Anda di halaman 1dari 26

PENGEMBANGAN E- MODUL BERORIENTASI ETNOSAINS

GARAM LOKAL PADA MATERI HIDROLISIS GARAM

Disusun Oleh :

1. Putra Gelly Siringoringo 2210810067 Universitas HKBP


Nommensen
2. Reka Novintan Barus 2210810059 Universitas Terbuka
3. Winri Agnes Sihotang 2210810043 Universitas HKBP
Nommensen
4. Anief Libriyanti Ghofar 2210810226 Universitas Muhammadiyah
Surabaya
5. Donna S Sibarani 2210810055 Universitas HKBP
Nommensen
6. Stevy S Silaban 2210810290 Universitas Sumatera Utara

Dosen Pengampu :

Dr. I Nyoman Suardana, M.Si.

UNIVERSITAS PENDIDIKAN UNDIKSHA


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya
sehingga penulis masih diberikan kesempatan dan Kesehatan untuk dapat menyelesaikan
Penelitian yang berjudul “PENGEMBANGAN E- MODUL BERORIENTASI
ETNOSAINS GARAM LOKAL PADA MATERI HIDROLISIS GARAM” Penelitian
ini dibuat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Etnosains semoga
Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca. Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak selaku dosen pengampu mata
kuliah Dr. I Nyoman Suardana, M.Si. Pengantar Pendidikan. Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan Penelitian ini. Penulis menyadari Penelitian ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan
semoga materi yang ada dalam Penelitian ini dapat bermamfaat sebagaimana mestinya
bagi para pembaca.

Buleleng, 30 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………… 2

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………………. 17

BAB IV HASIL PEMBAHASAN……………………………………………… 18

BAB V PENUTUP………………………………………………………………. 20

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh belahan dunia berdampak


khususnya pada bidang pendidikan di Indonesia. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 4
Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran
Covid-19 poin ke-2 yang menyatakan bahwa proses belajar mengajar harus dilakukan
dari rumah atau disebut dengan pembelajaran daring. Pembelajaran daring biasanya
menggunakan jaringan internet dengan aksesibilitas, konektivitas, fleksibilitas dan
kemampuan memunculkan berbagai jenis interaksi pembelajaran dengan bantuan alat
komunikasi seperti handphone, laptop dan lainlain (Kemdikbud, 2020). Perubahan
metode pembelajaran tersebut menjadi tantangan bagi pendidik dalam memberikan
pemahaman materi khususnya materimateri yang dianggap sulit seperti kimia.
Pembelajaran kimia yang diajarkan cenderung hanya menghadirkan konsep dan rumus,
serta sedikit praktek sehingga siswa kurang mampu menggunakan konsep yang telah
diajarkan jika menemui masalah dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, pembelajaran
kimia menjadi kehilangan daya tariknya dan lepas relevansinya dengan dunia nyata yang
seharusnya menjadi obyek ilmu pengetahuan tersebut (Sudarmin, 2014). Berdasarkan
kurikulum darurat pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus yang tetap mengacu
pada kurikulum nasional, didalamnya dikembangkan menjadi integrative science studies
sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir,
kemampuan belajar, rasa ingin tahu dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung
jawab terhadap lingkungan. Proses pembelajaranannya menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Isi dalam Kurikulum tersebut selaras dengan
landasan filosofisnya yang menyatakan bahwa kurikulum berakar pada budaya dan
bangsa Indonesia. Kurikulum memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dari
budaya setempat dan nasional tentang berbagai nilai yang penting dan

1
berpartisipasi serta mengembangkan nilai-nilai budaya setempat dan nasional menjadi
nilai budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Majid, 2014). Pembelajaran
kimia saat ini belum banyak menggunakan pendekatan Etnosains yang mengambil sudut
pandang kebudayaan. Mengacu pada hal tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan dalam
kurikulum pendidikan dengan muatan kurikulum yang memperhatikan budaya dan
kehidupan sehari-hari sehingga lebih kontekstual (Sudarmin, 2015). Salah satu cara
dalam menyajikan sumber belajar dengan merekonstruksi pengetahuan sains ilmiah yang
berorientasi budaya atau etnosains. Etnosains menjadi cara untuk mengungkapkan
bagaimana sains bekerja di masyarakat dengan integrasi Economic of Science (EOS)
dalam Natural Of Science (NOS) (Sibel Erduran, Ebru Kaya Alison, Cullinane Onur
Imren, 2018). Pendekatan etnosains dalam pembelajaran selain melestarikan potensi dan
budaya bangsa Indonesia, juga sebagai upaya peningkatan keilmuan literasi dan
kemampuan berpikir siswa serta menjadikan siswa berdaya saing dalam menghadapi era
globalisasi dan modernisasi. Selain itu, juga dapat melatih kesadaran dan karakter
kewirausahaan siswa sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran
lebih aplikatif dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Etnosains sebagai
jati diri bangsa, merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
kurikulum di Indonesia, khususnya dalam kurikulum kimia (Sudarmin, 2015).
Pembelajaran kimia berbasis Etnosains yang berakar dari budaya dapat dilakukan dengan
memanfaatkan potensi lokal daerah. Potensi lokal daerah yang sangat potensial untuk
dijadikan sumber belajar dalam pembelajaran kimia adalah garam lokal. Alasan yang
mendasari pemanfaatan garam lokal sangat cocok digunakan untuk sumber belajar karena
garam merupakan komoditi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Aspek budaya
yang dapat dipelajari adalah dari teknik produksi yang masih tradisional turun temurun
dari nenek moyang serta pemanfaatan garam itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan seharihari. Selain digunakan sebagai konsumsi masyarakat, garam juga
banyak dimanfaatkan dalam bidang industri sebagai bahan aditif, mulai dari industri
makanan dan minuman hingga industri kimia klor dan alkali. Namun demikian sektor
produksi garam di Indonesia secara nasional masih termarjinalkan karena daya saing
sumber daya manusia rendah, kapasitas produksi kecil dan dengan mutu garam yang tidak

