Anda di halaman 1dari 12

RANGKUMAN MATERI

UJI PRAKLINIK DAN KLINIK TANAMAN OBAT

OLEH:
SRI AMELIANI KAMANGA
NIM: 22018010
TRANSFER A 2022

DOSEN PENGAMPUH:
Dr. Apt. MAULITA INDRISARI, M.Si

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMARISAH MADANI
MAKASSAR
2023
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT HERBAL IN VITRO
Uji disolusi,kultur sel l dan kultur bakteri
A. Proses ekstraksi tanaman secara umum
1. Pengumpulan tanaman
2. Identifikasi tanaman
3. Mencuci dan mengeringkan
4. Perendaman
5. Proses ekstraksi
6. Ekstrak dalam bentuk massa pasta
B. Metode ekstraksi
1. Maserasi
2. Reflux
3. Sokhlet
4. Perkolasi
C. Pelarut
1. Polar: air dan alkohol (ethanol, methanol)
2. Semi polar: aceton, etil asetat
3. Non polar: hexane dan kloroform
D. Pelarut untuk uji in vitro :
1. DMSO, DMSO digunakan karena:
a. Stabil
b. Relatif non toksik
c. Meningkatkan permeabilitas sel
d. terhadap obat/ekstrak
e. Melarutkan polar dan nonpolar
2. DMF (Dimethylformamide), digunakan karena:
a. Kyurang llebih sama dengan DMSO
b. Lebih toksik dari DMSO
E. Alat penghilang pelarut: rotary evaporasi, freeze drying atau lyophilization
Ada beberapa Tipe-tipe Ros yaitu:
1. Bebas radical
2. Non radikal
Uji Viabilitas
Uji viabilitas ini Untuk Melihat Metabolisme Sel Untuk Melihat Sel Dalam
Keadaan Sehat Atau Tidak. Adapun metode ujinya yaitu :
1. MTT ASSAY
2. WST-8 ASSAY
3. LDH ASSAY
4. MTS ASSAY
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji herbal pada kultur sel
1. Pelarut Pembawa (DMSO, DMF, Air, dll.)
2. Pemilihan Konsentrasi
3. Pre-TreatmentatauPost-Treatment
4. WaktuSeluruhPerlakuan
Pemilihan konsentrasi
1. Mulai dari konsentrasi rendah 0.1 μg/ml , 1 μg/ml , 10 μg/ml
2. Semakin Non Polar Pelarut Ekstrak, Semakin kecil konsentrasi awal
3. Maksimal konsentrasi 500 μg/ml
4. Penyiapan stok konsentrasi
UJI ANTIDIABETES IN VITRO
Terdapat 3 uji antidiabetes in vitro yaitu:
1. Glycation inhibition
2. α-Amylase Inhibition
3. α-Glucosidase Inhibition
Adapun tipe-tipe sel untuk uji antidiabetes yaitu:
1. Pancreatic Islets of Langerhans Cell
2. Intestinal neuroendocrine cell
3. Muscle Cell
4. Kidney Proximal Tubular Cell
Uji in vitro pada umumnya sama meski banyak jenis kanker
1. Viabilitas
2. Kematian sel
3. Migrasi
Ciri-ciri apoptosis
1. DNA terfragmentasi
2. Sel mengkerut atau pecah
3. Gelembung pada membrane (blebbing)
4. Kerusakan mitochondria
5. Aktivasi kaspas (caspase)
Kaspas adalah enzim protease sistein (cysteine) yang memotong asam aspartate
pada rantai asam amino yang membentuk protein.. untuk melihat aktivitas caspase
yaitu dengan Kit Based Assay, Western Blot, dan immunofluroscence
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT HERBAL IN VIVO
Uji in vivo adalah uji menggunakan makhluk hidup sebagai alat untuk uji coba.
Adapun yang harus di perhatikan pada ujiherbal untuk hewan model yaitu:
1. Jalur pemberian herbal: intragastric, melalui minuman, topikal
2. Jumlah hewan: analisa statistik menggunakan g-power software, Resource
equation (rumus federer)
3. Jenis hewan: Rodent/hewan pengerat (mencit, tikus, hamster, marmut),
kelinci.
Pemodelan pada riset kanker dengan penginduksi bahan kimia, dengan metode
pemberian oral, ip, sc, im, dan pada minuman.
Bahan Kimia:
1. Benzo(a)pyrene
2. 4-Nitroquinoline oxide (4-NQO)
3. METHYL NITROSOUREA (MNU)
4. DIEthylnitrosamine (DEN)
Adapun penginduksi sel kanker yang digunakan yaitu :
1. Xenograft: transplan antar spesies
2. Allograft: Spesies yang sama
Adapun hal-hal yan diamati pada riset kanker yaitu: volume tumor, berat tumor,
berat badan, metastasis, persentase harapan hidup.
