Ilmu Pendidikan Islam
Ilmu Pendidikan Islam
BAHAN/MATERI AJAR
MATA KULIAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM
ِبْس ِم ِهَّللا الَّر ْح َم ِن الَّر ِحيم
َﻭ َﻣ ْﻦ َﺃَﺭ ﺍَﺩ ُﻫَﻤ ﺎ َﻓَﻌ َﻠْﻴِﻪ ِﺑﺎْﻟِﻌ ْﻠﻢ، َﻭ َﻣ ْﻦ َﺃَﺭ ﺍَﺩ ﺍَﻷِﺧَﺮ َﺓ َﻓَﻌ َﻠْﻴِﻪ ِﺑﺎْﻟِﻌ ْﻠِﻢ، َﻣ ْﻦ َﺃَﺭ ﺍَﺩ ﺍﻟُّﺪ ْﻧَﻴﺎ َﻓَﻌ َﻠْﻴِﻪ ِﺑﺎْﻟِﻌ ْﻠِﻢ
Artinya : “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barang siapa
yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu.Barang siapa yang mengingin-
kan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”
َم ْن َج َّد َو َج َد
siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan menemukan atau siapa yang bersungguh-
sungguh maka ia akan berhasil.
PERTEMUAN KE SATU.
MORALITAS ETIKA AKADEMIK SIKAP ILMIYAH DAN OBJEKTIF
(Kontrak Kuliah)
1. Perkenalan dengan memberikan apresiasi, motivasi dan mengajak mahasiswa
bermimpi membayangkan nilai-nilai hidup sebelum, sedang dan setelah mengikuti
kuliah sesuai dengan program dan prodi yang dipilih dengan semangat untuk
berlomba dalam berprestasi.
2. Melakukan absensi dengan memperkenalkan nama-nama mahasiswa beseta latar
belakangnya dan kondisi keluarga yang mendukung sehingga mahasiswa dapat
menyelesaikan kuliahnya dengan baik mengajak mahasiswa untuk mengutamakan
kuliah dari pada kegiatan yang lain yang menghambat proses penyelesaian
pendidikan.
3. Menjelaskan sistem perkuliahan perhitungan kali pertemuan dengan rumus 1 s/d 7
proses penyampaian materi ke 8 UTS, lalu dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya
9 s/d 15 dengan materi-materi berikutnya.
4. Menjelaskan sistem penilaian dalam dan selama mengikuti perkulian:
a. Nilai kehadiran (absensi) setiap kali dosen masuk melakukan absensi dengan
mencatan (A, I, dan S) dan meminta kepada mahasiswa bila berhalangan hadir
membuat bukti fisik (surat) untuk dijadikan catatan administrasi dalam penilaian.
b. Nilai tugas, pada setiap priode pembelajaran dilakukan penajaman kemampuan
dan keterampilan sebagai upaya melatih mahasiswa menyusun dan membua tugas
(resume, makalah, hafalan, presentasi dll) sehingga mahasiswa memiliki Kognitif,
afektif dan psikomotorik.
c. Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) untuk menguji daya ingat mahasiswa setelah
mengikuti perkuliahan selama 7 x pertemuan, maka pada pertemuan ke 8
dilakukan UTS yang dilakukan berdasarkan kalender akademik yang diberla-
kukan pihak fakultas.
d. Nilai Ujian Akhir Semester (UAS) pada akhir semester dengan mempedomani
kalender pendidikan dan perhitungan kali pertemuan PBM sudah mencapai 15 x
maka mahasiswa wajib mengikuti UAS dan kegiatan ini sangat menentukan
perhitungan nilai akhir mahasiswa pada akhir mengikut perkuliahan semester
berjalan.
Semua penjelasan ini disampaikan secara jelas kepada seluruh mahasiswa untuk
dapat difahami dan diharapkan tidak ada permasalahan bagi dosen dan mahasiswa
dalam melaksanakan program pembe lajaran selama satu semester berjalan.
2
terhadap pribadi individu pada fase anak-anak, atau yang dikenal dengan
riyadhatusshibyan. Imam Al-Ghazali dalam mendidik anak, lebih menekankan
pada domain afektif dan psikomotor dibandingkan penguasan dan pengisian
domain kognitif (intelektual).
Dalam praktisnya, para pakar berbeda pendapat mengenai definisi pendidikan
Islam itu sendiri. Berikut beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam dalam
mendefinisikan istilah Pendidikan Islam;
a. Muhammad Athiyah Al Abrasyi; “Pendidikan Islam (Al Tarbiyah Al Islamiyah)
adalah usaha untuk menyiapkan manusia agar hidup dengan sempurna dan
bahagia, mencintai tanah air, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya,
halus perasaannya, mahir dalam pekerjaan, manis tutur katanya baik lisan
maupun tulisan.
b. D. Marimba; Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani dan rohani
berdasarkan hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.
c. M. Yusuf Al Qardawi; pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuh-
nya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya.
Karenanya pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam
keadaan damai maupun perang dan menyiapkannya untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya serta manis dan
pahitnya.
d. Hasan Langgulung; Pendidikan Islam merupakan suatu proses penyiapan
generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-
nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia
dan memetik hasilnya di akhirat.
e. Azyumardi Azra; Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari
ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat
mencapai kehidupan berbahagia di dunia dan akhirat.
f. Zakiyah Daradjat; Pendidikan Islam merupakan proses pembentukan
kepribadian manusia sebagai muslim.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan
pendidikan Islam adalah proses bimbingan kepada manusia yang mencakup
jasmani dan rohani yang berdasarkan pada ajaran dan dogma agama (Islam) agar
terbentuk kepribadian yang utama menurut aturan Islam dalam kehidupannya
sehingga kelak memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti.
Pertanyaan yang muncul dan dapat didiskusikan adalah dari beberapa istilah
tersebut (tarbiyah, ta’dib, ta’lim dan riyadhah) manakah yang relevan untuk
menyebutkan dan mewakili istilah pendidikan Islam?, Pertanyaan lain yang dapat
dimunculkan adalah “apakah pendidikan Islam itu sama atau berbeda
dengan pendidikan pada umumnya berkaitan dengan dasar (sumber),
orientasi serta nilai yang ditransfer”.
C. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam
Secara sederhana yang dimaksud dengan Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang
membahas dan memuat teori tentang pendidikan Islam. Akan tetapi, yang menjadi
5
pertanyaan apakah dalam Ilmu Pendidikan Islam, terdapat teori yang tidak
berdasarkan Islam?. Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang
Ilmu Pendidikan Islam ini, maka akan diulas terlebih dulu mengenai pengertian ilmu
itu sendiri. Menurut Ahmad Tafsir, Ilmu merupakan pengetahuan yang logis dan
mempunyai bukti empirik dan dilakukan dengan cara riset (penelitian) Singkatnya
menurut Tafsir yang dimaksud dengan ilmu haruslah memuat objek yang empiris
serta dapat diterima dengan logis.
Lebih lanjut, Tafsir membuat matriks pengetahuan manusia sebagai berikut:
yang dimaksud dengan ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia atas dasar
riset, bersifat empiris dan dapat dilakukan dengan menggunakan indera dan akal.
Pertanyaannya kemudian, apakah Pendidikan Islam sudah memenuhi aspek-aspek
tentang Ilmu tersebut atau belum?. Jika sudah maka Pendidikan Islam dapat
dikategorikan sebagai ilmu (science), akan tetapi jika salah satu syaratnya hilang,
maka Pendidikan Islam belum “layak” dikategorikan sebagai suatu ilmu (science).
Seperti disinggung dimuka, bahwa Ilmu Pendidikan Islam secara teoritikal
merupakan pengetahuan yang membahas tentang teori-toeri pendidikan yang
berdasarkan atas Islam, yang oleh karenanya pembahasan yang dimuat dalam Ilmu
Pendidikan Islam adalah teori-teori yang terkait dengan pendidikan dalam perspektif
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
D. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam
Sebagaimana pengertiannya, maka lingkup bahasan yang menjadi kajian Ilmu
Pendidikan Islam ini adalah masalah-masalah pendidikan atas dasar ajaran Islam
yang mencakup aspek tujuan, pendidik, anak didik, bahan, metode, kurikulum, alat,
evaluasi dan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan Islam.
E. Fungsi Pendidikan Islam
Secara sederhana, fungsi Pendidikan Islam adalah sarana untuk menyediakan
fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan Islam dapat tercapai dan
berjalan dengan lancar. Menurut Kurshid Ahmad, fungsi pendidikan Islam adalah:
1. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat
kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis
besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan dan melatih tenaga-
tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial
dan ekonomi.
F. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam,
yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan
akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin,
baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang
dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui
pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya
6
b) Memelihara fitrah anak didik sebagai insan mulia, agar tak menyimpang tujuan
Allah menciptakannya.
c) Membersihkan pikiran dan jiwa dari pengaruh subjektivitas (emosi), karena
pengaruh zaman dewasa ini lebih mengarah pada penyimpangan fitrah
manusiawi.
d) Memberikan wawasan nilai dan moral, serta peradaban manusia yang membawa
khazanah pemikiran anak didik menjadi berkembang.
e) Menciptakan suasana kesatuan dan kesamaan antar anak didik.
3. Pondok Pesantren
Pondok Pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang didalamnya
terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta
didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan
tersebut, serta adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para
santri. Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat
terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab,
hukum Islam, Hadits, tafsir Al-Qur’an, teologi Islam, tasawuf, tarikh, dsb. Literatur
ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah “kitab
kuning”.
Tujuan pendidikan dalam pesantren yaitu untuk mempersiapkan pemimpin-
pemimpin akhlak dan keagamaan.
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan
dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan umum
nya, yaitu:
a. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka
praktis bekerja sama mengatasi problem non kurikuler mereka sendiri.
b. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah,
karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri
dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal
itu karena tujuan mereka hanya ingin mencari keridhaan Allah SWT semata.
c. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,
persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
I. Keistemewaan Sistem Pendidikan Islam
Islam adalah agama paripurna. Dalam pendidikan pun, Siapapun yang menelaah
sistem pendidikan didalam Islam akan melihat banyak keistimewaan.
Keistimewaan – keistimewaan tersebut antara lain:
1. Dasarnya adalah akidah islamiyah (iman/al-aqidah al-islamiyyah).
2. Islam menjadikan akidah sebagai landasan dalam pendidikan. Sejak awal, kaum
Muslim saat menuntut ilmu baik yang fardlu kifayah maupun fardlu ’ain dasarnya
adalah keimanan kepada Allah.
3. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam dan
memberikan keterampilan dalam ilmu kehidupan.
4. Tolak ukur bukan sekedar berupa nilai. Konsekuensi dari tujuan di atas,
penilaian bukan hanya didasarkan pada nilai melainkan juga ketaatan kepada
Allah SWT.
5. Pendidikan terpadu. Dalam sistem pendidikan saat ini kebanyakan hanya
memadukan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Padahal, aspek-aspek
9
Pendidikan Islam sebagai suatu proses untuk mengubah tingkah laku indivdu
pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara
pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara berbagai
profesi asasi dalam masyarakat.
2). Fadhil al-Jamaliy
Pendidikan Islam diartikan sebagai upaya mengembangkan, mendorong dan
mengajak manusia ke arah yang lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai
yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.
Berdasarkan beberapa rumusan tentang defenisi pendekatan dan pendidikan
Islam di atas, maka penulis mencoba menawarkan suatu bentuk rumusan
pengertian pendekatan dalam pendidikan Islam, yaitu suatu upaya atau cara
yang dilakukan oleh pendidik dalam proses kegiatan belajar mengajar untuk
mendekati dan mengantarkan peserta didik dalam mengenal dan mencari
keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia serta
mempersiapkan peserta didik tersebut untuk hidup secara layak dan berguna di
tengah-tengah komunitas sosialnya dan mampu meraih kesempurnaan hidup
dalam segala aspeknya.
b. Konsep Pendekatan Pengamalan, Pengalaman, Rasional, Emosional Dan
Pembiasaan dalam Pendidikan Islam
1. Pendekatan Pengamalan
Pendidikan Islam Secara filosofis, bertujuan untuk membentuk al-insan al-
kamil atau manusia paripurna. Manusia dalam kepribadiannya selalu
mencerminkan sikap seorang muslim yang merealisasikan dengan penuh
tanggung jawab hubungannya dengan sesama manusia (horizontal)
(horizontal) serta ketundukan secara totalitas vertikal kepada Allah swt.
Ahmad Tafsir memberikan suatu pandangan bahwa tujuan umum
pendidikan Islam adalah membentuk muslim yang sempurna dalam artian
beriman dan bertakwa atau manusia yang beribadah kepada Allah. Selain itu al-
Gazali dan Ali al-Jumbulati juga mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan
adalah bersifat keagamaan dan akhlak untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt. dan sekaligus untuk mendapatkan keridhaan-Nya, karena agama
merupakan sistem kehidupan yang menitipberatkan pada pengalaman.
Kedua pandangan di atas memberikan makna bahwa pendidikan Islam
tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan aspek kognitif tetapi juga
mengembangkan aspek afektif dan psikomotorik yang menyangkut bagaimana
akhlak dan sikap yang baik ditengah masyarakat, serta pengamalan ajaran
agama Islam secara kaffah.
Untuk mempengaruhi perubahan sosial ke arah yang lebih baik, maka
pendidik haruslah mendidik dan membimbing peserta didik untuk
mengaktualkan ajaran Islam dalam bentuk pengamalan dengan penuh tanggung
jawab dan niat karena Allah swt. karena pada hakikatnya pendidikan Islam
adalah pendidikan yang mengarahkan manusia untuk memiliki wawasan
keilmuan yang luas serta merealisasikan pengetahuannya dalam bentuk
12
َفاْلَي ْو َم ُنَن ِّج ْي َك ِبَب َد ِنَك ِلَت ُك ْو َن ِلَم ْن َخ ْلَفَك ٰا َي ًة ۗ َو ِاَّن َك ِثْيًر ا ِّم َن الَّن اِس َع ْن ٰا ٰي ِتَن ا َلٰغ ِفُلْو َن
Artinya::”Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguh-nya
kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”.
Sedemikian pentingnya pendekatan pengalaman dalam pembelajaran
pendidikan Islam, sehingga Allah berkali-kali memerintahkan umat Islam atau
manusia pada umumnya untuk mencari pengalaman dengan mengkaji riwayat
bangsa-bangsa terdahulu dan terus menerus melakukan kajian terhadap bekas
tempat tinggal dan kehidupan mereka, juga dengan berbagai peristiwa alam
yang terjadi dalam kehidupan sebagaimana firman Allah dalam QS Yunus 39
dan 73.
َبْل َك َّذ ُبو۟ا ِبَم ا َلْم ُيِح يُطو۟ا ِبِع ْلِم ِهۦ َو َلَّم ا َيْأِتِهْم َتْأِو يُلُهۥۚ َك َٰذ ِلَك َك َّذ َب ٱَّلِذ يَن ِم ن َقْبِلِهْم ۖ َفٱنُظْر َك ْيَف َك اَن
َّٰظ
َٰع ِقَبُة ٱل ِلِم يَن
Artinya : ”Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka
belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka
penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendusta
kan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu”.
َٰٓل
َفَك َّذ ُبوُه َفَنَّجْيَٰن ُه َو َم ن َّمَع ۥُه ِفى ٱْلُفْلِك َو َجَع ْلَٰن ُهْم َخ ِئَف َو َأْغ َر ْقَنا ٱَّلِذ يَن َك َّذ ُبو۟ا ِبَٔـاَٰي ِتَناۖ َفٱنُظْر َك ْيَف
َك اَن َٰع ِقَبُة ٱْلُم نَذ ِر يَن
Artinya :”Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamat-kan dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu
pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang
diberi peringatan itu”.
13
5. Pendekatan Pembiasaan
Pendekatan pembiasaan merupakan suatu tingkah laku tertentu yang
sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja
tanpa dipikirkan lagi. Pembiasaan pendidikan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk terbiasa mengamalkan ajaran agamanya, baik secara
individu maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari .
17
dengan cara tertentu pula sehingga angka itu dapat mempre-sentasikan dalam
bentuk kuantitatif sifat-sifat dari objek tersebut (Purnomo dan Munadi, 2005: 265-
266).
Menurut Ismanto dalam Allendan Yen (1979: 2), pengukuran didefinisikan
sebagai penetapan suatu angka terhadap suatu subjek dengan cara yang
sistematik. Jadi pengukuran adalah memberi bentuk kuantitatif pada subjek, objek
atau kejadian dengan memperhatikan aturan-aturan tertentu sehingga bentuk
kuantitatif tersebut betul-betul menunjukkan keadaaan yang sebenarnya yang
diukur (Ismanto, 2014: 214).
Pada hasil pengukuran yang berupa angka/skor, objek yang diukur berupa
pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai satu kesatua yang utuh yang
menunjukkan kualitas perilaku belajar dari peserta didik. Subjek dalam hal ini
menunjuk pada peserta didik, objek menunjuk kepada domain hasil belajar, dan
kejadian ditunjukkan oleh kualitas perilaku belajar peserta didik (Ismanto, 2014:
214).