2
seragam sehingga sampai saat ini garam produksi lokal hanya laku untuk garam konsumsi
sedangkan garam industri masih impor dari negara lain (Hadi, 2017). Oleh karena itu,
guna memperkenalkan budaya serta mengembangkan potensi lokal daerah, pembelajaran
kimia berbasis Etnosains ini sangat dibutuhkan khususnya bagi calon guru kimia yang
nantinya dapat menjadi bekal untuk diajarkan kepada siswa. Pengembangan kurikulum
kimia berbasis Etnosains harus mampu menghadirkan pembelajaran yang bermakna bagi
siswa. Berdasarkan hasil penelitian Muhammad Riza (2020), menemukan bahwa
penggunaan etnosains dalam pembelajaran kimia pada materi larutan asam dan
memperoleh respon positif dari peserta didik yang dapat dilihat dari ketercapaian hasil
belajar dan motivasinya (Riza, Firmansyah, Zammi, & Djuniadi, 2020). Penelitian serupa
mengenai pengembangan E-Modul interaktif yang bermanfaat bagi peserta didik
dilakukan oleh Raharjo (2017) yang menunjukkan bahwa E-Modul yang dikembangkan
sangat layak untuk dilanjutkan ke tahap yang lebih luas dan dapat membina ketrampilan
literasi (Raharjo, 2017). Pengembangan E-Modul yang berorientasi etnosains dapat
memanfaatkan berbagai kearifan dan potensi lokal yang ada, selaras dengan penelitian
yang dilakukan oleh utari (2020), menunjukkan bahwa modul kimia berbasis etnosains
dengan mengangkat kebiasaan petani garam dalam kategori layak dan praktis digunakan
dalam pembelajaran kimia (Utari, 2020). Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Hadi
(2017) mengenai kajian ilmiah proses produksi garam di Madura sebagai sumber belajar
kimia. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pembelajaran dengan
merekonstruksi sains asli masyarakat ke sains ilmiah sangat bermanfaat bagi peserta didik
(Hadi, 2017). Materi dalam pembelajaran kimia yang dapat dihubungkan dengan garam
lokal meliputi hidrolisis garam. Selain karena potensi garam lokal yang melimpah di
Indonesia, pemilihan materi hidrolisis garam disebabkan karena banyaknya miskonsepsi
terhadap mata pelajaran tersebut. Hal itu selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sri Haryani (2017) yang mana meneliti mengenai miskonsepsi pada materi hidrolisis
garam dan larutan penyangga dengan eksperimen berbasis masalah. Miskonsepsi terjadi
dinilai karena tidak adanya implementasi materi kimia dalam kehidupan sehari-hari
(Haryani, 2017). Materi kimia yang berorientasi etnosains ini akan dibuat dalam bentuk
E-Modul. E-modul (elektronik modul) menjadi bahan ajar yang dikemas secara utuh dan

3
sistematis, memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk
membantu siswa menguasai tujuan belajar yang spesifik. Modul menjadi sarana belajar
yang bersifat mandiri menyesuaikan kecepatan masing-masing peserta didik (Daryanto,
2013). Perbedaan penelitian yang sudah ada dengan penelitian yang akan dilaksanakan
oleh penulis mengenai pengembangan modul berbasis etnosains adalah dari segi materi,
jenis modul dan pemanfaatan potensi lokal melalui eksperimen sederhana. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Utari (2020) mengenai pengembangan modul kimia
berbasis etnosains yang dilakukan, substansi dalam modul hanya membahas mengenai
materi hidrolisis garam dengan mengangkat kebiasaan petani garam. Selain itu, modul
masih berbentuk paper dan susbstansi aktivitas etnosains hanya mengerjakan pertanyaan
pembuatan garam dari awal sampai akhir yang diarahkan ke materi hidrolisis garam.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis, pengembangan pada modul dibuat
dengan mengintegrasikan ke materi hidrolisis garam serta dilengkapi dengan eksperimen
sederhana. Jenis modul yang dikembangkan penulis berupa Elektronik Modul (EModul).
Penggunaan E-Modul sebagai media belajar merupakan salah satu pilihan yang tepat
dengan situasi pembelajaran yang dilakukan secara daring. Selain dapat dijadikan sarana
belajar secara mandiri juga dapat mengalihkan perhatian siswa dari membuka konten-
konten pada handphone yang kurang bermanfaat ke kontenkonten pembelajaran yang
lebih bermanfaat. E-Modul dapat memberikan pilihan pada guru untuk menjawab
tantangan kemajuan teknologi dan informasi suka maupun tak suka akan berdampak pada
dunia pendidikan dan pembelajaran. E-modul dapat digunakan pada berbagai peralatan
baik komputer, laptop maupun handphone (multiplatform), dan juga menghemat
penggunaan kertas (papperless). E-Modul dapat dibagikan dalam bentuk link website
sehingga peserta didik tidak harus menyimpan file E-Modul (dalam bentuk Word,pdf,
dll) yang dapat membebani penyimpanan internal Handphone (mulyasa, 2008). Oleh
karena itu, pengembangan E-modul pembelajaran kimia yang berorientasi etnosains di
masa pandemi Covid-19 ini menjadi alternatif media pembelajaran yang cocok diberikan
kepada siswa. Terlebih dengan konten yang memanfaatkan potensi lokal didalamnya
khususnya potensi lokal daerah yang mudah didapatkan. Sehingga, dengan adanya E-
modul ini dapat menjadi acuan dan panduan bagi siswa untuk tetap melakukan praktikum
kimia meskipun pembelajaran dilakukan mandiri di rumah.

