Anda di halaman 1dari 250

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/371138053

Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen Bencana

Book · February 2023

CITATIONS READS

0 4

1 author:

Ana Faizah
Universitas Batam
21 PUBLICATIONS 10 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Effects Reliability, Tangible, Assurance, Responsiveness to Performance HR through Digital Service Quality in Batam
Government View project

Effect Motivation, Competence, Work Environment, Madani Human Resources through Teacher Performance Islamic
Schools View project

All content following this page was uploaded by Ana Faizah on 30 May 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KEPERAWATAN
GAWAT
DARURAT
DAN
MANAJEMEN
BENCANA
M. Khalid Fredy Saputra, S.Kep., Ns., M.Kep.
Ns. Aulia Asman, S.Kep., M.Biomed., AIFO
Ns. Ana Faizah, S.Kep., M.Biomed
Erna Desi Faradinah, S.K.M.
Rizki Wan Oktabina, S.KG., M.Si
Maula Mar’atus Solikhah, S.Kep., Ns., M.Kep
Ns. Anita Lufianti., S.Kep., M.Kes., M.Kep
Ns. Erlangga Galih Z.N., M.Kep., C.NPS
Ns. Muhammad Arif, S.Kep., M.Kep
Afdhal, S.KM., M. Si
Ns. Hilma Yessi, S.Kep., M.Kep.
Yeni Rimadeni, S.KM., M.Si.
Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep
Ns. Mariza Elvira, S.Kep., M.Kep
Ns. Hidayati, S.KM., M.MKes
KEPERAWATAN GAWAT
DARURAT DAN
MANAJEMEN BENCANA
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002,
bahwa :

Kutipan Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
KEPERAWATAN GAWAT
DARURAT DAN
MANAJEMEN BENCANA

M. Khalid Fredy Saputra, S.Kep., Ns., M.Kep.


Ns. Aulia Asman, S.Kep., M.Biomed., AIFO
Ns. Ana Faizah, S.Kep., M.Biomed
Erna Desi Faradinah, S.K.M.
Rizki Wan Oktabina, S.KG., M.Si
Maula Mar’atus Solikhah, S.Kep., Ns., M.Kep
Ns. Anita Lufianti., S.Kep., M.Kes., M.Kep
Ns. Erlangga Galih Z.N., M.Kep., C.NPS
Ns. Muhammad Arif, S.Kep., M.Kep
Afdhal, S.KM., M. Si
Ns. Hilma Yessi, S.Kep., M.Kep.
Yeni Rimadeni, S.KM., M.Si.
Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep
Ns. Mariza Elvira, S.Kep., M.Kep
Ns. Hidayati, S.KM., M.MKes

PRADINA PUSTAKA
Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen Bencana

Penulis :
M. Khalid Fredy Saputra, S.Kep., Ns., M.Kep. | Ns. Aulia Asman, S.Kep., M.Biomed., AIFO |
Ns. Ana Faizah, S.Kep., M.Biomed | Erna Desi Faradinah, S.K.M. |
Rizki Wan Oktabina, S.KG., M.Si | Maula Mar’atus Solikhah, S.Kep., Ns., M.Kep |
Ns. Anita Lufianti., S.Kep., M.Kes., M.Kep | Ns. Erlangga Galih Z.N., M.Kep., C.NPS |
Ns. Muhammad Arif, S.Kep., M.Kep | Afdhal, S.KM., M. Si |
Ns. Hilma Yessi, S.Kep., M.Kep. | Yeni Rimadeni, S.KM., M.Si. |
Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep | Ns. Mariza Elvira, S.Kep., M.Kep |
Ns. Hidayati, S.KM., M.MKes

Editor :
Dini Wahyu Mulyasari

Proofreader :
Pradina Pustaka

Desain Cover :
Tim Pradina Pustaka

Ukuran :
xii, 234 Hlm
Uk : 15.5 x 23 cm

ISBN : 978-623-8106-05-9
IKAPI : 236/JTE/2022
Cetakan pertama :
Februari 2023

Hak Cipta 2023, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2023 by Pradina Pustaka

Hak cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
Memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

PENERBIT PRADINA PUSTAKA


Dk. Demangan RT 03 RW 04, Bakipandeyan, Kec. Baki - Sukoharjo 57556
Email : pradinapustaka@gmail.com
Telp : 081915176800
www.pradinapustaka.com
(Grup Penerbitan CV. Pradina Pustaka Grup)
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan selalu kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmat dan karunia-Nya karena para penulis dari berbagai Perguruan
Tinggi di Indonesia mampu menyelesaikan naskah buku dengan Judul
“Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen Bencana”. Latar belakang dari
penerbit mengadakan kegiatan Menulis kolaborasi ini adalah untuk
membiasakan Dosen menulis sesuai dengan rumpun keilmuannya.
Buku dengan judul “Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen
Bencana” merupakan media pembelajaran, sumber referensi dan pedoman
belajar bagi mahasiswa. Buku ini juga akan memberikan informasi secara
lengkap mengenai materi apa saja yang akan mereka pelajari yang berasal
dari berbagai sumber terpercaya yang berguna sebagai tambahan wawasan.
Keberhasilan buku ini tentu tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak.
Pokok-pokok bahasan dalam buku ini mencakup: 1) Konsep
Keperawatan Gawat Darurat; 2) Asuhan Keperawatan Gawat Darurat; 3)
Sistem Triage; 4) Konsep, Prinsip Bencana dan Kejadian Luar Biasa; 5)
Prosedur Tindakan Kegawatdaruratan; 6) Prosedur Tindakan Bencana; 7)
Bantuan Hidup Dasar; 8) Mekanisme Syok dan Resusitasi Cairan; 9) Konsep
Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Pernafasan; 10) Konsep
Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Kardiovaskuler; 11) Konsep
Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Pernafasan; 12) Konsep
Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Endokrin; 13) Konsep Pertolongan
Kegawatan Trauma Kepala, Trauma Dada, Trauma Abdomen; 14) Konsep
Pertolongan Kegawatan Intoksinasi Makanan, Obat Dan Binatang Berbisa;
15) Pendidikan Kesehatan Pencegahan dan Penanggulangan Dampak
Bencana.
Akhir kata Dengan terbitnya buku ini, harapan penerbit ialah
menambah referensi dan wawasan baru dibidang pendidikan dan dapat
dinikmati oleh kalangan pembaca baik Akademisi, Dosen, Peneliti,
Mahasiswa atau Masyarakat pada Umumnya.
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. v


DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xi
BAB 1 KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ........................................ 1
A. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat .............................................. 1
B. Definisi Kegawatdaruratan .......................................................................... 2
C. Tujuan pelayanan Gawat Darurat ............................................................... 4
D. Karakteristik Keperawatan Gawat Darurat ................................................. 6
E. Prinsip Keperawatan Gawat Darurat .......................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 9
PROFIL PENULIS ............................................................................................ 10
BAB 2 ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ...................................... 11
A. Konsep Gawat Darurat.............................................................................. 11
B. Tujuan Pelayanan Gawat Darurat............................................................. 11
C. Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat .......................................... 14
D. Penetapan Prioritas ................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21
PROFIL PENULIS ............................................................................................ 22
BAB 3 SISTEM TRIAGE ......................................................................................... 23
A. Definisi Triage ........................................................................................... 23
B. Kualifikasi Perawat Triage......................................................................... 24
C. Klasifikasi Triage ....................................................................................... 25
D. Pengkategorian Triage .............................................................................. 27
E. Alogaritma Triage ...................................................................................... 28
F. Pengkajian Triage Dalam Kegawatdaruratan ........................................... 29

vi
DAFTAR ISI

G. Anamnesis dalam Triage .......................................................................... 30


H. Prosedur Cara Kerja Triage ...................................................................... 30
I. Kriteria Kasus Dan Prioritas Kegawatdaruratan dalam Mekanisme Triage
.................................................................................................................. 32
J. Faktor Pertimbangan dalam Pengambilan Keputusan Triage .................. 33
K. Implikasi dan Tantangan Penetapan Triage ............................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 35
PROFIL PENULIS ............................................................................................ 36
BAB 4 KONSEP, PRINSIP BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA .............. 37
A. Latar Belakang .......................................................................................... 37
B. Definisi Bencana ....................................................................................... 38
C. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) ........................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 49
PROFIL PENULIS ............................................................................................ 50
BAB 5 PROSEDUR TINDAKAN KEGAWATDARURATAN.................................. 51
A. Definisi Kedaruratan .................................................................................. 51
B. Gejala dan Tanda Pada Kedaruratan Medis ............................................ 52
C. Gangguan Medis yang Umum Ditemukan ................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 57
PROFIL PENULIS ............................................................................................ 58
BAB 6 PROSEDUR TINDAKAN BENCANA ......................................................... 59
A. Prosedur Bencana Banjir .......................................................................... 59
B. Prosedur Bencana Gempa Bumi .............................................................. 64
C. Prosedur Bencana Kebakaran .................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 72
PROFIL PENULIS ............................................................................................ 73
BAB 7 BANTUAN HIDUP DASAR (BHD) .............................................................. 74
A. Pengertian dan Tujuan Bantuan Hidup Dasar .......................................... 74
B. Golden Periode ......................................................................................... 76
C. Chain Of Survival ...................................................................................... 78

vii
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

D. AHA Guidelines For Cardiopulmonary Resusitation (CPR) 2020 ............ 80


E. Automated External Defibrilator (Aed) ...................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 88
PROFIL PENULIS ............................................................................................ 89
BAB 8 MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN .......................................... 90
A. Konsep Dasar Syok .................................................................................. 90
B. Resusitasi Cairan ...................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 103
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 105
BAB 9 KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
PERNAPASAN ...................................................................................................... 106
A. Pertolongan Kegawatan Sistem Pernapasan ......................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 121
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 123
BAB 10 KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER ............................................................................................. 124
A. Anatomi Fisiologi Sistem Kardiovaskuler ................................................ 124
B. Penyakit Sistem Kardiovaskuler ............................................................. 130
C. Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Kardiovaskuler ..................... 132
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 137
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 139
BAB 11 KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM
PERSYARAFAN.................................................................................................... 140
A. Konsep Dasar.......................................................................................... 140
B. Manajemen Keperawatan ....................................................................... 153
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 157
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 159
BAB 12 KEGAWATDARURATAN ENDOKRINE ................................................ 160
A. KAD (Ketoasidosis Diabetikum) .............................................................. 160
B. Penyebab KAD ........................................................................................ 161

viii
DAFTAR ISI

C. Tanda Dan Gejala KAD........................................................................... 161


D. Asuhan Keperawatan Dan Penilaian Berkelanjutan ............................... 162
E. Pendidikan ............................................................................................... 163
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 167
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 168
BAB 13 KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL ............... 169
A. Trauma Kapitis ........................................................................................ 169
B. Trauma Abdomen ................................................................................... 178
C. Trauma Thorax ........................................................................................ 184
D. Trauma Muskuloskeletal ......................................................................... 192
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 203
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 204
BAB 14 KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN,
OBAT DAN BINATANG BERBISA ...................................................................... 205
A. Kegawatan Intoksikasi Makanan ............................................................ 205
B. Kegawatan Intoksikasi Obat ................................................................... 215
C. Kegawatan Intoksikasi Binatang Berbisa ................................................ 217
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 219
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 221
BAB 15 PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA .............................................................................. 222
A. Tahap Pencegahan dan Mitigasi Bencana ............................................. 224
B. Tahap Kesiapsiagaan Bencana .............................................................. 226
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 234
PROFIL PENULIS .......................................................................................... 235

ix
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Simple Triage and Rapid Treatment (START) (Ryan et al., 2013) ....... 29
Gambar 2. Chain Of Survival For Adult (AHA, 2020) .............................................. 79
Gambar 3. Chain Of Survival For Child And Pediatric (AHA, 2020) ....................... 80
Gambar 4. Tanda dan Gejala Syok ......................................................................... 95
Gambar 5. Penatalaksanaan Syok dengan Resusitasi Cairan ............................. 100
Gambar 6. Sistem Pernafasan .............................................................................. 107
Gambar 7. Algoritme penanganan serangan asma akut di Unit Gawat Darurat1 . 119
Gambar 8. Letak Jantung ...................................................................................... 125
Gambar 9. Ruang Jantung .................................................................................... 125
Gambar 10. A. Lapisan Jantung. B. Katup Jantung .............................................. 127
Gambar 11. Sistem Konduksi Jantung .................................................................. 129
Gambar 12. Gangguan Pembuluh darah di otak................................................... 141
Gambar 13. Stroke hemoragik dan stroke iskemik ............................................... 145
Gambar 14. Fraktur Kranial ................................................................................... 172
Gambar 15. Tanda-tanda Fraktur Kranial ............................................................. 172
Gambar 16. Anisokoria pupil ................................................................................. 174
Gambar 17. The Pneumatic Anti-Shock Garment (PASG) ................................... 184
Gambar 18. Open Pneumothorax ......................................................................... 186
Gambar 19. Tension pneumothorax ...................................................................... 187
Gambar 20. Flail chest ........................................................................................... 189
Gambar 21. Fraktur costae .................................................................................... 190
Gambar 22. Kontusio paru..................................................................................... 191
Gambar 23. Jenis fraktur ....................................................................................... 194
Gambar 24. Dislokasi radius.................................................................................. 195
Gambar 25. Strain.................................................................................................. 196
Gambar 26. Strain.................................................................................................. 196
Gambar 27. Pasien yang terpasang LSB .............................................................. 199
Gambar 28. Siklus Penanggulangan Bencana ..................................................... 223
Gambar 29. Siklus Latihan Kesipasiagaan ........................................................... 228

x
DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Prioritas Kegawatan................................................................................... 32


Tabel 2. Jenis Cairan Resusitasi ............................................................................. 98
Tabel 3. Deskripsi Kanula Intravena...................................................................... 101
Tabel 4. Kriteria Gagal Nafas Menurut Ponttopidan ............................................. 109
Tabel 5. Skala Koma Glasgow .............................................................................. 154
Tabel 6.Tabel Diagnosa Keperawatan .................................................................. 155

xi
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

[halaman ini sengaja dikosongkan]

xii
BAB 1
KONSEP KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT
M. Khalid Fredy Saputra, S.Kep., Ns., M.Kep
Stikes Baitul Hikmah Lampung

A. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat


Konsep dasar keperawatan gawat darurat atau biasa disebut
dengan (Emergency Nursing) ialah sebagai pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien
dengan injuri akut atau sakit yang dapat mengancam kehidupan
seseorang. Sebagai seorang spesialis maupun seorang perawat
gawat darurat harus dapat menghubungkan pengetahuan dan
keterampilannya untuk bisa secara cepat melakukan penanganan
respons pasien pada resusitasi, syok, trauma, ketidakstabilan
multisistem, keracunan dan kegawatan yang mengancam jiwa
lainnya (Krisanty et al., 2009).
Keperawatan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan
profesional keperawatan yang harus segara di berikan perawat
kepada seorang pasien dengan kebutuhan yang sifatnya darurat
dan kritis. Namun terkadang ruangan UGD dan klinik
kedaruratan juga kerap di gunakan untuk permasalahan yang
tidak urgen. Oleh karenanya filosofi mengenai keperawatan
gawat darurat ini menjadi lebih luas, kedaruratan yaitu bentuk
apapun yang di alami oleh pasien atau keluarga harus di
pertimbangkan sebagai kedaruratan (Jainurakhma et al., 2021).
Pelayanan keperawatan gawat darurat bukan hanya
membantu ataupun menolong kondisi gawat yang dialami pasien
tetapi, akan tetapi juga membantu dalam mengatasi kecemasan
yang di alami pasien dan keluarga. Asuhan keperawatan gawat
darurat ialah susunan dari aktivitas praktik keperawatan gawat
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

darurat yang dilakukan oleh perawat profesional dan kompeten


kepada pasien dalam memberikan asuhan keperawatan gawat
darurat. Pemberian asuhan ini di lakukan untuk mengatasi
permasalahan biologi, sosial, dan psikologi baik aktual maupun
potensial yang timbul secara mendadak ataupun bertahap
(Maria, Pusparina and Norfitri, 2019).

B. Definisi Kegawatdaruratan
Makna dari gawat sendiri ialah suatu hal yang mengancam
nyawa, sedangkan darurat ialah segala sesuatu yang perlu
ataupun segera mendapatkan penanganan dan sebuah tindakan
untuk menghilangkan ancaman nyawa seseorang. Jadi, bisa di
katakan bahwa gawat darurat merupakan suatu keadaan yang
mengancam nyawa seseorang dan harus dilakukan tindakan
sesegera mungkin untuk menghindari kecacatan bahkan
kematian seseorang (Hutabarat and Putra, 2016). Gawat darurat
merupakan suatu keadaan yang bisa terjadi secara mendadak
dan dapat mengakibatkan seseorang atau banyak orang
memerlukan penanganan/pertolongan segera dalam arti
pertolongan secara cermat, tepat dan cepat (Putri, 2015).
Keadaan darurat ialah suatu keadaan yang terjadi secara
mendadak, sewaktu-waktu, kapan saja, dimana saja dan dapat
menyangkut kepada siapa saja sebagai suatu akibat dari sebuah
kecelakaan, proses medik ataupun sebab dari perjalanan suatu
penyakit (Putri, 2015).
Situasi gawat darurat sendiri bukan hanya terjadi akibat lalu
lintas jalan raya saja, tetapi juga dapat terjadi dalam lingkup
keluarga maupun perumahan. Sebagai contoh bahwa seseorang
yang tadinya terlihat sehat di rumah ataupun seseorang yang
sedang berolahraga tiba – tiba saja terkena serangan penyakit
jantung, seorang yang sedang makan tiba-tiba tersedak, seorang
yang sedang membersihkan halaman rumah ataupun sedang
beraktivitas di kebun tiba-tiba digigit ular berbisa, dan lain
sebagainya. Ke semua tragedi dan situasi tersebut perlu segera di

2
BAB 1
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

lakukan penanganan secara cepat dalam hitungan menit bahkan


detik, Dalam hal ini sehingga perlu pengetahuan praktis bagi
semua masyarakat tentang pertolongan pertama pada gawat
darurat. Pertolongan pertama pada gawat darurat merupakan
tahapan maupun serangkaian usaha utama dan pertama yang
dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka
menolong dan menyelamatkan pasien secara cepat (Sutawijaya,
2009). Gawat Darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan
tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan
pencegahan kecacatan (DepKes, 2018). Pelayanan
kegawatdaruratan ialah sebuah tindakan medis yang dilakukan
oleh perawat kompeten dan profesional kepada pasien gawat
darurat yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin
untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan
(DepKes, 2018).
Kegawadaruratan medis adalah insiden cedera atau sakit
yang akut dan dapat menimbulkan risiko langsung terhadap
kehidupan atau kesehatan jangka panjang seseorang (Rosdahl
and Kowalski, 2020). Kondisi darurat tersebut memerlukan
bantuan orang lain yang idealnya memiliki kualifikasi dan
keahlian untuk melakukan pertolongan, hal ini juga
membutuhkan keterlibatan dari berbagai pelayanan multi level,
baik dari pemberi pertolongan pertama, teknisi sampai
pelayanan kesehatan gawat darurat. Dalam merespons
kegawatdaruratan telah dibentuk emergency medikal service
(EMS) atau di sebut pula layanan kegawatdaruratan medis.
Tujuan utama dari layanan ini adalah memberikan pertolongan
dan pengobatan kepada pasien yang membutuhkan perawatan
medis mendesak dengan tujuan menstabilkan kondisi saat itu,
dan menyediakan transpor efisien dan efektif bagi pasien menuju
layanan pengobatan definitif. Secara umumnya bahwa semua
layanan kegawatdaruratan medis memberikan atau
menyediakan layanan bantuan hidup dasar. Bantuan hidup dasar
ini merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan pada pasien

3
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

sakit yang mengancam nyawa atau cedera sampai pasien


tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan penuh di rumah
sakit. Tujuan di berikannya BHD ini ialah untuk menyediakan
sirkulasi darah yang adekuat sehingga terjadinya pembebasan
jalan napas (Mozaffarian et al., 2016).

C. Tujuan pelayanan Gawat Darurat


Yang menjadi suatu tujuan dalam penanggulangan gawat
darurat ini ialah:
1. Memberikan pertolongan dan mencegah cacat pada pasien
gawat darurat, sehingga dapat menyelamatkan hidupnya dan
berfungsi kembali dalam masyarakat.
2. Merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan yang lebih memadai.
3. Pelayanan gawat darurat juga bertujuan dalam
penanggulangan korban bencana
Situasi kondisi pada gawat darurat dapat terjadi dimana
saja, baik pre hospital maupun in hospital ataupun post hospital,
oleh karena itu tujuan dari pertolongan gawat darurat lain ada
tiga bagian yaitu:
1. Pre Hospital
Rentang kondisi gawat darurat pada pre hospital dapat
dilakukan orang awam khusus maupun petugas kesehatan
diharapkan dapat melaksanakan suatu tindakan penanganan
berupa:
a. Membuang dan menyingkirkan segala benda berbahaya
di tempat kejadian yang berisiko menyebabkan jatuh
korban lagi, misalnya pecahan kaca yang masih
menggantung ataupun benda tajam lainnya.
b. Melakukan triase atau memilih dan menentukan kondisi
gawat darurat serta memberikan pertolongan pertama
sebelum petugas kesehatan yang lebih ahli dan

4
BAB 1
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

profesional datang untuk membantu memberikan


pertolongan.
c. Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara
d. Melakukan evakuasi yaitu korban segera dipindahkan ke
tempat yang lebih aman atau dikirim ke pelayanan
kesehatan dengan kesesuaian kondisi korban
e. Mempersiapkan masyarakat awam khusus dan petugas
kesehatan melalui pelatihan siaga bencana
2. In Hospital
Kondisi gawat darurat in hospital dilakukan tindakan
menolong korban oleh petugas kesehatan. Tujuan
pertolongan di rumah sakit adalah:
a. Memberikan pertolongan profesional kepada korban
bencana sesuai dengan kondisinya
b. Memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan
Hidup Lanjut (BHL)
c. Melakukan stabilisasi dan mempertahankan
hemodinamika yang akurat
d. Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah
kembali ke masyarakat setidaknya setara bila dibanding
bencana menimpanya
e. Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban
mengenali kondisinya dengan segala kelebihan yang
dimiliki
3. Post Hospital
Kondisi maupun situasi gawat darurat post hospital hampir
semua pihak menyatakan sudah tidak ada lagi kondisi gawat
darurat padahal kondisi gawat darurat ada yang terjadi
setelah diberikan pelayanan di rumah sakit, contohnya
korban Bullying. Korban Bullying mengalami gangguan
trauma psikis yang mendalam seperti, merasa tidak berharga,
harga diri rendah, sehingga mengambil jalan pintas dengan

5
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan pelayanan


dalam rentang post hospital adalah:
a. Memotivasi serta mengembalikan kembali rasa percaya
diri korban
b. Mengembalikan harga diri yang hilang sehingga dapat
tumbuh dan berkembang
c. Memberikan atau meningkatkan kemampuan
bersosialisasi pada orang-orang terdekat dan masyarakat
yang lebih luas
d. Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupannya
pada masa yang akan datang (Hutabarat and Putra,
2016).

D. Karakteristik Keperawatan Gawat Darurat


Keperawatan gawat darurat atau emergency nursing ialah
bentuk pelayanan keperawatan yang komprehensif diberikan
kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yang mengancam
kehidupan. Kegawatdaruratan medis dapat diartikan sebagai
suatu keadaan cedera atau sakit akut yang pada dasarnya
membutuhkan intervensi maupun tindakan sesegera mungkin
untuk misi penyelamatan nyawa atau mencegah kecacatan serta
rasa sakit pada pasien. Pasien gawat darurat merupakan pasien
yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan cepat
untuk menolong dan menyelamatkan kondisi pasien serta
mencegah terjadinya kecacatan.
Derajat kegawatdaruratan serta kualitas dari penanganan
yang akan diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai
tingkatan pelayanan, baik dari penolong pertama, teknisi
kesehatan kegawatdaruratan serta dokter kegawatdaruratannya
itu sendiri. Respons terhadap keadaan kegawatdaruratan medis
bergantung kuat pada situasinya. Keterlibatan pasien itu sendiri
serta ketersediaan sumber daya untuk menolong. Hal tersebut
beragam tergantung dimana peristiwa kegawatdaruratan itu

6
BAB 1
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

terjadi, diluar atau didalam rumah sakit (Rosdahl and Kowalski,


2020). Karakteristik keperawatan gawat darurat:
1. Tingkatan kegawatdaruratan dan jumlah pasien sulit
diprediksi
2. Keterbatasan waktu, data, fasilitas dan sarana prasarana:
pengkajian, diagnosis, dan tindakan yang akan di lakukan
3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia
4. Tindakan memerlukan ketepatan dan juga kecepatan tinggi
5. Saling ketergantungan antara profesi kesehatan

E. Prinsip Keperawatan Gawat Darurat


Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus
cepat dan tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap orang
yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam, perawat,
para medis, dokter), baik di dalam maupun di luar rumah sakit
karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa
saja.
1. Mempunyai sikap tenang tetapi cekatan, cepat tanggap dan
berpikir sebelum melakukan tindakan.
2. Tidak panik dalam situasi kondisi apa pun.
3. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban, wali
ataupun saksi.
4. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap
permasalahan yang dapat mengancam nyawa (henti napas,
nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
5. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan
tindakan secara menyeluruh. Pertahankan korban pada
posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi
korban dari kedinginan.
6. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan
pertolongan dan bantuan untuk memberi ketenangan dan
keyakinan kepada pasien dari pertolongan yang akan di
berikan.

7
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

7. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu,


memindahkan jika hanya ada kondisi yang membahayakan.
8. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau
perkiraan kemungkinan tindakan anestesi umum dalam
waktu dekat.
9. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan
pertama selesai dilakukan dan terdapat alat transportasi
yang memadai.
Kondisi gawat darurat bisa diklasifikasikan sebagai berikut
ini, (Ida Mardalena, 2019)
1. Gawat darurat
Kondisi dimana nyawa seseorang dapat terancam apabila
tidak segera mendapatkan bantuan dan pertolongan. Contoh
: gawat nafas, gawat jantung, kejang, koma, trauma kepala
dengan penurunan kesadaran.
2. Gawat tidak darurat
Kondisi ataupun keadaan dimana pasien berada dalam
kondisi gawat, tetapi tidak memerlukan tindakan yang
darurat contohnya : kanker stadium lanjut
3. Darurat tidak gawat
Musibah yang datang tiba-tiba tetapi tidak mengancam
nyawa atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang
tertutup.
4. Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD

8
BAB 1
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DAFTAR PUSTAKA
DepKes, R.I. (2018) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan,
Tersedia http//www depkesgoid/resources/download/pu
sdatin/profil.
Hutabarat, R.Y. and Putra, C.S. (2016) ‘Asuhan Keperawatan
Kegawatdaruratan’, Bogor: In Media [Preprint].
Ida Mardalena, I.M. (2019) ‘Asuhan keperawatan gawat darurat’.
Jainurakhma, J. et al. (2021) Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.
Yayasan Kita Menulis.
Krisanty, P. et al. (2009) Asuhan keperawatan gawat darurat. Trans
Info Media.
Maria, I., Pusparina, I. and Norfitri, R. (2019) Caring dan Comfort
Perawat Dalam Kegawatdaruratan. Deepublish.
Mozaffarian, D. et al. (2016) ‘Heart disease and stroke statistics—
2016 update: a report from the American Heart Association’,
circulation, 133(4), pp. e38–e360.
Putri, P.D. (2015) ‘Aplikasi Panduan Pertolongan Pertama Pada
Keadaan Darurat Berbasis Android’[Preprint].
Rosdahl, C.B. and Kowalski, M.T. (2020) ‘Buku Ajar Keperawatan
Dasar: Higiene Personal’.
Sutawijaya, R.B. (2009) ‘Gawat Darurat Panduan Kesehatan Wajib di
Rumah Anda’, Yogyakarta: Aulia Publishing [Preprint].

9
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PROFIL PENULIS
M. Khalid Fredy Saputra, S.Kep., Ns.,
M.Kep adalah penulis buku keperawatan
gawat darurat dan manajemen bencana.
Penulis merupakan anak dari Drs. H
Mudarni, M.Pd.I dan Hj. Erna Wati, S.Pd
sebagai anak ke- dua dari tiga bersaudara,
Kakak penulis bernama M.Eko Arif Saputra,
S.Pd dan adik bernama Apt. Rizka Amalia
Putri, S.Farm. Penulis menempuh pendidikan di SDN 1 Pasar Krui,
melanjutkan pendidikan di MTs NU Krui, MAN 1 Pesisir Barat
kemudian melanjutkan kuliah di perguruan tinggi dengan
jurusan S1 Keperawatan ( S.Kep ) dan Profesi Ners ( Ns ) di
Universitas Mitra Indonesia, setelah itu melanjutkan kuliah lagi
di jenjang S2 dengan jurusan Magister Keperawatan di
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Penulis aktif di dunia organisasi saat menjadi pelajar dan di
bangku perkuliahan, pernah menjabat sebagai Presiden BEM di
Universitas Mitra Indonesia, aktif di HMI (Himpunan mahasiswa
Islam), LDK (Lembaga dakwah kampus), UKM Seni dan Olahraga,
Pramuka, PPI Pesisir Barat dan kerap di undang menjadi
narasumber di berbagai kegiatan seminar.
Penulis adalah Owner serta Direktur Utama di CV. Sahabat
Cerdas Indonesia, sebagai praktisi keperawatan dan menjadi
dosen keperawatan perguruan tinggi di provinsi lampung,
Penulis juga sering mengikuti berbagai kegiatan pelatihan
sertifikasi dan mendapatkan berbagai gelar non akademik
seperti CP.NNLP, CH., CHt., CBWCN., C.PI., C.PS., C.MPI dan lain
sebagainya.

10
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT
Ns. Aulia Asman, S.Kep., M.Biomed., AIFO
Universitas Negeri Padang

A. Konsep Gawat Darurat


Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat
adalah perlu mendapatkan penanganan atau tindakan segera
untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Jadi, gawat
darurat adalah keadaan yang mengancam nyawa yang harus
dilakukan tindakan segera untuk menghindari kecacatan bahkan
kematian korban (Hutabarat & Putra, 2016).
Situasi gawat darurat tidak hanya terjadi akibat lalu lintas
jalan raya yang sangat padat saja, tapi juga dalam lingkup
keluarga dan perumahan pun sering terjadi. Misalnya, seorang
yang habis melakukan olahraga tiba-tiba terserang penyakit
jantung, seorang yang makan tiba-tiba tersedak, seorang yang
sedang membersihkan rumput di kebun tiba-tiba digigit ular
berbisa, dan sebagainya. Semua situasi tersebut perlu diatasi
segera dalam hitungan menit bahkan detik, sehingga perlu
pengetahuan praktis bagi semua masyarakat tentang
pertolongan pertama pada gawat darurat. Pertolongan pertama
pada gawat darurat adalah serangkaian usaha-usaha pertama
yang dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka
menyelamatkan pasien dari kematian (Sutawijaya, 2009).

B. Tujuan Pelayanan Gawat Darurat


Kondisi gawat darurat dapat terjadi dimana saja, baik pre
hospital maupun in hospital ataupun post hospital, oleh karena
itu tujuan dari pertolongan gawat darurat ada tiga yaitu:
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

1. Pre Hospital
Rentang kondisi gawat darurat pada pre hospital dapat
dilakukan orang awam khusus ataupun petugas kesehatan
diharapkan dapat melakukan tindakan penanganan berupa:
1. Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian
yang berisiko menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya
pecahan kaca yang masih menggantung dan lain-lain.
2. Melakukan triase atau memilih dan menentukan kondisi
gawat darurat serta memberikan pertolongan pertama
sebelum petugas kesehatan yang lebih ahli datang untuk
membantu
3. Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara
4. Melakukan evakuasi yaitu korban dipindahkan ke tempat
yang lebih aman atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang
sesuai kondisi korban
5. Mempersiapkan masyarakat awam khusus dan petugas
kesehatan melalui pelatihan siaga terhadap bencana
2. In Hospital
Kondisi gawat darurat in hospital dilakukan tindakan
menolong korban oleh petugas kesehatan. Tujuan pertolongan di
rumah sakit adalah:
1. Memberikan pertolongan profesional kepada korban
bencana sesuai dengan kondisinya
2. Memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup
Lanjut (BHL)
3. Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamika
yang akurat
4. Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah
kembali ke masyarakat setidaknya setara bila dibanding
bencana menimpanya
5. Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban
mengenali kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki

12
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

3. Post Hospital
Kondisi gawat darurat post hospital hampir semua pihak
menyatakan sudah tidak ada lagi kondisi gawat darurat padahal
kondisi gawat darurat ada yang terjadi setelah diberikan
pelayanan di rumah sakit, contohnya korban perkosa.
Korban perkosa mengalami gangguan trauma psikis yang
mendalam seperti, merasa tidak berharga, harga diri rendah,
sehingga mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya
sendiri.
Tujuan diberikan pelayanan dalam rentang post hospital
adalah:
1. Mengembalikan rasa percaya diri pada korban
2. Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat
tumbuh dan berkembang
3. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi pada orang-orang
terdekat dan masyarakat yang lebih luas
4. Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat
kehidupan nyata korban
5. Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupannya pada
masa yang akan datang (Hutabarat & Putra, 2016).
Tujuan penanggulangan gawat darurat adalah:
1. Mencegah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat,
hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat.
2. Merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan yang lebih memadai.
3. Penanggulangan korban bencana Penolong harus
mengetahui penyebab kematian agar dapat mencegah
kematian.
Berikut ini penyebab kematian, antara lain:
1. Mati dalam waktu singkat (4-6 menit)
a. Kegagalan sistem otak
b. Kegagalan sistem pernapasan

13
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

c. Kegagalan sistem kardiovaskuler


2. Mati dalam waktu lebih lama (perlahan-perlahan)
d. Kegagalan sistem hati
e. Kegagalan sistem ginjal (perkemihan)
f. Kegagalan sistem pankreas (Krisanty et al., 2016)

C. Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


Keperawatan gawat darurat (emergency nursing) adalah
asuhan keperawatan yang diberikan kepada individu dan
keluarga yang mengalami kondisi yang mengancam kehidupan
atau cenderung mengancam kehidupan yang terjadi secara tiba-
tiba (Luckman and Sorensen, 1987).
Penerapan Proses Keperawatan pada kedaruratan sebagai
suatu pendekatan ilmiah, pada prinsipnya sama dengan di lahan
praktik lainnya (Asman, A,2022). walaupun terdapat faktor-
faktor spesifik yang mempengaruhi pengkajian atau pelaksanaan
intervensi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah :
1. Faktor keterbatasan waktu
2. Kondisi pasien yang kritis
3. Kemungkinan dibutuhkannya tindakan segera di ruangan
lain
4. Keterbatasan data yang ada.
5. Biasanya tindakan dilakukan sebelum pengkajian lengkap
dilakukan. Tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan
pengkajian utama. Oleh karena itu pada umumnya pada
pasien gawat darurat, digunakan standar rencana asuhan
keperawatan yang terdiri dari dua masalah keperawatan
utama (Asman A,et al, 2022).

D. Penetapan Prioritas
Tujuan asuhan keperawatan gawat darurat adalah
melakukan dengan segera resusitasi yang efektif dan stabilitasi
pasien gawat. Dengan cara mengidentifikasi pasien dengan

14
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

kondisi yang paling berbahaya sehingga dapat memberikan


tindakan segera disebut dengan Triage ( Lackman and Spicayco,
1987);Polasky and Tairo, 1996)
Terdapat beberapa cara penerapan kategori pada triage .
Menurut Phipps and Long (1985), kategori triage meliputi ;
1. Pasien dengan luka/trauma yang dapat sembuh/ tertolong
dengan tindakan yang cepat dan tepat.
2. Pasien dengan luka/trauma berat yang mungkin sembuh
dengan pertolongan.
3. Pasien dengan luka/trauma yang dapat sembuh dengan
sedikit/tanpa pertolongan
4. Pasien dengan luka/trauma yang menunjukkan tanda-tanda
Kematian dan sedikit kemungkinan tertolong walaupun
diberi pertolongan.
Polaski dan Tatro (1996), mengatakan kategori triage
dibedakan atas 3 kategori, yaitu :
1. Kategori Darurat (emergency) adalah kondisi yang
mengancam kehidupan meliputi ABC ( Airway, breathing and
circulation), dimana pasien akan meninggal jika tidak diberi
pertolongan segera. Kategori darurat termasuk obstruksi
jalan nafas, kardiak arrest, nyeri dada dengan dispnu dan
sianosis, koma, luka dada yang terbuka, kondisi psikologis
yang membahayakan.
2. Kategori segera (urgent) adalah kondisi yang memerlukan
tindakan dalam hitungan beberapa jam. Kategori segera
meliputi perdarahan intra peritoneal, stroke, nyeri hebat,
paralis yang tiba-tiba, nauses dan vomiting yang terus
menerus.
3. Kategori tidak segera (non urgent), yaitu kondisi yang tidak
mengancam kehidupan, dimana tindakan dapat ditunda
dalam beberapa jam. Kategori tidak segera termasuk trauma
atau luka ringan, fraktur tanpa perdarahan berat.

15
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Sistem triage dibedakan dengan memberi warna yaitu :


0 : Hitam = Meninggal
1 : Merah – Life Threatening= Kritis
• Harus segera ditolong dan selama perjalanan
• Pada Respiratory Insuffiency cardiac arrest,
Perdarahan, trauma abdomen berat.
2 : Kuning = Serius
• Dapat di tolong di pelayanan kesehatan
• Fraktur tertutup
• Trauma jaringan lunak, tanpa perdarahan
• Luka bakar < 40 %
3 : Hijau = Minimal
• Luka Ringan

Prioritas utama yang segera mendapat tindakan adalah:


1 Perubahan yang bermakna pada tanda vital
• Hipotensi
• Hipertensi
• Disritmia Jantung
• Distres Pernafasan
2 Gangguan tingkat kesadaran
3 Nyeri dada terutama pada klien/pasien dengan umur
. 35 tahun
4 Nyeri hebat
5 Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan
penekanan
6 Kondisi yang akan bertambah buruk bila tidak segera
ditolong : luka bakar, keracunan obat/kimia
7 Tiba-tiba penglihatan hilang
8 Perilaku yang membahayakan (Black and Jacobs,
1996)

Pengkajian awal pada pasien trauma atau pasien tidak


sadar:
1 Immobilisasi Serfikal
2 Kaji jalan Nafas
3 Pemasangan alat bantu jalan nafas oleh dokter
4 Observasi pola pernafasan bila perlu beri bantuan nafas

16
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

5 Stop Perdarahan
6 Pasang Infus
7 Berikan Oksigen
8 Kaji bagian kepala dan leher → Cervical Coller
9 Identifikasi data tentang penyakit pasien → kartu, gelang
10 Kaji Pengembangan dada
11 Kaji ektremitas atas, palpasi nadi
12 Kaji abdomen → Distensi, Lesi
13 Kaji Tulang belakang
14 Kaji ekstremitas bawah

Diagnosa Keperawatan :
1 Jalan nafas yang tidak efektif
2 Gangguan kebutuhan O2
3 Gangguan keseimbangan cairan
4 Penurunan Kardiak output

1. Manajemen Psikologi Pasien dan Keluarga pada


Situasi Gawat Darurat
1. Pendekatan kepada Pasien
Trauma atau kesakitan yang tiba-tiba akan mengganggu
keseimbangan (homeostasis) fisiologis dan psikologis.
Pengkajian psikologis pasien meliputi evaluasi ekspresi
emosi, derajat cemas dan fungsi kognitif (orientasi waktu,
tempat dan orang).
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi adalah :
a. Cemas berhubungan dengan trauma
b. Koping individu yang tidak efektif berhubungan dengan
situasi kritis yang akut
Tujuan utama pemberian asuhan keperawatan adalah
mengurangi cemas, yang merupakan persyaratan untuk
meningkatkan kemampuan koping individu (Smelzer and
Bare, 1996).

17
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Tindakan Keperawatan adalah


Pasien yang mengalami trauma atau kesakitan yang tiba-tiba,
sering kali bingung, takut dan cemas karena kejadian yang
tiba-tiba tidak ada waktu untuk membahas kejadian itu
dengan orang lain. Mereka merasa akan meninggal, tidak
dapat berbuat apa-apa, tidak ada harapan dan lemah. Oleh
karena itu mereka yang membantu pasien harus melakukan
tindakan dengan percaya diri dan kompeten. Pendekatan
yang caring (perhatian, bertanggung jawab, dan tulus) akan
meningkatkan rasa aman mereka. Kontak langsung dengan
memberi kata-kata yang meyakinkan pasien akan membantu
mengurangi kecemasan pasien (Polaski and Tatre, 1996;
Smeltxer and Bare, 1996)
2. Pendekatan kepada Keluarga
Keluarga diberitahu secara periodik dimana pasien, keadaan
pasien dan tindakan apa yang sedang dilakukan bila keluarga
menghadapi keadaan kritis atau keamanan, keluarga akan
mengalami beberapa fase perasaan (stage of feeling) yaitu
cemas, denial (menolak),guitl (merasa bersalah), anger
(marah), grief (berduka), dan rekonsiliasi (Asman.A,et al,
2020).
Terkait dengan situasi ini diagnosa keperawatan yang
mungkin terjadi griefing (berduka) berhubungan dengan
krisis situasi yang akut. Untuk membantu keluarga
menghadapi proses ini, diperlukan sikap yang caring dari
perawat yang diawali dengan adanya kontrak.
Panduan tindakan keperawatan dalam membantu keluarga
menghadapi kematian mendadak di UGD :
a. Ajak bicara di suatu ruang khusus
b. Bicara dengan semua keluarga bersama-sama sehingga
mereka dapat bersama-sama menghadapi proses
berduka tersebut.