3. Penilaian
Penilaian merupakan suatu kegiatan untuk menentukan tingkat atau derajat
sesuatu objek atau kejadian yang didasarkan atas hasil pengukuran objek
tersebut. Ismanto dalam Hill (1997), menjelaskan penilaian adalah kegiatan
mengolah informasi yang diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisisdan
mempertimbangkan unjuk kerja peserta didik pada tugas-tugas yang relevan.
Kegiatan ini juga digunakan untuk menilai materi, program, atau kebijakan-
kebijakan dengan maksud untuk menetapkan nilai kelayakan peserta didik
(Ismanto, 2014: 214).
Nitko (1996: 4) menjelaskan “assessment is abroadterm defined as aprocess
for obtaining information that is used formaking decisions about students,
curricula and programs, and educational policy” penilaian merupakan suatu proses
yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dengan tujuan memper-mudah
mengambil keputusan tentang peserta didik, kurikulum, program, dan kebijakan
pendidikan. Jadi, penilaian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan formal
untuk menentukan tingkat atau status, penafsiran dan deksripsi hasil pengukuran
hasil belajar peserta didik dibandingkan dengan aturan tertentu.
Penilaian (assessment) diartikan sebagai prosedur yang digunakan untuk
mendapatkan informasi untuk mengukur taraf pengetahuan dan keterampilan
subjek didik yang hasilnya akan digunakan untuk keperluan evaluasi (Subali,
2010: 3). Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Informasi
adalah data yang diperoleh melalui pengukuran dan non pengukuran termasuk di
dalamnya dengan melakukan observasi kelas, menggunakan tes yang standar atau
tes buatan guru, proyek, dan portofolio subjek belajar.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat
21 dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,
penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertang
gung jawaban penyelenggaraan pendidikan. Pejelasan tersebut tertuang dalam
peraturan Pemerintah 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I pasal 1
21
Di antara kegunaan yang dapat di ambil dari kegiatan evaluasi pendidikan dan
pembelajaran di sekolah mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Terbukanya kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang
hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pendidikan dan
pembelajaran.
2. Untuk mengetahui peserta didik yang terpandai dan terkurang di kelasnya.
3. Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta didik.
4. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mengalami
pendidikan dan pengajaran.
5. Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai
penyesuaian dalam kls.
6. Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk raport, ijazah,
piagam dan sebagainya (Sudijono, 2009: 17).
(Abudin Nata, 308). Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya
melihat empat kemampuan peserta didik (M. Arifin, 2009:162-163) yaitu:
1. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam
sekitarnya.
4. Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah Swt, anggota
masyarakat serta selaku khalifah-Nya di muka bumi.
5.Allah Swt. dalam mengevaluasi hambahamba-Nya tidak memandang formalitas,
tetapi memandang substansi di balik tindakan hambahamba-Nya. Kualitas
perilaku lebih dipentingkan daripada kualitasnya dalam proses evaluasi (Abdul
Mujib & Jusuf Mudzakir, 2008: 213).
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagung-
kan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.
PERTEMUAN KEEMPAT
A. KEDUDUKAN PENDIDIKAN ISLAM DENGAN PENDIDIKAN NASIONAL
1. Sejarah UU Sisdiknas dan Pendidikan Agama
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang
mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan
keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan
pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan
menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan
persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan
tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini.
Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak
memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan
agama.
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan.
Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor
2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang
disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39
tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan
pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan
dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur
pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap
jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
2. Jejak Religiusitas UU Sisdiknas 2003
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari
amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan
Kebudayaan Pasal 13 yang mengamanatkan bahwa : Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
24
Dan jika kita menengok kepada tujuan pendidikan sebagaimana tertuang dalam
tujuan pendidikan nasional (pasal 4 UU no. 2 tahun 1989) yang berbunyi
“mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kepada
masyarakat dan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan islam adalah sebagai
bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran islam.
Dengan melihat kedua tujuan pendidikan diatas, baik tujuan pendidikan
nasional maupun tujuan pendidikan islam ada kesamaan yang ingin di wujudkan
yaitu: dimensi transcendental (ukhrowi) dan dimensi duniawi (material).
Pendidikan Islam dan pendidikan nasional terdapat 3 segi yang dapat ditelusuri
Pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional indonesia itu sendiri.
Kedua, dari hakikat pendidikan islam dan kehidupan beragama kaum muslimin di
Indonesia. Ketiga, dari segi kedudukan pendidikan islam dalam sistem pendidikan
nasional.
Pendidikan Islam merupakan suatu Lembaga sesuai dengan peraturan
pemerintah No. 28 tahun 1990, No. 60 tahun 1999 dan No. 73 tahun 1991.
Pendidikan keagamaan diselenggarakan pemerintah sesuai peraturan perundang-
undangan dimana Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat serta pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan
pada jalur pendidikan formal, non formal dan informal, pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman. Pendidikan Islam juga Sebagai
Mata Pelajaran dimana jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan
pancasila, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Dalam pasal 3 isi
kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan
pelajaran (PP 28 Bab. VII pasal 14 ayat 2) meliputi
1. Pendidikan Pancasila
2. Pendidikan Agama
3. Pendidikan Kewarganegaraan
4. Bahsa Indonesia
5. Membaca Dan Menulis
6. Matematika (Termasuk Berhitung)
7. Pengantar Sains Dan Teknologi
8. Ilmu Bumi
9. Kerajinan Tangan Dan Kesenian
10. Pendidikan Jasmani Dan Kesehatan
11. Menggambar
12. Bahasa Inggris
Pada PP 29 tahun 1990 Bab VIII pasal (15) ayat (2) isi kurikulum pendidikan
menengah wajib memuat bahan kajian dan mata pelajaran tentang:
1. Pendidikan Pancasila
2. Pendidikan Agama
3. Pendidikan Kewarganegaraan
26
dalam hal ini ada keterkaitan dengan masa awal perkembangan dan pendidikan
Islam di tanah air sampai sekarang ini.
Ditinjau dari segi hakikat pendidikan Islam, kegiatan mendidik merupakan
bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan agama Islam di Indoneisa
dengan sistem pendidikan Islam dan usaha-usaha penyiaran agama di masyarakat.
Islam dapat tersebar di seluruh masyarakat Indonesia. Ditambah lagi dengan
kebutuhan akan pendidikan di masyarakat akan semakin meningkat. Karena
pendidikan adalah suatu usaha yang teratur, rinci dan terarah dalam pemeliharaan,
pengembangan dan peningkatan kebudayaan bangsa baik dalam bidang pendidikan
formal maupun non formal.
Dengan adanya sistem pendidikan Barat yang terkoordinir dan sistematis,
menguntungkan pendidikan secara umum namun mempengaruhi sistem pendidikan
Islam. Pada keharusannya memperbaharui sistem pendidikan Islam pada lembaga
keagamaan ke arah sistem yang lebih sempurna. Dan disamping itu muncul lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan sekolah-sekolah nasional swasta dengan
menggunakan pola Barat yang berorientasi kepada kepentingan nasional dan
semangat kebangsaan. Berdasarkan hal ini pendidikan akan tetap tumbuh dan
berkembang untuk mendidik masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
dan juga lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, sekolah
umum yang berdasarkan keagamaan dan yang lainnya. Dan lembaga-lembaga inilah
yang akan menjadi modal dasar dan modal pokok dari pendidikan nasional yang akan
disusun bangsa Indonesia yang sudah merdeka, bersatu dan berdaulat.
PERTEMUAN KE LIMA (5)
A. HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Sumber dasar Ajaran Islam yaitu Al-qur`an dan Hadis, tidak saja mengandung
doktrin-doktrin teologis tentang keimanan kepada Allah swt, tetapi juga berisikan
tentang hal-hal terkait dengan isyarat ilmiah tentang pendidikan. Membicarakan
konsep dasar pendidikan persfektif Islam, tentunya harus merujuk kepada informasi
dalam Al-Quran dan hadis.
Dalam makna yang luas dengan analisis mendalam, maka ada tiga term yang
ada dalam Al-quran dan hadis tentang konsep pendidikan Islam, dan tiga term itu
adalah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Walaupun tiga term ini mempunya dasar arti yang
sama, akan tetapi pada hakikatnya mempunya perbedaan yang sangat mendasar.
Untuk memaknai ini tentunya perlu memahami dan mengetahuinya secara rinci.
1. Tarbiyah dalam Pendidikan Islam
Tarbiyah berasal dari bahasa arab yaitu rabb yang bermakna tumbuh dan
berkembang. Jika ditinjau menurut al-qurthuby maka tarbiyah diartikan sebagai
makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya. Jika menurut al-asfahany, kata al-rabb diartikan
mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau membuat
sesuatu untuk mencapai kesempurnaan secara bertahap.
Istilah tarbiyah muncul berkaitan dengan gerakan tajdid (pembaharuan)
pendidikan di dunia Arab pada perempat kedua abad ke-20. Oleh karenanya,
penggunaannya dalam konteks pendidikan dewasa ini tidak ditemukan dalam
referensi-referensi klasik. Yang ditemukan adalah istilah-istilah seperti ta’lim, ‘ilm,
ta’dib dan tahdzib.
28
ُك ْو ُنْو ا ِع َباًدا ِّلْي ِم ْن ُد ْو ِن ِهّٰللا َو ٰل ِكْن ُك ْو ُنْو ا َر َّباِنّٖي َن ِبَم ا ُكْنُتْم ُتَع ِّلُم ْو َن اْلِكٰت َب َو ِبَم ا ُكْنُتْم َتْد ُرُسْو َن
“…Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi
(hendak-nya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu
mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” (Q.S. Ali Imran [3]: 79).
Kata rabbani dalam ayat tersebut, sebagaimana penjelasan Ahmad Munir,
dinisbahkan kepada kata rabba, artinya yang mendidik manusia dengan ilmu dan
pengajaran semasa kecil. Ibn Abbas dalam tafsirnya menjelaskan kata rabbani
berasal dari kata rabbaa, yang mendapat imbuhan alif dan nun yang
menunjukkan makna mubalaghah.
Lebih dari itu, sebagian ulama berpendapat bahwa rabba bermakna tokoh
ilmuwan (arbaba al-‘ilm) yang mendidik dan memperbaiki kondisi sosial
masyarakatnya. Ada juga yang berargumen bahwa kata tersebut bermakna orang
yang memiliki ekspertasi dan mengamalkan keilmuannya secara memadai.
Kedua, berbentuk mashdar (rabban). Bentuk ini, seperti yang dipaparkan
Ahmad Munir, terulang dalam Al-Quran sebanyak 947 kali; empat kali berbentuk
jama’ (arbaban) dalam Q.S. Yusuf [12]: 39, satu kali berbentuk tunggal dalam Q.S.
al-An’am [6]: 164, dan selebihnya berupa isim sebanyak 141 kali yang mayoritas
dikontekskan dengan alam, masalah nabi, manusia, sifat Allah, dan ka’bah.
Ketiga, berbentuk kata kerja (rabbaa). Bentuk ini terulang sebanyak 2 kali,
yaitu dalam Q.S. al Isra [17]: 24 dan Q.S. al-Syu’ara [26]: 18.
Makna Tarbiyah
Istilah tarbiyah secara umum berakar pada tiga kata. Pertama, kata raba-
yarbu, artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, rabba/rabiya-yarba, artinya
tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki,
menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara seperti yang dikemukakan
Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam:
Tinjauan dari Aspek Semantik.
Term al-Rabba menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Mufradat Alfadz al-
Qur’an mempunyai padanan kata yang sama dengan term tarbiyah yang bermakna
menumbuhkan atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-
angsur. Pendapat lain mengatakan, al-Jauhari misalnya, kata tarbiyah dan
berbagai bentuk derivasinya sebagaimana diriwayatkan al-Asma’i,
bermakna rabban dan rabba, artinya memberi makan, memelihara, dan
mengasuh. Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti halnya
anak-anak, tanaman, hewan, dan seterusnya.
Hal senada juga dituturkan Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab, kata tarbiyah
secara bahasa berasal dari rabba-yurabbi-tarbiyah, artinya mendidik, mengampu
dan memelihara. Tidak jauh berbeda, Quraish Shihab dalam Tafsir al-misbah
29
Lebih dari itu, filsuf Islam kenamaan asal Indonesia, Syed Muhammad Naquib al-
Attas dalam the Concept of Education in Islam, ia menjelaskan secara etimologis kata
ta’lim bermakna pengajaran (bentuk dari kata ‘allama-yu’allimu-ta’liman). Sementara
itu, secara istilah ta’lim ialah serangkaian proses transmisi ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) yang dilakukan oleh guru kepada muridnya.
Guna menjustifikasi pendapatnya ini, al-Attas menyuguhkan Q.S. al-Nahl [16]:
78,
َو ٱُهَّلل َأْخ َر َج ُك م ِّم ۢن ُبُطوِن ُأَّم َٰه ِتُك ْم اَل َتْع َلُم وَن َش ْئًـا َو َج َعَل َلُك ُم ٱلَّسْمَع َو ٱَأْلْبَٰص َر َو ٱَأْلْفِٔـَدَةۙ َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُروَن
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati nurani agar kamu bersyukur. (Q.S. al-Nahl [16]: 78)
Al-Tabari dalam tafsirnya menafsirkan kata la ta’lamuna syai-an dengan la
ta’qiluna syai-an wa la ta’lamuna (kamu tidak mengerti apa-apa dan kamu tidak
tahu), lalu Allah memberimu beberapa akal (‘uqulan) supaya kalian paham betul
sehingga dapat membedakan mana yang baik dan buruk (tafqahuna biha wa
tumayyizuna biha al-khaira min al-syarri), dan menganugerahkan penglihatan dan
pendengaran agar kamu dapat menggunakannnya deengan baik.
Tidak jauh berbeda dengan Al-Attas, Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim
dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam membagi beberapa makna ta’lim yang ia nukil
dari Abdul Fattah Jalal, sebagai berikut.
Pertama, ta’lim merupakan proses pembelajaran yang dilakukan sejak manusia
lahir dengan mengembangkan segala potensinya, baik potensi pendengaran,
penglihatan dan potensi hati. Pengertian ini digali dari Q.S. al-Nahl [16]: 78.
Kedua, proses ta’lim tidak boleh mandeg alias berhenti hanya pada pencapaian
aspek kognitif saja, melainkan menjangkau aspek afektif dan psikomotorik. Sebab,
menurut Abdul Fattah Jalal, Al-Quran me-warning seseorang yang hanya memiliki
pengetahuan saja, dan mengabaikan aspek-aspek yang lain, semisal aspek afektif dan
psikomotorik. Ia mendasarkannya pada firman Allah Q.S. al-Baqarah [2]: 151.
C. Ta’dib dalam pendidikan Isalam
Secara literal, ta’dib berasal dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, bagai mana
dikemukakan Atiyah al-Abrashi dalam Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, yang
berkonotasi pada pembimbingan peserta didik oleh seorang pendidik, terutama
akhlakul karimah. Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab seperti yang dikutip Ahmad
Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam, ta’dib merujuk
pada pendidikan adab atau sopan santun. Arti dasar ta,dib, menurut Ibn Mandzur,
yaitu “undangan kepada suatu perjamuan”.
Makna “perjamuan” menyiratkan bahwa tuan rumah adalah orang yang mulia
dan tentu banyak sekali orang yang hadir di dalam acara tersebut. Mereka yang
hadir, demikian kata Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education, adalah
orang-orang yang berkedudukan mulia, terhormat, berpendidikan tinggi sehingga
diharapkan dapat berperilaku, bersikap yang baik lagi sopan maupun bertutur kata
yang baik (qaulan kariman).
Pengertian yang disuguhkan Al-Attas merujuk pada hadits Nabi saw dalam Syarah
Sunan al-Darimi (Fathul Mannan), yang artinya :
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Khalid bin Hazim telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami
31
Abu Sinan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah ia berkata,
“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu
kalian. Sungguh, aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih kosong dari kebaikan selain
rumah yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an. Sungguh, hati yang di dalamnya
tidak ada bacaan Al Qur’an adalah hancur seperti hancurnya rumah yang tidak
berpenghuni.” (H.R. al-Darimi nomor 3173).
Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda, “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”
(Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadilah pendidikanku yang
terbaik). Di dalam hadits tersebut, kata ta’dib secara eksplisit diartikan dengan
pendidikan, dari kata addaba yang berarti mendidik dengan adab. Term ini, menurut
al-Zajjaj sebagaimana dikutip Ibn Mandzur, dimaknai sebagai cara Tuhan mendidik
Nabi-Nya, yang sudah barang tentu mengandung konsepsi pendidikan yang
sempurna.
Lebih jauh, Ibn Mandzur seperti yang dikutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi:
Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan, ta’dib juga dapat dimaknai dengan
doa. Sebab doa mampu membimbing manusia kepada sifat yang terpuji dan
menghindarikan dari hal-hal yang tidak terpuji. Bahkan, cendekiawan Muslim
Indonesia, al-Attas meneguhkan kata ta’dib untuk menggambarkan pendidikan
Islam ketimbang tarbiyah.
Meskipun kata adab tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, namun
ditemukan pujian yang terkait dengan akhlak Nabi saw sebagaiamana yang terekam
dalam Q.S. al-Qalam [68]: 4,
َو ِاَّنَك َلَع ٰل ى ُخ ُلٍق َع ِظ ْيٍم
Artinya:“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti
luhur”. (Q.S. al-Qalamm [68]: 4).
Ayat di atas khususnya diksi la’ala (berada di atas) menunjukkan betapa adab
(budi pekerti) Nabi saw melampaui batas budi pekerti manusia pada umumnya
sehingga Allah swt begitu “takjub dan terkesima” dengan akhlak Rasul saw yang
terlampau luhur dan mulia.
PERTEMUAN KE ENAM
KOMPONEN DAN SUMBER PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidik dalam Pendidikan Islam
Di dalam kegiatan belajar-mengajar pasti ada yang sering kita sebut
dengan pendidik dan peserta didik, yang mana keduanya memiliki keterikatan
yang sangat kuat,karena pendidik tanpa peserta didik tidak akan terjadi kegiatan
belajar mengajar begitu juga sebaiknya.
Sebelum melangkah lebih jauh tentang pendidik dalam pendidikanislam, maka
terlebih terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian dari pendidikan islam
tersebut, pendidikan islam adalah suatu kajian yang memuat teori-teori tentang
pendidikan serta data-data dan penjelasannya sesuai dengan perspektif islam.
Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensiafektif (rasa), kognitif
(cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Dalam literature Islam, seorang pendidik biasa disebut sebagai ustadz, mu‟allim,
murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu‟addib.
32
Kata ustadz biasanya digunakan untuk memanggil seorang professor, hal ini
bermakna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme
dalam mengemban tugasnya.
Kata mualim berasal dari kata„ilm yang berarti menangkap hakekat sesuatu.
Dalam setiap ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensiamaliah. Hal ini
mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untukmenjlaskan hakikat ilmu
pengetahuan yang dikerjakannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya,
dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya.
Kata murabbiy berasal dari kata dasar Rabb. Tuhan adalah sebagai Rabb-al-
„alamin dan Rabb al-nash, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara
alam seisinya termasuk manusia. Manusia sebagai khalifahnya diberi tugas untuk
menumbuh kembangkan kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan
memelihara alam seisinya. Dari pengertian ini pendidik adalah seseorang yang
mendidikdan menyiapkan peserta didik agar mempu berkreasi, sekaligus mengaturda
n memelihara kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya.
Kata mursyid biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah (Tasawuf).Seorang
mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan akhlak dankepribadiannya kepada
peserta didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya,etos kerjanya, etos belajarnya,
maupun dedikasinya yang serba Lillahi Ta‟ala (karena mengharap ridha Allah
semata). Dengan demikian dalamkonteks pendidikan mengandung makna bahwa
guru merupakan model atau sentral indentifikasi diri,yakni pusat anutan dan teladan
bahkan konsultan bagi pesrta didiknya.
Kata mudarris berasal dari kata darasa-yadrusu-darsan wa durusann wadira-
satan, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang,
melatih, mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guruadalah berusaha
mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas
kebodohan mereka, serta memilihketidaktahuan atau memberantas kebodohan
mereka, serta melatihketrampilan mereka sesuai dengan bakat,minat dan
kemampuannya.
Kata muadddib berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab, atau
kemajuan lahir dan batin. Jadi guru adalah orang yang beradabsekaligus memiliki
peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa
depan.Pengertian pendidik secara umum dapat diartikan sebagai orang
yang bertanggung jawab atas pendidik dan pengajaran.
Sedangkan secara bahasa pendidik adalah orang yang pekerjaanya mengajar.
Dalam konteks yang lebih luas setiap individu adalah pendidik, oleh sebab itu ia
harus menjaga dan meningkatkan kualitas diri dan sekaligus menjadi tauladan bagi
sesamanya. Sedangkan pendidik dalam islam adalah setiap individu yang
bertanggung bertanggung jawab terhadap perkembangan subjek didik.
Seorang pendidik merupakan komponen yang sangat penting dalam system
kependidikan, karena pendidiklah yang akan mengantarkan anak didik pada tujuan
yang telah ditentukan, yang mana tujuan pendidikan islam adalah
menciptakan/membentuk manusia yang sempurna (insan kamil) yang sesuai dengan
ukuran islam. Hal tersebuttidak mudah seperti membalikkan sebuah telapak tangan,
mengapa demikian ! karena seorang pendidik memiliki tanggung jawab yang sangat
besar untuk menjadikan pesertadidik lebih baik dari sebelum-sebelumnya
B. Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
33
b. Memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi
dalam menuntut ilmu, juga tidak mudah merasa puas terhadap ilmu yang
diperolehnya. Hal ini penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, karena
belajar bukan hanya masalah mampu (qudrah) tetapi juga mau atau ingin (iradah).
Sehingga, harapannya nanti akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi
pendidikan yang maksimal.
c. Bersabar dan tabah (ishtibar), juga tidak pernah putus asa dalam belajar,
walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis,
sosiologis, politik, ataupun administratif.
d. Memiliki modal dan sarana (bulghah) yang memadai untuk belajar
e. Adanya petunjuk dari pendidik, agar tidak mengakibatkan atau memicu
kesalahpahaman (misunderstanding) terhadap apa yang telah dipelajari.
f. Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tanpa henti dalam mencari ilmu
(no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian
sampai liang lahat).
Tujuan akhir pendidikan Islam menurut Imam al-Gazali adalah untuk mencapai
keutamaan dan taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Tujuan pendidikan
Islam yaitu membentuk kepribadian muslim/berakhlakul karimah dan untuk
mewujudkannya memerlukan proses yang sangat panjang.
C. Tujuan dan Kurikulum Pendidikan Islam
1. Tujuan Pendidikan Islam
Setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah
ditetapkan. Dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk
mengakhiri suatu usaha, mengarahkan usaha yang dilalui, dan merupakan titik pangkal
untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Selain itu tujuan dapat membatasi ruang gerak
agar kegiatan yang dilakukan dapat terfokus pada apa yang telah dicita-citakan.
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan islam memiliki kejelasan tujuan
yang hendak dicapai. Banyak dari para ahli yang mengkaji dengan sungguh-sungguh apa
yang menjadi tujuan pendidikan tersebut. Hal ini bisa dimengerti karena tujuan pendidikan
mempunyai kedudukan yang amat penting.
Semua tujuan pastilah membahas mengenai sasaran yang hendak dicapai dalam satu
waktu tertentu. Demikian pula dalam pendidikan islam, dengan meneliti maksud dari
beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist, Para ahli kemudian mencoba merumuskan tujuan
pendidikan islam. Prof. Dr. M. A’thiyah Al-Abrasyi menyimpulkan dalam satu kata bahwa
tujuan pendidikan itu ialah fadhilah atau keutamaan. Maksudnya adalah bahwa
pendidikan dan pengajaran bukanlah untuk memenuhi otak peserta didik dengan berbagai
macam ilmu yang belum mereka ketahui, akan tetapi tujuannya adalah mendidik akhlak
dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah, membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi, mempersiapkan mereka dalam menghadapi kehidupan dengan ikhlas dan
jujur. Al-Ghazali pun berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri
kepada Allah SWT, bukan mencari pangkat ataupun bermegah-megahan.
Tujuan pendidikan islam menurut Kongres Pendidikan Islam sedunia di Islamabad
pada tahun 1980, bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita islami yang mencakup
pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis
berdasarkan potensi psikologis dan filosofis (jasmaniah). Manusia mengacu kepada
keimanan dan ilmu pengetahuan secara seimbang sehingga terbentuklah muslim yang
35
berjiwa tawakkal secara total kepada Allah SWT. Hal ini diambil dari firman Allah dalam Q.S
Al-An’am ayat 162 :
قْل ِإَّن َص اَل ِتي َو ُنُسِكي َو َم ْح َياَي َو َمَم اِتي ِلَّلِه َر ِّب اْلَع اَلِميَن
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.” ( Q.S Al-An’am : 162 )
Rumusan di atas juga sesuai dengan firman Allah SWT :
َيْر َفِع الَّلُه اَّلِذيَن آَم ُنوا ِم ْنُكْم َو اَّلِذيَن ُأوُتوا اْلِع ْلَم َد َرَج اٍتۚ َو الَّلُه ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”( Q.S Al-Mujaadalah : 11 ).
Dengan demikian tujuan pendidikan islam sama luasnya dengan kebutuhan manusia,
baik masa kini maupun masa yang akan datang. Manusia tidak hanya memerlukan iman
atau agama, akan tetapi manusia juga memerlukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
sebagai alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan sebagai sarana untuk
mencapai kehidupan spiritual yang baik di akhirat kelak.
Perumusan tujuan Pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang
meliputi beberapa aspek, yaitu;
a. Tujuan dan tugas hidup manusia
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu.
Tugas manusia berupa ibadah (sebagai Abdullah) dan tugas sebagai wakil Allah di muka
bumi (Khalifatullah). Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia, yaitu konsep
tentang manusia bahwa ia diciptakan sebagai khalifah Allah di muka bumi,
serta untuk beribadah kepada-Nya.
b. Tuntutan masyarakat
Tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga
dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan
kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia modern.
c. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia di dunia, untuk mengelola dan memanfaatkan dunia
sebagai bekal kehidupan di akhirat serta mengandung nilai yang mendorong manusia
berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan.
Manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang
dimiliki. Namun demikian, kemelaratan dan kemiskinan dunia harus diberantas, sebab
kemelaratan dunia bisa menjadikan ancaman yang menjerumuskan manusia pada
kekufuran. Dimensi tersebut dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan
ukhrowi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi
daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang
menggoda ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual,
sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.
Upaya dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam harus dilaksanakan dengan
semaksimal mungkin. Abdurrahman Saleh Abdullah dalam bukunya “Educational
Theory, a Qur’anic Outlock” menyatakan, tujuan pendidikan Islam dapat dibagi menjadi
empat macam, yaitu :
1. Tujuan pendidikan jasmani (ahdaf Al-jismiyah)
Tujuan pendidikan jasmani digunakan untuk mempersiapkan diri manusia sebagai
pengemban tugas khalifah di bumi melalui pelatihan keterampilan-keterampilan fisik.
36
hitung, ilmu hukum, sosiologi, ekonomi, balaghah, bahasa arab, dan segala ilmu yang
dapat mengembangkan kehidupan umat manusia dan yang mempertinggi derajatnya.
b. Ciri-Ciri Kutikulum dalam Pendidikan Islam
Omar Mohammad al-Toumy menyebutkan lima ciri-ciri dari kurikulum pendidik-an
islam. Kelima ciri tersebut secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan
kandungan, metode, alat, ataupun tekhnik bercorak agama.
2. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Maksudnya adalah bahwa
kurikulum harus betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran dan ajarannya
menyeluruh. Di samping itu ia juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatikan
pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar.
3. Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum.
4. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh
peserta didik.
5. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan minat dan bakat peserta didik.
6. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Selain memiliki ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, kurikulum pendidikan juga
mempunyai beberapa prinsip yang harus ditegakkan. Al-Syaibany menyebutkan tujuh
prinsip kurikulum pendidikan islam, yaitu :
1. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilai-nilainya.
Setiap bagian yang terdapat dalam kurikulum , mulai dari tujuan, kandungan,
metode, dan sebagainya harus berdasarkan pada agama dan akhlak islam.
2. Prinsip menyeluruh pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum,
yakni mencakup tujuan membina akidah, akal, dan jasmaninya.
3. Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum.
4. Prinsip keterkaitan antara bakat, minat, kemampuan, maupun kebutuhan ajar.
5. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual di antara peserta didik, baik
dar segi minat maupun bakatnya.
6. Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan
zaman dan tempat.
7. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman
dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
8. Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Muh.al-Thoumy al Syaibany, menetapkan empat dasar pokok dalam kurikulum
pendidikan Islam, yaitu:
1. Asas Agama
Dasar yang ditetapkan berdasarkan nilai-nilai ilahi yang tertuang dalam Al-Quran
maupun As-Sunnah, karena kedua kitab tersebut merupakan nilai kebenaran yang
universal, abadi dan bersifat futuristik. Selain kedua sumber tersebut masih ada
sumber lain, yaitu dasar yang bersumber dari dalil ijtihad. Dalil ijtihad berupa ijma’,
Qiyas, Istihsan dan lain-lain.
2. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar
filosifis, sehingga susunan kurikulum PAI mengandung suatu kebenaran, terutama
dari nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenaran. Hal tersebut karena
salah satu kajian filsafat adalah sistem nilai, baik yang berkaitan dengan arti hidup,
masalah kehidupan, norma-norma yang muncul dari idividu, sekelompok
masyarakat, maupun suatu bangsa yang dilatar belakangi oleh pengaruh agama, adat
istiadat, dan konsep individu tentang pendidikan.
3. Asas Psikilogis
38
d) Manajemen
Pengelolaan yang baik dan terarah sangat diperlukan dalam mengelola
lembaga pendidikan agar tujuan yang di harapkan dapat tercapai.
Pengembangan sistem pendidikan islam membutuhkan manajemen yang
baik. Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, penempatan pegawai, dan
pengawasan yang baik akan memperkuat pendidikan Islam sehingga out put
yang di hasilkan akan berkualitas dan dapat menjawab tantangan zaman.
e) Mutu Pelajaran
Peningkatan mutu pelajaran tidak terlepas dari peningkatan kualitas tenaga
pengajar. Kualitas tenaga pengajar ini dapat di usahakan melalui bimbingan,
penataran, pelatihan, dan lain-lain.
f) Keuangan
E. Lingkungan Pendidikan Islam
Pada dasarnya, sebagai manusia secara umum telah mengetahui bahwa anak-
anak harus mengalami perkembangan semenjak dilahirkan sampai menjadi manusia
dewasa yang dapat berdiri sendiri dan bertanggungjawab sendiri dalam masyarakat.
Baik atau buruknya perkembangan anak itu, sangat bergantung pada pengaruh-
pengaruh yang diterima anak itu dari berbagai lingkungan pendidikan yang
dialaminya.
Ngalim Purwanto menyebutkan bahwa lingkungan pendidikan itu bermacam-
macam, akan tetapi pada dasarnya hanya terbagi dalam tiga macam lingkungan
pendidikan yaitu lingkungan pendidikan sekolah, lingkungan pendidikanan
keluarga dan lingkungan pendidikan masyarakat. Ngalim Purwanto (1994 : 111)
Berikut ini, akan dikupas ketiga lingkungan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Lingkungan Keluarga
Di dalam keluarga hendaknya diletakkan dasar-dasar pengalaman melalui
cinta dan kasih sayang, kebutuhan akan kewibawaan dan nilai-nilai kepatuhan,
sehingga dengan pergaulan yang demikian itu, hubungan antar pribadi dalam
keluarga tersebut adalah hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, dan
penghayatan terhadapnya adalah sangat wajar. Keluarga merupakan masyarakat
alamiah yang pergaulan di antara anggotanya memiliki corak khusus. Di sini
pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan yang berlaku di
dalamnya. Hal ini berarti bahwa tatanan pendidikan tanpa harus diumumkan atau
tertulis terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh seluruh anggota keluarga.
Seorang ibu yang memahamai alat-alat pendidikan yang baik, tentu ia dapat
menggunakannya dengan baik pula. Demikian halnya, seorang ayah yang lebih
memahami metode pendidikan, tentu ia dapat menerapkannya pada anggota
keluarganya. Dengan demikian, pemahaman ayah dan ibu tentang pendidikan
keluarga sangatlah penting karena ia merupakan lingkungan pertama dan utama
seorang anak yang akan menjalani hidupnya pada masa kini dan akan
datang. Suatu kehidupan keluarga yang baik, sesuai dan tetap menjalankan
ajaran-ajaran agama Islam, merupakan persiapan yang baik untuk memasuki
pendidikan sekolah. Oleh karena itu, suasana keluarga yang demikian itu tumbuh
berkembang efektif anak secara benar sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar. Keserasian pokok yang harus terbina adalah keserasian antara
kepala keluarga dan anggota keluarga terutama ibu yang keduanya merupakan
komponen pokok dalam setiap keluarga. Darajat (1992 : 67).
40
Al-Gazali menyebutkan bahwa, anak adalah amanat Tuhan untuk kedua orang
tuanya. Hatinya suci bagaikan jauhar yang indah, sederhana dan bersih dari
segala goresan dan bentuk. Ia masih menerima segala apa yang digoreskan
kepadanya dan cenderung kepada setiap hal yang ditujukan kepadanya. Zainuddin
(t.th : 88-89). Dengan demikian dapat dipahami bahwa :
1) Anak itu lahir di dunia dalam keadaan suci bersih dan sederhama.
2) Kedua orangtuanyalah yang harus menanggung resiko yang timbul akibat
perbuatannya yaitu bertanggungjawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak-
anaknya sebagai amanat dari Tuhan.
Perintah bertanggungjawab dan memelihara anggota keluarga dapat ditemukan
dalam Alquran surah al-Tahrim (66) ayat 6 yang artinya ”wahai orang-orang yang
beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka”.
Demikianlah lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama
yang perlu diperhatikan dalam mendidik generasi muda. Keberhasilan dalam
lingkungan pendidikan keluarga merupakan salah satu modal awal dalam
melakukan pendidikan selanjutnya.
2. Lingkungan Sekolah
Sebagaimana halnya dengan lingkungan pendidikan keluarga, lingkungan
sekolah juga memiliki peranan yang sangat penting dalam merubah tingkah laku
peserta didik. Sekolah harus menjadi satu lembaga yang membantu bagi
tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Bagi
masyarakat Islam, lembaga pendidikan yang dapat memenuhi harapan adalah
lembaga pendidikan Islam. Hal ini berarti bahwa lembaga pendidikan Islam itu
tidak hanya sekedar mengajarkan pendidikan agama Islam, akan tetapi lebih dari
itu, ia harus merupakan lembaga pendidikan Islam yang secara keseluruhannya
bernafaskan Islam. Hal ini mungkin terwujud, apabila ada keserasian antara
rumah dan sekolah dalam pandangan keagamaan.
Anak-anak dari keluarga muslim yang bersekolah, sesungguhnya secara
serentak telah hidup di dalam tiga lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah
dan masyarakat. Ketiga unsur lingkungan ini harus serasi dan saling mengisi
dalam membentuk kepribadian anak didik. Prof. Dr. Ahmad Syalaby menjelaskan:
”Sejarah pendidikan Islam amat erat pertaliannya dengan masjid, oleh karena
itu, apabila kita membicarakan masjid berarti kita membicarakan suatu lembaga
yang dipandang sebagai tempat yang asasi untuk menyiarkan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam. Lingkaran-lingkaran pelajaran telah diadakan di masjid
semenjak didirikan”. Ahmad Syalabi (1987 : 93-94).
Ada beberapa perbedaan antara lingkungan keluarga dengan lingkungan
sekolah, sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto sebagai berikut :
1) rumah atau lingkungan keluarga adalah lingkungan pendidikan yang
sewajarnya, perasaan dan tanggungjawab yang ada pada orang tua untuk
mendidik anak-anaknya timbul dengan sendirinya secara alami, tidak dipaksa.
Sedangkan lingkungan pendidikan sekolah adalah buatan manusia. Sekolah
didirikan oleh masyarakat atau negara untuk memenuhi kebutuhan suatu
keluarga untuk memberi bekal persiapan hidup bagi anak-anaknya.
2) Perbedaan suasana. Suasana di lingkungan keluarga senantiasa diliputi oleh
rasa kasih sayang di antara anggota-anggotanya, sedangkan kehidupan dan
pergaulan di lingkungan sekolah lebih lugas dan terbatas karena sekolah harus
41
ا ُقۤۡو ا َاۡن ُفَس ُك ۡم َو َاۡه ِلۡي ُك ۡم َن اًر ا َّو ُقۡو ُد َه ا الَّن اُس َو اۡل ِحَج اَر ُة َع َلۡي َه ا َم ٰٓلِٕٮَك ٌة ِغ اَل ٌظ ِش َداٌد اَّل ٰۤي َاُّي َه ا اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنۡو
َاَمَر ُهۡم َو َي ۡف َع ُلۡو َن َم ا ُيۡؤ َم ُر ۡو َن َي ۡع ُص ۡو َن َهّٰللا َم ۤا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
bersyuku, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia member pelajaran kepadanya:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutu-
kan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman (31): 12-13).
Dan ayat-ayat al Qur’an tersebut dapat diperoleh isyarat tentang kegiatan
belajamengajar dengan berbagai komponen . pada surat al alaq (96) ayat 1 hingga 5,
prose belajar mengajar berlangsung dari tuhan kepada nabi Muhammad SAW.
melalui metode membaca (iqra’) tuhan (melalui malaikat jibril) ingin agar nabi
Muhammad SAW membacakan segala sesuatu yang disampaikan oleh malaikat jibril.
Pada surat al- baqarah yat 31, proses belajar mengajar berlangsung dari tuhan
( sebagai maha guru) kepada adam (sebagai mahasiswa). Adapun materi yang
diajarkan pada proses belajar mengajar tersebut berupa nama-nama segala sesuatu,
tersebut nama-nama benda, yakni hukum-hukum alam yang terdapat di alam jagat
raya, yang semuanya itu sebagai bukti adanya nama-nama atau tanda-tanda
kekuasaan tuhan. Adapun metode yang digunakan adalah metode al-ta’lim, yakni
memberikan pengertian, pemahaman, wawasan, dan pencerahan tentang segala
sesuatu dalam rangka membentuk pola piker (mindset).
Selanjutnya pada surat Luqman ayat 12, proses belajar mengajar berlangsung
dari tuhan kepada Luqman al- Hakim , materi yang diajarkan berupa hikmah, dan
tujuan nya agar lukman menjadi orang yang bersyukur, yakni selain memuji
keagungan allah SWT, juga mau mengamalkan ilmunya itu dalam kehidupan sehari-
hari, serta mengjarkannya kepada anak-anaknya, dan seterusnya.
Dalam pengertian yang lebih luas dan sistematik, proses belajar megajar adalah
kegiatan yang melibatkan sejumlah komponen yang antara satu dan lainnya.
Komponen tersebut antara lain meliputi visi dan tujuan yang ingin dicapai, guru yang
professional dan siap mengajar, murid yang siap menerima pelajaran, pendekatan
yang akan digunakan, strategi yang akan diterapkan, metode yang akan dipilih,
teknik dan taktik yang akan digunakan.
Dengan demikian, ukuran keberhasilan sebuah proses belajar mengajar itu
dapat dilihat pada sejauh mana proses tersebut mampu menumbuhkan, membina,
membentuk, dan memberdayakan segenap potensi yang dimiliki manusia, atau pada
sejauh mana ia mampu memberikan perubahan secara signifikan pada kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik.
Proses blajar mengajar secara singkat ialah proses memanusiakan manusia,
yakni mengaktualisasikan berbagai potensi manusia, sehingga potensi-potensi
tersebut dapat menolong dirinya, keluarga, masyarakat, abngsa dan negaranya.
Sebuah proses belajar mengajar dapat di katakana gagal, jika antara sebelum dan
sesudah mengikuti sebuah kegiatan belajar mengajar, namun tidak ada perubahan
apa-apa pada diri siswa atau mahasiswa.
46
Konsep belajar mengajar yang berbasis pada proses ini juga terdapat dalam
konsep belajar tuntas atau mastery learning yang digagas oleh benyamin S. Bloom.
Menurutnya, bahwa pada dasarnya semua orang dapat menguasai bahan pelajaran
samapi tuntas. Namun untuk menguasai bahan pelajaran tersebut setiap orang
harus diperlakukan secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Bagi
siswa yang kecerdasan tinggi agar diperlakukan berbeda dengan siswa yang
kecerdasannya sedang-sedang saja atau rendah. Dengan memperlakukan cara dan
lama nya waktu yang dibutuhkan secara berbeda-beda, akhirnya seseorang akan
sampai pada tujuannya masing-masing dan menguasai bahan pelajaran sampai
tuntas.
C. EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Evaluasi berasal dari kata “To Evaluate” yang berarti menilai. Disamping kata
evaluasi terdapat pula istilah measurement yang berarti mengukur. Pengukuran
dalam pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-kondisi objektif tenang
sesuatu yang akan dinilai. Penilaian dalam pendidikan islam akan objektif apabila
disandarkan pada nilainilai Al-Quran dan Al-Hadits.
Evaluasi secara harfiah berasal dari bahasa inggris Evaluation, dalam bahasa
arab : Al-Taqdiir, dalam bahasa Indonesia berarti penilaian. Akar katanya adalah
value, dalam bahasa arab (Al-Qiimah). Dengan demikian evaluasi pendidikan secara
harfiyah berarti penilaian dalam bidang pendidikan atau hal-hal yang berkaitan
dengan kegiatan pendidikann.
Suharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam pembahasan evaluasi yaitu,
pengukuran, penilaian dan evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah memban-
dingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantitatif. Penilaian
adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan
buruk penilaian ini bersifat kualitatif, sedangkan evaluasi mencakup pengukuran dan
penilaian.
Evaluasi dalam pendidikan islam merupakan cara atau tekhnik penilaian
terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersia
komperhensif dari seluruh asfek-asfek kehidupan mental psikologi dan spiritual
religious, karena manusia hasil pendidikan islam bukan saja sosok pribadi yang tidak
hanya bersifat religious, melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup
beramal dan berbakti kepada tuhan dan masyarakatnya. Sedangkan menurut prof.
Dr. H. Ramayulis dalam bukunya ilmu pendidikan islam, evaluasi pendidikan islam
merupakan suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di
dalam pendidikan islam.
Sasaran-sasaran dari evaluasi pendidikan islam secara garis besarnya meliputi
empat kemampuan dasar anak didik yaitu:
1). Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2). Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3). Sikap dan pengamalan terhadap arti kehidupannya dengan alam sekitarnya.
4). Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku
anggota masyarakat serta selaku holifah di muka bumi.
47
"Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat;
aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat atau
motivasi yang keras, sabar, modal {sarana}, petunjuk guru, dan masa yang panjang
{kontinu}".
Dari syair Ali bin Abi Thalib tersebut kita bisa tahu bahwa ada enam syarat-
syarat yang harus dimilki oleh peserta didik dan merupakan kompetensi mutlak yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan pendidikan, antara lain;
- Memiliki kecerdasan (dzaka); yaitu penalaran atau imajinasi, wawasan (insight),
pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara
cepat dan tepat.
- Memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi
dalam menuntut ilmu, juga tidak mudah merasa puas terhadap ilmu yang
diperolehnya. Hal ini penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, karena
belajar bukan hanya masalah mampu (qudrah) tetapi juga mau atau ingin (iradah).
Sehingga, harapannya nanti akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi
pendidikan yang maksimal.
- Bersabar dan tabah (ishtibar), juga tidak pernah putus asa dalam belajar,
walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis,
sosiologis, politik, ataupun administratif.
- Memiliki modal dan sarana (bulghah) yang memadai untuk belajar
- Adanya petunjuk dari pendidik, agar tidak mengakibatkan atau memicu
kesalahpahaman (misunderstanding) terhadap apa yang telah dipelajari.
- Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tanpa henti dalam mencari ilmu
(no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian
sampai liang lahat).
Tujuan akhir pendidikan Islam menurut Imam al-Gazali adalah untuk mencapai
keutamaan dan taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Tujuan pendidikan
Islam yaitu membentuk kepribadian muslim/berakhlakul karimah dan untuk
mewujudkannya memerlukan proses yang sangat panjang.
B. ETIKA PESERTA DIDIK
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu,
maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu:
1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut
ilmu.
2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat
keutamaan.
3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai
tempat.
4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.[10]
Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak
peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :
1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum
ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan
hati yang bersih.
2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi
jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
49
3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar
dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
4. Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau
pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan memperguna-kan
beberapa cara yang baik.
2. Kultural
Etnik yang berbeda tentu akan memiliki kultur atau budaya yang berbeda
pula. Budaya yang ada di masyarakat kita sangat beragam seperti kesenian,
kepercayaan, norma, kebiasaan, dan adat istiadat. Menghadapi peserta didik
dengan kultur/budaya yang beragam dari berbagai daerah akan berimplikasi
terhadap proses pembelajaran yang tepat yakni dengan pendidikan multi-kultural.
Pendidikan multikultural menurut Choirul (2016: 187) memiliki ciri-ciri:
Tujuannya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan manusia berbudaya
(berperadaban).
Materi dalam kelas mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai
bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (suku bangsa)
Metode belajar demokratis, menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman
budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme).
Evaluasi ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku peserta didik yang
meliputi aspek persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dengan memahami keberagaman kultur peserta didik dan ciri-ciri pendidikan
multikultural maka pendidik dapat mendesain pembelajaran yang disesuaikan
dengan budaya peserta didik masing-masing di kelas. Sebagai contoh, pendidik
dalam menyampaikan sebuah topik/materi hendaknya disampaikan dengan
efektif sehingga semua peserta didik dapat menerima materi tersebut.
3. Status Sosial
Terbentuknya struktur sosial masyarakat ke dalam bentuk stratifikasi dan
diferensiasi sosial sangat erat kaitannya dengan status sosial berdasarkan jenis
pekerjaan, kekayaan, kedudukan, kekuasaa,. dan penghasila yang berbeda-
beda. Kondisi demikian menjadi latar belakang perbedaan pada diri peserta
didik di sekolah secara status sosial-ekonomi mereka.
Perbedaan secara status sosial ekonomi peserta didik tidak boleh menjadi acuan
dalam memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik. Pendidik harus
berlaku adil dan dan tidak diskriminatf dalam melaksanakan proses. Peserta
didik dari latar belakang sosial apa saja harus mendapatkan layanan pendidikan
yang sama termasuk dalam memberikan tugas-tugas kelas, perhatian, dan
penilaian.
4. Minat
Setiap anak memiliki bakat dan minat yang berbeda-beda. Minat dapat diartikan
suatu rasa lebih suka, rasa ketertarikan pada suatu hal atau
aktivitas. Perbedaan minta setiap peserta didik harus menjadi perhatian serius
oleh pendidik. Menurut Hurlock (1990: 114), minat merupakan suatu sumber
motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan yang dipilihnya.
Apabila seseorang melihat sesuatu yang memberikan manfaat, maka dirinya
akan memperoleh kepuasan dan akan berminat pada hal tersebut.
Pendapat lain dari Sardiman, (2011: 76) menjelaskan bahwa minat sebagai suatu
kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara
situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-
kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu apa yang dilihat seseorang sudah tentu
akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai
hubungan dengan kepentingan orang tersebut.
Dengan demikian, aspek minat dalam proses pembelajaran sangat menentukan
dalam keberhasilan belajar. Pendidik harus mengembangkan pembelajaran
51
sesuai dengan bakat dan minat peserta didik. Beberapa indikator yang dapat
digunakan dalam mengamati minat yang dimiliki oleh peserta didik
yakni, perasaan senang, ketertarikan peserta didik, perhatian dalam belajar,
keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran, manfaat dan fungsi mata
pelajaran.
Implikasinya dalam proses pembelajaran terutama menghadapi tantangan
pendidikan abad 21, seorang pendidik diharapakan dapat menerapkan berbagai
model dan media pembelajaran yang menarik, kreatif, inovatif, menantang, dan
menyenangkan (enjoyable learning), menantang dalam menyampaikan
tujuan/manfaat mempelajari materi pelajaran.
2. Empiris Trancendel
Dalam perkembangan empiris trancendel ini guru adalah ujung tombak
dalam mengatur, mengarahkan dan membimbing anak didik ke jalan yang lebih
baik sesuai dengan tujuan pendidikan ynag telah dicanangkan bersama. Anak
adalah seorang yang berada pada sesuatu masa perkembangan tertentu dan
mempunyai potensi menjadi dewasa. Dalam hal ini seorang guru mengenal anak
didiknya agar tujuan pendidikan yand dicanagkan bersama dapat terealisasi
dengan baik di lingkungan masyarakat.
Teori yang menyatakan bahwa perkembangan seorang individu akan
ditentukan oleh empirisnya atau pengalaman-pengalamannya yang diperoleh
selama perkembangan individu itu. Menurut teori ini individu yang dilahirkan itu
seperti kertas putih bersih yang belum ada tulisannya yang dikemukakan oleh
John Locke. Tulisan itu akan ada seiring dengan penagalaman hidup mereka
sesuai dengan apa yang diperbuat (apa yang salah dan apa yang benar). Dalam diri
seorang anak pasti ada kecenderungan untuk mementingkan dirinnya sendiri dari
pada orang lain. Tapi jiwa seorang amat berharga sampai ada ungkapan dari orang
tua ketika melihat anaknya terluka (lebih baik aku yang sakit dan terluka dari
pada kamu anakku). Jadi pengalaman-pengalaman anak didik yang diperolah
disekolah akan mempengaruhi perkembangan individu baik itu di bidang fisik
maupun keilmuan.
3. Anak pada Hakikatnya Baik
Hakikatnya seorang anak itu baik, tetapi seiring perjalanan waktu akan
terpenagruh oleh lingkungan baik itu di rumah, sekolah dan tempat bermain. Anak
itu bagaikan sebuah bintang yang bersinar tetapi akan redup ketika orang tua dan
guru kurang memberikan didikan yang baik. Ketika seorang anak berperilaku
menyimpang atau nakal, berarti ada masalah dalam pendidikan dan pengalaman
yang dia peroleh seperti kurangnya perhatian yang diberikan oleh orang tua
kepada anaknya karena kesibukan masing-masing, sehingga anak bertingkah
menyimpang untuk mendapatkan perhatian dari orang lain. Dan juga di sekolah
umpanya dia dikucilkan atau tidak mendapatkan perrhatian dan arahan yang baik
dari pendidik maka akan berakibat dalam kehidupan di lingkungan masyarakat.
Tetapi ketika seorang anak mendapatkan perhatian dan bimbingan yang baik dari
53
orang tua ataupun pendidik maka seorang anak akan berprilaku yang baik sesuai
dengan pengalaman ditambah ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
4. Kebutuhan Pokok Anak
Setiap anak mempunyai kebutuhan pokok yang berbeda-beda dengan
kebutuhan pokok orang dewasa. Kebutuhan pokok anak masih bersifat emosional
dan bermain, ketika kebutuhan pokok anak tidak terpenuhi maka akan terjadi
masalah tertentu. Anak biasanya jarang mempedulikan soal makan tetapi makan
snack/makanan ringan yang selalu diinginkan kebutuhan pokok anak seperti
halnya : kesenangan bermain permainan, kesenagan akan makanan yang
disukainya, kecenderungan dengan teman bermainnya.
Orang tua harus jeli dalam memenuhi kebutuhan pokok anak. Ababila orang
tua mampu mengerti akan kebutuhan pokok anak yang di kemas dengan kegiatan
yang dilakukan sehari-hari ditambah dengan ilmu pengetahuan maka anak akan
tambah berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Kebutuhan pokok anak
dibagi atas tiga aspek yaitu kebutuhan jasmani, kebutuhan kejiwaan (pscyhologis),
dan kebutuhan rohani.
5. Anak Didik Tidak Boleh Diukur oleh Kemampuan Pendidikan
Seorang pendidik adalah ujung tombak perkembangan anak selain orang tua
untuk menjalani kehidupan di masa depan. Seorang pendidik dituntut kesabaran
dan keuletan dalam mendidik seorang anak karena setiap anak memilki potensi-
potensi yang berbeda. Seorang guru harus bisa memberikan pelajaran yang mudah
dipahami dan diperhatikan oleh seorang anak didik. Seorang anak didik pasti
memilki tingkat kebosanan yang berbeda dalam hal menerima pelajaran di dalam
kelas.
Dalam menyuntikkan pelajarannya, harus dengan cara yang menyenangkan
supaya dapat diserap dengan baik oleh seorang anak memilki tingkat kemampuan
dalam menerima pelajaran ke otaknya. Ada yang mudah menyerap pelajaran,
sedang dan ada yang sulit menyerap pelajaran. Jadi seorang pendidik tidak boleh
menyamakan dirinya dengan seorang anak didik dalam mentrasnfer ilmunya
meskipun anak tersebut pandai.
PERTEMUAN KE 10
SISTEM PENDIDIKAN DAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
1. Sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang artinya: suatu
keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several
parts).4 Di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara
teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan Anas Sudjana yang mengutip
pendapat Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut “Suatu sistem adalah
suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan
atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu
kebulatan/keseluruhan yang kompleks”.5 Sedangkan Campbel menyatakan bahwa
sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan
yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
54
Anshari yang dikutip Azra bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan oleh
pendidik terhadap perkembangan fisik dan psikis siswa dengan bahan-bahan materi
tertentu dengan metoda tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah
terciptanya pribadi tertentu sesuai dengan ajaran Islam.15 Berdasarkan uraian di
atas, yang dimaksud sistem pendidikan adalah sistem pendidikan Islam yaitu suatu
kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
C. KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN
Dari beberapa sumber yang dipelajari, dapat disimpulkan bahwa terdapat 6
komponen pendidikan yang digunakan dalam acuan penelitian ini yaitu : 1. Tujuan,
2. Siswa, 3. Pendidik, 4. Isi/materi, 5. Situasi lingkungan dan 6. Alat pendidikan.
ִMaka untuk menghasilkan output dari sistem pendidikan yang bermutu, hal yang
paling penting adalah bagaimana membuat semua komponen yang dimaksud
berjalan dengan baik. Yang mana pendidik, sisawa, materi pendidikan, alat
pendidikan dan lingkungan pendidikan semuanya satu langkah menuju pencapaian
tujuan pendidikan itu.ִ
1. Tujuan
Pendidikan berfungsi sebagai arah yang ingin dituju dalam aktivitas pendidikan.
Dengan adanya tujuan yang jelas, maka komponenkomponen pendidikan yang
lain serta aktivitasnya senantiasa berpedoman kepada tujuan, sehingga efektivitas
proses pendidikannya selalu diukur apakah dapat dan dalam rangka mencapai
tujuan atau tidak. Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat luas, banyak tujuan pendidikan yang diinginkan
oleh pendidik agar dapat dicapai oleh siswa. Menurut Langeveld yang dikutip
Noeng Muhadjir terdapat beberapa tujuan pendidikan yaitu: a. tujuan umum; b.
tujuan tak sempurna; c. tujuan sementara; d. tujuan perantara; e. tujuan
insidental.16
Di Indonesia tujuan pendidikan terdiri dari lima tingkatan yaitu tujuan
pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler,
tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Tujuan pendidikan
nasional adalah tujuan pendidikan yang menjadi acuan tertinggi di Negara
Indonesia apapun bentuk dan tingkatan pendidikannya. Tujuan pendidikan
nasional tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20
Tahun 2003. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam perspektif Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Amir
Faisal, tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan
diturunkannya agama Islam yaitu untuk membentuk manusia yang bertakwa
(muttaqîn).17 Selanjutnya Faisal merinci manusia yang bertakwa itu adalah yang:
a. Dapat melaksanakan ibadah mahdhah dan ghair mahdhah,
56
berikut interaksi pelaku, iklim organisasi, dan hubungan antara madrasah dengan
masyarakat.
6. KOMPONEN ALAT PENDIDIKAN
Alat pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan
yang berfungsi sebagai perantara pada saat menyampaikan materi pendidikan,
oleh pendidik kepada siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Peristiwa
pendidikan ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi dapat
berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping
dibutuhkan pemilihan bahan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode
yang tepat pula. Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat
untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat disebut
baik diperlukan patokan (kriterium) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor
utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.
Dalam prakteknya paling tidak ada dua macam alat pendidikan. Pertama alat
pendidikan dalam arti metode, kedua alat pendidikan dalam arti perangkat keras
yang digunakan seperti media pembelajaran dan sarana pembelajaran. Alat
pendidikan dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media
pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran aktif dan
efektif. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP)23 ditentukan bahwa setiap satuan pendidikan wajib
memiliki sarana yang meliputi, perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan,
buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang
diperlukan, seperti perpustakaan dan laboratorium.
pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti
sejumlah mata pelajaran dalam suatu peguruan. Dalam kamus Webster tahun
1856 kurikulum diartikan dua macam, yaitu :
a. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa disekolah
atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
b. Sejumlah mata elajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pndidikan atau
jurusan.[3]
Kurikulum (manhaj/curriculum) adalah seperangkat perencanaan dan
media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan
pendidikan yang diinginkan[4]. Kosakata Kurikulum telah masuk kedalam
kosakata bahasa Indonesia, dengan arti susunan rencana pengajaran.[5] Sekian
banyak pengertian kosakata tentang kurikulum dari segi bahasa ini dapat
diartikan, bahwa kurikulum ialah rencana atau bahasan pengajaran, sehingga
arah kegiatan pendidikan menjadi jelas dan terang. Pengertian ini terkait dengan
hal yang paling menonjol dari isi kurikulum, yaitu susunan bahan atau mata
pelajaran yang akan digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pendidikan.
Selanjutnya dijumpai pula pengertian kurikulum yang dikemukakan para
ahli pendidikan, di antaranya ialah kurikulum menurut Ali Muhammad al-
Khawli adalah seperangakat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga
pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Sedangkan
menurut Muhammad Omar Muhammad al Thoumy al Syaibany, kurikulum
pendidikan Islam dikenal dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang yang
dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembang-kan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
2. Hakikat Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa
kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan
sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam adalah
semua aktivitas, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan secara
sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan
pendidikan Islam (H.syamsul Bahri Tanrere, 1993).
Konsep dasar kurikulum sebenarnya tidak sesederhana itu, tetapi kurikulum
dapat diartiakan menurut fungsinya sebagaimana pengertian berikut:
1. Kurikulum sebagai program studi.
2. Kurikulum sebagai konten.
3. Kurikulum sebagai kegiatan terencana
4. Kurikulum sebagai hasil belajar
5. Kurikulum sebagai reproduksi cultural
6. Kurikulum sebagai pengalaman belajar
7. Kurikulum sebagai produksi
Berdasarkan keterangan di atas, maka kurikulum pendidikan Islam itu merupakan
satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan.Ini
bermakna untuk mencapai tujuan pendidikan agama (pendidikan Islam)
diperlukan adanya kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan
59
Dalam literatul lain, disebutkan bahwa ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah
sebagai berikut:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan,
metode dan tehniknya yang bercorak agama.
b. Memperhatikan dan membimbing segala pribadi peserta didik baik dari sisi
intelektual, psikologis, sosial maupun spiritualnya.
c. Memperhatikan keseimbangan berbagai aspek ilmu pengetahuan.
d. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan denganb bakat dan minat peserta
didik.
e. Bersifat dinamis dan fleksibel yakni sanggup menerima perkembangan dan
perubahan apabila dipandang perlu.
4. Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Suatu kurikulum tak terkecuali kurikulum pendidikan Islam harus mengandung
beberapa unsur utama, seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar dan
penilaian.Kesemua unsur tersebut harus tersusun dan mengacu pada sumber
60
ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya fiqh, tafsir dan sebagainya, 2). Ilmu
bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu al Qur’an dan ilmu agama. 3). Ilmu-
ilmu yang fardlu kifayah, seperti matematika, kedokteran, industri, pertanian dan
lain-lain. 4). Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.
Sedangkan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir mengambil isi Kurikulum
Pendidikan Islam yang berpijak pada QS.Fushshilat ayat 53 :
َس ُنِر يِهْم َء اَٰي ِتَنا ِفى ٱْل َء اَفاِق َو ِفٓى َأنُفِس ِهْم َح َّتٰى َيَتَبَّيَن َلُهْم َأَّنُه ٱْلَح ُّق ۗ َأَو َلْم َيْك ِف ِبَر ِّبَك َأَّن ۥُه َع َلٰى ُك ِّل
َش ْى ٍء َش ِهيٌد
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaa) Kami
di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagikamu)
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”
Dalam ayat ini terkandung tiga isi Kurikulum Pendidikan Islam, yaitu:
a. Isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan” Ilmu ini meliputi ilmu kalam,
fiqh, akhlaq/tasawuf, ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan lain-lain.
b. Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Ilmu ini berkaitan dengan
perilaku manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial, berbudaya
dan berakal.Ilmu ini meliputi ilmu sejarah, politik, bahasa, filsafat, psikologi dan
lain-lain.
c. Isi kurikulum yang berorientasi pada“kealaman”. Ilmu ini berkaitan dengan
alam semesta, seperti : ilmu fisika, kimia, pertanian, perikanan, biologi danlain-
lain.
7. Organisasi kurikulum
Dalam studi kurikulum dikenal beberapa organisasi kurikulum.Bentuk organisasi
kurikulum tersebut memiliki cirri tersendiri dan mengalami pengembangan secara
berurutan, sjalan dengan berbagai penemuan baru dalam ilmu kuikulum.
Diantara organisasi kurikulum sebagai berikut :
a. Separated Subject Curiculum
Bentuk Sparated Subject terdiri dari mata pelajaran-pelajaran. Kurikulum ini
menyajikan segala bahan pelajaran dalam berbagai macam mata pelajaraan
(subject) yang terpisah-pisah satu sama lain, seakan-akan ada batas pemisah
antara yang satu dengan yang lainnya.
b. Correlated Curiculum
Merupakan bentuk organisasi yang menghubungkan antara satu mata
pelajaran dengan mata pelajaran yang lain. Hubungan ini dapat dilakukan
baik secara sewaktu-waktu ataupun sevara diupayakan.
c. Broad Fields Curiculum
Merupakan bentuk organisasi kurikulum yang dibuat dengan melebur mata
pelajaran-mata pelajaran sejenis ke dalam satu pelajaran. Batas-batas mata
pelajaran itu menjadi kabur.
d. Integrated Curriculum
Kurikulum ini meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan
menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau kseluruhan.Dengan
kebulatan bahan pelajaran diharapkan dapat membentuk kepribdian murid
yang integral, selaras dengan kehidupan sekitarnya.
63
PERTEMUAN KE 11
A. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam sebagai suatu sistem, perkembangannya terus menjadi
pembicaraan menarik di kalangan praktisi pendidikan. Hal ini sebagai wujud
perhatian dan keprihatinan umat terhadap kondisi objektif lembaga pendidikan Islam
saat ini. Meski sampai saat ini masih belum ada kesepakatan yang utuh tentang
batasan pendidikan Islam, dapat disimpulkan bawah secara kelembagaan yang
dikmasudkan disini adalah lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah
naungan kementerian agama seperti madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi
agama Islam. Sedangkan secara substansi adalah lembaga pendidikan yang bukan
sekedar melakukan upaya transformasi ilmu akan tetapi jauh lebih kompleks dan
lebih penting dari itu, yakni mentransfomasikan nilai- nilai yang terkandung dalam
ajaran Islam dan membentuk pribadi yang selaras dengan nilai-nilai tersebut.
Sebagai suatu sistem, pendidikan Islam mempunyai dasar yang berupa ajaran-
ajaran Islam yang terefleksi dalam Al-Qur`an dan Hadis dan seperangkat
kebudayaannya. Serta seiring dengan tujuan datangnya Islam, pendidikan Islam
bertujuan menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang senantiasa bertakwa
kepada Allah dan menjadi muslim yang kaffah dan dapat mencapai kehidupan yang
bahagia di dunia dan akherat. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya,
pendidikan Islam mempunyai karakteristik tersendiri sehingga ia memiliki makna
khusus bagi umat. Dan yang menjadi karakteristiknya adalah, bahwa pendidikan
Islam menekankan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengemba-
ngannya, pengakuan akan potensi dan kemampuan seorang untuk berkembang
dalam suatu kepribadian dan pengalaman ilmu tersebut sebagai tanggung jawab
terhadap Tuhan dan masyarakat.
Saat ini perkembangan pendidikan islam di Indonesia tidak hanya terlepas dari
peran masjid , lembaga pendidikan pesantren dan institusi-institusi dibawah
kementerian agama saja melainkan perkembangannya sudah merambah pada sector
pendidikan umum. Seperti berkembangnya boarding school dan pendidikan umum
yang melakukan kolaborasi dengan pendidikan islam terpadu. Perkembangan
tersebut tentu menjadi titik awal berkembangnya pendidikan islam di Indonesia.
Terlebih kemajuan jaman saat ini mengharuskan pendidikan islam dikemas dengan
menarik dan mampu diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sifat kolaboratif dan
integrative masyarakat mengenai pendidikan islam saat ini rupanya menjadi
tantangan bagi pemangku kebijakan untuk mencipatakan pusat pendidikan yang
kolaborastif dan berpusat. Artinya institusi tersebut menciptakan lembaga
pendidikan yang mencangkup pendidikan formal, non formal dan informal dengan
berlandaskan nilai keislaman.
Selain itu, perkembangan pendidikan islam yang pesat tentu memerlukan sumber
daya manusia yang handal dan memiliki aktualisasi diri yang berlandaskan nilai-nilai
keislaman. Saat ini pemerintah melalui kementerian agama dan kementerian
pendidikan & kebudayan secara terus menerus melahirkan institusi perguruan tinggi
sebagai pabrik yang mencetak tenaga professional handal untuk melahirkan tenaga
pendidik yang professional khusunya dalam bidang keislaman. Munculnya akademi,
64
masyarakat, setidaknya oleh masyarakat Islam itu sendiri yang secara de facto
tidak dapat diabaikan oleh pemerintah.
Di pesantren ini kurikulum yang dikembangkan ialah menitik beratkan
kepada ajaran Islam baik aqidah, ibdah, akhlak, ilmu bahasa arab melalui
kajian kitab kuning. Sebuah lembaga pendidikan Islam dikatakan pesantren jika
di dalamnya terdapat lima unsur pokok yaitu di dalamnya terdapat masjid,
pondok, Kiyai, santri, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Sistem pendidikan di
pesantren ialah nonklasikal, santri berbentuk halaqah yang ditengahnya ada
guru yang mengajar. Metodenya pengajarannya adalah metode wetonan dan
sorogan.
c. Rangkang, dayah, meunasah
Tiga model lembaga pendidikan Islam di atas merupaka lembaga
pendidikan Islam yang ada di daerah Aceh. Sebagai tempat strategis hadirnya
muballig Islam periode awal, di Aceh terdapat lembaga pendidikan Islam.
Rangkang adalah tempat tinggal murid yang dibangun berdekatan dengan
masjid. Sistem pendidikan dan metodenya hampir sama dengan pesantren
namun bentuknya lebih sederhana dari pesantren. Selanjutnya adalah Dayah
merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama yang
bersumber dari bahasa Arab, tuhid, tasafuf, Fiqih, dan ilmu-ilmu agamalainya.
Pada dasarnya dayah dan rangkah ini dalam praktiknya sama dengan
pesantren. sementara meunasah lebih dikenal sebagai madrasah. Menurut
Daulay secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah. Di dalam
munasah tidak semata-mata digunakan sebagai tempat proses pendidikan,
namun juga sebagai tempat ibadah, balai masyarakat, tempat berkumpulnya
masyarakat, pusat informasi, pada intinya disini juga difungsikan sebagai
sarana berkumpulnya masyarakat pada waktu itu.
4. Surau
Surau lebih dikenal sebagai tempat ibadah menurut orang melayu
termasuk di dalamnya Indonesia dan Malaysia. Surau sendiri mempunyai arti
tempat suatu bangunan kecil untuk tempat shalat, tempat belajar mengaji,
tempat wirid. Menurut Christine Dobbin yang dikutip oleh Daulay, surau adalah
rumah yang didiami oleh para pemuda setelah aqil baligh, terpisah dari rumah
keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak. sistem
pendidikan di surau banyak kemiripanya dengan sistem pendidikan di
pesantren, inti pelajarannya adalah ilmu-ilmu agama.
Pada perkembangan pendidikan Islam, masuknya ide-ide pembaruan
pemikiran Islam ke Indonesia sengat besar pengaruhnya terhadap relisasinya
pembaruan pendidikan. Diawali dari pembaruan pemikiran Islam di Mesir, Arab,
Turki dan India. Setidaknya di ke tiga negara itu mulai memasukan sistem klaster
dalam proses pendidikan. atau kita kenal dengan metode klasikal. Latar belakang
pembaruan pendidikan Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor.
Pertama, bersumber dari ide-ide para tokoh atau ulama yang menimba ilmu di
pusat pendidikan Islam dan kembali ke tanah air. Mereka menularkan wacana
pembaruan pendidikan di kalangan umat Islam.
Kedua, bersumber dari dalam negeri sendiri yang ketika itu dikuasai oleh
pemerintah Hindia Belanda. Hindia Belanda melakukan diskriminasi terhadap
67
saja yang sedang terjadi dan kemungkinan akan terjadi, setelah masalah diketahui
barulah dicarikan solusi-solusi yang bersumber dari syariat Islam (Al-Qur’an dan
Hadits), perilaku nabi, teori-teori, dokumen, institusi administrasi, pemikiran modern
administrasi, dan penggagas administrasi Islam, kemudian setelah diperoleh
sumbersumber tersebut, administrator dapat mereduksi sumber-sumber tersebut
agar dapat sesuai sebagai solusi administrasi pendidikan Islam, lalu hasil reduksi
tersebut ditarik kesimpulan sementara dan menjadi perencanaan yang berbentuk
model administrasi pendidikan Islam baru dengan standar-standar yang telah
dirumuskan dan model administrasi yang telah direncanakan dapat impelementa-
sikan (Al-Buraey, 2001, p. 12).
Implementasi administrasi pendidikan merupakan tahapan pelaksana-an apa
yang telah direncanakan, pada tahapan ini diperlukan kontrol untuk menjaga agar
perencanaan dan pelaksanaan berjalan dengan sinergis, menciptakan suasana kerja
kondusif, meningkatkan kerjasama, dan pada tahap ini juga pemimpin dapat
mengembangkan hubungan dengan bawahan, memberikan motivasi, membina,
memperhatikan bawahan dan berpartisipasi langsung dalam merealisasikan tujuan
bersama, pada tahap pelaksanaan ini harus dipastikan strategi perencanaan berjalan
sebagaimana mestinya. Pengawasan yang dilakukan dapat secara umum dalam
lingkup organisasi dan juga pengawasan pada tiap-tiap divisi.
Implikasi, pada tahap ini perlu memperhatikan dampak dari perenca-naan dan
pelaksanaan, dengan kata lain, tahap ini merupakan tahap evaluasi untuk
mengetahui seberapa efektif dan efisien implementasi administrasi pendidikan yang
telah dilaksanakan. Ketika, misalkan terdapat kekurangan maka prosesnya kembali
ke tahap awal dengan menyusun strategi ulang untuk menanggulangi permasalahn
yang tejadi, dan jika ternyata implikasi yang terjadi sudah cukup memuaskan maka
tetap harus ditingkatkan agar dapat lebih baik dan sesuai dengan tuntunan zaman
yang selalu membutuhkan inovasi, sehingga prinsip continous improvement akan
terus berjalan (Suti, 2011, p. 2).
Tujuan administrasi pendidikan Islam tentu tidak akan terealisasi dengan
maksimal meskipun tahapan teknisnya telah dijalankan dengan baik, karena ada
beberapa faktor lain juga mempunyai peran penting dalam membangun administrasi
pendidikan Islam yang sinergis dan memiliki budaya organisasi yang positif, seperti
faktor pemimpin, hubungan antar individu dalam organisasi, motivasi bekerja, dan
masih banyak lagi, semua aspek tersebut harus diaplikasikan secara nyata dalam
setiap tahapan planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan
budgetting.
Faktor kepemimpinan memegang peranan penting dalam membangun
administrasi pendidikan Islam yang baik, seorang pemimpin menurut Paul Loisulie
dalam (Paul, 2017, pp. 50–51), diibaratkan sebagai: properti publik yang dapat
digunakan kapanpun oleh orang, kotak sampah yang harus siap menerima hujatan,
hinaan, cercaan dan sebagainya, orang yang stabil, pemecah masalah, figur kreatif,
informatif agar tidak ketinggal perkem-bangan, mudah bergaul dengan banyak orang,
perhatian, konsisten, visioner, transparan dan apa adanya, dapat menjadi teman
yang bertang-gung jawab, tidak egois. Akan tetapi seorang pemimpin dalam lembaga
Pendidikan Islam tidak boleh hanya berkiblat pada teori-teori barat, akan tetapi
harus berpedoman pada sikap-sikap yang ditunjukan oleh Rosulullah karena ia lah
71
sosok panutan terbaik, bukan berarti seorang pemimpin harus menafikan teori
kepemimpinan dari barat akan tetapi pemimpin harus bisa mengkola-borasikan
keduanya dengan proporsional. Karena sumber bacaan dan acuan yang yang
mengarah pada kepemimpinan dalam dunia pendidikan telah sangat lengkap dengan
menggabungkan pendekatan Islam dan Barat, seperti yang ada di UAE menurut
(ElKaleh, 2019, p. 1140).
Pembangunan motivasi organasasi pegawai juga sangat penting karena dalam
struktur organisasi pegawai atau individu yang ada didalam struktur organisasi
merupakan penggeraknya, mereka harus diberikan perhatian, jaminan kesejahteraan,
terjalin hubungan baik antara bawahan dan atasan seperti misalkan pemimpin
menggunakan gaya kepemimpinan transformasional karena pola ini memiliki
pengaruh terhadap motivasi guru/pegawai di lingkungan lembaga pendidikan,
menurut (Othman & Wanlabeh, 2012). Membangun kesadaran akan pentingnya
memajukan lembaga pendidikan Islam agar Islam dapat hadir di tengah masyarakat
untuk menjawab semua problema kehidupan juga tidak kalah pentingnya, agar
lembaga pendidikan Islam tidak termarginalkan karena dianggap tidak efektif dan
tidak memiliki peran bagi bangsa misalkan bidang ekonomi seperti yang terjadi di
Singapura, menurut (Mohd Nor et al., 2017, p. 247). Oleh karenanya setiap pegawai
harus memiliki motivasi diri sebagai agen perubahan untuk mencetak generasi
muslim yang dapat berperan di semua lini kehidupan bangsa.
PERTEMUAN KE 12
PENDEKATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN
A. Pendekatan dalam Pendidikan Islam
Penggunaan istilah ”pendekatan” memiliki arti yang berbeda-beda tergantung
kepada obyek apa yang akan menjadi tema sentral perencanaan kerja dan kajian
pemikiran yang akan dikembangkan. Dalam konstek belajar, approach dipahami
sebagai segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik untuk menunjang
efesiensi dan efektifitas dalam proses pembelajaran tertentu. Dengan demikian
sesungguhnya approach adalah seperangkat langkah operasional yang direkayasa
sedemikian rupa, untuk memecahkan masalah atau untuk mencapai tujuan belajar
tertentu.
Sudah barang tentu approach dalam pengertian tersebut membutuhkan
pandangan falsafi (mendasar) terhadap subyek matter yang diajarkan, selanjutnya
akan melahirkan metode mengajar yang dijabarkan dalam bentuk tehnik penyajian
pembelajaran.
Untuk mengetahui dan memahami macam-macam hadis tentang pendekatan
dalam pendidikan Islam.
1. Pendekatan Pengalaman
Pendekatan pengalaman merupakan pemberian pengalaman keagamaan
kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dalam
pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalam-an
keagamaan, baik secara individu maupun kelompok.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi
72
َع ْن ًكَلَد َة ْب ِن َح ْن َب ٍل َأْن َص ْف َو اَن ْب ِن أَمَي َة َبَع َث ُه ِإَلى َر ُسْو ِل َص َلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َلَم ِبَلَب ٍن َو َض َغ ا ِبْي َس
َو الَن ِبُى َص َلى ُهللا عََلْي ِه َو َس َلَم ِبَأْع َلى َم َك َه َفَد َخ ْلُت َو َلْم ُأَس َلْم َفَقاَل اْر ِجْع َفُقاِل لَس اَل ُم َع َلْي ُك م
Artinya: Dari kaladah bin Hanbal meriwayatkan bahwa ia diutus oleh Shafwan bin
Umayah kepada Rasulullah SAW. membawa susu, anak kijang, dan ketimun kecil.
Sementara itu Nabi SAW. sedang berada di ketinggian Mekah. Ia berkata, “Aku
masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dulu. “lalu beliau bersabda, keluar dulu
lalu ucapkan salam”. (HR. Abu Dawud dan at-qTirmidzi)
Dalam Hadis ini, Rasulullah tidak memarahi Kaladah lantaran tidak
mengucapkan salam. Akan tetapi, beliau mengharapkan Kaladah menjalankannya
secara praktis (mengalami sendiri) dan diaplikasikan setiap masuk rumah sebagai
salah satu bentuk etika kesopanan.
Nilai Pendidikan
1. Pentingnya mengucapkan salam ketika masuk rumah walaupun rumah itu sepi
karna malaikat akan ikut menjawab salam kita.
2. Ketika mengingatkan seseorang yang melakukan kesalahan hendaknya dengan
cara yang lemah lembut dan tidak menyinggung.
3. Ucapkanlah kebenaran itu walaupun sulit atau berat tuk di ucapkan, sebagai
mana dalam pepatah arab di katakana, “kullil hak walaukaana murron,kullil hak
walau ‘alaa nafsik.”
4. Dari penjelasan hadits di atas tadi bisa juga kita ambil nilai pendidikannya,
yaitu bahwasanya, kita itu ditutntut untuk selalu menebarkan salam, ketika
setiap kali bertemu dengan sesama muslim kita, di manapun kita berada bagai
manapun keadaan kita.
5. Kemanapun kita melangkah dahulukan lah akhlak yang mulia, akhlak yang
terpuji dan etika yang baik, terlebih ketika kita hendak bertamu, dan juga
dalam keseharian kita,..dsb.
6. Ketika kita melihat kemungkaran sekecil apapun dia cegahlah secepatnya
semata-mata karna lillaahitaala.
2. Pendekatan Pembiasaan
Pendekatan pembiasaan, yaitu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
senantiasa mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Setelah
terbiasa, peserta didik akan merasa mudah untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan
keagamaan.
Hadis yang diriwatakan oleh Abu Dawud
َع ْن َع ْم ِر وْبِن ُش َع ْيٍب َع ْن َج ِدِه َقاَل َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َلَم ُم ُروا َأُو اَل َد ُك ْم ِبالَص اَل ِة
َو ُهْم َأْبَناُء َس ْبِع ِسِنْيَن َو اْض ِر ُبوُهْم َع َلْيَها َو ُهْم َأْبَناُء َع ْش ٍر َو َفِر ُقْو ا َبْيَنُهْم ِفي الَم َض اِج ِع
Dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah SAW. bersabda,
“Suruhlah anakmu mendirikan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah
mereka karena meninggalkannya ketika ia berumur sepuluh tahun. (pada saat itu),
pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud).
Nilai Pendidikan
a. Membiasakan anak untuk melaksanakan ibadah sejak dari kecil, sebagaimana
pepatah mengatakan “bisa karena terbiasa”.
b. Dapat mempermudah proses pendidikan anak ketika sudah besar nanti, karena
telah dibiasakan melakukan kebaikan sejak kecil.
73
c. Membiasakan anak belajar agar tumbuh menjadi anak yang baik, ibarat kayu
kalau sudah besar sulit di luruskan,maka luruskanlah dari sejak kecil. begitu
juga dengan anak didik kita.
d. Belajar di masa kecil lebih cepat menyerap ilmu di bandingkan belajar sesudah
dewasa, pepatah arab mengatakan “atta’limu pissigory kannaksiy ‘alal hajari,”
belajar di masa kecil bagai mengukir di atas batu , belajar di masa tua bagai
mengukir di atas air. Artinya ingatannya lebih kuat.
3. Pendekatan Emosional
Pendekatan emosional adalah usaha untuk menggugah perasaan dan emosi
peserta didik dalam memahami dan menghayati ajaran agama agar perasaannya
bertambah kuat terhadap Allah SWT. sekaligus dapat merasakan mana yang baik
dan mana yang buruk.
Hadis Riwayat Muslim
َع ْن الُنْع َم اَن ْبِن َيُقوُل َقاَل َر ُسوَل ِهللا َص َلى ُهللا َع َلْيِه َو َس لَم َم َثُل اْلُم ْؤ ِمِنْيَن ِفى َتَو اِدِهْم َو َتَر ا ُح ِم ِهْم
َو َتَع اُطِفِهْم َك َم َثِل اْلَجَسِد ِإَذ ااْش َتَك ى ُعْض ٌو َتَداَعى َلُه َس اِئُر َجَسِدِه ِبالَسَهِر َو اْلُح َم ى
Nu’man Bin Basyir meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“perumpamaan sikap saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi diantara orang
yang beriman itu seperti anggota tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh
sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakannya sampai tidak dapat
menidurkan diri dan selalu merintih. (HR. Muslim)
Nilai Pendidikan
a. Bersikap lemah lembut terhadap peserta didika, agar peserta didik dapat dengan
mudah memahami apa yang diajarkan.
b. Pentingnya mempererat tali persaudaraan antara sesama manusia.
c. Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya
membutuhkan orang lain, dalam arti saling tolong menolong.
4. Pendekatan Rasional
Pendekatan Rasional, yaitu usaha memberikan peranan kepada rasio atau akal
dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama kemudian mencoba
menggali hikmah dan fungsi ajaran agama. Dengan mempergunakan akalnya,
seseorang dapat membedakan mana yang baik, yang lebih baik, atau yang tidak
baik.
Hadis Riwayat Al-Bukhari
عن عبد هللا بن عمر أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال إمن الشجر شجرة ال يسقط ورقها
وهى مثل المسلم حدثونى ما هى فوقع الناسفىشجر البادية ووقع فى نفس أنها النخلة قال عبد
هللا فاستحييت فقالوا يا رسول هللا أخبرنابهافقال رسول هللا عليه وسلم هي لنخلة
Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
diantara pohon-pohon ada pohon yang tidah gugur daunnya dan itu bagaikan
seorang muslim. Katakan kepadaku apa nama pohon tersebut.” Semua orang mulai
berfikir tentang pohon yang tumbuh di padang pasir dan saya berpikir bahwa itu
adalah pohon kurma. Namun, saya merasa malu (untuk menjawab-nya). Sementara
itu, ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami pohon apa itu.”
Lalu Rasulullah SAW menjawab, “pohon itu adalah pohon kurma.” (HR. Al-Bukhari)
Nilai Pendidikan
a. Kita di tuntuk untut brfikir, bertadabbur sejenak tentang alam ini bagai mana
mahakuasanya Allah s.w.t. menciptakan alam ini beserta isinya dan semua
74
penomena alam yang tejadi di seluruh alam ini. Kita mengali dan mengkajinya
untuk kita bisa mengambil ibroh darinya/pelajaran.
b. Agama islam ini di gambarkan dengan sebuah pohon yang tidak akan pernah
gugur daunnya, artinya di antara sekian banyak agama kepercayaan, hanya
satu agama yang akan abadi agama yang sebenarnya sampai akhirat kelak yaitu
adalah agama islam, “sesungguhnya agama yang di ridoi oleh Allah s.w.t.
adalah Agama islam”.
5. Pendekatan Fungsional
Pendekatan fungsional, yaitu penyajian materi ajaran agama Islam dengan
penekanan pada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari
sesuai tingkat perkembangan mereka. Pembelajaran dan bimbingan untuk
melakukan shalat misalnya, diharapkan berguna bagi kehidupan seseorang, baik
dalam lehidupan individu maupun social. Melalui pendekatan fungsional ini,
peserta didik dapat memanfaatkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad
َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة َع ِن الَنِبى َص َلى هللا َع َلْيِه َو َس َلَم َقاَل من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا
نفس هللا عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر فى الدنيا يسرهللا عليه فى الدنيا
واالخرة ومن ستر على مسلم فى الدنياسترهللا عليه فى الدنياواالخرة وهللا فى عون العبد
ماكان العبد فى عون أخيه
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang melapangkan seorang
muslim dari satu kesempitan dunia niscaya Allah akan melapangkannya dari satu
kesulitan hari kiamat. Siapa yang memudahkan seorang muslim dari satu kesulitan
dunia niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Siapa yang
menutup aib seorang muslim di dunia, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan
di akhirat. Allah menolong hambanya selama hamba itu menolong saudaranya.”
(HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
Nilai Pendidikan
a. Kehidupan di dunia ini adalah sebuah gambaran kehidupan kelak di akhirat.
b. Dunia ini adalah tempat kita mencari bekal untuk kita bisa meraih kebahagiaan
kelak di akhirat.
c. Menghargai sesama kita adalah sebuah kebaikan bagi kita, karna menghargai
sesama, menjaga aib sesama kita memberikan kemudahan bagi orang lain di
saat orang lain kesusahan, niscaya kita juga akan di bantu di berikan
kemudahan oleh Allah SWT. di dunia dan di akhirat.
d. Ketika memberikan pengarahan kepada anak didik kita, hendaknya memberikan
sebuah pemahaman yang bisa bermanfaat baginya baik di lingkungan
sekitarnya ataupun bisa bermanfaat bagi dirinya dan orang lain dunia dan di
akhirat. Inilah yang harus kita tekankan pada anak didik kita di kelas.
6. Pendekatan Keteladanan
Pendekatan leteladanan adalah memperlihatkan keteladanan atau memberikan
contoh yang baik kepada peserta didik. Guru yang senantiasa bersikap baik
kepada setiap orang misalnya, secara langsung memberikan keteladanan kepada
peserta didiknya. Keteladanan pendidik kepada peserta didiknya merupakan factor
yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran. Hal ini
disebabkan karena guru akan menjadi tokoh identifikasi dalam pandangan anak
75
Para ahli didik Islam telah merumuskan berbagai metode dalam pembelajaran
pendidikan Islam diantaranya :
1. Metode Teladan
Dalam al-Qur’an kata teladan disamakan pada kata Uswah yang kemdian
diberikan sifat dibelakangnya seperti sifat hasanah yang berarti baik. Sehingga
dapat terungkapkan menjadi Uswatun Hasanahyang berarti teladan yang baik.
Kata uswah dalam al-Qur’an diulang sebanyak enam kali dengan mengambil
contoh Rasullullah SAW, Nabi Ibrahim dan kaum yang beriman teguh kepada
Allah. Firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab :
لقد كان لكم في رسو ل هللا اسوة حسنة
“Sesungguhnya dalam diri Rasullullah itu kamu dapat menemukan teladan yang
baik” (Q.S.al-Ahzab:21)
Metode ini dinggap sangat penting karena aspek agama yang trpenting adalah
akhlak yang termasuk dalam kawasan aektif yang terwujud dalam tingkah
laku(behavioral).
3. Metode Ceramah
Metode ini merupakan metode yang sering digunakan dalam menyampai-kan
atau mengajak orang mengikuti ajaran yang telah ditentukan. Metode ceramah
sering disandingkan dengan katakhutbah. Dalam al-Qur’an sendiri kata tersebut
diulang sembilan kali. Bahkan ada yang berpendapat metode ceramah ini dekat
dengan katatablih,yaitu menyampaikan sesuatu ajaran. Pada hakikatnya kedua
arti tersebut memiliki makna yang sama yakni menyampaikan suatu ajaran.
Pada masa lalu hingga sekarang metode ini masih sering digunakan, bahkan
akan selalu kita jumpai dalam setiap pembelajaran. Akan tetapi bedanya terkadang
metode ini di campur dengan metode lain. Karena kekurangan metode ini adalah
jika sang penceramh tidak mampu mewakili atau menyampaikan ajaran yang
semestinya haus disampaikan maka metode ini berarti kurang efektif. Apalagi tidak
semua guru atau pendidik memiliki suara yang keras dan konsisten, sehingga jika
menggunakan metode ceramah saja maka metode ini seperti hambar.
77
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Lingkungan Pendidikan Islam
Secara harfiah lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengitari
kehidupan baik berupa fisik seperti alam jagat raya dengan segala isinya, ataupun
berupa nonfisik seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai dan adat istiadat
yang berlaku di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang,
serta teknologi. Kedua lingkungan tersebut hadir secara kebetulan, yakni tanpa
diminta dan direncanakan oleh mansusia. Lingkungan pendidikan juga didefinisikan
sebagai suatu institusi atau kelembagaan tempat pendidikan itu berlangsung. Dalam
beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang
pengertian lingkungan pendidikan Islam. Kajian lingkungan pendidikan Islam
(Tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan
mengenai macam-macam lingkungan pendidikan.
Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah
suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan
terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Dalam al-Qur’an tidak dikemuka
kan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan
pendidikan yang terdapat dalam praktik sejarah yang digunakan sebagai tempat
terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan,
madrasah, dan universitas.
Lingkungan seperti itu tidak disinggung secara langsung dalam Al-Qur’an, tetapi
al-Qur’an menyinggung dan memberikan perhatian tehadap lingkungan sebagai
tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada
umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 52 kali
yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang
dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari
Allah (lihat QS. Al-A’raf: 4; QS.Al-Isra: 16; QS.An-Naml: 34), sebagian dihubungkan
pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang
aman dan damai (QS. An-Nahl: 112), dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat
tinggal para nabi (lihat QS. An-Naml: 56; QS. Al-A’raf: 88; dan QS. Al-An’am: 92).
Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat
kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kuttab,
yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf Al-Qur’an lalu
diajarkan pula ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ia menggunakan rumah Arqam sebagai
institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kuttab,
dan madrasah sebgai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai
lingkungan pendidikan.
Konsep lingkungan dalam hubungannya dengan pendidikan dan manusia sebagai
makhluk yang merdeka, memiliki daya pilih yang kuat, serta berbagai potensi
jasmani, rohani, dan spiritual yang dimilikinya, telah menimbulkan berbagai aliran
yang antara satu dan lainnya menunjukkan perbedaan yang mencolok. Berbagai
aliran tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
83
1. Aliran empirisme atau behaviorisme dari John Locke. Menurut aliran ini, manusia
atau peserta didik dianggap sebagai gelas kosong yang dapat diisi apa saja oleh
pemiliknya. Faktor lingkungan dan atmosfer akademik sangat menentukan
keberhasilan pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, bahwa setiap kali
berbicara tentang lingkungan dan atmosfer akademik, maka sesungguhnya yang
dibicarakan adalah pengaruh lingkungan dan atmosfer akademik tersebut. Pada
aliran ini guru dianggap aktif dan menentukan. Adapun murid dianggap pasif dan
ditentukan.
2. Aliran nativisme dari Scopenhaur. Menurut aliran ini bahwa yang menentukan
seseorang menjadi apa saja, bukanlah lingkungan sebagaimana yang dianut oleh
behaviorisme dan empirisme sebagaimana disebutkan di atas, melainkan watak,
pembawaan dan potensi yang dimiliki seorang peserta didik dari sejak lahir. Aliran
nativisme ini bertolak dari libnitzian tradition yang menekankan kemampuan
dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhadap perkembangan anak.
3. Aliran konvergensi. Aliran ini dirintis oleh William Stern (1871-1979), seorang ahli
pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat, bahwa seorang anak dilahir-kan di
dunia sudah disertai pembawaan baik dan pembawaan buruk. Penganut aliran ini
berpendapat, bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan
maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting.
Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan bakat itu.
B Pandangan Islam tentang Lingkungan
Aliran empirisme, behaviorisme, nativisme humanisme, dan konvergensi dengan
berbagai variasinya sebagaimana tersebut di atas pada dasarnya berbicara tentang
aspek yang mempengaruhi pembentukan pribadi manusia. Adapun pada nativisme
sebaliknya, yaitu bahwa yang berperan membentuk pribadi manusia adalah
pembawaanya, bukan lingkungannya. Pada empirisme yang berperan membentuk
pribadi manusia ialah lingkungan, bukan pembawaannya. Dan pada konvergensi
yang berperan membentuk pribadi manusia ialah pembawaan dan lingkungannya
secara sekaligus.
Dengan mengacu pada prinsip keseimbangan yang terdapat dalam ajaran Islam,
yakni antara lahir (empirisme) dan batin (nativisme) serta hadits nabi yang artinya:
Bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci, lalu kedua orang tuanyalah
yang menyebabkan anak tersebut menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi, di
kalangan para pendidik Islam, banyak yang berpendapat bahwa dalam hal proses dan
faktor yang mempengaruhi pembentukan pribadi masusia, Islam lebih cenderung
kepada aliran konvergensi sebagaimana tersebut di atas.
Namun demikian, jika dilakukan analisis secara agak mendalam dan seksama.
Tampaknya ajaran Islam tidak menganut salah satu aliran tersebut, karena ketiga
aliran tersebut semata-mata mengandalkan pengaruh atau faktor yang berasal dari
usaha manusia sendiri. Seluruh aliran tersebut masih memusat pada usaha manusia
(anthropo-centris), dan belum melibatkan peran Tuhan. Hal ini berten-tangan dengan
ideologi pendidikan Islam yang bercorak humanisme teo-centris, yang intinya
memadukan antara usaha manusia dan pertolongan (hidayah) dari tuhan.
84
Dengan demikian, proses pendidikan dalam Islam dipengruhi oleh tiga faktor,
yaitu faktor pembawaan dalam diri manusia, faktor lingkungan, dan faktor hidayah
dari Allah Ta’ala.
C Macam-macam Lingkungan Pendidikan Islam
Pada perkembangan selanjutnya institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi
tiga macam, yaitu keluarga sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal.
Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembang
an dan pembinaan kepribadian peserta didik.
Lingkungan pendidikan di keluarga Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah
usrah, nasl, ‘ali dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu),
perkawinan (suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan. Keluarga (kawula dan warga)
dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang memiliki
tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama ekonomi, berkembang, mendidik,
melindungi, merawat, dan sebagainya. Inti keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.
Pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta
merupakan pelekat fondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. Dalam hal ini,
orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai peserta didik.
Keluarga adalah lingkungan pertama dimana manusia melakukan komunikasi dan
sosialisasi diri dengan manusia lain selain dirinya. Di keluarga pula manusia untuk
pertama kalinya dibentuk baik sikap maupun kepribadian-nya. Lembaga pendidikan
keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama, karena didalam keluarga
inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak.
Fungsi keluarga dalam kajian lingkungan pendidikan sebagai institusi sosial dan
institusi pendidikan keagamaan.
a) Keluarga sebagai Institusi Sosial
Orang tua berkewajiban untuk mengembangkan fitrah dan bakat yang
dimilikinya. Pendidikan dalam perspektif ini, tidak menempatkan anak sebagai
objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan, tetapi pendidikan
anak berarti mengembangkan potensi dasar yang dimiliki anak yang dimaksud.
Dalam Islam, potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran. Karena ia
cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntut untuk mengarahkannya.
Dalam kaitannya sebagai institusi sosial maka keluarga menjadi bagian dari
masyarakat dan negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga, akan menjadi
kesadaran bagi perwujudan masyarakat yang baik. Keluarga merupakan
lingkungan sosial yang pertama. Di lingkungan ini anak akan diperkenalkan
dengan kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu
dengan keluarga yang lainnya menyebabkan ia menjadi bagian dari kehidupan
sosial.
b) Keluarga sebagai Institusi Pendidikan/Keagamaan
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat dididik dan membutuh-kan
pendidikan. Dalam perspektif Islam, yang jauh lebih penting lagi adalah bagaimana
orang tua membantu perkembangan psikologis dan intelektual anak. Aspek ini
membutuhkan kasih sayang, asuhan dan perlakuan yang baik. Termasuk yang
jauh lebih penting lagi adalah peran orang tua menanamkan nilai-nilai keagamaan
dan keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang diberikan orang tua kepada
85
anak, dituntut agar lebih dapat merangsang anak dalam melakukan contoh
perilaku orang tua (uswatun hasanah). Melihat peran yang dapat dimainkan oleh
lembaga pendidikan keluarga maka tidak berlebihan bila Sidi Gazalba
mengkategorikannya pada jenis lembaga pendidikan primer, utamanya untuk
masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah.
Secara umum, kewajiban orang tua pada anak-anaknya adalah sebagai berikut:
1.Mendoakan anak-anaknya dengan doa yang baik (QS Al-Furqon: 74) dan jangan
sekali-kali mengutuk anaknya dengan kutukan yang tidak manusiawi.
2. Memelihara anak dari api neraka (QS At-Tahrim: 6)
3. Menyerukan sholat pada anaknya (QS Taha: 132)
4. Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga (QS An-Nisa: 128)
5. Mencintai dan menyayangi anak-anaknya (QS Ali-Imran: 140)
6. Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya (QS At-Taghabun: 14)
7. Mencari nafkah yang halal (QS Al-Baqarah: 233)
8. Mendidik anak agar berbakti kepada bapak dan ibu (QS An-Nisa:36, Al-An’am:
151, Al-Isra’: 23) dengan cara mendoakannya yang baik (QS Al-Isra’: 24).
9. Memberi air susu sampai dua tahun (QS Al-Baqarah: 233).
(5) Pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh.
Karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai
lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam ter-selenggaranya
proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus
bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung.
Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat islam tuntut untuk untuk
memillih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari
masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau pererta didik berada di
lingkungan masyarakat yang kurang baik, perkembangan kepribadian anak
tersebut akan bermasalah.
Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih
lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orangtua
beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan
formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat
dan memungkinkan ter-selanggaranya pendidikan tersebut. Berpijak dari tanggung
jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai
bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, taman pendidikan Al-
qur’an (TPA) wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan ruhani, dan
sebagainya. Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan
pendidikan, setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan
suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di
dalamnya.
Pengaruh Timbal Balik antara Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan
Peserta Didik untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, ketiga lembaga
atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang
tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama
dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nilai. Orang tua
harus menyadari tanngung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas
taat beribadah kepada Allah semata, akan tetapi orangtua harus memperhatikan
bagi anaknya sesuai dengan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antara
nya mempersiapkan anaknya memilih kemampuan/keahlian sehingga dapat
menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai Khalifah Fil Ardhi ,
serta menentukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu orang tua
juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang
baik sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai
anggota dari satu komunitas masyarakat itu sendiri. Dalam hubungannya dengan
sekolah, orangtua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut. Pihak
sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari
orang tua mereka sehingga keterlibatan dan bantuan orangtua dibutuhkan.
Kemudian, sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal
mungkin, dalam tujuan peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.
Dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam
penyeleng-garaan pendidikan Islam. Sebab, lingkungan yang juga dikenal dengan
institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum
89
lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
D. Pandangan Islam Tentang Lingkungan
Menurut Islam (Al-Quran) alam bukan hanya benda yang tidak berarti apa-apa
selain dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dalam pandangan
Islam (Al-Quran) adalah tanda (ayat) “keberadaan” Allah. Alam memberikan jalan bagi
manusia untuk mengetahui keberadaan-Nya. Allah berfirman,”Dan di bumi itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,”(QS Adz-
Dzariyat [51]:20).
Dalam Al-Quran banyak ditemukan ketika berbicara tentang alam dilanjutkan
dengan anjuran untuk berfikir memahami, mengingat, bersyukur, dan bertafakkur.
Semua ini akan mengantarkan manusia kepada sesuatu yang Maha Mutlak yang
menciptakan alam dengan keharmonisan hokum-hukum yang mengaturnya. Alam
adalah tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa alam mengabarkan akan
keberadaan Allah sebagai pencipta alam.
Alam adalah manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Misalnya, tumbuh-tumbuhan merefleksikan sifat-sifat Ilahi berupa pengetahuan
karena tumbuh-tumbuhan “tahu” bagaimana menemukan makanan dan cahaya,
buah-buahan memanifestasikan anugerah dan karunia Allah, dan hewan
mencerminkan empat sifat Ilahi; kehidupan, pengetahuan, keinginan, dan kekuasaan
Karena alam adalah lokus manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat
Ilahi, maka merusak alam berarti merusak “wajah” atau tanda (ayat) Tuhan di muka
bumi. Manusia, terutama umat Islam, harus memperlakukan dengan baik karena ia
adalah tangga untuk merenungi kemahakuasaan Allah. Renungan akan keindahan
dan keharmonisan alam akan mengantarkan kaum Muslim menjadi orang-orang
bertaqwa.
Dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Allah berfirman,”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-
Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,”(QS Al-Jatsiyah [45}:13). Ayat inilah
yang menjadi landasan teologis pembenaran Pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Islam tidak melarang
memanfaatkan alam, namun ada aturan mainnya. Manfaatkan alam dengan cara
yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab dalam melindungi alam dan
lingkungannya serta larangan merusaknya.
Manusia sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah, salah satu kewajiban
atau tugasnya adalah membuat bumi makmur. Ini menunjukkan bahwa kelestarian
dan kerusakan alam berada di tangan manusia. Dalam Islam (Al-Quran), hak
mengelola alam tidak dapat dipisahkan dari kewajiban untuk memelihara
kelestariannya (sinergi keduanya). Mengelola alam harus diiringi dengan usaha-usaha
untuk melestarikannya. Banyaknya ayat Al-Quran yang membicarakan larangan
merusak bumi, mengindikasikan kewajiban umat Islam untuk memelihara
kelestarian dan keasrian bumi. Setiap perusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai
perusakan terhadap diri sendiri. Tuntunan moral Islam dalam mengelola alam adalah
larangan serakah dan menyia-nyiakannya (baca; QS Al-A’raf [7]:31 dan QS Al-Isra
90
[17]:27), serta banyak penjelasan tentang lingkungan ini melalui hadist-hadist Nabi
Muhammad Saw.
Manusia harus mengiringi alam bertasbih memuji Allah, antara lain memelihara
kelestarian alam dan mengarahkannya kea rah yang lebih baik (islah), dan bukannya
melakukan perusakan di muka bumi (fasad fi al-ardl). Sekali lagi, Islam
membolehkan Pengelolaan bumi dan pemanfaatannya dengan syarat kelestarian dan
keberlangsungannya, jangan sampai merusak habitat alam.
PERTEMUAN KE 14
RELEVANSI PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KEMAJUAN BANGSA
A. Eksistensi Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan islam tidak dapat dilepaskan dari substansi ajaran agama islam yang
berpusat pada nilai-nilai moralitas. Pendidikan islam sebagai salah satu institusi
pendidikan di Indonesia memiliki peran penting sebagai salah satu pendiri fondasi
bangsa. Seperti ajaran agama segara umumnya, pendidikan islam memiliki instrumen
yang kuat dalam membentuk hegemoni untuk membangun budaya integritas bangsa.
karena sifat pendidikan Islam di Al-Azhar Kairo tidak hanya membahas masalah-
masalah agama saja melainkan juga masalah sosial politik seperti kolonialisme dan
imperialisme yang di lakukan oleh kaum barat (Abaza, 1999: 48-49).
Pembaharuan Islam di Indonesia diawali dengan adanya gerakan Padri
(Sumatra Barat), Persatuan Islam dan Muhammadiyah (Pulau Jawa). Dalam
gerakan pembaharuan Islam ini, yang menjadi isu atau tema utama diantaranya
adalah, pertama, puruifikasi agama yaitu pemurnian doktrin-doktrin Islam yang
terkait dengan bid’ah, khufarat, dan tahayul yang berlangsung sejak sebelum
kemerdekaan Indonesia hingga beberapa saat setelah kemerdekaan; kedua,
sekularisasi dalam Islam yaitu pemahaman dan pemecahan masalah-masalah
duniawi dengan mengerahkan rasio yang selanjutnya melahirkan paham
desakralisasi; ketiga, reaktualisasi ajaran Islam yaitu munculnya modifikasi dalam
ajaran-ajaran Islam yang mendasar dan sifatnya mutlak (Ismali, 2001: 169-175).
Ketika madrasah terus berkembang dan dapat menyaingi sekolah desa yang
didirikan oleh pemerintah Belanda, maka pemerintah Belanda pada akhirnya
mengeluarkan kebijakan yang disebut wilde Schoolen Ordonantie yaitu kebijakan
yang melabelkan pendidikan Islam, termasuk madrasah sebagai sekolah liar dan
harus di tutup (arif, 2008: 202). Kebijakan ini berujung pada semakin terisolasinya
madrasah dari arus modernisasi dan sulit untuk berkembang serta identik dengan
praktek-praktek ritual keagamaan. Selain itu, dualisme pendidikan antara sekolah
sekuler dan sekolah keagamaan juga mulai berkembang sejak kebijakan tersebut
dibuat. Walaupun demikian, pendidikan madrasah tetap mampu mendapat
dukungan masyarakat sekitar karena pendidikan sekuler yang didirikan oleh
pemerintahan kolonial tidak mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat di
setiap daerah Hindia Belanda. Sehingga pendidikan madrasah yang meniru
pendidikan sekuler dalam hal metode dan kurikulum menjadi pilihan alternatif
bagi rakyat.
3. Eksistensi Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan
Setelah masa kemerdekaan, Madrasah memasuki masa yang menguntungkan
eksistensinya. Dimana madrasah tidak lagi berhadapan dengan kekuatan yang
menolak eksistensinya seperti pemerintaha kolonial. Pergerakan dan
perkembangan madrasah dan pendidikan Islam lainnya juga tidak lagi terkekang
oleh kebijakan-kebijakan diskriminatif dari pemerintah kolonial seperti kebijakan
ordonansi guru dan sekolah liar. Karena madrasah dan pendidikan islam lainnya
telah merdeka dan berada di dalam bangsa yang merdeka.
Perjalanan sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan
Jepang sangat menarik dan memiliki proses yang sangat panjang. Belanda yang
menduduki Indonesia setelah tiga setengah abad dan jepang selama tiga setengah
tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah.
Dengan misi gold, glory, dan gospel mereka mempengaruhi pemikiran dan ideology
dengan doktrin-doktrin Barat (Zuhairin, 1986: 134).
Hal tersebut mendorong para tokoh muslim pada masa itu untuk berupaya
sekuat tenaga mengajarkan islam dengan cara mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan Islam, seperti madrasah, pesantren, majelis ta’lim, dan sebagainya.
Sayangnya, hal tersebut tidak dirasakan oleh madrasah dan pendidikan Islam
lainnya. Dampak-dampak yang dirasakan oleh madrasah dari kebijakan yang
93
rungan untuk merubah dan mengikuti selera nafsu manusia yang selalu berubah
sesuai dengan tuntutan selera nafsu manusia sesuai tuntutan perubahan sosial.
Nilai-nilai Islami yang absolut dari Tuhan itu sebaliknya akan berfungsi sebagai
pengendali atau pengarah terhadap tuntutan perubahan sosial dan tuntutan
induvidual.
Menurut Sayyid Qutub (1984:29- 30) moralitas yang islami tidak hanya terdiri
dari kumpulan belenggu dan larangan-larangan. Ia pada hakikatnya adalah suatu
kekuatan konsturuktif dan positif, merupakan suatu pendorong bagi perkembangan
yang berkesinambungan dan bagi kesadaran pribadi di dalam proses perkembangan
tersebut. Perkembangan tersebut diwarnai oleh kemurnian yang bulat. Moralitas
bersumber dan watak tabi’i manusia yang senapas dengan nilai Islami yaitu do-
rongan batin yang menunutut pembe-basan jiwa dan beban batin karena perbuatan
dosa dan keji yang bertentangan dengan perintah Ilahi.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Agama merupakan
program pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan manusia, yaitu manusia
dalam kualifikasi keindonesiaan, yaitu:
(1) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Tuhan
dengan sebaik-baiknya;
(2) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas kemanusiaan dengan
sebaikbaiknya;
(3) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas bangsa dan negara termasuk
kebudayaannya dengan sebaikbaiknya;
(4) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas masyarakat dan tugas
Iingkungan dengan sebaik-baiknya;
(5) Bersikap tepat dan mampu melaksanakan tugas pribadinya dengan sebaik-
baiknya, baik jasmaniah maupun rohaniah (Soedjono,1980:21).
Dalam konteks keindonesiaan, moralitas yang dimaksud bersumberkan pada
Pancasila, di mana iman dan takwa merupakan substansinya. Dengan demikian
moralitas Pancasila memiliki nilai yang sakral dalam arti bersumberkan pada nilai-
nilai Ketuhanan dan oleh karena itu wajib ditaati dan dijalankan oleh masyarakat,
untuk selanjutnya direfleksikan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pada tahap ini maka pelaksanaan aktivitas kehidupan dalam berbagai
bidang baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya tidak didasarkan
atas landasan hukum dan peraturan sematamata, melainkan lebih didasarkan atas
kesadaran dan tanggung jawab moral. Suatu perbuatan yang didasarkan lebih pada
kesadaran dan tanggung jawab moral akan memiliki kualitas lebih baik dan pada
sekedar pelaksanaan hokum.
Selesai
Persiapan Ujian Akhir Semester
97
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm. 1981/1982. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al Qur’an Departemen Agama
Republik Indonesia.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiah. 1984. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terjamahan, Jakarta: Bulan
Bintang.
Arifin, H.M. 1995. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Daradjat, Zakiyah. 1983. Membina
NilaiNilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
Daradjat, Zakiyah. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam, Buku Teks Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang.
Drijakara, S.J. 1996. Tentang Pendidikan, Jakarta: Pembangunan.
Downey, Meriel & Kelly. 1998. Moral Education, Theory and Practise, London: Harper and Row
Publication.
al-Ghazali, al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1986. Ihyâ ‘Ulûmuddîn, Jilid III, Kairo: Dâr
alKutûb al-‘Arabiyyah.
Mengaktifkan kehadiran mahasiswa yang diampu berdasarkan dan melihat daftar hadir pada absen kelas
Mengevaluasi melalui penilaian tugas yang diberikan dengan kelengkapan bentuk tugas yang diperintahkan
Mengumpulkan dan menilai catatan dan keberadaan kepemilikan buku paket belajar yang disampaikan saat
penyampaian kontrak kuliah
98
Memberikan ketegasan, kewajiban dan catatan koreksi bahwa buku-buku, materi dan tugas yang dikerjakan
terbukti dipelajari atayu hanya sebagai koleksi saja.
Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet.ke-5
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 2000, cet.ke-2
Daradjat, Zakiah, et.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet. ke-4
Muhamin, et.al., Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya,
Bandung: PT. Trigenda Karya, 1993, cet. ke-1
Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan
Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002, cet.ke-1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, cet. ke-1
Soebahar, H. Abd. Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002, cet.ke-1
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, cet.ke-4
Azyumardi Azra. Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan. Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999.
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. 8; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
Ali al-Jumbulati. Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyah, diterjemahkan oleh M. Arifin dan
Ibrahim Amini. Agar Tak Salah Mendidik. Jakarta: Al-Huda, 2006.
A. Qodry Azizy. Pendidikan Untuk Mebangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan Pandai dan
Bermanfaat. Cet. 2; Anggota IKAPI, 2003.
Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Cet. II; Bandung: PT. Rosdakarya, 2010.
Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. VIII; Bandung: PT. al-Ma’arif, 1989.
B.Uno, Hamsah. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Chaeruddin B. Metodologi Pengajaran Agama Islam Luar Sekolah. Yogyakarta: Lanarka, 2009.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. J-ART, 2005.
Kementrian Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI TentangPendidikan. Jakarta: Dirjen
Pendidikan Islam, 2006.
Muhammad Fadhil al-Jamaliy. Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an. Cet. 1; Surabaya: Bina Ilmu, 1986.
Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cet. XIV; Bandung: PT Rosdakarya, 2008.
Mujamil Qomar. Epestimologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritis. Jakarta:
Erlangga, 2005.
M. Arifin. Kapita Selekta Pendidikan. Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
M. Ngalim Perwanto. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. XVIII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007.
Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islam. Cet II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998.
Paulo Freire, dkk. Mengguggat Pendidikan: Fundamentalis, Konsesvatif, Liberal, Anarkis. Cet. VII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Samsul Nizar. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan Islam.
Cet.1; Jakarta: Kencana, 2008.
Sofan Amri, dkk. Kontruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya Terhadap Mekanisme dan Praktik
Kurikulum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010.
Oteng Sutisna. Administrasi Pendidikan Dasar Teoristis untuk Praktek Profesional. Bandung: Angkasa,
1983.
Syaibany, Oemar Muhammad al-Toumy. Al-Falsafah al-Tarbiyah al-Islam diterjemahkan oleh Hasan
Langgulung dengan judul, Filsafat Pendidikan Islam. Cet.1; Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan .Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.2003.
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional .Jakarta:
Dirjen. Binbaga Islam, 1992.
Ihsan, Fuad. Dasar Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. 1996.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam. Jakarta:Prenada Media. 2004.
A Kholiq, Ismail. dan Nurul Huda. Paradigma Pendidikan Islam. (Semarang: Pustaka Pelajar.2001.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Logos Wacana Ilmu. 1997.
Zein, Muhammad. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga. 1985.
99
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam:Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta:Bumi
Aksara. 2006.
Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya.
Bandung: Trigenda karya. 1993.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung:Bumi Aksara. 1994.
Al-Nahlawi, Abdurrahman, (1996) Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, diterjemahkan
oleh Shihabuddin dari jjudul aslinya Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibihu fi al-Bayt wa al-
Madrasah wa al-Mujetama. Cet.II. Jakarta : Gema Insani Press.
Ashtiani, Ali Asthiani, et ell (2007), Comparison Cooperative Learning and Tradisional Learning in
Academic Achievement. Tersedia [on-line]
Ahmad, Muhammad Abdul Qadir (2008), Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Rineka Cipta.
Arends, Richard II. (2004). Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill.
Budiningsih, (2005), Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Reneka Cipta.
Darajat, Zakiah. (1995), Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Cet. II. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Dahlan. (1984), Model-Model Mengajar Beberapa Alternatif Interaksi Belajar Mengajar).Bandung
Diponegoro.
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya. Madinah al-Munawwarah, Mujamma
al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1412. H.
Departemen Pendidikan Nasional (2003), Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Jakarta.
Lie, Anita. (2005). Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. Jakarta : Grasindo.
Mustaji, & Sugiarso. (2005). Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik. Surabaya: Unesa University Press.
Munir, (2008). Kurikulum Berbasis Kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bandung : Al-Fabeta.
Muhaimin (2007), Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Mujib dan Jusuf Mudzakir, Abdul . 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, Nata,
Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nata, Abuddin. 2012. Sejarah Pendidikan islam: Pada periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali
Pers
Ramayulis. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
http://mtsmawalisongongabarponorogo.blogspot.com/2011/04/hakekatkurikulum-pendidikan-
islam.html di unduh hari rabu 11 sept 2013 jam 21: 23
DAFTAR PUSTAKA Ahwan, A. (2016). Manajemen Perencanaan Pendidikan Islam (Kajian Tematik
AlQur’an dan Hadits). Edukasi, 4(1), 128–155.
http://staimtulungagung.ac.id/ejournal/index.php/EDUKASI/article/view/194
Al-Buraey, M. A. (2001). The islamic model of administration: Strategy, implementation and implications.
Managerial Finance, 27(10–11), 5–24.
https://doi.org/10.1108/03074350110767556
Ary, D., Jacobs, L. C., & Sorensen, C. K. (2010). Introduction to Research (8th ed.). CENGANGE Learning.
Asnawi, N., & Setyaningsih, N. D. (2020). Perceived service quality in Indonesian Islamic higher
education context: A test of Islamic higher education service quality (i-HESQUAL) model.
Journal of International Education in Business, 13(1), 107–130. https://doi.org/10.1108/JIEB-11-2019-0054
Bairagi, V., & Munot, M. V. (2019). Research Methodology A Practical and Scientific Approach. CRC
Press. Brooks, M. C., Brooks, J. S.,
Mutohar, A., & Taufiq, I. (2020). Principals as socioreligious curators: progressive and conservative
approaches in Islamic schools. Journal of Educational Administration, 58(6), 677–695
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amzah, 2014) h. 175-191
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010. Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010.
100
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Moh.
Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012. http://20319708.siap-sekolah.
com/2013/09/06/lingkungan-pendidikan-dalam-pendidikan-islam/
Daradjat, Zakiyah dkk. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumu Aksara.
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Muzakki, kholilah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Kopertais IV Press. Surabaya.
Arifin, H.M. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Ramayulis, H. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia.
An Nahlawi Abdurahman, prinsip-prinsip dan METODE PENDIDIKAN ISLAM dalam keluarga, sekolah
dan di masyarakat, ( bandung : cv. DIPONEGORO, 1996 ),
Uhbiyati Nur, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet-Kedua,
Nata Abudin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Daradjat, Zakiyah dkk. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumu Aksara.
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Muzakki, kholilah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Kopertais IV Press. Surabaya.