4
1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang
dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1.2.1 Terjadi miskonsepsi pada mata pelajaran hidrolisis garam karena tidak adanya
materi kimia dalam kehidupan sehari-hari sehingga perlu adanya sumber belajar
yang mudah didapatkan dan diaplikasikan sendiri di rumah.
1.2.2 Pembelajaran belum banyak menggunakan pendekatan Etnosains yang
mengambil sudut pandang kebudayaan seperti kearifan dan potensi lokal daerah
berupa garam lokal sehingga harus ada buku pedoman untuk mempermudah
pembelajaran kimia berorientasi Etnosains.
1.2.3 Bahan ajar yang digunakan oleh guru masih berupa buku paket atau buku teks
yang belum memiliki muatan etnosains didalamnya sehingga untuk menunjang
pembelajaran daring guru harus memiliki buku pedoman berupa E-Modul yang
dapat diakses dengan menggunakan Handphone.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalahnya adalah:

1.3.1 Bagaimana substansi E-Modul pembelajaran kimia berorientasi etnosains dengan


memanfaatkan garam lokal sebagai sumber belajar pada materi hidrolisis garam?
1.3.2 Bagaimana kualitas E-Modul pembelajaran kimia berorientasi etnosains dengan
memanfaatkan garam lokal sebagai sumber belajar pada materi hidrolisis garam?

1.4 Tujuan Masalah

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini:

a. Menghasilkan E-Modul pembelajaran kimia berorientasi etnosains garam lokal


sebagai sumber belajar dengan substansi yang disesuaikan dengan karakteristik
etnosains pada materi hidrolsiis garam.
5
b. Mengetahui kualitas E-Modul pembelajaran kimia berorientasi etnosains garam lokal
sebagai sumber belajar pada materi hidrolisis garam.

1.5 Mamfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dan hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1.4.1 Bagi peserta didik

a. Peserta didik mampu mentransformasikan antara sains asli menjadi sains ilmiah.

b. Mampu meningkatkan motivasi peserta didik terhadap pelajaran kimia dengan


diterapkannya modul kimia berorientasi etnosains.

c. Meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap konsep-konsep yang diajarkan.

1.4.2 Bagi pendidik/calon pendidik

Memberi informasi dan wawasan baru dalam pembelajaran dan mendorong kreativitas
untuk mengembangkan sarana pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik
dalam pembelajaran kimia.

1.4.3 Bagi sekolah

a. Memberikan sumbangan kepada sekolah untuk perbaikan pembelajaran khususnya


bagi tempat penelitian dan sekolah lain pada umumnya.

b. Meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik yang lebih bermakna dalam
pembelajaran kimia.

1.4.4 Bagi peneliti

a. Peneliti mengetahui prosedur pengembangan modul berorientasi etnosains pada mata


pelajaran kimia.

b. Peneliti memperoleh pengalaman yang menjadikan peneliti lebih siap untuk menjadi
pendidik yang paham akan kebutuhan peserta didik.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

2.1.2 Pembelajaran Kimia

Kegiatan pembelajaran kimia dibutuhkan strategi, metode, teknik maupun model


pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran kimia dapat tercapai dengan optimal. Strategi
pembelajaran digunakan oleh guru untuk memilih kegiatan belajar yang akan digunakan
selama proses pembelajaran (Uno, 2007). Pembelajaran kimia dilakukan agar peserta
didik memperoleh pemahaman yang tahan lama perihal berbagai fakta, kemampuan
mengenal dan memecahkan masalah, mempunyai keterampilan dalam menggunakan
laboratorium, serta mempunyai sikap ilmiah dalam kehidupan sehari-hari (oemar
hamalik, 2013). Belajar kimia dikatakan berhasil jika tujuan pembelajaran kimia dapat
tercapai. Guru sangat berperan penting dalam proses pembelajaran tersebut. Sehingga
guru harus memiliki bekal yang lebih khususnya saat masih menjadi mahasiswa atau
calon guru kimia. Pembelajaran kimia yang menghadirkan banyak rumus dan konsep-
konsep yang sulit dipahami, dalam pembelajarannya harus memiliki strategi dan model
pembelajaran yang bermakna bagi siswa agar mudah dipahami dan mudah diingat (Uno,
2007). Oleh karena itu, sebagai calon guru kimia membutuhkan media pembelajaran yang
dapat menyalurkan infromasi terkait materi pembelajaran yang berorientasi Etnosains.

