Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian yang dilakukan
oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat. Beratus pemikir dan
beribu jilid buku berkaitan dengan politik Islam menghiasi sejumlah perpustakaan di
dunia. Beragam bentuk karya ilmiah baik berupa jurnal, skripsi, tesis atau disertasi yang
membahas politik Islam telah memberikan kontribusi pengayaan pemikiran politik Islan.
Perbedaan pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau
bahkan antara kalangan Barat sekalipun.Ini menunjukkan bahwa kajian politik Islam
merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan menantang untuk
dikaji.

Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak aka nada habis‐
habisnya sebagaimana diumpamakan oleh Nurcholis Madjid laksana menimba air
Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai
buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun
kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap
pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu
pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja
kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri
terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan.
Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus
berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau‐tak‐mau melibatkan pandangan ideologis
berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim.

1. sendiri.

Masih menurut pendapat Nurcholis Majdid pula bahwa usaha memahami masalah politik
dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu karena ada dua alasan. Pertama,
bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari empat belas abad. Jadi akan
merupakan suatu kenaifan jika kita menganggap bahwa selama kurun waktu yang
panjang tersebut segala sesuatu tetap stationer dan berhenti. Kesulitannya ialah, sedikit
sekali kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang
sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan‐bahan kesejarahan yang harus
dipelajari dan diteliti kekuatan‐kekuatan dinamik di belakangnya, juga terdapat
perbendaharaan teoritis yang kaya raya tentang politik yang hambpir setiap kali muncul
bersama dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting.

a) Kesulitan dalam memahami masalah politik dalam Islam, berimplikasi pada


belum adanya kesepakatan pendapat mengenai konsep negara Islam. Musdah
Mulia, dalam karya disertasinya tentang pemikiran politik Islam Husain

Haekal yang mengutip pendapat John L. Esposito dalam Islam dan Politik (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), menyebutkan beberapa faktor ketidaksepakatan itu:

a. negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad SAW di Madinah yang


dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci,
b. pelaksanaan khilafah pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas hanya
memberikan suatu kerangka mengenai lembaga‐lembaga politik dan
perpajakan,
c. pembahasan mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya
menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang
utopian, dan.
d. hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subyek bagi
keragaman interpretasi.

Munawir Sadzali menyebutkan tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan
kenegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata‐ mata agama
dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan,
sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan peraturan
bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Karena itu, Islam
tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem negara Barat. Sistem politik Islam yang
harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan
oleh empat al‐Khulafa al‐Rasyidin.

Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang
tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran 3 Musdah Mulia,
Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta: Paramadina, ini Nabi
Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul‐rasul sebelumnya, dengan
tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia, dan Nabi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.

Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap
dan bahwa dalam Islam terdapat sistem negara. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan
bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan
antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi. kehidupan bernegara.

Berdasarkan ketiga aliran tersebut, Sukron Kamil, dalam tulisannya di Jurnal Universitas
Paramadina, melakukan tipologisasi pemikiran politik Islam: tradisional, sekuler, dan
moderat. Tipologi tradisional, memandang bahwa Islam adalah agama dan negara.
Hubungan Islam dan negara betul‐betul organic dimana negara berdasarkan syariat Islam
dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyi
Ridla, Sayyid Qutub, Al‐ Maududi, dan di Indonesia Muhammad Natsir. Tipologi
Sekuler, memandang bahwa Islam adalah agama murni bukan negara. Tipologi ini
terbelenggu dan sangat terpesona oleh pemikiran nation state Barat Modern. Pemikir
yang termasuk tipologi ini adalah Ali Abd al‐Raziq, A. Luthfi Sayyid, dan di Indonesia
Soekarno. Tipologi Moderat, memandang bahwa meskipun Islam tidak

menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat
prinsip‐prinsip moral atau etika dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk
pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem manapun yang terbaik. Yang termasuk
tipologi ini adalah Muhammad Husein Haikal (1888‐ 1956), Muhammad Abduh (1862‐
1905), Fazlurrahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid.

