatu hari aku datang, maka beliau
bersabda : Wahai anakku, bagaimana kamu ini.? Sesungguhnya suatu persoalan
benar-benar telah terjadi sesudah kini. Jangan sekali-kali kamu masuk tanpa izin
terlebih dahulu.” Dari gambaran di atas, Rasulullah telah mengajari Anas untuk
meminta izin dan memanggilnya dengan rasa kekeluargaan, wahai anakku.
42

Ketiga, untuk menghadapi orang-orang yang membiasakan dirinya berbuat


buruk, Islam membina mereka melalui salahsatu cara membina dan mendidik
umat manusia dengan cara kritik sosial yang mendidik. Hal ini berarti bahwa kritik
sosial yang pedas merupakan salah satu alternatif untuk membina masyarakat
Islam. Namun tentu saja metode tersebut digunakan hanya untuk kondisi tertentu
yang sangat darurat.
Keempat, Masyarakatpun dapat melakukan pembinaan melalui pengisola-
sian, pemboikatan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan. Al-Nahlawi
(1997 : 177-178). Pembinaan melalui adanya tekanan masyarakat yang tujuannya
jelas adalah untuk kebaikan dan merupakan saran yang paling efektif. Allah swt,
pun telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya pada surah al-Taubah ayat
117-118 yang mengisyaratkan dampak pendidikan dari masyarakat terhadap
induvidu-induvidu yang tidak mentaati perintah Islam sehingga mereka merasakan
dunia ini sangat sempit.
Kelima, Pendidikan kemasyarakatan dapat juga dilakukan melalui kerjasama
yang utuh karena bagaimanapun, masyarakat muslim adalah masyarakat yang
padu. Rasulullah saw bersabda yang artinya :
”Perumpamaan kaum muslimin dalam mengasihi, menyayangi dan berlemah
lembut, seperti halnya tubuh, jika salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka
anggota tubuh lainnya turut demam atau tidak tidur.” al-Naesabury, (206-261 H :
1999-2000)
Keenam, Pendidikan kemasyarakatan bertumpu pada landasan afeksi
masyarakat, khususnya rasa saling mencintai. Serta
Ketujuh, pendidikan kemasyarakatan harus mampu mengajak generasi muda
untuk memilih teman dengan baik dan berdasarkan ketaqwaan kepada Allah swt.
Secara fitrah kaum remaja, terutama generasi muda yang aqil balik akan
cenderung untuk menyukai orang lain dan berbaur dalam suasana mereka sendiri.
Oleh karenanya, mereka harus dikenalkan pada cara yang strategis untuk
mencegah mereka akrab dengan anak-anak yang nakal. Persoalan tentang perihal
di atas, telah disebutkan dalam Alquran dalam surah al-shaffat ayat 50-57.
PERTEMUAN KE 8
A. PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Definisi Pendidik dalam Pendidikan Islam Dalam kamus bahasa indonesia kata
pendidik berarti orang yang mendidik. Dalam bahasa inggris ditemukan kata teacher
yang berarti pengajar. Selain itu terdapat kata tutor yang berarti pengajar pribadi
yang mengajar dirumah, mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator,
ahli didik, lecturer, pemberi kuliah, penceramah.
Dalam konteks keindonesiaan, pendidik juga dikenal dengan istilah guru. Guru
dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai seorang yang pekerjaannya, mata
pencahariannya, profesinya mengajar.3 Istilah ini sangat familiar dalam dunia
pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan formal. Guru bertugas sebagaimana
tugas yang dilaksanakan oleh pendidik. Bedanya ialah istilah guru seringkali dipakai
dilingkungan pendidikan formal, sedangkan pendidik dipakai dilingkungan formal,
informal maupun nonformal.
Secara akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan, yakni anggota
masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
43

pendidikan yang berkualifikasi sebagai pendidik, dosen konselor, pamong belajar,


widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lainnya yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional, bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan bimbingan dan platihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik perguruan tinggi.
Dari sini jelas, seorang pendidik adalah harus professional. Sehingga untuk
menjadi seorang pendidik tidak mudah. Pendidik seperti yang diamanatkan UUSPN
harus mempunyai kualifikasi minimum dan sertifaikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Dalam konteks pendidikan islam, istilah pendidik sering disebut dengan
Murobbi, Mu’allim, Mu’addib, Mudarris, Mursyid. Kelima term tersebut mempunyai
tempat tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam
konteks islam. Disamping itu, istilah pendidik kadangkala disebut melalui gelarnya,
seperti istilah Syaikh dan Ustadz. Dari beberapa term diatas, penggunaan kata al-
Mu’allim lebih banyak digunakan daripada term-term yang lain.
Adapun yang dimaksud dengan Murabbi adalah seseorang yang memiliki tugas
mendidik dalam arti pencipta, pemelihara, pengatur, pengurus dan memperbaiki
kondisi peserta didik agar potensinya berkembang. Orang yang memiliki pekerjaan
sebagai murabbi ini biasanya dipanggil dengan sebutan ustadz. Ustadz harus
memiliki tugas dan kompetensi yang melekat pada dirinya antara lain sebagai:
1. Mu’allim yang artinya orang yang berilmu pengetahuan luas dan mampu
menjelaskan/mengajarkan/mentransfer ilmunya kepada peserta didik, sehingga
peserta didik mampu mengamalkannya dalam kehidupan.
2. Mu’addib artinya seorang yang memiliki kediplinan kerja yang dilandasi dengan
etika, moral dan sikap yang santun serta mampu menanamkannya kepada peserta
didik melalui peneladanan dalam kehidupan.
3. Mudarris adalah orang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual lebih dan
berusaha membantu menghilangkan, menghapus kebodohan peseta didik dengan
cara melatih intelektualnya melalui proses pembelajaran, sehingga peserta didik
memiliki kecerdasan intelektual dan keterampilan.
4. Mursyid artinya orang yang memilki kedalaman spiritual, memiliki ketaatan dalam
menjalankan ibadah, serta berakhlak mulia, kemudian berusaha untuk
mempengaruhi peserta didik agar mengikuti jejak kepribadiannya melalui kegiatan
pendidikan.
Para pakar pendidikan dalam pendidikan islam, menggunakan rumusan yang
berbeda-beda tentang pendidik. Zakiah Dradjat misalnya, dia berpendapat bahwa
pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan
tingkah laku peserta didik. Sedangkan Ahmad Tafsir mengartikan Pendidik dalam
islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta
didiknya, yaitu dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi psikomotori, kognitif, maupun afektif.
44

Ahmad D. Marimba membatasi arti pendidik sebagai orang yang memikul


pertanggungjawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan
kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik. Dalam rumusan
D. Marimba ini, seorang pendidik harus orang yang dewasa. Karena dengan
kedewasaannya mampu menjalankan tugasnya terhadap peserta didik.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Suryosubrata, bahwa Pendidik berarti
juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada peserta
didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu
mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. dan
mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang
mandiri.
Pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri. Mereka berdua yang
bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena
sukses atau tidaknya anak sangat tergantung pengasuhan, perhatian, dan
pendidikannya. Kesuksesan anak kandung merupakan cerminan atas kesuksesan
orang tua juga. Firman Allah SWT:

‫ا ُقۤۡو ا َاۡن ُفَس ُك ۡم َو َاۡه ِلۡي ُك ۡم َن اًر ا َّو ُقۡو ُد َه ا الَّن اُس َو اۡل ِحَج اَر ُة َع َلۡي َه ا َم ٰٓلِٕٮَك ٌة ِغ اَل ٌظ ِش َداٌد اَّل‬ ‫ٰۤي َاُّي َه ا اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنۡو‬
‫َاَمَر ُهۡم َو َي ۡف َع ُلۡو َن َم ا ُيۡؤ َم ُر ۡو َن‬ ‫َي ۡع ُص ۡو َن َهّٰللا َم ۤا‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

B. PROSES BELAJAR MENGAJAR DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Proses belajar mengajar secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan
interaksi dan saling memengaruhi antara pendidik dan peserta didik, dengan fungsi
utama pendidikan memberikan materi pelajaran atau sesuatu yang memengaruhi
peserta didik, sedangkan peserta didik menerima pelajaran, pengaruh atau sesuatu
yang diberikan oleh pendidik. Pengertian proses belajar mengajar dalam arti
sederhana ini dapat dipahami dari beberapa ayat dibawah ini.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq (96): 1-5)
Dan Dia Mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruh-nya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:” Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar. (QS. al-
Baqarah (2): 31)
Dan Sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada luqman, yaitu:
Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak
45

bersyuku, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia member pelajaran kepadanya:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutu-
kan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman (31): 12-13).
Dan ayat-ayat al Qur’an tersebut dapat diperoleh isyarat tentang kegiatan
belajamengajar dengan berbagai komponen . pada surat al alaq (96) ayat 1 hingga 5,
prose belajar mengajar berlangsung dari tuhan kepada nabi Muhammad SAW.
melalui metode membaca (iqra’) tuhan (melalui malaikat jibril) ingin agar nabi
Muhammad SAW membacakan segala sesuatu yang disampaikan oleh malaikat jibril.
Pada surat al- baqarah yat 31, proses belajar mengajar berlangsung dari tuhan
( sebagai maha guru) kepada adam (sebagai mahasiswa). Adapun materi yang
diajarkan pada proses belajar mengajar tersebut berupa nama-nama segala sesuatu,
tersebut nama-nama benda, yakni hukum-hukum alam yang terdapat di alam jagat
raya, yang semuanya itu sebagai bukti adanya nama-nama atau tanda-tanda
kekuasaan tuhan. Adapun metode yang digunakan adalah metode al-ta’lim, yakni
memberikan pengertian, pemahaman, wawasan, dan pencerahan tentang segala
sesuatu dalam rangka membentuk pola piker (mindset).
Selanjutnya pada surat Luqman ayat 12, proses belajar mengajar berlangsung
dari tuhan kepada Luqman al- Hakim , materi yang diajarkan berupa hikmah, dan
tujuan nya agar lukman menjadi orang yang bersyukur, yakni selain memuji
keagungan allah SWT, juga mau mengamalkan ilmunya itu dalam kehidupan sehari-
hari, serta mengjarkannya kepada anak-anaknya, dan seterusnya.
Dalam pengertian yang lebih luas dan sistematik, proses belajar megajar adalah
kegiatan yang melibatkan sejumlah komponen yang antara satu dan lainnya.
Komponen tersebut antara lain meliputi visi dan tujuan yang ingin dicapai, guru yang
professional dan siap mengajar, murid yang siap menerima pelajaran, pendekatan
yang akan digunakan, strategi yang akan diterapkan, metode yang akan dipilih,
teknik dan taktik yang akan digunakan.
Dengan demikian, ukuran keberhasilan sebuah proses belajar mengajar itu
dapat dilihat pada sejauh mana proses tersebut mampu menumbuhkan, membina,
membentuk, dan memberdayakan segenap potensi yang dimiliki manusia, atau pada
sejauh mana ia mampu memberikan perubahan secara signifikan pada kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik.
Proses blajar mengajar secara singkat ialah proses memanusiakan manusia,
yakni mengaktualisasikan berbagai potensi manusia, sehingga potensi-potensi
tersebut dapat menolong dirinya, keluarga, masyarakat, abngsa dan negaranya.
Sebuah proses belajar mengajar dapat di katakana gagal, jika antara sebelum dan
sesudah mengikuti sebuah kegiatan belajar mengajar, namun tidak ada perubahan
apa-apa pada diri siswa atau mahasiswa.
46

Konsep belajar mengajar yang berbasis pada proses ini juga terdapat dalam
konsep belajar tuntas atau mastery learning yang digagas oleh benyamin S. Bloom.
Menurutnya, bahwa pada dasarnya semua orang dapat menguasai bahan pelajaran
samapi tuntas. Namun untuk menguasai bahan pelajaran tersebut setiap orang
harus diperlakukan secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Bagi
siswa yang kecerdasan tinggi agar diperlakukan berbeda dengan siswa yang
kecerdasannya sedang-sedang saja atau rendah. Dengan memperlakukan cara dan
lama nya waktu yang dibutuhkan secara berbeda-beda, akhirnya seseorang akan
sampai pada tujuannya masing-masing dan menguasai bahan pelajaran sampai
tuntas.
C. EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Evaluasi berasal dari kata “To Evaluate” yang berarti menilai. Disamping kata
evaluasi terdapat pula istilah measurement yang berarti mengukur. Pengukuran
dalam pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-kondisi objektif tenang
sesuatu yang akan dinilai. Penilaian dalam pendidikan islam akan objektif apabila
disandarkan pada nilainilai Al-Quran dan Al-Hadits.
Evaluasi secara harfiah berasal dari bahasa inggris Evaluation, dalam bahasa
arab : Al-Taqdiir, dalam bahasa Indonesia berarti penilaian. Akar katanya adalah
value, dalam bahasa arab (Al-Qiimah). Dengan demikian evaluasi pendidikan secara
harfiyah berarti penilaian dalam bidang pendidikan atau hal-hal yang berkaitan
dengan kegiatan pendidikann.
Suharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam pembahasan evaluasi yaitu,
pengukuran, penilaian dan evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah memban-
dingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantitatif. Penilaian
adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan
buruk penilaian ini bersifat kualitatif, sedangkan evaluasi mencakup pengukuran dan
penilaian.
Evaluasi dalam pendidikan islam merupakan cara atau tekhnik penilaian
terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersia
komperhensif dari seluruh asfek-asfek kehidupan mental psikologi dan spiritual
religious, karena manusia hasil pendidikan islam bukan saja sosok pribadi yang tidak
hanya bersifat religious, melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup
beramal dan berbakti kepada tuhan dan masyarakatnya. Sedangkan menurut prof.
Dr. H. Ramayulis dalam bukunya ilmu pendidikan islam, evaluasi pendidikan islam
merupakan suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di
dalam pendidikan islam.
Sasaran-sasaran dari evaluasi pendidikan islam secara garis besarnya meliputi
empat kemampuan dasar anak didik yaitu:
1). Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2). Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3). Sikap dan pengamalan terhadap arti kehidupannya dengan alam sekitarnya.
4). Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku
anggota masyarakat serta selaku holifah di muka bumi.
47

Sasaran-sasaran evaluasi tersebut dirumuskan kedalam berbagai pertanyaan


atau statemen-stateman yang disajikan kepada anak didik untuk ditanggapi. Hasil
dari tanggapan mereka kemudian di analisis secara psikolois, karena yang menjadi
pokok evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari mereka sebagai
manifestasi dari keimanan dan keislaman serta keilmu pengetahuannya. Oleh sebab
itu evaluasi dalam pendidikan agama islam sangat penting, guna melihat
ketercapaian suatu tujuan pendidikan islam itu sendiri, apakah sudah memenuhi
target ataukah belum.
PERTEMUAN KE 9
A. PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Peserta didik merupakan anak didik yang sedang mengalami proses
perkembangan dan pertumbuhan kepribadian menurut fitrahnya masing-masing.
Peserta didik membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari suatu lembaga
pendidikan agar bisa mengoptimalkan kemampuan fitrahnya. Dalam bahasa Arab,
peserta didik lebih dikenal dengan istilah tilmidz (untuk peserta didik SD) dan thalib
al-ilm (peserta didik SMA, SMP, Perguruan Tinggi).
Pendidikan dalam Islam secara umum bertujuan untuk membentuk hamba
Allah yang berserah diri dan menjaga fitrah keagamaan seseorang sampai akhir
hayatnya. Sehingga bisa menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter melalui
pokok-pokok ajaran Islam (aqidah, Ibadah dan akhlak).
Seorang pendidik harus bisa mendidik dengan baik sehingga bisa membentuk
peeserta didik yang berakhlakul karimah dan sesuai dengan tujuan yang
diharapakan dalam perspektif Islam.
Biasanya supaya pelaksanaan proses Pendidikan Islam bisa mencapai tujuan
yang diinginkan, peserta didik harus menyadari tugas dan kewajibannya yaitu:
- Sebelum mulai belajar, peserta didik harus membersihkan hatinya terlebih dahulu,
karena belajar adalah ibadah, dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang
bersih.
- Tujuan utama belajarnya adalah untuk menghiasi jiwanya dengan beberapa
keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Harus memiliki keinginan yang besar untuk menuntut ilmu, walaupun harus pergi
ke berbagai tempat yang jauh dari keluarga maupun tanah kelahiran.
- Peserta didik juga wajib untuk menghormati, memuliakan dan mengangungkan
pendidiknya karena Allah, juga berusaha untuk menyenangkan pendidik dengan
cara yang baik dan mulia.
Selain itu peserta didik juga harus bersungguh-sungguh dan tabah dalam
proses pembelajaran.
Ada beberapa sifat yang wajib dan harus dimiliki oleh seorang peserta didik,
yaitu ;
- Meniatkan belajar hanya untuk ibadah dalam rangka taqarrub pada Allah.
- Harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena akan
melengahkannya dari menuntut ilmu
- Menjaga pikiran agar tetap bersih dari berbagai pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran dan lingkungan
- Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum mauupun ilmu agama
- Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi
48

"Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat;
aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat atau
motivasi yang keras, sabar, modal {sarana}, petunjuk guru, dan masa yang panjang
{kontinu}".
Dari syair Ali bin Abi Thalib tersebut kita bisa tahu bahwa ada enam syarat-
syarat yang harus dimilki oleh peserta didik dan merupakan kompetensi mutlak yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan pendidikan, antara lain;
- Memiliki kecerdasan (dzaka); yaitu penalaran atau imajinasi, wawasan (insight),
pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara
cepat dan tepat.
- Memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi
dalam menuntut ilmu, juga tidak mudah merasa puas terhadap ilmu yang
diperolehnya. Hal ini penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, karena
belajar bukan hanya masalah mampu (qudrah) tetapi juga mau atau ingin (iradah).
Sehingga, harapannya nanti akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi
pendidikan yang maksimal.
- Bersabar dan tabah (ishtibar), juga tidak pernah putus asa dalam belajar,
walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis,
sosiologis, politik, ataupun administratif.
- Memiliki modal dan sarana (bulghah) yang memadai untuk belajar
- Adanya petunjuk dari pendidik, agar tidak mengakibatkan atau memicu
kesalahpahaman (misunderstanding) terhadap apa yang telah dipelajari.
- Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tanpa henti dalam mencari ilmu
(no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian
sampai liang lahat).
Tujuan akhir pendidikan Islam menurut Imam al-Gazali adalah untuk mencapai
keutamaan dan taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Tujuan pendidikan
Islam yaitu membentuk kepribadian muslim/berakhlakul karimah dan untuk
mewujudkannya memerlukan proses yang sangat panjang.
B. ETIKA PESERTA DIDIK
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu,
maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu:
1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut
ilmu.
2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat
keutamaan.
3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai
tempat.
4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.[10]
Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak
peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :
1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum
ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan
hati yang bersih.
2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi
jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
49

3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar
dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
4. Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau
pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan memperguna-kan
beberapa cara yang baik.

C. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK


Karakteristik berasal dari kata karakter yang berarti ciri, tabiat, watak, dan
kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang yang sifatnya relatif tetap. Karakteristik
peserta didik dapat diartikan keseluruhan pola kelakukan atau kemampuan yang
dimiliki peserta didik sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan, sehingga
menentukan aktivitasnya dalam mencapai cita-cita atau tujuannya.
Istilah karakteristik di tengah masyarakat terlebih lagi di dunia pendidikan tidak
asing lagi. Karakteristik berasal kata karakter yang berarti ciri, tabiat, watak, dan
kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang yang sifatnya relatif tetap. Terkait dengan
peserta didik, karakteristik dapat diartikan sebagai keseluruhan pola perilaku atau
kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik sebagai hasil dari pembawaan dan
pengaruh lingkungan. Hal ini akan menentukan aktivitasnya dalam mencapai cita-
cita atau tujuannya.
Memahami karakteristik individu atau peserta didik mutlak dibutuhkan untuk
merancang pembelajaran yang tepat dan efektif sesuai dengan karakteristik peserta
didik. Menurut Ardhana dalam Asri Budiningsih (2017: 11), karakteristik peserta
didik adalah salah satu variabel dalam mendesain pembelajaran yang biasanya
didefinisikan sebagai latar belakang pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik,
termasuk aspek-aspek lain yang ada pada diri mereka seperti kemampuan umum,
ekspektasi terhadap pembelajaran dan ciri-ciri jasmani serta emosi peserta didik yang
memberikan dampak terhadap keefektifan belajar.
Proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif atau tidak, sangat
bergantung pada pemahaman pendidik tentang karakteristik yang dimiliki peserta
didik. Dengan memahami karakteristik peserta didik dapat mempengaruhi aktivitas
yang perlu dilakukan, hasil belajar yang akan dicapai, dan penerapan asesmen yang
tepat untuk peserta didik.
Beberapa aspek yang mempengaruhi pembentukan karakteristik peserta didik
sebagai berikut:
1. Etnik
Sebagai negara multikultural, Indonesia merupakan negara dengan wilayah
yang luas dan kaya akan etnik/suku bangsanya. Keberagaman etnik yang ada
pada diri peserta didik di sekolah tertentu akan berimplikasi terhadap proses
pembelajaran yang harus disesuaikan dengan etnis/suku masing-masing. Pendidik
harus memperhatikan perbedaan ini guna mewujudkan pembelajaran yang efektif.
Dalam kelas yang beragam etnik akan menjadi tantangan tersendiri bagi pendidik
dalam memberikan perlakukan yang objektif.
Sebagai contoh, peserta didik dengan latar belakang etnik Jawa, Sunda,
Madura, Minang, dan Bali, maupun etnik lainnya dalam satu kelas tidak bisa
diperlakukan sama dalam membangun interaksi. Interaaksi yang dibangun harus
dapat dimengerti dan dipahami oleh seluruh peserta didik.
50

2. Kultural
Etnik yang berbeda tentu akan memiliki kultur atau budaya yang berbeda
pula. Budaya yang ada di masyarakat kita sangat beragam seperti kesenian,
kepercayaan, norma, kebiasaan, dan adat istiadat. Menghadapi peserta didik
dengan kultur/budaya yang beragam dari berbagai daerah akan berimplikasi
terhadap proses pembelajaran yang tepat yakni dengan pendidikan multi-kultural.
Pendidikan multikultural menurut Choirul (2016: 187) memiliki ciri-ciri:
 Tujuannya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan manusia berbudaya
(berperadaban).
 Materi dalam kelas mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai
bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (suku bangsa)
 Metode belajar demokratis, menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman
budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme).
 Evaluasi ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku peserta didik yang
meliputi aspek persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
 Dengan memahami keberagaman kultur peserta didik dan ciri-ciri pendidikan
multikultural maka pendidik dapat mendesain pembelajaran yang disesuaikan
dengan budaya peserta didik masing-masing di kelas. Sebagai contoh, pendidik
dalam menyampaikan sebuah topik/materi hendaknya disampaikan dengan
efektif sehingga semua peserta didik dapat menerima materi tersebut.
3. Status Sosial
 Terbentuknya struktur sosial masyarakat ke dalam bentuk stratifikasi dan
diferensiasi sosial sangat erat kaitannya dengan status sosial berdasarkan jenis
pekerjaan, kekayaan, kedudukan, kekuasaa,. dan penghasila yang berbeda-
beda. Kondisi demikian menjadi latar belakang perbedaan pada diri peserta
didik di sekolah secara status sosial-ekonomi mereka.
 Perbedaan secara status sosial ekonomi peserta didik tidak boleh menjadi acuan
dalam memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik. Pendidik harus
berlaku adil dan dan tidak diskriminatf dalam melaksanakan proses. Peserta
didik dari latar belakang sosial apa saja harus mendapatkan layanan pendidikan
yang sama termasuk dalam memberikan tugas-tugas kelas, perhatian, dan
penilaian.
4. Minat
 Setiap anak memiliki bakat dan minat yang berbeda-beda. Minat dapat diartikan
suatu rasa lebih suka, rasa ketertarikan pada suatu hal atau
aktivitas. Perbedaan minta setiap peserta didik harus menjadi perhatian serius
oleh pendidik. Menurut Hurlock (1990: 114), minat merupakan suatu sumber
motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan yang dipilihnya.
Apabila seseorang melihat sesuatu yang memberikan manfaat, maka dirinya
akan memperoleh kepuasan dan akan berminat pada hal tersebut.
 Pendapat lain dari Sardiman, (2011: 76) menjelaskan bahwa minat sebagai suatu
kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara
situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-
kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu apa yang dilihat seseorang sudah tentu
akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai
hubungan dengan kepentingan orang tersebut.
 Dengan demikian, aspek minat dalam proses pembelajaran sangat menentukan
dalam keberhasilan belajar. Pendidik harus mengembangkan pembelajaran
51

sesuai dengan bakat dan minat peserta didik. Beberapa indikator yang dapat
digunakan dalam mengamati minat yang dimiliki oleh peserta didik
yakni, perasaan senang, ketertarikan peserta didik, perhatian dalam belajar,
keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran, manfaat dan fungsi mata
pelajaran.
 Implikasinya dalam proses pembelajaran terutama menghadapi tantangan
pendidikan abad 21, seorang pendidik diharapakan dapat menerapkan berbagai
model dan media pembelajaran yang menarik, kreatif, inovatif, menantang, dan
menyenangkan (enjoyable learning), menantang dalam menyampaikan
tujuan/manfaat mempelajari materi pelajaran.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman atas


karakteristik peserta didik dimaksudkan untuk mengenali ciri-ciri dari setiap
peserta didik yang nantinya akan menghasilkan berbagai data terkait siapa peserta
didik dan sebagai informasi penting yang nantinya dijadikan pijakan dalam
menentukan berbagai metode yang optimal guna mencapai keberhasilan kegiatan
pembelajaran

D. URGENSI PENGENALAN PESERTA DIDIK


Salah satu tujuan dari pendidikan adalah menolong anak mengembangkan
potensinya semaksimal mungkin, dan karena itu pendidikan sangat menguntungkan
baik bagi anak maupun masyarakat. Anak didik memandang sekolah sebagai
mencarinya sumber “bekal“ yang akan menbuka dunia bagi mereka. Orang tua
memandang sekolah sebagai tempat dimana anaknya akan mengembangkan
kemampuan. Pemerintah berharap agar sekolah akan mempersiapkan anak untuk
memjadi warga negara yang baik dan cakap. Bimbingan merupakan sebagian dari
pendidikan, yang menolong anak tidak hanya mengenal diri serta kemanpuan tetapi
juga mengenal dunia disekitarnya. Dalam hal ini agar dapat menolong anak ia harus
dikenal dalam segala aspeknya dan dalam konteks (situasi) hidupnya dimana ia
hidup. Tanpa pengenalan tidak mungkin kita membuat rencana yang efektif untuk
mengadakan perubahan dalam diri anak tersebut. Bimbingan yang benar yang
berhasil harus didasarkan pengenalan terhadap dan tentang anak didik yang di
bimbingannya.
Hasil penelitian para pakar psikologi pendidikan dan ahli–ahli instruksional
menemukan bahwa otak kanan anak belum banyak di libatkan dalam proses
pembelajaran. Kurikulum pendidikan di Indonesia belum menyentuh bagaimana
menggali potensi siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran banyak bersifat
konstruktif dengan menekankan pada gambaran dominan kognitif. Hal ini bisa
terlihat dari sistem pendidikan kita yang masih lebih banyak mengandalkan hafalan
dan ukuran keberhasilan siswa di tentukan oleh bagaimana kemampuan siswa
menuliskan jawaban atau memilih pilihan jawaban secara objektif dari masalah yang
di hadapkan kepada siswa.
Dalam hal mendidik anak didik, kita harus mengenal dan memahami hal-hal
umum yang terdapat pada semua anak tanpa terkecuali dan hal-hal yang unik dan
khusus. Faktor-faktor yang mendukung dalam berkembang pendidikan anak didalam
pengenalan anak didik dalam psikologi, diantaranya :
52

1. Empiris Sosial Psikologi


Empiris sosisal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang
dialami oleh anak didalam ataupun di luar rumah yang sangat berpengaruh dalam
perkendalian pendidikan anak adalah keluarga. Keluarga adalah komponen utama
yang membina dan membentuk anak menjadi yang lebih baik. Kemampuan dan
ilmu pengetahuan yang dimiliki orang tua membantu pendidikan dalam rumah
tangga sangatlah penting dalam pengenalan anak didik.
Orang tua adalah ujung tombak keluarga dalam mengembangkan bakat-
bakat yang dimiliki oleh seorang anak, baik itu perkembangan fisik manpun
perkembangan di bidang keilmuan. Orang tua yang mengarahkan anak mau
dijadiakan seperti apa anak kita. Ketika orang tua dari awal sudah salah mendidik
dan membimbing anak maka ketika tumbuh berkembang akan tumbuh seperti
didikan orang tuanya yang salah.

2. Empiris Trancendel
Dalam perkembangan empiris trancendel ini guru adalah ujung tombak
dalam mengatur, mengarahkan dan membimbing anak didik ke jalan yang lebih
baik sesuai dengan tujuan pendidikan ynag telah dicanangkan bersama. Anak
adalah seorang yang berada pada sesuatu masa perkembangan tertentu dan
mempunyai potensi menjadi dewasa. Dalam hal ini seorang guru mengenal anak
didiknya agar tujuan pendidikan yand dicanagkan bersama dapat terealisasi
dengan baik di lingkungan masyarakat.
Teori yang menyatakan bahwa perkembangan seorang individu akan
ditentukan oleh empirisnya atau pengalaman-pengalamannya yang diperoleh
selama perkembangan individu itu. Menurut teori ini individu yang dilahirkan itu
seperti kertas putih bersih yang belum ada tulisannya yang dikemukakan oleh
John Locke. Tulisan itu akan ada seiring dengan penagalaman hidup mereka
sesuai dengan apa yang diperbuat (apa yang salah dan apa yang benar). Dalam diri
seorang anak pasti ada kecenderungan untuk mementingkan dirinnya sendiri dari
pada orang lain. Tapi jiwa seorang amat berharga sampai ada ungkapan dari orang
tua ketika melihat anaknya terluka (lebih baik aku yang sakit dan terluka dari
pada kamu anakku). Jadi pengalaman-pengalaman anak didik yang diperolah
disekolah akan mempengaruhi perkembangan individu baik itu di bidang fisik
maupun keilmuan.
3. Anak pada Hakikatnya Baik
Hakikatnya seorang anak itu baik, tetapi seiring perjalanan waktu akan
terpenagruh oleh lingkungan baik itu di rumah, sekolah dan tempat bermain. Anak
itu bagaikan sebuah bintang yang bersinar tetapi akan redup ketika orang tua dan
guru kurang memberikan didikan yang baik. Ketika seorang anak berperilaku
menyimpang atau nakal, berarti ada masalah dalam pendidikan dan pengalaman
yang dia peroleh seperti kurangnya perhatian yang diberikan oleh orang tua
kepada anaknya karena kesibukan masing-masing, sehingga anak bertingkah
menyimpang untuk mendapatkan perhatian dari orang lain. Dan juga di sekolah
umpanya dia dikucilkan atau tidak mendapatkan perrhatian dan arahan yang baik
dari pendidik maka akan berakibat dalam kehidupan di lingkungan masyarakat.
Tetapi ketika seorang anak mendapatkan perhatian dan bimbingan yang baik dari
53

orang tua ataupun pendidik maka seorang anak akan berprilaku yang baik sesuai
dengan pengalaman ditambah ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
4. Kebutuhan Pokok Anak
Setiap anak mempunyai kebutuhan pokok yang berbeda-beda dengan
kebutuhan pokok orang dewasa. Kebutuhan pokok anak masih bersifat emosional
dan bermain, ketika kebutuhan pokok anak tidak terpenuhi maka akan terjadi
masalah tertentu. Anak biasanya jarang mempedulikan soal makan tetapi makan
snack/makanan ringan yang selalu diinginkan kebutuhan pokok anak seperti
halnya : kesenangan bermain permainan, kesenagan akan makanan yang
disukainya, kecenderungan dengan teman bermainnya.
Orang tua harus jeli dalam memenuhi kebutuhan pokok anak. Ababila orang
tua mampu mengerti akan kebutuhan pokok anak yang di kemas dengan kegiatan
yang dilakukan sehari-hari ditambah dengan ilmu pengetahuan maka anak akan
tambah berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Kebutuhan pokok anak
dibagi atas tiga aspek yaitu kebutuhan jasmani, kebutuhan kejiwaan (pscyhologis),
dan kebutuhan rohani.
5. Anak Didik Tidak Boleh Diukur oleh Kemampuan Pendidikan
Seorang pendidik adalah ujung tombak perkembangan anak selain orang tua
untuk menjalani kehidupan di masa depan. Seorang pendidik dituntut kesabaran
dan keuletan dalam mendidik seorang anak karena setiap anak memilki potensi-
potensi yang berbeda. Seorang guru harus bisa memberikan pelajaran yang mudah
dipahami dan diperhatikan oleh seorang anak didik. Seorang anak didik pasti
memilki tingkat kebosanan yang berbeda dalam hal menerima pelajaran di dalam
kelas.
Dalam menyuntikkan pelajarannya, harus dengan cara yang menyenangkan
supaya dapat diserap dengan baik oleh seorang anak memilki tingkat kemampuan
dalam menerima pelajaran ke otaknya. Ada yang mudah menyerap pelajaran,
sedang dan ada yang sulit menyerap pelajaran. Jadi seorang pendidik tidak boleh
menyamakan dirinya dengan seorang anak didik dalam mentrasnfer ilmunya
meskipun anak tersebut pandai.

PERTEMUAN KE 10
SISTEM PENDIDIKAN DAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
1. Sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang artinya: suatu
keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several
parts).4 Di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara
teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan Anas Sudjana yang mengutip
pendapat Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut “Suatu sistem adalah
suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan
atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu
kebulatan/keseluruhan yang kompleks”.5 Sedangkan Campbel menyatakan bahwa
sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan
yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
54

2. Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah”


dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.6
Secara terminologis, Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai
tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya, pendidikan adalah
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anakanak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.7 Pendidikan adalah segala usaha orang
dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.8 H.M. Arifin menyatakan, pendidikan
secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik
sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan
menumbuhkan kemampuan dasar manusia.9
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1
ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.10
Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan
merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat
sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa
kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan
perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam menurut
Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan
sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri
sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.11 Dengan demikian,
pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan
jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang
baik (Insan Kamil).
B. PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam Islam, istilah pendidikan diyakini berasal dari bahasa Arab yaitu tarbiyah
yang berbeda dengan kata ta’lîm yang berarti pengajaran atau teaching dalam bahasa
Inggris. Kedua istilah (tarbiyah dan ta’lîm) berbeda pula dengan istilah ta’dzîb yang
berarti pembentukan tindakan atau tatakrama yang sasarannya manusia.12
Walaupun belum ada kesepakatan di antara para ahli, dalam kajian ini yang
dimaksud pendidikan Islam adalah al-tarbiyah, istilah bahasa Arab yang menurut
penulis dapat meliputi kedua istilah di atas. Hal yang sama dikemukakan oleh
Azyumardi Azra bahwa pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam
inhern dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lîm dan ta’dzîb yang harus dipahami secara
bersama-sama.13
Dari pemaparan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam
berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara sesuai
dengan ajaran Islam.14 Rumusan ini sesuai dengan pendapat Endang Saefudin
55

Anshari yang dikutip Azra bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan oleh
pendidik terhadap perkembangan fisik dan psikis siswa dengan bahan-bahan materi
tertentu dengan metoda tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah
terciptanya pribadi tertentu sesuai dengan ajaran Islam.15 Berdasarkan uraian di
atas, yang dimaksud sistem pendidikan adalah sistem pendidikan Islam yaitu suatu
kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
C. KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN
Dari beberapa sumber yang dipelajari, dapat disimpulkan bahwa terdapat 6
komponen pendidikan yang digunakan dalam acuan penelitian ini yaitu : 1. Tujuan,
2. Siswa, 3. Pendidik, 4. Isi/materi, 5. Situasi lingkungan dan 6. Alat pendidikan.
ִMaka untuk menghasilkan output dari sistem pendidikan yang bermutu, hal yang
paling penting adalah bagaimana membuat semua komponen yang dimaksud
berjalan dengan baik. Yang mana pendidik, sisawa, materi pendidikan, alat
pendidikan dan lingkungan pendidikan semuanya satu langkah menuju pencapaian
tujuan pendidikan itu.ִ
1. Tujuan
Pendidikan berfungsi sebagai arah yang ingin dituju dalam aktivitas pendidikan.
Dengan adanya tujuan yang jelas, maka komponenkomponen pendidikan yang
lain serta aktivitasnya senantiasa berpedoman kepada tujuan, sehingga efektivitas
proses pendidikannya selalu diukur apakah dapat dan dalam rangka mencapai
tujuan atau tidak. Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat luas, banyak tujuan pendidikan yang diinginkan
oleh pendidik agar dapat dicapai oleh siswa. Menurut Langeveld yang dikutip
Noeng Muhadjir terdapat beberapa tujuan pendidikan yaitu: a. tujuan umum; b.
tujuan tak sempurna; c. tujuan sementara; d. tujuan perantara; e. tujuan
insidental.16
Di Indonesia tujuan pendidikan terdiri dari lima tingkatan yaitu tujuan
pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler,
tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Tujuan pendidikan
nasional adalah tujuan pendidikan yang menjadi acuan tertinggi di Negara
Indonesia apapun bentuk dan tingkatan pendidikannya. Tujuan pendidikan
nasional tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20
Tahun 2003. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam perspektif Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Amir
Faisal, tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan
diturunkannya agama Islam yaitu untuk membentuk manusia yang bertakwa
(muttaqîn).17 Selanjutnya Faisal merinci manusia yang bertakwa itu adalah yang:
a. Dapat melaksanakan ibadah mahdhah dan ghair mahdhah,
56

b. Membentuk warga Negara yang bertanggung jawab kepada masyarakatnya dan


bangsanya, dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah.
c. Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil
untuk memasuki teknostruktur masyarakatnya.
d. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam.
2. KOMPONEN SISWA
Siswa/peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan
tertentu. Dalam pendidikan tradisional, siswa dipandang sebagai organisme yang
pasif, hanya menerima informasi dari orang dewasa. Kini makin cepatnya
perubahan sosial, dan berkat penemuan teknologi maka komunikasi antar
manusia berkembang amat cepat. Siswa di samping sebagai objek pendidikan, ia
juga sebagai subjek pendidikan, karena sumber belajar bukan hanya guru, tapi
siswa juga dapat menjadi sumber belajar terutama dalam pembelajaran aktif.
Sebagai salah satu input di lembaga pendidikan juga sebagai komponen yang
turut menentukan keberhasilan sistem pendidikan.
3. KOMPONEN PENDIDIK
Pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan
atau melatih peserta didik. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik sebagai
pendidik dan memenuhi beberapa kompetensi sebagai pendidik. Kualifikasi
akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang dipenuhi oleh seorang pendidik
yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan. Sedangkan
kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan anak pada usia dini meliputi, a. kompetensi
pedagogik, b. kompetensi kepribadian, c. kompetensi profesional, d. kompetensi
sosial.
4. KOMPONEN MATERI/ISI PENDIDIKAN
Materi/isi pendidikan adalah segala sesuatu pesan yang disampaikan oleh
pendidik kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha
pendidikan yang diselenggarakan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat,
terdapat syarat utama dalam pemilihan beban/materi pendidikan, yaitu: a. materi
harus sesuai dengan tujuan pendidikan, b. materi harus sesuai dengan
kebutuhan siswa.
5. KOMPONEN LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Lingkungan Pendidikan adalah suatu ruang dan waktu yang mendukung
kegiatan pendidikan. Proses pendidikan berada dalam suatu lingkungan, baik
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat. Siswa
dengan berbagai potensinya akan berkembang maksimal jika berada dalam
sebuah lingkungan yang kondusif. Sesuai dengan pendapat A. Noerhadi Djamal
bahwa lingkungan berpengaruh besar dan menentukan terhadap kelangsungan
berkembangnya potensi diri siswa.20 Situasi lingkungan mempengaruhi proses
dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan
teknis dan lingkungan sosio-kultural. Dalam hal-hal di mana situasi lingkungan
ini berpengaruh secara negatif terhadap pendidikan, maka lingkungan itu juga
menjadi pembatas pendidikan.21 Indikator lingkungan pendidikan adalah sebagai
57

berikut interaksi pelaku, iklim organisasi, dan hubungan antara madrasah dengan
masyarakat.
6. KOMPONEN ALAT PENDIDIKAN
Alat pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan
yang berfungsi sebagai perantara pada saat menyampaikan materi pendidikan,
oleh pendidik kepada siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Peristiwa
pendidikan ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi dapat
berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping
dibutuhkan pemilihan bahan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode
yang tepat pula. Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat
untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat disebut
baik diperlukan patokan (kriterium) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor
utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.
Dalam prakteknya paling tidak ada dua macam alat pendidikan. Pertama alat
pendidikan dalam arti metode, kedua alat pendidikan dalam arti perangkat keras
yang digunakan seperti media pembelajaran dan sarana pembelajaran. Alat
pendidikan dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media
pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran aktif dan
efektif. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP)23 ditentukan bahwa setiap satuan pendidikan wajib
memiliki sarana yang meliputi, perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan,
buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang
diperlukan, seperti perpustakaan dan laboratorium.

D. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


Pendidikan merupakan persoalan yang kompleks, menyangkut semua komponen
yang terkandung di dalamnya. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan
Alqur’an dan As- sunnah selain mempunyai tujuan keilmuan, Pendidikan Islam juga
mempunyai tujuan menjadikan manusia sebagai khalifah yang dapat menjalankan
tugasnya dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan adanya
suatu program yang terencana yang dapat mengantar proses pendidikan sampai
pada tujuan yang diinginkan. Proses belajar mengajar, pelaksanaannya, sampai
penilaian, dalam pendidikan lebih dikenal dengan istilah kurikulum pendidikan.
Yang paling penting dalam masalah pendidikan formal adalah pengaturan
kurikulum. Karena kurikulumlah yang dijadikan sebagai acuan bagi berjalannya
proses pendidikan. Bahkan termasuk sebagai acuan bagi evaluasi berhasil atau
tidaknya proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau
sekolah. Kurikulum pendidikan Islam tidak terbatas mempelajari mata pelajaran
pengetahuan agama Islam saja sebagaimana kefahaman kebanyakan masyarakat.
Tetapi pendidikan Islam itu sebenarnya mempunyai jangkauan yang lebih luas
meliputi semua cabang ilmu pengetahuan yang dibenarkan oleh agama Islam.
1. Apa itu kurikulum?
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan
curare yang berarti tempat berpacu. Jadi, istilah kurikulum berasal dari dunia olah
raga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu
jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish. Barulah
58

pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti
sejumlah mata pelajaran dalam suatu peguruan. Dalam kamus Webster tahun
1856 kurikulum diartikan dua macam, yaitu :
a. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa disekolah
atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
b. Sejumlah mata elajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pndidikan atau
jurusan.[3]
Kurikulum (manhaj/curriculum) adalah seperangkat perencanaan dan
media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan
pendidikan yang diinginkan[4]. Kosakata Kurikulum telah masuk kedalam
kosakata bahasa Indonesia, dengan arti susunan rencana pengajaran.[5] Sekian
banyak pengertian kosakata tentang kurikulum dari segi bahasa ini dapat
diartikan, bahwa kurikulum ialah rencana atau bahasan pengajaran, sehingga
arah kegiatan pendidikan menjadi jelas dan terang. Pengertian ini terkait dengan
hal yang paling menonjol dari isi kurikulum, yaitu susunan bahan atau mata
pelajaran yang akan digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pendidikan.
Selanjutnya dijumpai pula pengertian kurikulum yang dikemukakan para
ahli pendidikan, di antaranya ialah kurikulum menurut Ali Muhammad al-
Khawli adalah seperangakat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga
pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Sedangkan
menurut Muhammad Omar Muhammad al Thoumy al Syaibany, kurikulum
pendidikan Islam dikenal dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang yang
dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembang-kan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
2. Hakikat Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa
kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan
sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam adalah
semua aktivitas, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan secara
sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan
pendidikan Islam (H.syamsul Bahri Tanrere, 1993).
Konsep dasar kurikulum sebenarnya tidak sesederhana itu, tetapi kurikulum
dapat diartiakan menurut fungsinya sebagaimana pengertian berikut:
1. Kurikulum sebagai program studi.
2. Kurikulum sebagai konten.
3. Kurikulum sebagai kegiatan terencana
4. Kurikulum sebagai hasil belajar
5. Kurikulum sebagai reproduksi cultural
6. Kurikulum sebagai pengalaman belajar
7. Kurikulum sebagai produksi
Berdasarkan keterangan di atas, maka kurikulum pendidikan Islam itu merupakan
satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan.Ini
bermakna untuk mencapai tujuan pendidikan agama (pendidikan Islam)
diperlukan adanya kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan
59

menunjang sesuai dengan kebutuhan pendidikan.Maka dibutuh-kanlah kurikulum


sebagai alat yang memiliki berbagai fungsi (multifungsi) demi terwujudnya
finaldestination dari pendidikan itu sendiri.
3. Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Ciri-ciri kurikulum pendidikan islam Menurut al-Shaibani sebagaimana yang
dikutip oleh Anin Nurhayati, dalam bukunya “Kurikulum Inovasi” , dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Kurikulum pendidikan islam harus mewujudkan tujuan pendidikan-nya, materi
pelajarannya. Untuk pelajaran agama dan akhlak harus diambil dari al-qur’an
dan Hadist serta contoh-contoh suri tauladan dari tokoh-tokoh terdahulu yang
baik.
b. Kurikulum pendidikan islam sangat memperhatikan pengembangan menyeluruh
tentang aspek Pribadi siswa, yaitu dari intelektual, psikologis, sosial dan
spitritual. Untuk pengembangan menyeluruh ini, kurikulum harus dengan
tujuan pembinaan pada setiap aspek tersebut. Untuk para peserta didik harus
diajarkan berbagai ilmu pengetahuan.
c. Kurikulum pendidikan islam harus memperhatikan keseimbangan antara
pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal dan rohani manusia.
Keseimbangan itu tentunya bersifat relatif karena tidak dapat di ukur secara
obyektif
d. Kurikulum pendidikan islam juga memperhatikan seni halus, yaitu seni ukir,
pahat, tulis indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu harus memperhatikan
pendidikan jasmani, latihan militer, teknik ketrampil-an, latihan kejuruan,
pertukangan dan bahasa asing. Semuanya berdasarkan bakat dan minat.
e. Kurikulum islam juga memperhatikan perbedaan-perbedaan kebudaya-an di
tengah masyarakat, baik itu kaitannya dengan kebutuhan dan masalah-
masalah yang dihadapi masyarakat, keluwesan, serta menerima perkembang-an
dan perubahan. Kurikulum pendidikan islam juga memiliki keserasian dengan
kesesuaian perubahan zaman.

Dalam literatul lain, disebutkan bahwa ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah
sebagai berikut:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan,
metode dan tehniknya yang bercorak agama.
b. Memperhatikan dan membimbing segala pribadi peserta didik baik dari sisi
intelektual, psikologis, sosial maupun spiritualnya.
c. Memperhatikan keseimbangan berbagai aspek ilmu pengetahuan.
d. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan denganb bakat dan minat peserta
didik.
e. Bersifat dinamis dan fleksibel yakni sanggup menerima perkembangan dan
perubahan apabila dipandang perlu.
4. Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Suatu kurikulum tak terkecuali kurikulum pendidikan Islam harus mengandung
beberapa unsur utama, seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar dan
penilaian.Kesemua unsur tersebut harus tersusun dan mengacu pada sumber
60

kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber kekuatan


tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentuk kurikulum pendidikan.
Muhammad al Thoumy al Syaibany mengemukakan asas-asas pembentuk
kurikulum sebagai berikut:
a. Asas religius/agama
Kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah
sehingga dengan adanya dasar ini kurikulum diharapkan dapat menolong
peserta didik untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama,
berakhlak mulia dan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan
akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “sesungguhnya
aku telah meninggalkan untuk kamu, yang jika kamu berpegang teguh
kepadanya, maka kamu tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu kitabullah
dan sunnah nabi-Nya” (HR. Hakim).
b. Asas falsafah Asas ini memberikan arah tujuan pendidikan Islam. Dengan
dasar filosofis maka kurikulum akan mengandung suatu kebenar-an terutama
kebenaran di bidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini sebagai
suatu kebenaran.
c. Asas Psikologis Asas ini mempertimbangkan tahapan kejiwaan peserta didik,
yang berkaitan dengan perkembangan jasmaniah, intelektual, bahasa, emosi
dan lain-lain, sehingga dengan landasan ini kurikulum bisa memberikan
peluang belajar bagi anak-anak dan bagaimana belajar itu berlangsung, serta
dalam keadaan bagaimana anak itu bisa memberikan hasil yang sebaik-baiknya.
d. Asas Sosiologis Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses
kemasyarakatan terhadap peserta didik, penyesuaian mereka dengan
lingkungannya, pengetahuan dan kemahiran yang akan menambah produk-
tifitas dan keikutsertaan mereka dalam membina umat dan bangsanya.
Dan dapat ditambahkan pula asas Organisatoris.Dasar ini mengenai bentuk
penyajian bahan pelajaran, yakni organisasi kurikulum.Dasar ini berpijak pada
teori psikologi asosiasi, yang menganggap keseluruhan adalah bagian-
bagiannya, sehingga menjadikan kurikulum merupakan mata kuliah yang
terpisah-pisah.
Selanjutnya perlu ditekankan bahwa satu asas dengan asas lainnya
merupakan suatu kesatuan yang integral sehingga dapat membentuk kurikulum
pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan
kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur ketauhidan, keagamaan,
pengembangan pribadinya sebagai individu dan pengembangannya dalam
kehidupan sosial.
5. Prinsip-Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Prinsip pada dasarnya merupakan konsistensi dalam mewujudkan suatu
tujuan.Sebagai tonggak yang harus dipegang dalam meniti jalan yang
mengantarkan kepada tujuan. Dalam suatu kurikulum pendidikan, prinsip
merupakan komponen penting demi tercapainya kurikulum yang intregral dan
matang. Sehingga dalam pelaksanaannya mencapai kesempurnaan yang
diinginkan. Terlebih lagi dalam kurikulum pendidikan islam yang berdasarkan
kepada sumber pokok agama islam, yaitu Al qur’an dan As sunnah. Maka disini
61

dituntut kesinambungan prinsip-prinsip kurikulum pendidikan islamdan sumber


pokok islam. Dalam merumuskan kurikulum pendidikan islam para pakar
berbeda-beda dalam analisisnya.Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
a. Prinsip berdasarkan islam termasuk ajaran dan nilai-nilainya.
b. Prinsip mengarah kepada tujuan, artinya seluruh aktivitas yang diproduksi oleh
kurikulum harus mengarah kepada tujuan
c. Prinsip pertautan antara seluruh kegiatan kurikulum dengan seluruh aspek
sosiologis, baik internal ataupun eksternal.
d. Prinsip Relevansi, kesuaian dengan kondisi sekarang
e. Prinsip Fleksibelitas
f. Prinsip Integritas, artinya SDM yang dihasilkan oleh kurikulum mampu
menyelaraskan dan mengintegralkan kehidupan dunia dan akhirat
g. Prinsip Efisiensi, mengarahkan dengan cermat pendayagunaan usaha untuk
mencapai tujuan
h. Prinsip Kontunitas dan Kemitraan, adalah bagaimana kurikulum mempunyai
kelanjutan dalam kerjanya dengan kaitan-kaitan kurikulum-kurikulum lain
h. Prinsip Individulaitas, artinya kurikulum memperhatikan kondisi pribadi anak
didik
i. Prinsip pemerataan, artinya seluruh peserta didik berhak memperoleh
pembelajaran yang baik beserta hal-hal yang mendukung pembelajarannya
j. Prinsip Kedinamisan, artinya kurikulum harus bersifat progresif terhadap
perkembangan ilmu pengeahuan dan perubahan social
k. Prinsip Keseimbangan, artinya kurikulum dapat mengembangkan potensi pesert
didik secara harmonis
l. Prinsip Efektivitas, adalah agar kurkulum dapat menunjang efektifitas guru
dalam mengajar dan murid dalam belajar.
6. Isi Kurikulum Pendidikan Islam
Materi pembelajran yang terdapat dalam kurikulum pendidikan Islam pada
masa sekarang nampaknya semakin luas. Hal ini karena dipicu oleh kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, selain juga semakin beratnya beban yang
ditanggung oleh pihak sekolah sebagai penyelenggaa pendidikan. Oleh karena
tuntutan perkembangan yang demikian pesatnya maka para perancang kurikulum
pendidikan Islam juga dituntut untuk memperluas cakupan yang terkandung
dalam kurikulum pendidikan Islam, antara lain berkaitan dengan tujuan yang
ingin dicapai dalam proses pembelajaran dan pendidikan.
Sebagaimana dikutip oleh alAbrasyi, bahwa Kurikulum Pendidikan Islam
terbagi dalam dua tingkatan, yaitu:Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i) yang
mencakup materi kurikulum pemula difokuskan pada pembalajaran al Qur’an dan
as Sunnah, dan tingkatan atas (manhaj ‘ali) yakni kurikulum yang mempunyai dua
kualifikasi, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri , seperti ilmu
syari’ah yang mencakup fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan ilmu- ilmu yang
ditujukan untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan berkaitan dengan dzatnya sendiri,
seperti, ilmu bahasa, matematika dan mantiq (logika).
AlGhazali membagi isi Kurikulum Pendidikan Islam dengan empat kelompok
dengan mempertimbangkan jenis dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu : 1). Ilmu-
62

ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya fiqh, tafsir dan sebagainya, 2). Ilmu
bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu al Qur’an dan ilmu agama. 3). Ilmu-
ilmu yang fardlu kifayah, seperti matematika, kedokteran, industri, pertanian dan
lain-lain. 4). Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.
Sedangkan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir mengambil isi Kurikulum
Pendidikan Islam yang berpijak pada QS.Fushshilat ayat 53 :

‫َس ُنِر يِهْم َء اَٰي ِتَنا ِفى ٱْل َء اَفاِق َو ِفٓى َأنُفِس ِهْم َح َّتٰى َيَتَبَّيَن َلُهْم َأَّنُه ٱْلَح ُّق ۗ َأَو َلْم َيْك ِف ِبَر ِّبَك َأَّن ۥُه َع َلٰى ُك ِّل‬
‫َش ْى ٍء َش ِهيٌد‬
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaa) Kami
di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagikamu)
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”
Dalam ayat ini terkandung tiga isi Kurikulum Pendidikan Islam, yaitu:
a. Isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan” Ilmu ini meliputi ilmu kalam,
fiqh, akhlaq/tasawuf, ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan lain-lain.
b. Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Ilmu ini berkaitan dengan
perilaku manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial, berbudaya
dan berakal.Ilmu ini meliputi ilmu sejarah, politik, bahasa, filsafat, psikologi dan
lain-lain.
c. Isi kurikulum yang berorientasi pada“kealaman”. Ilmu ini berkaitan dengan
alam semesta, seperti : ilmu fisika, kimia, pertanian, perikanan, biologi danlain-
lain.
7. Organisasi kurikulum
Dalam studi kurikulum dikenal beberapa organisasi kurikulum.Bentuk organisasi
kurikulum tersebut memiliki cirri tersendiri dan mengalami pengembangan secara
berurutan, sjalan dengan berbagai penemuan baru dalam ilmu kuikulum.
Diantara organisasi kurikulum sebagai berikut :
a. Separated Subject Curiculum
Bentuk Sparated Subject terdiri dari mata pelajaran-pelajaran. Kurikulum ini
menyajikan segala bahan pelajaran dalam berbagai macam mata pelajaraan
(subject) yang terpisah-pisah satu sama lain, seakan-akan ada batas pemisah
antara yang satu dengan yang lainnya.
b. Correlated Curiculum
Merupakan bentuk organisasi yang menghubungkan antara satu mata
pelajaran dengan mata pelajaran yang lain. Hubungan ini dapat dilakukan
baik secara sewaktu-waktu ataupun sevara diupayakan.
c. Broad Fields Curiculum
Merupakan bentuk organisasi kurikulum yang dibuat dengan melebur mata
pelajaran-mata pelajaran sejenis ke dalam satu pelajaran. Batas-batas mata
pelajaran itu menjadi kabur.
d. Integrated Curriculum
Kurikulum ini meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan
menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau kseluruhan.Dengan
kebulatan bahan pelajaran diharapkan dapat membentuk kepribdian murid
yang integral, selaras dengan kehidupan sekitarnya.
63

PERTEMUAN KE 11
A. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam sebagai suatu sistem, perkembangannya terus menjadi
pembicaraan menarik di kalangan praktisi pendidikan. Hal ini sebagai wujud
perhatian dan keprihatinan umat terhadap kondisi objektif lembaga pendidikan Islam
saat ini. Meski sampai saat ini masih belum ada kesepakatan yang utuh tentang
batasan pendidikan Islam, dapat disimpulkan bawah secara kelembagaan yang
dikmasudkan disini adalah lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah
naungan kementerian agama seperti madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi
agama Islam. Sedangkan secara substansi adalah lembaga pendidikan yang bukan
sekedar melakukan upaya transformasi ilmu akan tetapi jauh lebih kompleks dan
lebih penting dari itu, yakni mentransfomasikan nilai- nilai yang terkandung dalam
ajaran Islam dan membentuk pribadi yang selaras dengan nilai-nilai tersebut.
Sebagai suatu sistem, pendidikan Islam mempunyai dasar yang berupa ajaran-
ajaran Islam yang terefleksi dalam Al-Qur`an dan Hadis dan seperangkat
kebudayaannya. Serta seiring dengan tujuan datangnya Islam, pendidikan Islam
bertujuan menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang senantiasa bertakwa
kepada Allah dan menjadi muslim yang kaffah dan dapat mencapai kehidupan yang
bahagia di dunia dan akherat. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya,
pendidikan Islam mempunyai karakteristik tersendiri sehingga ia memiliki makna
khusus bagi umat. Dan yang menjadi karakteristiknya adalah, bahwa pendidikan
Islam menekankan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengemba-
ngannya, pengakuan akan potensi dan kemampuan seorang untuk berkembang
dalam suatu kepribadian dan pengalaman ilmu tersebut sebagai tanggung jawab
terhadap Tuhan dan masyarakat.
Saat ini perkembangan pendidikan islam di Indonesia tidak hanya terlepas dari
peran masjid , lembaga pendidikan pesantren dan institusi-institusi dibawah
kementerian agama saja melainkan perkembangannya sudah merambah pada sector
pendidikan umum. Seperti berkembangnya boarding school dan pendidikan umum
yang melakukan kolaborasi dengan pendidikan islam terpadu. Perkembangan
tersebut tentu menjadi titik awal berkembangnya pendidikan islam di Indonesia.
Terlebih kemajuan jaman saat ini mengharuskan pendidikan islam dikemas dengan
menarik dan mampu diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sifat kolaboratif dan
integrative masyarakat mengenai pendidikan islam saat ini rupanya menjadi
tantangan bagi pemangku kebijakan untuk mencipatakan pusat pendidikan yang
kolaborastif dan berpusat. Artinya institusi tersebut menciptakan lembaga
pendidikan yang mencangkup pendidikan formal, non formal dan informal dengan
berlandaskan nilai keislaman.
Selain itu, perkembangan pendidikan islam yang pesat tentu memerlukan sumber
daya manusia yang handal dan memiliki aktualisasi diri yang berlandaskan nilai-nilai
keislaman. Saat ini pemerintah melalui kementerian agama dan kementerian
pendidikan & kebudayan secara terus menerus melahirkan institusi perguruan tinggi
sebagai pabrik yang mencetak tenaga professional handal untuk melahirkan tenaga
pendidik yang professional khusunya dalam bidang keislaman. Munculnya akademi,
64

sekolah tinggi, institute dan universitas yang menyelenggarakan program studi


pendidikan islam merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah

B. Macam-Macam Lembaga Pendidikan Islam


1. Memahami Lembaga Pendidikan Islam
Sebagaimana yang penulis singgung pada bagian latar belakang, lingkungan
keluarga mempunyai peran sentral dalam mempersiapkan peserta didik. 2ulai dari
peserta didiklahir hingga ia mengenal lingkungannya, ia dipersiapkan secara fisik
maupun mental di dalam keluarga. artinya selaindari individu peserta didik,
keluarga berandil sangat banyak pada kapasitasnya mempersiapkan bekal anak
untukmengarungi tahap di lingkungan selanjutnya. 1nakmendapatkan pendidikan
pertamnya dari orang tuanya. Keluarga mengajarkan pola-pola perilaku, norma-
norma, pranata, serta hubungan atau relasi-relasi di dalamnya. Dengan demikian
keluarga menjadi wadah pertama bagi anak dalam menerima proses pendidikan.
Selanjutnya ketika anak beranjak lebih dewasa, dan mulai mampu untuk
berinteraksi dengan keadaan sosial, keluarga mulai memberikan kepercayaan
kepada wadah lain untuk mendidik anak, yaitu wadah sekolah. Lingkungan
sekolah mendidik anak dengan menyempurnakan bekal yang telah diperolehnya
dari lingkungan keluarga. Maka tidak mengherankan ketika kondisi keluarga yang
kurang memperhatikan terhadap anak, maka akan sangat berpengaruh terhadap
proses pendidikan di sekolah.
Pendidikan di sekolah merupakan jembatan penghantar bagi anak menuju
masyarakatnya. artinya peserta didik memiliki yang bekal bermula dari keluarga,
lalu sekolah berperan mengasah bekal itu dan barulah di masyarakat hasil dari
pendidikan itu dimunculkan.. Pendidikan ini bersifat fungsional dan praktis yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan kerja peserta didik
yang bergunabagi usaha perbaikan taraf hidupnya.
Diketahui bersama pendidikan Islam ialah termasukdalam permasalahan
sosial, sehingga dalam kelembagaannyatidak terlepas dari lembaga%lembaga sosial
yang ada. lembagadisebut juga sebagai institusi, pranata, sedangkan lembagasosial
adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif atas pola%pola tingkah laku,
peranan%peranan dan relasi%relasiyang terarah dalam mengikat individu yang
mempunyaiotoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapai kebutuhan-
kebutuhan sosial dasar.
Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah wadah
atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan
proses pembudayaan. proses yang dimaksudkan itu adalah dimulai dari
lingkungan keluarga, karena disinilah basis pertama peserta didik mendapatkan
pendidikan. untuk mencapai tujuan pendidikan, tanggung jawab pendidikan tidak
hanya dibebankan kepada lembaga pendidikan formal atau lewat jalur sekolah
saja, melainkan integrasi dari ketiga lembaga tersebut. Lembaga pendidikan
merupakan subsistem dari sistem yang ada di dalam masyarakat. Dalam
operasionalisasinya selalu mengacu pada kebutuhan perkembangan masyarakat.
tanpa bersikap demikian lembaga pendidikan dapat menimbulkan kesenjangan
sosial dan kultural. oleh karena itulah pendidikan diselenggarakan haruslah sesuai
dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
65