18
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

c. Jelaskan kepada keluarga bahwa upaya optimal sudah


dilakukan
d. Tunjukan kepada keluarga rasa empati dengan kejadian
tersebut dengan menjadi pendengar yang baik dan
memberi respons yang tepat tentang pertanyaan mereka.
e. Menganjurkan keluarga untuk saling mendukung dalam
menghadapi proses berduka tersebut.
f. Jangan memberi obat sedatif kepada anggota keluarga,
tetapi bantulah anggota keluarga melalui proses berduka
sehingga mereka dapat menghadapinya Pemberian obat
sedatif dapat memperpanjang depresi.
g. Menganjurkan keluarga melihat jenazah pasien, bila
mereka mau, dengan menemani mereka. Tunjukan rasa
empati saudara dengan menyentuh jenazah sehingga
keluarga akan mengikuti
h. Sediakan waktu beberapa menit dengan keluarga,
dengarkan mereka dan berikan bantuan yang mereka
harapkan.
i. Jangan memberikan informasi yang tidak bermanfaat
misalnya pasien adalah pemabuk, pasien mempunyai
kebiasaan ngebut, dll. (Smeltzer and Bare, 1996).

2. Aspek Etik pada Keperawatan Kedaruratan


Prinsip=prinsip moral keperawatan yaitu otonomi,
beneficence, nonmaleficence, justice (adil), veracity, avoiding
killing and fidelity, berlaku untuk semua pasien, termasuk pada
pasien gawat darurat. Namun pada keperawatan gawat darurat
yang spesifik adalah tentang informed consent dan hak untuk
privacy dan confidentialily.
1. Informed Concert
Sesuai dengan prinsip-prinsip moral, maka salah satu aspek
etik yang penting adalah penghargaan akan otonomi klien.
Hal ini berarti, setiap tindakan yang dilakukan kepada klien

19
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

dilakukan bila pasien/klien mengerti dan menyetujui tentang


pengobatan atau tindakan yang dilakukan (Informed
Concert). Dengan demikian bila pasien/klien tidak setuju, dia
dapat menolak tindakan tersebut.
Dalam keadaan gawat darurat, klien sering tidak dapat
membuat keputusan. Oleh karena itu berlaku apa yang
disebut doktrin gawat darurat (emergency doctrine), artinya
kaluarga pasien/klien tidak dapat memberikan persetujuan
atau tidak sadar, tindakan kedaruratan dapat dilakukan,
karena bila tindakan tidak dilakukan akan dapat mengancam
kehidupan pasien.
2. Hak untuk Privacy dan Confidentiality
Hak pasien untuk Privacy dan Confidentialy berlaku untuk
semua pasien termasuk pasien gawat darurat. Informasi
tentang kondisi pengobatan, hasil pengobatan dan perawatan
pasien harus di hormati dan dirahasiakan. Komunikasi
tentang informasi tersebut harus seizin klien atau
keluarganya. (Black and Jacobs, 1996).

20
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DAFTAR PUSTAKA
Asman A, et al (2022) Konsep keperawatan Gawat Darurat dan
Manajemen Bencana. Cetakan I debruari 2022, ISBN :978-623-
448-023-8, Penerbit : PRCI. 180 hal.
Asman A, et al (2020) Mitigation and Adaptation of Community using
AHP in Earthquake Disaster-Prone Areas in Pagar Alam City –
Indonesia, ISSN : 2394-0913.
Asman A, et al (2022) Keperawatan Bencana. Cetakan I Juli 2022,
ISBN :978-623-448-153-2, Penerbit : PRCI.
Black, I. M, and Jacobs, E. M (1996). Medical Surgical Nursing : A
Psychophysiologic Approach. Philidelphia: W.B Saunders
Company.
Hutabarat, R. Y., & Putra, C. S. (2016). Asuhan Keperawatan
Kegawatdaruratan. Bogor: In Media.
Krisanty, P., Manurung, S., Suratun, Wartonah, Sumartini, M., Dalami,
E. Setiawati. (2016). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.
(Jusirman, Ed.). Jakarta: Trans Info Media.
Luckmann, J and Sorensen, K.C (1987) Medical Surgical
Nursing.Philidelphia : W. B. Saunders Company.
Phipps and Long (1983). Essentials of Medical surgical Nursing.
Philidelphia : W. B. Saunders Company.
Polaski, A.L ; and Tatro, S.e. (1996). Care Principles and Practice of
Medical Surgical Nursing. Philadelphia: W. B. Saunders
Company.
Smeltzer, S.C. and Bare, B.G (1996). Textbook of Medical Surgical
Nursing. Philidelphia : Lippincott
Sutawijaya, R. B. (2009). Gawat Darurat. (Farah, Ed.). Yogyakarta:
Briliant Offset.

21
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PROFIL PENULIS
Aulia Asman
Adalah Peneliti, Penulis, Perawat
dan Dosen Diploma III Keperawatan
Universitas Negeri Padang, memperoleh
gelar Sarjana Keperawatan, Ners, di
Universitas Andalas dan Magister
Biomedik di Universitas Andalas. Ia aktif
terlibat dalam setiap penelitian yang
berkaitan dengan Disaster Emergency Keperawatan,
Keperawatan Medikal Bedah, Ilmu Biomedik Dasar (Ilmu Faal/
Anatomi Fisiologi) dan Patofisiologi Keperawatan,serta
menghasilkan beberapa karya ilmiah dalam bentuk Buku, HAKI,
jurnal ter indeks SINTA-Indonesia (ID:6686128) dan SCOPUS
(ID:57218898934). Saat ini merupakan mahasiswa Program
Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang (Gawat
Bencana Kesehatan) dan juga menjadi anggota DPD Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Padang Pariaman. Penulis
memiliki kepakaran dibidang Gawat Medikal Bedah dan Mitigasi
Bencana Kesehatan. Dan untuk mewujudkan karir sebagai dosen
profesional, penulis pun aktif sebagai peneliti dan Pengabdian
dibidang kepakarannya tersebut. Beberapa penelitian dan
Pengabdian yang telah dilakukan didanai oleh internal perguruan
tinggi, dan sedang menunggu patent sederhana mengenai Digital
Infusion Monitoring System. Selain peneliti, penulis juga aktif
menulis di media masa/elektronik dan buku dengan harapan
dapat memberikan kontribusi positif bagi Profesi Keperawatan,
Agama serta Bangsa dan Negara.

22
BAB 3
SISTEM TRIAGE
Ns. Ana Faizah, S.Kep., M.Biomed
Universitas Batam

A. Definisi Triage
Triage berasal dari kata "trier" bahasa Perancis yang
memiliki arti bahasa Indonesia “pemilahan”. Istilah triage
digunakan untuk menggambarkan proses pemilahan dan
pembagian berdasarkan kategori tertentu. Triage digunakan
dalam lingkup keperawatan dan medis untuk mengkategorikan
pasien berdasarkan tingkat keparahan yang dialami, adanya
temuan perluasan, selanjutnya pasien ditentukan sebagaimana
urutan pemilahan triage dengan pertimbangan perawatan dan
pemantauan yang dibutuhkan. Triage juga dimaknai penetapan
derajat urgensi pada luka cedera atau penyakit tertentu sebagai
dasar untuk memutuskan urutan dan tindakan keperawatan
pada sejumlah besar pasien atau korban (Yancey & Rourke,
2022).
Triage dapat diartikan sebagai proses memilah pasien
menurut tingkat keparahannya. Pasien akan mendapatkan
pelayanan medis dan keperawatan sesuai dengan kondisi dan
tingkat kegawatan. Pada saat atau setelah proses triage, maka
keluarga atau pengantar pasien secara bersamaan diarahkan
untuk mendaftar identitas pasien, kemudian pasien akan dilayani
oleh dokter dan perawat. Selanjutnya penetapan diagnosis dan
terapi yang dilakukan terhadap pasien, serta pemeriksaan fisik
dan penunjang (laboratorium, radiologi).
Triage merupakan salah satu kompetensi skill keperawatan
yang harus dimiliki oleh perawat unit gawat darurat dan hal ini
sebagai salah satu keterampilan yang membedakan antara
perawat unit gawat darurat dengan perawat unit khusus lainnya.
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Pengetahuan dan ketrampilan perawat sangat dibutuhkan,


terutama dalam pengambilan keputusan klinis dimana
keterampilan penting bagi perawat dalam penilaian awal,
perawat harus mampu memprioritaskan perawatan pasien atas
dasar pengambilan keputusan yang tepat, salah satunya melalui
mekanisme triage (Panggabean, 2020).

B. Kualifikasi Perawat Triage


Joint Commission for Accreditation of Healthcare
Organizations (JCAHO) mensyaratkan dokumentasi kompetensi
klinis bagi perawat, meskipun tidak menyebutkan secara spesifik
persyaratan untuk menjadi perawat triage. Standar praktik
menurut Emergency Nurses Association (ENA) menyatakan
bahwa triage yang aman, efektif, dan efisien hanya dapat
dilaksanakan oleh perawat profesional yang sudah terlatih dalam
prinsip-prinsip triage dengan pengalaman kerja minimal selama
enam bulan di bagian instalasi kegawat-daruratan. Seorang
perawat triage harus ada selama 24 jam per hari dan tujuh hari
dalam seminggu di UGD.
Kualifikasi perawat triage yang direkomendasikan, sebagai
berikut:
1. Perawat triage menunjukkan penguasaan terhadap program
orientasi kegawatdaruratan berbasis kompetensi di rumah
sakit
a. Perawat memiliki pengetahuan terkait kebijakan
intradepartemen
b. Pemahaman terhadap berbagai pelayanan
kegawatdaruratan
c. Perawat memiliki keterampilan pengkajian yang tepat
dan komprehensif
d. Perawat triage memiliki keterampilan yang efektif dalam
komunikasi, hubungan antar-pribadi, penanganan
konflik, pendelegasian, dan pengambilan keputusan. Di
samping itu, perawat triage harus fleksibel, dapat

24
BAB 3
SISTEM TRIAGE

beradaptasi, dan memiliki kemampuan untuk


mengantisipasi
2. Perawat triage memiliki sertifikat kompetensi, antara lain:
a. Advanced Cardiac Life Support (ACLS)
b. Pediatric advanced Life Support (PALS)
c. Certification in Emergency Nursing (CEN)
3. Perawat triage telah memenuhi syarat lulus:
a. Emergency Nurses Pediatric Course (ENPC)
b. Trauma Nurse Core Curriculum (TNCC)

C. Klasifikasi Triage
Sistem triage yang lazim digunakan, meliputi: spot check
(quick-look); comprehensive; two-tier; expanded; dan bedside
triage
1. Spot check (quick-look) triage system. Sistem ini
memungkinkan identifikasi segera terhadap pasien dengan
akuitas kegawatdaruratan yang tinggi, dimana perawat triage
melakukan pengkajian dan mengategorikan pasien
berdasarkan kriteria triase yang ditentukan dalam waktu 2-3
menit.
2. Comprehensive triage system. Sistem ini menerapkan primary
trauma survey dan pendokumentasian mulai dilakukan
dengan menggunakan standar Emergency Nurses Association
(ENA), antara lain meliputi: pengkajian keadaan umum
pasien, jalan nafas (airway), pernapasan (breathing), sirkulasi
(circulation), tingkat kesadran dan disabilitas (disability).
Pada tahap secondary trauma survey berikutnya pasien
dilakukan pengkajian riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lebih mendalam dan komprehensif, meliputi: pengkajian
ekspos terhadap area cedera dan sekitarnya (exposure),
tanda-tanda vital (full of vital signs) dan pemeriksaan nadi
oksimetri sekaligus pengkajian nyeri yang dirasakan pasien,
apabila memungkinkan maka dilanjutkan dengan

25
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

pemeriksaan semua aspek secondary trauma survey.


Berikutnya pasien dilakukan pengkajian kembali dan
evaluasi dengan interval waktu yang tepat, selama menunggu
tindakan kedaruratan selanjutnya.
3. Two-tier triage system. Pada sistem two-tier ini, orang kedua
yang bertindak sebagai "petugas triage" melakukan evaluasi
kembali untuk menetapkan prioritas pasien yang
memerlukan pengkajian lebih rinci. Petugas triage ini juga
membantu dalam mengurutkan pemeriksaan diagnostik dan
masalah keluarga atau pengunjung. Kasus yang ringan dapat
langsung dipindahkan ke jalur cepat/bagian perawatan kasus
ringan sesuai dengan ketentuan standard operational
procedure (SOP) rumah sakit. Keuntungan sistem ini yaitu
proses identifikasi yang lebih cepat untuk pasien kritis dan
menderita penyakit menular. Sistem ini juga memungkinkan
alur pasien yang lebih baik dan kewaspadaan yang terus-
menerus terhadap situasi keseluruhan unit tersebut.
4. Expanded triage system. Sistem ini lazimnya menerapkan
beberapa prosedur tambahan dalam sistem komprehensif
atau sistem two-tier, mencakup protokol untuk memulai
penanganan di area triage. Prosedur tindakan yang lazim
dilakukan antara lain: pertolongan pertama (misalnya:
pembidaian, pengompresan, dan perawatan luka),
pemeriksaan sinar-X pada ekstremitas, pemberian obat
antipiretik, imunisasi tetanus, urinalisis, tes kehamilan, tes
dipstick untuk mendeteksi darah dalam urine, tes gula darah,
dan penilaian ketajaman penglihatan.
5. Bedside triage system. Sistem ini menempatkan pasien tanpa
memedulikan tingkat triasenya langsung ke bagian tindakan
apabila sudah tersedia tempat tidur dan tenaga kesehatan
yang akan menangani. Semua informasi (hasil pengkajian
triage, pengkajian perawat, pengkajian dokter, dan informasi
demografik) diperoleh dalam pengkajian bedside secara

26
BAB 3
SISTEM TRIAGE

simultan, jika memungkinkan. Sistem ini memberikan luaran


outcomes dalam upaya meningkatkan kepuasan pasien
karena tindakan segera dimulai dengan interval waktu yang
lebih singkat. Pasien merasa mendapatkan perawatan lebih
cepat, meskipun sebenarnya hal ini terjadi karena situasi
yang memungkinkan pasien tidak perlu mengantre di ruang
tunggu.

D. Pengkategorian Triage
Pengkategorian triage berdasarkan baseline situasi:
bencana, pre-hospital, in-hospital.
1. Triase Bencana adalah pendekatan yang digunakan oleh
masyarakat dalam membantu tenaga profesional dalam
memilah pasien pada saat bencana atau kedaruratan
(Community-Quick Response Sorting Technique). Triage
bencana ini memilah pasien dalam kategori tertentu menurut
warna:
a. Hijau, dimana label warna hijau diberikan kepada pasien
yang mampu berjalan
b. Merah, dimana label warna hijau diberikan kepada pasien
yang tidak mampu berjalan karena cedera yang dialami
2. Pre-hospital modifikasi triage yang paling sering digunakan
yaitu START (Simple Triage & Rapid Treatment), sedangkan
triage pre-hospital yang digunakan untuk menangani kasus
kecelakaan massal yaitu MCI (Multiple Casualty Incident).
Sistem ini dilakukan oleh petugas triage dalam durasi waktu
60 detik atau kurang untuk tiap pasien, dan mencakup
pemeriksaan respirasi (Respiration), sirkulasi (perfusion),
dan status mental (Mental Status) (Ryan, Cooper, & Tauer,
2013). Modifikasi START triage menggunakan prioritas
berikut:

27
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

a. Tertinggi: immediate care, segera dan mengancam nyawa


(warna merah)
b. Tinggi: urgent care, mendesak, dapat menunda sampai
satu jam (warna kuning)
c. Minor: delayed care, dapat menunda sampai tiga jam
(warna hijau)
d. Pasien meninggal: victim is dead, tidak perlu perawatan
(warna hitam)
3. In-hospital triage merupakan sistem pemilahan pasien
berdasarkan tingkat dan level tertentu, antara lain:
a. Sistem 2 level: emergent dan non-emergent
b. Sistem 3 level: emergent, urgent dan non-emergent
c. Sistem 4 level: life-threating, emergent, urgent dan non-
emergent
d. Sistem 5 level: resuscitation, emergent, urgent dan non-
urgent, referred

E. Alogaritma Triage
Algoritma triage pada dasarnya merujuk pada modifikasi
START triage dengan mengelompokkan pasien menjadi empat
kategori prioritas sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam hal
ini mencakup pemeriksaan respirasi (Respiration), sirkulasi
(perfusion), dan status mental (Mental Status) sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini:

28
BAB 3
SISTEM TRIAGE

Gambar 1. Simple Triage and Rapid Treatment (START) (Ryan et al., 2013)

F. Pengkajian Triage Dalam Kegawatdaruratan


Pengkajian triage dapat dilakukan dengan metode OLD-
CART, yaitu:
1. Onset of symptoms (awitan gejala)
2. Location of problem (lokasi masalah)
3. Duration of symptoms (durasi gejala)

29
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

4. Characteristics of the symptoms (karakteristik gejala yang


dijelaskan pasien)
5. Aggravating factors (faktor yang memperberat)
6. Relieving factors (faktor yang meringankan)
7. Treatment (penanganan yang dilakukan sebelum pasien tiba)

G. Anamnesis dalam Triage


Anamnesis triage pada dasarnya merujuk pada keluhan
utama pasien. Anamnesis dalam triage mencakup uraian dan
elaborasi dari keluhan pasien, mekanisme cedera (jika ada),
kapan masalah tersebut mulai timbul, dan setiap tindakan yang
sudah dilakukan sebelum pasien tiba di UGD. Analisis keluhan
utama pasien, atau analisis gejala, dapat diingat lewat singkatan
PQRST:
1. Provokes (P): Apa yang memicu gejala tersebut? Apa yang
membuat gejalanya membaik/bertambah parah? Apakah ada
riwayat trauma?
2. Quality (Q): Bagaimana gejala tersebut dirasakan? (biarkan
pasien menguraikan dengan kata-katanya sendiri)
3. Radiation (R): Dimana letak gejala tersebut? Kemana gejala
tersebut menyebar?
4. Severity (S): Tentukan intensitas gejala dengan skala 1 hingga
10
5. Time (T): Berapa lama pasien mengalami gejala tersebut?
Apakah gejala tersebut pernah terjadi sebelumnya?
6. Treatment (T): Penanganan apa yang dilakukan sebelum
pasien tiba di UGD (termasuk pemberian obat di rumah)?
Tindakan apa yang sebelumnya berhasil?

H. Prosedur Cara Kerja Triage


Tindakan triage merupakan penilaian dan pemilahan pasien
secara cepat dan tepat untuk memprioritaskan pertolongan,
perawatan dan transportasi ke fasilitas kesehatan. Triage
terhadap pasien perlu dipahami dan diterapkan sehingga

30
BAB 3
SISTEM TRIAGE

pertolongan yang diberikan kepada pasien dapat dioptimalkan,


selanjutnya kasus kecacatan dan kematian dapat diminimalkan.
Sistem Simple Triage and Rapid Treatment (START) yang
digunakan untuk melakukan triage pasien terdiri dari empat
langkah, yaitu :
1. Langkah Pertama
Pasien mampu berjalan dilakukan triage diarahkan untuk
mendapatkan penanganan ke tempat yang ditetapkan dan beri
tanda HIJAU.
2. Langkah Kedua
Pemeriksaan pernapasan. Apabila pasien tidak bernapas,
segera dilakukan airway management. Apabila pasien tetap tidak
bernapas maka diberikan tanda HITAM.
Apabila pasien bernapas, hitung frekuensinya. Pasien
dengan pernapasan lebih dari 30 kali/menit maka diberikan
tanda MERAH.
Apabila frekuensi napas kurang dari 30 kali/menit,
lanjutkan langkah ketiga.
3. Langkah Ketiga
Penilaian sirkulasi dan pengisian kapiler, dengan melakukan
penekanan diatas ujung kuku jari sehingga menjadi pucat, apabila
tekanan dilepas maka ujung jari menjadi merah lagi. Apabila
pengisian kapiler (capillary refill time) lebih dari 2 detik maka
diberikan warna MERAH. Sebaliknya apabila pengisian kapiler
kurang dari 2 detik maka dilanjutkan langkah keempat.
4. Langkah Keempat
Penilaian mental. Hal ini dilakukan pemeriksaan dengan
meminta korban mengikuti perintah sederhana ("buka mata",
"gerakkan jari"). Apabila tidak mampu membuka mata dan
menggerakkan jari maka diberikan label MERAH. Sebaliknya
apabila pasien mampu melakukan perintah sederhana maka
diberikan label KUNING.

31
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Apabila ada tenaga yang lebih ahli maka dapat dilakukan


triage sekunder atau pemilahan tahap kedua. Hasil yang berbeda
tidak masalah. Selanjutnya evakuasi pasien tetap dilakukan
berdasarkan warna yang paling akhir diberikan kepadanya,
sesuai prioritasnya mulai dari MERAH, KUNING, HIJAU dan
terakhir HITAM (Ryan et al., 2013).

I. Kriteria Kasus Dan Prioritas Kegawatdaruratan


dalam Mekanisme Triage
Kriteria kasus dan prioritas Kegawatdaruratan dalam
mekanisme triage sebagaimana tampak pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Prioritas Kegawatan
MERAH: GAWAT DARURAT (response time: 0-10 menit)
No. Kriteria Kasus
1. Masalah A-B-C
2. Kesulitan bernapas
3. Cedera kepala berat
4. Cedera tulang belakang
5. Syok
6. Kejang Nyeri dada
7. Cedera multipel
8. Trauma dada/abdomen terbuka
9. Kelainan persalinan
10. Perdarahan tidak terkontrol
KUNING: GAWAT TIDAK DARURAT (response time: 30 menit)
No. Kriteria Kasus
1. Nyeri karena gangguan paru
2. Luka bakar
3. Penurunan kesadaran (GCS >8)
4. Diare disertai dehidrasi sedang
5. Muntah terus menerus
6. Demam tinggi
HIJAU: TIDAK GAWAT TIDAK DARURAT (response time: 60 menit)
No. Kriteria Kasus
1. Fraktur tertutup
2. Dislokasi
3. Luka minor

32
BAB 3
SISTEM TRIAGE

4. Batuk
HITAM: DEATH ON ARRIVAL (response time: 120 menit)
Henti napas, henti jantung, unresponsiveness

J. Faktor Pertimbangan dalam Pengambilan


Keputusan Triage
Pengambilan keputusan triage didasarkan pada keluhan
utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan
umum pasien serta hasil pengkajian fisik dan data fokus. Menurut
Comprehensive Specialty Standard, ENA, bahwa penentuan triage
didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh-kembang, dan
psikososial selain pada faktor-faktor yang memengaruhi akses
pasien pada institusi pelayanan kesehatan, serta alur pasien
lewat sistem pelayanan kedaruratan.
Adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup
setiap gejala ringan yang cenderung berulang atau meningkat
keparahannya, setiap gejala yang dikaitkan dengan perubahan
pasti lainnya, dan penurunan yang menetap atau progresif. Hal
ini juga dipengaruhi oleh petugas triage yang telah memiliki
pengalaman dan berkompeten dalam menangani kasus
kegawatan.
Pertimbangan lain dalam pengambilan keputusan yang akan
membantu dalam menentukan prioritas, antara lain:
1. setiap temuan gejala pada pasien cenderung berulang atau
yang intensitasnya meningkat
2. setiap gejala yang disertai perubahan pasti lainnya
3. kemunduran yang progresif dan berjalan terus
4. jumlah sistem yang terlibat (lebih dari satu sistem; sistemik
versus ekstremitas)
5. usia (sangat muda atau sangat tua)
6. awitan (mendadak versus kronis)
7. "Misteri" (yaitu tidak dapat menjelaskan sumber masalah)
8. keharusan pasien berbaring karena keluhan sistemik, seperti
keluhan pusing versus nyeri punggung bawah

33
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

9. keharusan untuk melakukan observasi dan kontrol yang


ketat (kecenderungan bunuh diri, penggunaan restrain)

K. Implikasi dan Tantangan Penetapan Triage


Implikasi triage dengan adanya temuan beberapa kesulitan
yang mungkin terjadi pada pelaksanaan triage, antara lain
dikaitkan dengan mekanisme pemilahan yang hanya berorientasi
pada keluhan pasien saja; berikutnya dikaitkan dengan
kehilangan objektivitas (misalnya mengabaikan pasien karena
seringnya pasien datang ke UGD); pengambilan keputusan triage
atas dasar tingkat aktivitas UGD dan bukan berdasarkan keluhan
utama pasien; ataupun pengambilan keputusan triage tidak
mengacu pada kondisi pasien sebenarnya melainkan hanya
membandingkan dengan pasien yang lain (Widiyanto,
Handayani, Mahrifatulhijah, Atmojo, & Darmayanti, 2019).

34
BAB 3
SISTEM TRIAGE

DAFTAR PUSTAKA
Panggabean, S. F. M. (2020). Pengambilan Keputusan Terhadap
Tingkat Pengetahuan Perawat Dalam Keperawatan Klinis Triase
Di Ruang Igd. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/kz7um
Ryan, Cooper, & Tauer. (2013). START Simple Triage And Rapid
Treatment. Paper Knowledge . Toward a Media History of
Documents, 12–26.
Widiyanto, A., Handayani, R. T., Mahrifatulhijah, M., Atmojo, J. T., &
Darmayanti, A. T. (2019). The Canadian Emergency
Department Triage & Acuity Scale (CTAS) dan Perubahannya: A
REVIEW. Avicenna : Journal of Health Research, 2(2), 88–95.
https://doi.org/10.36419/avicenna.v2i2.311
Yancey, C. C., & Rourke, M. C. O. (2022). Definition / Introduction.

35
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PROFIL PENULIS
Penulis lahir di Sidoarjo pada
tanggal 7 April 1984. Penulis
merupakan dosen tetap di
Universitas Batam Program Studi
Keperawatan. Penulis telah
menyelesaikan pendidikan S1 di
Program Studi Ilmu Keperawatan
dan Profesi Ners Universitas
Brawijaya, selanjutnya penulis
telah menyelesaikan pendidikan S2
di Magister Ilmu Biomedik Universitas Andalas. Saat ini penulis
sedang melanjutkan studi Program Doktor di Universitas Batam.
Penulis aktif melakukan tridharma perguruan tinggi,
pendidikan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, serta kegiatan penunjang secara sustainable
berkelanjutan baik di dalam maupun di luar kampus Universitas
Batam.
Penulis juga aktif melakukan publikasi ilmiah luaran
tridharma yang telah dilakukan baik di jurnal ilmiah Nasional
maupun Internasional, terindeks dan bereputasi. Selain aktif
mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah yang diselenggarakan
institusi, stakeholder, maupun pihak eksternal, penulis juga
berperan aktif dalam mengikuti pertemuan ilmiah tingkat
Nasional dan international global conference as presenter,
attendee, or participant.
ID Scopus 57215497422; ID SINTA 6010577; 
anafaizah@univbatam.ac.id.

36
BAB 4
KONSEP, PRINSIP BENCANA
DAN KEJADIAN LUAR BIASA
Erna Desi Faradinah, S.K.M.
Dinkes P2KB Kab. Lumajang

A. Latar Belakang
Bencana dapat terjadi dimana saja, demikian juga di
Indonesia. Dengan kondisi geografisnya yang beragam, mulai
dari daerah yang bergunung-gunung, dataran rendah sampai
dataran tinggi, yang bila dihubungkan dengan faktor iklim dan
cuaca merupakan daerah yang berpotensi untuk terjadi banjir.
Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan yang
mempunyai gunung api terbanyak di dunia. Dengan posisi
istimewanya yang terletak pada pertemuan tiga lempeng kerak
bumi, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan
lempeng Pasifik. Potensi bencana di wilayah negara Indonesia
dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana
alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
Indonesia merupakan negara yang masih memiliki angka
kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular dan keracunan yang
cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan perlunya peningkatan
sistem kewaspadaan dini dan respons terhadap KLB tersebut
dengan langkah-langkah yang terprogram dan akurat. Untuk
dapat mewujudkan respons KLB yang cepat, diperlukan bekal
pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari para petugas
uang diterjunkan ke lapangan. Hasil penyelidikan epidemiologi
mengarahkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
upaya penanggulangan KLB. Upaya penanggulangan ini meliputi
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

pencegahan penyebaran KLB, termasuk pengawasan usaha


pencegatan tersebut.

B. Definisi Bencana
Bencana adalah suatu kejadian, yang disebabkan oleh alam
atau karena ulah manusia, terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-
lahan, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta
benda dan kerusakan lingkungan, kejadian ini terjadi di luar
kemampuan masyarakat dengan segala sumber dayanya.
Menurut UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana
sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis”.
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga
aspek dasar, yaitu:
1. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan
merusak (hazard).
2. Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan,
penghidupan, dan fungsi dari masyarakat.
3. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui
kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber
daya mereka.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya
peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard)
dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard,
tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat
mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu.
5. Jenis-jenis Bencana
Bencana terdiri dari berbagai bentuk. UU No. 24 tahun 2007
mengelompokkan bencana ke dalam tiga kategori yaitu:

38
BAB 4
KONSEP, PRINSIP BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh


peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antar komunitas masyarakat, dan teror.
Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention
Commission (DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan
jenis hazard (bencana), yang terdiri dari:
1. Natural hazard, adalah hazard karena proses alam yang
manusia tidak atau sedikit memiliki kendali. Manusia dapat
meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan
kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah,
prasyarat bangunan, dan sebagainya.
2. Human made hazard, adalah hazard sebagai akibat aktivitas
manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik,
sosial, ekonomi, dan lingkungan.
6. Kategori Bencana dan Korbannya
Keadaan bencana dapat digolongkan berdasarkan jumlah
korban yang mencakup:
1. Mass patient incident (jumlah korban yang datang ke
UGD kurang dari 10 orang).
2. Multiple cassuality incident (jumlah korban yang
datang ke UGD antara 10 dan 100 orang).

39
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Mass cassuality incident (jumlah korban yang datang


ke UGD lebih dari 100 orang).
7. Fase-fase dari Bencana
1. Pra-dampak: dimulai sejak awitan bencana, jika kejadian ini
sudah diketahui terlebih dahulu. Fase pra-dampak
didefinisikan sebagai periode yang pada saat itu kita
mengantisipasi dan diperingatkan
2. Dampak: periode selam bencana terjadi, berlanjut hingga
dimulainya fase paska dampak. Fase ini juga dikenal sebagai
penyelamatan. Pada saat ini pengkajian penting harus
dilakukan yaitu mengevaluasi besarnya kerugian, identifikasi
sumber daya yang ada, dan merencanakan penyelamatan
korban. Fase ini bisa berlangsung singkat.
3. Pasca-dampak: disebut fase pemulihan. Selama fase ini,
besarnya kerugian sudah dievaluasi dan penyelamatan
korban telah selesai dilaksanakan, kerusakan lebih lanjut
sudah diminimalkan. Fase ini dapat menjadi fase yang paling
lama.
8. Dampak Bencana Alam
Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak
pada bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Kerusakan
infrastruktur dapat mengganggu aktivitas sosial, dampak dalam
bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya
tempat tinggal dan kekacauan komunikasi, sementara
kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan
yang melindungi daratan.
9. Prinsip-prinsip dalam Penatalaksanaan Bencana
Ada 8 prinsip penatalaksanaan bencana, yaitu:
1. Mencegah berulangnya kejadian
2. Meminimalkan jumlah korban
3. Mencegah korban selanjutnya
4. Menyelamatkan korban yang cedera

40
BAB 4
KONSEP, PRINSIP BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA

5. Memberikan pertolongan pertama


6. Mengevakuasi korban yang cedera
7. Memberikan perawatan definitif
8. Memperlancar rekonstruksi atau pemulihan
10. Pencegahan
Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal,
terarah dan terpadu bagi setiap anggota masyarakat yang berada
dalam keadaan gawat darurat. Upaya pelayanan kesehatan pada
penderita gawat darurat pada dasarnya mencakup suatu
rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa
sehingga mampu mencegah kematian atau cacat yang mungkin
terjadi. Cakupan pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan
meliputi:
1. Penanggulangan penderita di tempat kejadian
2. Transportasi penderita gawat darurat dan tempat kejadian
ke sarana kesehatan yang lebih memadai
3. Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk menunjang
kegiatan penanggulangan penderita gawat darurat
4. Upaya rujukan ilmu pengetahuan, pasien dan tenaga ahli
5. Upaya penanggulangan penderita gawat darurat di tempat
rujukan (Unit Gawat Darurat dan ICU)
6. Upaya pembiayaan penderita gawat darurat.
11. Komponen yang Disiapkan dalam Menghadapi
Bencana
Persiapan masyarakat, triage lapangan, persiapan Rumah
Sakit, dan persiapan UGD.
a. Perencanaan menghadapi bencana akan mencakup
banyak sumber daya:
b. Pejabat polisi, pemadam kebakaran, pertahanan sipil,
pamong praja terutama yang terlibat dalam penanganan
bencana dan bahan berbahaya.
c. Harus sering dilatih dan di evaluasi.
d. Memperhitungkan gangguan komunikasi, misalnya
karena jaringan telepon rusak atau sibuk.

41
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

e. Mempunyai pusat penyimpanan perbekalan, tergantung


dari jenis bencana yang di duga dapat terjadi.
f. Mencakup semua aspek pelayanan kesehatan dari
pertolongan pertama sampai terapi definitif.
g. Mempersiapkan transportasi penderita apabila
kemampuan lokal terbatas.
h. Memperhitungkan penderita yang sudah di rawat untuk
kemudian di rujuk karena masalah lain.
7. Perencanaan Pada Tingkat Rumah Sakit
Perencanaan bencana rumah sakit harus mulai dilaksanakan
meliputi:
a. Pemberitahuan kepada semua petugas.
b. Kesiapan daerah triage dan terapi.
c. Klasifikasi penderita yang sudah di rawat, untuk
penentuan sumber daya.
d. Pemeriksaan perbekalan (darah, cairan IV, medikasi) dan
bahan lain (makanan, air, listrik, komunikasi) yang
mutlak di perlukan rumah sakit.
e. Persiapan dekontaminasi (bila diperlukan).
f. Persiapan masalah keamanan.
g. Persiapan pembentukan pusat hubungan masyarakat.

12. Pembagian Daerah Kejadian


Di tempat kejadian atau musibah masal, selalu terbagi atas:
1. Area 1: Daerah kejadian (Hot zone)
Daerah terlarang kecuali untuk tugas penyelamat (rescue)
yang sudah memakai alat proteksi yang sudah benar dan
sudah mendapat ijin masuk dari komandan di area ini.
2. Area 2: Daerah terbatas (Warm zone)
Di luar area 1, hanya boleh di masuki petugas khusus, seperti
tim kesehatan, dekotanminasi, petugas atau pun pasien. Pos

42
BAB 4
KONSEP, PRINSIP BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA

komando utama dan sektor kesehatan harus ada pada area


ini.
3. Area 3: Daerah bebas (Cold zone)
Di luar area 2, tamu, wartawan, masyarakat umum dapat
berada di zone ini karena jaraknya sudah aman. Pengambilan
keputusan untuk pembagian area itu adakah komando
utama.

C. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1501/MENKES/PER/X/2010, Kejadian Luar Biasa adalah
timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau
kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat
menjurus pada terjadinya wabah.
Selain itu, Menteri Kesehatan RI (2010) membatasi
pengertian wabah sebagai berikut: “Kejadian berjangkitnya suatu
penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim
pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan
malapetaka”.
Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu
peningkatan kasus yang melebihi situasi yang lazim atau normal,
namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis,
gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada
wilayah yang lebih luas. Batasan KLB meliputi arti yang luas, yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Meliputi semua kejadian penyakit, dapat suatu penyakit
infeksi akut kronis ataupun penyakit non infeksi.
2. Tidak ada batasan yang dapat dipakai secara umum untuk
menentukan jumlah penderita yang dapat dikatakan sebagai
KLB. Hal ini selain karena jumlah kasus sangat tergantung
dari jenis dan agen penyebabnya, juga karena keadaan

43
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

penyakit akan bervariasi menurut tempat (tempat tinggal,


pekerjaan) dan waktu (yang berhubungan dengan keadaan
iklim) dan pengalaman keadaan penyakit tersebut
sebelumnya.
3. Tidak ada batasan yang spesifik mengenai luas daerah yang
dapat dipakai untuk menentukan KLB, apakah dusun desa,
kecamatan, kabupaten atau meluas satu provinsi dan Negara.
Luasnya daerah sangat tergantung dari cara penularan
penyakit tersebut.
4. Waktu yang digunakan untuk menentukan KLB juga
bervariasi. KLB dapat terjadi dalam beberapa jam, beberapa
hari atau minggu atau beberapa bulan maupun tahun.
1. Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1501/MENKES/PER/X/2010, suatu daerah dapat ditetapkan
dalam keadaan KLB apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang
sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3
(tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-
turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun
waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun
sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1
(satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih

44
BAB 4
KONSEP, PRINSIP BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA

dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan


per bulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate)
dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan
50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan
angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru
pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih
dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang
sama.
2. Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Kejadian Luar
Biasa (KLB)
Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi
timbulnya Kejadian Luar Biasa adalah :
1. Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/
wabah adalah herd immunity. Secara umum dapat dikatakan
bahwa herd immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh
sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal
ini dapat disamakan dengan tingkat kekebalan individu.
Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit
terkena penyakit tersebut.
2. Patogenesitas
Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk
menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
3. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme, tetapi
mempengaruhi kehidupan ataupun perkembangan
organisme tersebut.

45
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Penanggulangan KLB
Penanggulangan dilakukan melalui kegiatan yang secara
terpadu oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat,
meliputi:
1. Penyelidikan epidemilogis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah
untuk mengetahui keadaan penyebab KLB dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
kejadian tersebut, termasuk aspek sosial dan perilaku
sehingga dapat diketahui cara penanggulangan dan
pengendalian yang efektif dan efisien.
2. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita
termasuk tindakan karantina. Tujuannya adalah:
a. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar
sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi
sumber penularan.
b. Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat,
tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara
potensial dapat menularkan penyakit (carrier).
3. Pencegahan dan pengendalian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi
perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, tetapi
mempunyai risiko terkena penyakit agar jangan sampai
terjangkit penyakit.
4. Pemusnahan penyebab penyakit
Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan
terhadap bibit penyakit/kuman dan hewan tumbuh-
tumbuhan atau benda yang mengandung bibit penyakit.

46
BAB 4
KONSEP, PRINSIP BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA

5. Penanganan jenazah akibat wabah


Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan
secara khusus menurut jenis penyakitnya untuk
menghindarkan penularan penyakit pada orang lain.
6. Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi
yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat
menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat
penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit
tersebut dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada
orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat
berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.
7. Upaya penanggulangan lainnya
Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan
khusus masing-masing penyakit yang dilakukan dalam
rangka penanggulangan wabah. (Menteri Kesehatan RI,
2010).

4. Prosedur Penanggulangan KLB


1. Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB / wabah adalah
dengan melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini secara
cermat, selain itu melakukankukah langkah-langkah lainnya:
a. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD,
tenaga dan logistik
b. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas
c. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada
masyarakat
d. Memperbaiki kerja laboratorium
e. Meningkatkan kerja sama dengan instansi lain

47
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

2. Pengendalian KLB
Tindakan pengendalian KLB meliputi pencegahan terjadinya
KLB pada populasi, tempat dan waktu yang berisiko. Dengan
demikian untuk pengendalian KLB selain diketahuinya
etiologi, sumber dan cara penularan penyakit masih
diperlukan informasi lain. Informasi tersebut meliputi:
a. Keadaan penyebab KLB
b. Kecenderungan jangka panjang penyakit
c. Daerah yang berisiko untuk terjadi KLB (tempat)
d. Populasi yang berisiko (orang, keadaan imunitas.

48
BAB 4
KONSEP, PRINSIP BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA

DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Rencana Aksi
Nasional: Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012. Jakarta:
BNPB.
Husein & Onasis. 2017. Manajemen Bencana. Jakarta : Kemenkes RI
Kemenkes RI No 145/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman
Penanggulangan Bencana Bidang kesehatan
Kemenkes RI. 2015. Modul Peningkatan Kapasitas Petugas Kesehatan
dalam Pengurangan Risiko Bencana Insternasional.
Mahawati, E. (2020). Surveilans Kesehatan dalam Kondisi Bencana.
Semarang : Sultan Agung Presss
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Palang Merah Indonesia. (2008). Bertindak Cepat-Tepat Kenali dan
Kurangi Risiko Bencana. Jakarta: Palang Merah Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular
Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan.
Ramli, S. 2010. Pedoman Praktis Management Bencana. Jakarta: Dian
Rakyat.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pengaggulangan
Bencana, (2007).

49
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PROFIL PENULIS
Erna Desi Faradinah, lahir di
Lumajang pada 13 Oktober 1991 dan
sekarang menetap di Lumajng.
Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN
Rogotrunan 01 pada tahun 1998,
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1
Sukodono pada tahun 20024 dan SMA
Negeri 2 Lumajang pada tahun 2007 serta
melanjutkan pendidikan Strata satu di
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember pada tahun 2010. Sekarang tengah
melanjutkan pendidikan Strata dua Pascasarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember. Melanjutkan pendidikan Strata
dua karena saya senang di dunia pendidikan dan bercita cita
bekerja di bidang akademik sebagai dosen. Motto hidup yang
saya “Hidup Bukan untuk Menyerah, Tetapi untuk Belajar dan
Berjuang”.