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, yang dikenal dengan Buya Syafii Maarif, adalah seorang
cendekiawan muslim yang concern dalam bidang politik Islam. Ia berlatar belakang
pendidikan formal Muallimin Jogjakarta yang kemudian melanjutkan kesarjanaannya
dalam bidang sejarah. Karya disertasinya yang diterbitkan dalam sebuah buku yang
berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante”,
adalah sebuah refleksi dari pemikirannya tentang politik Islam meskipun tidak secara
utuh. Penelitian ini akan mengerucutkan pemikiran politik Islam Syafii Maarif secara
utuh yang masih berserakan di berbagai makalah dan buku‐bukunya.
Sebagai pembuka wacana pemikirannya tentang politik Islam, pak Syafii membagi Islam
kedalam dua pandangan, yaitu Islam sejarah dan Islam cita‐cita. Islam sejarah ialah Islam
sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam
Indonesia dalam jawaban mereka terhadap tantangan sosio‐politik dan cultural yang
dihadapkan kepada mereka sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sedangkan Islam cita‐cita
ialah Islam sebagaimana yang dikandung dan dilukiskan oleh al‐Qur’an dan al‐Sunnah,
tetapi yang belum tentu senantiasa terefleksi dalam realitas sosio‐historis umat sepanjang
abad. Islam cita‐cita ini menggambarkan suatu totalitas pandangan hidup muslim,
sekalipun belum dirumuskan secara sistematis oleh yuris dalam sejarah Islam.

Paling tidak ada tiga pokok pemikiran politik Islam Syafii Maarif: Pertama dalam Islam
cita‐cita, negara tidak lain dari sebuah alat yang perlu bagi agama. Dengan kata lain, ia
menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam itu din dan daulah. Tentang penolakan
terhadap tesis ini ia menulis:

Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah? Dari al‐
Qur’an dan Sunnah, begitu pula dari Piagam Madinah, kita tidak menemukan
landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu Yang kita gagal memehaminya
ialah daulah ditempatkan sejajar dengan din yang berasal dari wahyu. Bukankah
tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar telah menyamakan alat
dengan risalah?

Kedua, bentuk negara adalah hasil kreasi manusia, karena itu ia dapat saja berubah sesuai
perkembangan zaman. Prinsip utama bagi suatu negara untuk dapat dikatakan bercorak
Islam ialah jika keadilan, persamaan, dan kemerdekaan, benar‐benar terwujud dan terasa
di dalamnya, serta mempengaruhi seluruh kehidupan rakyat. Tentang hal ini ia menulis:

Al‐Quran nampaknya tidak tertarik pada teori khas tentang negara yang harus
diikuti oleh umat Islam. Perhatian utama al‐Quran ialah agar masyarakat
ditegakkan atas keadilan dan moralitas. Maka atas dasar nilai‐ nilai etik al‐Quran‐
lah bangunan politik Islam wajib ditegakkan. Tapi karena al‐Quran tidak
menegaskan bentuk khas suatu negara, maka model dan struktur ketatanegaraan
Islam bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah. Ia senantiasa terikat dengan
perubahan, modifikasi, dan perbaikan menurut kebutuhan waktu dan ummat.
Ketiga, karena konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam al‐ Quran, maka
sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita‐cita politik Qur’ani,
sekalipun ia tidak semestinya identik dengan praktek demokrasi Barat. Dari pemaparan
tentang pemikiran politik Islam Syafii Maarif tersebut, ia dapat dimasukkan kedalam
tipologi moderat yang menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap
yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua
yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Dalam setiap karya
tulisnya tentang politik Islam, baik berupa makalah maupun buku, selalu mengutip
pendapat‐pendapat Fazlurrahman. Ini menandakan bahwa pemikiran politik Islam Syafii
Maarif dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran Fazlurrahman. Sebagaimana diakuinya
bahwa Fazlurrahman adalah pembimbingnya yang utama dalam penyusunan disertasi
doktoralnya sekaligus mentornya dalam pemikiran Islam.

Buya Ahmad Syafii Maarif adalah seorang cendekiawan muslim Indonesia yang selalu
mengedepankan hati nuraninya dalam tulisan‐tulisannya. Ia seorang tokoh yang memiliki
integritas yang tinggi dalam memegang sebuah prinsip. Kiprahnya dalam bidang dakwah
dan kemasyarakatan telah membawanya ke posisi puncak di persyarikatan
Muhammadiyah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah antara tahun 1998‐2005. Ada
yang menarik dari sisi pribadinya, dimana ketika orang mendapatkan posisi puncak dalam
sebuah organisasi biasanya tergoda untuk terjun dalam politik praktis yang memberikan
harapan kekuasaan, ia tidak menggunakan “peluang”tersebut untuk memasuki dunia
politik praktis, justru lebih memilih berkiprah di Muhammadiyah dan memainkan peran
Muhammadiyah sebagai civil society. Lebih dari itu, ia ,dalam pemaparan tulisan‐
tulisannya, kaya akan ungkapan metaforanya.