2. Sejarah perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia


Munculnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia, tidak terlepas dari latar
belakang proses masuknya agama Islam di Indonesia. Lewat pergaulan antara para
muballigh muslim dengan masyarakat sekitar, terkadang melalui proses
perkawinan, maka terbentuklah komunitas masyarakat muslim. Masyarakat
muslim inilah yang merupakan cikal bakal terbentuk, tumbuh dan berkembangnya
kerajaan Islam. Kemudian setelah masyarakat muslim ini terbentuk, maka yang
terjadi perhaitan di antara mereka untuk mendirikan tempat ibadah. Dimana
tempat-tempat itu biasanya mereka gunakan sebagai tempat ritual ajaran ibadah.
Dengan proses terbentuknya tempat-tempat ibadah itu, selain sebagai tempat
ibadah, mereka juga memfungsikannya sebagai tempat untuk melakukan proses
pendidikan. hal ini di dasarkan kepada sejarah Islam dimana ketika masa awal
kehadirannya, Rasulullah juga memfungsikan tempat ibadah sebagai tempat
berlangsungnya proses pendidikan agama.
Di awal berkembangnya Islam di Indonesia,pendidikan islam dilaksanakan di
dalam tempat tempatibadah. 2odel lembaga pendidikan Islam masih
sangatsederhana, misalnya pendidikan dilakukan di langgar, di surau,dan lain
%lain. Dapat dikatakan lembaga pendidikan di masaawal kehadiran Islam masih
sangat sederhana. Kemudianberkembang dan semakin berkembang sehinnga
munculmodel pesantren. 2odel lembaga pendidikan ini merupakanyang paling
lama hadir di lingkup lembaga pendidikan Islam.Ditinjau dari sudut sejarah,
belum ditemukan data sejarah yang mengatakan kapan pertama kalinya muncul
pesantren. Namun ketika ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum
datangnya Islam, di Jawa kuni telah berdiri praktik pendidikan yang hampir sama
dengan pesantren, lembaga pendidikan itubernama pawiyatan. Dengan
menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren, sebetulnya tidak
terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantren tumbuh dan berkembang sebagai
model lembaga pendidikan sejak kehadiran awal Islam di Indonesia, khususnya di
Jawa.
3. Macam-Macam lembaga pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia yang
dilatarbelakangi kehadiran Islam antara lain:
a. Masjid dan Langgar
Fungsi utama masjid dan langgar adalah sebagai tempat ibadah. Selain
dari fungsi ibadah itu, masjid juga digunakan sebagai tempat untuk pendidikan.
biasanya ditempat ini digunakan atau dilakukan pendidikan untuk anak-anak
maupun orang dewasa. Penyampaian ajaran Islam dilakukan biasanya oleh
ustadz atau kiai. bidang pengajaran yang diajarkan sebatas ilmu aqidah, ibadah,
akhlak dan pengkajian Al-Quran.
b. Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari. Sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren dari
sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai Ttraining center yang secara
otomatis menjadi “Cultural Center” Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh
66

masyarakat, setidaknya oleh masyarakat Islam itu sendiri yang secara de facto
tidak dapat diabaikan oleh pemerintah.
Di pesantren ini kurikulum yang dikembangkan ialah menitik beratkan
kepada ajaran Islam baik aqidah, ibdah, akhlak, ilmu bahasa arab melalui
kajian kitab kuning. Sebuah lembaga pendidikan Islam dikatakan pesantren jika
di dalamnya terdapat lima unsur pokok yaitu di dalamnya terdapat masjid,
pondok, Kiyai, santri, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Sistem pendidikan di
pesantren ialah nonklasikal, santri berbentuk halaqah yang ditengahnya ada
guru yang mengajar. Metodenya pengajarannya adalah metode wetonan dan
sorogan.
c. Rangkang, dayah, meunasah
Tiga model lembaga pendidikan Islam di atas merupaka lembaga
pendidikan Islam yang ada di daerah Aceh. Sebagai tempat strategis hadirnya
muballig Islam periode awal, di Aceh terdapat lembaga pendidikan Islam.
Rangkang adalah tempat tinggal murid yang dibangun berdekatan dengan
masjid. Sistem pendidikan dan metodenya hampir sama dengan pesantren
namun bentuknya lebih sederhana dari pesantren. Selanjutnya adalah Dayah
merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama yang
bersumber dari bahasa Arab, tuhid, tasafuf, Fiqih, dan ilmu-ilmu agamalainya.
Pada dasarnya dayah dan rangkah ini dalam praktiknya sama dengan
pesantren. sementara meunasah lebih dikenal sebagai madrasah. Menurut
Daulay secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah. Di dalam
munasah tidak semata-mata digunakan sebagai tempat proses pendidikan,
namun juga sebagai tempat ibadah, balai masyarakat, tempat berkumpulnya
masyarakat, pusat informasi, pada intinya disini juga difungsikan sebagai
sarana berkumpulnya masyarakat pada waktu itu.
4. Surau
Surau lebih dikenal sebagai tempat ibadah menurut orang melayu
termasuk di dalamnya Indonesia dan Malaysia. Surau sendiri mempunyai arti
tempat suatu bangunan kecil untuk tempat shalat, tempat belajar mengaji,
tempat wirid. Menurut Christine Dobbin yang dikutip oleh Daulay, surau adalah
rumah yang didiami oleh para pemuda setelah aqil baligh, terpisah dari rumah
keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak. sistem
pendidikan di surau banyak kemiripanya dengan sistem pendidikan di
pesantren, inti pelajarannya adalah ilmu-ilmu agama.
Pada perkembangan pendidikan Islam, masuknya ide-ide pembaruan
pemikiran Islam ke Indonesia sengat besar pengaruhnya terhadap relisasinya
pembaruan pendidikan. Diawali dari pembaruan pemikiran Islam di Mesir, Arab,
Turki dan India. Setidaknya di ke tiga negara itu mulai memasukan sistem klaster
dalam proses pendidikan. atau kita kenal dengan metode klasikal. Latar belakang
pembaruan pendidikan Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor.
Pertama, bersumber dari ide-ide para tokoh atau ulama yang menimba ilmu di
pusat pendidikan Islam dan kembali ke tanah air. Mereka menularkan wacana
pembaruan pendidikan di kalangan umat Islam.
Kedua, bersumber dari dalam negeri sendiri yang ketika itu dikuasai oleh
pemerintah Hindia Belanda. Hindia Belanda melakukan diskriminasi terhadap
67

pendidikan yang mambagi pendidikan ke dalam tiga strata sosial. Hingga


berpengaruh terhadap munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti :
1. Madrasah
Kehadiran madarasah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlaku-
kan secara berimbang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dalam
kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam. Kehadiran madrasah juga sebagai
upaya penyempurnaan sistem pendidikan di Pesantren dan sebagai upaya
menjembatani sistem pendidikan tradisional di pesantren dan sistem pendidikan
modern dari hasil akulturasi. Sistem pendidikan yang dipakai madrasah adalah
memadukan pendidikan agama dan pengetahuan umum dengan metode klasikal
2. Perguruan Tinggi Agama Islam
a) Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdiri diresmikan
berdasarkan peraturan pemerintah nomor 34 tahun 1950, dan baru beroprasi
pada tahun 1951 dengan jumlah mahasiswa pertama sebanyak 60 orang.
Tujuan berdirinya PTIN: adalah untuk memberi pengajaran tinggi dan
menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan
tentang agama Islam dan untuk tujuan tersebut diletakkan asas membentuk
manusia susila dan cakap serta mempunyai keinsyafan bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia.
b).Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Berdirinya IAIN adalah imbas dari dikeluarkanya dekrit presiden 5 Juli
1959, bahwa pada intinya kembali digunakannya UUD 1945 dan Pancasila
sebagai jiwa atau ruh negara. Sehingga mendorong semangat untuk
mengamalkan sila pertama pancasila, yang diperankan PTAIN sebagai
institusi pendalaman ajaran-ajaran Islam.
c).Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Semakin pesatnya perkembangan IAIN, sehingga merimbas pada
kebutuhan perguruan tinggi di kota-kota lain. STAIN muncul atas latar
belakang berkembangnya IAIN: sebagai cabang dari fakultas yang berada di
IAIN yang ada di daerah-daerah.
Kebutuhan daerah akan pentingnya pendidikan tinggi direspon oleh
pemerintah dengan terbitnya SK.Presiden no.11 tahun 1997. Sehingga
muncul fakultas cabang IAIN di daerah-daerah itu berdiri sendiri dan
bertransprmasi menjadi Sekolah Tingg Agama Islam Negeri (STAIN)
d).Universitas Islam Negeri (UIN)
Hakikat pendidikan Islam pada Universitas Islam Negeri mengandung
makna bahwa ilmu-ilmu yang dikembangkan tidak hanya ilmu-ilmu agama,
tetapi telah dikembangkan ke berbagai disiplin ilmu-ilmu yang lain yang
tergolong ilmu kealaman, ilmu sosial,dan ilmu humaniora.
C. Karakteristik lembaga pendidikan Islam
Seluruh tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah
pewarisan nilai-nilai ajaran agama Islam. Hal ini sangat beralasan mengingat aspek-
aspek kurikulum yang da menyajikan seluruhnya memasukan mata pelajaran agama
Islam secara komprehensif dan terpadu, walaupun disekolah-sekolah umum
dipelajari juga mata pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan mendalam/
68

sementara dilembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan agama Islam


menjadi kosentrasi dan titik tekan.
Di dalam pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada pada
dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata
pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Adapun metode yang lain
dipergukan dalam pendidikan pesantren ialah wetonan,sorogan, dan hafalan. Metode
wetonan adalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan
duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Di pesantren terdapat
hubungan yang baik antara kiai dan santri. Juga di sini kemandirian santri sangat
dipentingkan. Sementara dalam madarasah, secara umum sudah menggunakan
sistem klasikal. Madrasah merupakan representasi pendidikan Islam modern yang
sudah mensinergikan pendidikan Islam dengan ilmu-ilmu umum.
D. Problematika lembaga pendidikan Islam
Arah pengembangan lembaga pendidikan Islam terlihat lebih ditekankan pada
usaha pemahaman, pembentukan watak dan perilaku peserta didik agar sesuai
dengan ajaran agama Islam. Hal ini terlihat dari mata pelajaran agama Islam yang
menjadi prioritas dalam pelaksanaannya. Akan tetapi dengan selalu tanggap terhadap
perubahan-perubahan situasi dan kondisi, maka pelajaran pelajaran agama Islam di
lembaga pendidikan Islam seharusnya dikaitkan dengan persolan-persoalan riil yang
dihadapi masyarakat. Hal ini supaya peserta didik dapat menerapkan dan
mengimplementasikan ajaran agama secara benar di dalam kehidupan bermasya-
rakat yang dalam agama disimbolkan dengan ‘abdullah (hamba Allah) dan
khalifatullah (pengelola alam).
Pada mulanya memang lembaga pendidikan Islam yang lebih dominan di
kalangan masyarakat ialah pondok pesantren. Kurikulum pembelajaran pun hanya
mencakup kajian pada wilayah-wilayah agama Islam, misalnya aqidah, akhlah, Fiqih
dan ilmu-ilmu bahasa arab. padahal jika kita menelisik lebih jauh, kebutuhan umat
semakin beragam. Umat Islam tidak mungkin mempelajari permasalahan aqidah
semata, akhlaq, tasawuf, fiqih saja. melainkan mereka juga harus mampu keluar
untuk mengembangkan ilmu-ilmu di luar itu.
Pendidikan Islam yang dalam konteks ini diwakili oleh Pondok Pesantren,
sepertinya hanya mengajarkan ilmu-ilmu humaniora, budaya dalam Islam. Dan
kesan seolah menolak science, ilmu-ilmu eksak dan sejenisnya. Walaupun hal itu
juga sah-sah saja dengan bukti bahwa hingga hari inieksistensinya masih terjaga.
Menurut Tafsir yang dikutip oleh Baharudin, fenomena umum sistem
pendidikan Islam menghadapi kendala diantaranya, sistem pendidikan Islam masih
enggan dan terkesan curiga dengan pembaharuan model pendidikan barat. Dikotomi
dalam pendidikan masih menjadi ciri yang membatasi antara menjunjung nilai
transendental agama dan pola budaya asing yang kapitalis dan matrealistis. juga
kesan menuntut ilmu itu hanya sebatas formalitas, artinya hanya untuk
menggugurkan kewajiban saja.
Problem sumber daya manusia juga turut mewarnai dalam perkembangan
pendidikan Islam. Dalam hal ini sumberdaya manusia diwakili oleh pendidik ataupun
pengelola lembaga pendidikan. problem-problem itu antara lain masih banyaknya
tenaga-tenaga pendidik yang mempertahankan metode yang monoton dalam
69

menyampaikan materi pendidikan. belum adanya pemerataan dan kesejahteraan


yang dalam konteks ini disebabkan sistem penggajian pada masing-masing lembaga
pendidikan Islam. Sulitnya menyatukan visi dan misi SDM yang ada dikarenakan
perbedaan latar belakang individu. serta diakui kesulitan merubah budaya kerja
karena disebabkan kesulitan merubah mindset yang telah tertanam.
E. Strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam
Secara harfiah strategi artinya ilmu atau kiat di dalam memanfaatkan sumber
yang dimiliki dan dapat dikerahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Strategi juga dimaksudkan sebagai metode untuk mencapai sesuatu maksud
tertentu. Untuk menjawab tantangan dan problematika pendidikan di era global ini,
diperlukan strategi yang mampu didayagunakan untuk kemajuan pendidikan Islam,
diantarnya ialah.
a. Membangun paradigma pendidikan Islam seutuhnya.
b. Transformasi pada sektor sistem dan metode pendidikan
c. Transformasi sumber daya manusia.
d. Meningkatkan relasi dan interaksi antar lembaga pendidikan Islam.
e. Membaca orientasi masyarakat modern

F. PENGELOLAAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN ISLAM


Pengelolaan administrasi pendidikan Islam mencakup banyak sekali aspek,
mulai dari pemahaman mengenai sejarah perkembangan adminis-trasi yang
kemudian diadopsi dan diadaptasi ke dalam dunia pendidikan, tujuan administrasi
pendidikan, memaksimalkan sumber daya yang ada, ruang lingkup administrasi
pendidikan, prinsip-prinsip Islam dalam administrasi pendidikan. Oleh karenanya,
semua aspek yang berkenaan dengan administrasi pendidikan harus terintegrsi
antara satu dengan yang lain agar tujuan administrasi pendidikan tersebut dapat
terealisasikan.
Mengelola administrasi pendidikan Islam harus melibatkan semua komponen
yang terlibat dalam pengembangan sekolah, bersifat demokratis, berkeadilan, dan
memberikan penekanan pada kepemimpinan visioner ditambah dengan memasuk-an
prinsip-prinsip Islam dalam administrasi pendidikan. Pengelolaan administrasi
pendidikan Islam setidaknya tidak akan lepas dari strategi, implementasi, dan
implikasinya, karena adminis-trasi erat kaitannya dengan enam unsur dasar (six P’s),
menurut (Al-Buraey, 2001, p. 8): people, place, problem, process or procedure, plan/
policy/program, dan performance.
Tahapan awal sebelum menyusun strategi administrasi pendidikan Islam ialah
memperbaiki faktor manusianya terlebih dahulu (mencakup kepala sekolah, guru,
tenaga kependidikan, staff, siswa dan lain-lain), karena mereka memegang peranan
sangat vital dalam administrasi pendidikan sehingga harus diberikan pemahaman
dan pengarahan untuk berperan sebagai muslim yang menjadi agen perubahan
dengan menginter-nalisasikan nilai-nilai Islam yang terefleksi dalam sikap dan
perilaku mereka dan mereka juga diharapkan dapat membawa perubahan bagi orang-
orang sekitar, ketika unsur “people” nya telah berperan sebagai agen perubahan
maka ini akan berpengaruh pada perencannaan dan kebijakan serta program yang
akan diambil nantinya.
Strategi awal sebagai seni pengelolaan administrasi pendidikan Islam ialah
analisis masalah, hal ini harus dilakukan untuk mengetahui mengetahui kendala apa
70

saja yang sedang terjadi dan kemungkinan akan terjadi, setelah masalah diketahui
barulah dicarikan solusi-solusi yang bersumber dari syariat Islam (Al-Qur’an dan
Hadits), perilaku nabi, teori-teori, dokumen, institusi administrasi, pemikiran modern
administrasi, dan penggagas administrasi Islam, kemudian setelah diperoleh
sumbersumber tersebut, administrator dapat mereduksi sumber-sumber tersebut
agar dapat sesuai sebagai solusi administrasi pendidikan Islam, lalu hasil reduksi
tersebut ditarik kesimpulan sementara dan menjadi perencanaan yang berbentuk
model administrasi pendidikan Islam baru dengan standar-standar yang telah
dirumuskan dan model administrasi yang telah direncanakan dapat impelementa-
sikan (Al-Buraey, 2001, p. 12).
Implementasi administrasi pendidikan merupakan tahapan pelaksana-an apa
yang telah direncanakan, pada tahapan ini diperlukan kontrol untuk menjaga agar
perencanaan dan pelaksanaan berjalan dengan sinergis, menciptakan suasana kerja
kondusif, meningkatkan kerjasama, dan pada tahap ini juga pemimpin dapat
mengembangkan hubungan dengan bawahan, memberikan motivasi, membina,
memperhatikan bawahan dan berpartisipasi langsung dalam merealisasikan tujuan
bersama, pada tahap pelaksanaan ini harus dipastikan strategi perencanaan berjalan
sebagaimana mestinya. Pengawasan yang dilakukan dapat secara umum dalam
lingkup organisasi dan juga pengawasan pada tiap-tiap divisi.
Implikasi, pada tahap ini perlu memperhatikan dampak dari perenca-naan dan
pelaksanaan, dengan kata lain, tahap ini merupakan tahap evaluasi untuk
mengetahui seberapa efektif dan efisien implementasi administrasi pendidikan yang
telah dilaksanakan. Ketika, misalkan terdapat kekurangan maka prosesnya kembali
ke tahap awal dengan menyusun strategi ulang untuk menanggulangi permasalahn
yang tejadi, dan jika ternyata implikasi yang terjadi sudah cukup memuaskan maka
tetap harus ditingkatkan agar dapat lebih baik dan sesuai dengan tuntunan zaman
yang selalu membutuhkan inovasi, sehingga prinsip continous improvement akan
terus berjalan (Suti, 2011, p. 2).
Tujuan administrasi pendidikan Islam tentu tidak akan terealisasi dengan
maksimal meskipun tahapan teknisnya telah dijalankan dengan baik, karena ada
beberapa faktor lain juga mempunyai peran penting dalam membangun administrasi
pendidikan Islam yang sinergis dan memiliki budaya organisasi yang positif, seperti
faktor pemimpin, hubungan antar individu dalam organisasi, motivasi bekerja, dan
masih banyak lagi, semua aspek tersebut harus diaplikasikan secara nyata dalam
setiap tahapan planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan
budgetting.
Faktor kepemimpinan memegang peranan penting dalam membangun
administrasi pendidikan Islam yang baik, seorang pemimpin menurut Paul Loisulie
dalam (Paul, 2017, pp. 50–51), diibaratkan sebagai: properti publik yang dapat
digunakan kapanpun oleh orang, kotak sampah yang harus siap menerima hujatan,
hinaan, cercaan dan sebagainya, orang yang stabil, pemecah masalah, figur kreatif,
informatif agar tidak ketinggal perkem-bangan, mudah bergaul dengan banyak orang,
perhatian, konsisten, visioner, transparan dan apa adanya, dapat menjadi teman
yang bertang-gung jawab, tidak egois. Akan tetapi seorang pemimpin dalam lembaga
Pendidikan Islam tidak boleh hanya berkiblat pada teori-teori barat, akan tetapi
harus berpedoman pada sikap-sikap yang ditunjukan oleh Rosulullah karena ia lah
71

sosok panutan terbaik, bukan berarti seorang pemimpin harus menafikan teori
kepemimpinan dari barat akan tetapi pemimpin harus bisa mengkola-borasikan
keduanya dengan proporsional. Karena sumber bacaan dan acuan yang yang
mengarah pada kepemimpinan dalam dunia pendidikan telah sangat lengkap dengan
menggabungkan pendekatan Islam dan Barat, seperti yang ada di UAE menurut
(ElKaleh, 2019, p. 1140).
Pembangunan motivasi organasasi pegawai juga sangat penting karena dalam
struktur organisasi pegawai atau individu yang ada didalam struktur organisasi
merupakan penggeraknya, mereka harus diberikan perhatian, jaminan kesejahteraan,
terjalin hubungan baik antara bawahan dan atasan seperti misalkan pemimpin
menggunakan gaya kepemimpinan transformasional karena pola ini memiliki
pengaruh terhadap motivasi guru/pegawai di lingkungan lembaga pendidikan,
menurut (Othman & Wanlabeh, 2012). Membangun kesadaran akan pentingnya
memajukan lembaga pendidikan Islam agar Islam dapat hadir di tengah masyarakat
untuk menjawab semua problema kehidupan juga tidak kalah pentingnya, agar
lembaga pendidikan Islam tidak termarginalkan karena dianggap tidak efektif dan
tidak memiliki peran bagi bangsa misalkan bidang ekonomi seperti yang terjadi di
Singapura, menurut (Mohd Nor et al., 2017, p. 247). Oleh karenanya setiap pegawai
harus memiliki motivasi diri sebagai agen perubahan untuk mencetak generasi
muslim yang dapat berperan di semua lini kehidupan bangsa.