50
BAB 5
PROSEDUR TINDAKAN
KEGAWATDARURATAN
Rizki Wan Oktabina, S.KG., M.Si
Poltekkes Kemenkes Aceh

A. Definisi Kedaruratan
Semua yang dialami korban yang tidak tergolong dalam
kecelakaan dimasukkan dalam kelompok kedaruratan medis.
Seseorang yang mengalami kasus medis mungkin juga dapat
mengalami cedera sebagai akibat dari gejala gangguan fungsi
tubuh yang terjadi misalnya kehilangan kesadaran lalu terjatuh
sehingga terjadi suatu luka.
Dalam penatalaksanaan Pertolongan Pertama kasus medis
tidak banyak berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal
yang paling penting adalah mengenali kedaruratannya, terutama
secara dini. Kesimpulan mengenai keadaan yang dihadapi hampir
80% diperoleh berdasarkan wawancara dengan penderita bila
sadar, keluarganya atau saksi mata dan sumber informasi
lainnya. Dalam penatalaksanaan penderita yang paling penting
adalah menjaga jalan napas dan memantau tanda vital penderita
secara teratur.
Keperawatan Gawat Darurat (Emergency Nursing)
merupakan pelayanan keperawatan yang komprehensif
diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yang
mengancam kehidupan. Tujuan penanggulangan gawat darurat
adalah:
1. Mencegah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat,
hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat
2. Merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan yang lebih memadai
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Penanggulangan korban bencana, Penyebab kematian

B. Gejala dan Tanda Pada Kedaruratan Medis


Gejala dan tanda pada kedaruratan medis sangat beragam,
khas maupun tidak khas. Perubahan yang tidak normal dari tanda
vital penderita sudah mengarah pada kedaruratan medis.
Beberapa hal yang dapat diamati pada penderita yang
mengarahkan kecurigaan kita pada adanya masalah medis.
1. Gejala
Adapun gejala yang dialami pada kedaruratan diantaranya
adalah:
1. Demam
2. Nyeri
3. Mual, muntah
4. Buang air kecil berlebihan atau tidak sama sekali
5. Pusing, perasaan mau pingsan, merasa akan kiamat
6. Sesak atau merasa sukar bernapas
7. Rasa haus atau lapar berlebihan, rasa aneh pada mulut
2. Tanda
Adapun tanda yang dialami pada kedaruratan diantaranya
adalah:
1. Perubahan status mental (tidak sadar, bingung)
2. Perubahan irama jantung : nadi cepat atau sangat lambat,
tidak teratur, lemah atau sangat kuat.
3. Perubahan pernapasan: irama dan kualitas warna pada
selaput lendir (pucat, kebiruan, terlalu merah)
4. Perubahan keadaan kulit : suhu, kelembaban, keringat
berlebihan, sangat kering, termasuk perubahan warna pada
selaput lendir (pucat, kebiruan, terlalu merah)
5. Manik mata : sangat lebar, atau sangat kecil
6. Bau khas dari mulut atau hidung
7. Aktivitas otot misalnya kejang atau kelumpuhan
8. Gangguan saluran cerna : mual, muntah atau diare
9. Tanda-tanda lainnya yang seharusnya tidak ada.

52
BAB 5
PROSEDUR TINDAKAN KEGAWATDARURATAN

C. Gangguan Medis yang Umum Ditemukan


Beberapa gangguan medis yang umum ditemukan adalah :
1. Pingsan (Syncope/collapse)
Terjadi karena peredaran darah yang ke organ otak
berkurang, yang dapat terjadi akibat emosi yang hebat, berada
dalam ruangan yang penuh orang tanpa udara segar yang cukup,
letih dan lapar, terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
1. Gejala dan tanda:
a. Perasaan limbung.
b. Pandangan berkunang-kunang dan telinga berdenging.
c. Lemas, keluar keringat dingin.
d. Menguap.
e. Dapat menjadi tidak ada respons, yang biasanya
berlangsung hanya beberapa menit.
f. Denyut nadi lambat.
2. Penatalaksanaan :
a. Baringkan penderita dengan tungkai ditinggikan.
b. Longgarkan pakaian.
c. Usahakan penderita menghirup udara segar.
d. Periksa cedera lainnya.
e. Beri selimut, agar badannya hangat.
f. Bila pulih, usahakan istirahatkan beberapa menit.
g. Bila tidak cepat pulih, maka:
1) periksa napas dan nadi.
2) posisikan stabil.
3) bawa ke fasilitas kesehatan
2. Paparan Panas
Panas dapat mengakibatkan gangguan pada tubuh.
Umumnya ada 3 macam gangguan yang terjadi:
1. Kram panas
Terjadi akibat kehilangan garam tubuh yang berlebihan
melalui keringat.

53
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

2. Gejala dan Tanda:


a. Kejang pada otot yang disertai nyeri
b. Tungkai dan perut.
c. Kelelahan.
d. Mual
e. Mungkin pingsan
3. Penatalaksanaan :
a. Baringkan penderita di tempat teduh.
b. Beri minum kepada penderita, bila perlu campur sedikit
garam. JANGAN MEMBUANG WAKTU UNTUK MENCARI
GARAM.
c. Rujuk ke fasilitas kesehatan.
3. Kelelahan Panas
Terjadi akibat kondisi yang tidak fit pada saat melakukan
aktivitas di lingkungan yang suhu udaranya relatif tinggi, yang
mengakibatkan terganggunya aliran darah.
1. Gejala dan tanda :
a. Pernapasan cepat dan dangkal.
b. Nadi lemah.
c. Kulit teraba dingin, keriput, lembab dan selaput lendir
pucat
d. Pucat, keringat berlebihan.
e. Lemah.
f. Pusing, kadang tidak respons.
2. Penatalaksanaan :
a. Baringkan penderita di tempat yang teduh.
b. Kendurkan pakaian yang mengikat.
c. Tinggikan tungkai penderita sekitar 20 – 30 cm.
d. Berikan oksigen bila ada.
e. Beri minum bila penderita sadar.
f. Rujuk ke fasilitas kesehatan.

54
BAB 5
PROSEDUR TINDAKAN KEGAWATDARURATAN

4. Sengatan Panas
Merupakan keadaan yang mengancam nyawa. Suhu tubuh
menjadi terlalu tinggi dan pada banyak kasus penderita tidak lagi
berkeringat. Bila tidak diatasi dengan segera, maka sel otak akan
segera mati.
1. Gejala dan tanda:
a. Pernapasan cepat dan dalam.
b. Nadi cepat dan kuat diikuti nadi cepat tetapi lemah.
c. Kulit teraba kering, panas kadang kemerahan
d. Manik mata melebar.
e. Kehilangan kesadaran.
f. Kejang umum atau gemetar pada otot.
2. Penatalaksanaan :
a. Turunkan suhu tubuh penderita secepat mungkin.
b. Letakkan kantung es pada ketiak, lipat paha, di belakang
lutut dan sekitar mata kaki serta di samping leher.
c. Bila memungkinkan, masukkan penderita ke dalam bak
berisi air dingin dan tambahkan es ke dalamnya.
d. Rujuk ke fasilitas kesehatan.
5. Paparan dingin (Hipotermia)
Udara dingin dapat menyebabkan suhu tubuh menurun.
Suhu lingkungan tidak perlu sampai beku untuk mencetuskan
hipotermia. Ada beberapa keadaan yang memperburuk
hipotermia yaitu faktor angin dan kekurangan makanan.
1. Gejala dan tanda
Hipotermia sedang :
a. Menggigil.
b. Terasa melayang.
c. Pernapasan cepat, nadi lambat.
d. Gangguan penglihatan.
e. Reaksi mata lambat.
f. Gemetar.

55
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Hipotermia berat :
a. Pernapasan sangat lambat.
b. Denyut nadi sangat lambat.
c. Tidak ada respons.
d. Manik mata melebar dan tidak bereaksi.
e. Alat gerak kaku.
f. Tidak menggigil.
2. Penanganan hipotermia:
a. Rawat penderita dengan hati-hati, berikan rasa nyaman.
b. Penilaian dini dan pemeriksaan penderita.
c. Pindahkan penderita dari lingkungan dingin.
d. Jaga jalan napas dan berikan oksigen bila ada.
e. Ganti pakaian yang basah, selimuti penderita, upayakan
agar tetap kering.
f. Bila penderita sadar dapat diberikan minuman hangat
secara pelan-pelan.
g. Pantau tanda vital secara berkala.
h. Rujuk ke fasilitas kesehatan.

56
BAB 5
PROSEDUR TINDAKAN KEGAWATDARURATAN

DAFTAR PUSTAKA
Asman Aulia. 2022. Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen
Bencana. Universitas Negeri Padang.
Hamarno, R., & Tyas, M. D. C. 2016. Keperawatan Kegawatdaruratan
& Manajemen Bendaca. PPSDM Kemenkes RI.

57
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PROFIL PENULIS
Rizki Wan Oktabina Adalah Penulis,
lahir dari orang tua Bapak H. Binakir dan
Hj. Halimah sebagai anak ke tiga dari empat
bersaudara. Penulis dilahirkan di Kota
Takengon Kabupaten Aceh Tengah pada
Tanggal 03 Oktober 1991. Penulis
menempuh pendidikan di mulai dari SD
Negeri Bertingkat Janarata (lulus tahun
2004). Melanjutkan ke SMP Negeri 1
Bandar (lulus tahun 2006) melanjutkan
SMA Negeri 1 Bandar (lulus tahun 2009) melanjutkan ke
Universitas Syiah Kuala Jurusan Kedokteran Gigi (lulus tahun
2013) dan melanjutkan ke Magister Ilmu Kebencanaan
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (lulus tahun 2018) Hingga
kini penulis aktif sebagai Dosen Poltekkes Kemenkes Aceh.
Dengan ketekunan, motivasi tinggi untuk terus belajar dan
berusaha, penulis telah berhasil menyelesaikan pengerjaan
tulisan ini. Semoga dengan tulisan ini dapat memberikan
kontribusi positif bagi pembaca khususnya bidang ilmu
kebencanaan dalam penanggulangan krisis kesehatan.

58
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN
BENCANA
Maula Mar’atus Solikhah, S.Kep., Ns., M.Kep
Universitas Kusuma Husada Surakarta

A. Prosedur Bencana Banjir


Banjir merupakan peristiwa ketika air menggenangi wilayah
yang biasanya tidak digenangi air dalam jangka waktu tertentu.
Banjir biasanya terjadi karena air laut pasang, curah hujan yang
tinggi yang mengakibatkan meluapnya air laut, air sungai atau
danau karena jumlah air yang melebihi daya tampung. Banjir juga
bisa terjadi karena perilaku menusia seperti berkurangnya
kawasan resapan air (penggunaan lahan yang tidak tepat),
penggundulan hutan, membuang sampah disungai dan
pemukiman di bantaran sungai. Prosedur kesiapsiagaan bencana
banjir dibagi menjadi sebelum bencana, evakuasi bencana dan
paska bencana
1. Sebelum Bencana
1. Mengetahui tingkat kerentanan tempat tinggal kita apakah
berada dalam zona banjir
2. Mengetahui cara untuk melindungi rumah dari banjir
3. Mengetahui saluran dan jalur yang sering dilalui air banjir
dan apa dampaknya untuk rumah kita
4. Melatih diri dan anggota keluarga berkaitan hal-hal yang
harus dilakukan apabila terjadi banjir
5. Membentuk kelompok masyarakat pengendali banjir
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

6. Memilih dan menentukan beberapa lokasi yang dijadikan


tempat penampungan ketika banjir dan mengetahui rute
evakuasi

7. Mengetahui persiapan untuk mandiri minimal 3 hari misal tas


siaga bencana banjir yang berisi keperluan makanan kering,
air minum, obat-obatan, lampu senter, baterai cadangan, lilin,
korek api, kain sarung, pakaian, jaz hujan, surat berharga,
fotokopi tanda pengenal yang dimasukkan ke kantong plastik
dan nomor telepon penting
8. Menyimpan berbagai dokumen di tempat yang aman
9. Penetapan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai
fungsi lahan

60
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN BENCANA

10. Hindari membangun di bantaran sungai dan di tempat yang


rawan banjir
11. Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari
pemukiman air laut
12. Menggunakan air bersih dengan efisien
13. Program penghijauan daerah hulu sungai yang rutin
dilaksanakan.

2. Evakuasi Bencana Banjir


Kesiapsiagaan bencana banjir saat terjadi bencana yaitu
1. Jika terjadi banjir, simaklah informasi banjir untuk
meningkatkan kesiapsiagaan
2. Segera evakuasi ke tempat yang lebih tinggi
3. Waspadalah terhadap arus bawah, saluran air, kubangan dan
tempat yang tergenang air, Selamatkan diri dengan berlari
secepat mungkin menuju tempat yang tinggi
4. Perhatikan jalur evakuasi yang tersedia

61
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

5. Ketahui risiko banjir bandang pada saat hujan biasa atau


deras
6. Ketika bersiap untuk evakuasi amankan rumah, jika masih
ada waktu amankan barang berharga di tempat yang lebih
tinggi

7. Matikan semua jaringan listrik apabila ada instruksi dari


pihak yang berwenang, cabut alat-alat yang masih
tersambung dengan listrik, jangan menyentuh peralatan yang
bermuatan listrik
8. Jika ada perintah evakuasi, Anda harus meninggalkan rumah,
jangan berjalan di arus air dan hindari berjalan dekat saluran
air sebab berisiko terseret arus banjir

9. Jika harus berjalan di arus air maka berjalan dengan pijakan


tegak, gunakan tongkat untuk mengecek kepadatan tempat
berpijak
10. Jika air terlanjur meninggi, jangan keluar dari rumah dan
sebisa mungkin mintalah pertolongan
11. Jangan mengemudikan mobil di wilayah banjir

62
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN BENCANA

12. Jika air terus meninggi segera hubungi instansi atau pihak
berwenang
13. Jika mungkin pergilah ke tempat pengungsian yang tersedia

14. Bersihkan dan siapkan penampungan air bersih untuk


berjaga-jaga seandainya kehabisan air bersih
15. Waspada saluran air atau tempat melintasnya air yang
kemungkinan akan dilalui oleh arus deras.
3. Paska Bencana
Berikut Tindakan pasca bencana banjir yang bisa dilakukan
yaitu
1. Berikan bantuan tempat perlindungan darurat kepada
mereka yang membutuhkan

2. Selamatkan diri sendiri kemudian selamatkan orang lain


sesuai kapasitas yang dimiliki
3. Hindari air banjir karena kemungkinan sudah terkontaminasi
dengan zat – zat yang berbahaya dan ancaman kesetrum
4. Waspada dengan kabel dan instalasi listrik
5. Hindari pohon, tiang, atau bangunan yang berpotensi roboh

63
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

6. Hindari air yang bergerak


7. Hindari area yang airnya baru saja surut karena kondisi tanah
bisa saja keropos dan amblas. Hindari lokasi yang masih
terkena bencana banjir
8. Kembali ke rumah sesuai dengan perintah pihak yang
berwenang
9. Tetap di luar gedung atau rumah yang masih dikelilingi air
10. Periksa ketersediaan makanan dan minuman, Buang
makanan yang terkontaminasi air banjir

11. Simak berita tentang kondisi air serta dimana mendapatkan


bantuan pemukiman, pakaian dan makanan
12. Dapatkan perawatan kesehatan di fasilitas kesehatan
terdekat
13. Bersihkan tempat tinggal dan lingkungan rumah dari sisa-
sisa kotoran setelah banjir dengan antiseptik
14. Perhatikan kesehatan dan keselamatan keluarga dengan
mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih
15. Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari diare

B. Prosedur Bencana Gempa Bumi


Gempa bumi merupakan gejala alam berupa guncangan atau
getaran tanah yang timbul akibat terjadinya patahan atau sesar

64
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN BENCANA

karena aktivitas tektonik. Gempa bisa disebabkan aktivitas


vulkanik, hantaman benda langit atau ledakan bom.
1. Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi Sebelum
Bencana
1. Perabot seperti lemari dan perabot lain dipaku atau diikat
untuk menghindari jatuh roboh dan bergeser saat terjadi
gempa

2. Atur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian


bawah
3. Cek kestabilan benda yang tergantung dan dapat jatuh pada
saat gempa bumi terjadi (misalnya: lampu, dan lain-lain).

4. Pentingnya model rumah tahan gempa dan harus teruji


sebagai tempat tinggal.
5. Matikan aliran air, gas, dan listrik apabila sedang tidak
digunakan.
6. Simpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang aman
dan tidak mudah pecah untuk menghindari kebakaran.

65
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

7. Perhatikan letak pintu, elevator, serta tangga darurat.


Sehingga apabila terjadi gempa bumi, dapat mengetahui jalan
keluar bangunan atau tempat paling aman untuk berlindung
8. Tentukan jalan melarikan diri: pastikan Anda tahu jalan yang
paling aman untuk meninggalkan rumah setelah gempa.
9. Menyiapkan rencana untuk penyelamatan diri apabila ada
gempa bumi. Tentukan titik kumpul. Semestinya lokasi yang
aman dekat rumah,

10. Persiapkan makanan praktis untuk bertahan hidup sampai


bantuan datang.
11. Siapkan beberapa cara untuk berkomunikasi keluar, dengan
asumsi ponsel tidak berfungsi.

66
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN BENCANA

12. Pelajari cara memberikan pertolongan pertama, sebab


ambulans bisa datang terlambat lantaran akses jalan
terputus.

2. Tindakan Saat Bencana Gempa Bumi


1. Guncangan akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu
itu, upayakan keselamatan diri Anda dengan cara berlindung
di kolong meja untuk menghindari dari benda-benda yang
mungkin jatuh dan jendela kaca. Lindungi kepala dengan
bantal atau helm, atau berdirilah di bawah pintu. Bila sudah
terasa aman, segera lari keluar rumah.

2. Jika sedang memasak, segera matikan kompor serta


mencabut dan mematikan semua peralatan yang
menggunakan listrik untuk mencegah terjadinya kebakaran.

67
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Bila keluar rumah, perhatikan kemungkinan pecahan kaca,


genteng, atau material lain. Tetap lindungi kepala dan segera
menuju ke lapangan terbuka, jangan berdiri dekat tiang,
pohon, atau sumber listrik atau gedung yang mungkin roboh.
4. Jangan gunakan lift apabila sudah terasa guncangan. Gunakan
tangga darurat untuk evakuasi keluar bangunan. Apabila
sudah di dalam elevator, tekan semua tombol atau gunakan
interphone untuk panggilan kepada pengelola bangunan.
5. Kenali bagian bangunan yang memiliki struktur kuat, seperti
pada sudut bangunan.
6. Apabila Anda berada di dalam bangunan yang memiliki
petugas keamanan, ikuti instruksi evakuasi.
7. Triangle of life”. Secara sederhana, teknik ini mengharuskan
kita untuk berlindung di dekat benda yang cukup tinggi dan
kokoh seperti kulkas atau lemari, kemudian saat bangunan
runtuh, langit-langit akan runtuh menimpa benda atau
furnitur sehingga menghancurkan benda-benda ini,
menyisakan ruangan kosong di sebelahnya
8. Keluarga harus mengetahui keberadaan dan lokasi titik
kumpul (assembly point) saat terjadi bencana.
3. Tindakan Setelah Bencana
1. Tetap waspada terhadap gempa bumi susulan. dengarkan
informasi melalui radio atau media komunikasi lainnya untuk
informasi gempa susulan, dan lain lain

2. Gunakan sandal atau sepatu beralas tebal untuk melindungi


kaki dari serpihan kaca atau benda-benda.

68
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN BENCANA

3. Ketika berada di dalam bangunan, evakuasi diri Anda setelah


gempa bumi berhenti. Perhatikan reruntuhan maupun
benda-benda yang membahayakan pada saat evakuasi.
4. Jika berada di dalam rumah, tetap berada di bawah meja yang
kuat.
5. Periksa keberadaan api dan potensi terjadinya bencana
kebakaran.
6. Berdirilah di tempat terbuka jauh dari gedung dan instalasi
listrik dan air. Apabila di luar bangunan dengan tebing di
sekeliling, hindari daerah yang rawan longsor.
7. Jika di dalam mobil, berhentilah tetapi tetap berada di dalam
mobil. Hindari berhenti di bawah atau di atas jembatan atau
rambu-rambu lalu lintas.
8. Rumah tidak boleh dimasuki sampai dipastikan bangunannya
tidak rusak setelah fase akut bencana alam selesai
berlangsung.

C. Prosedur Bencana Kebakaran


Kebakaran adalah proses perusakan suatu benda oleh api.
Sifat dari kebakaran adalah cepat menyebar, panas,
menghasilkan asap yang gelap dan mematikan dikarenakan
berasal dari api. Ada 4 unsur utama pemicu awal terjadinya
kebakaran, yaitu adanya oksigen, adanya bahan bakar/ bahan-
bahan mudah terbakar, adanya reaksi kimia, atau keadaan panas
yang melampaui titik suhu kebakaran.
1. Tindakan Sebelum Bencana Kebakaran
1. Menjauhkan benda-benda padat seperti kertas, kayu, plastik,
karet, busa dari sumber api.

69
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

2. Menyimpan cairan yang mudah terbakar, seperti bensin,


solar, minyak tanah di tempat aman.
3. Merapikan instalasi listrik karena kebakaran biasanya
disebabkan oleh arus pendek listrik

4. Tidak membuang puntung rokok sembarangan, misalnya di


hutan atau kawasan kering
5. Menyimpan nomor penting (pemadam kebakaran, polisi dan
ambulans).
6. Melakukan latihan/simulasi kebakaran
2. Saat Bencana Kebakaran
1. Petugas membunyikan tanda peringatan dini untuk evakuasi
seperti pukulan lonceng/megaphone/sirine/bel panjang
menerus dan cepat, atau alat bunyi lain yang telah disepakati
sebelumnya.

2. Saat terjadi kebakaran, harus bergerak dengan


mencondongkan badan untuk mengurangi sesak akibat asap.
Jika ada asap, merunduklah karena udara bersih berada di
bawah.

70
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN BENCANA

3. Jika jalan keluar harus melewati api, tutup kepala dan badan
dengan kain/selimut basah.
4. Balut tangan saat memegang pegangan pintu yang
kemungkinan panas akibat terbakar, atau keluar lewat
jendela. Jika pegangan pintu tidak panas, buka perlahan dan
lihatlah apakah jalan terblokir oleh asap/api. Apabila
terblokir, keluarlah melalui jendela. Jika tidak, segera tutup
pintu dari belakang untuk menghambat api menyambar
keluar.

5. Setelah keluar rumah, segera minta bantuan dan telepon


pemadam kebakaran.
6. Jika pakaian kita terbakar. Jika baju Anda terbakar atau
terkena api, jangan lari melainkan rebahkan tubuh ke tanah
dan berguling untuk mematikan api.

71
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017). Pedoman Latihan
Kesiapsiagaan Bencana, Membangun Kesadaran, kewaspadaan
dan kesiapsiagaan dalam menghadapi Bencana. Jakarta:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. .(2017), Buku Saku
Tanggap Tangkas Tanguh Meghadapi Bencana. Jakarta
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat Badan
pengembangan Sumber Daya Manusia. (2017). Modul
Penanggulangan Bencana Banjir
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Pendidikan Nasional. (2009). Modul Ajar Pengurangan Risiko
Bencana Banjir. Jakarta: Kemdiknas
Pusponegoro, A. D & Sujudi, A (2016). Kegawatdaruratan dan
Bencana. Jakarta: Rayyana
Solikhah, M.M, Krisdianto, M.A, Kusumawardani, L.H. (2020).
Pengaruh Pelatihan Kader tanggap bencana terhadap
kesiapsiagaan bencana. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan
Indonesia, 10(4), 156-162.

72
BAB 6
PROSEDUR TINDAKAN BENCANA

PROFIL PENULIS
Maula Mar’atus Solikhah, S. Kep, Ns.,
M. Kep lahir di Pekalongan 31 Januari
1990. Saat ini merupakan dosen di Prodi
Keperawatan Program Diploma Tiga
Universitas Kusuma Husada (UKH)
Surakarta dan menjabat sebagai ketua
Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UKH
Surakarta. Lulus dari Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Diponegoro
(Undip) pada tahun 2012 dan
melanjutkan di program profesi Undip lulus pada tahun 2013.
Kemudian melanjutkan studi jenjang S2 Keperawatan Komunitas
di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia lulus tahun
2017. Karya tesis yang dihasilkan berhasil meraih Hibah
pendanaan dari DRPM UI dan berhasil di publikasikan di jurnal
International Reputasi Enfermeria Clinica (Scopus Q3). Saat ini
aktif dalam kegiatan tridarma yaitu pengajaran penelitian dan
pengabdian masyarakat. Karya buku kolaborasi yang pernah
ditulis dengan judul pengantar keperawatan gerontik.

73
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR
(BHD)
Ns. Anita Lufianti., S.Kep., M.Kes., M.Kep
Universitas An Nuur

A. Pengertian dan Tujuan Bantuan Hidup Dasar


Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau Basic Life Support (BLS)
adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa ketika terjadi henti
jantung. Aspek dasar dari BLS meliputi pengenalan langsung
terhadap henti jantung mendadak dan aktivasi sistem tanggap
darurat, cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi
jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat dengan defibrilator
eksternal otomatis/ automated external defibrilator (AED).
Pengenalan dini dan respons terhadap serangan jantung dan
stroke juga dianggap sebagai bagian dari BHD. Resusitasi jantung
paru (RJP) sendiri adalah suatu tindakan darurat, sebagai usaha
untuk mengembalikan keadaan henti napas dan atau henti
jantung (yang dikenal dengan kematian klinis) ke fungsi optimal,
guna mencegah kematian biologis. (A,M, Aaberg et all, 2014)
Tujuan utama dari BHD adalah suatu tindakan oksigenasi
darurat untuk mempertahankan ventilasi paru dan
mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh. Selain
itu, ini merupakan usaha pemberian bantuan sirkulasi sistemik,
beserta ventilasi dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal
sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik spontan atau telah
tiba bantuan dengan peralatan yang lebih lengkap untuk
melaksanakan tindakan bantuan hidup jantung lanjutan. Indikasi
Dilakukan Resusitasi Jantung Paru. (Pro Emergency,2011)
Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang terkandung di
dalam bantuan hidup dasar sangat penting terutama pada pasien
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

dengan cardiac arrest karena fibrilasi ventrikel yang terjadi di


luar rumah sakit, pasien di rumah sakit dengan fibrilasi ventrikel
primer dan penyakit jantung iskemi, pasien dengan hipotermi,
overdosis, obstruksi jalan napas atau primary respiratory arrest:
1. Henti Jantung (Cardiac Arest)
Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi peredaran darah
karena kegagalan jantung untuk melakukan kontraksi secara
efektif, keadaan tersebut bias disebabkan oleh penyakit primer
dari jantung atau penyakit sekunder non jantung. Henti jantung
adalah bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak beredar
dan oksigen tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa
detik. (Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau
ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa penyakit kardiovaskular
seperti asistol, fibrilasi ventrikel dan disosiasi elektromekanik.
Faktor ekstrinsik adalah kekurangan oksigen akut (henti nafas
sentral/perifer, sumbatan jalan nafas dan inhalasi asap);
kelebihan dosis obat (digitas, kuinidin, antidepresan trisiklik,
propoksifen, adrenalin dan isoprenalin); gangguan asam
basa/elektrolit (hipo/hiperkalemia, hipo/hipermagnesia,
hiperkalsemia dan asidosis); kecelakaan (syok listrik, tenggelam
dan cedera kilat petir); refleks gagal; anestesi dan pembedahan.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba
(nadi karotis, nadi femoralis, nadi radialas), disertai kebiruan
(sianosis) atau pucat sekali pernapasanberhenti atau satu-satu
(gasping, apnea), dilatasi pupil tidak bereaksi denganrangsang
cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar. (Mansjoer &
Sudoyo 2010).
2. Henti Napas (Respiratory Arrest)
Henti napas adalah berhentinya pernafasan spontan
disebabkan karena gangguan jalan nafas persial maupun total
atau karena gangguan di pusat pernafasan. Tanda dan gejala
henti napas berupa hiperkarbia yaitu penurunan kesadaran,

75
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis.


(Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan
oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat,
tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh
benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan infark
jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lain (Latief & Kartini 2009).
Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih
teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih
cukup sampai beberapa menit. Jika henti napas mendapat
pertolongan dengan segera maka pasien akan terselamatkan
hidupnya dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat henti
jantung yang mungkin menjadi fatal.
3. Tidak sadarkan diri

B. Golden Periode
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka
sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga
dalam waktu singkat organ – organ tubuh terutama organ vital
akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi
korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat
mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan
mampu bertahan jika ada asupan gula/ glukosa dan oksigen. Jika
dalam waktu lebih dari 6 menit otak tidak mendapat asupan
oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara
permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh
karena itu, Golden Periode (waktu emas) pada korban yang
mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 6
menit. Artinya dalam waktu kurang dari 6 menit penderita yang
mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai
mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si
korban sangat kecil.

76
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

1. Kematian dibedakan menjadi dua jenis yaitu:


1. Mati klinis
Penderita dinyatakan mati secara klinis apabila berhenti
berdenyut. Kematian klinis mungkin masih dapat diubah
menjadi hidup kembali apabila dilakukan RJP.
2. Mati biologis
Kerusakan sel otak dimulai 6 menit setelah berhentinya
pernafasan dan sirkulasi. Setelah 6 menit bisanya sudah
terjadi kematian biologis (manusia mulai membusuk) dan
penderita ini tidak dapat dihidupkan kembali.
Dengan demikian dalam keadaan mati klinis perlu dilakukan
tindakan cepat agar tidak menjadi biologis. Tindakan yang
dilakukan secara umum disebut Bantuan Hidup Dasar yaitu
segala hal yang bersangkutan dengan Airway, Breathing dan
Circulation. Secara khusus tindakan yang dilakukan pada mati
klinis adalah ResusitasiJantung Paru (RJP), Batas waktu 6 menit
untuk terjadinya mati biologis jangan dijadikan patokan untuk
tidak melakukan RJP.
2. Tanda Kematian pasti
Walaupun penderita belum menunjukkan tanda-tanda
pembusukan, namun ada beberapa tanda yang menunjukkan
bahwa penderita sudah mati biologis yakni :
1. Kebiruan (livor mortis)
Tanda merah tua sampai kebiruan pada bagian tubuh yang
terbawa (kalau penderita dalam keadaan terlentang, pada
pinggang bagian terbawah
2. Kekakuan (rigor mortis)
Anggota tubuh dan batang tubuh kaku, mulai 4 jam,
menghilang setelah 10 jam.

77
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Pembusukan yang nyata, terutama bau busuk


Cedera yang tidak memungkinkan penderita hidup seperti
putusan kepala dll.
4. Dalam keadaan darurat, jarang terjadi bahwa penderita
sudah menunjukkan tanda-tanda kematian pasti. Dalam
keadaan ini tetap dilakukan RJP

C. Chain Of Survival
The Chain of Survival rantai kelangsungan kehidupan adalah
sebuah protokol yang membantu responden pertama, penyedia
layanan gawat darurat medis dan orang awam bersertifikat
menyediakan pelayanan penting untuk korban tersedak atau
serangan jantung dan pernafasan. Tujuan dari rantai
kelangsungan hidup adalah untuk meningkatkan kesempatan
pasien untuk pemulihan melalui tindakan dini. Rangkaian
tindakan yang dilaksanakan pada awal dari setiap kasus
kegawatan medik untuk memberikan bantuan/ pertolongan
dengan tujuan mempertahankan kelangsungan hidup.
Rekomendasi terbaru AHA 2020, rantai kelangsungan hidup
dipisahkan antara perawatan pasien yang mengalami serangan
jantung di luar rumah sakit/ Out of Hospital Cardiac Arrest
(OHCA) dengan pasien yang mengalami serangan jantung di
rumah sakit/ Intra Hospital Cardiac Arrest (IHCA). Pasien yang
mengalami serangan jantung di luar rumah sakit lebih banyak
ditemukan oleh orang awam, namun penemu pertama tersebut
harus mengenali adanya serangan jantung, meminta bantuan dan
memberikan pertolongan pertama dengan segera memulai
Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien tersebut. Apabila di
tempat kejadian tersebut terdapat fasilitas Automated External
Defibrilator (AED), maka penolong tersebut harus dapat
menggunakan alat tersebut untuk membantu menyelamatkan

78
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

pasien tersebut, sampai pada akhirnya petugas kesehatan yang


terlatih tiba di tempat dan mengambil alih penyelamatannya.
Kemudian membawa pasien tersebut ke fasilitas kesehatan.
Sebaliknya jika pasien yang mengalami serangan jantung berada
di rumah sakit, maka tim dari petugas kesehatan yang meliputi
dokter, perawat, ahli terapi pernafasan dapat langsung
memberikan pertolongan.
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur
ini dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti
jantung. Semua tindakan yang dilakukan harus dilaksanakan
secara berkesinambungan, saling berkaitan satu sama lain
seperti satu mata rantai/ Chain of Survival. Semakin cepat
penolong masuk ke dalam suatu mata rantai dan kemudian dapat
beralih pada mata rantai berikutnya, semakin tinggi tingkat
keberhasilan daripertolongan tersebut.

Gambar 2. Chain Of Survival For Adult (AHA, 2020)


1. Pediatric Chain Of Survival
Henti jantung pada anak sering kali merupakan lanjutan dari
gagal nafas dan syok. Mengenali anak dengan masalah ini sangat
penting untuk mencegah terjadinya henti jantung dan
memaksimalkan keselamatan dan pemulihan. Oleh karena itu,
elemen ―pencegahan ditambah pada children chain of survival:
1. Prevention of arrest (Cegah terjadinya henti jantung)

79
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

2. Early high-quality by stander CPR


3. Rapid activation of the EMS (Segera aktifkan SPGDT/minta
pertolongan)
4. Effective advance life support (including fapid stabilitation and
transport to definitive care and rehabilitation
5. Intregrated post-cardiac arrest care
6. Recover

Gambar 3. Chain Of Survival For Child And Pediatric (AHA, 2020)

D. AHA Guidelines For Cardiopulmonary


Resusitation (CPR) 2020
Ketika berhadapan dengan penderita sering kali kita
kebingungan untuk melakukan pertolongan meskipun
sebelumnya telah mendapatkan pelatihan pertolongan. Untuk
memudahkan mengingat sistematika pertolongan diperkenalkan
oleh AHA 2020 tentang suatu konsep pertolongan yang disebut
dengan DRCAB yang merupakan singkatan dari Danger, Response,
Circulation, Airway, Breathing
D : Danger
R : Respon (Cek Respon)
Call For Help

80
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

Cek Nadi dan Cek Nafas (Secara Simultan)


C : Chest Compression (Kompresi Dada)
A : Airway (Jalan Nafas)
B : Breathing (Pernafasan)
1. Langkah-langkah CPR
1. CPR Dewasa dengan 1 Penolong
a. Langkah 1
Danger (Bahaya → Amankan)
4) Aman Diri Sendiri (memakai APD)
5) Aman Lingkungan (pastikan lingkungan aman :
Tempat datar, kering atau tidak berair dan keras)
6) Aman Korban
b. Langkah 2
Response (Cek Respon)
Untuk memeriksa respon korban, berikan rangsangan
untuk membangunkan korban, diantaranya :
1) Panggil korban
2) Tepuk pundak korban
3) Jika korban tidak ada respon segera minta bantuan
sebagai saksi menolong
Call for Help
1) Pra Rumah Sakit/ Area Kerja/ Perkantoran
2) Telepon pusat komando bantuan kegawatdarutan
untuk mengirim ambulans dan atau petugas medis
3) Rumah sakit
4) Aktifkan kode blue / team cepat tanggap
5) Bila penolong sendirian segera ambil AED (OHCA)
atau trolly emergency. Bila terdapat orang lain, minta
orang tersebut untuk aktivasi emergency dan ambil

81
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

AED (OHCA) serta mendampingi penolong sebagai


saksi

Circulation (Cek Nadi)


Periksa Nadi dan Pernafasan secara bersamaan, waktu
pemeriksaan kurang dari 10 detik. Raba Nadi karotis
dengan cara :
1) Arahkan lengan ke bagian trachea (sisi terdekat dari
penolong) menggunakan 2 atau 3 jari
2) Rasakan denyut nadi dalam waktu kurang dari 10
detik
3) Lihat sekilas pada pengembangan dada korban
Perhatian
1) Bernafas normal dan nadi teraba
2) Monitor pasien ROSC (IHCA), posisi pemulihan
(recovery position). Posisi pemulihan dilakukan
untuk mencegah terjadinya aspirasi karena cairan air
liur dan muntah
3) Tidak bernapas normal namun nadi teraba
4) Lakukan rescue breathing /pemberian bantuan
napas 10x/menit (tiap 6 detik) dan chek nadi tiap 2
menit. Lakukan high quality CPR bila nadi dirasa
tidak teraba.
c. Langkah 3
Compression (Teknik Kompresi)
Buka Baju sampai bagian dada terlihat jelas, dan untuk
memungkinkan pemasangan pad jika bantuan yang
membawa AED datang
1) Langkah 1: Posisikan diri penolong di sebelah badan
korban

82
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

2) Langkah 2: Pastikan korban di posisi terlentang di


atas alas kertas dan rata. Jika telungkup, balikkan
badan korban dengan hati-hati. Jika dicurigai cedera
spinal lakukan logroll untuk membalikkan badan
3) Langkah 3: Tempatkan tumit tangan pada mid tulang
sternum
4) Langkah 4: Posisi tangan tegak lurus, dorong ke
bawah dengan bahu
5) Langkah 5: tekan cepat dan keras
(a) Tekan sedalam 2 inch (6 cm)
(b) Kecepatan sekurang – kurangnya 100 – 120
x/mnt
(c) Perbandingan kompresi 30 :2
6) Langkah 6: Pastikan recoil dada (dada ke posisis awal
kembali)
7) Langkah 7: Minimalkan interupsi antar kompresi
(tidak lebih dari 10 detik)
d. Langkah 4
Airway (Buka Jalan Nafas), Teknik Pembebasan Jalan
Nafas
1) Head tilt – chin lift (angkat dagu- tengadahkan
kepala)
2) Jaw Trust ( Dorong Rahang Bawah) dan Chin Lift
(Angkat Dagu)
e. Langkah 5
Breathing (Pernafasan)
Perhatian: Bila tidak terdapat BVM untuk memberikan
nafas Bantuan, maka lakukan hand only CPR (hanya
kompresi dada). Perbandingan saat CPR, setelah 30
kompresi berikan 2 kali nafas, dengan cara:

83
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

1) Mouth to mouth (mulut ke mulut) (tidak dianjurkan


kontak langsung untuk menghindari risiko infeksi)
2) Dianjurkan Langsung menggunakan Bag Valve Mask
(BVM) untuk pemberian breathing
3) Segera lanjutkan kompresi setelah pemberian 2 kali
ventilasi, tidak boleh lebih dari 10 detik
Rjp Dewasa 2 Penolong
CPR dengan 2 orang penolong, masing-masing penolong
memiliki tugas spesifik masing-masing, diantaranya:
1) Segera gunakan AED (OHCA)/defribilator (IHCA)
2) Saat penolong kedua datang membawa AED (paska
aktivasi emergency), penolong kedua sesegera
mungkin memberikan AED kepada penolong
pertama untuk mengoperasikan AED, sementara
penolong kedua menggantikan RJP.
3) Segera lakukan high quality CPR atau ikuti sesuai
intruksi AED hingga team advance datang
4) Penolong harus bergantian dalam melakukan
kompresi tiap 2 menit, bila memakai AED, pergantian
kompresi dilakukan mengikuti instruksi AED
5) Bila AED tidak tersedia namun terdapat BVM :
a) Penolong 1
Posisi : Disamping Korban
Tugas :
(a) Melakukan Kompresi dada
(b) Kompresi dada sedalam 2 inchi (6cm)
(c) Kompresi dengan kecepatan sekurang-
kurangnya 100 – 120 x/mnt
(d) Perhatikan recoil setiap kompresi
(e) Kurangi interupsi saat kompresi

84
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

(f) Gunakan rasio kompresi pernafasan 30 :2


(jika ada BVM)
(g) Hitung kompresi dengan suara keras
(h) Ganti tugas dengan penolong 2 setiap 2
menit

b) Penolong 2
Posisi : Di kepala korban
Tugas :
(a) Buka Jalan nafas menggunakan teknik head
tilt-chin lift dan jaw thrust (apabila
dicurigai trauma cervical / spinal)
(b) Berikan nafas dengan teknik VE Girp, Lihat
kenaikan dada dan hindari ventilasi
(pemberian nafas) yang berlebihan
(c) Pastikan penolong 1 melakukan kompresi
dengan benar
(d) Ganti tugas dengan penolong 2 setiap 2
menit atau jika penolong 1 kelelahan.

E. Automated External Defibrilator (Aed)


1. Definisi
Adalah alat portable yang dapat menganalisa secara
otomatis irama yang memerlukan kejut listrik. Defibrilasi segera
merupakan salah satu bagian dari rantai kelangsungan hidup
korban henti jantung dengan irama ventrikel fibrilasi/ ventrikel
takikardi tanpa nadi. Oleh Karena itu, sarana publik sekarang ini
banyak yang menyediakan AED diantarinya Bandara, Mal besar,
Pabrik, Perkantoran, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan.
2. Langkah Penggunaan AED
1. Buka tas dan Nyalakan AED atau tekan “Power ON”, ada
beberapa AED yang menyala otomatis tanpa menekan tombol
ON jika penutup AED dibuka

85
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

2. Ikuti Instruksi Selanjutnya :


a. Tempelkan Pad pada dada korban (tanpa menghentikan
kompresi)
b. Saat AED menginstruksikan “don’t touch patient” atau
“clear” saat itu juga AED akan menganalisa irama,
pastikan tidak ada yang menyentuh korban agar
penilaian AED lebih akurat (penolong kedua dalam posisi
siap menggantikan penolong pertama untuk melakukan
compresi)
c. Bila AED menginstruksikan Shock, maka AED akan
mengatakan clear the victim dan delive shock Pastikan
ulang tidak ada seorang pun yang menyentuh korban
dengan mengatakan every body clear atau clear,
Kemudian baru tekan tombol ―shock.
d. Perhatikan jika tidak ada instruksishock atau setelah
pemberian shock segera lanjutkan kompresi dada
e. Setelah 2 menit kompresi ventilasi, AED akan
menginstruksikan untuk mengulang poin 2a-2c atau AED
akan langsung memberi instruksi don‘t touch patient
ketika muncul irama ventrikel takikardi tanpa
nadi/ventrikel fibrilasi saat analisa 2 menit setelah
kompresi ventilasi
3. Recovery Position
Korban non trauma di luar rumah sakit (OHCA) yang sudah
pulih kembali denyut jantung dan pernapasannya (nadi dan
napas ada) setelah dilakukan CPR, maka dilakukan posisi
recovery (dimiringkan) agar mencegah terjadi aspirasi pada
korban yang tidak sadar, posisi tersebut dilakukan sampai
bantuan yang lebih ahli datang
1. Komplikasi CPR
Selain manfaat yang didapat dari tindakan Bantuan Hidup
Dasar (CPR), ada pula komplikasi yang kemungkinan bisa
terjadi, antara lain:

86
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

2. Komplikasi ventilasi
a. Regurgitasi, aspirasi isi lambung
b. Gastric insuflasi (Penumpukan udara dilambung)
c. Peningkatan tekanan intrathoraks (menurunkan cardiac
output)
3. Komplikasi compressi
a. Fraktur sternum/ costae/iga
b. Pneumothoraks, hemotoraks, kontusio
c. Flail chest
d. Emboli udara
e. Ruptur aorta
f. Luka organ lain seperti Laserasi/ruptur hati, limpa dll.
4. Penghentian CPR
CPR dihentikan apabila:
a. Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas
spontan atau batuk
b. Setelah 30 menit tidak ada hasil
c. Penolong sudah kelelahan
d. Ada penolong yang lebih ahli/ bantuan datang
e. Sudah ada tanda-tanda kematian: kebiruan, kekakuan,
bau busuk, trauma yang
f. memungkinkan tidak bisa tertolong seperti kepala putus
g. Kebijakan SOP rumah sakit
h. Intruksi dokter
i. DNR (Do Not Resutite)

87
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. (2020). Advanced Cardiovascular Life
Support: Provider Manual.
USA: American Heart Association.
American Heart Association. (2020). Basic Life Support: Provider
Manual. USA: American Heart Association
American Red Cross (2020). First Aid/CPR/AED Participant Manual.
USA: StayWell Health & Safety Solutions
A.M. Aaberg, C.E. Larsen, B.S. Rasmussen, C.M. Hansen, & J.M. Larsen.
Basic Life Support knowledge, self reported skills and fears in
Danish High School students and effect of a single 45-min
training session run by junior doctors ; a prospective cohort
study. Resuscitation and Emergency Medicine:22-24. 2014
Latief, S. A. Kartini. (2009). Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi
Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, A. Sudoyo, A. W. (2010). Resusitusi Jantung Paru. Buku Ajar
Ilmu Penyakit dalam. Edisi V jilid I. Jakarta: Interna Publishing
Pro Emergency. Basic Trauma Life Support. Cibinong:Pro
Emergency.2011.

88
BAB 7
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

PROFIL PENULIS
Ns. Anita Lufianti., M.Kes., M.Kep.
Lahir di Blora, 8 Juli 1977. Penulis
beralamat di Perum Ayodya 2 Blok B No. 3
Purwodadi Grobogan, Jawa Tengah. Istri
dari Hendrik Budi Prasetyo yang telah
dikaruniai dua putra dan satu putri yaitu
Kenzo Paramarafsya Radith Prasetyo,
Kenstano Qafkharu Dante Prasetyo dan
Nikita Queensha Zaffarani Prasetyo.
Penulis merupakan alumni dari Akper Telogorejo Semarang lulus
tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan S1 Keperawatan
dan Profesi Ners di Program Studi Ilmu Keperawatan – Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada lulus tahun 2001.
Penulis melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi
Magister Kedokteran Keluarga dengan minat utama Pendidikan
Profesi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret lulus
tahun 2011. Pada tahun 2013 Penulis menempuh pendidikan S2
di Program Magister Keperawatan Universitas Diponegoro dan
lulus tahun 2016. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan
Doktoral di Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, pada
program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Riwayat Pekerjaan
pada tahun 2001 – 2006 menjadi Dosen di AKPER Krida Husada
Kudus. Tahun 2006 - sekarang (2022) menjadi Dosen di
Universitas An Nuur Purwodadi.

89
BAB 8
MEKANISME SYOK &
RESUSITASI CAIRAN
Ns. Erlangga Galih Z.N., M.Kep., C.NPS
Poltekkes Kemenkes Aceh

A. Konsep Dasar Syok


Syok terjadi pada keadaan dimana perfusi oksigen ke
jaringan tidak adekuat. Tanda dan gejala yang terjadi pada pasien
yaitu kulit pucat, dingin, dan penurunan cardiac output (Anita &
Susanti, 2021). Ketidakberhasilan dalam memperbaiki perfusi
menyebabkan kematian sel yang progresif, gangguan fungsi
organ dan akhirnya menyebabkan kematian. Mempertahankan
perfusi darah yang adekuat pada organ vital adalah tindakan
yang penting untuk menyelamatkan pasien. Perfusi organ
tergantung tekanan perfusi yang tepat, kemudian curah jantung
dan resistensi vakuler sistemik. Pasien bisa menderita lebih dari
satu jenis syok secara bersamaan (Fachrurrazi, dkk., 2022).
1. Definisi
Syok merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi
disebabkan adanya gangguan hemodinamik dan metabolik yang
ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke sistem organ tubuh
(Sudoyo, A.W, dkk., 2009). Syok adalah sindrom klinis akibat
kegagalan sistim sirkulasi dengan akibat ketidakcukupan
pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan serta
kegagalan pembuangan sisa metabolisme.
Syok digambarkan dengan suatu keadaan ketika sel
mengalami hipoksia sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh dan oksigen yang
dibutuhkan oleh tubuh. Hipotensi dan syok merupakan kedua hal
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

yang berbeda (Nichols et al., 2016). Syok tanpa hipotensi dapat


terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi lama.
2. Etiologi
1. Hipovolemik
Syok hipovolemik paling sering terjadi pada usia dewasa
hingga anak. Hal ini diakibatkan adanya kehilangan cairan
tubuh yang berlebihan. Penyebab utama syok hipovolemik
antara lain muntah, diare, kebocoran plasma (misalnya pada
demam berdarah dengue), sepsis, trauma, luka bakar,
perdarahan saluran cerna, perdarahan intrakranial
(Jainurakhma, dkk., 2021) . Setelah itu terjadi penurunan
preload akibat adanya kehilangan cairan yang massif. Sesuai
dengan hukum Starling, penurunan preload ini akan
berakibat pada penurunan isi sekuncup, selanjutnya
penurunan curah jantung. Baro receptor akan merangsang
syaraf simpatik untuk meningkatkan denyut jantung dan
vasokonstriksi untuk mempertahankan curah jantung dan
tekanan darah (Widiyaningsih & Kusyati, 2019).
Syok hipovolemik yang lama dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ. Dalam keadaan normal, Ginjal menerima 25%
curah jantung, pada syok hipovolemik akan terjadi
redistribusi aliran darah dari korteks ke medula. Jika keadaan
ini berlangsung lama akan terjadi tubular nekrosis akut serta
gangguan glomerulus dengan akibat gagal ginjal akut.
2. Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah keadaan dimana terjadi kegagalan
jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh,
disebabkan ketidaknormalan preload, afterload atau
kontraktilitas miokardium. Gangguan preload dapat terjadi
akibat pneumotoraks, efusi perikardium, hemoperikardium
atau penumoperikardium. Gangguan afterload dapat terjadi
akibat kelainan obstruktif congenital, emboli, peningkatan

91
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

resistensi vaskular sistemik (misalnya pada


pheochromocytoma). Gangguan kontraktilitas miokardium
dapat diakibatkan infeksi virus, gangguan metabolik seperti
asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia, penyakit kolagen dll
(Dean, 2019).
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah adanya
hipotensi yang berkepanjangan dengan batasan/cut-off
points tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik adalah
< 90 mmHg selama sekurangnya 30-60 menit atau mean
arterial pressure < 30 mmHg dari baseline dengan indeks
kardiak yang berkurang (< 2,2 L/menit/m2) dan tekanan baji
kapiler paru (Pulmonary Capillary Wedge Pressure/PCWP) >
15 mmHg (Hochman & Ohman, 2009).
3. Syok Obstruktif
Syok obstruktif disebabkan karena adanya sumbatan pada
aliran darah yang melewati pusat sirkulasi (vena, jantung,
paru-paru). Syok obstruktif dapat terjadi pada beberapa
kondisi diantaranya, pneumotoraks, dan pembedahan pada
aorta yang mengalami aneurisma. Penyebab utama
terjadinya syok obstruktif ialah emboli paru-paru (Tazbir,
2012).
4. Syok Distributif
Terjadinya syok distributif ditandai dengan hilangnya fungsi
tonus pada pembuluh darah, pembesaran pembuluh darah,
serta volume darah yang berpindah jauh dari jantung dan
pusat sirkulasi. Hal ini akan menyebabkan pengisian cairan
pada sistem sirkulasi menjadi tidak cukup.
Dua penyebab utama yang mengakibatkan tonus pada
pembuluh darah menghilang diantaranya penurunan kontrol
pada sistem simpatis dari vasomotor dan pelepasan zat
vasodilator secara berlebihan (Vadakel & Rizzolo, 2013).

92
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

3. Patofisiologi
Syok dapat muncul akibat dari 4 mekanisme patofisiologis
yang tidak terpisah satu dengan yang lainnya, antara lain
hypovolemia, kardiogenik, obstruksi, dan distributif.
Karakteristik syok cenderung berubah sering dengan perjalanan
penyakit dengan derajat keparahan yang berbeda pada masing-
masing tingkatan/derajatnya. Secara umum syok dibagi menjadi
3 derajat tingkatan yaitu syok ringan (compensated stage), syok
sedang (progressive stage), dan syok berat (irreversible).
Pada stadium compensated stage, mekanisme feedback
negative tubuh masih dapat mengembalikan cardiac output dan
tekanan arteri. Mekanisme feedback tersebut meliputi :
baroreceptor reflex, reverse stress relaxation response, sekresi
angiotensinoleh ginjal, sekresi (ADH) oleh kelenjar pituitari.
Selain itu terdapat mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan volume intravaskuler seperti absorpsi air dalam
jumlah yang besar dari saluran cerna, shift cairan dari interstitial
ke kapiler, konservasi air dan garam oleh ginjal, dan rasa haus
yang dirasakan penderita (Guyton, A.C., Hall, 2007).
Reflek simpatik merupakan mekanisme pertama dalam
pemulihan syok karena teraktivasi secara maksimal dalam 30
detik s.d 1 menit pertama. Mekanisme kompensasi yang
melibatkan angiotensin dan vasopressin, serta reverse-stress
relaxation memerlukan waktu 10 menit s.d 1 jam untuk dapat
merespon secara penuh. Namun mekanisme ini berperan besar
dalam meningkatkan tekanan arteria tau filling pressure
sehingga meningkatkan cardiac output. Kemudian mekanisme
untuk mengembalikan volume intravaskuler seperti absorpsi
cairan dari saluran cerna dan retensi cairan serta natrium pada
ginjal memerlukan 1 s.d 48 jam untuk berfungsi maksimal.
4. Manifestasi Klinis
Keadaan syok merupakan kasus gawat darurat yang dapat
menyebabkan kematian apabila tidak dipantau dan ditangani

93
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

segera. Secara global angka insidensi tahunan syok berdasarkan


etiologi apapun adalah 0,3-0,7 per 1000 penduduk. Syok
kardiogenik adalah penyebab kematian utama pada infark
koroner akut, dengan angka mortalitas mencapai 50-90%. Angka
mortalitas meningkat seiring dengan usia. Mortalitas pasien usia
≥75 tahun dengan syok kardiogenik adalah 55% sedangkan pada
pasien < 75 tahun sebesar 29,8% (Hulu, 2020). Upaya dalam
mencegah peningkatan angka mortalitas pada kejadian syok,
dapat diidentifikasi dari awal melalui manifestasi klinis pada
pasien.
Tanda dan gejala pada syok dapat dibagi menjadi dua yaitu
dari usaha kompensasi tubuh dan dari efek penurunan fungsi
organ. Tubuh mengompensasi keadaan syok dengan
mengorbankan organ non-esensial, yakni kulit dan
gastrointestinal. Usaha kompensasi ini biasanya berupa
peningkatan laju nadi dan vasokontriksi untuk meningkatkan
tahanan vaskular sistemik. Tanda dan gejala yang muncul adalah
takikardia, akral dingin, pucat, dan penyempitan tekanan nadi.
Kondisi syok distributive seperti syok neurogenik, anafilaksis,
dan sepsis bisa tidak menunjukkan akral dingin karena hilangnya
tonus vaskular sistemik merupakan masalah utamanya
(Wardhana, 2022).
Efek penurunan fungsi organ muncul jika mekanisme
kompensasi yang tidak mencukupi. Penurunan perfusi ginjal
menghasilkan penurunan keluaran urin. Penurunan perfusi ke
otak menghasilkan kondisi gelisah yang bisa berlanjut ke
penurunan kesadaran. Kondisi yang lebih berat dapat
menunjukkan sesak napas akibat penurunan perfusi paru dan
tanda iskemia jantung akibat penurunan perfusi jantung.

94
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

Gambar 4. Tanda dan Gejala Syok

5. Derajat Syok
Derajat syok dapat dibagi ketiga bagian : (Komplemen, dkk.,
2019)
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non-vital
seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini
relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa
adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible).
Kesadaran tidak terganggu, produksi urine normal atau
sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati,
usus, ginjal, dan lainnya). Organ- organ ini tidak dapat
mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti lemak, kulit, dan
otot. Oligouria bisa terjadi dan asidosis metabolik, akan tetapi
kesadaran relatif masih baik.

95
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme
kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke
dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokonstriksi di
semua pembuluh darah lain. Terjadi oligouria dan asidosis
berat, gangguan kesadaran dan tanda- tanda hipoksia jantung
(EKG Abnormal, curah jantung menurun).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum pada pasien syok lebih difokuskan
pada dukungan hemodinamik yang adekuat dalam upaya
pencegahan terjadinya disfungsi dan kegagalan organ. Resusitasi
seharusnya segera dilakukan meskipun identifikasi penyebab
syok masih berjalan. Ketika etiologi syok sudah diketahui,
penyebab utama tersebut harus dikoreksi dengan cepat (Vadakel
& Rizzolo, 2013).
Manajemen awal syok terdiri dari 3 komponen penting yaitu
ventilasi, resusitasi cairan, dan pemberian agen vasoaktif.
Pemberian oksigen sebaiknya dimulai segera untuk mencegah
terjadinya hipertensi pulmonal. Monitoring saturasi dengan
pulse oximetry sering kali tidak reliabel akibat terjadinya
vasokontriksi perifer pada syok sehingga pasien sering kali
memerlukan pemeriksaan gas darah. Intubasi endotrakeal
sebaiknya dilakukan untuk memberikan ventilasi mekanik pada
pasien dengan dyspnea berat, hipoksemia, atau asidosis
persisten (Ph <7,30). Kelebihan penggunaan ventilasi mekanis
adalah berkurangnya oxygen demand dari otot-otot bantu
pernapasan dan mengurangi afterload ventrikel kiri dengan
meningkatkan tekanan intratorakal(Vincent & de Backer, 2013) .
Resusitasi cairan bertujuan untuk dapat meningkatkan
aliran darah mikrovaskuler dan meningkatkan curah jantung. Hal
ini bermanfaat pada semua jenis syok termasuk syok
kardiogenik, karena edema pada syok kardiogenik dapat
menurunkan cairan intravaskuler efektif. Pemberian cairan

96
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

sebaiknya dimonitor dengan ketat, karena pemberian cairan


yang berlebih dapat berakibat pada ada terjadinya edema dan
konsekuensi lainnya.

B. Resusitasi Cairan
Tubuh membutuhkan cairan untuk dapat berfungsi dengan
baik. Kehilangan cairan secara berlebihan, baik karena dehidrasi
maupun terjadinya perdarahan, dapat memicu gangguan pada
fungsi organ dalam tubuh. Resusitasi cairan diperlukan untuk
mengembalikan fungsi tubuh dan mencegah pemburukan
kondisi pada pasien hingga terjadinya kematian. Resusitasi
cairan merupakan tindakan yang dilakukan dengan pemberian
cairan untuk mengatasi syok dan menggantikan volume cairan
yang hilang akibat perdarahan atau dehidrasi (Nurfadillah &
Tahir, 2018.).
Manusia terdiri dari 2 bagian cairan tubuh antara lain :
cairan intraseluler (40% berat badan) dan cairan ekstra seluler
(20% berat badan).
1. Pemilihan Cairan Resusitasi
Cairan resusitasi yang ideal digunakan adalah cairan yang
menghasilkan peningkatan cairan intravaskuler yang bertahan
lama dan dapat diprediksi, memiliki komposisi sedekat mungkin
dengan cairan ekstraseluler, dimetabolisme dan diekskresi
sepenuhnya tanpa akumulasi pada jaringan, tidak memiliki efek
samping metabolic dan sistemik, dan cost effective dalam hal
meningkatkan outcome pada pasien (Myburgh & Mythen, 2013).

97
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Tabel 2. Jenis Cairan Resusitasi


Janis Cairan Keterangan
Cairan Kristaloid Cairan ini dapat pindah menembus membran
semipermeable secara bebas, Kandungannya
adalah air dan berbagai elektrolit yang sifatnya
isotonic dengan cairan ekstrasel.
NaCl merupakan jenis kristaloid yang paling
sering digunakan. Larutan salin mengandung
natrium dan klorida dengan konsentrasi yang
sama, sehingga isotonis dengan cairan
ekstraseluler.
Kristaloid dengan komposisi kimia mendekati
cairan ekstraseluler disebut dengan cairan garam
fisiologis. Ringer laktat dan ringer asetat
merupakan contoh cairan dalam kategori ini.
Cairan garam fisiologis direkomendasikan pada
apsien yang menjalani pembedahan, pasien
dengan trauma, dan pasien ketoasidosis diabetik.
Cairan Koloid Cairan koloid tidak bercampur menjadi larutan
dan tidak dapat menembus membrane
semipermeable. Koloid cenderung menetap
dalam pembuluh darah lebih lama disbanding
kristaloid karena tida dapat difiltrasi secara
langsung oleh ginjal.
Koloid digunakan secara sementara untuk
mengganti komponen plasma. Jenis cairan koloid
yang tersedia : Gelofusin, Dekstran, Albumin, dan
Hydroxyethyl Starch (HES). Secara umum ,
penggunaan koloid diindikasikan pada :
1. Pasien syok hemoragik (sebelum didapatkan
tranfusi darah)
2. Pasien Hipoalbuminemia berat
3. Pasien Combustio

98
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

2. Pelaksanaan Resusitasi Cairan


Sebelum melakukan resusitasi cairan sesuai dengan kasus
yang ditemukan, diperlukan adanya Identifikasi syok yang
dimulai dari survei primer. Evaluasi dimulai dari upaya
identifikasi bagian Airway (A) yaitu memastikan jalan napas
bebas. Kemudian dilanjutkan bagian Breathing (B) yaitu
penilaian pernapasan sambil memberikan support oksigen 100%
via NRM 15 L/menit. Saat pemeriksaan Circulation (C): tenaga
kesehatan harus mampu mencurigai kondisi syok jika ditemukan
nadi cepat dan lemah, akral dingin dan pemanjangan waktu
pengisian kapiler. Pada kondisi syok, pengukuran tekanan darah
otomatis bisa memunculkan pembacaan tekanan darah tinggi
meskipun sebenarnya alat tidak mengidentifikasi pulsasi adekuat
(Aletti, dkk., 2016).
Hasil identifikasi bila menunjukkan ke tanda-tanda kondisi
syok, pasang segera 2 jalur infus intravena menggunakan kanula
besar lalu berikan cairan kristaloid 10-20 ml/kg habis dalam 15-
20 menit. Saat insersi kanula, sampel darah untuk laboratorium
dapat diambil. Sampel darah juga digunakan untuk pemeriksaan
golongan darah dan cross-match untuk persiapan pemesanan
produk darah pada kasus dengan kecurigaan perdarahan. Kasus
dengan perdarahan ekternal harus dihentikan atau dikurangi
dengan balut tekan. Perdarahan internal memerlukan
pertimbangan dilakukan pembedahan untuk menghentikan
sumber perdarahan. Alat pemantauan EKG dan saturasi oksigen
dipasang segera. Selama stabilisasi via resusitasi cairan, tenaga
kesehatan harus berpikir cepat untuk mendiagnosis syok dan
penyebab yang mendasari agar dapat memberikan penanganan
yang tepat (Wardhana, 2022).

99
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Gambar 5. Penatalaksanaan Syok dengan Resusitasi Cairan

Prinsip penanganan awal resusitasi cairan pada kasus


kehilangan cairan atau syok yang belum ditentukan jenisnya
adalah pemberian cepat cairan. Hanya ada dua kondisi yang tidak
mengizinkan pemberian cairan sebagai penanganan utama saat
terjadi kondisi syok, yakni: gagal jantung dekompensata akut dan
emboli paru. Pemberian cairan dapat membantu pengantaran
oksigen ke jaringan jika memaksimalkan volume sekuncup
dengan cara penambahan volume intravaskular.
Pemilihan ukuran akses intravena sangat penting untuk
resusitasi cairan dalam jumlah banyak dan habis dalam waktu
singkat. Sesuai hukum Poiseuille, kecepatan aliran berbanding
lurus jari-jari pipa pangkat empat dan berbanding terbalik
dengan panjangnya. Kanula intravena 14-18 G terpasang 2 jalur
dan penggunaan kantong kompresi eksternal diperlukan untuk
resusitasi cairan.

100
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

Tabel 3. Deskripsi Kanula Intravena


Diameter Kecepatan
Panjang
Ukuran Warna Internal Aliran
(mm)
(mm) (ml/menit)
20 G Pink 32 0,8 60
18 G Hijau 32 0,95 100
16 G Abu-abu 51 1,3 180
14G Orange 51 1,73 240 ml/menit

Jumlah cairan yang harus diberikan menyesuaikan dengan


jumlah cairan yang hilang (jika dapat diukur/di perkirakan) dan
pencapaian target resusitasi. Karena sulit diperkirakan,
pemberian jumlah cairan di awal resusitasi bisa di bawah
perkiraan. Pada kasus perdarahan, perkiraan jumlah darah yang
hilang disarankan digantikan sebanyak 3 kali lipat cairan
kristaloid. Kasus syok yang disertai vasodilatasi dan kebocoran
kapiler akan mengubah pertimbangan jumlah penggantian cairan
yang dibutuhkan.
Adanya perbaikan respons klinis pasca pemberian cairan
menunjukkan bahwa kehilangan cairan telah teratasi dan tidak
ada proses kehilangan cairan yang masih berlanjut. Perbaikan
respons klinis yang bersifat sementara ataupun tidak ada
perbaikan respons klinis bisa berarti tiga hal, yakni : (Wardhana,
2022)
1. Kehilangan cairan/darah masih belum tergantikan, sehingga
perlu dipertimbangkan pemberian cairan koloid atau produk
darah;
2. Terdapat proses kehilangan cairan/darah yang masih
berlangsung signifikan, sehingga perlu dipikirkan Tindakan
pembedahan untuk mengendalikan sumber perdarahan;

101
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Adanya syok non-hipovolemik yang terjadi, sehingga perlu


dilakukan evaluasi ulang untuk kemung kinan adanya proses
vasodilatasi atau syok obstruktif/sentral.

Target resusitasi cairan yang bisa dilakukan di ruang


Instalasi Gawat Darurat adalah umumnya menggunakan target
makro, yakni: tekanan arterial rerata > 65 mmHg dan didapatkan
tanda kecukupan perfusi organ seperti output urin > 0.5
ml/kg/jam serta perbaikan akral menjadi hangat. Hal yang perlu
diingat adalah resusitasi cairan yang ditargetkan untuk
perbaikan laju nadi, tekanan darah, output urin bisa membuat
pasien tertangani hanya sampai pada kondisi syok
terkompensasi. Sebaiknya, resusitasi cairan ditujukan untuk
kecukupan penghantaran oksigen ke jaringan. Parameter yang
bisa tersedia secara cepat adalah kadar laktat serum dan saturasi
oksigen vena sentral (Shamil, dkk., 2018).

102
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

DAFTAR PUSTAKA
Aletti, F., Conti, C., Ferrario, M., Ribas, V., Bollen Pinto, B., Herpain, A.,
Post, E., Romay Medina, E., Barlassina, C., & de Oliveira, E.
(2016). ShockOmics: multiscale approach to the identification
of molecular biomarkers in acute heart failure induced by
shock. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine, 24, 1–10.
Anita, L., & Susanti, M. M. (2021). HUBUNGAN PENGETAHUAN
ORANG TUA TERHADAP SIKAP PERTOLONGAN PERTAMA
PADA ORANG SYOK DI DESA NGABENREJO GROBOGAN. Jurnal
Ilmiah The Shine, 7(01), 20–25.
Dean, S. (2019). Should the primary percutaneous coronary
intervention pathway be redesigned? British Journal of Cardiac
Nursing, 14(8), 1–15.
Fachrurrazi, F., Nashirah, A., & Awaludin, L. R. P. (2022). Pengelolaan
Pasien Syok karena Perdarahan. GALENICAL: Jurnal Kedokteran
Dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh, 1(3), 42–51.
Guyton, A.C., Hall, J. E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
EGC.
Hochman, J. S., & Ohman, E. M. (2009). Cardiogenic shock. John Wiley
& Sons.
Hulu, J. P. K. (2020). Gambaran Hasil Nilai Saturasi Oksigen Dengan
Pulse Oxymetri Pada Pasien Syok.
Jainurakhma, J., Koerniawan, D., Supriadi, E., Frisca, S., Perdani, Z. P.,
Zuliani, Z., Budiono, B., Malisa, N., Rantung, G. A. J., &
Windahandayani, V. Y. (2021). Dasar-Dasar Asuhan
Keperawatan Penyakit Dalam dengan Pendekatan Klinis.
Yayasan Kita Menulis.
Komplemen, T. P. F. K., Plasmin, A. T. F., XIIa, R. E. S., & Anafilatoksi,
F. (2019). PERDARAHAN KID SYOK. Penyakit Infeksi Di
Indonesia Solusi Kini & Mendatang Edisi Kedua: Solusi Kini Dan
Mendatang, 113.
Myburgh, J. A., & Mythen, M. G. (2013). Resuscitation fluids. New

103
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

England Journal of Medicine, 369(13), 1243–1251.


Nichols, D. G., Shaffner, D. H., Argent, A. C., Arnold, J. H., & Biagas, K.
v. (2016). Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Wolters
Kluwer Philadelphia.
Nurfadillah, A., & Tahir, M. Y. (n.d.). Literature Review: Pengelolaan
Pasien Syok Hipovolemik Dengan Pemberian Resusitasi Cairan.
Shamil, E., Ravi, P., & Mistry, D. (2018). 100 Cases in Emergency
Medicine and Critical Care. CRC Press.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., & Setiati, S.
(2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi V), Jilid II. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tazbir, J. (2012). Early Recognition and Treatment of Sepsis in the
Medical-Surgical Setting. Medsurg Nursing, 21(4).
Vadakel, H., & Rizzolo, D. (2013). Shock: Early recognition and
resuscitation are key: Review common types of this life-
threatening condition and how to respond appropriately:.
JAAPA, 26(6), 21–24.
Vincent, J.-L., & de Backer, D. (2013). Circulatory shock. New England
Journal of Medicine, 369(18), 1726–1734.
Wardhana, A. P. (2022). Buku Ajar Kegawatdaruratan: Sebuah
Pendekatan Untuk Memecahkan Kasus. Direktorat Penerbitan
dan Publikasi Ilmiah Universitas Surabaya.
Widiyaningsih, W., & Kusyati, E. (2019). Hemodinamik Pasien Akut
Miokard Infark (AMI) Di Ruang Perawatan Kritis. Journal of
Holistic Nursing Science, 6(1), 22–27.

104
BAB 8
MEKANISME SYOK & RESUSITASI CAIRAN

PROFIL PENULIS
Penulis bernama Ns. Erlangga
Galih Z.N., M.Kep, C.NPS menempuh
pendidikan sarjana Ilmu Keperawatan,
Profesi Ners, dan Magister
Keperawatan Peminatan Keperawatan
Medikal Bedah di Departemen Ilmu
Keperawatan, Universitas Diponegoro.
Saat ini penulis bekerja sebagai dosen
di Program Studi DIII Keperawatan
Banda Aceh, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Aceh.
Penulis konsen mengenai Keperawatan Medikal Bedah bagian
Nefrologi.

105
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN
KEGAWATAN PENYAKIT
SISTEM PERNAPASAN
Ns. Muhammad Arif, S.Kep., M.Kep
Universitas Perintis Indonesia

A. Pertolongan Kegawatan Sistem Pernapasan


1. Pendahuluan
Istilah pernafasan yang lazim digunakan mencakup 2
proses: pernafasan luar (eksterna) yaitu penyerapan oksigen dan
pengeluaran karbon dioksida dari tubuh secara keseluruhan
serta pernafasan dalam (internal), yaitu penggunaan oksigen dan
pembentukan karbon dioksida oleh sel-sel serta pertukaran gas
antara sel-sel tubuh dengan media cair sekitarnya. Sistem
pernafasan terdiri dari organ pertukaran gas (paru-paru) dan
sebuah pompa ventilasi paru. Pompa ventilasi terdiri dari dinding
dada, otot-otot pernafasan, pusat pernafasan diotak yang
mengendalikan otot pernafasan.
2. Fisiologi Paru
Respirasi ialah pertukaran gas-gas antara organisme hidup
dengan lingkungan sekitarnya. Pada manusia terkenal dua
macam respirasi yaitu internal dan eksternal. Respirasi internal
adalah pertukaran gas antara darah dan jaringan. Respirasi
eksternal merupakan pertukaran gas antara lingkungan dan
pembuluh darah kapiler paru. Unit fungsional paru terdiri dari
alveolus dengan anyaman kapilernya. Banyak faktor yang
mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveoli(
ventilasi) dan pasokan darah ke kapiler paru ( perfusi). Hukum
Herry menyebutkan bahwa ketika larutan terpapar dengan gas
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

atmosfer, keseimbangan parsial gas mengikuti antara molekul


gas terlarut dalam larutan dan molekul gas diatmosfer sehingga,
tekanan parsial O2 dan CO2 yang meninggalkan kapiler paru(
darah vena paru) adalah sama dengan tekanan parsial O2 dan
CO2 yang masuk ke alveoli setelah tercapai keseimbangan. Pada
keadaan seimbang tekanan parsial O2 dan CO2 dihasilkan dari
keseimbangan dinamik antara transport O2 ke alveolus dan
ekstraksi O2 dari alveolus, dan transport CO2 ke alveolus dan
CO2 yang dibuang atau dikeluarkan.
Transport CO2 ke alveolus berhubungan langsung dengan
kecepatan aliran masuk udara (ventilasi) dan komposisi gas yang
dihirup (tekanan parsial O2 pada udara inspirasi;FIO2). Pada
umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan
peningkatan tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi.
Ekstraksi O2 dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan
kuantitas hemoglobin darah yang memperfusi alveoli. Saturasi
O2 pada hemoglobin dalam pembuluh darah kapiler paru
dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan (Cardiac output) dan
ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolism).

Gambar 6. Sistem Pernafasan


Proses difusi paru adalah proses pasif, sehingga tidak
membutuhkan energi maupun oksigen. Tekanan parsial O2
alveolus (PaO2)=100mmHg, sedangkan PO2 dalam kapiler paru
adalah 40mmHg. Perbedaan tekanan sebanyak 60mmHg

107
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

menyebabkan kecepatan difusi cukup tinggi untuk mendifusikan


O2 melalui membran ke dalam darah yang mengalir cukup cepat
pula, sehingga PaO2 mencapai 97.
Kapasitas difusi O2 adalah jumlah O2 yang mampu
menembus membran alveoli permenit per mmHg yang
merupakan selisih PO2 antara alveolus dan darah kapiler paru.
Kapasitas difusi normal pada saat istirahat kira-kira
20ml/menit/mmHg. Pada saat bekerja bias mencapai 65ml atau
lebih.
Sirkulasi paru dimulai dari pembuluh trunkus pulmonalis
yang menerima darah vena dari ventrikuler kanan, kemudian
bercabang secara dikotom sesuai dengan cabang-cabang saluran
nafas sampai bronkiolus terminalis dan mulai bercabang banyak
seperti jaringan meliputi dinding alveolus dengan susunan yang
sangat tepat untuk pertukaran gas.
Darah yang sudah teroksigenasi disalurkan oleh vena
pulmonalis yang berjalan diantara lobulus-lobulus dan
bergabung menjadi vena pulmonalis ke atrium kiri jantung.
Secara absolut jumlah darah yang beredar di dalam paru pada
orang dewasa sebanyak lebih kurang 900ml. aliran darah nutrisi
untuk jaringan paru berasal dari arteria bronkialis, kemudian
darah vena kembali ke jantung melalui dua lintasan yaitu
mengikuti aliran darah pulmonalis ke jantung kiri dan aliran vena
azygos ke vena kava inferior selanjutnya ke jantung kanan.
3. Gagal Nafas Akut
1. Definisi
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi
gagal untuk melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan
oksigen dan pengeluaran karbon dioksida. Ketidakmampuan
itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk
memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida.

108
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

2. Etiologi
Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh kelainan
intrapulmonal dan ektrapulmonal. Kelainan intrapulmonal
meliputi kelainan pada saluran nafas bawah, sirkulasi
pulmoner, jaringan interstitial, kapiler alveolar. Kelainan
ektrapulmonal merupakan kelainan pada pusat nafas,
neuromuskular, pleura maupun saluran nafas atas.
3. Kriteria Gagal Nafas
Kriteria Gagal Nafas menurut Pontoppidan:
Yaitu menentukan kriteria gagal nafas berdasarkan
“mechanic of breathing”, oksigenasi dan ventilasi seperti pada
tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Kriteria Gagal Nafas Menurut Ponttopidan
Acceptable Gawat Gagal Nafas
range Nafas
Mechanic of -RR (X/menit) 12-15 25-35 >35
Breathing -Kapasitas Vital 70-30 30-15 <15
(ml/Kg) 100-50 50-25 <25
-Inspiratory force
(cm
H2O)
Oksigenasi -AaDO2 50-200 200-350 >350
(mmHg)*
-PaO2 (mmHg) 100-75 200-70 <70
(room air) (On mask (On mask O2)
O2)
Ventilasi -VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6
-PaCO2 (mmHg) 35-45 45-60 >60^
Terapi -Fisioterapi -
dada - Intubationtrache
Oksigenasi - otomy
Close ventilation
monitoring

109
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal


nafas yang harus dilakukan intubasi endotrakeal atau
trakeostomy dan bantuan ventilasi. Fisioterapi, oksigenasi
dan monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas
sehingga pasien tidak jatuh ke tahap gagal nafas. Ke
semuanya ini hanyalah merupakan pedoman saja, yang
paling penting adalah mengetahui keseluruhan keadaan
pasien dan mencegah agar pasien tidak mengalami gagal
nafas.
a. Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan
suportif/non spesifik dan kausatif/spesifik. Umumnya
dilakukan secara simultan antara keduanya.

Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik


Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang
secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki
pertukaran gas, seperti :
1) Atasi Hipoksemia : Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan
secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal.
Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit
kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah
terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat
pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia drive
melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya
kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat
menjadi apnoe.
Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2
60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang
spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan

110
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan


meminimalisasi efek samping.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam
yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi.
Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem
arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul
arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring
dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-
0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan
dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi
kering. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Pasien dengan
PPOK dan gagal napas tipe hipoksemia, bernapas
dengan mask ini mengurangi risiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask,
yang umumnya cukup untuk total kebutuhan
respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan
oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang
memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia
dengan ventilasi abnormal.
2) Atasi Hiperkapnea : Perbaiki Ventilasi
Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi,
kerusakan trakea (erosi), gangguan respons batuk,
risiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, risiko
infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernapasan. Keuntungan jalan napas buatan adalah
dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi
rute pemberian oksigen dan obat-obatan,
memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute
bronkoskopi fibreoptik.

111
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya


gagal napas atau keadaan klinis yang mengarah ke
gagal napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi).
Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah
termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia
akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya
adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia
walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan
tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya
meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis.
Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 %
pasien yang dipasang ventilator umumnya
memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila
seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka
kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit
(bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil.
Secara umum bantuan napas mekanik (ventilator)
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive
Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien sebelum
dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih
dahulu dan Non Invasive Positive Pressure Ventilator
(NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan
dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan
alat ini adalah efek samping akibat tindakan intubasi
dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel,
pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk,
dan bisa diputus untuk istirahat.
3) Fisioterapi Dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari
sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi
gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan

112
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan


telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan
batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan
pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan
drainage postural. Kadang-kadang diperlukan juga
obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator
seperti : teofilin, kortikosteroid. Obat-obat ini lebih
efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau
oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama,
efek samping secara inhalasi lebih sedikit sehingga
dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi
yang efektif mungkin membutuhkan jumlah beta-
adrenergik agonis dua hingga empat kali lebih banyak
daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis
(kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan
peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap
jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi,
kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara
yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada
pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat
menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun
jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi
oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan
oleh perpindahan kalium dari kompartement
ekstrasel ke intrasel sebagai respons terhadap
stimulasi beta adrenergik.
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan
mencari penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik

113
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk


masing-masing penyakit akan berlainan.
4. Asma Bronchial
Asma merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik
dengan banyak sel dan elemen seluler yang berperan di
dalamnya. Inflamasi kronik ini berhubungan dengan hiper-
responsivitas jalan nafas yang mengakibatkan episode berulang
dari mengi, sesak, perasaan berat di dada, dan batuk, terutama
saat malam hari atau dini hari. Episode serangan akut ini
biasanya berhubungan dengan obstruksi aliran udara pada paru
yang reversible. Manifestasi klinis asma ini dapat dikontrol
dengan pengobatan yang tepat. Pada kondisi terkontrol, maka
pasien asma tidak akan mengalami serangan atau eksaserbasi,
sehingga mampu beraktivitas secara normal.
1. Serangan Asma
Serangan asma akut didefinisikan sebagai episode
peningkatan secara progresif dari gejala sesak nafas, batuk,
mengi, atau rasa berat di dada, atau kombinasi dari gejala
tersebut. Serangan asma ini bersifat akut dan progresif dan
sering mengakibatkan distress nafas. Secara pasti, serangan
asma ini ditandai dengan penurunan aliran udara ekspirasi
(expiratory airflow) yang dapat diukur dengan pemeriksaan
fungsi paru (PEF atau FEV1). Serangan asma akut, terutama
yang berat, potensial dapat mengancam nyawa dan
memerlukan pengawasan ketat.
Secara patologi dari hasil otopsi pasien yang meninggal
akibat serangan asma akut, didapatkan penyempitan jalan
nafas, sumbatan jalan nafas oleh mucus dan infiltrat
inflamatoris, hiperinflasi, dan atelectasis. Secara
mikroskopik, ditemukan eksudasi protein plasma, edema
mukosa dan submukosa, hipertrofi dan hyperplasia otot
polos bronkus dan mikrovaskulernya, denaturasi sel-sel

114
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

epitel, serta penebalan lapisan kolagen tipe III dan IV


subepitelial.
Gambaran fisiologis dan klinis asma berasal dari interaksi
antara selsel tubuh dengan sel-sel inflamasi yang
menginfiltrasi saluran nafas. Beberapa sel inflamasi yang
diduga berperan antara lain sel mast, basophil, eosinophil,
limfosit, dan sel epitel jalan nafas. Terdapat berbagai
mediator dihasilkan pada penyakit asma. Dan sedikitnya
seratus mediator yang telah dikenal ini meningkat pada asma
termasuk mediator lipid, protein inflamasi, kemokin, sitokin,
dan growth factor. Berbagai bukti klinis menunjukkan bahwa
sel-sel struktural saluran napas, seperti sel-sel epitel, otot
polos saluran napas, sel endotel, dan fibroblast, adalah
sumber utama dari mediator inflamasi pada asma. Sel epitel
dapat memainkan peran yang sangat penting karena mereka
dapat diaktifkan oleh sinyal lingkungan dan dapat
melepaskan berbagai protein inflamasi, termasuk sitokin,
kemokin, mediator lipid, dan growth factor.
Berbagai faktor dapat mencetuskan serangan asma. Berbagai
alergen, infeksi baik viral maupun bakterial, polutan,
makanan, obat-obatan, perubahan cuaca, latihan fisik, dan
stres emosional dapat mencetuskan serangan asma. Secara
teoritis, menghindari berbagai kemungkinan pencetus adalah
pencegahan serangan asma yang paling efektif. Tetapi hal ini
sangat sulit dilaksanakan dan impraktikal, mengingat
pembatasan aktivitas yang luar biasa akan dialami oleh
pasien. Selain itu, faktor-faktor pencetus tersebut sering
tumpang tindih dan bersamaan dalam mencetuskan
serangan asma. Maka dari itu, hal yang penting dalam
manajemen asma adalah menjaga agar pasien selalu berada
dalam status asma yang terkontrol baik dalam jangka
panjang. Selain itu, memberikan penatalaksanaan serangan

115
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

asma akut yang tepat akan dapat mengurangi morbiditas dan


mortalitas pasien.
Manajemen pasien dengan serangan asma akut diawali
dengan menentukan beratnya serangan. Penilaian awal yang
tepat pada pasien akan sangat menentukan keberhasilan
penatalaksanaan serangan asma yang dikerjakan. Penilaian
beratnya serangan asma ini berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa tes
faal paru serta analisis gas darah. Pada anamnesis juga harus
dicari data mengenai lama dan beratnya keluhan, obat-
obatan yang dikonsumsi sebelumnya, kemungkinan pencetus
serangan, serta adanya faktor risiko untuk terjadinya
kematian akibat asma. Pada kasus yang datang ke praktik
swasta, maka penilaian yang tepat sangat penting untuk
dilakukan.
Pasien yang memiliki risiko untuk terjadinya kematian akibat
asma memerlukan pengawasan yang lebih ketat. Penilaian
mengenai risiko ini dapat dilakukan pada waktu rawat jalan
di poliklinik atau saat pasien datang ke ruang emergensi saat
terjadinya serangan asma akut. Pasien-pasien yang memiliki
risiko untuk mengalami kematian akibat asma antara lain
pasien dengan penyakit komorbid (kardiovaskuler atau
penyakit paru kronik lainnya); pasien dengan riwayat
serangan asma yang fatal dan memerlukan ventilasi mekanik;
pasien dengan riwayat masuk rumah sakit akibat asma dua
kali atau lebih dalam setahun terakhir; pasien yang sedang
menggunakan obat glukokortikoid oral; pasien yang tidak
menggunakan glukokortikoid inhalasi; pasien yang sangat
tergantung dengan inhalasi β2 agonis kerja cepat (biasanya
menghabiskan lebih dari satu canister salbutamol inhalasi
atau sejenisnya dalam sebulan); pasien dengan kelainan
psikiatri atau mengonsumsi obat-obat sedatif; pasien dengan
riwayat kepatuhan pengobatan asma yang buruk.

116
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

2. Penatalaksanaan serangan asma akut


Penatalaksanaan serangan asma akut dapat dilakukan pada
setting komunitas (praktik umum/poliklinik) dan pada
setting fasilitas pelayanan kesehatan dengan acute care unit
(ruang gawat darurat). Pada kasus serangan asma yang lebih
ringan, penatalaksanaan dapat dilakukan di praktik/
poliklinik. Apabila pasien memberikan respons yang baik
setelah beberapa kali pemberian bronkodilator inhalasi
(biasanya inhalasi β2 agonis kerja cepat 2-4 semprot setiap
20 menit dalam jam pertama serangan), maka pasien
selanjutnya dapat dirawat di rumah. Pasien-pasien ini tetap
harus mendapat pengawasan dari para dokter pada
pelayanan kesehatan primer, termasuk mendapatkan terapi
glukokortikoid oral (0,5-1 mg/kgbb).
Penatalaksanaan serangan asma di unit gawat darurat
merupakan suatu kondisi khusus yang harus dicermati.
Pasien serangan asma yang datang ke unit gawat darurat
memiliki karakteristik yang sangat beragam. Global Initiative
for Asthma (GINA) pada tahun 2015 menjelaskan secara
khusus mengenai tatalaksana serangan asma akut di UGD.
Kunci utama dalam menangani pasien serangan asma di UGD
adalah ketepatan asesmen awal untuk menentukan pasien
serangan asma akut sedang atau berat. Selain tingkat
keparahan serangan, faktor-faktor yang memperberat
serangan seperti reaksi anafilaksi, pneumonia, atau kelainan
komorbid lain juga sedapat mungkin diidentifikasi saat
asesmen awal tanpa mengorbankan waktu penanganan awal
pada pasien.
Manajemen serangan asma akut di unit gawat darurat secara
umum dapat dilihat pada Gambar 1 yang dipublikasi oleh

117
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

GINA tahun 2015. Pada algoritma ini, pasien serangan asma


sudah secara tegas dibagi berdasarkan tingkat keparahan
serangannya menjadi serangan sedang atau serangan berat.
Pada serangan asma yang berat diberikan penambahan
terapi dengan magnesium intravena dan inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi.
Pemberian oksigen di UGD ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan saturasi O2 93-95%. Oksigen dapat
diberikan dengan kanul nasal atau dengan sungkup muka.
Apabila tidak ada alat pemantauan saturasi oksigen,
pemberian oksigen harus tetap dilakukan.
Inhalasi ß2–agonis kerja cepat merupakan kunci utama
penatalaksanaan serangan asma akut. Inhalasi ß2–agonis
kerja cepat diberikan dengan jarak waktu yang teratur.
Beberapa obat inhalasi ß2–agonis kerja cepat seperti
salbutamol dan terbutalin memiliki onset yang sangat cepat
dengan durasi yang pendek pula. Sementara golongan lain,
seperti formoterol memiliki onset kerja yang cepat dengan
durasi yang panjang dengan efektivitas yang sama, hanya saja
lebih mahal.

118
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

Gambar 7. Algoritme penanganan serangan asma akut di Unit Gawat


Darurat1

Pemberian kombinasi Inhalasi ß2–agonis kerja cepat dengan


antikolinergik (ipratropium bromide) dapat memberikan

119
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan salah satu


dari kedua obat tersebut. Pemberian kombinasi ini terbukti
berhubungan dengan angka masuk rumah sakit yang lebih
rendah serta perbaikan PEF dan FEV1 yang lebih baik.
Iapatropium bekerja lebih lambat dibandingkan ß2–agonis
kerja cepat, dan baru sampai pada respons puncaknya setelah
30-60 menit.
Pemberian kortikosteroid sistemik akan mempercepat
perbaikan serangan asma akut. Kortikosteroid sistemik
merupakan terapi pokok pada semua serangan asma akut
(kecuali asma akut ringan), terlebih lagi bila didapatkan
kegagalan mempertahankan perbaikan klinis setelah terapi
dengan inhalasi ß2–agonis kerja cepat; terjadi serangan asma
walaupun pasien telah mendapatkan terapi kortikosteroid
oral; serta riwayat terapi kortikosteroid pada serangan
sebelumnya.
Terapi kortikosteroid inhalasi juga efektif dalam
penatalaksanaan serangan asma akut. Suatu penelitian oleh
Rodrigo, dkk. Mendapatkan bahwa kombinasi inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi dengan salbutamol pada serangan
asma akut memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik
dibandingkan inhalasi salbutamol saja. Inhalasi
kortikosteroid juga terbukti efektif dalam mencegah
kekambuhan serangan asma. Rowe, dkk mendapatkan bahwa
dengan pemberian inhalasi budesonide dan prednisone
untuk pasien yang dipulangkan dari unit gawat darurat,
didapatkan angka kekambuhan yang lebih rendah
dibandingkan pasien yang mendapat prednisone saja. Biaya
merupakan faktor yang signifikan dalam penggunaan inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi, dan studi lebih lanjut diperlukan
untuk mendokumentasikan manfaat potensi mereka dalam
asma akut, terutama parameter efektivitas berbanding biaya.

120
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

DAFTAR PUSTAKA
Behrendt C.F. (2000). Acute Respiratory Failure in the United States:
Incidence and 31-day survival. Chest, Volume 118, Number 4, p
1100-1105.
Busse WW, Lemanske RF Jr. Asthma. N Engl J Med. 2001;344:350-62.
Chian C-F, Tsai C-L, Wu C-P, Chiang C-H, Su W-L, et al. Five-day course
of budesonide inhalation suspension is as effective as oral
prednisolone in the treatment of mild to severe acute asthma
exacerbations in adults. Pulmonary Pharmacology &
Therapeutics. 2011;24:256-260.
Edmonds M, Camargo CA, Pollack CV, Rowe BH. Early use of inhaled
corticosteroids in the emergency department treatment of
acute asthma (Review). Cochrane Database Syst Rev. 2008.
Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. 2015
Hodder R, Lougheed D, Rowe BH, Fitzgerald JM, Kaplan AG, McIvor
A. Management of acute asthma in adults in the emergency
department: nonventilatory management. CMAJ
2010;182(2):E55-67
Kamin W, Schwabe A, Kramer I. Inhalation solutions: which one are
allowed to be mixed? Physico-chemical compatibility of drug
solutions in nebulizers. Journal of Cystic Fibrosis. 2006;5: 205-
213.
Mangku G. 2002. Respirasi. In Universitas Kedokteran Fakultas
Kedokteran Laboratorium Anestesiologi dan Reanimasi. Diktat
Kumpulan Kuliah Buku I. Denpasar. Pp 42-49.
Mash B, Bheekie A, Jones PW. Inhaled vs oral steroids for adults with
chronic asthma. Cochrane Database Syst Rev 2000.
McFadden ER, Jr. Acute Severe Asthma. Am J Respir Crit Care Med.
2003;168:740–59
Murat K, Michael R P. 2012. Respiratory Failure. Available from
:http:// emedicine.medscape.com/article/167981-overview.
Accessed: 1 Maret 2014.

121
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia,


47(5): 3606.
Pollart SM, Compton RM, Elward KS. Management of Acute Asthma
Exacerbations. Am Fam Physician. 2011;84(1):40-7.
Rees J. Treatment of acute asthma. In: Rees J, Kanabar D, Pattani S,
eds. ABC of Asthma. United Kingdom: Wiley Blackwell; 2010:
p.40-9
Rodrigo G, Rodrigo C. Inhaled flunisolide for acute severe asthma.
Am J Respir Crit Care Med 1998;157(3 Pt 1):698-703.
Rodrigo GJ. Rapid Effects of Inhaled Corticosteroids in Acute Asthma:
An Evidence-Based Evaluation. Chest 2006;130:1301–1311.
Rowe BH, Bota GW, Fabris L, Therrien SA, Milner RA, Jacono J.
Inhaled budesonide in addition to oral corticosteroids to
prevent asthma relapse following discharge from the
emergency department: a randomized controlled trial. JAMA
1999;281(22):2119-26.
Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In
Shapiro BA and Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood
Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-24.
Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical
Care Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill,
California, Pp. 269-89.
Volovitz B. Inhaled budesonide in the management of acute
worsenings and exacerbations of asthma: A review of the
evidence. Respiratory Medicine 2007;101:685–695.

122
BAB 9
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM PERNAPASAN

PROFIL PENULIS
Penulis merupakan Dosen pada
Program studi DIII Keperawatan
Fakultas Kesehatan, Universitas
Perintis Indonesia (UPERTIS)
Menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 2
Mandau (2000-2003), pendidikan
Diploma Tiga Keperawatan di Akper
Perintis Bukittinggi (2004-2006),
Sarjana Keperawatan (2006-2008) dan
Profesi Ners (2008-2009) pada
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang,
pendidikan Magister Keperawatan Peminatan Keperawatan
Medikal Bedah pada Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta (2012-2014). Selama
menjadi dosen, penulis aktif dalam menjalankan Tridarma
Perguruan Tinggi. Penulis juga aktif mengikuti berbagai pelatihan
dan kegiatan orasi ilmiah untuk pengembangan diri. Penulis juga
telah menghasilkan berbagai seperti HKI dan artikel yang terbit
di jurnal nasional. Penulis juga salah satu pengurus DPK PPNI
UPERTIS dan DPD PPNI Kota Bukittinggi. Email Penulis:
perawat.arif@yahoo.co.id.

123
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN
KEGAWATAN PENYAKIT
SISTEM KARDIOVASKULER
Afdhal, S.KM., M. Si
Poltekkes Kemenkes Aceh

A. Anatomi Fisiologi Sistem Kardiovaskuler


1. Lokasi Jantung, Ukuran dan Letak
Sistem kardiovaskuler merupakan kumpulan organ yang
terdiri dari jantung, pembuluh darah dan saluran limfe, yang
berfungsi untuk mengangkut oksigen, nutrisi dan zat-zat lain
untuk didistribusikan ke seluruh tubuh serta membawa hasil sisa
metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh. Jantung
mengendalikan seluruh kegiatan peredarah darah, dengan
melibatkan pembuluh darah sebagai salurannya. Jantung
memompa darah ke seluruh tubuh melalui kontraksi berirama
dengan bantuan listrik jantung. Sistem ini juga menjamin
pasokan zat kekebalan tubuh yang berlimpah pada bagian tubuh
yang terluka, baik karena kecelakaan atau operasi, dengan tujuan
mencegah infeksi di daerah tersebut (Fikriana, 2018).
Jantung terletak di dalam rongga dada (thorax) sekitar garis
tengah antara sternum di sebelah anterior dan tulang punggung
di sebelah posterior, dan dominan terletak di sebelah kiri. Pada
kelainan dekstrokardia jantung justru terletak di sisi sebelah
kanan. Jantung dikelilingi oleh pembuluh darah besar dan organ
paru, dan timus di bagian depannya dan dilindungi oleh tulang
dada (sternum) dan tulang rusuk (costae)(Wita, 2016).
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

Ukuran jantung kira-kira sebesar kepalan tangan orang


dewasa dan bentuknya lebih kurang mirip seperti kepalan tangan
orang dewasa yang terbalik, jantung memiliki panjang 12 cm,
lebar 8 cm, dan tebal 6 cm, dengan berat sekitar 300 gram.

Gambar 8. Letak Jantung


(Sumber : www.biologiedukasi.com)
1. Ruang Jantung
Secara anatomi, pada jantung terbentuk 4 (Empat) ruang,
yang terdiri dari ; Atrium kanan, Ventrikel kanan, Atrium kiri
dan Ventrikel kiri

Gambar 9. Ruang Jantung


(Sumber : www.kelaspintar.id)

125
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

a. Atrium (Serambi) Kanan


Merupakan rongga jantung yang berfungsi menerima
darah yang berasal dari seluruh tubuh yang miskin
Oksigen (O2) untuk dibawa ke Ventrikel kanan
b. Atrium (Serambi) Kiri
Merupakan rongga jantung yang berfungsi menerima
darah kaya akan Oksigen (O2) yang berasal dari paru-
paru untuk dibawa ke Ventrikel kiri.
c. Ventrikel (Bilik) Kanan
Merupakan rongga jantung yang berfungsi menerima
dari darah dari Atrium kanan yang miskin O 2 untuk
dipompa ke Paru-paru.
d. Ventrikel (Bilik) Kiri
Merupakan bagian dari rongga jantung yang berfungsi
menerima darah yang kaya akan O 2 untuk dipompa ke
seluruh tubuh.
Antara Ruang jantung terdapat sekat, yaitu; sekat
interventrikuler dan sekat atrioventrikuler. Pada sekat
atrioventrikuler terdapat dua buah katup jantung, yaitu
katup trikuspidalis dan katup bicuspidalis. Katup
trikuspidalis terdiri dari tiga lempengan katup, dan katup
bicuspidalis terdiri dari dua buah lempengan katup. Empat
ruang jantung ini dilapisi oleh lapisan endotel, endocardium,
myocardium, dan pericardium. Katup jantung sesungguhnya
merupakan perluasan cincin fibrosa atrioventrikuler, yang
terdiri dari jaringan ikat fibrosa yang dilapisi endotel pada
kedua sisi. Darah mengalir di dalam jantung ke satu arah, dari

126
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

sisi kanan ke sisi kiri. Proses ini karena adanya katup-katup


jantung yang akan mencegah aliran darah balik.

A B

Gambar 10. A. Lapisan Jantung. B. Katup Jantung


(Sumber : www.biologiedukasi.com)
2. Sistem peredaran darah
Sistem peredaran darah pada manusia terbagi menjadi tiga,
yaitu:
a. Sirkulasi koroner
Sama seperti organ tubuh lain, jantung juga
membutuhkan asupan oksigen dan nutrisi agar dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Darah yang
membawa nutrisi dan oksigen ke otot-otot jantung akan
dialirkan melalui pembuluh arteri koroner.
Ketika pembuluh darah jantung tersumbat
(aterosklerosis), aliran darah di jantung akan mengalami
gangguan. Hal ini bisa membuat otot-otot jantung
kekurangan oksigen dan nutrisi, sehingga fungsinya
terganggu dan lama-kelamaan bisa menyebabkan
terjadinya serangan jantung.
b. Sirkulasi pulmonal
Sirkulasi pulmonal (paru) merupakan sirkulasi darah
dari jantung menuju paru-paru dan sebaliknya. Sirkulasi
ini berlangsung saat darah yang mengandung karbon
dioksida (CO2) dari sisa metabolisme tubuh kembali ke

127
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

jantung melalui pembuluh vena besar (vena cava).


Selanjutnya, darah tersebut akan masuk ke serambi
kanan dan diteruskan ke bilik kanan jantung. Setelah itu,
darah akan dialirkan ke paru-paru melalui arteri
pulmonalis untuk ditukar dengan darah kaya oksigen
(O2). Darah yang kaya oksigen tersebut akan kembali ke
serambi kiri jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh.
c. Sirkulasi Sistemik
Sirkulasi sistemik merupakan sirkulasi darah yang
mengaliri seluruh tubuh. Sirkulasi ini berlangsung ketika
darah bersih yang mengandung oksigen (O 2) mengisi
serambi kiri jantung melalui vena pulmonalis, setelah
melepaskan karbon dioksida di paru-paru.
Darah yang sudah berada di serambi kiri kemudian
diteruskan ke bilik kiri jantung untuk disalurkan ke
seluruh tubuh melalui pembuluh darah utama (aorta).
Setelah itu, darah yang dipompa melewati aorta akan
terus mengalir hingga ke bagian paling ujung di seluruh
area tubuh. Darah lalu akan kembali menuju serambi
kanan jantung untuk mengalami proses pembersihan
darah.
3. Sistem Konduksi Jantung
Kontraksi sel otot jantung terjadi oleh adanya potensial aksi
yang dihantarkan sepanjang membrane sel otot jantung.
Jantung akan berkontraksi secara ritmik, akibat adanya
impuls listrik yang dibangkitkan oleh jantung sendiri yang
disebut autorhytmicity.

128
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

Gambar 11. Sistem Konduksi Jantung


(Sumber : https://beranisehat.com)

Sistem konduksi jantung meliputi ;


a. SA node
SA node merupakan tumpukan jaringan neuromuscular
yang kecil terlatak di dalam dinding atrium (serambi)
kanan di ujung krista terminalis. Dalam kondisi jantung
yang normal, aktivitas kelistrikan jantung secara spontan
dihasilkan oleh SA node, Impuls listrik ini disebarkan ke
seluruh atrium kanan, melalui berkas Bachmann dan
dialirkan ke atrium kiri, merangsang miokardium dari
atrium untuk berkontraksi. Pada EKG, gelombang P
merupakan Konduksi impuls listrik di seluruh atrium.
b. AV (Atrioventrikel) Node
AV Node merupakan sebuah berkas kecil sel-sel otot
jantung khusus di dasar atrium kanan dekat septum,
tepat di atas pertautan atrium dan ventrikel. AV Node
mengambil peran sebagai penunda yang amat penting
dalam sistem konduksi jantung. Penundaan ini
membentuk gambaran segmen PR pada EKG. Sebagian

129
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

dari proses repolarisasi atrium dapat dilihat melalui


segmen PR.
c. Serabut Purkinje
Serabut purkinje merupakan serabut otot jantung khusus
yang mampu menghantar impuls dengan kecepatan lima
kali lipat kecepatan hantaran serabut otot jantung dan
serat purkinje mengirim 20-40 denyut per menit.

B. Penyakit Sistem Kardiovaskuler


Penyakit kardiovaskular atau yang sering disebut dengan
penyakit jantung pada umumnya mengacu pada kondisi
penyempitan atau pemblokiran pembuluh darah yang bisa
menyebabkan serangan jantung, nyeri dada (angina) atau stroke.
Gejala awal pada penyakit jantung antara lain nyeri dada,
keluarnya keringat terutama di telapak tangan, lelah berlebihan,
jantung berdebar, nafas memberat, sakit kepala, dan perut
kembung (Lakhsmi & Herianto, 2018).
Seiring pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi,
Perubahan gaya hidup sehat masyarakat ke arah negatif sudah
kita rasakan sekarang ini, seperti perilaku merokok, minum
alkohol, pola diet salah, kurangnya aktivitas fisik dan obesitas,
sehingga perubahan pola hidup masyarakat saat ini
menyebabkan pula perubahan pola penyakit, dari infeksi dan
rawan gizi ke penyakit-penyakit degeneratif diantaranya adalah
penyakit kardiovaskuler dan akibat kematian yang
ditimbulkannya. Hingga kini penyakit jantung menjadi penyebab
kematian nomor 1 di dunia (Nurhidayat, 2014).
1. Jenis-Jenis Penyakit Kardiovaskuler
1. Penyakit Arteri Koroner
2. Stroke
3. Aritmia
4. Penyakit Arteri Perifer
5. Serangan jantung

130
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

6. Gagal jantung
2. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
Faktor risiko penyakit kardiovaskuler yaitu ; umur,
merokok, alkohol, pola diet, pola aktifitas fisik, obesitas dan
hipertensi.
1. Umur
Risiko penyakit jantung meningkat seiring bertambahnya
usia. Hal tersebut sudah menjadi wajar karena semakin
bertambahnya usia maka semakin menurunnya kinerja organ
tubuh manusia.
2. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya
penyakit jantung, hal ini dikarenakan asap dari rokok yang
masuk ke dalam tubuh menyebabkan penumpukan plak
dalam pembuluh darah. Seiring dengan waktu, pembuluh
darah menjadi sempit, keras, atau tertutup sepenuhnya oleh
plak sehingga mengganggu kinerja jantung.
3. Alkohol
Mengonsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati alkohol, atau sering disebut dengan jantung
melemah. Selain itu, alkohol memicu terjadinya takikardia
ventrikel.
4. Pola diet
Pola diet rendah karbohidrat tapi tinggi lemak dapat
meningkatkan kolesterol dan penimbunan lemak yang akan
menyebabkan penyempitan dan penyumbatan pada
pembuluh darah, sehingga berisiko terkena serangan jantung
dan stroke.
5. Pola aktivitas fisik
Aktivitas fisik seperti olahraga juga perlu memperhatikan
kondisi tubuh. Jika memang sudah terbiasa olahraga, seperti
atlet, otot jantungnya sudah terbiasa. Tetapi bagi orang yang
tidak pernah atau jarang olahraga, jika langsung dipaksa

131
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

mendadak olahraga, apalagi tanpa pelatihan dan pemanasan


kemudian tidak diakhiri dengan cooling down, bisa
menyebabkan kerja jantung menjadi down.
6. Obesitas
Obesitas menyebabkan risiko penumpukan plak pada arteri
semakin tinggi, tumpukan plak membuat resistensi tekanan
dalam arteri semakin tinggi, sehingga kerja pompa jantung
semakin berat, dalam waktu yang lama menyebabkan
jantung membesar karena beban kerja.
7. Hipertensi
Jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah
tinggi yang tidak terkontrol dapat merusak jantung, penyakit
darah tinggi menahun dapat menyebabkan pembuluh darah
menjadi sempit, sehingga mengurangi asupan aliran darah ke
jantung.

C. Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem


Kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler pada seseorang masih
menjadi penyebab utama kematian yang dialami oleh masyarakat
Indonesia. Untuk menangani hal tersebut, diperlukan perhatian
dan pengetahuan yang baik ditengah masyarakat mengenai
pertolongan pertama. Terjadinya serangan jantung pada
seseorang tidak dapat diprediksi, sehingga pengetahuan yang
baik terkait pertolongan pertama pada serangan
jantung merupakan hal yang penting untuk diketahui untuk
meminimalisir jumlah kematian yang diakibatkan oleh serangan
jantung (Hidayati, 2020).
1. Pertolongan Pertama Pada Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner merupakan kondisi yang terjadi
akibat pembuluh darah utama yang menyuplai darah ke jantung
(pembuluh darah koroner) mengalami kerusakan. Hal ini terjadi
karena penumpukan kolesterol pada pembuluh darah serta

132
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

proses peradangan diduga menjadi penyebab penyakit ini


(Willyono et al., 2018).
Penyakit jantung koroner (PJK) terjadi apabila arteri
koroner (arteri yang memasok darah dan oksigen ke otot
jantung) tersumbat oleh zat lemak yang disebut plak atau
ateroma. Plak ini menumpuk secara bertahap di dinding bagian
dalam arteri, yang akhirnya membuat arteri menjadi
sempit. Proses penyempitan ini disebut dengan aterosklerosis.
Jika arteri sudah benar-benar sempit, suplai darah ke otot
jantung mulai berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan gejala
seperti angina (nyeri dada). Jika arteri telah benar-benar sempit
dan memblokir suplai darah ke jantung, maka terjadilah serangan
jantung (Ghani et al., 2016).
Apabila ada orang yang mengalami sesak napas, lemas, dan
nyeri dada yang menjalar ke lengan atau punggung. Maka segera
lakukan pertolongan pertama sebagai berikut ;
1. Bawa pasien ke tempat yang lebih aman
2. Segera telepon 119 atau rumah sakit terdekat untuk meminta
pertolongan tenaga medis dan ambulance.
3. Sambil menunggu tenaga medis tiba, posisi setengah duduk
dengan bantal tinggi (tubuh bagian atas lebih tinggi 20 - 30
derajat) untuk persiapan segera membawa ke Instalasi Gawat
Darurat RS terdekat.
4. Hindari penderita dari gerakan mendadak dan aktivitas apa
pun seperti berbicara banyak, mengejan (mengedan).
5. Apabila penderita mengeluh nyeri hubat, dapat dibantu
menguranginya dengan pemberian obat-obatan golongan
nitrat (seperti Isosorbid dinitrat, cedocard, Nitral atau
farsorbid) diberikan di bawah lidah, dapat diberikan
beberapa kali hingga penderita mendapat pertolongan di RS.
6. Respons batuk hanya disarankan oleh ahli jantung saat
terlihat laju jantung yang sangat melambat di monitor

133
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

rekaman jantung, hal ini tidak mungkin dilihat pada pasien


yang tidak terpasang alat monitor jantung.
2. Pertolongan Pertama Pada Stroke
Stroke merupakan suatu keadaan yang dialami oleh
seseorang ketika pasokan darah ke otak mengalami gangguan
atau berkurang karena penyumbatan (stroke iskemik) atau
pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik). Tanpa suplay
darah, otak tidak akan mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi,
sehingga sel-sel pada sebagian area otak akan mati. sehingga
bagian tubuh yang dikendalikan oleh area otak yang rusak tidak
dapat berfungsi dengan baik (Sari et al., 2019).
Seseorang yang mengalami gejala stroke harus ditangani
segera, karena Stroke merupakan kondisi gawat darurat yang
menyebabkan sel otak dapat mati hanya dalam hitungan menit.
Tindakan penanganan yang cepat dan tepat dapat meminimalkan
tingkat kerusakan otak dan mencegah kemungkinan munculnya
komplikasi (Rosmary & Handayani, 2020).
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai
pertolongan pertama pada gejala stroke:
1. Bawa pasien ke tempat yang lebih aman
2. Segera telepon 119 atau rumah sakit terdekat untuk meminta
pertolongan tenaga medis dan ambulance.
3. Sambil menunggu ambulance tiba, perhatikan Gejala yang
muncul dan kondisi Penderita.
Pastikan lebih dulu gejala apa yang muncul berdasarkan
FAST (F = Facial Movement, A= Arm movement, S= Speech
dan T = Test all three). Selain itu, Anda juga perlu waspada
terhadap kondisi lain seperti tiba-tiba pusing, tiba-tiba tidak
bisa melihat, atau sakit kepala yang sangat hebat.
Umumnya, stroke menyebabkan penderita kehilangan
keseimbangan diri dan jatuh. Lihat apakah orang tersebut
dalam kondisi sadar atau tidak, apakah saat jatuh mengalami
benturan di kepala atau tidak.

134
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

4. Periksa Pernapasan
Cek dan coba atur pernapasan dengan baik. Jika penderita
merasa kesulitan bernapas, berikan ruang di sekitarnya dan
longgarkan pakaian yang terlalu ketat. Minta penderita untuk
mengambil napas dalam-dalam dan membuang perlahan
untuk mengatur agar pernapasan dapat kembali normal.
5. Perbaiki Posisi
Pertolongan pertama pada gejala stroke selanjutnya adalah
memperbaiki posisi penderita. Jika memungkinkan, ubah
posisi penderita menjadi berbaring atau ubah posisi dengan
membaringkan satu sisi tubuh dengan bagian kepala sedikit
diangkat agar penderita merasa lebih nyaman.
Terkadang ketika stroke menyerang, seseorang akan merasa
mual dan ingin muntah sehingga posisi kepala harus sedikit
diangkat agar memudahkan saat ingin muntah dan mencegah
dari tersedak.
3. Pertolongan Pertama pada Serangan Jantung
Serangan jantung merupakan kondisi darurat di mana aliran
darah yang membawa oksigen ke jantung berhenti. Kondisi bisa
terjadi kapan saja dan di mana saja. Sehingga penting untuk
mengetahui bagaimana pertolongan pertama serangan jantung.
Dengan melakukan pertolongan pertama dalam keadaan darurat,
dapat mencegah terjadinya gejala yang lebih serius pada
penderita serangan jantung (Rahayu et al., 2020).
Berikut ini beberapa gejala yang paling umum dari serangan
jantung.
1. Nyeri pada dada
2. Ketidaknyamanan pada tubuh bagian atas, seperti pada bahu,
leher, hingga rahang
3. Sesak napas

135
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Gejala lain yang mungkin terjadi meliputi:


1. Keluar keringat dingin
2. Merasa lelah yang tidak biasa tanpa alasan, kadang terjadi
berhari-hari (terutama untuk wanita) Mual (sakit perut) dan
muntah
3. Pusing biasa atau pening secara mendadak
Berikut Langkah-langkah pertolongan pertama pada
serangan jantung:
1. Bawa penderita ke tempat yang lebih aman
2. Segera telepon ke 119 atau rumah sakit terdekat untuk
meminta pertolongan tenaga medis dan ambulance dalam
menangani pasien serangan jantung.
3. Lakukan pertolongan bantuan hidup dasar atau resusitasi
jantung paru (RJP) (BAB 7 Bantuan Hidup Dasar).
4. Segera bawa penderita ke IGD.

136
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

DAFTAR PUSTAKA
Fikriana, R. (2018). Sistem kardiovaskuler. Deepublish.
Ghani, L., Susilawati, M. D., & Novriani, H. (2016). Faktor risiko
dominan penyakit jantung koroner di Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan, 44(3), 153–164.
Hidayati, R. (2020). Tingkat pengetahuan masyarakat tentang
penanganan henti jantung di wilayah Jakarta Utara. NERS Jurnal
Keperawatan, 16(1), 10–17.
Lakhsmi, B. S., & Herianto, F. (2018). Komunikasi Informasi Edukasi
Penyakit Jantung Pada Remaja Obesitas. Jurnal SOLMA, 7(1),
50–57.
Nurhidayat, S. (2014). Faktor risiko penyakit kardiovaskuler pada
remaja di Ponorogo. Jurnal Dunia Keperawatan, 2(2), 40–47.
Rahayu, S., Subekhi, A., Astuti, D., Widaningsih, I., Sartika, I.,
Nurhayani, N., Pangestuti, P., & Rafidah, R. (2020). Upaya
mewaspadai serangan jantung melalui pendidikan kesehatan.
JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri), 4(2), 163–171.
Rosmary, M. T. N., & Handayani, F. (2020). Hubungan pengetahuan
keluarga dan perilaku keluarga pada penanganan awal
kejadian stroke. Holistic Nursing and Health Science, 3(1), 32–
39.
Sari, L. M., Yuliano, A., & Almudriki, A. (2019). Hubungan
pengetahuan dan sikap keluarga terhadap kemampuan deteksi
dini serangan stroke iskemik akut pada penanganan pre
hopsital. JURNAL KESEHATAN PERINTIS (Perintis’s Health
Journal), 6(1), 74–80.
Willyono, A., Presley, B., Kamallan, C., Primayani, D., Setiawan, E.,
Herawati, F., Budiarto, G., Susanto, H., Haryo, P., &
Gondosudijanto, I. (2018). Penyakit kardiovaskular: Seri
pengobatan rasional. Graha Ilmu.
Wita, I. W. (2016). Cintailah Jantung Kita. Penerbit Balai Pustaka,
Jakarta.di Kasus PT General Electric Lighting Indonesia)
[Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas

137
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Maret].
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/7463/MTk4Mz
U=/Analisis-pengaruh-temperatur-dan-kebisingan-terhadap-
kerja-sistem-cardiovascular-operator-produksi-Studi-Kasus-
PT-General-Electric-Lighting-Indonesia-abstrak.pdf.
Harlan, J. (2018). Analisis Variansi (Pertama). Gunadarma.
Kadir. (2015). Statistika Terapan: Konsep, Contoh, dan Analisis Data
dengan Program SPSS/ Lisrel dalam Penelitian (Satu). PT.
RajaGrafindo Persada.
Muhid, A. (2019). Analisis Statistik - 5 Langkah Praktis Analisis
Statistik dengan SPSS for Windows. In D. N. Hidayat (Ed.),
Zifatama Jawara (Kedua). Zifatama Jawara.
Nuryadi. (2017). Dasar-dasar Statistik Penelitian (Gramasurya (ed.);
1st ed.). Sibuku Media.
Riduwan. (2008). Dasar-dasar Statistika. Alfabeta.
Setiawan, K. (2019). Buku Ajar Metodologi Penelitian. In Jurusan
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
UII. (2013). Modul II Anova.

138
BAB 10
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN PENYAKIT SISTEM
KARDIOVASKULER

PROFIL PENULIS
Afdhal, Lahir di Aceh Utara 20 Juni
1986, Menempuh pendidikan pada
Jurusan Keperawatan Program Studi D III
Keperawatan Banda Aceh Politeknik
Kesehatan Kemenkes Aceh dan berhasil
lulus pada tahun 2008. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan ke Perguruan
Tinggi dan berhasil menyelesaikan studi
S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Serambi Mekkah
pada tahun 2013, dan penulis menyelesaikan studi S2 pada tahun
2018 di Prodi Ilmu Kebencanaan Pasca Sarjana Universitas Syiah
Kuala.
Penulis aktif sebagai peneliti di bidang Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Kebencanaan. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan didanai oleh internal perguruan tinggi. Selain peneliti,
penulis juga aktif menulis buku dengan harapan dapat
memberikan nilai positif bagi mahasiswa dan dapat
berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara yang sangat
tercinta ini.

139
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN
GAWATAN PENYAKIT SISTIM
PERSYARAFAN
Ns. Hilma Yessi, S.Kep., M.Kep.
Fakultas Psikologi Dan Kesehatan Universitas Negeri
Padang

A. Konsep Dasar
1. Pengertian Stroke
Stroke merupakan gangguan fungsional otak terjadi secara
tiba –tiba dan mendadak dengan ditandai klinis fokal dan klinis
global berlangsung kurang lebih dari 24 jam tanpa tanda
penyebab non vaskuler, termasuk tanda tanda perdarahan
subarachnoid, perdarahan intraserebral, iskemik atau infark
serebri, (Mutiarasari, 2019).
Pendapat (Heriyanti, et al 2020) Stroke merupakan penyakit
atau gangguan fungsi syaraf terjadi secara mendadak disebabkan
terganggunya aliran darah dalam otak. Gangguan neurologis
penderitastroke mengakibatkan disfungsi motorik tubuh,
Disfungsi mtorik akan muncul hemiparise (kelemahan
ekstremitas) dan hemiplegia (kelumpuhan satu sisi tubuh)
disebabkan lesi dari sisi sisi yang berlawanan pada otak (
Ismoyowati, 2019).
Jadi stroke adalah terganggunya fungsi syaraf pada otak
terjadi secara mendadak dengan tanda klinis yang berkembang
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

secara tepat yang disebabkan terganggunya aliran darah dalam


otak

Gambar 12. Gangguan Pembuluh darah di otak

2. Klasifikasi Stroke Menurut Hadi Martono, 2006


1. Stroke Non Hemoragik
Jenis stroke ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi
pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan
terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak, stroke ini
sering diakibatkan oleh thrombosis akibat plak
aterosklorosis arteri otak / atau yang memberi vaskularisasi
pada otak atau suatu emboli dari pembuluh darah diluar otak
yang tersangkut diaarteri otak.
Stroke jenis ini yang tersering di dapatkan sekitar 80% dari
semua stroke, stroke jenis in juga dapat menyebabkan
terhentinya aliran darah ke otak antara lain : syok atau
hipolemia, dan berbagai penyakit jenis lain.
Penyebab
a. Stroke Non Hemoragik
Stroke non hemoragik disebabkan oleh beberapa faktor:

141
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

1) Hipetrensi
Hipertensi Penyebab utama stroke, tekanan darah
yang diatas normal dapat mempercepat pengerasan
dinding pembuluh darah arteri dan mengakibatkan
penghancuran lemak pada sel otot polos sehingga
mempercepat proses arteriosklerosis (usrin, Mutiara
& Yusad 2011)
2) Merokok
Merokok salah satu penyebab stroke iskemik zat zat
kimia yang terkandung didalam rokok dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh
darah sehingga memicu terjadi ateroskelerosis atau
aneurima pada pembuluh darah. Jika merokok
berlangsung dalam waktu yang lama akan
memperparah dinding pembuluh darah dan memicu
terjadinya stroke.
3) Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan suatu keadaan terjadinya
peningkatan kolesterol dan trigliserida diatas batas
normal. Peningkatan kolesterol serum yang teradi,
terutama mencerminkan peningkatan kolesterol low
density lipoprotein (LDL).
LDL merupakan lipoprotein kandungan kolesterol
tinggi dibandingkan lipoprotein lainnya. Plak pada
dinding pembuluh darah yang diakibatkan kolesterol
yang berlebih mengakibatkan penyempitan lumen
yang dikenal dengan aterosklelerosis (Susiwati,
Sunita, & Farizal, 2018).
4) Konsumsi Alkohol
Konsumsi Alkohol dalam jumlah banyak salah satu
pemicu terjadinya hipertensi yang memberikan

142
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

sumbangan faktor risiko terjadinya penyakit stroke


(Maulidiyah et al., 2015).
b. Tanda dan Gejala Stroke Non Hemoragik
Tanda dan Gejala tergantung dari berat ringannya lesi
secara umum ditandai dengan (Masayu, 2014).
1) Gangguan Kognitif, Memori dan Atensi
2) Gangguan cara menyelesaikan suatu masalah
3) Gangguan Kemampuan Fungsional
4) Gangguan dalam beraktivitas sehari-hari seperti
mandi, makan, ke toilet dan berpakaian.
5) Gangguan Motorik
6) Gangguan Sensorik
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik (juga dikenal sebagai perdarahan otak atau
perdarahan intrakranial) lebih jarang terjadi dibandingkan
stroke non Hemoragik ( iskemik). Terjadi ketika pembuluh
darah di dalam tengkorak pecah dan berdarah ke dalam dan
di sekitar otak. Penyebab utama stroke hemoragik adalah
tekanan darah tinggi, yang dapat melemahkan arteri di otak
dan membuatnya lebih mungkin pecah.
Adapun Hal-hal yang meningkatkan risiko tekanan darah
tinggi antara lain: kelebihan berat badan:
a. Minum alkohol dalam jumlah berlebihan,
b. Merokok,
c. Kurang berolahraga
Ada dua jenis stroke hemoragik yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH)

a. Intracerebral hemorrhage (ICH) disebut sebagai


perdarahan non traumatik ke dalam jaringan otak.
Intracerebral hemorrhage (ICH) adalah bentuk paling
mematikan dari stroke dan mempengaruhi sekitar satu

143
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Cedera otak


sekunder dan pembentukan edema dengan
menghasilkan efek massa dianggap berkontribusi
terhadap morbiditas dan mortalitas terkait intracerebral
hemorrhage (ICH) (Aksoy, 2013).
Hipertensi adalah faktor risiko yang paling umum atau
utama. Angiopati amiloid serebral (CAA), kondisi yang
meningkat dengan usia, adalah faktor resiko yang paling
umum ke dua. Angiopati amiloid serebral merupakan
penyebab penting dari lobar intracerebral hemorrhage
(ICH), terutama pada orang lanjut usia. Kondisi ini hasil
dari deposisi protein amyloid di arteriol kortikal; deposisi
seperti ini sangat jarang terjadi di basal ganglia dan
batang otak (lokasi lazim terjadi intracerebral
hemorrhage (ICH) terkait HTN dan lokasi yang tidak
lazim dari intracerebral hemorrhage (ICH) terkait CAA.
Apolipoprotein E (ApoE) genotipe memainkan peran
penting dalam patogenesis CAA, tetapi tidak sensitif
maupun spesifik untuk diagnosis utama dari kondisi ini.
Usia juga merupakan faktor risiko penting untuk
intracerebral hemorrhage(ICH); kemungkinan
keseluruhan penderita intracerebral hemorrhage (ICH)
tertinggi pada usia ≥ 85 (Aguilar et al., 2011).

b. Subarachnoid hemorrhage (SAH)


Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan masalah
kesehatan di seluruh dunia dengan tingkat kematian yang
tinggi dan tingkat kecacatan tetap. Penyebab
subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah pecahnya
aneurisma pada 85% kasus, perdarahan non-aneurisma
perimesencephalic (dengan prognosis sangat baik) di
10%, dan berbagai kondisi langka di 5%. Pecahnya
aneurisma memiliki tingkat kematian yang tinggi dan
komplikasi (van Gijn, 2001). Pada bagian pertama.

144
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

Subarachnoid hemorrhage (SAH) berpusat suprasellar


atau pusat basal dan meluas ke perifer secara difusi. Hal
ini terjadi karena pecahnya aneurisma sakular yang dapat
terjadi dengan bagian lain, seperti pecahnya aneurisma
nonsaccular atau malformasi vaskuler. Bagian kedua,
subarachnoid hemorrhage (SAH) berpusat di
perimesencephalic atau bagian basal rendah yang tidak
meluas ke perifer.
Hal ini terjadi akibat perdarahan perimesencephalic
idiopatik, namun pecahnya aneurismavertebrobasilar
sekitar 5% dari kasus stroke. Penyebab lainnya yang
jarang dari pola perimesencephalic termasuk tumor
cervicomedullary persimpangan, malformasi vaskular,
atau diseksi arteri akut (Marder C.P. et al)

Gambar 13. Stroke hemoragik dan stroke iskemik

3. Faktor risiko stroke


Faktor risiko dari penyakit stroke yaitu terdiri dari
(Mutiarasari, 2019)
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga.
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah hipertensi,
merokok, dislipidemia, diabetes melitus, obesitas, alkohol
dan atrial fibrillation.