Cara menginduksi diabetes tipe 2:
1. Injeksi Streptozotocin (STZ) dosis rendah (25-40 mg/kg) setiap hari selama
5 hari bisa dikombinasi dengan diet tinggi karbohidrat dan tinggi lemak
2. Diet tinggi karbohidrat tinggi lemak
3. Tanpa lemak bisa dengan mencit dengan kondisi gen tertentu, missal ob/ob,
db/db
OB/OB= MUTASI PADA GEN LEPTIN, DB/DB = MUTASI PADA GEN
RESEPTOR LEPTIN
Yang diamati pada riset diabetes:
1. Kadar gula darah puasa
2. Uji kadar glukosa darah setelah pemberian bolus glukosa
3. Asupan makanan
4. Asupan minuman
5. Volume urin
6. Kadar insulin
7. Histologi organ
Pemodelan pada riset penuaan:
1. Harapan hidup (lifespan): Caenorhabditis elegans, MENCIT
2. Fungsi-fungsi fisiologi, kemampuan menggenggam, perilaku, daya ingat,
eksplorasi/pergerakan (locomotor): mencit, tikus
3. Kulit, keriput: mencit, tikus
Yang diamati pada model arthritis;
1. Keparahan arthritis secara makroskopik
2. Kadar mediator inflamasi serum. Contohnya TNFα, IL6, IL1β
3. Histologi
Yang diamati pada model pembengkakan kaki:
1. Pengukuran pembengkakan (volume)
2. Ekstravasasi vascular
3. Histologi
UJI TOKSISITAS 1
Uji toksisitas penting dilakukan karena menjamin keamanan, mengukur
potensi resiko efek yang ttidak diinginkan, diharuskan oleh peraturan, dan
mengetahui efek maupun mekanisme toksisitas itu sendiri.
Uji toksisitas berdasarkan peraturan BPOM:
1. Uji toksisitas akut oral
Adapun prinsip dari uji toksisitas akut oral itu sendiri adalah:
1. Pemberian obat/sediaan secara oral dalam beberapa tingkatan dosis ke
hewan uji
2. Kematian hewan uji sebagai parameter akhir Hewan mati dan hidup
diautopsi, dievaluasi gejala toksisitas dan diamati secara makropatologi
pada setiap organ
Adapu tujuannya :
1. Mengidentifikasi bahan toksik dan memperoleh informasi bahaya
terhadap manusia
2. Menetapkan LD50
2. Uji toksisitas subkronis oral
Terdapat 2 jenis yaitu:
1. Uji subkronis singkat (subakut) (14-28 hari), dimana uji secara klinis
sekali pakai 28 hari, obat tradisional (14 hari), dan pemberian berulang
(kurang dari 3 hari untuk obat tradisional atau kurang dari 7 hari untuk
obat biasa)
2. Uji subkronis (90 hari), penggunaannya berulang dalam waktu 1-4
minggu.
Tujuannya untuk mengamati reaksi yan tertunda, mengamati proses
penyembuhan Kembali, dan melanjutkan pengamatan (7 hari untuk singkat
14 hari, 14 hari untuk singkat 28 hari, 28 hari untuk subkronis 90 hari).
3. Uji toksisitas kronis oral
Pada prinsipnya sama dengan subkronis tapi waktu pemberiannya berbeda
yaitu:
1. Lebih dari 9 bulan untuk obat tradisional (OT)
2. 12 bulan untuk senyawa murni atau obat tradisional yang belum
diketahui profil keamanannya
3. Pengunaanya berulang lebih dari >4 minggu
4. Batas uji 1000 mg/kg
5. Pemberian setiap hari selama 7 hari untuk durasi tidak kurang dari 9 atau
12 bulan
Adapun tujuan dari uji toksisitas oral kronis yaitu:
1. Efek toksik yang tidak terdeteksi pada uji toksisistas subkronis
2. Karakterisasi dari suatu sediaan uji yang dipaparkan dalam waktu lama
dan berulang
3. Untuk menentukan titik dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
Jumlah hewan pada uji subkronis dan kronis:
1. Minimal 10 perkelompok perlakuan
2. Kelompok control
a. Subkronis singkat 14,28 hari (minimal 10, 5 jantan dan 5 betina)
b. Sub kronis 90 hari (minimal 20, 10 jantan dan 10 betina
c. Kronis (minmal 40, 20 jantan dan 20 betina)
4. Uji teratogenisitas
5. Uji sensitisasi kulit
6. Uji iritasi mata
7. Uji iritasi/korosi akut dermal
8. Uji iritasi mukosa vagina
9. Uji toksisitas akut dermal
10. Uji toksisitas subkronis dermal
11. Uji karsinogenisitas
UJI TOKSISITAS 2
Uji toksisitas khusus
1. Uji teratogenisitas
Uji ini untuk melihat apakah ada efek toksik dan abnormalitas
terutama organ selama perkembangan fetus. Adapun prinsip dari uji ini
yaitu: sediaan diberikan pada hewan bunting minimal dari implantasi hingga
sehari sebelum dikorbankan yang mendekati hari normal persalinan dan
dilihat makroskopis (morfologi, jaringan lunak, dan nskeletal fetus) dan
mikroskopis (organ dalam).
Hewan uji:
a. Hewan harus satu galur
b. Perkawinan juga harus satu galur
c. Jemlah hewan perkelompok perlakuan adalah 20, yang bunting tidak
boleh kurang dari 16 ekor
d. Kematian induk tidak lebih dari 10%
Prosedur perkawinan:
a. Dikawinkan pada masa proestrus
b. Dua ekor Jantan dan 3 ekor betina dalam 1 kandang
c. Setelah dipastikan kawin (apusan vagina), hewan betina dipisahkan
ke kendang individual.
Pemberian sediaan uji:
a. Diberikan umumnya secara oral atau topikal.
b. Diberikan pada waktu yang sama untuk semua kelompok
c. Minimal 3 tingkat dosis
d. Pemberian diberikan setiap hari selama masa organogenesis (hari
ke-6-15 untuk tikus dan mencit), (hari ke-6-18 untuk kelinci)
e. Dosis uji batas adalah 1000 mg/kg
Hormon tyroid pada kehamilan:
a. Perkembangan otak dan system saraf
b. Perkembangan organ
2. Uji sensitisasi kulit
Uji ini untuk melihat apakah sediaan atau zat dapat menyebabkan
sensitifitas kulit. Prinsip dari uji ini sendiri ada 3 yaitu :
1. Diuji dengan freund’s complete adjuvant (FCA) atau tanpa metode
adjuvant (Buehler test)
2. Sediaan diberikan menggunakan injeksi intradermal atau topical, lalu uji
tantang
3. Tingkat reaksi kulit dengan skala Magnusson dan kligman.
Uji dengan adjuvant dikenal juga dengan guinea pig maximization
test/GPMT
Adapun beberapa jenis hewan uji :
1. Betina belum pernah beranak dan tidak bunting
2. Jumlah hewan lebih dari 10 ekor kelompok perlakuan lebih dari 5 untuk
control (metode dengan adjuvant)
3. Jumlah hewan ebih dari 20 untuk kelompok perlakuan lebih dari 10
untuk control(metode Buehler test)
Pemberian sediaan uji (uji utama)
1. Metode GMPT
a) Fase induksi intradermal (hari ke-0)
✓ A/D: FCA/air (1:1)
✓ B/E: sediaan uji
✓ C/F: Bahan uji+FCA
b) Fase induksi topical (hari ke-7)
✓ Sediaan uji diaplikasikan ke B/E, dibalut perban, dan
dibuka setelah 48 jam
c) Uji tantang (hari ke-21)
✓ Diaplikasikan ke area C/F, dibalut perban, dan dibuka
setelah 24 jam. Pengamatan dilakukan pada 24 dan 48
jam setelah perban dilepas
2. Metode Buehler
a) Fase induksi topical (hari ke-0,-7, dan -14)
Sedian ditempel di atas kulit, diperban, 6 jam kemudian dibuka,
diamati. Hal yang sama dilakukan pada hari ke-7 dan ke-14.
b) Uji tantang (14 hari setelah induksi topical terakhir)
a) Tidak boleh pada area induksi topikal.
b) Sediaan uji ditempel, 6 am kemudian dibuka.
c) 24 & 48 jam setelah perban dibuka, kulit diamati
3. Uji iritasi mata
Uji ini untuk melihat apakah sediaan atau zat terpapar kemata dapat
menyebabkan efek toksik Adapun prinsip dari uji ini yaitu :
a. Dosisi Tunggal pada salah satu mata dibeberapa hewan uji yang
diberikan analgesis sistemik dan local
b. Iritasi dan korosi dilihat pada kongjungtiva, kornea, dan iris dengan
interval waktu tertentu
c. Tidak perlu dilakukan jika sediaan diprediksi bersifat iritan atau
korosif. (missal asam peha<2, atau basa ph>11,5, pada uji kulit
terbukti iritan, studi sebelumnya)
4. Uji iritasi/korosi akut dermal
Uji ini untuk melihat apakah sediaan atau zat dapat menyebabkan efek iritasi
atau korosi jika terpapar pada kulit. Adapun prinsip dari pengujian ini yaitu:
a. Dosis Tunggal pada kelinci albino
b. Tidak boleh diuji apabila sudah diketahui mempunyai Ph ekstrim
(<2 atau >11,5)
c. Derajat iritasi dinilai pada waktu interval jam lke-1,24,48, dan 72
d. Diamati sampai 14 hari
5. Uji iritasi mukosa vagina
Uji ini utuk melihat efek toksik dari sediaan uji yang kontak dengan mukosa
vagina. Adapun prinsip dari uji ini yaitu:
a. Sediaan ekstrak yang dilarutkan dalam NaCl fisiologis atau minyak
zaitun
b. Dipaparkan tidak kurang dari 5 kali dengan selang waktu24 jam
c. Jaringan mukosa vagina diamati dilihat apakah ada eritema, eksudat,
udema
d. Hewan dikorbankan untuk diambil jaringan mukosa vaginanya dan
dievaluasi secara histopatologi
e. Tidak perlu dilakukan bila sediaan bersifat korosif atau iritan, studi
sebelumnya yang menunjukkan sediaan bersifat iritan terhadap
mukosa
Hewan uji yang digunkan kelinci albino, dan tidak kurang dari 6 ekor (3
kontrol, dan 3 perlakuan)
6. Uji toksisitas akut dermal
Pada uji ini memiliki prinsip yang sama seperti akut oral, tapi rutenya
dermal.
a. Satu jenis kelamin, jika hewan betina belum pernah beranak/tidak
sedang bunting
b. Dosis awal dipilih berdasarkan hasil uji rentang dosis.
c. Dosis terus ditingkatkan/diturunkan sampai ditemukan toksisitas
yang nyata atau tidak ada lebih dari 1 hewan yang mati
7. Uji toksisitas subkronis dermal
Uji ini untuk melihat apakah ada efek toksik dengan dosis berulang yang
diberikan melalui rute dermal. Adapun prinsip dari uji ini yaitu :
a. Sediaan diberikan dalam beberapa tingkat dosis secara topical setiap
hari
b. Diamati setiap hari dan dilihat apakah ada toksisitas
c. Organ dan jaringan diamati
d. Dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia, dan histopatologi
Tujuan dari uji ini sendiri yaitu:
a. Efek toksik yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut dermal
b. Efek toksis setelah paparan berulang melalui kulit
c. Dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
d. Mengetahui efek kumulatif dan efek reversibilitas suatu sediaan
setelah paparan berulang melalui kulit
Jenis uji toksisitas subkronis dermal
1. Uji toksisitas subkronis singkat dermal 28 hari. Uji ini dilakukan dengan
menguji sediaan yang secara klinis dipakai sekali atau berulang dalam
waktu kurang dari 1 minggu.
2. Ujitoksisitas subkronis dermal 90 hari. Uji ini dilakukan dengan menguji
sediaan yang secara klinis dipakai berulang dalam waktu 1-4 minggu.
8. Uji karsinogenisitas
Uji ini dilakukan untuk mendeteksi apakah sediaan uji besifat
karsiogenik setelah pemberian dosis berulang sesuai dengan rute yang
diinginkan selama Sebagian besar rentang hidup hewan. Adapun tujuan dari
uji ini yaitu:
a. Informasi sifat karsinogenik dan organ target
b. Karakterisasi hubungan dosis-respon tumor
c. Nilai awal penentuan Benchmark Dose (BMD), dosis terendah yang
menimbulkan efek toksik ringan
d. Ekstrapolasi/konversi efek karsinogenik ke tingkat paparan manusia
dosis rendah
e. Data awal untuk mekanisme timbulnya karsinogenik
Pengamatan uji karsiogenisitas:
1. Dipeliharan secara individual atau kelompok dengan jenis kelamin sama
2. Sediaan diberikan setiap hari pada waktu yang sama.
3. Durasi adalah 24 bulan untuk tikus, 18 bulan untuk mencit
4. Uji dihentikan apabila hewan yang hidup kurang dari 25%
KONVERSI DOSIS OBAT HEWAN DAN MANUSIA
Konversi dosis perlu dilakukan karena untuk menentukan dosis first in
human (FIH), fungsi dan system tubuh serta biokimia antar spesies berbeda
sehingga ada perbedaan farmakokinetik, penggunaan mg/kg tidak tepat karena ada
perbedaan individu, metabolisme, dan farmakikinetiknya, dan untuk studi
menunjuukkan penggunaan luas permukaan tubuh lebih tepat dan meningkatkan
keamanan dalam uji klinis.
Penentuan maksimum recommended starting dose (MRSD):
1. NOAEL
2. MABEL
3. Perbandingan obat yang sama
4. Pendekatan farmakokinetika
5. Pendekatan model farmakokinetika/farmakodinamika

Anda mungkin juga menyukai