PERTEMUAN KE 12
PENDEKATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN
A. Pendekatan dalam Pendidikan Islam
Penggunaan istilah ”pendekatan” memiliki arti yang berbeda-beda tergantung
kepada obyek apa yang akan menjadi tema sentral perencanaan kerja dan kajian
pemikiran yang akan dikembangkan. Dalam konstek belajar, approach dipahami
sebagai segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik untuk menunjang
efesiensi dan efektifitas dalam proses pembelajaran tertentu. Dengan demikian
sesungguhnya approach adalah seperangkat langkah operasional yang direkayasa
sedemikian rupa, untuk memecahkan masalah atau untuk mencapai tujuan belajar
tertentu.
Sudah barang tentu approach dalam pengertian tersebut membutuhkan
pandangan falsafi (mendasar) terhadap subyek matter yang diajarkan, selanjutnya
akan melahirkan metode mengajar yang dijabarkan dalam bentuk tehnik penyajian
pembelajaran.
Untuk mengetahui dan memahami macam-macam hadis tentang pendekatan
dalam pendidikan Islam.
1. Pendekatan Pengalaman
Pendekatan pengalaman merupakan pemberian pengalaman keagamaan
kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dalam
pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalam-an
keagamaan, baik secara individu maupun kelompok.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi
72

‫َع ْن ًكَلَد َة ْب ِن َح ْن َب ٍل َأْن َص ْف َو اَن ْب ِن أَمَي َة َبَع َث ُه ِإَلى َر ُسْو ِل َص َلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َلَم ِبَلَب ٍن َو َض َغ ا ِبْي َس‬
‫َو الَن ِبُى َص َلى ُهللا عََلْي ِه َو َس َلَم ِبَأْع َلى َم َك َه َفَد َخ ْلُت َو َلْم ُأَس َلْم َفَقاَل اْر ِجْع َفُقاِل لَس اَل ُم َع َلْي ُك م‬
Artinya: Dari kaladah bin Hanbal meriwayatkan bahwa ia diutus oleh Shafwan bin
Umayah kepada Rasulullah SAW. membawa susu, anak kijang, dan ketimun kecil.
Sementara itu Nabi SAW. sedang berada di ketinggian Mekah. Ia berkata, “Aku
masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dulu. “lalu beliau bersabda, keluar dulu
lalu ucapkan salam”. (HR. Abu Dawud dan at-qTirmidzi)
Dalam Hadis ini, Rasulullah tidak memarahi Kaladah lantaran tidak
mengucapkan salam. Akan tetapi, beliau mengharapkan Kaladah menjalankannya
secara praktis (mengalami sendiri) dan diaplikasikan setiap masuk rumah sebagai
salah satu bentuk etika kesopanan.
Nilai Pendidikan
1. Pentingnya mengucapkan salam ketika masuk rumah walaupun rumah itu sepi
karna malaikat akan ikut menjawab salam kita.
2. Ketika mengingatkan seseorang yang melakukan kesalahan hendaknya dengan
cara yang lemah lembut dan tidak menyinggung.
3. Ucapkanlah kebenaran itu walaupun sulit atau berat tuk di ucapkan, sebagai
mana dalam pepatah arab di katakana, “kullil hak walaukaana murron,kullil hak
walau ‘alaa nafsik.”
4. Dari penjelasan hadits di atas tadi bisa juga kita ambil nilai pendidikannya,
yaitu bahwasanya, kita itu ditutntut untuk selalu menebarkan salam, ketika
setiap kali bertemu dengan sesama muslim kita, di manapun kita berada bagai
manapun keadaan kita.
5. Kemanapun kita melangkah dahulukan lah akhlak yang mulia, akhlak yang
terpuji dan etika yang baik, terlebih ketika kita hendak bertamu, dan juga
dalam keseharian kita,..dsb.
6. Ketika kita melihat kemungkaran sekecil apapun dia cegahlah secepatnya
semata-mata karna lillaahitaala.
2. Pendekatan Pembiasaan
Pendekatan pembiasaan, yaitu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
senantiasa mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Setelah
terbiasa, peserta didik akan merasa mudah untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan
keagamaan.
Hadis yang diriwatakan oleh Abu Dawud
‫َع ْن َع ْم ِر وْبِن ُش َع ْيٍب َع ْن َج ِدِه َقاَل َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َلَم ُم ُروا َأُو اَل َد ُك ْم ِبالَص اَل ِة‬
‫َو ُهْم َأْبَناُء َس ْبِع ِسِنْيَن َو اْض ِر ُبوُهْم َع َلْيَها َو ُهْم َأْبَناُء َع ْش ٍر َو َفِر ُقْو ا َبْيَنُهْم ِفي الَم َض اِج ِع‬
Dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah SAW. bersabda,
“Suruhlah anakmu mendirikan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah
mereka karena meninggalkannya ketika ia berumur sepuluh tahun. (pada saat itu),
pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud).
Nilai Pendidikan
a. Membiasakan anak untuk melaksanakan ibadah sejak dari kecil, sebagaimana
pepatah mengatakan “bisa karena terbiasa”.
b. Dapat mempermudah proses pendidikan anak ketika sudah besar nanti, karena
telah dibiasakan melakukan kebaikan sejak kecil.
73

c. Membiasakan anak belajar agar tumbuh menjadi anak yang baik, ibarat kayu
kalau sudah besar sulit di luruskan,maka luruskanlah dari sejak kecil. begitu
juga dengan anak didik kita.
d. Belajar di masa kecil lebih cepat menyerap ilmu di bandingkan belajar sesudah
dewasa, pepatah arab mengatakan “atta’limu pissigory kannaksiy ‘alal hajari,”
belajar di masa kecil bagai mengukir di atas batu , belajar di masa tua bagai
mengukir di atas air. Artinya ingatannya lebih kuat.
3. Pendekatan Emosional
Pendekatan emosional adalah usaha untuk menggugah perasaan dan emosi
peserta didik dalam memahami dan menghayati ajaran agama agar perasaannya
bertambah kuat terhadap Allah SWT. sekaligus dapat merasakan mana yang baik
dan mana yang buruk.
Hadis Riwayat Muslim
‫َع ْن الُنْع َم اَن ْبِن َيُقوُل َقاَل َر ُسوَل ِهللا َص َلى ُهللا َع َلْيِه َو َس لَم َم َثُل اْلُم ْؤ ِمِنْيَن ِفى َتَو اِدِهْم َو َتَر ا ُح ِم ِهْم‬
‫َو َتَع اُطِفِهْم َك َم َثِل اْلَجَسِد ِإَذ ااْش َتَك ى ُعْض ٌو َتَداَعى َلُه َس اِئُر َجَسِدِه ِبالَسَهِر َو اْلُح َم ى‬
Nu’man Bin Basyir meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“perumpamaan sikap saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi diantara orang
yang beriman itu seperti anggota tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh
sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakannya sampai tidak dapat
menidurkan diri dan selalu merintih. (HR. Muslim)
Nilai Pendidikan
a. Bersikap lemah lembut terhadap peserta didika, agar peserta didik dapat dengan
mudah memahami apa yang diajarkan.
b. Pentingnya mempererat tali persaudaraan antara sesama manusia.
c. Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya
membutuhkan orang lain, dalam arti saling tolong menolong.
4. Pendekatan Rasional
Pendekatan Rasional, yaitu usaha memberikan peranan kepada rasio atau akal
dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama kemudian mencoba
menggali hikmah dan fungsi ajaran agama. Dengan mempergunakan akalnya,
seseorang dapat membedakan mana yang baik, yang lebih baik, atau yang tidak
baik.
Hadis Riwayat Al-Bukhari
‫عن عبد هللا بن عمر أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال إمن الشجر شجرة ال يسقط ورقها‬
‫وهى مثل المسلم حدثونى ما هى فوقع الناسفىشجر البادية ووقع فى نفس أنها النخلة قال عبد‬
‫هللا فاستحييت فقالوا يا رسول هللا أخبرنابهافقال رسول هللا عليه وسلم هي لنخلة‬
Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
diantara pohon-pohon ada pohon yang tidah gugur daunnya dan itu bagaikan
seorang muslim. Katakan kepadaku apa nama pohon tersebut.” Semua orang mulai
berfikir tentang pohon yang tumbuh di padang pasir dan saya berpikir bahwa itu
adalah pohon kurma. Namun, saya merasa malu (untuk menjawab-nya). Sementara
itu, ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami pohon apa itu.”
Lalu Rasulullah SAW menjawab, “pohon itu adalah pohon kurma.” (HR. Al-Bukhari)
Nilai Pendidikan
a. Kita di tuntuk untut brfikir, bertadabbur sejenak tentang alam ini bagai mana
mahakuasanya Allah s.w.t. menciptakan alam ini beserta isinya dan semua
74

penomena alam yang tejadi di seluruh alam ini. Kita mengali dan mengkajinya
untuk kita bisa mengambil ibroh darinya/pelajaran.
b. Agama islam ini di gambarkan dengan sebuah pohon yang tidak akan pernah
gugur daunnya, artinya di antara sekian banyak agama kepercayaan, hanya
satu agama yang akan abadi agama yang sebenarnya sampai akhirat kelak yaitu
adalah agama islam, “sesungguhnya agama yang di ridoi oleh Allah s.w.t.
adalah Agama islam”.
5. Pendekatan Fungsional
Pendekatan fungsional, yaitu penyajian materi ajaran agama Islam dengan
penekanan pada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari
sesuai tingkat perkembangan mereka. Pembelajaran dan bimbingan untuk
melakukan shalat misalnya, diharapkan berguna bagi kehidupan seseorang, baik
dalam lehidupan individu maupun social. Melalui pendekatan fungsional ini,
peserta didik dapat memanfaatkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad
‫َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة َع ِن الَنِبى َص َلى هللا َع َلْيِه َو َس َلَم َقاَل من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا‬
‫نفس هللا عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر فى الدنيا يسرهللا عليه فى الدنيا‬
‫واالخرة ومن ستر على مسلم فى الدنياسترهللا عليه فى الدنياواالخرة وهللا فى عون العبد‬
‫ماكان العبد فى عون أخيه‬
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang melapangkan seorang
muslim dari satu kesempitan dunia niscaya Allah akan melapangkannya dari satu
kesulitan hari kiamat. Siapa yang memudahkan seorang muslim dari satu kesulitan
dunia niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Siapa yang
menutup aib seorang muslim di dunia, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan
di akhirat. Allah menolong hambanya selama hamba itu menolong saudaranya.”
(HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
Nilai Pendidikan
a. Kehidupan di dunia ini adalah sebuah gambaran kehidupan kelak di akhirat.
b. Dunia ini adalah tempat kita mencari bekal untuk kita bisa meraih kebahagiaan
kelak di akhirat.
c. Menghargai sesama kita adalah sebuah kebaikan bagi kita, karna menghargai
sesama, menjaga aib sesama kita memberikan kemudahan bagi orang lain di
saat orang lain kesusahan, niscaya kita juga akan di bantu di berikan
kemudahan oleh Allah SWT. di dunia dan di akhirat.
d. Ketika memberikan pengarahan kepada anak didik kita, hendaknya memberikan
sebuah pemahaman yang bisa bermanfaat baginya baik di lingkungan
sekitarnya ataupun bisa bermanfaat bagi dirinya dan orang lain dunia dan di
akhirat. Inilah yang harus kita tekankan pada anak didik kita di kelas.
6. Pendekatan Keteladanan
Pendekatan leteladanan adalah memperlihatkan keteladanan atau memberikan
contoh yang baik kepada peserta didik. Guru yang senantiasa bersikap baik
kepada setiap orang misalnya, secara langsung memberikan keteladanan kepada
peserta didiknya. Keteladanan pendidik kepada peserta didiknya merupakan factor
yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran. Hal ini
disebabkan karena guru akan menjadi tokoh identifikasi dalam pandangan anak
75

yang akan dijadikan sebagai teladan dalam mengidentifikasikan diri dalam


kehidupan. Hadis Riwayat Ahmad
‫عن خابر يقول رأيت النبى صلى هللا عليه وسلم يرمى على راحلته يوم النحر يقول لنا‬
‫خذوا عنى منا سككم فإنى ال أدرى لعلى أن ال أحج بعد حجتى هذه‬
Dari Jabir ia berkata, “saya melihat Nabi SAW melontar di atas kendaraannya pada
hari an-nahr. Beliau bersabda kepada kami, ambillah (contohlah) dariku cara-cara
melaksanakan ibadah haji karena aku tidak tahu apakah dapat melaksanakan
ibadah haji sesudah ini.” (HR. Ahmad)
Nilai Pendidikan
a. Kita itu bisa menyerap ilmu itu lewat pengelihatan kita, ilmu peraktik atau ilmu
yang di sampaikan dengan cara peraktik itu lebih bagus lebih kuat dalam
ingatan kita.
b. Gunakan lah waktu luang mu untuk beribadah sebelum datang masa
sempitmu, gunakan waktu sehat mu dlam beribadah sebelum datang waktu
sakitmu, berbuatlah amal ibadah sebanyak-banyaknya sebelum ajal mengham-
piri kita. Ini juga sejalan pemahaman nya dalam hadis lain yang artinya, “
kerjakanlah duniamu seakan kamu hidap abadan, dan kerjakanlah akhiratmu
seakan-akan kamu mati besok.
B. Pengertian Metode Pembelajaran Pendidikan Islam
Metode berasal dari dua perkataan yaitu meta yang artinya adalah melalui dan
hodos yang berarti jalan atau cara. Dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu
jalan atau cara yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Adapun istilah metodologi
berasal dari kata metoda dan logi. Logi berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti
akal atau ilmu. Jadi metodologi artinya ilmu tentang jalan atau cara yang harus
dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam bahasa Arab kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang
digunakan kata atthariqah, manhaj, dan alwashilah.Thariqah berarti jalan, manhaj
berarti sistem, dan washilah berarti perantara atau mediator. Dengan demikian kata
yang paling dekat dengan metode adalah kata thariqah. Karena sebagaimana
dijelaskan pada awal pargraf secara bahasa metode adalah suatu jalan untuk
mencapai suatu tujuan.
Dengan pendekatan kebahasaan tersebut nampak bahwa metode lebih
menunjukkan kepada jalan, dalam arti jalan yang bersifat non fisik. Yaitu jalan dalam
bentuk ide-ide yang mengacu pada cara menghantarkan seseorang untuk mencapai
pada tujuan yang ditentukan.
Sedangkan pendidikan Islam dalam arti sempit, adalah bimbingan yang
dilakukan seseorang yang kemudian disebut pendidik., terhadap orang lain yang
kemudian disebut peserta didik. Terlepas dari apa dan siapa yang membimbing, yang
pasti pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia dari berbagai aspek dan
dimesnsinya, agar ia berkembang secara maksimal.
Dengnan demikian metode tersebut memiliki posisi penting dalam mencapai
tujuan. Metode adalah cara yang paling cepat dan tepat dalam memperoleh tujuan
yang diinginkan. Jika metode dapat dikuasi maka akan memudahkan jalan dalam
mencapai tujuan dalam pendidikan Islam.
C. METODE-METODE DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN ISLAM
76

Para ahli didik Islam telah merumuskan berbagai metode dalam pembelajaran
pendidikan Islam diantaranya :
1. Metode Teladan
Dalam al-Qur’an kata teladan disamakan pada kata Uswah yang kemdian
diberikan sifat dibelakangnya seperti sifat hasanah yang berarti baik. Sehingga
dapat terungkapkan menjadi Uswatun Hasanahyang berarti teladan yang baik.
Kata uswah dalam al-Qur’an diulang sebanyak enam kali dengan mengambil
contoh Rasullullah SAW, Nabi Ibrahim dan kaum yang beriman teguh kepada
Allah. Firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab :
‫لقد كان لكم في رسو ل هللا اسوة حسنة‬
“Sesungguhnya dalam diri Rasullullah itu kamu dapat menemukan teladan yang
baik” (Q.S.al-Ahzab:21)
Metode ini dinggap sangat penting karena aspek agama yang trpenting adalah
akhlak yang termasuk dalam kawasan aektif yang terwujud dalam tingkah
laku(behavioral).

Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang


dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam
kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Alquran secara utuh. Dengan
demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan
menjadi metode yang ampuh dalam membina perkembangan anak didik.
Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Rasulullah saw., yang dapat menjadi
acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, sehingga diharapkan anak didik
mempunyai figur pendidik yang dapat dijadikan panutan.
2. Metode Nasihat
Al-Qur’an juga menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk
mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Inilah yang kemudian
dikenal nasihat. Tetapi pada setiap nasihat yang disampaikannya ini selalu dengan
teladan dari I pemberi atau penyampai nasihat itu. Ini menunjukkan bahwa antara
satu metode yakni nasihat dengan metode lain yang dalam hal ini keteladanan
bersifat melengkapi.

3. Metode Ceramah
Metode ini merupakan metode yang sering digunakan dalam menyampai-kan
atau mengajak orang mengikuti ajaran yang telah ditentukan. Metode ceramah
sering disandingkan dengan katakhutbah. Dalam al-Qur’an sendiri kata tersebut
diulang sembilan kali. Bahkan ada yang berpendapat metode ceramah ini dekat
dengan katatablih,yaitu menyampaikan sesuatu ajaran. Pada hakikatnya kedua
arti tersebut memiliki makna yang sama yakni menyampaikan suatu ajaran.
Pada masa lalu hingga sekarang metode ini masih sering digunakan, bahkan
akan selalu kita jumpai dalam setiap pembelajaran. Akan tetapi bedanya terkadang
metode ini di campur dengan metode lain. Karena kekurangan metode ini adalah
jika sang penceramh tidak mampu mewakili atau menyampaikan ajaran yang
semestinya haus disampaikan maka metode ini berarti kurang efektif. Apalagi tidak
semua guru atau pendidik memiliki suara yang keras dan konsisten, sehingga jika
menggunakan metode ceramah saja maka metode ini seperti hambar.
77

4. Metode Tanya Jawab


Tanya jawab merupakan salah satu metode yang menggunakan basis anak
didik menjadi pusat pembelajaran. Metode ini bisa dimodif sesuai dengan pelajaran
yang akan disampaikan. Bisa anak didik yang bertanya dan guru yang menjawab
atau bisa anak didik yang menjawab pertanyaan dari gurunya.
Didalam al-Qur’an hal ini juga digunakan oleh Allah agar manusia berfikir.
Pertanyaan-pertanyaan itu mampu memancing stimulus yang ada. Adapun contoh
yang paling jelas dari metode pendidikan Qur’an terdapat didalam surat Ar-
Rahman. Disini Allah SWT mengingatkan kepada kita akan nikmat dan bukti
kekuasaan-Nya, dimulai dari manusia dan kemampuannya dalam mendidik,
hingga sampai kepada matahari, bulan, bintang, pepohonan, buah-buahan, langit
dan bumi.
5. Metode Diskusi
Metode diskusi diperhatikan dalam al-Qur’an dalam mendidik dan mengajar
manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap pengetahuan
mereka terhadap sesuatu masalah. Sama dengan metode diatas metode diskusi
merupakan salah satu metode yang secara tersirat ada dalam al-Qur’an.
Diskusi juga merupakan metode yang langsung melibatkan anak didik untuk
aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Diskusi bisa berjalan dengan baik jika anak
didik yang menduskisikan suatu materi itu benar-benar telah menguasai sebagian
dari inti materi tersebut. Akan tetapi jika peserta diskusi yakni anak didik tidak
paham akan hal tersebut maka bisa dipastikan diskusi tersebut tidak sesuai yang
diharapkan dalam pembelajaran.
6. Metode perumpamaan
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran
untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi pelajaran dapat
dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih
konkrit. Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah saw. sebagai satu metode
pembelajaran selalu syarat dengan makna, sehinga benar-benar dapat membawa
sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih
samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.
7. Metode Pengulangan
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah pengulangan/latihan
atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang
membayangkan dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik
yaitu melakukan perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu ingatan yang
penting.