145
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

4. Manifestasi Klinik
Beberapa Gejala klinis Stroke seperti:
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (hemiparesis) yang
timbul mendadak
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
(gangguan hemisensorik)
3. Perubahan mendadak status mental (konfusi, delirium,
letargi, stupor, atau koma)
4. Afasia (bicara tidak lancar, kurang ucapan, atau kesulitan
memahami ucapan)
5. Disartia (bicara pelo atau cadel)
6. Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler)
7. Diplopia; ataksia (trunkal atau anggota badan)
8. Vertigo, mual, dan muntah atau nyeri kepala.
9. Demam: Meningkatkan kemungkinan endokarditis dan
stroke embolik.
10. Tanda-tanda peningkatan TIK termasuk kelumpuhan CN VI,
papiledema.
11. Nyeri leher: Ini mungkin menyarankan diseksi arteri
cervicocerebral.
12. Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik,
5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan penyebab
sistemik: CBC, pemeriksaan trombosit dan pembekuan,
VDRL/RPR, laju sedimentasi eritrosit (ESR), kimia (glukosa,
natrium).
2. CT-scan; menunjukkan kelainan struktural, edema,
hematoma, iskemia, dan infark. Catatan: Mungkin tidak
segera mengungkapkan semua perubahan, misalnya, infark
iskemik tidak terlihat pada CT selama 8-12 jam; namun,
perdarahan intraserebral segera terlihat. Oleh karena itu, CT
scan darurat selalu dilakukan sebelum pemberian aktivator
plasminogen jaringan (t-PA). Selain itu, pasien dengan TIA

146
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

(Transient Ischemic Attack) umumnya memiliki gambaran


CT scan yang normal
3. EKG; untuk mengeluarkan diagnosis stroke berasal dari
jantung sebagai sumber embolus (20% dari stroke adalah
hasil dari emboli vegetatif yang berhubungan dengan
penyakit katup, disritmia, atau endokarditis).
4. EEG; mengidentifikasi masalah berdasarkan aktivitas listrik
yang berkurang di area infark tertentu; dan dapat
membedakan aktivitas kejang dari kerusakan CVA.
5. Rontgen tengkorak; dapat menunjukkan pergeseran kelenjar
pineal ke sisi yang berlawanan dari massa yang membesar;
kalsifikasi karotis internal dapat terlihat pada trombosis
serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma dapat dicatat
pada perdarahan subarachnoid.
6. MRI; menunjukkan area infark, perdarahan, malformasi AV,
dan area iskemia.
7. Angiografi serebral; membantu menentukan penyebab
spesifik stroke, misalnya, perdarahan atau penyumbatan
arteri, menunjukkan dengan tepat lokasi oklusi atau ruptur
8. Angiografi subtraksi digital mengevaluasi patensi pembuluh
darah otak, mengidentifikasi posisinya di kepala dan leher,
dan mendeteksi/mengevaluasi lesi dan kelainan vaskular.
9. Lumbal pungsi; tekanan biasanya normal dan CSF jelas pada
trombosis serebral, emboli, dan TIA. Peningkatan tekanan
dan cairan menunjukkan perdarahan subarachnoid dan
intraserebral. Kadar protein total CSF dapat meningkat pada
kasus trombosis karena proses inflamasi.
10. Ultrasonografi Doppler Transkranial; mengevaluasi
kecepatan aliran darah melalui pembuluh intrakranial
utama; mengidentifikasi penyakit AV, misalnya, masalah

147
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

dengan sistem karotis (aliran darah/adanya plak


aterosklerotik).
6. Patofisioologi Stroke
Stroke iskemia (Non Hemoragik) merupakan stroke yang
disebabkan karena adanya penurunan bahkan tidak adanya
sirkulasi darah. Hal tersebut menyebabkan sel-sel neuron
mengalami penurunan karena kekurangan bahan yang didapat
dari sirkulasi darah. Bahan - bahan yang seharusnya diperoleh
oleh sel neuron seperti glukosa. Jika terjadi kekurangan glukosa,
maka sel neuron tidak akan dapat memproduksi sumber energi
utama yang berasal dari metabolisme anaerob. Penyebab stroke
iskemia yang paling sering atau umum adalah penyakit oklusi
pembuluh arteri besar, penyakit pembuluh darah kecil, dan
kardioemboli.
Stroke perdarahan (hemoragik) terjadinya perdarahan di
dalam otak, sehingga daerah yang disuplai pembuluh darah
pecah akan mengalami iskemia dan penurunan fungsi (Dewi &
Kalanjati, 2021). Antara stroke iskemia dan perdarahan
(hemoragik) bisa menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan otak
yang selanjutnya akan memicu terjadinya inflamasi atau
peradangan.
Dewi & Kalanjati (2021) mengatakan Proses inflamasi atau
peradangan tersebut terjadi secara respons seluler dan respons
molekuler. Secara seluler, inflamasi akan direspons oleh sel
endotel pembuluh darah yang sangat peka terhadap hipoksia
yang selanjutnya akan mengalami edema. Selain hal itu, sel
endotel juga akan mengalami pelepasan beberapa mediator.
Mediator yang dilepaskan yaitu peptide endotelin, eicosanoid,
dan faktor relaksan otot polos yang akan mampu meningkatkan
tekanan vaskuler serta sel-sel inflamator yang bergerak ke luar
sel. Sel leukosit akan bergerak ke jaringan, setelah 30 menit
hipoksia jaringan terjadi. Sel leukosit yang bergerak ini akan
mengaktifkan substansi vasoaktif, seperti oksigen radikal bebas,

148
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

beberapa sitokin dan asam nitrit dimana berperan terhadap


meningkatnya permeabilitas vaskular, agregas platelet, dan
immunoregulasi.
Respons molekuler adalah respons dengan kejadian yang
disebut proses eksitotoksisitas. Proses eksitotoksisitas
merupakan salah satu hipoksia jaringan dari jaringan saraf
sebagai penyebab stroke iskemia yang menjadi pemicu
terjadinya suatu reaksi berlebih dari neurotransmitter, terutama
glutamat dan aspartat karena kedua neurotransmitter tersebut
merupakan yang paling peka. Proses eksitotoksisitas juga terjadi
karena tidak berlangsungnya proses dari reuptake dan degradasi
neurotransmitter pada ruang ekstrasel yang mana kegiatan ini
akan membutuhkan suatu energi.
Proses tersebut selanjutnya akan menimbulkan suatu oklusi
aliran darah pada daerah terjadinya eksitotosisitas sehingga
terjadi penurunan energi dalam sel. Neurotransmiter glutamat
dan aspartat yang berlebih menjadi penyebab gerbang kalsium
terbuka sesuai dengan reseptor N-methyl 1-D-aspartate (NMDA)
serta reseptor Alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxanole-
propionate (AMPA).
Hal tersebut akan menimbulkan depolarisasi dari sel neuron
secara persisten. Depolarisasi ini akan menimbulkan influksi dari
beberapa mineral diantaranya adalah kalsium intrasel. Kalsium
intrasel akan berperan pada proses mengaktivasi enzim
destruksi yaitu protase, lipase, dan endoknuklease. Enzim-enzim
tersebut memicu beberapa sitokin muncul sehingga integritas
dari sel saraf akan hilang. Satu jam setelah jaringan saraf
mengalami hipoksia, daerah infark akan terbentuk serta
dikelilingi penumbra dari daerah iskemia (Dewi & Kalanjati,
2021).
Pendapat Guyton & Hall, (2014) mengatakan bahwa Respon
seluler maupun molokuler pada proses inflamasi menyebabkan
sel saraf (neuron) dan sintesis neurotransmitter menjadi

149
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

berkurang sehingga kecepatan dari hantar impuls juga


mengalami penurunan terutama kemampuan transmisi impuls
antar neuron serta transmisi impuls neuron menuju ke sel
efektor. Kemampuan sistem saraf yang terganggu terutama
ketika mengirimkan, mengenal, mengasosiasikan, memprogram,
dan memberikan respons terhadap informasi sensorik menjadi
penyebab kontraksi otot menurun sehingga secara otomatis
penderita stroke mengalami penurunan kekuatan otot.
7. Komplikasi Stroke Hemoragik
Komplikasi stroke diantaranya bisa menyebabkan aspirasi,
paralitic illeus, atrial fibrilasi, diabetus insipidus, peningkatan
TIK, dan hidrochepalus (Padila, 2015).
8. Manajemen Medis
Sebelum pengobatan dapat diberikan, pasien harus dinilai
untuk jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi yang stabil. Pasien
juga harus dinilai untuk menentukan apakah dia adalah kandidat
untuk alteplase (rt-PA). Kriteria eksklusi didasarkan pada
pedoman dari American Heart Association/American Stroke
Association. Terapi fibrinolitik bertujuan untuk melarutkan
bekuan darah dan mengembalikan aliran darah ke daerah yang
terkena.
Fibrinolitik harus diberikan dalam waktu 3 sampai 4, 5 jam
setelah timbulnya gejala agar efektif, tergantung pada kriteria
eksklusi. Seperti : pengobatan infark miokard dan perawatan
sepsis, selama stroke pendekatan "waktu adalah otak" adalah
penting dan membutuhkan respons pengobatan yang cepat.
9. Perawatan Stroke
Pada penatalaksanaan stroke dibagi menjadi 3 tahapan
dimulai dari:
1. Pre Hospital
95% pasien stroke dimulai dari rumah atau dari luar rumah
kewaspadaan terhadap tanda dan gejala stroke dan

150
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

dibutuhkan reaksi cepat dalam menangani stroke. Jendela


emas (Golden Period) adalah waktu yang sangat berharga
bagi pasien stroke untuk mendapatkan pertolongan oleh
rumah sakit terdekat 3-6 jam untuk mengurangi komplikasi
serius (Hudak et.,et al 2014). Penatalaksanaan prehospital
yang bisa dilakukan untuk klien yang kita curigai sebagai
stroke dikenal sebagai “Stroke Chain of Survival”atau “7Ds”
yaitu :
a. Detection (Pengenalan) yaitu mengidentifikasi onset dan
terjadinya gejala stroke.
b. Dispacth (Mengirimkan) yaitu memanggil ambulans
secepat mungkin atau mengaktifkan system
kegawatdaruratan.
c. Delivery (Perjalanan) yaitu Intervensi oleh petugas medis
selama perjalanan.
d. Door (Sampai dirumah sakit) yaitu penerimaan di Trias
UnitGawat Darurat.
e. Data (Data) yaitu melakukan evaluasi secara teratur,
pemeriksaan laboratorium dan melakukan pencitraan.
f. Decision (Keputusan) yaitu Mendiagnosis dan
memberikan terapi yang tepat.
g. Drug (Obat) yaitu Membrikan pengobatan secara tepat
(Hudak et al., 2012).
2. Intra Hospital
Intra hospital mempunyai 4 tujuan utama yaitu:
a. perbaikan aliran darah cerebral (reperfusi),
b. pencegahan trombosis berulang,
c. perlindungan syaraf, dan
d. perawatan supportif.
Penatalaksanaan yang harus diobservasi secara intensive :
a. oksigenasi,
b. kadar glukosa

151
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

c. aliran darah adekuat.


d. Reperfusi dapat dilakukan dengan activator
plasminogenjaringan intra vena(IV).
e. Jika ada indikasi pemberian trombolitikseperti
rtPA(tissue plasminogen activator) di IGD rumah sakit
harus dilakukan observasi dan pemantauan (Hudak et al.,
2012).
3. Pasca hospital
Pada tahap ini dibutuhkan tindakan pencegahan, rehabilitasi
dan pendidikan kesehatan (AHA, 2014).
a. Pencegahan
Stroke dapat dicegah dengan memodifikasi faktor risiko
(Hudak et al., 2012).
b. Rehabilitasi
Lingkungan sangat berperan penting dalam
penyembuhan pasien stroke berhubungan keberadaan
pasien seperti hidrasi,temperature dan glukosa darah.
Tatalaksana lain yang sesuai keluhan seperti sulit
menelan dan pencegahan terhada trombolitik vena.
Fisioterapi yang berkesinambungan dapat membantu
kemandirian aktifitas pasien (Hudak et al., 2012).
4. Pendidikan kesehatan
Intervensi pendidikan pada masyarakat sangat penting hal
ini terbukti dan banyak berhasil dengan sempurna pada
penderita stroke iskemik dalam terapi fibrinolitik. Pemberian
layanan kesehatan rumah sakit dan layanan informasi pada
masyarakat untuk mengembangkan system efektivitas
perawatan stroke. Tujuan perawatan stroke adalah
meminimalkan cedera otak dan memaksimalkan
kesembuhan pasien (AHA, 2010).

152
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

B. Manajemen Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan kegawatdaruratan menggunakan
pendekatan A-B-C ( Airway- Breathing- Circulation). Pada kasus
stroke perlu dilakukan sampai D (Disability) untk mengetahui
adanya kelemahan /kelumpuhan akibat stroke dan
memperkirakan bagian otak yang mengalami gangguan seperti
stroke hemisfer kiri, jika terdapat gejala seperti hemiparise atau
hemiplegia sisi kanan, kelainan lapang pandang kanan, perilaku
lambat disfagia, sangat hati – hati dan mudah prustasi, Stroke
hemisfer terdapat gejala hemiparesis atau hemiplegia sisi kiri,
kelainan bidang visual kiri defisit spasial perseptual atau
menunjukkan penurunan kesadaran.
Airway: Semua pasien dengan dugaan stroke akut harus
dinilai segera pada saat kedatangan untuk memeriksa gangguan
jalan napas. Pasien yang tidak mampu mempertahankan
stabilitas jalan napas harus segera diintubasi (intubasi
neurocritical care). Breathing: Berikan tambahan oksigen jika
saturasi oksigen <94%. Oksigen tambahan tidak
direkomendasikan pada pasien non-hipoksia dengan 'AIS' 6.
Circulation: Semua pasien dengan dugaan stroke akut harus
dinilai segera pada saat kedatangan untuk stabilitas
hemodinamik. Hipotensi dengan tanda perfusi yang buruk
keadaan syok) dapat menyerupai stroke terutama pada pasien
usia lanjut dan harus ditangani dengan tepat. Riwayat hipertensi,
Pasien dengan kecelakaan serebrovaskular sering memiliki
tekanan darah tinggi. Disability: Lakukan pemeriksaan neurologis
terfokus dan dapatkan hasil glukosa saat pemeriksaan.
Pemeriksa harus fokus untuk menentukan apakah (1) ada lesi
dan (2) di mana lesi terlokalisasi.
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
objektif tingkat gangguan kesadaran pada semua jenis pasien
medis dan trauma akut. Skala menilai menurut tiga aspek respon:

153
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

membuka mata, motorik, dan respon verbal tingkat kesadaran di


tentukan berdasarkan jumlah skor ketiga hal tersebut.
Tabel 5. Skala Koma Glasgow
Skala
Respon Membuka Mata
• Spontan 4
• Dengan Perintah rangsang suara 3
• Dengar rangsang nyeri 2
• Tidak ada respons 1
Respons verbal
• Orientasi Baik 5
• Disorientasi, bicara kacau 4
• Mengucapkan kata perkata namun tidak
jelas 3
• Bersuara (mengerang tidak ada respons)
2
• Tidak ada Respons 1
Respons Motorik
• Mengikuti perintah 6
• Dapat Melokalisir 5
• Menghindar/ Menjauh rangsang nyeri
4
• Lengan kaku diatas dada dan kaki ektensi
saat diberi rangsang nyeri 3
• Lengan kaku disisi tubuh dan kaki ektensi
saat diberi rangsang nyeri 2
• Tidak ada Respon 1

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
stroke
1. Risiko Perfusi Serebral tidak efektif berhubungan dengan
Aneurisma Serebri
2. Bersihkan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
penumpukan secret
3. Gangguan Memori berhubungan dengan
4. Gangguan Menelan

154
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

5. Konfusi Akut
6. Konfusi Kronis
7. Penuruanan kapasistas adaptif intrakranial
8. Resiko Konfusi Akut
9. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(iskemia).
10. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan
ketidakmampuan menghidu dan melihat
11. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuscular.

Tabel 6.Tabel Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Luaran Intervensi


Risiko Perfusi serebral efektif Manajemen Peningkatan tekanan Intrakranial
Serebral tidak dengan kriteria : (TIK)
efektif peningkatan Observasi
dibuktikan kesadaran, ▪ Identifikasi penyebab peningkatan tekanan
dengan Kognitif intrakranial (mis: gg metabolisme, lesi, oedem
Aneurisma membaik, serebral)
Serebri menurunnya ▪ Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
sakit kepala, (Tekanan darah meningkat, tekanan nadi
tekanan darah melebar, bradikardia,pola nafas
sistolik dan irreguler,kesadaran menurun).
diastolik ▪ Monitor MAP (Mean arterial Presure)
membaik. ▪ Monitor CVP(Central Venous Presure)
▪ Monitor ICP (intra cranial Presure) jika perlu
▪ Monitor CPP (Cerebral perfusion Pressure)
▪ Monitor Gelombang ICP
▪ Monitor Status Pernafasan
▪ Monitor intake dan output cairan
▪ Monitor cairan serebro-spinal (mis warna
konsistensi).
Terapeutik
▪ Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang
▪ Berikan posisi semi fowler
▪ Hindari manuver valsava
▪ Cegah terjadinya kejang
▪ Hindari pengunaan PEEP
▪ Hindari pemberian cairan IV hipotonik

155
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

▪ Atur ventilator agar PaCO2 Optimal


▪ Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
▪ Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan jika perlu
▪ Kolaborasi pemberian diuretik osmosis jika
perlu
▪ Kolaborasi pemberian pelunak tinja jika perlu

Bersihan jalan Bersihan jalan Pemantauan Respirasi :


nafas tidak nafas meningkat Observasi
efektif b.d dengan kriteria : ▪ Monitor frekuensi irama, kedalaman dan
Disfungsi • Produksi upaya nafas
neuromuscula Sputum ▪ Monitor Pola nafas (seperti: bradipnea,
r menurun takipnea, hiperventilasi, kussmaul, Cheyne
dibuktikan • Nafas Stokes, Biot, ataksik).
dengan Membaik ▪ Monitor kemampuan batuk efektif
Sputum • Pola Nafas ▪ Monitor adanya produksi sputum
berlebih di Membaik ▪ Monitor adanya adanya sumbatan jalan nafas
jalan ▪ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
nafas. ▪ Auskultasi bunyi nafas
No Diagnosa Luaran Intervensi
▪ Monitor saturasi oksigen
▪ Monitor nilai AGD
▪ Monitor Hasil x-Ray torak
Terapeutik
▪ Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
▪ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
▪ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
▪ Informasikan hasil pemantauan jika perlu

156
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

DAFTAR PUSTAKA
Aguilar, M.I. & Brott, T.G., 2011. Update in Intracerebral Hemorrhage.
, 1(3), pp.148–159.
Aksoy, E. (2013) Relationships between Employment and Growth
from Industrial Perspective by Considering Employment
Incentives: The Case of Turkey.International Jurnal of
Economics and Finance Issues. Econjurnals
Turkey.
Batticaca, F. B. (2011). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. (A. Novianty, Ed.). jakarta:
Salemba Medika
Hudak, C. M., dan Gallo, B. M. (2010). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo, 2012. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan
Holistic Vol 1. Jakarta: EGC.
I Aguilar, I Misztal, A Legarra, S Tsuruta (2011) Efficient computation
of the genomic relationship matrix and other matrices used in
single-step evaluation
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22059575/ diakses tgl 10
Januari 2022
Masayu. 2014. Laporan Karya Tulis Ilmiah BAB II
Maulidiyah, I., Nasip, M., & Marlenywati. (2015). Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Stroke Iskemik pada Pasien
Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak. Repository Unmuh
Pontianak.
Martono, H & Kuswardani, RA T, (2006) Buku Ilmu Penyakit Dalam
jilid III edisi IV Jakarta pusat 10430
Mutiarasari, D. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and
Prevention. Medika Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran, 1(2),
36–44.
Padila. (2015). Asuhan Keperawata Maternitas II. Yogyakarta: Nuha
Medika

157
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Indikator
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Rencana
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tujuan
Usrin, I., Mutiara, E., & Yusad, Y. (2011). Pengaruh Hipertensi
Terhadap Kejadian Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik.
Suprapto, et al. (2022) Keperawatan gawat kegawatdaruratan dan
manajemen Bencana : PT Global eksekutif teknologi Anggota
IKAPI No. 033/SBA/2022
Susiwati, Sunita, & Farizal, J. (2018). Analisis Kolesterol Low Density
Lipoprotein (LDL) Pada Pengonsumsi Produk Minuman Herbal
X di Kota Bengkulu. JNPH, 6(2),5–9.

158
BAB 11
KONSEP PERTOLONGAN GAWATAN PENYAKIT SISTIM PERSYARAFAN

PROFIL PENULIS
Hilma Yessi lahir di pakasai padusunan
tahun 1979 mulai sekolah D3 Keperawatan
Nan Tongga Lubuk Alung (UNISBAR) pada
tahun 1997 tamat tahun 2000, kemudian
penulis bekerja di RSUD Pariaman, pernah
bekerja di Rumah sakit Karya Medika Tambun
Bekasi. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan
pendidikan S1 Keperawatan di Akademi Keperawatan Nan
Tongga Lubuk Alung (UNISBAR) Tamat pada tahun 2011, Tahun
2011 melanjutkan Ners tamat tahun 2012, Tahun 2014
melanjutkan pendidikan Magister Keperawatan pada Universitas
Andalas menyelesaikan studi S2 tahun 2017. Kemudian penulis
bergabung pada Universitas Negeri Padang tahun 2017 sebagai
Dosen Tetap pengampu mata kuliah Keperawatan gawat Darurat
dan Manajemen Bencana, Manajemen Keperawatan,
Keperawatan Dasar, untuk mewujudkan karier sebagai dosen
profesional penulis juga aktif meneliti dan melakukan
pengabdian masyarakat dibidang kepakaran tersebut. Selain
peneliti, Penulis juga mencoba untuk mulai aktif menulis buku
dengan harapan dapat memberikan kontribusi positif bagi
Agama nusa dan bangsa.
Email Penulis:
hilmayessi@fik.unp.ac.id /nshilmayessi@yahoo.com

159
BAB 12
KEGAWATDARURATAN
ENDOKRINE
Yeni Rimadeni, S.KM., M.Si
Poltekkes Kemenkes Aceh

Kedaruratan endokrin adalah kumpulan manifestasi langka


dan ekstrem dari gangguan endokrin umumnya yang sering
dipicu oleh peristiwa seperti infeksi akut. Kedaruratan endokrin
mungkin merupakan presentasi pertama dari gangguan
endokrin. Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa
saluran (ductless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi
di tubuh melalui aliran darah untuk mempengaruhi organ-organ
lain. Kondisi gawat darurat sistem endokrin antara lain: KAD
(Ketoasidosis Diabetikum), HONK (Hipo Osmolar Non Ketotik),
Laktoasidosis, Hipoglikemia, Krisis Adrenal, Hiponatremia dan
Hipocalcemia (Ishii, 2017). Pada Bab ini kita khusus membahas
tentang KAD ((Ketoasidosis Diabetikum) dalam kondisi gawat
darurat.

A. KAD (Ketoasidosis Diabetikum)


KAD (Ketoasidosis Diabetikum) adalah komplikasi diabetes
akut yang mengancam jiwa yang paling umum. Hal ini lebih
sering terlihat pada diabetes tipe 1 tetapi dapat terjadi pada tipe
2. Pasien dengan DM tipe 1 mutlak kekurangan insulin. Ketika
produksi insulin di pankreas gagal, pemanfaatan glukosa
menurun menciptakan keadaan relatif pasien menjadi merasa
sering lapar. Hormon yang mempengaruhi metabolism bahan
bakar ditubuh terutama memicu glikogenesis dan
glukoneogenesis (Counter regulatory hormones) antara lain
cortisol, glucagon, catecholamine dan growth hormone yang
BAB 12
KEGAWATDARURATAN ENDOKRINE

membantu menjaga kadar glukosa darah yang memadai untuk


fungsi seluler selama puasa. Hormon-hormon ini mendorong
glukoneogenesis dan glikogenolisis, meningkatkan kadar
glukosa, dan lipolisis, yang mengubah adiposa menjadi asam
lemak bebas. Tanpa insulin untuk memungkinkan penyerapan
seluler glukosa, mekanisme ini terus menghasilkan glukosa.
Sehingga dapat mengakibatkan dehidrasi parah dan kehilangan
elektrolit saat ginjal menyaring glukosa yang sangat osmotik.
Selanjutnya, asam lemak bebas yang tidak dapat memasuki siklus
asam sitrat tanpa insulin teroksidasi menjadi keton. Akumulasi
ini menyebabkan asidosis metabolik, gangguan elektrolit lebih
lanjut, dan disfungsi eksokrin pankreas.

B. Penyebab KAD
Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari KAD adalah
infeksi, yang menyebabkan hampir separuh kasus. Tentu saja,
kondisi stres seperti kecelakaan kardiovaskular, infark miokard,
trauma, obat-obatan dan ketidakpatuhan dalam terapi insulin
dan tidak menjalani program yang diberikan oleh dokter
(Kearney & Dang, 2007).
Penyebab lainnya yaitu Diagnosis baru komplikasi dari
diabetes melitus tipe 1 yang berpotensi mengancam jiwa,
menyebabkan morbiditas dan peningkatan lamanya rawat inap
(Evans, 2019).

C. Tanda Dan Gejala KAD


Secara umum tanda dan gejala yang dialami oleh pasien KAD
adalah mengalami kelelahan dan kelemahan, ortostasis, nyeri
perut, dan pernapasan kussmaul (pernafasan dalam yang cepat
mencoba untuk mengompensasi asidosis). Bau buah atau seperti
aseton secara klasik dijelaskan bersama dengan temuan riwayat
poliuria, polidipsia, dan polifagia; mual dan muntah ditemukan
pada 25% pasien. Muntah mungkin terlihat seperti bubuk kopi
karena gastritis hemoragik. Perubahan status mental mulai dari

161
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

kebingungan ringan hingga koma dapat terlihat. KAD tidak


menyebabkan demam (Kearney & Dang, 2007).

D. Asuhan Keperawatan Dan Penilaian


Berkelanjutan
Asuhan keperawatan pasien KAD meliputi pengkajian
keperawatan secara menyeluruh serta edukasi pasien dan
keluarga (Gillespie & Campbell, 2002).
1. Penilaian Primer
Penilaian primer yang dimaksud antara lain melibatkan
penilaian/evaluasi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC),
serta status neurologis. Pertama, menilai patensi jalan napas. Jika
pasien tidak dapat bernapas sendiri, masukkan jalan napas oral
atau nasofaring. Jika muntah terjadi, pengisapan oral (section)
mungkin diperlukan. Jika pernapasan tidak efektif atau pasien
muntah dan koma, lindungi jalan napas dengan memasukkan
selang endotrakeal kemudian konfirmasi penempatannya
dengan detektor end-tidal CO2, auskultasi suara napas, dan
rontgen dada portabel. Kaji sirkulasi, dapatkan akses vaskular,
dan mulai infus NS 0,9%. Jika pasien hipotensi, bolus cairan harus
diberikan. Terakhir, kaji status neurologis pasien: Apakah ada
responsif terhadap rangsangan verbal atau nyeri.
2. Penilaian Sekunder
Penilaian sekunder antara lain yaitu buka pakaian pasien,
dan jika terjadi hipotermia, atur suhu tubuh misalnya dengan
menggunakan selimut hangat, lampu pemanas di atas kepala, dan
cairan IV hangat. Masukkan selang nasogastrik jika pasien
muntah, dan masukkan kateter urin untuk memantau keluaran
dan mendapatkan urinalisis. Jika pasien telah diintubasi, pasang
selang nasogastrik untuk mendekompresi lambung. Mulailah
pemantauan jantung untuk memeriksa aritmia, yang mungkin
diakibatkan oleh ketidakseimbangan elektrolit. Lakukan

162
BAB 12
KEGAWATDARURATAN ENDOKRINE

langkah-langkah untuk membuat pasien nyaman, misalnya


dengan pemberian antiemetik atau analgesia.
Dapatkan riwayat menyeluruh dari pasien dan keluarga
untuk mengidentifikasi apa yang mungkin memicu terjadinya
KAD. Lakukan pemeriksaan kepala hingga ujung Kaki (head to
toe) untuk mengidentifikasi kelainan, menetapkan penilaian
dasar, dan membantu mengidentifikasi penyebab dan gejala dari
kondisi tersebut.
Frekuensi penilaian tindak lanjut akan bervariasi
tergantung pada penilaian dasar dan stabilitas pasien. Sebagai
contoh, pasien yang response /waspada terhadap kejadian ini
mungkin dapat melaporkan perubahan gejala kepada staf
perawat, sedangkan mereka yang tidak sadar maka
membutuhkan penilaian setiap jam (atau lebih sering, jika
perlu). Penilaian ulang meliputi pemeriksaan ABC, dan penilaian
status neurologis dan tanda-tanda vital (Gillespie & Campbell,
2002).

E. Pendidikan
Pasien dan keluarga membutuhkan pendidikan dalam
manajemen diabetes untuk mencegah kekambuhan dan gejala
yang pernah di alami. Pasien yang tidak percaya bahwa ia
menderita diabetes (seperti yang di nyatakan oleh anggota
keluarga) menimbulkan tantangan khusus bagi perawat, yang
perlu menyesuaikan pendidikan dan edukasi untuk hal ini.
Manajemen pemantauan penyakit secara harian adalah yang
paling penting, bahkan jika penyakitnya dapat dikendalikan
dengan baik. Tanda dan gejala KAD perlu ditinjau dengan pasien
dan keluarga selama setiap kunjungan ke Rumah Sakit untuk
hiperglikemia dan setiap kali diabetes teridentifikasi di Rumah
Sakit. Anjurkan pasien untuk mendapatkan vaksin influenza
tahunan untuk mencegah sepsis dan pneumonia. Karena
pencetus utama dari KAD adalah infeksi

163
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Penatalaksanaan ketika pasien sakit antara lain,


anjurkan pasien untuk mencari bantuan medis profesional untuk
demam yang tidak terkontrol, frekuensi kencing atau
ketidaknyamanan, batuk terus-menerus, atau ulserasi. Jika
antibiotik telah diresepkan oleh dokter sebelumnya maka
pentingnya menggunakan seluruh resep, bahkan setelah gejala
membaik atau mereda. Ini akan memastikan bahwa penyakit ini
diobati dengan tepat dan akan mengurangi timbulnya strain
bakteri yang resisten. Dorong pasien untuk melanjutkan terapi
insulin dan pengobatan bahkan ketika mereka mengalami mual
dan muntah akibat penyakit lain. Untuk mencegah KAD dan
dehidrasi, instruksikan pasien untuk minum cairan yang
mengandung karbohidrat (seperti jus buah) dan garam (seperti
kaldu). Jika pasien tetap mengalami mual dan muntah lebih dari
satu hari, mereka perlu berkonsultasi dengan dokter.
Ketika pasien dengan diabetes dan sakit pilek atau flu,
mereka harus memeriksa urine mereka untuk keton setidaknya
setiap hari. Bisa menggunakan strip keton urine dari apotek.
Dorong mereka untuk istirahat yang cukup. Terakhir, ingatkan
pasien untuk memberi tahu anggota keluarga atau teman ketika
mereka sakit, dan minta anggota keluarga untuk memeriksakan
mereka setiap empat jam untuk memastikan kondisinya tidak
memburuk.
Jika pasien tidak mematuhi pengobatan medisnya, penting
untuk mengidentifikasi alasannya. Pasien sering menyangkal
memiliki penyakit kronis, dan tidak mengikuti nasihat medis atau
meminum obatnya dengan teratur. Mereka juga disarankan
konsultasi ke psikiater, yang dapat membantu pasien menerima
kondisi tersebut. Pendekatan secara spiritual juga di sarankan
untuk menenangkan dan menerima kondisi saat ini. Selain itu,
ahli gizi untuk dapat memperkuat pentingnya perencanaan diet
yang tepat dan pengelolaan diabetes secara mandiri. Pasien juga
dapat memperoleh manfaat dari saran tentang cara

164
BAB 12
KEGAWATDARURATAN ENDOKRINE

mengakomodasi modifikasi pola makan dan bahan makanan


yang baik untuk dikonsumsi.
Perubahan penglihatan pada lansia terkadang dapat
menghambat dalam pemberian insulin sendiri. Hal ini
dibutuhkan keterlibatan anggota keluarga dalam membantu
dalam memberikan insulin. Untuk mencegah terjadinya KAD
lebih lanjut, edukasi pasien dan keluarganya agar mereka dapat
melakukan tindakan sesegera mungkin sampai menunggu
bantuan medis.
Tindakan kedaruratan yang dapat dilakukan oleh pasien
atau keluarga pada KAD antara lain:
1. Jika pasien tidak responsif dan bernapas normal
a. Dukung dan damping pasien dan segera hubungi 119
untuk ambulans kegawatdaruratan
b. Sering-seringlah keluarga atau rekan terdekat untuk
memanggil pasien selama pemulihan karena pasien
mungkin bingung ketika ia pulih (sadar).
2. Jika sadar, beri pasien sedikit gula
a. Jika pasien masih sadar sepenuhnya dan mampu
menelan, berikan minuman manis, coklat atau permen
glukosa untuk dihisap. Pemulihan biasanya terjadi dalam
beberapa menit.
b. Saat pasien lebih waspada, tawarkan makanan
berkarbohidrat yang lebih banyak berupa sandwich atau
beberapa biskuit manis.
3. Dapatkan nasihat medis
a. Jika pasien sudah membaik dengan asupan karbohidrat,
konsultasi medis tetap diperlukan karena lebih lanjut
dapat terjadi sewaktu-waktu hal yang tidak diinginkan.
b. Jika pasien tidak membaik setelah menelan makanan atau
minuman manis, atau jika terjadi kerusakan lebih lanjut

165
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

dan mengalami kesulitan menelan maka menghubungi


119 untuk ambulans.

166
BAB 12
KEGAWATDARURATAN ENDOKRINE

DAFTAR PUSTAKA
Evans, A. K. (2019). MEDICINE ORIGINAL Diabetic ketoacidosis :
update on management. 396–398.
Gillespie, G. L., & Campbell, M. (2002). Diabetic Ketoacidosis: Rapid
identification, treatment, and education can improve survival
rates. AJN The American Journal of Nursing, 102.
https://journals.lww.com/ajnonline/Fulltext/2002/09001/Di
abetic_Ketoacidosis__Rapid_identification,.4.aspx
Ishii, M. (2017). Endocrine emergencies with neurologic
manifestations. CONTINUUM Lifelong Learning in Neurology, 23
(3NeurologyofSystemicDisease), 778–801.
https://doi.org/10.1212/CON.0000000000000467
Kearney, T., & Dang, C. (2007). Diabetic and endocrine emergencies.
Postgraduate Medical Journal, 83(976), 79–86.
https://doi.org/10.1136/pgmj.2006.049445

167
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PROFIL PENULIS
Bismillahirrahmanirrahim, Yeni
Rimadeni Adalah Penulis, lahir dari orang
tua Bapak Muhammad Untung. MS dan Ibu
Suginem sebagai anak ke dua dari empat
bersaudara. Penulis dilahirkan di Kota
Takengon Kabupaten Aceh Tengah pada
Tanggal 18 Juni 1984. Penulis menempuh
pendidikan di mulai dari SD Negeri Paya
Tumpi Takengon Aceh Tengah (lulus tahun
1996). Melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Takengon (lulus tahun
1999) melanjutkan SPK Pemda Takengon (lulus tahun 2002)
melanjutkan ke Poltekkes Kemenkes Aceh Jurusan Keperawatan
Prodi DIII (lulus tahun 2005) melanjutkan ke Fakultas Kesehatan
Masyarakat Serambi Mekkah Banda Aceh (lulus tahun 2011),
melanjutkan ke Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh (lulus tahun 2015) dan Kini Tengah Menempuh
Pendidikan Doktoral di Prodi Doktor Matematika dan Aplikasi
Sains Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (2020 sampai dengan
sekarang).
Hingga kini penulis aktif sebagai Dosen Poltekkes Kemenkes
Aceh. Dengan ketekunan, motivasi tinggi untuk terus belajar dan
berusaha, penulis telah berhasil menyelesaikan pengerjaan
tulisan ini. Semoga dengan tulisan ini dapat memberikan
kontribusi positif bagi pembaca khususnya bidang ilmu
kebencanaan dalam penanggulangan krisis kesehatan.
Akhir kata penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-
besarnya atas terselesaikannya buku ini.
Motto : Yakin kepada Allah, Selalu mencoba yang terbaik
meski gagal, teruslah berusaha, bermimpi yang besar, kerja keras
untuk mendapatkan rezeki yang berkah, InsyaAllah kesuksesan
akan datang.

168
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN
KEGAWATAN TRAUMA
KEPALA, TRAUMA ABDOMEN,
TRAUMA DADA DAN TRAUMA
MUSKULOSKELETAL
Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep
Universitas Kusuma Husada Surakarta

A. Trauma Kapitis
Trauma kapitis merupakan kejadian yang sangat sering
dijumpai. Lebih dari 50% penderita trauma adalah penderita
trauma kapitis. Sebanyak 10% penderita dengan cedera kepala
meninggal sebelum sampai di rumah sakit.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan usaha
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk
mempertahankan perfusi otak dan menghindari terjadinya
cedera otak sekunder, merupakan tindakan yang sangat tepat
untuk keberhasilan pertolongan yang diberikan kepada
penderita cedera kepala. Terlambatnya rujukan penderita
dengan cedera kepala dapat menyebabkan keadaan penderita
memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi
otak dan saraf lainnya.
1. Klasifikasi
Berdasarkan cedera kepala yang diderita, hal tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga hal. Yaitu:
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

1. Mekanisme cedera
Cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus/tajam. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari
ketinggian atau pukulan akibat benda tumpul. Sedangkan
cedera kepala luka tembus disebabkan oleh luka tembak atau
luka tusuk.
2. Berat ringannya cedera kepala
Secara umum untuk menetapkan berat ringannya cedera
kepala digunakan metode penilaian Glasgow Coma Scale
(GCS) yaitu menilai respon Buka Mata pasien, Respon
Bicara/Verbal pasien dan respon Motorik.
a. Respon Buka Mata (Eye Opening)
4: Membuka mata spontan
3: Membuka mata terhadap suara/perintah
2: Membuka mata terhadap rangsang nyeri
1: Tidak ada respon
b. Respon Bicara (Verbal)
5: Bicara jelas dan baik
4: Bicara mengacau (bingung)
3: Bicara tidak teratur (kacau)
2: Bicara/suara tidak jelas (mengerang/merintih)
1: Tidak ada respon
c. Respon Motorik (Motorik)
6: Mengikuti perintah
5: Melokalisir nyeri
4: Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
3: Fleksi abnormal (dekortisasi)
2: Ekstensi abnormal (desebrasi)
1: Tidak ada respon/flacid
Nilai GCS pada pasien cedera kepala ringan adalah berkisar
15 – 14, sedangkan untuk cedera kepala sedang nilai GCS

170
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

berkisar 13 – 9, dan untuk cedera kepala berat nilai GCS


berkisar 8 – 3. Dalam penilaian GCS jika ditemukan adanya
asimetris ekstremitas kanan dan kiri, maka yang
dipergunakan adalah respon motorik yang terbaik dan harus
dicatat. Keadaan koma apabila diterjemahkan ke GCS adalah:
a. Tidak membuka mata : Eye = 1
b. Tidak dapat berkata-kata : Verbal = 2 atau 1
c. Tidak dapat mengikuti perintah : Motorik = 5
Maka koma adalah GCS 8 atau kurang
a. Morfologi cedera kepala
1) Fraktur kranial
Fraktur kranial dapat terjadi pada bagian atas atau
dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear, atau
bintang atau terbuka maupun tertutup. Adanya tanda
klinis fraktur dasar tengkorak merupakan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain adanya ekimosis
periorbital (racoon eye), ekimosis retroaurikuler
(battle sign), kebocoran cairan serebrospinal (CSS)
seperti rhinorrhea dan otorrhea, paresis nervus
facialis dan kehilangan pendengaran yang dapat
timbul segera arau beberapa hari setelah mengalami
trauma.
Fraktur kranial terbuka dapat mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dengan
permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Adanya fraktur tersebut tidak dapat diremehkan
karena menunjukkan adanya benturan yang cukup
hebat/keras.

171
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Gambar 14. Fraktur Kranial

Gambar 15. Tanda-tanda Fraktur Kranial

2) Lesi intrakranial
Lesi intrakranial diklasifikasikan sebagai lesi fokal
atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering
terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi fokal adalah
perdarahan epidural, perdarahan subdural dan
perdarahan intraserebral.
a) Cedera otak difus
Pada konkusi ringan, penderita biasanya
kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami
amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus
biasanya disebabkan oleh hipoksia, iskemia dari

172
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

bagian otak karena syok yang berkepanjangan


atau periode apneu yang segera setelah
mengalami trauma. Selama ini dikenal dengan
istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan
prognosis yang buruk, yang menunjukkan adanya
kerusakan pada akson yang terlihat pada
manifestasi klinisnya.
b) Perdarahan epidural
Perdarahan epidural relatif jarang ditemukan
(0.5%) dari semua penderita cedera kepala, dan
yang mengalami koma hanya 9% dari semua
penderita cedera kepala. Perdarahan epidural
terjadi diluar duramater tetapi masih berada di
dalam rongga tengkorak, dengan ciri berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Sering terletak di area temporal, atau
tempoparietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media, akibat
terjadinya fraktur tulang tengkorak namun dapat
juga terjadi akibat robekan vena besar.
c) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada
perdarahan epidural (30% pada cedera otak
berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya
vena-vena kecil dipermukaan kortek serebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosisinya pun
jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan
perdarahan epidural.
d) Kontusio dan perdarahan intraserebral
(1) Kontusio dan perdarahan intraserebral
sering terjadi (20 – 30% pada cedera otak

173
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

berat). Sebagian besar terjadi area lobus


frontal dan lobus temporal, walaupun
demikian dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Kontusio serebri didapat
dalam waktu beberapa jam atau beberapa
hari setelah trauma, kemudian berubah
menjadi perdarahan intraserebral yang
membutuhkan tindakan operasi segera.
2. Tanda
Trauma kapitis terkadang juga menyebabkan adanya tanda
lateralisasi. Tanda lateralisasi disebabkan adanya suatu proses
pada satu sisi otak, seperti misalnya perdarahan intrakranial.
1. Pupil
Kedua pupil mata harus selalu diperiksa. Biasanya sama lebar
(3mm) dan reaksi sama cepat. Apabila salah satu lebih lebar
(lebih dan 1mm), maka keadaan ini disebut sebagai
anisokoria.

Gambar 16. Anisokoria pupil

2. Motorik
Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai.
Apabila salah satu lengan atau dan tungkai kurang atau sama
sekali tidak bereaksi, maka disebut sebagai adanya tanda
lateralisasi.

174
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Selain adanya tanda lateralisasi, trauma kapitis terkadang


meningkatkan Tekanan Intra-Kranial (TIK). Berikut adalah
tanda-tanda adanya peningkatan TIK:
a. Pusing dan muntah
b. Tekanan darah sistolik meninggi
c. Nadi melambat (bradikardia)
Tanda-tanda peningkatan tekanan intra-kranial tidak mudah
untuk dikenali. Namun apabila ditemukan maka harus sangat
waspada.
3. Penatalaksanaan
Pengelolaan cedera kepala didasarkan pada pembagiannya.
Yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (GCS 14 – 15)
Penderita dengan cedera kepala ringan biasanya masih sadar
namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera
kepala yang dialaminya. Dapat disertai dengan riwayat
hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk
dibuktikan terutama pada kasus pasien dengan pengaruh
alkohol atau obat-obatan. Sebagian besar penderita cedera
kepala ringan dapat sembuh dengan sempurna, walaupun
mungkin ada gejala sisa yang sangat kecil.
Pemeriksaan CT Scan idealnya harus dilakukan pada semua
cedera kepala ringan yang disertai dengan kehilangan
kesadaran lebih dari dari 5 menit, amnesia, sakit kepala
hebat, GCS < 15 atau adanya defisit neurologis fokal, foto
servikal juga harus dibuat bila terdapat nyeri pada palpasi
leher.
Bila penderita cedera kepala mengalami asimtomatis, sadar,
neurologis normal, observasi diteruskan selama beberapa
jam dan dilakukan pemeriksaan ulang. Bila kondisi penderita
tetap normal, maka dianggap aman. Akan tetapi apabila

175
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang


terhadap rangsang verbal maupun tulisan, keputusan untuk
memulangkan penderita harus ditinjau ulang.
2. Cedera Kepala Sedang (GCS 9 – 13)
Penderita cedera kepala sedang pada umumnya masih
mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya
tampak bingung atau terlihat mengantuk dan disertai dengan
defisit neurologis fokal seperti hemiparese. Sebanyak 10% –
20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami
perburukan dan jatuh dalam keadaan koma. Sehingga pada
saat dilakukan pemeriksaan di IGD dilakukan anamnesa
singkat dan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan
neurologis dilakukan. Penderita harus dirawat di ruang
perawatan intensif atau yang setara. Harus dilakukan
observasi yang ketat dan pemeriksaan neurologis serial
selama 12 – 48 jam pertama.
3. Cedera Kepala Berat (GCS 3 – 8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu
melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah stabil, memiliki resiko morbiditas
dan mortalitas cukup besar. Penderita dengan cedera kepala
berat biasanya berada dalam keadaan yang berbahaya.
Jangan menunda tindakan kepada penderita dengan cedera
kepala berat.
Korban dengan cedera kepala, harus dilakukan
penatalaksanaan secepatnya agar keadaan tidak semakin
memburuk. Berikut adalah tindakan yang harus dilakukan:
1. Primary Survey
Setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur
servikal. Cedera otak sering diperburuk akibat cedera
sekunder. Penderita cedera kepala berat dengan hipotensi

176
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

mempunyai status mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan


dengan penderita cedera kepala berat tanpa hipotensi (60%
vs 27%), adanya hipotensi akan menyebabkan kematian yang
cepat. Oleh karena itu tindakan stabilisasi dan resusitasi
kardiopulmoner harus segera dilakukan.
a. Airway dan Breathing
Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada
penderita cedera kepala berat dan dapat mengakibatkan
gangguan sekunder. Kolaborasi intubasi endotrakeal
(ETT) / Laryngeal Mask Airway (LMA) harus segera
dipasang pada penderita cedera kepala berat yang koma,
dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100% dan
pemasangan pulse oksimetri/monitor saturasi oksigen.
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati
pada penderita secera kepala berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut.
Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada
trauma kapitis karena akan dapat menimbulkan hipoksia
atau hiperkarbia yang kemudian akan menyebabkan
kerusakan otak sekunder. Oksigen selalu diberikan dan
bila pernafasan tidak adekuat lebih baik memulai
ventilasi tambahan.
b. Circulation
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu
sendiri, kecuali pada stadium terminal yaitu bila medulla
oblongata mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial
tidak dapat menyebabkan syok haemoragik. Pada cedera
kepala berat, pada penderita dengan hipotensi harus
segera dilakukan stabilisasi dan resusitasi untuk
mencapai euvolemia.
Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan
gangguan perfusi darah ke otak yang akan menyebabkan
kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan
trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan

177
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

agresif. Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi


terhadap stimulus apapun dapat memberi respon normal
segera setelah tekanan darah normal.
c. Disability
d. Pemeriksaan neurologis harus segera dilakukan segera
setelah status kardiopulmoner stabil. Pemeriksaan ini
terdiri dari pemeriksaan GCS dan refleks cahaya pupil.
Pada penderita koma respon motorik dapat dilakukan
dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau
menekan kuku penderita. Pemeriksaan GCS dan reflek
cahaya pada pupil dilakukan sebelum pemberian sedasi
atau paralisis, karena akan menjadi dasar pada
pemeriksaan berikutnya. Selama primary survey,
pemakaian obat-obatan paralisis jangka panjang tidak
dianjurkan, bila diperlukan analgesia sebaiknya
digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara
intravena.
2. Secondary Survey
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi dan reflek
pupil) harus segera dilakukan untuk deteksi dini gangguan
neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal adalah
dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil terhadap cahaya,
adanya trauma langsung pada mata, sering merupakan
penyebab abnormalitas respon pupil dan menyebabkan
pemeriksaan pupil mata menjadi sulit, namun tetap harus
dipikirkan adanya trauma kepala pada penderita cedera
kepala berat.

B. Trauma Abdomen
Trauma abdomen ditemukan pada 25% penderita
multitrauma. Korban dengan trauma abdomen harus diwaspadai
adanya syok karena haemoragik yang menyertai cedera
abdomen.

178
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

1. Etiologi
Trauma abdomen bisa disebabkan karena trauma tajam dan
trauma tumpul. Trauma tajam ditimbulkan dari luka tikam, luka
bacok atau luka tembak. Sedangkan trauma tumpul biasanya
akibat kecelakaan lalu lintas.
Trauma tajam menerangkan bahwa adanya cedera yang
timbul oleh karena transfer energi dari benda tajam ke jaringan
tubuh pada saat benda tersebut menembus dan melalui jaringan
tubuh. Cedera trauma tajam lebih sering bisa dideteksi dari pada
cedera pada trauma tumpul. Organ-organ yang sering mengalami
cedera baik tajam maupun tumpul adalah usus, hati dan
pembuluh darah pada abdomen.
2. Gejala dan Tanda
Pada trauma tajam abdomen seharusnya kita mampu
mendeteksi cedera yang potensial pada organ-organ
intraabdomen. Biasanya cedera yang potensial ini mudah
dideteksi dari lokasi luka yang ada pada dinding abdomen.
Pemeriksaan sekunder yang dilakukan juga harus
memeriksa secara teliti kemungkinan adanya luka-luka yang lain.
Tanda-tanda adanya trauma tumpul selain adanya trauma tajam,
dan khusus pada luka tembak harus ditentukan atau dicari luka
masuk dan luka keluar.
Bila ditemukan tanda-tanda iritasi peritoneal biasanya
menunjukkan adanya cedera pada organ intra peritoneal.
Pemeriksaan colok dubur sangat penting pada trauma tajam
abdomen. Bila ditemukan adanya darah pada sarung tangan
berarti terdapat cedera pada usus.
Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan
secara teliti pada kasus yang kita curigai adanya trauma tumpul
abdomen antara lain:
1. Perdarahan yang tidak diketahui
2. Riwayat syok
3. Adanya trauma dada mayor

179
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

4. Adanya fraktur pelvis


5. Penderita dengan penurunan kesadaran
6. Adanya hematuri
7. Ditemukan jejas di abdomen (luka lecet, kontusio, dan perut
distensi)
8. Mekanisme trauma yang besar
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti
dan sistematis dengan cara:
1. Inspeksi
Menggunakan cara rog roll, abdomen bagian depan dan
belakang diteliti apakah mengalami ekskoriasi atau memar,
adakah laserasi, tusukan dan sebagainya.
2. Auskultasi
Lakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus
terdengar atau tidak.
3. Perkusi
Menggunakan perkusi pemeriksa akan mengetahui adanya
nada timpani karena dilatasi lambung akut di kuadran kiri
atas ataupun adanya perkusi redup bila ada
hemoperitoneum. Perkusi mengakibatkan pergerakan
peritoneum dan mencetuskan tanda peritonitis. Shifting
dullness (adanya darah dalam abdomen) terjadi kalau pasien
dimiringkan.
4. Palpasi
Pemeriksa akan mendapatkan adanya nyeri lepas yang
kadang-kadang dalam.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada korban dengan
trauma abdomen tidaklah cukup. Karena walaupun dilakukan
oleh orang yang berpengalaman, derajat akurasinya hanya 65%
karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi. Misalnya
nyeri, penurunan kesadaran, minum minuman beralkohol,
trauma kepala, dan cedera lain yang mengacaukan.

180
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Pada hakikatnya gejala dan tanda yang dapat timbul


dikarenakan oleh dua macam hal:
1. Pecahnya organ solid (padat)
Hepar dan lien (limpa) yang pecah akan menyebabkan
perdarahan yang dapat bervariasi dari ringan sampai sangat
berat, bahkan kematian. Gejala dan tandanya sebagai berikut:
a. Gejala perdarahan secara umum
Adanya anemis. Bila perdarahan berat akan timbul gejala
dan tanda syok hemoragik.
b. Gejala adanya darah intraperitoneal
Adanya nyeri abdomen, yang dapat bervariasi skala
nyerinya. Terkadang juga terdapat nyeri lepas. Adanya
penurunan bising usus, walaupun tanda tersebut tidak
dapat kita jadikan patokan utama karena bising usus akan
menurun pada banyak keadaan yang lain. Pada beberapa
kasus terdapat defans muscular (kekakuan otot) seperti
pada peritonitis. Perut yang semakin membuncit hanya
akan ditemukan apabila perdarahan hebat dan penderita
yang tidak gemuk. Pada perkusi akan dapat ditemukan
pekak sisi yang meninggi.
2. Pecahnya organ berlumen
Trauma yang mengenai struktur peritoneal angka
mortalitasnya tinggi. Pecahnya gaster, usus halus atau kolon
akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali
atau lambat.
Adanya nyeri seluruh abdomen akan menyebabkan bising
usus akan menurun, adanya defans muscular, nyeri tekan dan
nyeri lepas. Jika dilakukan pemeriksaan perkusi, tindakan
tersebut juga dapat menimbulkan nyeri (nyeri ketuk).
Apabila trauma tajam, kadang akan ditemukan adanya organ
intra abdomen yang menonjol keluar (paling sering
omentum, walaupun usus halus dan kolon juga ditemukan).
Keadaan ini disebut dengan eviserasi.

181
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Bila menyebabkan trauma ginjal, perdarahan tidak akan


masuk rongga peritoneum, tetapi perdarahan tersebut dapat
menyebabkan syok hemoragik. Gejala lain pada trauma ginjal
kebanyakan penderita akan hematuria.
3. Penanganan
Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan tajam,
penanganan awal tindakan penyelamatan selalu didahulukan dan
mengacu prosedur ABCDE. Penolong atau tim harus melakukan
resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin.
1. Airway dan breathing
Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih dari satu area tubuh, dan
apa pun yang ditemukan selalu memprioritaskan airway dan
breathing terlebih dahulu.
2. Circulation
Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan
tindakan apa-apa pada fase pra RS. Namun terhadap syok
yang menyertainya, perlu penanganan yang agresif. Monitor
produksi urine juga harus dilakukan dengan pemasangan DC.
3. Disability
Tidak jarang ditemukan trauma abdomen disertai dengan
trauma kapitis. Selalu periksa tingkat kesadaran (dengan
GCS) dan adanya lateralisasi (pupil anisokor dan motorik
yang lebih lemah satu sisi).
4. Environment
Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (evirasi),
cukup dengan menutupnya dengan kassa steril yang lembap
supaya usus tidak kering. Apabila ada benda menancap,
jangan dicabut. Tetapi dilakukan fiksasi benda tersebut
terhadap dinding perut.

182
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Fraktur Pelvis
Tentu saja penderita dengan fraktur pelvis tidak dapat stabil
karena nyeri. Ada tiga hal yang dapat ditimbulkan dengan adanya
fraktur pelvis:
1. Syok hemoragik bisa sangat berat
2. Ruptur uretra dan buli-buli
3. Kerusakan organ lain seperti rectum, vagina, dsb
Kadang-kadang fraktur pelvis dapat dikenali dengan cepat.
Hal tersebut dapat diketahui dari look, feel dan move. Penolong
akan mengetahui:
1. Penderita mengeluh tungkai terasa nyeri bila digerakkan
2. Adanya jejas daerah pelvis
3. Terabanya ‘gap’ (cekungan) pada daerah simfisis pubis (open
look)
4. Bila dilakukan tekanan pada tulang pelvis akan teraba
krepitasi tulang (tes kompresi). Lakukan tes kompresi
dengan halus dan hanya boleh satu kali.
Mendiagnosis fraktur pelvis terkadang susah didiagnosis,
karena penderita memiliki kesadaran yang menurun, dan tidak
terabanya krepitasi tulang. Dapat pula terjadi bahwa penderita
sedemikian dalam syok, sehingga membingungkan akan sumber
perdarahannya. Perdarahan akibat fraktur pelvis merupakan
sumber perdarahan yang bisa menyebabkan syok, selalu
waspada!

183
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Bila suspek fraktur pelvis maka dilakukan pemasangan


gurita sekitar pelvis. Atau dipasang The Pneumatic Anti-Shock
Garment (PASG) bila ada.

Gambar 17. The Pneumatic Anti-Shock Garment (PASG)

Ruptur uretra dicurigai bila keluar darah dari orifisium


uretra eksterna/Orifisium Uretra Eksterna (OUE). Atau adanya
hematoma di skrotum/suprasimfisi dan pada rectal touché
ditemukan prostat melayang. Di fase pra RS tidak dilakukan apa-
apa terhadap rupture uretra. Pada saat mentransport jangan
memasang kateter uretra karena dapat membuat lebih cedera.
Pengenalan tanda-tanda perfusi harus dilakukan dengan cara lain
selain jumlah urine.

C. Trauma Thorax
Pada kejadian multitrauma, trauma thorax sering dijumpai
sekitar 25%. 90% dari penderita dengan trauma thorax ini dapat

184
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

diatasi dengan tindakan sederhana, sedangkan 10% lainnya


memerlukan operasi.
1. Jenis Trauma Thorax dan Penatalaksanaannya
Ada beberapa jenis trauma thorax yang harus dikenali dalam
melakukan survey primer. Jika tidak dikenali dapat
menyebabkan kematian dengan cepat.
1. Gangguan Airway (obstruksi)
Adanya penekanan pada trakea di daerah toraks dapat terjadi
misalnya karena adanya fraktur sternum. Pada pemeriksaan
klinis penderita akan ada gejala penekanan airway seperti
stridor inspirasi dan suara serak. Biasanya penderita perlu
jalan nafas definitif.
2. Gangguan Breathing (sesak)
Ada beberapa gangguan dalam breathing. Yaitu:
a. Pneumotoraks Terbuka/Open Pneumothorax (Sucking
Chest Wound)
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan
menyebabkan pneumothoraks terbuka. Tekanan di
dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan
tekanan atmosfer.
Gangguan ini dapat terjadi karena adanya trauma tajam,
sehingga ada hubungan udara luar dengan rongga pleura
sehingga paru menjadi kuncup. Sering kali hal ini terlihat
sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada
setiap inspirasi (sucking chest wound).
2
Apabila lubang ini lebih besar daripada diameter trakea,
3
maka inspirasi udara lebih mudah melewati lubang pada
dinding dada dibandingkan melewati mulut. Sehingga
terjadi sesak yang hebat. Akibatnya ventilasi terganggu
sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.

185
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Gambar 18. Open Pneumothorax

Langkah awal pada open pneumothorax adalah dengan


menutup luka dengan kasa oklusif steril yang diplester
hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini
diharapkan akan terjadi efek katup dimana saat inspirasi
kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran
udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka
untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka
sesegera mungkin konsulkan untuk pemasangan selang
dada.
Menutup dengan kasa kedap udara harus sering
dilakukan evaluasi paru. Pada luka yang sangat besar,
maka dapat dipakai transparent film dressing yang biasa
digunakan untuk menutup area pemasangan infus yang
digunting sesuai dengan ukuran.

b. Tension Pneumothorax
Tension pneumothorax terjadi karena adanya mekanisme
ventil. Yaitu kebocoran udara yang berasal dari paru-paru
atau dari luar melalui dinding dada masuk ke dalam
rongga pleura, atau dari luar melalui dinding dada masuk
ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi

186
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

(mekanisme one way valve). Dari hal tersebut akan


menyebabkan udara akan semakin banyak pada satu sisi
rongga pleura. Akibatnya adalah paru sebelahnya akan
tertekan, sesak yang berat akan terjadi, mediastinum

Gambar 19. Tension pneumothorax


terdorong, dan hasil akhir adalah syok.
Tension Pneumothorax sering terjadi akibat komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik/ventilator dengan
ventilasi tekanan positif pada penderita yang ada
kerusakan pada pleura visceral. Selain itu dapat timbul
akibat akibat cedera toraks.
Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada,
sesak yang berat, distress pernafasan, takikardi,
hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu
sisi, dan distensi vena leher. Pada perkusi didapatkan
hipersonor dan hilangnya suara nafas akan membedakan
terhadap diagnosa medis tamponade jantung.
Penatalaksanaan untuk tension pneumothorax harus
segera dilakukan. Tindakan yang diambil adalah dengan
melakukan dekompresi memakai jarum besar (needle
thoracocentesis). Menusuk dengan jarum besar yang

187
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

dilakukan di ruang interkostal 2 (ICS 2) pada garis mid


klavikuler.
c. Massive Hemothorax
Keadaan ini terjadi akibat ada perdarahan hebat dalam
rongga dada. Pada keadaan ini akan terjadi sesak karena
darah dalam rongga pleura, dan syok karena kehilangan
darah. Pada perkusi dada akan dullness karena dada
dalam rongga pleura.
Tidak banyak yang dapat dilakukan pra RS pada keadaan
ini. Satu-satunya cara adalah dengan mengganti darah
yang hilang dengan pemasangan infus dan membawa
penderita secepat mungkin ke RS dengan harapan masih
dapat terselamatkan dengan tindakan cepat di IGD yaitu
tindakan thorakotomy.
d. Flail Chest
Terjadinya flail chest dikarenakan fraktur iga multiple
pada dua atau lebih tulang dengan dua atau lebih garis
fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan
dinding dada. Pada saat ekspirasi segmen akan menonjol
keluar, pada saat inspirasi justru akan masuk kedalam. Ini
dikenal dengan sebagai pernafasan paradoksal.

188
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Gambar 20. Flail chest

Kelainan ini akan mengganggu ventilasi, namun yang


lebih diwaspadai adalah adanya kontusio paru yang
terjadi. Sesak berat yang mungkin terjadi harus dibantu
dengan oksigenasi dan mungkin diperlukan ventilasi
tambahan.
Apabila analisa gas darah menunjukkan pO2 yang rendah
atau pCO2 yang tinggi penderita akan dipasang respirator.
Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena
splinting pada awalnya (terbelat) dengan dinding dada.
Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak
secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan
pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur
tulang rawan membantu diagnosis.
3. Gangguan Circulation (syok)
Cedera thorax yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus
ditemukan pada primary survey adalah hemotoraks masif
karena terkumpulnya darah dengan cepat dirongga pleura.
Juga dapat terjadi pada tamponade jantung, walaupun
penderita datang tidak dalam keadaan sesak namun dalam

189
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

keadaan syok (syok non hemoragik). Terjadi paling sering


karena luka tajam pada jantung, walaupun trauma tumpul
juga dapat menyebabkannya.
Darah yang terkumpul dalam rongga perikardium
menyebabkan kontraksi jantung terganggu sehingga timbul
syok yang berat (syok kardiogenik). Biasanya ada pelebaran
pembuluh darah vena leher, disertai bunyi jantung yang jauh
dan nadi yang kecil.
Infus yang diberikan secara los tidak akan memberikan
banyak respons. Seharusnya penderita ini dilakukan
perikardiosentesis. Yaitu penusukan rongga perikardium
dengan jarum besar untuk mengeluarkan darah tersebut.
Beberapa keadaan yang dapat dikenali pada survey
sekunder:
a. Fraktur Costae
Secondary survey membutuhkan pemeriksaan yang lebih
teliti. Sehingga pada fraktur iga multiple atau fraktur iga
pertama dan/atau iga kedua harus dicurigai bahwa
cedera yang terjadi pada torak dan jaringan lunak
dibawahnya sangat berat.

Gambar 21. Fraktur costae

190
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Gejalanya adalah nyeri pada saat bernafas. Ketakutan


akan nyeri pada pernafasan ini menyebabkan pernafasan
menjadi dangkal, serta takut untuk batuk. Fraktur iga
sendiri tidak berbahaya. Pra RS tidak memerlukan
tindakan apa-apa. Yang harus lebih diwaspadai adalah
timbulnya pneumo/hematotorak.
b. Kontusio Paru
Pada kontusio paru yang sering ditemukan adalah
kegagalan bernafas. Kegagalan bernafas tersebut timbul
perlahan atau berkembang sesuai waktu, tidak langsung
terjadi setelah kejadian.
Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan
evaluasi penderita berulang-ulang. Pemadatan paru
karena trauma, timbulnya agak lambat, sehingga pada
fase pra RS tidak menimbulkan masalah.

Gambar 22. Kontusio paru

2. Pemeriksaan Fisik Paru


1. Inspeksi
Pemeriksaan fisik paru dilakukan dengan melihat adanya
jejas pada kedua sisi dada. Serta ekspansi kedua paru simetris
atau tidak.

191
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

2. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan kedua tangan memegang kedua sisi
dada. Nilai peranjakan kedua sisi dada penderita apakah
teraba simetris atau tidak oleh kedua tangan pemeriksa.
3. Perkusi
Dengan mengetuk-ketukan jari tengah terhadap jari tengah
yang lain yang diletakkan mendatar diatas dada. Pada daerah
paru berbunyi sonor, pada daerah jantung berbunyi redup
(dullness), sedangkan diatas lambung (dan usus) berbunyi
hipersonor, berbeda dengan bagian paru yang lain. Pada
keadaan hemotoraks akan berbunyi redup (dullness).
4. Auskultasi
Auskultasi dilakukan pada empat tempat yakni dibawah
kedua klavikula (pada garis midklavikularis) dan pada kedua
mid aksila kosta 4 – 5. Bunyi nafas harus sama antara kanan
dan kiri.

D. Trauma Muskuloskeletal
Trauma muskuloskeletal umumnya mudah diidentifikasi
pada waktu pertama kali melihat penderita. Harus selalu diingat
bahwa bebasnya jalan, mekanisme ventilasi dan
mempertahankan volume darah dalam sirkulasi serta terapi syok
yang adekuat harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
memasang bidai/splinting pada tulang yang patah.
Walaupun keadaan cedera muskuloskeletal kebanyakan
tidak langsung mengancam nyawa, namun jangan pernah
terpaku dalam penanganan hanya melihat pada ekstremitas yang
mengalami cedera saja. Penolong harus memikirkan adanya
cedera pada tempat lain yang mungkin lebih berbahaya.
Syok hemoragik walaupun jarang terjadi pada beberapa
jenis fraktur, namun perlu diwaspadai pada fraktur pelvis atau
fraktur femur. Cedera pada pembuluh darah dan syaraf

192
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada fraktur


dan dislokasi. Cedera pada struktur ini dapat mengakibatkan
hilangnya fungsi neurovaskuler. Oleh karena itu evaluasi fungsi
sensoris dan sirkulasi (pulse, motoris dan sensoris) bagian distal
dari fraktur merupakan hal yang sangat penting.
1. Cedera pada Ekstremitas
1. Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kesinambungan sebagian atau
seluruh tulang atau bahkan tulang rawan. Fraktur dapat
berupa fraktur terbuka dimana ujung tulang yang patah
menembus keluar dari kulit sehingga berhubungan dengan
dunia luar atau dapat berupa fraktur tertutup dimana ujung
tulang yang patah masih berada didalam kulit.
Ujung tulang yang patah sangat tajam dan berbahaya bagi
jaringan sekitarnya, karena saraf dan pembuluh darah berada
didekat tulang sehingga sering kali terkena jika terjadi
fraktur. Fraktur satu tulang femur dapat menyebabkan
kehilangan darah hingga satu liter, sehingga bila terjadi
fraktur femur bilateral akan sangat dapat mengancam nyawa.
Fraktur pelvis dapat menyebabkan perdarahan yang luas
pada rongga abdomen atau peritoneal dan dapat
menyebabkan hilangnya darah hingga 500 cc.
Fraktur terbuka memiliki resiko terjadinya kontaminasi
disamping hilangnya darah. Jika fragmen tulang yang keluar
atau menembus kulit dimasukkan lagi, maka ujung tulang
yang telah terkontaminasi bakteri akan menyebabkan
bakteri ikut masuk ke dalam jaringan. Sehingga dapat
menyebabkan infeksi yang menyebabkan sulitnya
penyembuhan tulang dan dapat menyebabkan komplikasi
sepsis.

193
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Gambar 23. Jenis fraktur

2. Amputasi
Cedera ini kadang dapat mengancam nyawa. Pada kasus
amputasi dapat terjadi perdarahan masif, namun perdarahan
biasanya dapat dikontrol dengan melakukan bebat tekan
pada ujung stump/yang teramputasi. Jika bebat tekan tidak
dapat mengontrol perdarahan, maka dapat digunakan
tourniquet. Namun sebisa mungkin untuk penanganan awal,
penggunaan tourniquet dihindari.
Bagian yang terpotong harus dibawa ke RS bersama dengan
korban. Reimplantasi dapat dilakukan pada kondisi tertentu
saja. Oleh karena itu jangan menjanjikan pada pasien bahwa
bagian yang putus dapat disambung kembali. Bagian yang
terpotong bila kecil sebaiknya diletakkan dalam kantung
plastik. Jika ada es, letakkan kantung tadi kedalam kantung
yang lebih besar yang berisi air dan es.

194
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

3. Dislokasi
Pasien yang mengalami dislokasi biasanya sangat kesakitan.
Dislokasi mudah didiagnosa karena perubahan anatominya
biasanya jelas. Dislokasi pada sendi-sendi besar, walaupun
bukan cedera yang mengancam jiwa, merupakan kasus gawat
darurat karena adanya resiko kerusakan neurovaskuler yang
jika tidak ditangani dengan segera dapat berakhir dengan
amputasi.
Sangat penting untuk memeriksa sendi, motorik, dan
sensorik di bagian distal sendi yang mengalami dislokasi agar
mengetahui apakah disertai dengan fraktur. Terapi yang
dapat dilakukan dilapangan adalah memasang bidai dan
mengganjal sehingga pasien berada dalam posisi paling
nyaman menurut pasien. Tidak diperbolehkan melakukan
reposisi.

Gambar 24. Dislokasi radius

4. Sprain dan Strain


Sprain adalah ligament yang mengalami penarikan total atau
robek sebagian. Bagian luar tampak seperti patah tulang.
Penderita akan merasa sangat kesakitan. Bagian yang terkena

195
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

tampak bengkak dan kemungkinan akan memar. Sprain


terjadi akibat sendi yang tertekuk tiba-tiba (pergerakan sendi
yang tidak normal).
Strain adalah cedera jaringan lunak meliputi serat otot yang
robek. Dapat terjadi pada otot mana saja. Tandanya nyeri saat
bergerak walaupun sedikit, ataupun tanpa bengkak.

Gambar 25. Strain

Gambar 26. Strain

196
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

5. Obyek yang Menancap di Tubuh


Akibat suatu kecelakaan ataupun tindak kriminal, benda
tajam atau pisau dapat tertancap di tubuh. Pada keadaan
seperti ini jangan mencabut benda yang menancap tersebut
dari tubuh korban. Stabilisasi dan imobilisasi benda tajam
tersebut dengan baik sehingga benda tersebut tidak dapat
bergerak bebas. Karena setiap gerakan dapat menyebabkan
kerusakan struktur penting organ didalamnya.
Disamping itu benda tajam yang masih menancap tadi dapat
sebagai tampon dari robeknya pembuluh darah yang terkena.
Mencabut benda yang menancap dilakukan diatas meja
operasi.
6. Sindroma Kompartemen
Ekstremitas memiliki otot dan struktur lain yang semuanya
terletak dalam satu ruangan tertutup yang tidak dapat
mengembang. Trauma dapat menyebabkan perdarahan dan
pembengkakan di dalam ruangan tertutup ini dan tekanan ini
diteruskan ke saraf dan pembuluh darah. Akibatnya bisa
terjadi gangguan sirkulasi atau gangguan fungsi saraf. Proses
ini biasanya terjadi dalam beberapa jam. Tanda dini yang
timbul biasanya nyeri dan parestesi. Tanda yang lanjut adalah
5P, yaitu: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (nadi
distal tidak teraba), Paresthesia (kesemutan) dan Paralysis
(lumpuh).
7. Cedera Neurovaskuler
Saraf dan pembuluh darah besar biasanya berjalan
berdampingan, umumnya di sisi fleksor dari ekstremitas.
Kedua organ ini dapat mengalami cedera baik karena
robekan oleh ujung tulang maupun oleh karena tekanan dari
hematom atau pembengkakan. Nadi, Motorik dan Sensorik
(PMS) harus selalu diperiksa sebelum dan sesudah

197
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

melakukan manipulasi ekstremitas, pemasangan splint atau


traksi.
2. Pemeriksaan
1. Anamnesa
Penting untuk mengetahui bagaimana pasien bisa mengalami
cedera/biomekanik, sehingga menyebabkan pasien
mengalami cedera ekstremitas. Jika penolong cukup banyak,
anamnesa dapat dilakukan bersamaan dengan primary
survey. Jika jumlah penolong terbatas, untuk mendapatkan
anamnesa secara lengkap jangan dilakukan sebelum
memeriksa adanya gangguan airway, breathing dan
circulation dan mengatasinya.
Anamnesa ini penting dilakukan karena beberapa jenis
mekanisme trauma dapat menyebabkan cedera ekstremitas
yang mungkin tampak tidak jelas pada pemeriksaan awal.
Cedera pada kaki akibat jatuh dari ketinggian sering disertai
dengan fraktur lumbal. Setiap cedera pada lutut pasien yang
sedang dalam posisi duduk dapat juga disertai dengan cedera
pada sendi panggul. Sebaliknya cedera pada panggul dapat
menimbulkan nyeri pada lutut (referred pain), jadi lutut dan
panggul sangat erat kaitannya.
Penderita harus diperiksa bersamaan. Jatuh dengan tumpuan
pergelangan tangan dapat mencederai siku. Demikian juga
cedera pada enkle dapat disertai cedera pada fibula
proksimal. Setiap cedera pada bahu harus diperiksa dengan
cermat karena dapat juga menyebabkan cedera pada leher,
atau dada.
2. Pemeriksaan
Selama melakukan primary survey perhatian kita harus
tertuju pada apakah ada fraktur pada tulang pelvis dan tulang
besar lainnya. Juga adanya perdarahan pada daerah
ekstremitas yang mengalami cedera. Pada waktu secondary

198
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

survey secara cepat lakukan pemeriksaan panjang tungkai,


lihat adanya deformity, contusion, laceration, swelling,
tenderness, instability, dan crepitation.
3. Penanganan
Secara umum penanganan fraktur dan dislokasi bertujuan
untuk mengurangi rasa nyeri, kecacatan dan komplikasi.
Penanganan pra RS ataupun di IGD bertujuan untuk
mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera dengan
menggunakan splint atau bidai yang sesuai.
Tujuan pemasangan bidai/splint untuk mencegah adanya
gerakan pada ujung tulang yang patah. Saraf yang menyebabkan
rasa nyeri pada fraktur ekstremitas terletak didalam membrana
di dekat tulang. Ujung tulang yang patah akan menyebabkan
iritasi saraf dan dapat menimbulkan rasa nyeri yang sangat
hebat. Pemasangan bidai juga bertujuan untuk mencegah
terjadinya kerusakan lebih lanjut pada otot, saraf dan pembuluh
darah.
Pasien yang mengalami cedera serius disamping dilakukan
pemasangan bidai juga dilakukan imobilisasi pada tulang
belakang dengan menggunakan Long Spine Board (LSB). Pada
pasien yang disertai adanya gangguan airway, breathing dan
circulation pemasangan bidai maupun LCB tidak boleh dilakukan
sebelum ABC teratasi.

Gambar 27. Pasien yang terpasang LSB

199
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

1. Penatalaksanaan Cedera Fisik


a. Cedera tulang belakang
Menggunakan alas yang keras dan datar.
b. Cedera pelvis
Penderita dengan cedera pelvis sebaiknya dilakukan
mobilisasi dengan LSB demikian juga apabila hendak
dirujuk, harus menggunakan LSB.
c. Fraktur femur
Bidai udara seperti PASG sangat bermanfaat untuk
mengurangi perdarahan pada fraktur femur.
d. Dislokasi panggul
Panggul yang mengalami dislokasi umumnya dalam
posisi fleksi dan korbannya tidak dapat diluruskan
kakinya. Tungkai biasanya dalam posisi rotasi kedalam
(rotasi interna). Dislokasi panggul sebaiknya
diimobilisasi dalam posisi yang paling nyaman menurut
pasien dengan menggunakan bantal dan dibidai menjadi
satu dengan tungkai yang sehat.
e. Cedera lutut
Fraktur atau dislokasi pada lutut cukup serius mengingat
arteri yang berada diatas maupun dibawah lutut
seringkali mengalami laserasi atau cedera. Oleh karena
itu sangatlah penting untuk memperbaiki sirkulasi
dibawah lutut jika mungkin. Reposisi segera dislokasi
lutut sangat penting. Jika didapatkan hilangnya pulsasi
atau sensasi, penolong harus melakukan traksi dengan
tangan atau bidai traksi. Pemberian beban tarikan
maksimal 5 kg. Gaya dan arah traksi ini harus satu garis
dengan aksis panjang tungkai.
Jika terdapat tahanan pada saat dicoba untuk diluruskan,
jangan dipaksa. Langsung pasang bidai dalam posisi yang
nyaman menurut pasien dan segera dirujuk ke RS dan
konsultasikan ke ahli ortopedi karena keadaan ini
merupakan kegawatdaruratan ortopedi.

200
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

f. Cedera tibia/fibula
Fraktur pada tibia/fibula distal dapat dibidai dengan
bidai kaku/rigid, bidai udara atau dengan bantal. Bidai
pneumatik dapat mengimobilisasi fraktur tibia
proksimal. Menutup luka dan memberikan padding pada
tulang yang menonjol harus dilakukan sebelum
pemasangan bidai.
g. Cedera klavikula
Pada fraktur klavikula dapat diimobilisasi dengan kain
mitela atau pasang ransel perban dengan elastic bandage.
h. Cedera bahu
Dislokasi bahu sangat nyeri dan seringkali dibutuhkan
bantal untuk diletakkan diantara badan dan lengan agar
pasien merasa lebih nyaman. Bahu dalam posisi
abnormal jangan dipaksa untuk dikembalikan ke posisi
normal.
i. Cedera siku
Cedera siku harus selalu dibidai dalam posisi yang paling
nyaman menurut pasien serta fungsi bagian distal lengan
harus dievaluasi dengan cermat. Jangan mencoba untuk
meluruskan siku atau menarik siku yang cedera karena
struktur di daerah bahu yang rumit dan halus.
j. Cedera lengan dan pergelangan tangan
Fraktur pada daerah ini dapat diimobilisasi dengan baik
dengan menggunakan bidai rigid atau bidai udara. Jika
bidai rigid yang digunakan, tambahkan gulungan kassa
pada bidai sehingga tangan akan mengimobilisasi lengan
pada posisi yang optimal. Lengan bawah juga dapat
mengalami perdarahan internal yang dapat
menyebabkan sindroma kompartemen dan akan
mengganggu suplai darah ke jari-jari dan tangan.

k. Cedera telapak tangan dan kaki

201
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Cedera pada tangan dan kaki biasanya merupakan patah


tulang terbuka dan avulsi. Cedera ini mungkin tampak
mengerikan namun jarang mengancam nyawa. Bantal
dapat digunakan untuk membidai cedera ini. Caranya
adalah dengan membungkus seluruh tangan dengan
gulungan kassa, sehingga tangan seperti bola yang
dibungkus oleh kassa yang sangat besar. Dengan
mengelevasi tangan atau kaki yang cedera diatas level
jantung akan mengurangi perdarahan.

202
BAB 13
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN TRAUMA KEPALA, TRAUMA
ABDOMEN, TRAUMA DADA DAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, GM, Butcher, HK, Dotchterman, JM, & Wagner C., (2013)
Nursing interventions classification (NIC) Sixth Edition, Elsevier
Mosby.
Farrell, SE. (2014). Acetaminophen toxicity. Diakses tanggal 4
Februari 2015 dari http://emedicine.medscape.com
Gresham, C. (2014). Hydrogen sulfide toxicity. Diakses tanggal 4
Februari 2015 dari http://emedicine.medscape.com
Herdman, H. (2014). NANDA international nursing diagnoses:
definition & classification, 2015-2017. Wiley-Blackwell, Oxford.
Levine, MD. (2014). Alcohol toxicity. Diakses tanggal 4 Februari
2015 dari http://emedicine.medscape.com
Marcus, S. (2014). Arsenic toxicity. Diakses tanggal 4 Februari 2015
dari http://emedicine.medscape.com
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., & Swanson, E., (2013), Nursing
outcomes classification (NOC) Fifth Edition, Mosby, St.Louis
Missouri.
Shochat, GN. (2015). Carbon monoxide toxicity. Diakses tanggal 4
Februari 2015 dari http://emedicine.medscape.com
Tim YAGD. (2010). Basic Trauma Life Support & Basic Cardiac Life
Support. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat
Darurat 118

203
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

PROFIL PENULIS
Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep
Dosen Program Studi Keperawatan
Program Sarjana Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Kusuma Husada Surakarta.
Penulis lahir di Sukoharjo tanggal 17
Agustus 1979. Penulis adalah Dosen Tetap
pada Fakultas Ilmu Kesehatan, Program
Studi Keperawatan Program Sarjana, di
Universitas Kusuma Husada Surakarta. Menyelesaikan
pendidikan D3 Keperawatan di Akper ST. Elisabeth Semarang,
melanjutkan Pendidikan S1 pada jurusan Ilmu Keperawatan di
Universitas Diponegoro Semarang dan melanjutkan Pendidikan
S2 pada jurusan Ilmu Keperawatan dengan peminatan
Keperawatan Kritis, di Universitas Padjajaran Bandung.

204
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN
KEGAWATAN INTOKSIKASI
MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA
Ns. Mariza Elvira, S.Kep., M.Kep
Universitas Negeri Padang

A. Kegawatan Intoksikasi Makanan


1. Pengertian
Keracunan makanan adalah suatu penyakit yang terjadi
setelah menyantap makanan yang mengandung racun, berasal
dari bahan beracun yang terbentuk akibat pembusukan makanan
dan bakteri.
Keracunan makanan juga dapat diartikan sebagai keadaan
darurat yang diakibatkan masuknya suatu zat atau makanan ke
dalam tubuh melalui mulut yang mengakibatkan bahaya bagi
tubuh disebut sebagai keracunan makanan.
Keracunan makanan adalah keracunan yang terjadi akibat
menelan makanan atau air yang mengandung bakteri, parasit,
virus, jamur atau yang telah terkontaminasi racun.
2. Etiologi
Keracunan makanan dapat disebabkan oleh pencemaran
bahan-bahan kimia beracun, kontaminasi zat-zat kimia, mikroba,
bakteri, virus dan jamur yang masuk ke dalam tubuh manusia
(Suarjana, 2013). Beberapa jenis makanan yang sering
mengakibatkan keracunan, antara lain: keracunan botulinum,
bongkrek, jamur, jengkol, ikan laut, singkong dan lain sebagainya.
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Manifestasi Klinis
Akibat keracunan makanan bisa menimbulkan gejala pada
sistem saraf dan saluran cerna. Tanda gejala yang biasa terjadi
pada saluran cerna adalah sakit perut, mual, muntah, bahkan
dapat menyebabkan diare. Tanda gejala yang biasa terjadi pada
sistem saraf adalah adanya rasa lemah, kesemutan (parastesi),
dan kelumpuhan (paralisis) otot pernafasan.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bermanfaat dalam diagnosis
toksikologi adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium: Pada pemeriksaan
laboratorium biasanya dilakukan tes darah, tes urin, tes
kondisi tinja, dan pemeriksaan parasit. Tes-tes ini bertujuan
untuk mengetahui jenis organisme penyebab terjadinya
keracunan. Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat
dilakukan di layanan kesehatan primer yang memiliki
fasilitas, misalnya: pemeriksaan mikroskopis feses untuk
keberadaan telur cacing dan parasit; pewarnaan Gram, KOH
dan metilenblue Loeffler untuk membantu membedakan
antara penyakit invasif dan non-invasif (PMK No. 5 Tahun
2014).
2. Gas Darah Arteri: Hipoventilasi akan menyebabkan
peningkatan PCO2 (hiperkapnia). PO2 dapat rendah dengan
aspirasi pneumonia atau obat-obat yang menginduksi edema
paru. Oksigenisasi jaringan . yang kurang akibat hipoksia,
hipotensi. Atau keracunan sianida akan menghasilkan
asidosis metabolik. PO2 hanya mengukur oksigen yang larut
dalam plasma dan bukan merupakan total oksigen dalam
darah. karena itu pada keracunan karbon monoksida
mungkin PO2 tampak normal meskipun ada defisiensi
oksihemoelobin yang nyata dalam darah.