Salah satu kelebihan Buya Syafii Maarif adalah memiliki sikap empati yang tinggi
kepada stiap orang meskipun terhadap orang yang berbeda pendapat. Kritiknya terhadap
partai Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dalam perdebatan di sidang
Majelis Konstituante, disampaikan dengan sikap empati yang cukup tinggi. Akan tetapi,
dalam konteks pemikiran kenegaraan, ia tidak memberikan sikap empatinya terhadap al‐
Maududi. Misalnya, dalam karya disertasinya tersebut ia mengkritik tentang konsep
“Kedaulatan Tuhan” yang diyakini secara kuat oleh al‐Maududi, dengan menulis:

Bila teori di atas kita hadapkan kepada konsep “Kedaulatan Tuhan” yang
dipercaya sebagai inti dari sistem politik Islam dan yang dibela dan dinyatakan
oleh sebagian penulis muslim kontemporer, seperti Abul ‘Ala al‐Maududi, kita
menemukan sesuatu yang aneh. Pendapat macam ini telah “banyak menimbulkan
kebingingan.

Padahal,al‐Maududi adalah pemikir muslim yang sangat berpengaruh pada masanya di


seluruh dunia terutama di dunia muslim. Tulisan‐tulisannya tentang pemikiran Islam
sangat bernash dan selalu mengembalikan kepada al‐ Quran dan al‐Sunnah sebagai
pedoman dasar dalam mengungkapkan pemikiran‐ pemikirannya. Termasuk dalam
pemikiran politik Islam, seperti dalam bukunya Hukum dan Konstitusi Sistem Politik
Islam dan Khilafah dan Kerajaan yang kedua bukunya diterbitkan oleh Mizan, bandung,
selalu menyandarkan kepada syariat Islam. Sementara dari hasil kajian penulis terhadap
pemikiran politik Islam Buya Syafii Maarif nampaknya kering dari konsep syar’i. Karena
itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini yang kemudian ditinjau dari perspektif
ulama al‐ salaf al‐shalih.

Sebagai seorang muslim sudah semestinya mengkaji kembali dan menimbang‐nimbang


perbedaan pemahaman dari para akademisi yang memang berkompeten untuk kemudian
menentukan sebuah keyakinan akan kebenaran yang dipilihnya. Sudah barang tentu
tidaklah mudah untuk memutuskannya. Perlu kajian yang komprehensif dan bernash
berdasarkan kaidah‐kaidah ilmiah yang benar. Karena berkaitan dengan pemikiran Islam,
tentunya kita memandang dengan kaca mata Islam yang berlandaskan al‐Qur’an dan al‐
Sunnah sebagaimana yang dipahami para ulama salaf, bukan dengan kaca mata orang
Barat yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran yang hakiki.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, penulis merumuskan penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemikiran Ahmad Syafii Maarif tetang hubungan Islam dan
negara?
2. Bagaimanakah tinjauan al‐salaf al‐shaleh terhadap pemikiran Ahmad Syafii
Maarif tentang hubungan Islam dan negara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan‐pertanyaan yang
telah diajukan dalam perumusan masalah. Lebih rinci, peneltian ini bertujuan untuk:
a). Mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan Islam
dan negara.

b). Menganalisis dan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tetang


hubungan Islam dan negara dalam timbangan al‐salaf al‐shal
c). Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan khasanah
pemikiran politik Islam di Indonesia.
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi keperluan dakwah. Khususnya
dalam menyebarkan Islamic Worldview dalam semua konsep kehidupan
termasuk negara Islam. Menyadari akan maraknya pemikiran‐pemikiran
liberalisme, sekularisme, dan pluralism yang dikumandangkan bukan hanya
oleh pemikir non muslim, bahkan oleh pemikir muslim sendiri, penulis
tergerak untuk, paling tidak, memberikan sedikit kontribusi untuk menangkal
pemikiran‐pemikiran tersebut dengan menggunakan sudut pandang Islamic
Worldview.
D. Tinjauan Pustaka

Dari hasil penelusuran penulis terhadap hasil penelitian tentang pemikiran Ahmad Syafii
Maarif didapatkan beberapa karya dalam bentuk skripsi. Berikut ini adalah beberapa hasil
penelitian tentang pemikiran Ahmad Syafii Maarif.

Dewi Khusna dalam skripsi Negara dan Kekuasaan dalam Pemerintah: Studi Pemikiran
Ahmad Syafii Maarif (2000) menguraikan konsep negara, kedudukan negara dan
kekuasaan rakyat dalam pemerintah.

Nur Khasanah dalam skripsi Relasi Islam dan Demokrasi Pancasila di Indonesia Menurut
Ahmad Syafii Maarif (2003), mendekripsikan pandangan Syafii Maarif yang melihat
prospek demokrasi Pancasila di mata kaum Muslim masa depan.

Imam Muklis dalam skripsi Dialektika ke‐Islaman dan ke‐Indonesiaan dalam Pemikiran
Politik Ahmad Syafii Maarif (2008), menyimpulkan pemikiran

Ahmad Syafii Maarif bahwa hubungan Islam dan ke‐Indonesiaan bersifat simbiosis
mutualistik. Negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat bertindak
sesuai dengan tata nilai, etika, dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebaliknya agama pun memerlukan negara untuk dapat berkembang.
Ahmad Asroni dalam skripsi yang berjudul Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang
Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia (2009). Dalam
tulisannya, Ahmad Asroni menyatakan bahwa Syafii Maarif termasuk tokoh muslim yang
berkeberatan apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara dan formalisasi syariat Islam.
Berkaitan dengan relasi antara Islam dan negara, secara normatif, Islam tidak menetapkan
dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum
muslimin. Ia menolak gagasan negara Islam karena menurutnya tidak memiliki basis
religio‐intelektual yang kukuh. Adapun secara historis, terminology negara Islam tidak
terdapat dalam literature klasik. Ia juga menolak tesis yang mengatakan bahwa Islam
merupakan din dan daulah. Dalam persoalan formalisasi syariat islam di Indonesia, Syafii
Maarif tidak menolak asalkan dengan cara konstitusional dan demokratis. Namun
demikian, ia tetap mengkritik kalangan yang menginginkan pendirian negara Islam dan
formalisasi syariat islam di Indonesia

Dari hasil penelusuran penelitian yang mengkaji pemikiran Ahmad Syafii Maarif,
khususnya tentang politik Islam, belum didapatkan pemikiran yang utuh dan bahkan
belum ada penelitian yang bersifat studi kritis. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis
akan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan Islam dan negara
dalam bingkai Islamic Worldview. Tentunya tanpa mengurangi rasa hormat kepada
Ahmad Syafii Maarif yang dalam beberapa penulis sangat mengaguminya .

E. Landasan Teori

Sebelum memaparkan landasan teori relasi Islam dan negara, akan dipaparkan teori
ilmu politik secara umum sebagaimana yang digunakan oleh ilmu politik modern. Berikut
ini dipaparkan tentang dasar‐dasar teori ilmu politik.

Miriam Budiardjo mengutip pendapat Andrew Heywood, bahwa politik adalah kegiatan
suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen
peraturan‐peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat
terlepas dari gejala konflik dan kerjasama. Adapun tentang teori politik, menurutnya
adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan
lain, teori politik adalah bahasan dan renungan atas tujuan dari kegiatan politik, cara‐
cara mencapai tujuan itu, kemungkinan‐kemungkinan dan kebutuhan‐kebutuhan yang
ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, dan kewajiban‐kewajiban yang diakibatkan oleh
tujuan politik itu. Konsep‐konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup:
masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban,
kemerdekaan, lembaga‐lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik,
modernisasi, dan sebagainya. Mengenai konsep negara, Miriam Budiardjo
berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.13 Adapun unsur‐unsur negara
adalah sebagai berikut:

1. Wilayah, kekuasaan negara meliputi tanah, laut di sekelilingnya sampai


batas 12 mil, dan angkasa di atasnya.
2. Penduduk, yang menyatukan masyarakat dalam suatu negara adalah
nasionalisme yang merupakan perasaan subyektif pada sekelompok
manusia bahwa mereka merupakan satu bangsa dan bahwa cita‐cita aspirasi
mereka bersama hanya dapat tercapai jika mereka tergabung dalam satu
negara atau nation. Ernest Renan, filosof prancis mengatakan, “Pemersatu
bangsa bukanlah kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi
tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk
mencapainya lagi di masa depan.
3. Pemerintah, organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan
melaksanakan keputusan‐keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk
di dalam wilayahnya
4. Kedaulatan, kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang‐undang
dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang
tersedia.

Louay. M. Shafi menyatakan bahwa kata daulah sudah digunakan dalam al‐Quran dan
hanya ada pada satu tempat yaitu pada QS. 59:7 yang berhubungan dengan
pendistribusian harta fa’I agar tidak beredar pada golongan orang kaya saja. Namun
penggunaan kata daulah yang berkonotasi politis baru dimulai sejak abad ke enam dan
tujuh Masehi. Lu’ai M. Shafi menulis:

In the Sixt and seventh centuries of the Muslim era, the term daulah began to
acquire a political connotation. Muslim scholars at this time, mainly historians,
began to employ the word in reference to the various Muslim dynasties wich
emerged when the institution of khilafah lost its executive power, while reduced
to a nominal affice symbolizing Muslim units, while the real political and military
power fell into the hands of strong clane and families.

Fred M. Donner mendefenisikan negara sebagai institusi yang harus memiliki


persyaratan sebagai berikut sebagaimana ditulisnya dalam sebuah jurnal:

the "state" is defined as a set of political institutions resting on a conception of


legal authority; the institutions considered relevant are (a) a governing group,
(b) army and police, (c) a judiciary, (d) a tax administration, and possibly (e)
institutions to implement state policies other than taxation, adjudication, and
maintenance of control by the elite.

Ahmad Ali Nurdin, dalam jurnal internasional, membuat kategori negara‐ negara Islam
yang berkaitan dengan aplikasi hubungan Islam dan negara dalam tiga kategori. Ia
menulis:

First, there are countries which still regard syaria as thefundamental law and
apply it more or less in its entirety. Saudi Arabia is acase in point.Second, there
countries where syaria law has been abandoned completely and substituted by
a secular one. Turkey fits into this category. Third, there are countries which try
to reach a compromise between the two domains of law, by adopting secular
law preserving syaria at the same time. These include such countries as Egypt,
Tunisia, Iraq Indonesia, and Malaysia.

Mengenai keterkaitan antara Islam dengan persoalan kenegaraan, para ulama salaf
telah menyepakati akan pentingnya kepemimpinan umat yang diformulasikan dalam
institusi imamah. Bahkan para ulama salaf telah mewajibkan penegakan imamah
sebagai fardlu kifayah. Para ulama Ahlu Sunnah dan Murji’ah secara umum, Mu’tazilah
kecuali segelintir dari mereka, dan Khawarij kecuali kelompok al‐Najdaat berpendapat
wajibnya menegakkan imamah. Pendapat Syi’ah secara umum pun termasuk
mewajibkan, meskipun mereka memiliki pemahaman berbeda dalam makna wajibnya.

Menurut pendapat Ahlus Sunnah, dasar atau dalil diwajibkannya penegakkan imamah
adalah ijma shahabat, menurut Dhiauddin Rais, bahkan bisa jadi adalah dalil satu‐
satunya dan dalil‐dalil yang lain hanya dianggap mengikutinya. Dalil ijma ini dibuktikan
oleh peristiwa setelah meninggalnya Rasulullah SAW, dimana para shahabat
mengadakan pertemuan di Saqifah milik Bani Sa’idah untuk memilih pemimpin umat
Islam yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu dihadiri
oeh para pembesar Anshar dan Muhajirin. Persoalan pemilihan pemimpi ini didahulukan
Ahmad Ali Nurdin, Islam and State: A Study of The Liberal Islamic Network in Indonesia,
dari urusan yang paling penting bagi mereka, diantaranya persiapan pemakaman
Rasulullah SAW. Perbedaan yang terjadi dalam pertemuan itu bukanlah tentang wajib
atau tidaknya penegakan imamah, akan tetapi perbedaan tentang siapa yang akan
menjadi pemimpin. Akhirnya semua shahabat bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar
r.a sebagai pemimpin

Keterkaitan Islam dengan kenegaraan juga diungkapkan oleh banyak ulama terutama
yang concern terhadap permasalahan politik Islam sebagaimana yang dikutip Dhiauddin
Rais. Diantaranya al‐ Mawardi dalam bukunya al‐Ahkam al‐Sulthaniyah memberikan
alasan diwajibkannya keimamahan dalam Islam, ia mengatakan: “… Seandainya bukan
karena para wali (pemimpin), niscaya mereka menjadi kacau tidak terurus serta menjadi
biadab dan liar…”. Imam al‐Ghazali berpendapat bahwa pelaksanaan kewajiban‐
kewajiban agama baik yang bersifat individu maupun sosial dapat terlaksana jika
ditegakkannya institusi keimamahan dalam suatu pemerintahan. Karena itu dia
mengatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua anak kembar… Agama adalah fondasi
dan kekuasaan adalah penjaga… Sistem aturan agama tidak akan tercapai selain dengan
menggunakan sistem aturan dunia, dan sistem aturan dunia tidak akan dicapai kecuali
dengan adanya seorang imam yang dipatuhi”.

Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim, turut memperkuat teori tentang keterkaitan
Islam dengan kenegaraan. Ia memaparkan teori‐teori politiknya dalam bukunya al‐
Muqaddmimah, ia menulis, “Kemudian bahwa melantik imam adalah wajib yang
kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma para shahabat dan tabi’in karena para
shahabat Rasulullah SAW, ketika beliau wafat, segera membai’at Abu Bakar r.a. dan
menyerahkan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Demikian pula dalam setiap
era setelah itu. Manusia atau umat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam
suatu masa dari berbagai masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma yang
menunjukkan wajibnya melantik imam

Teori keterkaitan Islam dan kenegaraan ternyata juga disepakati oleh beberapa
orientalis terkenal. Diantaranya, Dhiauddin Rais menukil beberapa pernyataan orientalis,
adalah V. Fitzgerald berkata, “Islam bukanlah semata agama namun juga merupakan
sebuah sistem politik. Meskipun pada decade‐ dekade terakhir ada beberapa kalangan
dari kaum umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha
memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas
fondasi bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.” C.A. Nalinno menulis, “ Muhammad telah membangun
dalam waktu bersamaan agama dan negara. Dan batas‐batas territorial negara yang dia
bangun it uterus terjaga sepanjang hayatnya.” Bahkan H.A.R. Gibb dengan tegas
mengatkan, “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan
agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, independen. Ia mempunyai metode
tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang‐undangan, dan institusi.

Untuk memahami politik Islam diperlukan pemahaman konsep‐konsep dasar yang


berlandaskan pada sumber hukum Islam, yaitu al‐Quran, al‐Sunnah, dan ijma para
shahabat. Konsep‐konsep dasar yang harus dipahami terlebih dahulu adalah konsep
tentang Ummah, Syura, dan Imamah atau Khilafah. Konsep‐konsep ini tidak terdapat
dalam konsep politik modern Barat.

Ummah, menurut pengarang Lisan al‐Arab,dalam pengertian bahasa artinya adalah


sekelompok dan kaum di kalangan manusia. Raghib al‐Ashfahani dalam al‐mufradat fi
gharib al‐Quran secara lebih jelas mendefinisikan ummat adalah setiap jama’ah yang
disatukan oleh sesuatu hal; satu agama, satu zaman, atau satu tempat. Baik factor
pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan atas pilihan.

Secara lebih terperinci, Sa’id Hawwa, menjelaskan unsur‐unsur pemersatu ummah


dalam hal ini adalah umat Islam. 1) Kesatuan aqidah, dimana umat Islam mempunyai
suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan la ilaha illa Allah secara
ikhlash. Sehingga barang siapa tidak mengucapkannya, maka tidak termasuk bagian
umat ini. 2) Kesatuan ibadah, ibadah yang diwajibkan Allah kepada umat Islam semua
adalah satu. Setiap muslim diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum di
bulan ramadlan setiap 22 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 5‐6 23 Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin:
Telaah Sistem jama’ah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1991), h. 43‐44 20
tahun, zakat apabila telah cukup nishab, dan kewajiban‐kewajiban Islam yang lain. 3)
Kesatuan adat dan prilaku, setiap umat Islam mempunyai keteladanan yang baik pada
diri Rasulullah SAW. 4) Kesatuan sejarah, seorang muslim tidak terikat oleh tanah air
atau warna kulit tertentu, dan hanya sejarah Islamlah yang menjadi ikatan dan
kebanggaannya. 5) Kesatuan bahasa, merupakan suatu yang alami jika bahasa Arab
menjadi salah satu factor pemersatu umat Islam, karena undang‐undang Islam adalah al‐
Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab. 6) Kesatuan jalan, sesungguhnya jalan kaum
muslimin adalah satu, yaitu jalan para Nabi dan Rasul. Karena itu, seorang muslim
dituntut agar teguh dan konsisten di jalannya. 7) Kesatuan undang‐undang, sumber
undang‐undang umat Islam adalah al‐Quran dan al‐Sunnah. Kaum muslimin dilarang
mengambil rujukan, untuk menata dan mengatur gerakan mereka di atas bumi ini,
kecuali dari apa yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul‐Nya. 8) Kesatuan pimpinan,
umat Islam sepakat bahwa pemimpinnya yang pertama adalah Rasulullah SAW,
kemudian para khalifah‐nya yang terpimpin. Masing‐masing dari mereka menjadi
pemimpin pada zamannya.

24 Makna syura menurut bahasa adalah meminta‐keluar, seperti dalam ungkapan syara’
al‐‘asala yasyuruhu syauran, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah.25 Secara
istilah, musyawarah dapat berarti meminta pendapat dari para ahli tentang suatu
masalah. Menurut pengarang al‐Munjid menyimpulkan
24 Sa’id Hawwa, Al‐Islam, (Jakarta: Al‐I’tisham Cahaya UmatIbnu Manzhur, Lisan
al‐‘Arab, (Beirut: Daar Shadir, 1388 H), 6/103 21 bahwa Majelis Syura ialah majlis yang
dibentuk untuk membahas urusan‐urusan negara.26 Jadi, konsep syura merupakan
unsur yang sangat penting dalam hubungannya Islam dan kenegaraan. Sebagaimana
Sayyid Quthb, ketika menafsirkan ayat “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu”, mengatakan, “Ini adalah nash yang tegas yang tidak boleh diragukan lagi
oleh umat Islam, bahwa syura adalah dasar asasi bagi tegaknya sistem pemerintahan
Islam. Islam tidak boleh tegak kecuali di atass prinsip ini.”

27 John L. Esposito menyatakan bahwa umat Islam menerima demokrasi dalam


kehidupan politiknya karena hampir sama dengan konsep syura yang terdapat dalam al‐
Quran. Ia menulis:

Muslim interpretation of democracy build on the well established Qur’anic


concept of shura (consultation), but place varying emphases on the extend to
wich “the people” are able to exercise this duty. One school of thought argues
that Islam is inherently democratic not only because of the ptonciple of
consultation, but also because of the concept of ijtihad and ijma’ (consensus).

28 Istilah imam, khalifah atau amir al‐mu’minin ditujukan kepada satu pengertian, yaitu
kepemimpinan tertinggi umat Islam, tetapi masing‐masing dari istilah tersebut
mempunyai latar belakang historis dan politis tersendiri. Al‐ Mawardi mendefinisikan
imam dengan mengatakan, “Imamah dibentuk untuk menggantikan kenabian dalam
menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”29 Ad peristiwa saqifah untuk
menggantikan Rasulullah SAW dalam memimpin umat Islam dan memelihara
kemaslahatan mereka.30 Adapun gelar amir al‐Mu’minin diberikan pertama kali kepada
khlaifah yang kedua, Umar ibn al‐Khaththab.31 F. Metode Penelitian Penelitian yang
baik dan benar adalah penelitian yang berdasarkan landasan ilmiah dengan mengacu
kepada metodologi peneltian yang benar. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis
akan memaparkan metode penelitian sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Jenis
penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan data kepustakaan
berupa buku‐buku yang terkait dengan focus kajian sebagai sumber data (library
research).32 Data‐data yang dikumpulkan adalah berupa jurnal‐jurnal ilmiah, buku‐
buku, dan karya tulis baik berupa skripsi ataupun tesis yang berkaitan dengan tema
penelitian. b. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan historis‐ filosofis. Pendekatan historis adalah penyelidikan kritis terhadap
keadaan‐ keadaan, perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang
secara cukup teliti dan hati‐hati terhadap bukti validitas dari sumber sejaraapun
penyebutan khalifah berawal dari pemilihan Abu Bakar r.a pada peristiwa saqifah untuk
menggantikan Rasulullah SAW dalam memimpin umat Islam dan memelihara
kemaslahatan mereka.30 Adapun gelar amir al‐Mu’minin diberikan pertama kali kepada
khlaifah yang kedua, Umar ibn al‐Khaththab.31

F. Metode Penelitian

Penelitian yang baik dan benar adalah penelitian yang berdasarkan landasan ilmiah
dengan mengacu kepada metodologi peneltian yang benar. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini penulis akan memaparkan metode penelitian sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan data kepustakaan berupa buku‐buku yang terkait dengan focus kajian
sebagai sumber data (library research).32 Data‐data yang dikumpulkan adalah berupa
jurnal‐jurnal ilmiah, buku‐buku, dan karya tulis baik berupa skripsi ataupun tesis yang
berkaitan dengan tema penelitian.

b. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan


historis‐ filosofis. Pendekatan historis adalah penyelidikan kritis terhadap keadaan‐
keadaan, perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara
cukup teliti dan hati‐hati terhadap bukti validitas dari sumber sejarah 30 M. Dhiauddin
Rais, Teori Politik Islam, serta iterpretasi dari sumber keterangan tersebut. Pendekatan
ini digunakan untuk menggambarkan kenyataan‐kenyataan sejarah yang berkaitan
dengan pemikiran Ahmad Syafii Maarif, sehingga dapat dipelajari faktor lingkungan yang
mempengaruhi pemikirannya. Adapun pendekatan filosofis digunakan untuk mengkaji
dan menganalisis keseluruhan data yang diperoleh dari pendekatan historis.

c. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara dokumentasi, yaitu dengan
mengumpulkan data yang diperoleh kemudian dikelompokan menjadi data primer dan
data sekunder.

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku‐buku asli karya Ahmad
Syafii Maarif tentang politik Islam. Diantaranya adalah:

1. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,


(Jakarta: LP3ES, 1996).
2. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959‐1965),
(Jakarta: GIP, 1996).

3. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993).

Adapun datan sekunder adalah semua sumber data yang mendukung dalam
pembahasan penelitian tentang negara Islam baik tentang pemikiran 24 Ahmad Syafii
Maarif maupun tentang pemikiran tokoh muslim yang lainnya. Diantara sumber data
sekunder yang dibunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Buku Muhammadiyah & Politik Islam Inklusif: 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif,
(Jakarta: Maarif Institute, 2005, editor Abd Rohim Ghazali & Saleh Partaonan Daulay),
adalah merupakan kumpulan tulisan tentang pemikiran politik Islam Ahmad Syafii
Maarif.

2. Jurnal Ahmad Asroni Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Negara dan Syariat Islam
di Indonesia, (Millah Vol. X, No 2, Februari 2011)

3. Buku Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta: Paramadina, 2001),
buku ini merupakan hasil karya disertasi Musdah Mulia yang diterbitkan oleh penerbit
Paramadina.

4. Buku M. Dhiauddin Rasi, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

5. Buku Al‐Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung:Penerbit


Mizan, 1995

6. Buku Al‐Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993)

7. Buku Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1993) 25

d. Analisis Data Penelitian ini bersifat deskriptif‐analitis. Deskripsi, berarti


menggambarkan secara tepat sifat‐sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala/frekuensi adanya
hubungan tertentu suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Sedangkan
analisis, adalah jalan yang diteliti untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan
mengadakan perincian terhadap obyek yang diteliti dengan jalan memilah‐milah antara
pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk sekadar memperoleh kejelasan
mengenai halnya.33 Metode deskriptif‐analitik dengan demikian adalah metode dengan
cara menguraikan sekaligus menganalisis. Dengan menggunakan kedua cara secara
bersama‐sama maka diharapkan objek dapat diberi makna secara maksimal.

34 Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam


suatu rumusan pada kategori dan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan untuk menganalisis data.

35 Data yang diperoleh akan dianalisis secara berurutan dan interaksionis yang terdiri
dari tiga tahap, yaitu sebagai berikut:

Pertama, setelah pengumpulan data selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah


reduksi data, yaitu menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengoraganisasikan sehingga data terpilah‐ pilah. Kedua, data yang telah direduksi akan
disajikan dalam bentuk narasi. Ketiga, penarikan simpulan dari data yang telah disajikan
pada tahap kedua dengan mengambil simpulan.

Setelah dilakukan analisis dengan metode di atas, kemudian data dianalisis kembali
dengan menggunakan perspektif ulama al‐salaf al‐shalih, yakni melakukan deskriptis
analitis berdasarkan metodologi yang digunakan oleh para ulama al‐salaf al‐shalih. Pada
tahap ini, peminjaman metode yang dibangun oleh perkembangan ilmu pengetahuan
perlu dilakukan secara kriris‐selektif, dengan menjadikan Islam sebagai basic of
knowledge.

G. Sistematika Penulisan Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan sistem


penulisan sebagai berikut:

Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari; latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasana teori, metode
penelitian, sistematika penulisan dan penutup.

Bab kedua, memaparkan biografi Ahmad Syafii Maarif yang terdiri dari; biografi Ahmad
Syafii Maarif, Latar Belakang intelektual Ahmad Syafii Maarif, 27 metodologi dan corak
pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan Karya‐karya Ahmad Syafii Maarif.
Bab ketiga, mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan Islam
dan negara yang terdiri dari; landasan teori politik Islam, konsep negara Islam, konsep
Piagam Madinah, konsep syura sebagai prinsip dasar politik Islam, dan cita‐cita negara
Islam dalam konteks ke‐Indonesiaan.

Bab keempat, membahas analisis pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang relasi Islam
dan negara perspektif ulama al‐salaf al‐shalih yang terdiri dari; konsep pemahaman
ulama al‐salaf al‐shalih,dasar‐dasar teori politik Islam, relasi Islam dan negara menurut
ulama al‐salaf al‐shalih, tinjauan pemahaman ulama al‐salaf al‐shalih terhadap
pemikiran Ahmad Syafii Maarif.

Bab kelima, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran‐saran.

Anda mungkin juga menyukai