D. EVALUASI DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM


1. Evaluasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta dalam
pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.
Dalam prosesnya, pendidikan Islam menjadikan tujuan sebagai sasaran ideal
yang hendak dicapai dalam program dan diproses dalam produk kependidikan
78

Islam atau output kependidikan Islam. Adagium ushuliyah menyatakan bahwa :


“al-umûr bi maqâshidika”, bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi
pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan.
Untuk mengetahui ketercapaian suatu tujuan kegiatan yaitu evaluasi. Dengan
evaluasi, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan tarap
kemajuannya. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya
dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkannya.
Abdul Mujib dkk mengungkapkan , bahwa untuk mengetahui pencapaian tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan oleh peserta didik diperoleh
melalui evaluasi. Dengan kata lain penilaian atau evaluasi digunakan sebagai alat
untuk menentukan suatu tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Atau untuk
melihat sejauhmana hasil belajar siswa sudah mencapai tujuannya.
Dalam pendidikan Islam evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem
pendidikan Islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai
alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses
pendidikan Islam dan proses pembelajaran. Dalam makalah ini akan penulis
sajikan hal-hal yang menyangkut evaluasi pendidikan Islam, dari mulai pengertian,
tujuan, prinsip, fungsi dan perannya.
2. Pengertian Evaluasi Pendidikan Islam
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation, yang berarti
penilaian dan penaksiran. Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihân, yang
berarti ujian, dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses
kegiatan.
Sedangkan secara istilah, ada beberapa pendapat, namun pada dasarnya
sama, hanya berbeda dalam redaksinya saja. Oemar Hamalik mengartikan evaluasi
sebagai suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan peserta didik untuk tujuan pendidikan. Sementara Abudin Nata
menyatakan bahwa evaluasi sebagai proses membandingkan situasi yang ada
dengan kriteria tertentu dalam rangka mendapatkan informasi dan menggunakan
nya untuk menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan.
Kemudian menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan. Dan Edwind Wandt berpendapat evaluasi adalah: suatu tindakan atau
proses dalam menentukan nilai sesuatu.
Adapun M. Chabib Thoha, mengutarakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan
yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan menggunakan instrumen
dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Dari beberapa pendapat, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi yaitu suatu
proses dan tindakan yang terencana untuk mengumpulkan informasi tentang
kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan (peserta didik) terhadap tujuan
(pendidikan), sehingga dapat disusun penilaiannya yang dapat dijadikan dasar
untuk membuat keputusan. Dengan demikian evaluasi bukan sekedar menilai
suatu aktivitas secara spontan dan insedental, melainkan merupakan kegiatan
untuk menilai sesuatu yang terencana, sistematik dan berdasarkan tujuan yang
79

jelas. Jadi dengan evaluasi diperoleh informasi dan kesimpulan tentang


keberhasilan suatu kegiatan, dan kemudian kita dapat menentukan alternatif dan
keputusan untuk tindakan berikutnya.
Selanjutnya, Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau tehnik
penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang
bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan
spiritual religius, karena manusia bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya
bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup
beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf
kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam. Program evaluasi ini
diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam
menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang
dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas dan sebagainya.
Oleh karena itu, yang dimaksud evaluasi dalam pendidikan Islam adalah
pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna
melihat sejauhmana keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam
sebagai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
Jadi evaluasi pendidikan Islam yaitu kegiatan penilaian terhadap tingkah laku
peserta didik dari keseluruhan aspek mental-psikologis dan spiritual religius dalam
pendidikan Islam, dalam hal ini tentunya yang menjadi tolak ukur adalah al-
Qur’an dan al-Hadits. Dengan pelaksanaan evaluasi ini bukan hanya pendidik juga
keseluruhan aspek/unsur pendidikan Islam

3. Tujuan Evaluasi Pendidikan Islam


Menurut Abdul Mujib dkk, tujuan evaluasi adalah:
 Mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih
keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang
telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan perilakunya.
 Metahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang
lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya.
 Mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk
mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah
dicapai untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Abudin Nata menambahkan, bahwa evaluasi bertujuan mengevaluasi pendidik,
materi pendidikan, dan proses peyampaian materi pelajaran. Pendapat senada
mengungkapkan bahwa tujuan evaluai yaitu untuk mengetahui penguasaan
peserta didik dalam kompitensi/subkompitensi tertentu setelah mengikuti proses
pembelajaran, untuk mengetahui kesulitan belajar peserta didik (diagnostic test)
dan untuk memberikan arah dan lingkup pengembangan eavaluasi selanjutnya.
4. Pengembangan Pendidikan Islam
a. Pengembangan
Pengembangan dalam arti yang sangat sederhana adalah suatu proses, cara
pembuatan. Sedangkan menurut Drs. Iskandar Wiryokusumo M.sc
pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang
80

dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggungjawab


dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, dan
mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras,
pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta
kemampuan kemampuan nya, sebagai bekal untuk selanjutnya atas prskarsa
sendiri menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya,
sesama ,maupun lingkungannya ke arah tercapainya martabat, mutu dan
kemampuan manusiawi dan prbadi yang mandiri.

Pengembangan sumber daya manusia dari waktu ke waktu semakin


meningkat. Oleh karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti
perkembangan tersebut. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki
peran tersendiri terhadap pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat
anakanak dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang tua. Dan pada masa
tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang anak.
Sedangkan peran pada pendewasaan dan pematangan individu merupakan
peran dari kelompok masyarakat.
b. Pendidikan islam
Pendidikan secara umum adalah sebagai suatu usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembang
kan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pada intinya pendidikan adalah suatu proses yang disadari untuk
mengembangkan potensi individu sehingga memiliki kecerdasan pikir,
emosional, berwatak dan berketerampilan untuk siap hidup ditengah-tengah
masyarakat. Prinsip dasar dari pendidikan adalah untuk memanusiakan
manusia, mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu
menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang
meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, sehingga terdorong
untuk memelihara diri sendiri maupun hubungannya dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
Para ahli pendidik Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan
pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik tetapi maksudnya adalah
mendidik akhlak dan jiwa mereka, dengan kesopanan yang tinggi, rasa fadilah
(keutamaan), mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang seluruhnya ikhlas
dan jujur.
Pada akhirnya tujuan pendidikan Islam itu tidak terlepas dari tujuan
nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang kehidupan
duniawi dan ukhrawi. Dalam al-Qur‟an sudah terang dikatakan bahwa manusia
itu diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Hal ini terdapat dalam Al-
Qur‟an Surat Adz-zariyat : 56, “Dan Aku tidak mencipta-kan jin dan manusia
kecuali supaya mereka menyembah-Ku.
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya
agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak sesungguhnya
81

manusia sangatlah membutuhkan agama dan sangat dibutuh-kanya agama oleh


manusia. Tidak saja di massa premitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan belum
berkembang tetapi juga di zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan teknologi
telah demikian maju.
Pendidikan agama yang menyajikan kerangka moral sehingga seseorang
dapat membandingkan tingkah lakunya. Pendidikan agama yang terarah dapat
menstabilkan dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di
dunia ini. Pendidikan agama menawarkan perlindungan dan rasa aman,
khususnya bagi para siswa dalam menghadapi lingkungannya. Agama
merupakan salah satu faktor pengendalian terhadap tingkah laku anak-anak
didik hari ini. Hal ini dapat dimengerti karena agama mewarnai kehidupan
masyarakat setiap hari
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pembinaan dan bimbingan melalui
pendidikan agama sangat besar pengaruhnya bagi para siswa sebagai alat
pengontrol dari segala bentuk sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan
sehari-hari, artinya nilai-nilai agama yang diperolehnya menjadi bagian dari
pribadinya yang dapat mengatur segala tindak tanduknya secara otomatis.
Bila ditarik titik permasalahan yang signifikan terhadap munculnya
dekadensi moral anak-anak hari ini adalah tidak maksimalnya pendidikan
agama diajarkan kepada para siswa khususnya sejak usia dini atau masih
duduk di Sekolah Dasar (SD). Muatan pelajaran agama di Sekolah Dasar (SD)
sangat minim untuk menjadi bekal mereka menghadapi kacau dan semrawut-
nya hiruk pikuk dunia ini.
Apalagi tenaga pengajar agama hanya mampu mengajar namun sedikit
semangat dalam mendidik. Dalam artian, pemberian pendidikan agama hanya
berbentuk kajian teoritis namun tidak diupayakan dalam bentuk praktis. Apa
yang dilakukan para siswa di luar sekolah ini tidak menjadi perhatian para
pendidik agama.
Dengan demikian, upaya praktis dalam mewujudkan nilai-nilai moral yang
islami lewat pendidikan agama harus senantiasa diupayakan agar penanaman
pendidikan agama betul-betul maksimal.

c. Pengembangan Pendidikan Islam


Pengembangan pendidikan Islam, dalam arti i‟adah, ibanah dan ihya dengan
maksud reaktualisasi, revitalisasi, refungsionalisasi dan revektifity
sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak. Berbagai
model pengembangannya pun telah banyak digagas, namun berbagai ikhtiyar
tersebut hingga kini belum sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana
diharapkan.
Pada ranah empiris, implementasi pendidikan Islam baik di sekolah maupun
di perguruan tinggi belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap
perubahan prilaku peserta didik, padahal salah satu tujuan utama pendidikan
Islam adalah terjadinya perubahan baik pola fikir (Way of thinking), perasaan
dan kepekaan (way of feeling), maupun pandangan hidup (way of life) pada
peserta didik.
PERTEMUAN KE 13
82

LINGKUNGAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Lingkungan Pendidikan Islam
Secara harfiah lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengitari
kehidupan baik berupa fisik seperti alam jagat raya dengan segala isinya, ataupun
berupa nonfisik seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai dan adat istiadat
yang berlaku di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang,
serta teknologi. Kedua lingkungan tersebut hadir secara kebetulan, yakni tanpa
diminta dan direncanakan oleh mansusia. Lingkungan pendidikan juga didefinisikan
sebagai suatu institusi atau kelembagaan tempat pendidikan itu berlangsung. Dalam
beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang
pengertian lingkungan pendidikan Islam. Kajian lingkungan pendidikan Islam
(Tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan
mengenai macam-macam lingkungan pendidikan.
Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah
suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan
terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Dalam al-Qur’an tidak dikemuka
kan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan
pendidikan yang terdapat dalam praktik sejarah yang digunakan sebagai tempat
terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan,
madrasah, dan universitas.
Lingkungan seperti itu tidak disinggung secara langsung dalam Al-Qur’an, tetapi
al-Qur’an menyinggung dan memberikan perhatian tehadap lingkungan sebagai
tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada
umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 52 kali
yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang
dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari
Allah (lihat QS. Al-A’raf: 4; QS.Al-Isra: 16; QS.An-Naml: 34), sebagian dihubungkan
pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang
aman dan damai (QS. An-Nahl: 112), dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat
tinggal para nabi (lihat QS. An-Naml: 56; QS. Al-A’raf: 88; dan QS. Al-An’am: 92).
Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat
kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kuttab,
yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf Al-Qur’an lalu
diajarkan pula ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ia menggunakan rumah Arqam sebagai
institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kuttab,
dan madrasah sebgai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai
lingkungan pendidikan.
Konsep lingkungan dalam hubungannya dengan pendidikan dan manusia sebagai
makhluk yang merdeka, memiliki daya pilih yang kuat, serta berbagai potensi
jasmani, rohani, dan spiritual yang dimilikinya, telah menimbulkan berbagai aliran
yang antara satu dan lainnya menunjukkan perbedaan yang mencolok. Berbagai
aliran tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
83

1. Aliran empirisme atau behaviorisme dari John Locke. Menurut aliran ini, manusia
atau peserta didik dianggap sebagai gelas kosong yang dapat diisi apa saja oleh
pemiliknya. Faktor lingkungan dan atmosfer akademik sangat menentukan
keberhasilan pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, bahwa setiap kali
berbicara tentang lingkungan dan atmosfer akademik, maka sesungguhnya yang
dibicarakan adalah pengaruh lingkungan dan atmosfer akademik tersebut. Pada
aliran ini guru dianggap aktif dan menentukan. Adapun murid dianggap pasif dan
ditentukan.
2. Aliran nativisme dari Scopenhaur. Menurut aliran ini bahwa yang menentukan
seseorang menjadi apa saja, bukanlah lingkungan sebagaimana yang dianut oleh
behaviorisme dan empirisme sebagaimana disebutkan di atas, melainkan watak,
pembawaan dan potensi yang dimiliki seorang peserta didik dari sejak lahir. Aliran
nativisme ini bertolak dari libnitzian tradition yang menekankan kemampuan
dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhadap perkembangan anak.
3. Aliran konvergensi. Aliran ini dirintis oleh William Stern (1871-1979), seorang ahli
pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat, bahwa seorang anak dilahir-kan di
dunia sudah disertai pembawaan baik dan pembawaan buruk. Penganut aliran ini
berpendapat, bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan
maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting.
Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan bakat itu.
B Pandangan Islam tentang Lingkungan
Aliran empirisme, behaviorisme, nativisme humanisme, dan konvergensi dengan
berbagai variasinya sebagaimana tersebut di atas pada dasarnya berbicara tentang
aspek yang mempengaruhi pembentukan pribadi manusia. Adapun pada nativisme
sebaliknya, yaitu bahwa yang berperan membentuk pribadi manusia adalah
pembawaanya, bukan lingkungannya. Pada empirisme yang berperan membentuk
pribadi manusia ialah lingkungan, bukan pembawaannya. Dan pada konvergensi
yang berperan membentuk pribadi manusia ialah pembawaan dan lingkungannya
secara sekaligus.
Dengan mengacu pada prinsip keseimbangan yang terdapat dalam ajaran Islam,
yakni antara lahir (empirisme) dan batin (nativisme) serta hadits nabi yang artinya:
Bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci, lalu kedua orang tuanyalah
yang menyebabkan anak tersebut menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi, di
kalangan para pendidik Islam, banyak yang berpendapat bahwa dalam hal proses dan
faktor yang mempengaruhi pembentukan pribadi masusia, Islam lebih cenderung
kepada aliran konvergensi sebagaimana tersebut di atas.
Namun demikian, jika dilakukan analisis secara agak mendalam dan seksama.
Tampaknya ajaran Islam tidak menganut salah satu aliran tersebut, karena ketiga
aliran tersebut semata-mata mengandalkan pengaruh atau faktor yang berasal dari
usaha manusia sendiri. Seluruh aliran tersebut masih memusat pada usaha manusia
(anthropo-centris), dan belum melibatkan peran Tuhan. Hal ini berten-tangan dengan
ideologi pendidikan Islam yang bercorak humanisme teo-centris, yang intinya
memadukan antara usaha manusia dan pertolongan (hidayah) dari tuhan.
84

Dengan demikian, proses pendidikan dalam Islam dipengruhi oleh tiga faktor,
yaitu faktor pembawaan dalam diri manusia, faktor lingkungan, dan faktor hidayah
dari Allah Ta’ala.
C Macam-macam Lingkungan Pendidikan Islam
Pada perkembangan selanjutnya institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi
tiga macam, yaitu keluarga sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal.
Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembang
an dan pembinaan kepribadian peserta didik.
Lingkungan pendidikan di keluarga Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah
usrah, nasl, ‘ali dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu),
perkawinan (suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan. Keluarga (kawula dan warga)
dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang memiliki
tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama ekonomi, berkembang, mendidik,
melindungi, merawat, dan sebagainya. Inti keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.
Pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta
merupakan pelekat fondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. Dalam hal ini,
orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai peserta didik.
Keluarga adalah lingkungan pertama dimana manusia melakukan komunikasi dan
sosialisasi diri dengan manusia lain selain dirinya. Di keluarga pula manusia untuk
pertama kalinya dibentuk baik sikap maupun kepribadian-nya. Lembaga pendidikan
keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama, karena didalam keluarga
inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak.
Fungsi keluarga dalam kajian lingkungan pendidikan sebagai institusi sosial dan
institusi pendidikan keagamaan.
a) Keluarga sebagai Institusi Sosial
Orang tua berkewajiban untuk mengembangkan fitrah dan bakat yang
dimilikinya. Pendidikan dalam perspektif ini, tidak menempatkan anak sebagai
objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan, tetapi pendidikan
anak berarti mengembangkan potensi dasar yang dimiliki anak yang dimaksud.
Dalam Islam, potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran. Karena ia
cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntut untuk mengarahkannya.
Dalam kaitannya sebagai institusi sosial maka keluarga menjadi bagian dari
masyarakat dan negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga, akan menjadi
kesadaran bagi perwujudan masyarakat yang baik. Keluarga merupakan
lingkungan sosial yang pertama. Di lingkungan ini anak akan diperkenalkan
dengan kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu
dengan keluarga yang lainnya menyebabkan ia menjadi bagian dari kehidupan
sosial.
b) Keluarga sebagai Institusi Pendidikan/Keagamaan
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat dididik dan membutuh-kan
pendidikan. Dalam perspektif Islam, yang jauh lebih penting lagi adalah bagaimana
orang tua membantu perkembangan psikologis dan intelektual anak. Aspek ini
membutuhkan kasih sayang, asuhan dan perlakuan yang baik. Termasuk yang
jauh lebih penting lagi adalah peran orang tua menanamkan nilai-nilai keagamaan
dan keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang diberikan orang tua kepada
85

anak, dituntut agar lebih dapat merangsang anak dalam melakukan contoh
perilaku orang tua (uswatun hasanah). Melihat peran yang dapat dimainkan oleh
lembaga pendidikan keluarga maka tidak berlebihan bila Sidi Gazalba
mengkategorikannya pada jenis lembaga pendidikan primer, utamanya untuk
masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah.
Secara umum, kewajiban orang tua pada anak-anaknya adalah sebagai berikut:
1.Mendoakan anak-anaknya dengan doa yang baik (QS Al-Furqon: 74) dan jangan
sekali-kali mengutuk anaknya dengan kutukan yang tidak manusiawi.
2. Memelihara anak dari api neraka (QS At-Tahrim: 6)
3. Menyerukan sholat pada anaknya (QS Taha: 132)
4. Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga (QS An-Nisa: 128)
5. Mencintai dan menyayangi anak-anaknya (QS Ali-Imran: 140)
6. Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya (QS At-Taghabun: 14)
7. Mencari nafkah yang halal (QS Al-Baqarah: 233)
8. Mendidik anak agar berbakti kepada bapak dan ibu (QS An-Nisa:36, Al-An’am:
151, Al-Isra’: 23) dengan cara mendoakannya yang baik (QS Al-Isra’: 24).
9. Memberi air susu sampai dua tahun (QS Al-Baqarah: 233).