206
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

3. Uji Fungsi Ginjal: Beberapa toksin mempunyai efek


nefrotoksik; dalam kasus lain, gagal ginjal merupakan akibat
syok, koagulasi intravaskular yang menyebar (disseminated
irrtravascular coagulation, DTC), atau mioglohinuria. Tingkat
kadar nitrogen urea darah dan kreatinin harus diukur dan
dilakukan urinalisis.
4. Osmolalitas Serum: Perhitungan osmolalitas serum
terutama bergantung pada natrium serum, glukosa serum
serta nitrogen urea darah.
5. Elektrokardiogram: Pelebaran lama kompleks QRS yang
lebih besar dari 0,1 detik adalah khas untuk takar lajak
antidepresan trisiktik dan kuinidin.
6. CT-Scan: fotopolos abdomen mungkin berguna, karena
beberapa tablet, khususnya besi dan kalium, dapat berbentuk
radiopaque. Foto toraks dapat menunjukkan pneumonia
aspirasi, pneumonia hidrokarbon, atau edema paru. Bila
dicurigai adanya trauma kapitis, dianjurkan untuk
pemeriksaan CT-scan.
5. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Pertolongan pertama keracunan makanan yang dapat
dilakukan adalah dengan mengupayakan penderita untuk
memuntahkan makanan yang telah dikonsumsi penderita. Cara
yang bisa dilakukan untuk merangsang muntahan adalah dengan
memberikan minuman susu. Selain itu, cara yang bisa dilakukan
adalah dengan meminum segelas air yang telah dicampur dengan
satu sendok teh garam dan berikan minuman teh pekat.
Menurut Noriko (2013) tanaman teh memiliki potensi
sebagai anti bakteria karena mengandung bioaktif yaitu senyawa
tanin. Tanin adalah senyawa fenolik yang terkandung dalam
berbagai jenis tumbuhan hijau dengan kadar yang berbeda-beda.
Manfaat tanin selain anti bakteria adalah sebagai antiseptik dan
mempunyai sifat sebagai agent pengkelat logam karena adanya

207
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

pengaruh fenolik. Pengaruh fenolik bisa memberikan antioksidan


bagi tubuh.
Pertolongan pertama keracunan makanan adalah dengan
minum air putih yang banyak, pemberian larutan air yang telah
dicampur dengan garam. Pertolongan pertama yang bisa
dilakukan adalah dengan mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang akibat muntah atau diare. Menghindari terjadinya
dehidrasi pada korban segera berikan air minum dan larutan
elektrolit yang banyak untuk korban (Sentra informasi
keracunan nasional BPOM, 2015).
Cairan elektrolit dapat diperoleh dari air kelapa. Air kelapa
murni tanpa tambahan gula sedikit menginduksi urinisasi,
sedangkan air kelapa yang ditambah dengan gula banyak
menginduksi urinisasi. Penyebab banyaknya menginduksi
urinisasi adalah karena konsentrasi gula yang tinggi, sehingga
absobsi air menjadi lambat dan urinisasi meningkat.
Penatalaksanaan umum kedaruratan keracunan antara lain:
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan, setiap kasus
keracunan harus diperlakukan seperti keadaan kegawatan
yang mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda-tanda
vital seperti jalan napas, sirkulasi, dan penurunan kesadaran
harus dilakukan secara cepat.
2. Resusitasi
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa
pernafasan dan nadi. Berikan cairan intravena, oksigen, hisap
lendir dalam saluran pernafasan, hindari obat-obatan
depresan saluran nafas, kalau perlu respirator pada
kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari mulut
ke mulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat
mulut penolong. Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan
meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve – mask.

208
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

3. Pemberian cairan intravena untuk pasien penurunan


kesadaran
Penderita keracunan makanan yang parah dan mengalami
dehidrasi harus mendapatkan perawatan lanjutan. Dokter
biasanya akan memberikan cairan melalui intravena atau
infus. Cairan ini bisa menggantikan cairan tubuh yang hilang
serta menjaga agar tubuh tidak terlalu lemah. Jika dokter
memberikan obat-obatan maka bisa dilakukan secara
langsung lewat cairan infus.
4. Pemberian norit/zat karbon aktif
Menurut para ahli makanan dan dokter, pertolongan pertama
yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan karbon
aktif atau arang aktif ke korban. Di pasaran, ada arang aktif
yang dijual. Salah satu yang terkenal norit.
Tablet berwarna hitam ini punya sifat arang aktif yang
mampu menyerap apapun yang ada di sekitarnya, termasuk
racun. Semakin banyak yang dimakan, semakin banyak racun
yang diserap. Hanya saja, norit cuma menyerap racun yang
masih di saluran pencernaan dan belum ikut beredar dalam
darah.
Meskipun norit mampu menyerap banyak racun, norit
nyatanya juga menyerap zat gizi dan vitamin yang terdapat
pada makanan. Oleh karena itu, saat menegakkan norit,
korban juga harus terus diberikan minum air putih untuk
menggantikan zat yang ikut terserap norit. AC diberikan
dalam dosis 50 gram pada orang dewasa dan 1 g/kg
(maksimal 50 gram) pada anak-anak. Kontraindikasi
pemberian norit adalah sebagai berikut:
a. Wanita yang merencanakan kehamilan, wanita hamil,
wanita menyusui, anak-anak, serta lansia dianjurkan
untuk berkonsultasi kepada dokter sebelum
mengonsumsi jenis obat ini.

209
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

b. Penderita yang mengalami pendarahan, penyumbatan,


atau memiliki lubang pada sistem pencernaan.
c. Penderita yang sedang mengalami dehidrasi.
d. Penderita yang baru melalui prosedur operasi.
e. Penderita yang sedang berada pada kondisi tidak sadar
atau penurunan kesadaran.
f. Penderita dengan proses pencernaan yang lambat.
g. Penderita yang sedang mengonsumsi obat-obatan lain di
saat yang bersamaan.
h. Penderita yang memiliki alergi terhadap jenis obat-
obatan ini atau pada pengawet dan pewarna makanan
serta hewan.
Bila norit tak tersedia, kita bisa menggantikannya dengan
susu. Susu memiliki kelebihan mengikat racun yang ada
dalam tubuh agar tak beredar dalam tubuh. Susu juga bisa
merangsang muntah sehingga makanan beracun bisa ikut
keluar.
5. Kumbah Lambung
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun, atau pada penderita yang tidak
kooperatif. Hasil paling efektif bila kumbah lambung
dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan. Pada koma
derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung
sebaiknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa
endotrakeal berbalon untuk mencegah aspirasi pneumonia.
6. Pemberian antidot/penawar
Tidak semua racun ada penawarnya sehingga prinsip utama
adalah mengatasi keadaan sesuai dengan masalah. Atropin
sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh
pada tempat penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1 - 2,5 mg.

210
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menit


sampai timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah,
mulut kering, takikardi, midriasis, febris dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit
selanjutnya setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam.
Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan
rebound effect berupa edema paru dan kegagalan
pernafasan akut yang sering fatal.
7. Pemberian antibiotik
Untuk beberapa kasus keracunan makanan yang disebabkan
oleh bakteri maka perlu dibantu dengan obat antibiotik. Obat
ini harus diberikan oleh dokter yang merawat. Biasanya
penderita yang terlihat parah seperti diare dan muntah akut
harus menerima obat antibiotik ini. Selain itu penderita juga
harus mendapatkan cairan pengganti lewat infus. Beberapa
jenis obat harus diberikan sesuai dengan penyebabnya,
berikut beberapa terapi yang sering diberikan oleh dokter:
a. Ciprofloxacin (Cipro)
b. Norfloksasin (Noroxin)
c. Trimetoprim / sulfametoksazol
d. Doxycycline
e. Rifaximin (Xifaxan, RedActiv, Flonorm)
8. Penilaian Klinis
Upaya yang paling penting adalah anamnese atau
aloanamnesis yang rinci. Beberapa pegangan anamnesis yang
penting dalam upaya mengatasi keracunan, ialah:
a. Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat
yang digunakan, termasuk yang sering dipakai
b. Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan
petugas tentang obat yang digunakan.

211
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

c. Tanyakan dan simpan sisa obat dan muntahan yang


masih ada untuk pemeriksaan toksikologi
d. Tanyakan riwayat alergi obat atau syok anafilaktik
Pada pemeriksaan fisik diupayakan untuk menemukan
tanda/kelainan fungsi autonom yaitu pemeriksaan tekanan
darah, nadi, ukuran pupil, keringat, air liur, dan aktivitas
peristaltik usus.
9. Terapi suportif, konsultasi, dan rehabilitasi
Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus
dilihat secara holistik dan efektif dalam biaya.

Jangan berikan sirup ipecac atau melakukan apa saja untuk


memancing muntah. Kelompok ahli, termasuk American
Association of Poison Control Centers dan American Academy of
Pediatrics, tidak lagi mendukung penggunaan ipecac pada anak-
anak atau orang dewasa yang telah menelan pil atau zat
berpotensi beracun lainnya. Tidak ada bukti baik yang
membuktikan efektivitas penggunaan sirup tersebut dan
dampaknya seringkali lebih berbahaya. Penatalaksanaan
keperawatan pasien keracunan meliputi:
1. Penatalaksanaan syok bila terjadi.
2. Pantaulah tanda vital secara berkala.
3. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Bantu mendapatkan spesimen darah, urine, isi lambung dan
muntah.
5. Pantau dan atasi komplikasi seperti hipotensi dan kejang.
6. Bila pasien merasa mual dan ingin muntah, anjurkan untuk
memiringkan kepalanya ke samping.
7. Kompres hangat pada perut. Hal ini akan meringankan kejang
dan nyeri di perut dan kecenderungan untuk muntah.

Prinsip tindakan kegawatdaruratan pada korban keracunan


pangan antara lain :

212
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

1. Tindakan untuk menolong jiwa korban


Keadaan korban saat ditemukan, apakah korban sadar,
kesadarannya menurun, atau tidak sadar sama sekali (koma
atau shock) atau delirium (rebut) atau malah kejang-kejang,
perlu mendapat prioritas pertama dalam menolong korban.
Apabila koma, maka dalam koma biasanya memberi derajat
keracunannya, apakah korban hanya seperti mengantuk,
sopor, sopor rakomatus atau benar-benar sudah koma.
Korban yang dengan koma dan bersuara seperti mendengkur
harus hati-hati karena itu menunjukkan dalamnya koma.
Tindakan yang dapat dilakukan pada keadaan ini adalah:
a. Tidurkan terlentang dengan kepala dimiringkan
b. Bersihkan jalan nafas, termasuk mulut, hidung dan
bagian belakang mulut dari lender, muntahan, ludah, dan
sisa racun kalau ada.
c. Kirim segera ke Rumah Sakit sambil teru menolong
pernafasannya dengan nafas buatan kalau perlu.
Pengiriman ke rumah sakit sebaiknya disertai bahan yang
dapat dianalisa untuk menunjukkan jenis racunnya,
seperti muntahan, sisa racun, tempat menyimpan racun
yang diperkirakan (botol dan lain-lain).

Gejala keracunan yang mungkin saja muncul beserta


tindakan yang dapat dilakukan untuk menolong korban di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hiperaktifitas dan delirium (ribut)
Gejala ini timbul karena racun tertentu. Penderita ini akan
sulit diatur. Tindakan yang perlu dilakukan ialah:
a. Lindungi penderita dari trauma fisik seperti jatuh,
memukul dan merusak sekitarnya
b. Kirim segera ke rumah sakit
2. Shock

213
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Keracunan dengan gejala shock terjadi tiba-tiba karena


terjadinya kekurangan darah di otak (hipoksia), pernafasan
terganggu berat, bau tidak enak yang menyengat. Shock
primer dan bila berlanjut akan menjadi shock sekunder, yang
gejalanya antara lain: pucat, dingin, kebiruan, berkeringat,
nadi cepat, dan tekanan darah terus menurun (nadi tak
teraba). Tindakan gawat darurat ini meliputi:
a. Tidurkan dengan kepala lebih rendah
b. Sambil dilakukan pertolongan pernafasan segera dikirim
ke Rumah Sakit terdekat
3. Kejang-kejang
Makanan atau bahan-bahan beracun tertentu dapat
menyebabkan kejang misalnya: amfetamin, strichnin,
metazol dan DDT. Kejang sangat berbahaya bagi penderita
karena dapat berakibat lumpuhnya pernafasan. Tindakan
yang dapat dilakukan:
a. Lakukan pertolongan dengan sesedikit mungkin
merangsang korban dengan manipulasi, rangsang sinar
cahaya
b. Kirim segera ke Rumah Sakit
4. Tindakan gawat darurat sesuai keracunannya
Keracunan lewat mulut dapat terjadi pada kecelakaan
misalnya, salah minum obat, keracunan makanan tertentu
(jamur, singkong, kacang-kacangan, makanan yang sudah
basi), menelan bensin, menelan cat dan lain sebagainya.
Dapat juga terjadi pada usaha bunuh diri atau pembunuhan
misalnya dengan obat tikus, obat nyamuk misalnya DDT,
baygon, endrin dan sebagainya. Penanganannya adalah
sebagai berikut:
a. Tidurkan korban terlentang dengan kepala miring
b. Lakukan usaha untuk memuntahkan dengan menyentuh
dinding belakang faring. Jangan lakukan ini pada

214
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

keracunan bahan-bahan korosif dan korban yang tidak


sadar atau delirium (ribut)
c. Beri bahan adsorben seperti, arang aktif (norit), susu
(bubuk)
d. Kirim segara ke Rumah Sakit beserta bahan, tempat
bahan yang dicurigai dan muntahannya.
5. Mencegah absorbsi racun lebih lanjut
Pada keracunan peroral, memuntahkan racun yang sudah
terlanjur ditelan dapat dilakukan dengan menyetuh dinding
faring atau dengan cara memberikan emetika. Tindakan ini
diberikan pada penderita yang sadar. Pada penderita koma
stupor atau delirium tindakan ini dapat menyebabkan
aspirasi isi lambung ke paruparu. Upaya mencegah
diabsorbsinya racun lebih lanjut dapat diusahakan untuk
diabsorpsi oleh bahan-bahan tertentu, seperti arang yang
sudah diaktifkan, resins, kaolin, dan susu yang sudah
dievaporasi.

B. Kegawatan Intoksikasi Obat


1. Pengertian
Keracunan obat adalah kondisi yang disebabkan oleh
kesalahan dalam penggunaan obat, baik dosis yang berlebihan
maupun kesalahan dalam mengombinasikan obat. Gejala dan
cara mengatasi keracunan obat dapat berbeda tergantung pada
jenis obat yang dikonsumsi.
2. Manifestasi Klinis
Gejala keracunan obat bisa berbeda-beda, tergantung pada
jenis dan dosis obat yang dikonsumsi, serta kondisi kesehatan
orang tersebut ketika mengonsumsi obat. Gejala keracunan obat
juga sering kali berupa efek samping obat tersebut, namun
dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi.
Beberapa gejala umum yang dapat muncul pada seseorang
yang mengalami keracunan obat adalah sebagai berikut :

215
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

1. Gangguan pencernaan, seperti mual, muntah atau muntah


darah, sakit perut, diare, dan perdarahan pada saluran cerna
2. Nyeri dada
3. Detak jantung lebih cepat (dada berdebar)
4. Sulit bernapas atau sesak napas
5. Pusing atau sakit kepala
6. Kejang
7. Penurunan kesadaran, bahkan hingga koma
8. Kulit atau bibir kebiruan
9. Hilang keseimbangan
10. Kebingungan atau gelisah
11. Halusinasi
Gejala keracunan obat dapat berbeda, sesuai jenis obat yang
menyebabkan keracunan. Sebagai contoh, seseorang yang
keracunan obat opioid akan mengalami gejala dan tanda klinis
seperti pupil mata mengecil, napas melambat, lemas, mual,
muntah, perubahan detak jantung, dan menjadi kurang waspada.
Sedangkan keracunan paracetamol dapat menimbulkan gejala
mengantuk, kejang, sakit perut, mual, muntah, kerusakan
hati, hingga koma. Kelebihan dosis paracetamol sangat
berbahaya, dan biasanya baru muncul tiga hari setelah obat
dikonsumsi.
3. Pertolongan Pertama pada Keracunan Obat
1. Cek denyut nadi, pola napas, dan saluran pernapasannya.
Lakukan resusitasi jantung paru atau RJP, yaitu pemberian
napas buatan dan penekanan pada dada, bila penderita tidak
merespon ketika dipanggil, tidak bernapas, tidak terdengar
detak jantung, serta tidak teraba denyut nadi.
2. Jangan biarkan atau menyuruh penderita muntah, kecuali
petugas medis menyarankan demikian.
3. Jika penderita muntah dengan sendirinya, segera bungkus
tangan Anda dengan kain, lalu bersihkan jalan napas
(tenggorokan dan mulut) orang tersebut dari muntahan.

216
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

4. Sebelum paramedis datang, baringkan tubuh penderita


menghadap ke kiri, dan buatlah penderita berada pada posisi
yang cukup nyaman.
5. Jangan memberikan penderita makanan atau minuman
apapun yang dianggap mampu menetralisir racun, seperti
cuka, susu, atau jus lemon.
6. Jika penderita tidak sadarkan diri, jangan memberikan atau
memasukkan apa pun ke dalam mulutnya.

C. Kegawatan Intoksikasi Binatang Berbisa


1. Pengertian
Keracunan dan gigitan binatang berbisa adalah terjadinya
keracunan akibat gigitan binatang berbisa. kondisi kedaruratan
yang sering terjadi di masyarakat kita.
2. Penyebab
1. Gigitan serangga
2. Gigitan ular
3. Sengatan ikan laut beracun

3. Manifestasi Klinis
1. Gejala awal terdiri dari satu atau lebih tanda bekas gigitan
ular atau binatang berbisa lainnya
2. Rasa terbakar
3. Nyeri dan terjadi pembengkakan lokal yang progresif
4. Gatal dan mati rasa
5. Fasikulasi otot fasial
6. Setalah dua hari dapat muncul gejala pendarahan pada
selaput tipis atau lender pada rongga mulut, gusi, bibir,
selaput lendir hidung, tenggorokan atau dapat juga pada pori-
pori seluruh tubuh
7. Hematuria
8. Pusing
9. Menggigil

217
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

10. Keluar keringat yang banyak


11. Lemah, denyut nadi kecil
12. Pernafasan pendek
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia
darah, hitung sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan
uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, hitung
trombosit, urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan
fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan,
danwaktu retraksi bekuan.
5. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Pada penderita yang terkena sengatan atau gigitan binatang
berbisa, terutama ular, tindakan yang perlu dan dapat dilakukan:
1. Penderita segera dibaringkan
2. Jangan diberi alkohol atau minuman yang mengandung
alkohol
3. Pasang torniket diatas gigitan antara kaki atau tangan dengan
jantung. Pulsa di bawah torniket jangan sampai hilang, dan
torniket dibuka selama 30 detik setiap 15 menit. Alternatif
lain dengan dibalut yang kuat
4. Dinginkan bagian diatas luka gigitan dengan es batu
5. Penderita segera dibawa ke rumah sakit.

218
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

DAFTAR PUSTAKA
Doheny K. Most common foods for foodborne illness: CDC report.
Medscape Medical News. January 30, 2013.
Krisanty, dkk. (2011). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Trans Info Media.
Lee JH, Shin H, Son B, Ryu S. Complete genome sequence of Bacillus
cereus bacteriophage BCP78. J Virol. Jan 2012;86(1):637-8.
Logan NA. Bacillus and relatives in foodborne illness. J Appl
Microbiol. Mar 2012;112(3):417-29.
Nekada, C. D. ., Amestiasih, T., & Widayati, R. W. (2020). Manfaat
Edukasi Penanganan Keracunan Dan Gigitan Binatang Beracun.
Jurnal Formil (Forum Ilmiah) Kesmas Respati, 5(2), 119. https:
// doi.org/ 10. 35842/ formil. v5i2.325
Niasari, N. Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri. 2015. Vol.5, No.3. Hal
:92-98
Noriko N, 2013. Potensi Daun Teh (Camellia sinensis) Dan Daun
Anting-Anting Acalyphaindica L. Dalam Menghambat
Pertumbuhan Salmonella typhi.Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Sains Dan Teknologi. 2(2): 104-110
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer
Pratama, GY., Oktafany. Gigitan Ular pada Regio Manus Sinistra.
Jurnal Medula Unila. 2017, Volume 7, Nomor 1.
SAFITRIH, L., Kusuma, A. M., & Wibowo, M. I. N. A. (2017). Angka
Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto Tahun
2012–2014. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan,
26(3), 175–180.
https://doi.org/10.22435/mpk.v26i3.4214.175-180
Sartono. (2012). Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika.
Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM. Penatalaksanaan

219
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

akibat gigitan ular berbisa. 2015


Smeltzer, Suzanne C., & Bare, Brenda G. (2013). Buku Ajar:
Keperawatan Medikal Bedah, vol: 3. Jakarta: EGC.
Suarjana, I Made., dan A.A. Gde Agung. (2013). Kejadian Luar Biasa
Keracunan Makanan. Jurnal Skala Husada. Vol. 10 No 2
September 2013 : 144 – 148.

220
BAB 14
KONSEP PERTOLONGAN KEGAWATAN INTOKSIKASI MAKANAN, OBAT DAN
BINATANG BERBISA

PROFIL PENULIS
Penulis merupakan Dosen pada
Jurusan Keperawatan Fakultas
Psikologi dan Kesehatan, Universitas
Negeri Padang (UNP). Menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Atas di
SMA Negeri 1 Rao Kabupaten Pasaman
(2003-2006), pendidikan Sarjana
Keperawatan (2007-2011) dan Profesi
Ners (2011-2012) pada Program Studi
Ilmu Keperawatan STIKes Perintis
Padang, pendidikan Magister
Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Andalas (2014-2016). Selama menjadi dosen, penulis aktif dalam
menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi. Penulis juga aktif
mengikuti berbagai pelatihan dan kegiatan orasi ilmiah untuk
pengembangan diri. Berbagai karya ilmiah telah dihasilkan baik
dalam bentuk buku, HKI maupun artikel ilmiah pada jurnal
nasional dan jurnal internasional.

Email Penulis: mariza_elvira@fik.unp.ac.id.

221
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN
PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN DAMPAK
BURUK BENCANA
Ns. Hidayati, S.KM., M.MKes.
Universitas Negeri Padang

Semua orang mempunyai risiko terhadap potensi bencana,


sehingga penanganan bencana merupakan urusan semua pihak
(everybody’s business). Oleh sebab itu, perlu dilakukan berbagi
peran dan tanggung jawab (shared responsibility) dalam
peningkatan kesiapsiagaan di semua tingkatan, baik anak,
remaja, dan dewasa. Seperti yang telah dilakukan di Jepang,
untuk menumbuhkan kesadaran kesiapsiagaan bencana.
Gambaran tren bencana global ke depan juga cenderung
akan meningkat karena pengaruh beberapa faktor, seperti
Meningkatnya jumlah penduduk, Urbanisasi, Degradasi
lingkungan, Kemiskinan, dan Pengaruh perubahan iklim global.
Secara umum, faktor utama banyaknya korban jiwa,
kerusakan, dan kerugian yang timbul akibat bencana adalah
masih kurangnya pemahaman dan kesadaran. masyarakat serta
pelaku pengelola sumber daya hayati dan lingkungan terhadap
risiko bencana di wilayahnya. Selain itu, dukungan mitigasi
struktural yang belum memadai juga menjadi faktor tak
terpisahkan. Hal ini mengakibatkan kesadaran, kewaspadaan,
dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana masih sangat
kurang.
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA

Belajar dari pengalaman beberapa negara maju yang rawan


bencana seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan,
dan beberapa negara di Eropa, bahwa secara umum, kesadaran,
kewaspadaan dan kesiapsiagaan telah tumbuh serta berkembang
melalui pendidikan dan pelatihan secara teratur dan
berkesinambungan sehingga dampak buruk dari bencana dapat
diminimalisir (dihindarkan)
Pada pendidikan dan pelatihan disosialisasikan tentang pra
bencana meliputi pencegahan, mitigasi dan persiapan dalam
menghadapi bencana sehingga pada saat bencana masyarakat
yang terdampak sudah mampu melakukan langkah-langkah yang
sudah diajarkan melalui sosilaisasi tersebut.
Jadi kalau berbicara tentang pengurangan dampak buruk
bencana dalam hal ini menekan korban jiwa agar tidak banyak
maka diperlukan kerjasama yang solid antara masyarakat,
pemerintah, stolholder dan semua pihak yang terkait menjadi
masyarakat yang sadar bencana. Secara umum, Siklus
penanggulangan bencana dapat di lihat pada gambar berikut.

Gambar 28. Siklus Penanggulangan Bencana

223
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

A. Tahap Pencegahan dan Mitigasi Bencana


Komitmen Pemerintah Indonesia dalam Pengurangan Risiko
Bencana dituangkan melalui terbitnya Undang - undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU
tersebut disebutkan secara jelas bencana dan rawan bencana,
yaitu: (1) bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis; dan (2) rawan bencana adalah
kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai
kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya tertentu.
Pasal 26, UU nomor 24 tahun 2007 menyatakan prioritas
pengurangan resiko bencana perlu dimasukkan ke dalam sektor
pendidikan, di mana setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan, pelatihan,dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi
bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Melalui
pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana baik secara
formal dan non formal, diharapkan budaya aman dan
kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat terus dikembangkan.
Dengan memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana
diharapkan setiap orang mampu untuk mengurangi ancaman dan
kerentanan dalam menghadapi bencana melalui: a) pengenalan
dan pemantauan risiko bencana; b) partisipatisi dalam
perencanaan penanggulangan bencana; c) pengembangan
budaya sadar bencana: d) peningkatan komitmen terhadap

224
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA

pelaku penanggulangan bencana; dan e) penerapan upaya fisik,


non-fisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.
1. Pecegahan
Pencegahan (prevention) merupakan serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencana (UU No. 24 tahun
2007). Misalnya: melarang pembakaran hutan dalam
perladangan dan melarang penambangan batu di daerah yang
curam. Apabila tidak dipatuhi maka akan di pidana sesuai dengan
aturan yang berlaku.
Tindakan Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain
adalah :
1. Membuat peta daerah bencana
2. Mengadakan dan mengaktifkan isyarat-isyarat tanda bahaya
3. Menyusun rencana umum tata ruang
4. Menyusun perda mengenai syarat keamanan, bangunan
pengendalian limbah
5. Mengadakan peralatan/perlengkapan operasional PB
6. Membuat prosedur tetap, petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis
7. Perbaikan kerusakan lingkungan
2. Mitigasi
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana
(UU No. 24/2007). Terdapat 2 bentuk mitigasi yaitu mitigasi
struktural (membuat chekdam, bendungan, tanggul sungai, dll.)
dan mitigasi non struktural (peraturan, tata ruang, pelatihan)
termasuk spiritual. Beberapa upaya mitigasi antara lain adalah:
1. Menegakkan peraturan yang telah ditetapkan.
2. Memasang tanda-tanda bahaya/larangan.

225
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

3. Membangun Pos-pos pengamanan

B. Tahap Kesiapsiagaan Bencana


Hasil survei di Jepang, pada kejadian gempa Great Hanshin
Awaji 1995, menunjukkan bahwa presentase korban selamat
disebabkan oleh Diri Sendiri sebesar 35%, Anggota Keluarga 31,9
%, Teman/Tetangga 28,1%, Orang Lewat 2,60%, Tim SAR
1,70 %, dan lain-Lain 0,90%. Berdasarkan ilustrasi tersebut,
sangat jelas bahwa faktor yang paling menentukan adalah
penguasaan pengetahuan yang dimiliki oleh “diri sendiri” untuk
menyelamatkan dirinya dari ancaman risiko bencana. Kemudian,
diikuti oleh faktor bantuan anggota keluarga, teman, bantuan Tim
SAR, dan di sekelilingnya. Maka, edukasi untuk meningkatkan
pemahaman risiko berdesain tema Latihan Kesiapsiagaan
Bencana Siap, Untuk Selamat! Merupakan pesan utama bersama
yang akan didorong dalam proses penyadaran (awareness)
dalam peningkatan kemampuan diri sendiri.
Proses penyadaran tersebut berguna agar setiap orang
dapat memahami risiko, mampu mengelola ancaman dan pada
gilirannya dapat berkontribusi dalam mendorong ketangguhan
masyarakat dari ancaman bahaya bencana. Di samping itu, kohesi
sosial, gotong royong, dan saling percaya merupakan nilai
perekat modal social yang telah teruji dan terus dipupuk, baik
kemampuan perorangan dan masyarakat secara kolektif, untuk
mempersiapkan, merespon dan bangkit dari keterpurukan akibat
bencana.
Sebagai suatu proses ketahanan sosial dan budaya sadar
bencana dalam jangka panjang di butuhkan ketangguhan dari
masyarakat. Bene et al, 2012 dalam Buku pedoman Latihan
Kesiapsiagaan Bencana, mengisyaratkan tiga elemen
ketangguhan yaitu: kapasitas meredam ancaman (absorptive)
yang menghasilkan persistensi, kemampuan beradaptasi
(adoptive) yang menghasilkan penyesuaian perlahan dan

226
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA

berjangka panjang dan kapasitas bertransformasi


(transformative) yang menghasilkan respon-respon
transformasional.
Salah satu upaya mendasar untuk meningkatkan
kewaspadaan dan kesadaran menumbuhkan budaya siaga adalah
melalui latihan kesiapsiagaan. Jenis-jenis latihan kesiapsiagaan
yang dapat dilakukan antara lain (i) Aktivasi Sirine Peringatan
Dini, (ii) Latihan Evakuasi Mandiri di Sekolah/Madrasah, Rumah
Sakit Siaga Bencana, gedung bertingkat, dan pemukiman. (iii) Uji
Terap Tempat Pengungsian Sementara/Akhir se Indonesia.
Latihan kesiapsiagaan yang dilaksanakan secara khusus, juga
melibatkan kelompok rentan, seperti anak-anak, kaum lansia dan
tuna-wisma (homeless), para penyandang disabilitas dan orang
berkebutuhan khusus.
Untuk meningkatkan terus kewaspadaan dan
menumbuhkan budaya siaga bencana di lingkungan masyarakat
maka setiap Tanggal 26 April, kita kenal sebagai Hari
Kesiapsiagaan Bencana dalam rangka memperingati lahirnya
Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007.
Undang-undang ini sangat penting karena mengubah cara
pandang menyikapi bencana yang semula respon menuju
paradigma pengurangan risiko bencana.
Secara umum untuk menumbuhkan sikap siaga bencana
diperlukan latihan kesiapsiagaan. Adapun kegiatan latihan
kesiapsiagaan dibagi menjadi 5 (lima) tahapan utama, yakni
tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta monitoring
dan evaluasi. Kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan.

227
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Gambar 29. Siklus Latihan Kesipasiagaan


1. Tahap Perencanaan
1. Membentuk Tim Perencana
Agar latihan yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan
baik maka pada tahap perencanaan ini harus membentuk tim
perencana dam bentuk organisasi latihan kesiapsiagaan agar
pelaksaaan evakuasi berjalan dengan baik dan teratur. Tim
Perencana terdiri dari pengarah, penanggung jawab, bidang
perencanaan/pengendalian dan bidang operasional
latihan/evaluasi yang ketika pelaksanaan tim perencana
berperan sebagai tim pengendali.
Pengarah, bertanggung jawab memberi masukan yang
bersifat kebijakan untuk penyelenggaraan latihan
kesiapsiagaan, dan dapat memberikan masukan yang bersifat
teknis dan operasional, mengadakan koordinasi, serta
menunjuk penanggung jawab organisasi latihan
kesiapsiagaan.
Penanggung Jawab, membantu pengarah dengan
memberikan masukan-masukan yang bersifat kebijakan,
teknis, dan operasional dalam penyelenggaraan latihan
kesiapsiagaan.
Bidang Perencanaan/Pengendali, merencanakan latihan
kesiapsiagaan secara menyeluruh, sekaligus menjadi
pengendali ketika latihan dilaksanakan.
Bidang Opersional Latihan menjalankan perannya saat
latihan. Yang terdiri dari Peringatan Dini, Pertolongan

228
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA

Pertama, Evakuasi dan Penyelamatan, Logistik serta


Keamanan turut diuji dalam setiap latihan.
Bidang Evaluasi, mengevaluasi latihan kesiapsiagaan yang
digunakan untuk perbaikan latihan ke depannya.
Jumlah anggota tergantung tingkat kompleksitas latihan yang
dirancang. Anggota organisasi bertanggung jawab pada
perencanaan, pelaksanaan, hingga akhir latihan.
Tugas dari tim perencana ini meliputi :
a. Menentukan risiko/ancaman yang akan disimulasikan
b. Menentukan skenario bencana yang akan disimulasikan.
c. Merumuskan strategi pelaksanaan latihan kesiapsiagaan
d. Mengintegrasikan kegiatan simulasi kesiapsiagaan
menjadi kegiatan rutin dalam jangka panjang.
e. Mengintegrasikan kegiatan simulasi kesiapsiagaan
menjadi kegiatan rutin dalam jangka panjang.
f. Menetapkan jadwal kegiatan latihan kesiapsiagaan.
g. Mendukung persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi latihan
h. Menyiapkan kerangka kegiatan simulasi kesiapsiagaan
(tipe simulasi, maksud, tujuan dan ruang lingkup latihan).
2. Menyusun Rencana Latihan Kesiapsiagaan
Menyusun rencana latihan kesiapsiagaan (aktivasi sirine dan
evakuasi mandiri) yang melibatkan populasi di lingkungan
tempat tinggal, kantor, sekolah, area publik, dan lain-lain.
Rencana latihan tersebut berisi:
a. Tujuan, sasaran, dan waktu pelaksanaan latihan
kesiapsiagaan.
b. Jenis ancaman yang dipilih atau disepakati untuk latihan
kesiapsiagaan. Sebaiknya, latihan disesuaikan dengan
ancaman di wilayah masing-masing. Informasi ancaman
bisa dilihat di inarisk.bnpb.go.id
c. Membuat skenario latihan kesiapsiagaan. Skenario
adalah acuan jalan cerita kejadian yang dipakai untuk

229
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

keperluan latihan. Skenario dibuat berdasarkan kejadian


yang paling mungkin terjadi di desa. Skenario perlu
dipahami oleh pelaksana dan peserta yang terlibat dalam
latihan (contoh terlampir).
d. Menyiapkan atau mengkaji ulang SOP/Protap yang sudah
ada yaitu memastikan kembali Memastikan beberapa
area/tempat alternatif yang akan dijadikan sebagai pusat
evakuasi, tempat pengungsian maupun tempat
perlindungan sementara. Tempat tersebut bisa
memanfaatkan bangunan, seperti kantor, sekolah, tempat
ibadah, gedung, dan area terbuka lainnya berdasarkan
keamanan, aksesibilitas, juga lingkungan nlokasi.
e. Menentukan tempat pengungsian yang dipilih setelah
mempertimbangkan kapasitas ketersediaan logistik
(seperti makanan atau minuman, pakaian, obat-obatan
dan peralatan medis, keperluan tidur, peralatan
kebersihan, bahan bakar, dan lain-lain), serta ketersedian
fasilitas umum
f. Menetapkan dan menyiapkan jalur evakuasi, dengan
memperhatikan beberapa hal penting sebagai berikut:
1) Jalur evakuasi yang merupakan rute tercepat dan
teraman bagi pengungsi menunju tempat
pengungsian
2) Rute alternatif selain rute utama
3) Kesesuaian waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tempat pengungsian.
4) Kelengkapan sumber daya termasuk ketersediaan
kendaraan yang dapat digunakan dalam proses
evakuasi. Penting jugamempertimbangkan posisi
kendaraan dan jumlah minimum muatan jika
dibutuhkan.
5) Peta evakuasi berdasarkan hasil survei dan desain
yangmenginformasikan jalur evakuasi, tempat

230
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA

pengungsian dan waktuuntuk mencapainya, jalur


alternatif, lokasi-lokasi aman bencana, serta posisi
posko siaga tim evakuasi.
g. Orientasi sebelum Latihan
1) Sosialisasi untuk mendapat pembelajaran terbaik,
seluruh peserta latih dan pelaksana yang terlibat
perlu memahami tujuan dari latihan. Tidak
dianjurkan membuat latihan tanpa kesiapan yang
baik dari peserta latih maupun pelaksana.
2) Perkenalkan kembali pemahaman risiko bencana di
lingkungan, sebelum dan sesudah latihan dilakukan
3) Sampaikan tujuan latihan, waktu pelaksanaan dan
hal-hal yang perlu dipersiapkan
4) Himbau pentingnya keterlibatan aktif dan keseriusan
semua pihak dalam mengikuti latihan
5) Sampaikan tanda bunyi yang akan digunakan dalam
latihan tanda latihan dimulai, tanda evakuasi, tanda
latihan berakhir). Pastikan seluruh peserta latih
memahami tanda ini.
h. Dalam melaksanakan latihan, yang akan melakukan
simulasi jugadapat mengundang pengamat atau observer
untuk embantumemberikan masukan dan umpan balik
proses latihan, untuk perbaikan kedepan
i. Perencanaan Dokumentasi
2. Tahap Persiapan
Persiapan dilakukan beberapa hari sebelum pelaksanaan
kegiatan latihan kesiapsiagaan. Dalam persiapan ini yang
terutama dilakukan adalah:
1. Briefing-briefing untuk mematangkan perencanaan latihan.
Pihak-pihak yang perlu melakukan briefing antara lain tim
perencana, peserta simulasi, dan tim evaluator/observer.

231
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Informasi penting yang harus disampaikan selama kegiatan


ini, yakni: Waktu: alur waktu dan durasi waktu simulasi yang
ditentukan sesuai PROTAP/SOP simulasi. Batasan Simulasi:
batasan-batasan yang ditentukan selama simulasi, berupa
apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan selama simulasi.
Lokasi: tempat di mana simulasi akan dilakukan. Keamanan:
hal-hal yang harus dilakukan untuk keamanan simulasi dan
prosedur darurat selama simulasi.
2. Memberikan poster, leaflet, atau surat edaran kepada siapa
saja yang terlibat latihan kesiapsiagaan.
3. Menyiapkan gedung dan beberapa peralatan pendukung,
khususnya yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat.
Misalnya, gedung dan fasilitas medis, persediaan barang-
barang untuk kondisi darurat, dan lain-lain.
4. Memasang peta lokasi dan jalur evakuasi di tempat umum
yang mudah dilihat semua orang.
3. Tahap Pelaksanaan
Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan saat latihan
kesiapsiagaan berlangsung:

1. Tanda Peringatan
Tentukan tiga ganda peringatan berikut:
a. Tanda latihan dimulai (tanda gempa)
b. Tanda Evakuasi
c. Tanda Latihan Berakhir
Tanda bunyi yang menandakan dimulainya latihan, tanda
vakuasi, dan tanda latihan berakhir. Tanda mulainya latihan
dapat menggunakan iupan peluit, atau tanda bunyi lainnya.
Tanda ini harus berbeda dengan tanda peringatan dini untuk
evakuasi seperti pukulan lonceng/sirine/megaphone/bel
panjang menerus dan cepat, atau yang telah disepakati.

232
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA

Tanda latihan berakhir dapat kembali menggunakan peluit


panjang.
2. Reaksi Terhadap Peringatan
Latihan ini ditujukan untuk menguji reaksi peserta latih dan
prosedur yang ditetapkan. Pastikan semua peserta latih,
memahami bagaimana harus bereaksi terhadap tanda-tanda
peringatan di atas. Seluruh komponen latihan, harus bahu
membahu menjalankan tugasnya dengan baik.
3. Dokumentasi
Rekamlah proses latihan dengan kamera foto. Jika
memungkinkan, rekam juga dengan video. Seluruh peserta
latih, pelaksanaan maupun yang bertugas, dapat bersama-
sama melihat hal-hal yang baik atau masih perlu diperbaiki,
secara lebih baik dengan rekaman dokumentasi
4. Tahap Monitoring dan Evaluasi serta Rencana
Perbaikan
Evaluasi adalah salah satu komponen yang paling penting
dalam latihan. Tanpa evaluasi, tujuan dari latihan tidak dapat
diketahui, apakah tercapai atau tidak. Dalam mengevaluasi
latihan, beberapa hal berikut ini perlu dipertimbangkan:
1. Apakah peserta memahami tujuan dari latihan?
2. Siapa saja yang berperan aktif dalam latihan?
3. Bagaimana kelengkapan peralatan pendukung latihan?
4. Bagaimana respon peserta latih?
5. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk melakukan
tindakan-tindakan di dalam setiap langkah latihan?
6. Apa hal-hal yang sudah baik dan hal-hal yang masih perlu
diperbaiki?

233
Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

DAFTAR PUSTAKA
UU No 24 Tahun 2007 : Penanggulangan Bencana. (2007). Jakarta.
BNPB. (2017). Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan, Membangun
Kesadaran, Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Dalam
Menghadapi Bencana. Jakarta: BNPB.
Kememkes. (2019). Permenkes No 75 tahun 2019 Penanggulangan
Krisis Kesehatan. Dalam Kemenkes, Penanggulangan Krisis
Kesehatan. Jakarta: Kemenkes.
Kemendikbud, Unicef. (2015). Modul 3 : Pilar3-Pendidikan
Pencegahan dan Penanganan Resiko Bencana. Jakarta:
Kemendikbud.
Kemenkes. (2015). Modul Peningkatan Kapasitas Petugas Kesehatan
dalam Pengurangan Resiko Bencana Internasional. Jakarta:
Kemenkes.
Patricia Kunz Howard and Andi .L.Toley. (2014). Disaster Triage-Are
You Ready? Emergency Nurses Asociation, 515-517.

234
BAB 15
PENDIDIKAN KESEHATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK BURUK BENCANA

PROFIL PENULIS
Hidayati

Penulis merupakan lulusan S1 Unand


kemudian melanjutkan pendidikan S2 di
pasccsarjana Stie Indonesia Malang. Saat ini
penulis aktif sebagai dosen di Universitas
Negeri Padangdan di organisasi PPNI
HIBGABI Sumbar. Untuk mewujudkan karier
sebagai dosen profesional, penulis pun aktif
mengikuti perkembangan ilmu di bidang
kesehatan melalui seminar dan workshop termasuk sebagai
peneliti serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Beberapa penelitian dan pengabdian yang telah dilakukan
didanai oleh internal perguruan tinggi dan juga Kemenristek
DIKTI.
Email Penulis: hidayati@fik.unp.ac.id.

235
View publication stats

Keperawatan
Gawat Darurat
Dan
Manajemen
Bencana
Pokok Pembahasan :
1) Konsep Keperawatan Gawat Darurat;
2) Asuhan Keperawatan Gawat Darurat;
3) Sistem Triage;
4) Konsep, Prinsip Bencana dan Kejadian Luar Biasa;
5) Prosedur Tindakan Kegawatdaruratan;
6) Prosedur Tindakan Bencana;
7) Bantuan Hidup Dasar;
8) Mekanisme Syok dan Resusitasi Cairan;
9) Konsep Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Pernafasan;
10) Konsep Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem
Kardiovaskuler;
11) Konsep Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Pernafasan;
12) Konsep Pertolongan Kegawatan Penyakit Sistem Endokrin;
13) Konsep Pertolongan Kegawatan Trauma Kepala, Trauma Dada,
Trauma Abdomen;
14) Konsep Pertolongan Kegawatan Intoksinasi Makanan, Obat Dan
Binatang Berbisa;
15) Pendidikan Kesehatan Pencegahan dan Penanggulangan
Dampak Bencana.

CV. Pradina Pustaka Grup


Dk. Demangan RT 03 RW 04, Bakipandeyan,
Kec. Baki, Kab. Sukoharjo, Jawa Tengah
Telp : 081915176800
Email : pradinapustaka@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai