Anda di halaman 1dari 5

Nampaknya, pemberitaan semakin suram dengan kehadiran coronavirus disease 2019

(COVID-19) yang menyebar di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Setiap hari
muncul pertanyaan baru, kekhawatiran baru, dan ketakutan baru tentang pandemi ini.
Menghadirkan sebuah ketidakpastian akibat informasi yang saling bertentangan. Jika hal
ini membuatmu merasa tegang, sulit berkonsentrasi, atau bahkan merasa sesak nafas
tanpa alasan yang jelas saat melihat berita, kamu tidak sendiri.
Ketakutan Ancam Kesehatan Mental
Dilansir dari laman kompas.com, survei yang dilakukan Asosiasi Psikiatri Amerika
(APA) terhadap lebih dari 1000 orang dewasa Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 48
persen responden merasa cemas akan tertular COVID-19. Sekitar 40 persen
mengkhawatirkan mereka akan sakit berat atau meninggal akibat COVID-19, dan 62
persen mencemaskan keluarga atau orang tercintanya tertular. Lebih dari sepertiga
responden mengatakan pandemi ini berdampak serius pada kesehatan mental mereka, dan
59 persen menjawab efeknya cukup berat pada kehidupan sehari-hari.
Ini semua hal yang normal. Ini adalah reaksi alamiah manusia ketika berhadapan dengan
kondisi yang jauh dari kata normal seperti saat pandemi ini. Namun terkadang, rasa
cemas dan ketakutan yang berlebihan bisa mengganggu aktivitas keseharian. Dalam
tingkat yang lebih parah, hal ini dapat berdampak pada penurunan kesehatan.
Baruch Fischhoff, profesor dari Carnegie Mellon University dan ahli persepsi masyarakat
mengenai risiko menjelaskan, hal ini terjadi karena kasus positif dan angka kematian
yang diakibatkan COVID-19, terus meningkat setiap hari. Jadi, wajar saja bila kita
merasa cemas saat melihat Achmad Yurianto. Si juru bicara pemerintah untuk
penanganan COVID-19 yang memberikan keterangan pers tiap sore.
Menurut Paul Slovic, peneliti dalam bidang risiko dan pengambilan keputusan di
University of Oregon, kemungkinan penyebab rasa cemas terhadap COVID-19
meningkat karena manusia adalah makhluk dengan emosi dan perasaan. Manusia
seringkali melibatkan perasaan daripada analisis logis, untuk mengevaluasi sebuah risiko.
Alih-alih melihat data, manusia membuat asumsi berdasarkan skenario terburuk yang
dapat terjadi, membuat pemikiran irasional dan menjadikan sesuatu jauh lebih buruk dari
kenyataan.
Batasi Konsumsi Berita
Baru-baru ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempublikasikan informasi mengenai
bagaimana cara menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19. Salah satunya
adalah dengan membatasi diri dari pemberitaan mengenai COVID-19. Dengan kata lain,
batasi kegiatan mencari informasi mengenai pandemi.
Sungguh, tidak perlu melihat perkembangan kasus positif, tingkat kematian, sekalipun
angka kesembuhan setiap jam. Cukup lakukan satu kali sehari, dengan memilih sumber
informasi yang terpercaya. Saring informasi yang kita terima, kumpulkan informasi yang
diperlukan untuk tindakan pencegahan dan perlindungan diri.
Jaga Komunikasi
Berhari-hari melakukan aktivitas di rumah tanpa bertemu rekan kuliah dapat memicu
kejenuhan dan kebosanan. Dalam artikel yang dimuat kompas.id pengurus Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Lahargo Kembaren menjelaskan,
mengomunikasikan apa yang kita rasakan merupakan bentuk ventilasi psikologi.
Lebih-lebih, pembatasan kegiatan sosial bukan berarti melakukan isolasi diri secara
sosial. Ada banyak cara aman untuk tetap terhubung dengan orang lain tanpa tatap muka
dan mengurangi risiko terpapar COVID-19. Jangan menunggu orang lain untuk
menghubungi kita, mulailah menghubungi mereka telebih dahulu. Ini adalah waktu yang
tepat untuk memulai komunikasi yang berkualitas dengan keluarga, teman, dan sanak
saudara.
Syukuri yang Dimiliki
Daripada fokus dengan segala keterbatasan saat ini, mari mensyukuri hal kecil yang kita
miliki. Bersyukurlah karena masih memiliki keluarga di sisi kita, masih dalam keadaan
sehat, memiliki persediaan makanan yang cukup, dan mempunyai tempat berlindung di
rumah.
Tarik napas, dan coba lihatlah senja yang indah di ufuk barat. Warnanya begitu jelas
tanpa terhalang oleh awan dan pekatnya polusi. Coba dengarkan kicauan burung yang
memecah keheningan di pagi hari, dan suara binatang malam yang menemani kesunyian.
Nikmati semua yang pernah kita lewatkan saat tugas kuliah memaksa kita tenggelam
dalam kesibukan.
Semua ini memang berat, namun kita tidak sendiri. Berdiam di rumah merupakan cara
terbaik untuk menghentikan penyebaran penyakit, namun kesehatan mental kita juga
perlu dirawat. Jangan sampai rasa cemas yang berlebihan menghambat kegiatan produktif
sehingga kita melewatkan waktu luang yang ada.
Meskipun segalanya tidak terlihat baik saat ini, teruslah berharap agar kita bisa keluar
dengan bebas suatu saat nanti. Kita akan dapat bertemu dengan teman-teman tanpa takut
akan ancaman kesehatan. Kita bisa bebas berpergian ke tempat yang kita rindukan. Kita
bisa kembali ke kehidupan normal, dan menghargai setiap hal dan momen kecil yang kita
rindukan di masa sulit ini.

Kesehatan memang sangat mahal. Banyak orang dikatakan sehat beranggapan bahwa
sehat itu dapat dilihat secara fisik, padahal sehat secara mental perlu diperhatikan.
Memang sehat secara fisik bisa terlihat secara jelas dibandingkan sehat secara mental,
namun pada kenyataannya dewasa ini banyak sekali orang yang mengalami gangguan
kesehatan mental.

Gangguan kesehatan mental ini dapat berupa stres, depresi, halusinasi atau lainnya yang
dapat mengubah kondisi perasaan seseorang secara signifikan.
Berubahnya kondisi perasaan seseorang secara signifikan ini apabila tidak diperhatikan
akan berdampak pada diri seseorang yang memiliki gangguan tersebut.
Dampak yang biasa terjadi dapat berupa mood swing atau memiliki perasaan yang
berubah-ubah, emosi tak terkendali, delusi, halusinasi, depresi, hilangnya kesadaran,
hingga bunuh diri.
Seseorang yang memiliki gangguan terhadap kesehatan mental hendaknya perlu
perhatian khusus dan mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Apabila tidak,
orang yang yang mengalami gangguan tersebut akan merasa sendiri tidak ada dukungan
orang sekitar, bakal bersikap sesuai dengan keinginannya, bisa saja hingga mengonsumsi
obat obatan terlarang.
Benar apa tidak orang yang memiliki gangguan mental akan mempengaruhi kualitas
dirinya? Ya benar, orang yang memiliki gangguan mental kualitas dalam dirinya akan
ikut berubah.
Mulai dari kebiasaan yang tak terencana karena perasaan yang berubah-ubah, menarik
diri dari masyarakat atau menyendiri di mana lingkungan sekitarnya akan merasa berbeda
dan menjauhinya.
Gangguan kesehatan mental memang biasanya menyerang sejak usia remaja, usia
seseorang mulai mengenal lingkungan secara luas, menjalin hubungan pertemanan yang
dapat mengacu pada adaptasi seseorang.
Cukup banyak juga gangguan kesehatan mental menyerang orang dewasa dengan latar
belakang yang berbeda-beda.

Apa itu Kesehatan Mental?


Secara umum, kesehatan mental mengacu pada kesejahteraan seseorang pada tingkat
emosional, sosial dan psikologis. Kondisi kesehatan mental seseorang sangat
mempengaruhi cara mereka bertindak, memproses emosi dan membuat keputusan.
Seseorang yang memiliki kesehatan mental yang baik dapat menjaga hubungan yang
sehat, mengekspresikan berbagai emosi dan mengelola permasalahan.
Sebagian besar dari kita tidak menyadari bahwa kesehatan mental kita mungkin saja
sedang terganggu. Pasalnya, seseorang yang memiliki ketahanan mental yang baik
maupun kurang baik keduanya bisa saja akan terlihat “baik-naik saja”.
Nah, berikut ini bisa menjadi tanda seseorang sedang mengalami kesehatan mental yang
terganggu.
 Perubahan pola tidur dan makan
 Menarik diri dari teman, keluarga dan kegiatan
 Kehilangan energi
 Mudah terganggu dan perubahan suasana hati
 Kehilangan kinerja di sekolah atau di tempat kerja
Perbedaan antara kesehatan fisik dan mental memang tak bisa digambarkan dengan jelas.
Selama bertahun-tahun, para peneliti telah mengajukan pertanyaan yang rumit –
“Bagaimana kesehatan mental dan fisik berinteraksi?” Jawabannya bisa sangat rumit.
Tetapi kita tahu pasti, bahwa penyakit mental berdampak pada kesehatan fisik secara
langsung dan tidak langsung. Berikut ini beberapa cara konkrit tubuh dan pikiran kita
saling mempengaruhi.
1. Depresi dan Sistem Kekebalan Tubuh
Depresi, gangguan mental paling umum, tidak hanya mempengaruhi suasana hati dan
motivasi. Secara langsung dapat mempengaruhi sistem kekebalan dengan menekan
respons sel tubuh terhadap virus dan bakteri, tubuh lebih mudah sakit dan sakit lebih
lama.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mungkin yang terjadi sebaliknya, dan sistem
kekebalan tubuh sebenarnya dapat menyebabkan depresi. Stres – terutama tipe kronis –
memicu respons kekebalan di dalam otak itu sendiri. Respon inflamasi itu mungkin
menjadi penyebab depresi.
Sebuah studi terbaru tentang peradangan dan depresi kekebalan tubuh melibatkan
manipulasi reseptor imun pada tikus. Para peneliti mengekspos tikus pada stres berulang
dan mengamati bahwa stres menyebabkan otak tikus melepaskan sitokin. Sitokin adalah
sejenis protein yang berhubungan dengan peradangan, dan pelepasannya menyebabkan
kerusakan pada korteks prefrontal medial, bagian dari otak yang memainkan peran
penting dalam depresi. Dengan kata lain, para peneliti dapat memicu gejala depresi
sebagai akibat dari respon sistem kekebalan tubuh terhadap stres.
Sistem kekebalan yang kuat adalah ciri khas kesehatan fisik, tetapi penambahan stres
meningkatkan kemungkinan depresi. Pada gilirannya, depresi lebih lanjut dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh, ini menjadi siklus.
Kasus ini menggambarkan fakta bahwa banyak masalah kesehatan memiliki unsur fisik
dan mental.
1. Penyakit Mental dan Kelelahan
Depresi, kegelisahan, dan gangguan suasana hati lainnya sering kali mengakibatkan
perasaan lelah dan kelelahan yang persisten. Sebuah penelitian dari Universitas Bangor di
Wales, Inggris, meminta peserta mengendarai sepeda statis sampai mereka mencapai titik
kelelahan. Mereka mendefinisikan kelelahan sebagai ketidakmampuan untuk
mengimbangi kecepatan 60 putaran per menit selama lima detik atau lebih.
Peserta melakukan tes dalam dua situasi yang berbeda. Dalam satu situasi, mereka
mengendarai sepeda seperti biasa. Pada pengaturan kedua, peserta pertama-tama terlibat
dalam tugas 90 menit dengan elemen menggambar di memori, reaksi cepat dan
menghambat respons impulsif terhadap rangsangan.
Setelah peserta terlibat dalam tantangan mental, mereka melaporkan merasa lelah dan
sedikit lesu. Yang paling penting, para peserta mencapai titik kelelahan 15 persen lebih
awal.
Penyakit mental berhubungan erat dengan kelelahan, dan kelelahan yang terus menerus
dapat dengan mudah menyebabkan penurunan kesehatan fisik. Ketika seseorang secara
kronis tertekan atau cemas, mereka cenderung tidak olahraga dan berhenti lebih awal
ketika mereka melakukannya. Kelelahan karena penyakit mental juga dapat mengganggu
kebiasaan bersih,yang berimbas meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
1. Kemarahan, Kecemasan dan Kesehatan Jantung
Ledakan kemarahan dan stres serta kecemasan berlebih , buruk bagi jantung. Sebuah
penelitian di Australia bertujuan untuk melihat apakah emosi akut dapat menyebabkan
serangan jantung seperti yang Anda lihat di film-film? Dan sayangnya, hasilnya benar.
Thomas Buckley, penulis utama studi ini, mengatakan, “Temuan kami mengkonfirmasi
apa yang telah diungkap dalam penelitian sebelumnya … bahwa kemarahan yang intens
dapat bertindak sebagai pemicu serangan jantung.”
Dalam kasus kecemasan, risiko serangan jantung meningkat 9,5 kali lipat dalam dua jam
berikutnya. Para remaja umumnya tidak perlu terlalu khawatir tentang serangan
jantung,namun kemarahan dan kecemasan yang terlibat dalam gangguan kontrol impuls
dapat secara negatif mempengaruhi pertumbuhan jantung mereka.
Nah, kesehatan mental dan kesehatan fisik memang sangat erat hubungannya. Maka
penting bagi kita untuk terus menjaga keduanya, yaitu kesehatan mental dan kesehatan
fisik setiap hari.

Banyak yang belum menyadari cara mengatasi pandemi covid-19 tidak melulu soal
menjaga kesehatan badan. Padahal sangat penting bagi kita untuk memelihara kesehatan
mental demi bisa bertahan di situasi serba tidak pasti ini.

Aturan bekerja dari rumah dan membatasi aktivitas di luar rumah tentu lama kelamaan
akan menimbulkan dampak minor. Mulai dari rasa bosan, jenuh, hingga mengakibatkan
stres. Belum lagi kalau ekonomi ikut terdampak dengan adanya kebijakan #dirumahaja.
Hal itu menarik perhatian Character Development Specialist di DBL Academy, Bagus
Putra Wahyu Santoso untuk memberikan tips and trick untuk menciptakan pikiran yang
positif di tengah pandemi.
Pertama, seseorang dianjurkan untuk selalu berpikir positif. Selain itu, sesama anggota
keluarga juga harus bisa saling menguatkan. Meski berat tetap harus bisa mengambil sisi-
sisi baik dari pandemi ini. "Yakinlah bahwa kita semua bisa melewati masa ini dengan
baik," tutur coach Bagus.
Selanjutnya ialah melakukan hal-hal baru yang bisa meningkatkan keterampilan diri
sendiri. Seperti memasak, ikut kursus online, bahkan menjadi content creator. Tak hanya
menjadikan diri lebih produktif, tetapi kegiatan itu juga bisa mengasah skill lain yang ada
dalam diri kita.

Selain itu, jangan lupa meluangkan waktu untuk berolahraga. Tak hanya membuat tubuh
lebih sehat, berolahraga juga bisa menjadikan pikiran lebih fresh dan rileks.
"Jangan lupa stay connected. Pastikan Anda masih menjalin hubungan dengan sahabat
atau rekan kerja secara virtual. Komunikasi dengan orang lain akan membuat Anda tidak
kesepian secara sosial,” ungkap coach Bagus.
Interaksi dengan orang lain juga bisa membuat kita lebih semangat. Bonusnya jika dari
situ bisa mendatangkan ide-ide kreatif.
Akan tetapi, pola hidup sehat juga tetap harus diterapkan. Mengonsumsi makanan bergizi
dan tidur yang cukup mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
"Dengan tidur yang cukup akan membantu pikiran lebih fresh dan mengurangi rasa
cemas yang berlebihan," jelas coach Bagus.(*)

Anda mungkin juga menyukai