Menurut al-Nahlawi, kewajiban orang tua dalam mendidik anak-anaknya :


1. Menegakkan hukum-hukum Allah Ta’ala kepada anaknya (QS Al-Baqarah: 229,
230)
2. Merealisasikan ketenteraman dan kesejahteraan jiwa keluarga (QS Al-A’raf: 189,
Ar-Rum:21)
3. Melaksanakan perintah agama dan perintah Rasululloh . (QS At-Tahrim: 6)
4. Mewujudkan rasa cinta kepada anak-anak melalui pendidikan

Lingkungan pendidikan di sekolah


Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati−yang mana dikutip oleh Ramayulis−memberi
pengertian tentang lembaga pendidikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut
diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan
dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Gazalba memasukkan sekolah dalam jenis pendidikan sekunder, sementara
pendidiknya adalah guru yang profesional.
Ahmad Tafsir memaparkan tentang alasan orang tua menyerahkan pengajaran
bagi anaknya ke sekolah, diantaranya: pertama, orang tua tidak mampu
menyelenggarakannya di rumah, pengetahuan yang harus diajarkan itu tidak
dikuasai oleh orang tua; kedua, orang tua tidak memiliki cukup waktu untuk
menyelenggarakannya; ketiga, karena pendidikan di rumah (terutama pengajaran)
sangat mahal.
(1) Tanggung Jawab dan Kewajiban Sekolah.
Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan
membentuk nalar berfikir yang kuat. Tingkat keberhasilan sebuah bangsa dalam
konteks kehidupan manusia yang sangat luas, diukur dari bagaimana sekolah
berperan dalam membangun kemandirian dan kecerdasan anak didik.
Sekolah bertanggung jawab menanamkan pengetahuan baru yang reformatif
dan transformative dalam mem-bangun bangsa yang maju dan berkualitas.
Dengan demikian peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan
orientasi bangsa ke depan.
86

Sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak. Sekolah


memberikan pendidikan dan peng-ajaran kepada anak-anak menganai apa yang
tidak dapat atau tidak ada kesempatan orang tua untuk mem-berikan pendidikan
dan pengajaran di dalam keluarga. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah orang
tua menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada sekolah.
Tugas guru dan pe-mimpin sekolah di samping memberikan ilmu penge-
tahuan-pengetahuan, keterampilan, juga mendidik anak beragama. Di sinilah
sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam memberikan pendidikan dann
pengajaran kepada anak didik. Pendidikan budi pekerti dan keagamaan yang
diselenggarakan di sekolah-sekolah haruslah merupa-kan kelanjutan, setidak-
tidaknya jangan bertentangan dengan apa yang diberikan dalam keluarga. Sekolah
telah membina anak tentang kecerdasan, sikap, minat, dan lain sebagainya dengan
gaya dan caranya sendiri sehingga anak mentaatinya. Lingkungan yang positif
adalah terhadap pendidikan Islam yaitu lingkungan sekolah yang mem-berikan
fasilitas dan motivasi untuk berlangsungnya pen-didikan agama ini. Sedangkan
lingkungan sekolah yang netral dan kurang menumbuhkan jiwa anak untuk gemar
beramal, justru menjadikan anak jumud, picik, berwawasan sempit. Sifat dan
sikap ini menghambat pertumbuhan anak.
Lingkungan sekolah yang negatif terhadap pendidikan agama yaitu lingkungan
sekolah berusaha keras meniadakan kepercayaan agama di kalangan anak didik.
Dalam hal ini mereka mengharapkan agar anak didiknya kelak memiliki
kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam atau dengan kata lain berkepribadian
muslim. Yang dimaksud dengan berkepribadian muslim adalah kepribadian yang
seluruh aspeknya baik tingkah lakunya, kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup
dan kepercayaannya menunjukkan peng-abdiannya kepada Tuhan, penyerahan
diri kepada-Nya.
(2)Kerjasama antara keluarga dan sekolah.
Untuk mendapatkan hasil pendidikan yang baik, sekolah perlu mengadakan kerja
sama yang harmonis antara sekolah dan keluarga. Dengan adanya kerja sama itu
orangtua akan men-dapatkan:
a. Pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya.
b. Mengetahui berbagai kesulitan yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah.
c. Mengetahui tingkah laku anaknya selama di sekolah seperti, apakah anaknya
rajin, malas
suka membolos, suka mengantuk, nakal dan sebagainya.
Sedangkan bagi guru, dengan adanya kerjasama tersebut guru akan mendapatkan:
1. Informasi dari orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat anaknya. Dan
informasi tersebut sangat berguna bagi guru dalam memberikan pendidikan
sebagai anak didiknya.
2. Bantuan-bantuan dari orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi anak
didiknya di sekolah.
(3) Cara untuk mempererat antara keluarga dan sekolah
a. Mengadakan pertemuan dengan orang tua diawal tahun pelajaran, khususnya di
hari penerimaan anak didik baru.
b. Mengadakan surat menyurat antara sekolah dan keluarga.
c. Menyampaikan prestasi anak didik dalam bentuk buku rapor.
d. Mengadakan buku penghubung akhlak anak didik.
87

e. Mengunjungi orang tua murid.


f. Mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan dan ke-pesertadidikan yang dihadiri
oleh orangtua.
g. Membentuk perkumpulan orangtua, seperti komite sekolah.
Jack L. Nelson menyatakan elelmen institusi sekolah terdiri atas tujuh macam:
1. Utility (kegunaan dan fungsi). Suatu lembaga sekolah diharapkan memiliki
kontribusi terhadap tuntutan masyarakat yang ada tuntutan kelembagaan
sendiri dan aktor.
2. Actor (pelaku). Aktor berperan dalam pelaksanaan tujuan dan fungsi
kelembagaan, sehingga aktor tersebut mempunyai status dalam institusi tempat
ia berada.
3. Organisasi. Organisasi dalam institusi tergambar dengan be-berapa bentuk dan
hubungan-hubungannya antara-aktor.
4. Share in Society (tersebar dalam masyarakat). institusi memberikan seperang-
kat nilai, ide, dan sikap dominan dalam masyarakat, serta mempunyai
hubungan-hubungan dengan institusi lain, baik terhadap sistem politik ekonomi
masyarakat, kebudayaan, pengetahuan dan kepercayaan.
5. Sanction (Saksi). Institusi memberikan penghargaan dan hukuman bagi aktor.
Wewenang sanksi diperlukan bila berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat tempat institusi berada, dan sanksi dijatukan sesuai dengan
ukurannya.
6. Ceremony (ucapan, ritus, dan simbol). Upacara dalam pendidikan sebagai
pengikat tentang status, pengetahuan, dan nilai seperti acara wisuda.
7. Resistance to change (menentang perubahan). Institusi berorientasi terhadap
status quo akan menumbulkan problem baru.
Lingkungan pendidikan di masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal, juga menjadi bagian
penting dalam proses pendidikan. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau
beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik
yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat
memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.
Menurut Al-Nahlawi (1995) tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan
tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu
(1) Menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan
dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi mungkar se-bagaimana yang
tertera dalam surat Âli Imran 104. “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung.
(2) Dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap seperti anak sendiri atau
saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak
yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri.
(3) Jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapi dengan
menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan
kekerabatan lain dengan cara yang mendidik
(4) Masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian,
pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang
pernah dicontohkan oleh Nabi.
88

(5) Pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh.
Karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai
lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam ter-selenggaranya
proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus
bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung.
Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat islam tuntut untuk untuk
memillih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari
masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau pererta didik berada di
lingkungan masyarakat yang kurang baik, perkembangan kepribadian anak
tersebut akan bermasalah.
Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih
lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orangtua
beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan
formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat
dan memungkinkan ter-selanggaranya pendidikan tersebut. Berpijak dari tanggung
jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai
bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, taman pendidikan Al-
qur’an (TPA) wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan ruhani, dan
sebagainya. Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan
pendidikan, setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan
suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di
dalamnya.
Pengaruh Timbal Balik antara Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan
Peserta Didik untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, ketiga lembaga
atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang
tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama
dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nilai. Orang tua
harus menyadari tanngung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas
taat beribadah kepada Allah semata, akan tetapi orangtua harus memperhatikan
bagi anaknya sesuai dengan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antara
nya mempersiapkan anaknya memilih kemampuan/keahlian sehingga dapat
menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai Khalifah Fil Ardhi ,
serta menentukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu orang tua
juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang
baik sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai
anggota dari satu komunitas masyarakat itu sendiri. Dalam hubungannya dengan
sekolah, orangtua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut. Pihak
sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari
orang tua mereka sehingga keterlibatan dan bantuan orangtua dibutuhkan.
Kemudian, sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal
mungkin, dalam tujuan peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.
Dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam
penyeleng-garaan pendidikan Islam. Sebab, lingkungan yang juga dikenal dengan
institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum
89

lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
D. Pandangan Islam Tentang Lingkungan
Menurut Islam (Al-Quran) alam bukan hanya benda yang tidak berarti apa-apa
selain dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dalam pandangan
Islam (Al-Quran) adalah tanda (ayat) “keberadaan” Allah. Alam memberikan jalan bagi
manusia untuk mengetahui keberadaan-Nya. Allah berfirman,”Dan di bumi itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,”(QS Adz-
Dzariyat [51]:20).
Dalam Al-Quran banyak ditemukan ketika berbicara tentang alam dilanjutkan
dengan anjuran untuk berfikir memahami, mengingat, bersyukur, dan bertafakkur.
Semua ini akan mengantarkan manusia kepada sesuatu yang Maha Mutlak yang
menciptakan alam dengan keharmonisan hokum-hukum yang mengaturnya. Alam
adalah tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa alam mengabarkan akan
keberadaan Allah sebagai pencipta alam.
Alam adalah manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Misalnya, tumbuh-tumbuhan merefleksikan sifat-sifat Ilahi berupa pengetahuan
karena tumbuh-tumbuhan “tahu” bagaimana menemukan makanan dan cahaya,
buah-buahan memanifestasikan anugerah dan karunia Allah, dan hewan
mencerminkan empat sifat Ilahi; kehidupan, pengetahuan, keinginan, dan kekuasaan
Karena alam adalah lokus manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat
Ilahi, maka merusak alam berarti merusak “wajah” atau tanda (ayat) Tuhan di muka
bumi. Manusia, terutama umat Islam, harus memperlakukan dengan baik karena ia
adalah tangga untuk merenungi kemahakuasaan Allah. Renungan akan keindahan
dan keharmonisan alam akan mengantarkan kaum Muslim menjadi orang-orang
bertaqwa.
Dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Allah berfirman,”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-
Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,”(QS Al-Jatsiyah [45}:13). Ayat inilah
yang menjadi landasan teologis pembenaran Pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Islam tidak melarang
memanfaatkan alam, namun ada aturan mainnya. Manfaatkan alam dengan cara
yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab dalam melindungi alam dan
lingkungannya serta larangan merusaknya.
Manusia sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah, salah satu kewajiban
atau tugasnya adalah membuat bumi makmur. Ini menunjukkan bahwa kelestarian
dan kerusakan alam berada di tangan manusia. Dalam Islam (Al-Quran), hak
mengelola alam tidak dapat dipisahkan dari kewajiban untuk memelihara
kelestariannya (sinergi keduanya). Mengelola alam harus diiringi dengan usaha-usaha
untuk melestarikannya. Banyaknya ayat Al-Quran yang membicarakan larangan
merusak bumi, mengindikasikan kewajiban umat Islam untuk memelihara
kelestarian dan keasrian bumi. Setiap perusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai
perusakan terhadap diri sendiri. Tuntunan moral Islam dalam mengelola alam adalah
larangan serakah dan menyia-nyiakannya (baca; QS Al-A’raf [7]:31 dan QS Al-Isra
90

[17]:27), serta banyak penjelasan tentang lingkungan ini melalui hadist-hadist Nabi
Muhammad Saw.
Manusia harus mengiringi alam bertasbih memuji Allah, antara lain memelihara
kelestarian alam dan mengarahkannya kea rah yang lebih baik (islah), dan bukannya
melakukan perusakan di muka bumi (fasad fi al-ardl). Sekali lagi, Islam
membolehkan Pengelolaan bumi dan pemanfaatannya dengan syarat kelestarian dan
keberlangsungannya, jangan sampai merusak habitat alam.
PERTEMUAN KE 14
RELEVANSI PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KEMAJUAN BANGSA
A. Eksistensi Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan islam tidak dapat dilepaskan dari substansi ajaran agama islam yang
berpusat pada nilai-nilai moralitas. Pendidikan islam sebagai salah satu institusi
pendidikan di Indonesia memiliki peran penting sebagai salah satu pendiri fondasi
bangsa. Seperti ajaran agama segara umumnya, pendidikan islam memiliki instrumen
yang kuat dalam membentuk hegemoni untuk membangun budaya integritas bangsa.

Pendidikan Islam merupakan satu bentuk pendidikan yang memiliki kekhasan


sendiri yang menjadikan pendidikan tersebut berbeda dengan pendidikan lainnya.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
pendidikan Islam merupakan bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat dan
merupakan bentuk pendidikan keagamaan yang dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, informal, dan non-formal. Selain itu, dalam Undang-Undang
tersebut, pendidikan Islam juga masuk ke dalam bentuk pendidikan dasar dan tinggi
berupa Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah
Aliyah. Sedangkan menurut Mastuhu, satuan pendidikan Islam dibagi ke dalam
beberapa kategori, yaitu non-pesantren (madrasah), pesantren, diniyah murni, dan
perguruan tinggi agama Islam (Arif, 2008:199).
1. Masa awal pendidikan islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam
di Indonesia sejak awal masuk ke Tanah Air melalu jalur perdagangan hingga
sekarang. Islam masuk dan berkembang di Nusantara sekitar sejak abad ke-12
yang bermula di daerah barat Indonesia tepatnya di semenanjung selat malaka
(Ricklets, 1995: 3-4). Selanjutnya Islam mulai menyebar ke hampir seluruh pelosok
nusantara melalui jalur perdagangan. Penyebaran Islam ini tidak terlepas dari
metode yang dilakukan oleh para penyiar Islam di Indonesia yang tidak terlepas
dari pendidikan. Perkembangan pendidikan Islam yang diterapkan dalam
penyebaran ajaran Islam di Indonesia diawali dengan munculnya pesantren di
hampir seluruh wilayah Indonesia.
Sejarah pendidikan islam sama tuanya dengan masuknya agama islam ke
Indonesia. Hal ini dikarenakan pemeluk agama baru tersebut ingin mempelajari
dengan mengetahui lebih dalam tentang ajaran-ajaran Islam. Mereka ingin pandai
sholat, berdoa, membaca Al-Qur’an yang menyebabkan timbulnya proses belajar
meskipun dalam pengertian yang sangat sederhana.
Dari sinilah timbul pendidikan Islam yang pada mulanya mereka belajar di
rumah-rumah, langgar/surau, masjid, kemudian berkembang menjadi pokok
pesantren. Setelah itu, timbul system madrasah yang teratur sebagaimana yang
kita kenal sekarang ini.
91

2. Pendidikan Islam pada masa penjajahan belanda


Masa penjajahan Belanda merupakan era baru dalam eksistensi pendidikan
islam di Indonesia. Perubahan sosial dan modernisasi menjadi isu sentral pada era
kolonialisasi Belanda. Hal ini berdampak langsung pada pendidikan islam di
Indonesia. Kemajuan zaman yang pesat akibat dari kolonialisasi dan modernisasi
yang dibawa oleh orang barat berupa pengaruh hegemoni Barat yang datang ke
indonesia (Ridjaluddin F. N, 2001: 77-78). Hegemoni Barat ini dapat dilihat dari
kebijakan Pemerintah Belanda yang sangat membatasi pergerakan Islam di
Indonesia termasuk dalam pendidikan.
Pemerintah colonial belanda yang memperkenalkan sekolah. Sekolah modern
menurut system persekolahan yang berkembang di dunia Barat mempengaruhi
system pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal, pesantren merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya Kolonial
Belanda yang sangat berbeda dalam system dan pengelolaan dengan sekolah yang
diperkenalkan oleh Belanda.
Hal tersebut tampak dari terpecahnya dunia pendidikan di Indonesia pada
abad ke-20 menjadi dua golongan.
a. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat yang sekuler dan tidak mengenal
ajaran agama.
b. Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal ajaran
agama.
Dengan kata lain, menurut Wijosukarto yang dikutip oleh muhaemin, pada
periode tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu corak lama yang berpusat
pondok pesantren dan corak baru dari perguruan sekolah-sekolah yang didirikan
oleh pemerintah Belanda. Pendidikan yang dikelola Belanda berpusat pada
pengetahuan dan keterampilan duniawi, yaitu pendidikan umum, sedangkan
lembaga pendidikan islam lebih menekankan pada aspek keagamaan
Hegemoni ini selanjutnya membentuk persepsi mayarakat, khususnya
masyarakat perkotaan, bahwa pesantren merupakan pendidikan yang tradisional
dan ortodoks. Persepsi masyarakat tersebut selanjutnya menjadi salah satu sebab
kemunduran yang dialami oleh pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di
Indonesia khususnya di daerah perkotaan. Untuk menyiasati hal tersebut, umat
Islam di Indonesia khususnya yang taat beragama membentuk sikap konfrontasi
terhadap pemerintah belanda dengan membuat hegemoni tandingan berupa
pelabelan haram terhadap segala sesuatu yang menjadi produk kolonial serta
memusatkan, pada umumnya, kegiatan pendidikan Islam (pesantren) di daerah
pinggiran kota dan desa (Suminto, 1985: 50-51). Selain itu, juga muncul gagasan
diantara ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan muslim di Indonesia untuk
membentuk satu bentuk pendidikan Islam yang modern dan dapat diterima oleh
masyarakat Indonesia pada waktu itu yang telah terhegemoni oleh pengaruh barat
dalam hal pendidikan sebagai salah satu cara menghadapi tantangan tersebut.
Bentuk pendidikan Islam modern tersebut adalah madrasah.
Gagasan pembentukan madrasah ini juga tidak terlepas dari pembaharuan
Islam yang dibawa oleh para cendikiawan Islam Indonesia yang telah kembali dari
timur tengah. Dimana cendikiawan muslim yang mengkaji Islam pada awal abad
ke-20 berpindah dari Haramain (Mekkah) ke Al-Azhar Kairo. Perpindahan ini
92

karena sifat pendidikan Islam di Al-Azhar Kairo tidak hanya membahas masalah-
masalah agama saja melainkan juga masalah sosial politik seperti kolonialisme dan
imperialisme yang di lakukan oleh kaum barat (Abaza, 1999: 48-49).
Pembaharuan Islam di Indonesia diawali dengan adanya gerakan Padri
(Sumatra Barat), Persatuan Islam dan Muhammadiyah (Pulau Jawa). Dalam
gerakan pembaharuan Islam ini, yang menjadi isu atau tema utama diantaranya
adalah, pertama, puruifikasi agama yaitu pemurnian doktrin-doktrin Islam yang
terkait dengan bid’ah, khufarat, dan tahayul yang berlangsung sejak sebelum
kemerdekaan Indonesia hingga beberapa saat setelah kemerdekaan; kedua,
sekularisasi dalam Islam yaitu pemahaman dan pemecahan masalah-masalah
duniawi dengan mengerahkan rasio yang selanjutnya melahirkan paham
desakralisasi; ketiga, reaktualisasi ajaran Islam yaitu munculnya modifikasi dalam
ajaran-ajaran Islam yang mendasar dan sifatnya mutlak (Ismali, 2001: 169-175).
Ketika madrasah terus berkembang dan dapat menyaingi sekolah desa yang
didirikan oleh pemerintah Belanda, maka pemerintah Belanda pada akhirnya
mengeluarkan kebijakan yang disebut wilde Schoolen Ordonantie yaitu kebijakan
yang melabelkan pendidikan Islam, termasuk madrasah sebagai sekolah liar dan
harus di tutup (arif, 2008: 202). Kebijakan ini berujung pada semakin terisolasinya
madrasah dari arus modernisasi dan sulit untuk berkembang serta identik dengan
praktek-praktek ritual keagamaan. Selain itu, dualisme pendidikan antara sekolah
sekuler dan sekolah keagamaan juga mulai berkembang sejak kebijakan tersebut
dibuat. Walaupun demikian, pendidikan madrasah tetap mampu mendapat
dukungan masyarakat sekitar karena pendidikan sekuler yang didirikan oleh
pemerintahan kolonial tidak mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat di
setiap daerah Hindia Belanda. Sehingga pendidikan madrasah yang meniru
pendidikan sekuler dalam hal metode dan kurikulum menjadi pilihan alternatif
bagi rakyat.
3. Eksistensi Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan
Setelah masa kemerdekaan, Madrasah memasuki masa yang menguntungkan
eksistensinya. Dimana madrasah tidak lagi berhadapan dengan kekuatan yang
menolak eksistensinya seperti pemerintaha kolonial. Pergerakan dan
perkembangan madrasah dan pendidikan Islam lainnya juga tidak lagi terkekang
oleh kebijakan-kebijakan diskriminatif dari pemerintah kolonial seperti kebijakan
ordonansi guru dan sekolah liar. Karena madrasah dan pendidikan islam lainnya
telah merdeka dan berada di dalam bangsa yang merdeka.
Perjalanan sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan
Jepang sangat menarik dan memiliki proses yang sangat panjang. Belanda yang
menduduki Indonesia setelah tiga setengah abad dan jepang selama tiga setengah
tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah.
Dengan misi gold, glory, dan gospel mereka mempengaruhi pemikiran dan ideology
dengan doktrin-doktrin Barat (Zuhairin, 1986: 134).
Hal tersebut mendorong para tokoh muslim pada masa itu untuk berupaya
sekuat tenaga mengajarkan islam dengan cara mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan Islam, seperti madrasah, pesantren, majelis ta’lim, dan sebagainya.
Sayangnya, hal tersebut tidak dirasakan oleh madrasah dan pendidikan Islam
lainnya. Dampak-dampak yang dirasakan oleh madrasah dari kebijakan yang
93