2.1.2 Etnosains

Indigenous Science merupakan bagian dari lingkungan tradisional dan pengetahuan


budaya yang unik untuk sekelompok orang yang berfungsi mempertahankan orang-orang
itu dari generasi ke generasi yang hidup dalam bioregion yang berbeda. Semua ini
didasarkan pada kumpulan pengetahuan lingkungan praktis yang dipelajari dan ditransfer
dari generasi ke generasi melalui suatu bentuk pendidikan lingkungan dan budaya yang
unik bagi mereka. Indigenous Science benar-benar ilmu pengetahuan pribumi dan dapat
juga disebut “Traditional Ecological Knowledge” karena sebagian dari pengetahuan ini
berfungsi untuk menopang komunitas pribumi dan memastikan kelangsungan hidup
mereka dalam konteks lingkungan dimana komunitas pribumi berada.

7
Dalam hal ini, nilai-nilai yang dipercayai oleh masyarakat adalah bagian dari
pengertian sains asli dimana sains asli dapat direkonstruksi menjadi sains ilmiah. Oleh
karena itu, Indigenous Science menjadi bagian dari etnosains. Etnosains merupakan
kegiatan mentransformasikan antara sains asli dengan sains ilmiah. Pengetahuan sains
asli terdiri atas seluruh pengetahuan yang menyinggung mengenai fakta masyarakat.
Pengetahuan tersebut berasal dari kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Ruang lingkup dari pengetahuan sains asli meliputi bidang sains, pertanian, ekologi, obat-
obatan dan tentang manfaat dari flora dan fauna (battiste, 2005). Pembelajaran
berpendekatan etnosains dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian
yang fundamental bagi pendidikan sebagai ekspresi dan komunikasi suatu gagasan dan
perkembangan pengetahuan. Apresiasi merupakan pemahaman dan penghargaan atas
suatu hasil seni atau budaya serta menimbang suatu nilai, merasakan bahwa benda itu
baik dan mengerti mengapa baik (Sukmadinata, 2010).

Menurut (sudarmin, 2014) bidang kajian penelitian etnosains dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Bidang kebudayaan yang didefinisikan sebagai the forms of things that people have in
mind, their models for perceiving, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model untuk
mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi. Penelitian etnosains ini
bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga
suatu kebudayaan.

b. Bidang lingkungan, baik itu secara fisik maupun sosial. Berdasarkan berbagai studi
etnosains yang telah dilakukan, berbagai hasil penelitian etnosains misalnya penelitian
tentang klasifikasi tumbuh-tumbuhan, klasifikasi berbagai jenis binatang, klasifikasi
jenis-jenis penyakit, klasifikasi warna dan sebagainya. Sebagai contohnya cara membuat
rumah yang baik menurut orang Asmat di Papua dan cara membuat perahu yang benar
menurut orang Bugis di Karimunjawa.

c. Bidang IPTEK sebagai a set of principles for creating dramas, for writing scripts, and
of course, for recuiting players and audiences atau seperangkat prinsip-prinsip yang
melandasi untuk menciptakan, membangun peristiwa, dan mengumpulkan individu atau
orang banyak. Hasil-hasil penelitian etnosains, tampaknya memang teoritis, meskipun
demikian tidak sedikit diantaranya yang kemudian sangat besar manfaat praktisnya.

8
Terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk memasukkan unsur teknologi dan
pengetahuan baru ke dalam suatu masyarakat dengan maksud untuk mengingatkan
teknologi, sosial, budaya, dan hasil aktivitas ekonomi masyarakat.

2.1.3 Pembelajaran Kimia Berorientasi Etnosains

Suatu pembelajaran kimia berorientasi etnosains merupakan strategi penciptaan


lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar sains kimia yang
mengintegrasikan budaya atau kearifan lokal sebagai bagian proses pembelajaran.
Penerapan etnosains dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan prinsip pendidikan
sains dalam konteks budaya lokal. Terdapat beberapa prinsip pendidikan sains dalam
konteks budaya lokal yaitu (Setiawan, Innatesari, & Sabtiawan, 2017):

1. Harus ada keterkaitan antara budaya dan sains yang dijadikan objek penelitian.

2. Pengetahuan sains asli masyarakat yang akan dipelajari merupakan sains yang
bermakna dan berguna dalam kehidupan sehari-hari.

3. Metodologi yang digunakan harus bisa menjadi penghubung dari pengetahuan


konvensional ke pengetahuan ilmiah.

2.1.4 E-Modul

E-Modul merupakan bentuk modul secara digitalize dan dikemas dengan lebih interaktif.
E-module disebut juga media untuk belajar mandiri karena di dalamnya telah dilengkapi
petunjuk untuk belajar sendiri. E-module dapat diisi materi dalam bentuk pdf, video serta
animasi yang mampu membuat user belajar secara aktif. E-Modul memiliki kelebihan
dalam hal pembelajaran yang dilakukan secara daring seperti saat pandemi ini
berlangsung. Adapun kelebihan-kelebihan EModul dibandingkan dengan Modul cetak
dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:

9
Tabel 2.1. Kelebihan E-Modul dibanding Modul Cetak

E-Modul Modul Cetak


1. Ditampilkan dengan 1. Tampilannya berupa kumpulan
menggunakan monitor atau layar kertas yang berisi informasi
komputer tercetak, dijilid dan diberi cover
2. Lebih praktis untuk dibawa 2. Kurang praktis untuk dibawa
kemanapun karena bentuknya karena bentuknya relatif besar dan
yang tidak besar dan tidak berat berat
3. Biaya produksi lebih murah. 3. Biaya produksin lebih mahal.
Untuk memperbanyak produk bisa Untuk memperbanyak dan
dilakukan dengan mengcopy file mendistribusikan diperlukan biaya
antar user. Pengiriman atau tambahan
distribusi bisa dilakukan dengan 4. Tidak tahan lama, karena modul
menggunakan e-mail berbahan kertas yang mudah lapuk
4. Tahan lama, tergantung dengan dan mudah sobek
medium yang digunakan 5. Tidak dapat dilengkapi dengan
5. Dapat dilengkapai dengan audio, audio dan video dalam penyajian,
animasi dan video dalam hanya terdapat ilustrasi dalam
penyajiannya bentuk gambar dan grafis atau
6. Pada setiap kegiatan belajar dapat dalam bentuk vektor
diberikan kata kunci atau 6. Tidak dapat diberikan password,
password yang berguna untuk peserta didik bebas mempelajari
mengunci kegiatan belajar. setiap kegiatan belajar.

2.1.5 Sumber Belajar

Pembelajaran sebagai suatu proses merupakan suatu sistem yang tidak terlepas
dari komponen-komponen lain yang saling berinteraksi di dalamnya. Salah satu
komponen dalam proses pembelajaran tersebut adalah sumber belajar. (Sadiman, 2003)
mendefinisikan sumber belajar sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
belajar, yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar. Sumber belajar

10
adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah
maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Dari beberapa pengertian
tersebut maka dapat disimpulkan sumber belajar adalah segala tempat, lingkungan, benda
dan orang yang mempunyai informasi yang dapat digunakan siswa untuk melakukan
proses belajar. Sumber belajar kimia berfungsi untuk mencapai tujuan pembelajaran,
memperluas serta melengkapi bahan pelajaran kimia, dan sebagai kerangka 15 mengajar
kimia yang sistematik. Oleh karena itu, sumber belajar kimia akan menjadi bermakna
bagi siswa maupun guru apabila sumber belajar kimia diorganisasikan melalui satu
rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber
belajar kimia. Jika tidak demikian maka, sumber belajar yang berupa laboratorium,
lingkungan alam sekitar, benda atau orang, tidak berarti sama sekali (Sadiman, 2003).

2.1.6 Garam Lokal

Garam lokal menjadi sumber daya yang melimpah di Indonesia. Produksi garam
lokal yang dilakukan oleh petani garam di Indonesia masih sangat tradisional turun
temurun dari nenek moyang. Teknik pembuatan garam yang dilakukan secara tradisional
menjadi sebuah budaya di masyarakat yang patut di lestarikan dan diturunkan kepada
generasi penerus bangsa. Oleh karena itu perlunya pendidikan dengan mengintegrasikan
budaya dan kearifan lokal setempat agar budaya tersebut tidak hilang ditelan zaman.

Secara ilmiah, Garam merupakan benda padatan berwarna putih berbentuk kristal
yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (lebih dari
8%) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat, Calcium
Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat atau karakteristik yang berarti mudah
menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 sampai dengan 0,9 dan titik
lebur pada tingkat suhu 801°C (Adiraga & Setiawan, 2014). Garam dibedakan menjadi
dua macam berdasarkan fungsinya, yakni garam konsumsi dan garam industri. Garam
konsumsi digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan industri makanan. Garam industri
digunakan untuk industri perminyakan, pembuatan soda dan chlor, penyamakan kulit, dan
obatobatan (KKP, 2021).

11
Garam dibuat dengan metode konvensional maupun metode kristalisasi bertingkat (model
pembaruan dari metode konvensional). Adapun metode konvensional dapat dimulai
dengan membagi lahan menjadi beberapa petakan yaitu petak tempat penyimpanan air
muda, petak peminihan dan petak kristalisasi.

Proses produksi garam yang disarankan adalah dengan metode kristalisasi bertingkat,
yakni model pembaruan dari metode konvensional. Proses ini sudah dilakukan oleh PT
Garam (Persero) yaitu :

1. Persiapan lahan meliputi perbaikan saluran dan tanggul-tanggul kolam, serta


penghalusan dasar kolam.
2. Pengaliran air laut kedalam kolam pengumpul/tandon untuk pengendapan
pertama kurang lebih 14-15 hari samapai konsentrasi air garam mencapai 10oBe.
3. Mengalirkan larutan air garam (brine) dialirkan ke kolam-kolam yang setelah
beberapa hari diendapkan dan mengalami peningkatan konsentrasi. Dengan
demikian dibuat empat seri kolam penguapan dengan target konsentrasi berbeda-
beda. Ketika konsentrasi air garam mencapai konsentrasi 24.5oBe larutan garam
dipindahkan ke kolam pemekatan sehingga mencapai konsentrasi 29.5oBe namun
tidak boleh lebih dari 30.5oBe sebab kualitas garam akan menurun pada
konsentrasi tersebut. Pemindahan brine dari satu kolam ke kolam lain melewati
pintu-pintu air. Pengukuran konsentrasi brine harus dilakukan dengan
menggunakan alat yang disebut baumeter. Proses penguapan air garam di lahan
peminihan umumnya berlangsung selama 70 hari.
4. Kolam kristalisasi telah dipersiapkan sebelum garam pekat dari kolam pemekatan
dipindahkan ke kolam kristalisasi.
5. Proses Pungutan Umur kristal garam 10 hari secara rutin, pengaisan garam
dilakukan hati-hati dengan ketebalan air meja cukup atau 3–5 cm. Proses
Pencucian Pencucian bertujuan untuk meningkatkan kandungan NaCl dan
mengurangi unsur Mg, Ca, dan kotoran lainnya. Air pencuci garam semakin
bersih dari kotoran akan menghasilkan garam cucian lebih baik atau bersih. Pada
proses ini biasanya berat garam akan susut sekitar 50% g. Setelah proses
pencucian lalu dikeringkan dan ditimbun di gudang untuk nantinya proses
produksi garam konsumsi atau industri (Adiraga & Setiawan, 2014).
12
2.2 Hasil Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini dapat dilihat
pada tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Hasil Penelitian yang Relevan

Judul Tahun Hasil


1. Analisis Miskonsepsi 2017 Hasil yang diperoleh yaitu persentase
Siswa Sma Pada jumlah siswa yang mengalami
Materi Hidrolisis miskonsepsi pada materi hidrolisis
Garam Dan Larutan garam dan larutan penyangga pada
Penyangga kelas B (kelas eksperimen) lebih
sedikiti dibanding kelas A (kelas
kontrol). Konsep yang paling sering
menimbulkan miskonsepsi pada
materi hidrolisis garam adalah
pengertian hidrolisis garam dan sifat
garam, sedangkan pada materi larutan
penyangga adalah pembuatan larutan
penyangga dan kapasitas larutan
penyangga (Maratusholihah, Rahayu,
& Fajaroh, 2017)
2. Identifikasi 2019 Berdasarkan hasil penelitian
Miskonsepsi Siswa menunjukkan bahwa miskonsepsi
Dengan Two-Tier terjadi hampir pada setiap sub konsep.
Diagnostic Test Di Menurut hasil analisis jawaban siswa,
Lengkapi Certainty Of siswa mengalami miskonsepsi
Response Index (Cri) terbesar pada sub konsep menghitung
Pada Topik Materi massa garam jika diketahui pH, Mr,
Hidolisis Garam dan volume, yaitu sebesar 75%.
Sebagian

13
3. Analisis Miskonsepsi 2016 Hasil penelitian menyebutkan
Pada 2016 Konsep miskonsepsi yang terjadi pada siswa
Hidrolisis Garam Siswa yaitu siswa keliru dalam mengaitkan
Kelas XI SMA N 1 pengetahuan ilmiah dengan
Telaga pengetahuan mereka sendiri,
memahami bahasa ilmiah dalam
kimia dan juga beberapa indikator
lainnya (muhammad arif M, Mangara
sihalolo, 2016)
4. Minimalisasi 2017 Miskonsepsi terjadi dinilai karena
Miskonsepsi Konsep tidak adanya implementasi materi
pH Pada Materi kimia dalam kehidupan seharihari.
Hidrolisis Garam Dan Hasil penelitian diperoleh bahwa
Larutan Penyangga dengan penerapan penerapan
Dengan Eksperimen pembelajaran eksperimen berbasis
Berbasis Masalah masalah mampu meminimalkan
miskonsepsi siswa dengan
ditunjukkan tingkat miskonsepsi
siswa kelas eksperimen lebih rendah
sebesar 7,1% dibandingkan kelas
kontrol sebesar 20,9% (Sri haryani,
2017).
5. Prospective Teachers’ 2019 Kearifan lokal daerah yang
Scientific Literacy terintegrasi dengan pembelajaran
through Ethnoscience etnosains dapat meningkatkan literasi
Learning Integrated s ains calon guru ipa secara efektif
with the Indigenous (Parmin, 2019).
Knowledge of People in
the Frontier, Outermost,
and Least Developed
Regions
14
6. Exploration Of Original 2017 Konsep indigenous science dapat
Science (Indegenous digali melalui kearifan lokal
Science) Salt Farmers In The produksi garam tradisional.
Traditional Salt Production Hasilnya, dokumen kondisi
As A Reliable Effect Of kearifan lokal petani garam dalam
Chemical Large Based proses produksi garam tradisional
Materials dapat dikembangkan menjadi
bahan ajar berbasis kearifan lokal
(Hidayah, Fitria F., 2017).
7. An Ethnoscience Study In 2019 Pengembangan literasi sains perlu
Chemistry Learning To dilakukan dengan fokus pada
Develop Scientific Literacy penyiapan generasi penerus literasi
sains melalui kurikulum berbasis
budaya untuk menghasilkan
pembelajaran yang lebih
konseptual (Dewi, Khery, & Erna,
2019)
8. Kajian ilmiah proses 2017 Berdasarkan hasil penelitian
produksi garam di Madura didapatkan bahwa pembelajaran
sebagai sumber belajar dengan merekonstruksi sains asli
kimia masyarakat ke sains ilmiah sangat
bermanfaat bagi siswa. Dari hasil
wawancara dan observasi didapat
bahwa siswa dapat mengetahui
lebih jelas tentang konsep-konsep
yang ada dalam pembelajaran
yang berorientasi etnosains
khususnya pada proses pembuatan
garam (Hadi, 2017)

15
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas, miskonsepsi yang terjadi pada
materi hidrolisis garam dikarenakan tidak adanya implementasi materi kimia dalam
kehidupan sehari-hari dan miskonsepsi kebanyakan juga terjadi pada subbab penentuan
pH. Implementasi materi kimia dalam kehidupan sehari-hari dapat dirancang melalui
pembelajaran dengan pendekatan budaya atau kearifan lokal agar lebih konseptual.
Pembelajaran dengan pendekatan budaya atau kearifan lokal dapat dilakukan dengan
menciptakan pembelajaran berorientasi etnosains yang merekonstruksi sains asli
masyarakat (Indigenous science) kedalam sains ilmiah. Rekonstruksi sains asli
masyarakat dapat memanfaatkan potensi lokal yang ada misalnya garam lokal (yang
berhubungan dengan hidrolisis garam). Beberapa kajian ilmiah garam lokal yang
dijadikan sumber belajar bagi peserta didik sangat bermanfaat dan memperoleh hasil
bahwa peserta didik dapat dengan jelas memahami konsep-konsep pembelajaran baik
kimia maupun budaya lokal yang diajarkan. Pembelajaran berorientasi etnosains dapat
dilakukan dengan membuat bahan ajar yang dijadikan sebagai media pembelajaran yang
efektif. Salah satu bahan ajar yang dapat digunakan berupa modul. Modul yang interaktif
dapat dibuat dalam bentuk E-Modul. Pengembangan E-Modul berorientasi etnosains
sangat layak digunakan serta dapat meningkatkan ketercapaian prestasi belajar dan
motivasi peserta didik. Hal itu semakin memperkuat penulis untuk mengembangkan E-
modul berorientasi garam lokal pada materi hidrolisis garam. Sejauh ini, belum banyak
kajian pengembangan EModul berorientasi etnosains dengan mengangkat budaya
pembuatan garam lokal.

Melalui pengembangan E-Modul ini diharapkan wawasan ilmiah dalam


budaya pembuatan garam lokal dapat meningkat. Semakin banyak generasi muda yang
paham, maka semakin meningkat juga generasi yang dapat dijadikan sebagai penerus
warisan budaya agar tidak punah. Selain meningkatkan wawasan budaya lokal, juga
meningkatkan wawasan dalam bidang kimia sehingga pembelajaran dapat lebih
bermakna. Selain itu, diharapkan pula pengembangan pembelajaran yang memasukkan
muatan etnosains didalamnya dengan variasi budaya lokal di Indonesia secara merata
sehingga akan banyak budaya yang dapat dipelajari.

16
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan
atau Research and Development (R & D). Penelitian pengembangan adalah penelitian
yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji kelayakan atau
keefektifan suatu produk. Pada penelitian ini akan dikembangkan dan dihasilkan suatu
produk berupa E-Modul Pembelajaran Kimia Berorrientasi. Etnosains pada materi
hidrolisis garam. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian Research and Develoment
(R&D) dengan desain pengembangan ADDIE. ADDIE ini terdiri dari 5 fase atau tahap
utanna, yaitu Analysis, Desain, Development, Implementation, dan Evalution.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengentahuan Alam, Universitas Pendidikan Ganesha.

3.3 Subjek Penelitian

Pada tahap desain, subjek penelitian yang dipilih adalah petani garam yang
berjumlah 3 orang dengan kriteria telah menjadi petani garam profesional (memiliki
pengelaman lebih dari 5 tahun) dan telah mengikuti beberapa pelatihan mengenai inovasi
garam lokal oleh pemerintah daerah setempat serta 20 responden yang merupakan calon
guru IPA dengan kriteria sudah pernah mengikuti magang di sekolah.

Pada tahap pengembangan, yang dijadikan sebagai subjek penelitian adalah calon
guru kimia (mahasiswa pendidikan kimia semester 8, Universitas Pendidikan Ganesha
sebanyak 9 responden) 9 responden itu terdiri dari 3 responden dengan pemahaman
tingkat tinggi, 3 responden dengan pemahaman tingkat sedang, dan 3 responden dengan
pemahaman tingkat sedang, dan 3 responden dengan pemahaman tingkat rendah.

17
3.4 Proses Pengembangan

Prosedur pengembangan sesuai dengan metode pengembangan yang digunakan yaitu


ADDIE yang dijelaskan oleh Branch dan Dousey. Langkah-langkah tersebut digunakan
peneliti sebagai pedoman melakukan penelitian. Adapun rincian prosedur pengembangan
dengan metode pengembangan ADDIE :

1. Analisis
2. Desain
3. Development
4. Implementasi
5. Evaluasi

3.5 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penlitian

3.5.1 Teknik Observasi

Teknik observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap objek yang diteliti.

3.5.2 Teknik Wawancara

Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara dilakukan saat melakukan studi
pendahuluan dalam ADDIE.

3.5.3 Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan guna menunjang teknik observasi dan wawancara.

3.5.4 Teknik Kuesioner

Teknik pengumpulan data dalam bentuk pengajuan pertanyaan tertulis melalui sebuah
daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan harus disi oleh responden.

16
BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan E-Modul berorientasi


etnosains materi hidrolisis garam dengan komposisi dan kualitas modul yang tervalidasi.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

4.1 Analisis

a. Identifikasi Kesenjangan Kinerja Calon Guru

Identitas kesenjangan kinerja diperoleh dari hasi wawancara kepada responden


(calon guru IPA) dengantujuan untuk mengidentifikasi sumber belajar, motivasi,
pengetahuan dan keterampilan yang mendalami kekurangan agar dapat ditingkatkan.

c. Menentukan Tujuan Instruksional

Berdasarkan hasil penelitian yang relevan, salah satu materi dalam pembelajaran IPA
yang sulit dipahami dan serin terjadi miskonsepsi adalah materi hidrolisis garam.

b. Menginformasi Intended Audience

Berdasarkan hasil wawancara, 20 dari 20 responden menginginkan modul dengan


tampilan yang menarik yang mudah diakses tanpa menyimpan filr modul tersebut.

d. Mengidentifikasi Required Resourees

Bedasarkan hasil wawancara, 20 dari 20 responden belum mengetahui pembelajaran


berorientasi etnosains.

4.2 Desain

Adapun tahapan desain yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

17
1. Penyusunan Rencana Kerja
a. Penelitian Etnosains

Tahap awal penyusunan rencana kerja daam perancangan desain modul


pembelajaran berorientasi etnosains dimulai dengan penelitian etnosains pada
pembuatan garam lokal.

b. Menghubungkan muatan KI dan KD KI3 dengan muatan etnosains

Data etnosains yang diperoleh dihubungkan dengan muatan KI dan KD dalam


kurikulum 2013.

2. Perancangan Tampilan dan isi

Langkah desain harus memperhatikan cara penyajian materi pada modul.


Penyajian materi dalam modul dirancang guna menstimullus responden dalam
membangun konsep.

3. Pembuatan Produk

Modul yang dikembangkan adalah modul yang berorientasi etnosains dengan


mengangkat potensi/budaya lokal daerah yaitu garam lokal.

18
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Komposisi E-Modul pembelajaran kimia berorientasi etnosains materi hidrolisis


garam meliputi:
i. Halaman sampul
ii. Salam etnosains
iii. Definisi etnosains
iv. Sejarah garam lokal
v. Petunjuk kerja kunjungan garam
vi. Tampilan materi
vii. Tampilan pendukung yang terdiri dari kolom renungan, kolom motivasi,
kolom berpikir kritis, kolom wawasan baru, kolom aktivitas etnosains dan
kolom teka-teki kimia etnosains.
viii. Latihan soal
2. Kualitas E-Modul pembelajaran kimia berorientasi etnosains materi hidrolisis
garam dapat dilihat berdasarkan uji vaiditas oleh ahli/pakar bidang materi dan
media, uji keterbacaan melalui feasibility test, dan respon/tanggapan dari calon
guru kimia sebagai responden. Secara keseluruhan rata-rata hasil presentase uji
validitas dari ahli/pakar untuk masing tim ahli materi dan tim ahli media adalah
sebesar 92% dan 91,75% yang dikategorikan sangat valid dan tidak perlu revisi.
Hasil uji keterbacaan teks mendapat presentase nilai sebesar 80% yang dapat
dikategorikan independen dan tidak perlu revisi dalam hal pengemasan materi.
presentase respon calon guru kimia/reponden sebagai pengguna modul sebesar
94,97% yang dapat dikategorikan sangat baik sehingga modul layak untuk
digunakan sebagai saran belajar mandiri.

19
5.2 Saran

Sehubungan dengan pengembangan E-Modul, maka perlu dilakukan tindak


lanjut untuk memperoleh E-Modul pembelajaran kimia berorientasi Etnosains yang lebih
baik dan berkualitas dengan tampilan yang lebih menarik. Oleh karena itu, penulis
manyarankan:

1. Pengembangan materi kimia lainnya berorientasi etnosains perlu dilakukan guna


menambah khazanah penelitian.
2. Pengembangan budaya etnosains perlu diperluas (tidak hanya garam lokal) dan
ditingkatkan agar dapat diterapkan di Seluruh Indonesia serta keragaman budaya
di Indonesia dapat dikembangkan sebagai sumber belajar.
3. Muatan atau isi modul harus ditingkatkan terutama muatan etnosains agar tidak
terlalu teoritis sehingga pembaca akan lebih tertarik untuk belajar dengan modul
secara mandiri tanpa bantuan orang lain.
4. Pengembangan teknologi penyajian E-Modul yang lebih menarik (tidak hanya
menggunakan fliphtml5) dan mudah diakses serta lebih banyak fitur yang atraktif
sehingga suasana belajar akan lebih menyenangkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, S. A. M. dan M. (2007). Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur


dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.

Adiraga, Y., & Setiawan, A. H. (2014). Produksi Usaha Garam Rakyat Di


Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Periode 2003-2012. 3, 1–13.

Akbar, S. (2013). Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Baker, D. & P.C. Taylor. (1995). “The Effect of Culture on the Learning of
Science in Non Western Countries: The Result of an Integrated Research Review” dalam
International Journal of Science Education, 17(6), hlm.695-704. battiste. (2005).
Indigenous Knowledge: Foundations for First Nations. WINHEC

21

Anda mungkin juga menyukai