diterapkan oleh pemerintah kolonial tersebut tetap dirasakan oleh madrasah


setelah Indonesia merdeka. Paradigma dualisme pendidikan terus tetap berjalan
pada pemerintahan Soekarno dan pada masa Orde Baru. Di masa pemerintahan
Soekarno, hal ini dapat dilihat dari adanya pendidikan sekuler dan pendidikan
Islam yang bercorak isolatif-tradisional maupun sintesis seperti madrasah. Kondisi
seperti ini pada akhirnya menjadikan pendidikan Islam, termasuk madrasah tidak
dapat perhatian yang sama dengan sekolah umum lainnya. Hal ini terlihat dari
pengesahan Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 4 tahun 1950 jo. No. 12
tahun 1954 yang masih terbatas pada penguatan struktur madrasah bukan pada
substansi dan penguatan posisi madrasah secara konstitusional (arif, 2008: 204-
205).
Sedangkan pada masa Orde Baru, Madrasah makin terhimpit posisinya dengan
dikeluarkannya Keppres No. 34/1972 dan Inpres No. 15/1974 yang mengintruk-
sikan agar semua lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk lembaga pendidikan
Islam, dibawah tanggung jawab Departemen P & K. Keputusan ini mendapatkan
banyak protes dari sebagian besar praktisi pendidikan Islam dan meminta sidang
Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Selanjutnya,
hasil dari sidang ini lah yang menjadi dasar dikeluarkannya Surat Keputusan
Bersama (SKB) tiga menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 24 Maret
1975 yang menjadikan komposisi Pendidikan umum dan Pendidikan Agama 70:30
dalam kurikulum madrasah. Kondisi ini diperparah dengan perintah pemerintahan
Soeharto pada tahun 1980-an kepada militer untuk menopang kekuatan negara
dalam menghadapi rongrongan ideologi apapun termasuk ideologi agama yang
telah disahkan oleh pemerintah (Amnesti Internasional, 1998: 1). Sehingga segala
kegiatan di madrasah dan lembaga pendidikan Islam lainnya sangat dibatasi dan
harus sesuai dengan apa yang dikehendaki pemerintah Indonesia pada waktu itu.
B. Moralitas Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan umum merupakan suatu program pendidikan yang dimaksudkan
untuk mengembangkan jati diri manusia secara proporsional sehingga tercipta
manusia yang utuh. Pengertian ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh McGrath
seperti dikutip Soelaiman (1998:4) bahwa pendidikan umum adalah pendidikan
untuk menyiapkan manusia agar dapat hidup secara penuh dan memuaskan, baik
sebagai pribadi, keluarga, anggota masyarakat, pekerja, dan sebagai warga negara.
Pengertian ini memang sangat luas dan kompleks dan dalam operasionalisasinya
terdapat beberapa pengertian yang lebih spesifik dan aplikabel.
Muhammad S. A. Ibrahimy, sarjana pendidikan Islam Bangladesh, dalam salah
satu penerbitan mass media “Islamic Gazette” tahun 1983, menegaskan bahwa
pendidikan Islam menurut pandangannya suatu sistem pendidikan yang
memungkinkan seseorang dapat menga rahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi
Islam (cita Islami), sehingga ia dengan mudah dapat membentuk kehidupan dirinya
sesuai dengan ajaran Islam. Ruang lingkup pendidikan Islam telah mengalami
perubahan menurut tuntutan waktu yang berbeda-beda. Sejalan dengan tuntutan
zaman dan perkembangan ilmu dan teknologi, ruang lingkup pendidikan Islam itu
juga makin meluas (Arifin, 1995:37).
94

Pendidikan Islam sebagai alat pembudayaan Islam dalam masyarakat, dengan


demikian memiliki watak lentur terhadap perkembangan aspirasi kehidupan manusia
sepanjang zaman. Watak demikian dengan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip nilai
yang mendasarinya. Pendidikan Islam mampu mengakomodasikan tuntutan hidup
manusia dari zaman ke zaman, termasuk tuntutan di bidang ilmu dan teknologi.
Khusus berkaitan dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi, pendidikan
Islam bersikap mengarahkan dan mengendalikannya, sehingga nilai fundamental
yang bersumber dari iman dan taqwa kepada Allah SWT dapat berfungsi dalam
kehidupan manusia yang menciptakan ilmu dan teknologi. Iman dan takwanya
menjiwai ilmu dan teknologi yang diciptakan, sehingga penggunaannyapun diarahkan
kepada upaya menciptakan kesejahteraan hidup umat manusia, bukan untuk
dikesampingkan.
Islam yang diwujudkan dalam perilaku manusia melalui proses pendidikan
bukanlah semata-mata sistem teologinya saja, melainkan lebih dari itu, termasuk
peradabannya yang sempurna. Oleh karena itu Islam berhadapan dengan segala
bentuk kemajuan atau modernisasi masyarakat, tidaklah akan mengalami “shock
ideal” mengingat wataknya yang lentur dan akomodatif terhadap segala
perkembangan kebudayaan manusia.
Semua bentuk perkembangan dan kemajuan itu diserap seraya menseleksi nilai-
nilainya untuk disesuaikan dengan Islam. al-Abrasyi (1984:23-24), salah seorang ahli
pendidikan Mesir berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah
pembentukan akhlâq al-karîmah yang merupakan fadhilah dalam jiwa anak didik,
sehingga anak akan terbiasa dalam berperilaku dan berpikirnya secara rohaniah dan
insaniah berpegang pada moralitas tinggi, tanpa memperhitungkan keuntungan-
keuntungan material. Prilaku yang mencerminkan nilai-nilai islami yang mendasari
misi Rasulullah SAW yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia. Secara implisit,
khulûq manusia ciptaan Tuhan diakui sebagai potensi psikologis yang mendasari
perkembangan umat manusia sejak lahir yang memerlukan pengarahan melalui
proses kependidikan yang sisitimatis dan konsisten.
Hills (1968:18) mengemukakan bahwa yang dimaksud sistem nilai dan moral
adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih dari komponen
yang satu sama lain saling mempengaruhi atau bekerja dalam satu kesatuan atau
keterpaduan yang bulat yang berorientasi kepada nilai dan moralitas Islami. Nilai
atau sistem moral yang dijadikan kerangka acuan yang menjadi rujukan cara
berprilaku lahiriah dan rohaniah manusia muslim ialah nilai dan moralitas yang
diajarkan oleh Agama Islam sebagai wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada
utusan-Nya Muhammad SAW. Nilai dan moralitas adalah bersifat menyeluruh, bulat
dan terpadu, tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri
sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek normatif (kaidah,
pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan).
Dengan demikian sistem nilai Islami yang hendak dibentuk dalam pribadi anak
didik dalam wujud keseluruhannya dapat diklasifikasikan ke dalam norma-norma.
Misalkan norma hukum (syarî’ah) Islam, norma akhlak dan sebagainya. Oleh karena
pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinaan akhlak mulia, maka sistem moral
Islami yang ditumbuh kembang dalam proses pendidikan adalah norma yang
berorientasi kepada nilai-nilai Islami. Dalam konteks dunia persekolahan di
95

Indonesia, kehadiran program pendidikan Agama dimaksudkan untuk menjadi dasar


bagi pengembangan para anak didik menjadi manusia yang baik, yang selanjutnya
dikembangkan pula aspek-aspek intelektualitas dan keterampilan yang bersifat
spesialisasi sesuai dengan minat dan bakat yang terdapat pada diri anak didik. Hal
ini seperti ditegaskan dalam undang-undang No.2 tahun 1989 pasal 4, bahwa tujuan
pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan megembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan
mandiri, serta rasa tangung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Mengingat urgensinya pembentukan dan pembinaan manusia Indonesia yang
baik, maka setiap jenjang dan jenis pendidikan dan tingkat dasar sampai perguruan
tinggi, diselenggarakan program pendidikan Agama, untuk mendasari program-
program pendidikan yang mengembangkan aspek intelektual dan keterampilan.
Sedangkan program pendidikan umum yang yang diselenggarakan di dunia
perguruan tinggi, disajikan dalam bentuk mata kuliah yang tergabung dalam mata
Kuliah Dasar Umum. Hal ini seperti ditegaskan dalam surat keputusan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Depantemen Pendidikan dan Kebudayaan No.32/DJ/
Kep./1983. sebagai berikut: ”Komponen Mata Kuliah Dasar Umum diarahkan untuk
melengkapi pembentukan kepribadian bidang dengan pengembangan kehidupan
kepribadian yang memuaskan, keanggotaan keluarga yang bahagia, dan kewargaan
masyarakat yang produktif, serta kewargaan negara yang bertanggung jawab”.
Melalui Pendidikan Agama diharapkan adanya kontribusi yang signifikan dalam
membangun moralitas generasi bangsa. Sebab selain bantuan materil, yang tidak
kalah pentingnya adalah merubah sikap, mentalitas, moralitas, dan tata nilai mereka,
mengingat hal-hal ini akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
mereka. Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai ideal Islami dapat
dikategorikan ke dalam 3 macam sebagai berikut:
Pertama, dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup
manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan ini mendorong kegiatan manusia untuk
mengelola dan memanfaatkan dunia ini agar menjadi bekal/sarana bagi kehidupan
akhirat.
Kedua, dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras
untuk meraih kehidupan akhirat yang membahagiakan. Dan menunutut manusia
untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan dunia atau materi yang dimiliki,
namun kemelaratan atau kemiskinan dunia harus diberantas, sebab kemelaratan
dunia bisa menjadi ancaman yang menjerumuskan manusia kepada kekufuran.
Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan
hidup duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua
kepentingan hidup menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dan
berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang
bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi
manusia (Arifin, 1995:120).
Nilai-nilai Islam fundamental yang mengandung kemutlakan bagi kehidupan
manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat tidak memiliki kecende-
96

rungan untuk merubah dan mengikuti selera nafsu manusia yang selalu berubah
sesuai dengan tuntutan selera nafsu manusia sesuai tuntutan perubahan sosial.
Nilai-nilai Islami yang absolut dari Tuhan itu sebaliknya akan berfungsi sebagai
pengendali atau pengarah terhadap tuntutan perubahan sosial dan tuntutan
induvidual.
Menurut Sayyid Qutub (1984:29- 30) moralitas yang islami tidak hanya terdiri
dari kumpulan belenggu dan larangan-larangan. Ia pada hakikatnya adalah suatu
kekuatan konsturuktif dan positif, merupakan suatu pendorong bagi perkembangan
yang berkesinambungan dan bagi kesadaran pribadi di dalam proses perkembangan
tersebut. Perkembangan tersebut diwarnai oleh kemurnian yang bulat. Moralitas
bersumber dan watak tabi’i manusia yang senapas dengan nilai Islami yaitu do-
rongan batin yang menunutut pembe-basan jiwa dan beban batin karena perbuatan
dosa dan keji yang bertentangan dengan perintah Ilahi.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Agama merupakan
program pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan manusia, yaitu manusia
dalam kualifikasi keindonesiaan, yaitu:
(1) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Tuhan
dengan sebaik-baiknya;
(2) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas kemanusiaan dengan
sebaikbaiknya;
(3) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas bangsa dan negara termasuk
kebudayaannya dengan sebaikbaiknya;
(4) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas masyarakat dan tugas
Iingkungan dengan sebaik-baiknya;
(5) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas pribadinya dengan sebaik-
baiknya, baik jasmaniah maupun rohaniah (Soedjono,1980:21).
Dalam konteks keindonesiaan, moralitas yang dimaksud bersumberkan pada
Pancasila, di mana iman dan takwa merupakan substansinya. Dengan demikian
moralitas Pancasila memiliki nilai yang sakral dalam arti bersumberkan pada nilai-
nilai Ketuhanan dan oleh karena itu wajib ditaati dan dijalankan oleh masyarakat,
untuk selanjutnya direfleksikan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pada tahap ini maka pelaksanaan aktivitas kehidupan dalam berbagai
bidang baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya tidak didasarkan
atas landasan hukum dan peraturan sematamata, melainkan lebih didasarkan atas
kesadaran dan tanggung jawab moral. Suatu perbuatan yang didasarkan lebih pada
kesadaran dan tanggung jawab moral akan memiliki kualitas lebih baik dan pada
sekedar pelaksanaan hokum.

Selesai
Persiapan Ujian Akhir Semester
97

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ân al-Karîm. 1981/1982. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al Qur’an Departemen Agama
Republik Indonesia.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiah. 1984. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terjamahan, Jakarta: Bulan
Bintang.
Arifin, H.M. 1995. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Daradjat, Zakiyah. 1983. Membina
NilaiNilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
Daradjat, Zakiyah. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam, Buku Teks Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang.
Drijakara, S.J. 1996. Tentang Pendidikan, Jakarta: Pembangunan.
Downey, Meriel & Kelly. 1998. Moral Education, Theory and Practise, London: Harper and Row
Publication.
al-Ghazali, al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1986. Ihyâ ‘Ulûmuddîn, Jilid III, Kairo: Dâr
alKutûb al-‘Arabiyyah.
Mengaktifkan kehadiran mahasiswa yang diampu berdasarkan dan melihat daftar hadir pada absen kelas
Mengevaluasi melalui penilaian tugas yang diberikan dengan kelengkapan bentuk tugas yang diperintahkan
Mengumpulkan dan menilai catatan dan keberadaan kepemilikan buku paket belajar yang disampaikan saat
penyampaian kontrak kuliah
98

Memberikan ketegasan, kewajiban dan catatan koreksi bahwa buku-buku, materi dan tugas yang dikerjakan
terbukti dipelajari atayu hanya sebagai koleksi saja.
Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet.ke-5
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 2000, cet.ke-2
Daradjat, Zakiah, et.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet. ke-4
Muhamin, et.al., Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya,
Bandung: PT. Trigenda Karya, 1993, cet. ke-1
Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan
Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002, cet.ke-1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, cet. ke-1
Soebahar, H. Abd. Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002, cet.ke-1
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, cet.ke-4
Azyumardi Azra. Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan. Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999.
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. 8; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
Ali al-Jumbulati. Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyah, diterjemahkan oleh M. Arifin dan
Ibrahim Amini. Agar Tak Salah Mendidik. Jakarta: Al-Huda, 2006.
A. Qodry Azizy. Pendidikan Untuk Mebangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan Pandai dan
Bermanfaat. Cet. 2; Anggota IKAPI, 2003.
Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Cet. II; Bandung: PT. Rosdakarya, 2010.
Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. VIII; Bandung: PT. al-Ma’arif, 1989.
B.Uno, Hamsah. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Chaeruddin B. Metodologi Pengajaran Agama Islam Luar Sekolah. Yogyakarta: Lanarka, 2009.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. J-ART, 2005.
Kementrian Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI TentangPendidikan. Jakarta: Dirjen
Pendidikan Islam, 2006.
Muhammad Fadhil al-Jamaliy. Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an. Cet. 1; Surabaya: Bina Ilmu, 1986.
Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cet. XIV; Bandung: PT Rosdakarya, 2008.
Mujamil Qomar. Epestimologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritis. Jakarta:
Erlangga, 2005.
M. Arifin. Kapita Selekta Pendidikan. Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
M. Ngalim Perwanto. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. XVIII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007.
Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islam. Cet II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998.
Paulo Freire, dkk. Mengguggat Pendidikan: Fundamentalis, Konsesvatif, Liberal, Anarkis. Cet. VII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Samsul Nizar. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan Islam.
Cet.1; Jakarta: Kencana, 2008.
Sofan Amri, dkk. Kontruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya Terhadap Mekanisme dan Praktik
Kurikulum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010.
Oteng Sutisna. Administrasi Pendidikan Dasar Teoristis untuk Praktek Profesional. Bandung: Angkasa,
1983.
Syaibany, Oemar Muhammad al-Toumy. Al-Falsafah al-Tarbiyah al-Islam diterjemahkan oleh Hasan
Langgulung dengan judul, Filsafat Pendidikan Islam. Cet.1; Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan .Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.2003.
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional .Jakarta:
Dirjen. Binbaga Islam, 1992.
Ihsan, Fuad. Dasar Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. 1996.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam. Jakarta:Prenada Media. 2004.
A Kholiq, Ismail. dan Nurul Huda. Paradigma Pendidikan Islam. (Semarang: Pustaka Pelajar.2001.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Logos Wacana Ilmu. 1997.
Zein, Muhammad. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga. 1985.
99

Arifin. Ilmu Pendidikan Islam:Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta:Bumi
Aksara. 2006.
Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya.
Bandung: Trigenda karya. 1993.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung:Bumi Aksara. 1994.
Al-Nahlawi, Abdurrahman, (1996) Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, diterjemahkan
oleh Shihabuddin dari jjudul aslinya Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibihu fi al-Bayt wa al-
Madrasah wa al-Mujetama. Cet.II. Jakarta : Gema Insani Press.
Ashtiani, Ali Asthiani, et ell (2007), Comparison Cooperative Learning and Tradisional Learning in
Academic Achievement. Tersedia [on-line]
Ahmad, Muhammad Abdul Qadir (2008), Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Rineka Cipta.
Arends, Richard II. (2004). Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill.
Budiningsih, (2005), Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Reneka Cipta.
Darajat, Zakiah. (1995), Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Cet. II. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Dahlan. (1984), Model-Model Mengajar Beberapa Alternatif Interaksi Belajar Mengajar).Bandung
Diponegoro.
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya. Madinah al-Munawwarah, Mujamma
al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1412. H.
Departemen Pendidikan Nasional (2003), Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Jakarta.
Lie, Anita. (2005). Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. Jakarta : Grasindo.
Mustaji, & Sugiarso. (2005). Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik. Surabaya: Unesa University Press.
Munir, (2008). Kurikulum Berbasis Kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bandung : Al-Fabeta.
Muhaimin (2007), Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Mujib dan Jusuf Mudzakir, Abdul . 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, Nata,
Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nata, Abuddin. 2012. Sejarah Pendidikan islam: Pada periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali
Pers
Ramayulis. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
http://mtsmawalisongongabarponorogo.blogspot.com/2011/04/hakekatkurikulum-pendidikan-
islam.html di unduh hari rabu 11 sept 2013 jam 21: 23
DAFTAR PUSTAKA Ahwan, A. (2016). Manajemen Perencanaan Pendidikan Islam (Kajian Tematik
AlQur’an dan Hadits). Edukasi, 4(1), 128–155.
http://staimtulungagung.ac.id/ejournal/index.php/EDUKASI/article/view/194
Al-Buraey, M. A. (2001). The islamic model of administration: Strategy, implementation and implications.
Managerial Finance, 27(10–11), 5–24.
https://doi.org/10.1108/03074350110767556
Ary, D., Jacobs, L. C., & Sorensen, C. K. (2010). Introduction to Research (8th ed.). CENGANGE Learning.
Asnawi, N., & Setyaningsih, N. D. (2020). Perceived service quality in Indonesian Islamic higher
education context: A test of Islamic higher education service quality (i-HESQUAL) model.
Journal of International Education in Business, 13(1), 107–130. https://doi.org/10.1108/JIEB-11-2019-0054
Bairagi, V., & Munot, M. V. (2019). Research Methodology A Practical and Scientific Approach. CRC
Press. Brooks, M. C., Brooks, J. S.,
Mutohar, A., & Taufiq, I. (2020). Principals as socioreligious curators: progressive and conservative
approaches in Islamic schools. Journal of Educational Administration, 58(6), 677–695
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amzah, 2014) h. 175-191
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010. Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010.
100

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Moh.
Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012. http://20319708.siap-sekolah.
com/2013/09/06/lingkungan-pendidikan-dalam-pendidikan-islam/
Daradjat, Zakiyah dkk. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumu Aksara.
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Muzakki, kholilah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Kopertais IV Press. Surabaya.
Arifin, H.M. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Ramayulis, H. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia.
An Nahlawi Abdurahman, prinsip-prinsip dan METODE PENDIDIKAN ISLAM dalam keluarga, sekolah
dan di masyarakat, ( bandung : cv. DIPONEGORO, 1996 ),
Uhbiyati Nur, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet-Kedua,
Nata Abudin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Daradjat, Zakiyah dkk. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumu Aksara.
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Muzakki, kholilah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Kopertais IV Press. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai