Anda di halaman 1dari 16

Kesetaraan Gender dalam Pembagian Warisan: Analisis Kasus Deni Yolanda dan

Relevansinya dengan Hukum Islam

A. LATAR BELAKANG

Pada era perkembangan zaman ini, perempuan mampu berperan setara dengan
laki-laki, meskipun di masa lalu, peran perempuan hanya sebatas pendamping laki-laki
dalam hal memberi nafkah. Fenomena sosial saat ini menunjukkan bahwa banyak
perempuan yang menjadi pokok acuan ekonomi dalam keluarga. Perubahan sosial ini
memunculkan bias gender dalam keinginan perempuan untuk menyamakan pembagian
harta warisan dengan laki-laki. Harta waris, dalam konteks hukum Islam, merupakan
aturan mengenai perpindahan hak milik yang mencakup harta seseorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Istilah lain untuk waris adalah faraidh, yang
merujuk pada bagian tertentu yang dibagi sesuai ajaran Islam kepada semua yang berhak
menerimanya, dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan. Hukum waris dalam Islam
mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh individu yang telah
meninggal dan dampaknya terhadap para ahli warisnya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a, hukum kewarisan adalah
peraturan yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah), yang
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan seberapa besar bagiannya
masing-masing. Pewaris atau Muwarits, yang merupakan individu yang meninggalkan
harta waris, dianggap meninggal dunia secara menyeluruh dan sesuai dengan hukum.
Berbicara mengenai gender secara historis, kedudukan perempuan selalu berada di urutan
kedua setelah laki-laki, mengalami marginalisasi, dan mendapatkan perlakuan tidak adil,
termasuk dalam hal pendidikan dan kekerasan. Namun, seiring berjalannya waktu,
perempuan mulai menunjukkan kebangkitannya dari diskriminasi dan sekarang tidak lagi
dipandang sebelah mata. Upaya perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dengan
laki-laki menunjukkan perubahan signifikan dalam dinamika gender. Andre Fillard
mengemukakan bahwa ada tiga golongan masyarakat yang mengusung konsep kesetaraan
gender dalam pembagian harta waris. Pertama, menggunakan sistem pembagian harta
waris setara antara perempuan dan laki-laki. Kedua, menerapkan sistem pembagian harta
warisan sesuai dengan fiqh Mawaris Klasik. Pada konsepsi kesetaraan dalam hal waris,
mereka menggunakan sistem hibah, dengan menghibahkan sebagian dari bagian pihak
laki-laki kepada perempuan. Ketiga, prinsip pembagian warisan menurut ilmu faraidh atau
Fiqh Mawaris klasik, yaitu laki-laki mendapatkan dua bagian dan satu bagian untuk
perempuan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengankat rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pembagian harta warisan menurut hukum Islam di Indonesia dan di
Agama Islam?
2. Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kewarisan Islam
Kontemporer yang adil?
3. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Penyelesaian Sengketa Kewarisan
Antara Ahli Waris Pengganti dengan Ahli Waris?
4. Bagaimana solusi untuk menyelesaikan kasus Denin Yolanda?
C. METODE PENELITIAN

Penulisan makalah ini fokus pada eksplorasi mengenai pembagian harta


warisan menurut hukum Islam. Pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini
bersifat deskriptif, di mana prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dirinci
melalui gambaran atau lukisan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat
sekarang. Metode deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas dan rinci
fakta-fakta yang teramati, sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terlihat. Penelitian
ini tidak hanya bergantung pada data kuantitatif, melainkan juga memanfaatkan kajian
kepustakaan sebagai sumber informasi utama. Dengan demikian, penelitian ini
merangkum dan menganalisis berbagai pandangan serta teori yang telah ada dalam
literatur hukum Islam untuk memberikan pemahaman mendalam terkait dengan
pembagian harta warisan.

D. PEMBAHASAN
I. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam di Indonesia dan di
Agama Islam
Kata waris dalam kamus bahasa Arab berasal dari kata: ‫ ثراو‬-‫ثرإ– ةثارو– ثاري‬
Artinya pusaka, harta peninggalan mayat. Menurut istilah, ilmu kewarisan (fara’idh)
adalah:

“Ilmu Fiqih yang berkaitan dengan masalah waris dan ilmu perhitungan yang
menyampaikan pengetahuan khusus setiap pemilik hak pusaka pada hak-hak
bagiannya dari harta peninggalan.”

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat suatu peraturan yang dikenal
sebagai hukum kewarisan. Hukum ini mengulas mengenai proses transfer kepemilikan
harta peninggalan seseorang, yang dikenal sebagai "tirkah," kepada pihak lain setelah
wafatnya pemiliknya. Transfer ini dikenal juga sebagai warisan. Hukum kewarisan ini
mencakup beberapa aspek pokok. Pertama-tama, hukum ini mengidentifikasi pihak-
pihak yang memiliki hak menjadi ahli waris. Dengan kata lain, hukum ini memberikan
informasi mengenai siapa saja yang berhak menerima bagian dari harta peninggalan
tersebut. Kedua, hukum kewarisan ini juga menentukan sejauh mana bagian atau porsi
dari harta peninggalan yang akan diterima oleh setiap ahli waris. Sebagai contoh,
seorang anak mungkin menerima bagian yang berbeda dengan suami atau istri.

Dalam konteks hukum waris Islam, konsep harta warisan dapat dianalisis
secara kritis sebagai berikut:1

a) Hak Milik Pewaris: Harta warisan dalam Islam ditegaskan sebagai hak
milik penuh dari individu yang telah meninggal (pewaris almarhum).
Ini mencakup semua jenis harta, baik yang berwujud maupun tidak
terlihat. Poin ini menyoroti aspek kepemilikan yang melekat pada harta
warisan, menekankan bahwa harta tersebut benar-benar menjadi milik
individu yang telah berpulang.
b) Bersih dari Kewajiban: Pembagian harta warisan memerlukan
persyaratan bahwa harta tersebut harus bersih dari segala kewajiban
keagamaan dan keduniawian. Kewajiban-kewajiban tersebut mencakup
biaya pengobatan selama sakit hingga wafat, biaya pengurusan jenazah,
serta kewajiban keagamaan dan duniawi yang belum terpenuhi, seperti
1
Lubis Suhrawardi K dan Komis Simanjuntak. 1995, Hukum Waris Islam; Lengkap &Praktik. Sinar Grafika,
Jakarta, h. 35
zakat, sedekah, infak, wakaf, hutang, atau tebusan. Prinsip ini
mencerminkan tanggung jawab untuk membersihkan harta dari beban
sebelum pembagian kepada ahli waris.
c) Wasiat yang Tidak Melebihi 1/3 Harta: Konsep wasiat dalam Islam
memiliki batasan yang ketat, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi 1/3
dari total harta warisan. Pembatasan ini mengindikasikan adanya
kendali terhadap hak wasiat agar tidak mengganggu pembagian hak
waris yang lebih luas. Hal ini mencerminkan pertimbangan keadilan
dan keberlanjutan redistribusi harta dalam masyarakat.

Hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari hukum Islam memiliki sumber
hukum yang sama dengan hukum Islam secara umum. Sumber hukum dapat diartikan
sebagai asal sesuatu, seperti yang dinyatakan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Dalam konteks hukum Islam, sumber hukum sering disebut sebagai dalil hukum
Islam, pokok hukum Islam, atau dasar hukum Islam. Imam Syafi’i, dalam kitab Al-
Risalah fi Ushul Al-Fiqh, menyebutkan bahwa sumber hukum Islam ada empat, yaitu
Al-Qur'an, As-Sunnah atau Al-Hadis, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.

Menurut Imam Syafi’i, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas sebenarnya merupakan metode


atau cara yang digunakan oleh akal pikiran manusia, baik secara individual dalam
melakukan analisis (qiyas) maupun secara kolektif mencapai kesepakatan (ijma’)
dalam upaya menemukan atau menentukan kaidah hukum. Dalam literatur hukum
Islam, akal pikiran manusia disebut arra’yu atau ijtihad. Sumber hukum Islam menurut
Arijulmanan terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasul, dan ijtihad. Al-Qur'an dianggap
sebagai wahyu Allah Ta'ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu
'Alaihi Wa Salam melalui perantara Malaikat Jibril. Membacanya dianggap sebagai
ibadah, dan melalui pendengaran atau penuturan, juga untuk dipertimbangkan atau
direnungkan (tadabbur), serta kemudian diaktualisasikan secara aplikatif. As-Sunnah,
menurut para ahli hadits, adalah apa yang ditaruh kepada Nabi, baik dalam bentuk
perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, atau sirah beliau. Dengan definisi ini, As-
Sunnah memiliki makna yang sama dengan Hadits. Ijtihad, dari segi istilah, merujuk
pada penggunaan seluruh kemampuan dengan sebaik-baiknya untuk menetapkan
hukum syara’. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, dan ijtihad dapat
dilakukan secara individu (ijtihad fardhi) atau secara kolektif (ijtihad jama‘i).

Dasar hukum yang dijadikan sumber-sumber dalam menentukan hukum


kewarisan Islam bersumber dari:

‫ِللِّر َج اِل َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َۖن َو ِللِّنَس ۤا ِء َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُب ْو َن ِمَّم ا َق َّل ِم ْن ُه َاْو‬
‫َك ُثَر ۗ َنِص ْيًبا َّم ْفُرْو ًضا‬

Artinya:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.” (QS. An Nisa Ayat 7)

‫ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْٓي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِن ۚ َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَث ا َم ا َت َر َك ۚ َوِاْن َك اَنْت‬
‫َو اِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد ۚ َفِاْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه َو َلٌد َّو َو ِرَثٓٗه َاَبٰو ُه َفُاِلِّم ِه‬
‫الُّثُلُث ۚ َفِاْن َك اَن َلٓٗه ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِصْي ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن ۗ ٰا َبۤا ُؤ ُك ْم َو َاْبَنۤا ُؤ ُك ْۚم اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُهْم َاْق َر ُب َلُك ْم‬
‫َنْفًعاۗ َفِر ْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا‬.

Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan


untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An Nisa Ayat 11)

Dalam Pasal 171 huruf e dari Kompilasi Hukum Islam, dapat diamati beberapa
aspek kritis yang perlu dipertimbangkan. Pasal tersebut mendefinisikan harta warisan
sebagai "harta bawaan" ditambah bagian dari "harta bersama" setelah memenuhi
sejumlah kewajiban tertentu. Penggunaan istilah "harta bawaan" memberikan
pemahaman bahwa ini adalah harta yang sudah dimiliki oleh pewaris sebelum wafat.
Sementara itu, "harta bersama" merujuk pada harta yang dimiliki bersama dengan
pihak lain, mungkin suami atau istri. Pasal tersebut menetapkan beberapa kewajiban
yang harus dipenuhi sebelum pembagian harta dapat dilakukan. Termasuk dalam
kewajiban tersebut adalah keperluan perawatan selama sakit, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran hutang, dan pemberian sebagian kepada kerabat. Dengan
demikian, pasal ini memberikan panduan konkret mengenai langkah-langkah yang
harus diambil untuk membersihkan harta warisan dari segala tanggungan sebelum
pembagian.

Prinsip yang ditegaskan oleh pasal tersebut adalah bahwa setelah pemenuhan
kewajiban-kewajiban tersebut, sisa harta dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris. Ini
mencerminkan pendekatan yang rasional dan teratur dalam proses pembagian warisan,
yang diarahkan pada keadilan dan kejelasan. Prinsip ini juga menciptakan batasan
yang jelas, menunjukkan bahwa pembagian warisan tidak dapat dilakukan secara
sembarangan, melainkan setelah persyaratan tertentu terpenuhi.

Menurut Ali Ash-Shabuni, ahli waris adalah orang-orang yang berhak untuk
menerima atau menguasai harta peninggalan seseorang karena adanya ikatan
kekerabatan, seperti hubungan darah atau pernikahan. Terdapat beberapa jenis ahli
waris berdasarkan bagian-bagian yang mereka terima:

a) Ahli Waris Ashhab al-Furudh: Mereka menerima bagian yang telah ditentukan
sebelumnya, misalnya setengah (½), sepertiga (1/3), atau seperenam (1/6) dari
total warisan.
b) Ahli Waris Ashabah: Mereka menerima bagian sisa setelah harta dibagikan
kepada ahli waris ashhab al-furudh.
c) Ahli Waris Zhawi al-Arham: Mereka adalah ahli waris berdasarkan hubungan
darah, tetapi menurut ketentuan Al-Qur'an, mereka tidak berhak menerima
warisan.

Dari segi hubungan kekerabatan, ada perbedaan antara ahli waris yang dekat
dan yang jauh:

a) Ahli Waris Hijab: Mereka adalah ahli waris yang dekat yang dapat
menghalangi ahli waris yang jauh, atau karena garis keturunan mereka
menyebabkan mereka memiliki hak lebih besar.
b) Ahli Waris Mahjub: Mereka adalah ahli waris yang terhalang oleh ahli waris
yang dekat dalam hubungan kekerabatan. Ahli waris ini hanya dapat menerima
warisan jika ahli waris yang menghalanginya tidak ada.

Hijab, atau keadaan yang menghalangi, terbagi menjadi dua jenis. Pertama,
hijab nuqsan, yang menghalangi dengan akibat mengurangi bagian ahli waris yang
terhalangi. Sebagai contoh, suami seharusnya menerima bagian 1/2, tetapi karena
bersama anak perempuan, bagian tersebut berkurang menjadi 1/4. Begitu pula dengan
ibu, yang seharusnya menerima 1/3, namun karena bersama anak, bagian tersebut
berkurang menjadi 1/6. Kedua, hijab hirman, yaitu menghalangi secara total. Sebagai
contoh, saudara perempuan kandung awalnya berhak menerima bagian 1/2, tetapi
karena bersama anak laki-laki, hak tersebut menjadi tertutup sepenuhnya.

Adapun pembagian kelompok ahli waris yang telah disepakati para Ulama
adasebanyak 25 orang yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang
perempuan,dengan rincian sebagai berikut:

1. Kelompok ahli waris laki-laki terdiri dari:


a. Anak laki-laki,
b. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah,
c. Bapak, kakek shahih dan seterusnya ke atas,
d. Saudara laki-laki sekandung,
e. Saudara laki-laki sebapak,
f. Saudara laki-laki seibu,
g. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak,
i. Paman sekandung,
j. Paman sebapak,
k. Anak laki-laki paman sekandung,
l. Anak laki-laki paman sebapak,
m. Suami, dan
n. Orang laki-laki yang memerdekakan budak.
2. Kelompok ahli waris perempuan terdiri dari:
a. anak perempuan,
b. cucu perempuan pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah,
c. ibu,
d. nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas,
e. nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas,
f. saudara perempuan sekandung,
g. saudara perempuan sebapak,
h. saudara perempuan seibu,
i. isteri dan orang perempuan yang memerdekakan budak2
II. Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kewarisan Islam Kontemporer
yang Adil

Gender adalah istilah sosiologis dan psikologis yang digunakan untuk


merujuk pada perbedaan sosial, budaya, dan pengalaman yang terkait dengan jenis
kelamin biologis. Penting untuk dicatat bahwa gender tidak selalu identik dengan
jenis kelamin biologis, melainkan merujuk pada peran, tingkah laku, harapan, dan
norma sosial yang diterima oleh masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan.
Peran gender memiliki dampak besar dalam membentuk identitas individu dan
memengaruhi cara individu diterima dan dipandang oleh masyarakat. Norma sosial
yang kuat di beberapa budaya menentukan apa yang dianggap sebagai perilaku dan

2
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, 2002, Fiqih Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media
Pratama, Jakarta, h.84
tindakan yang sesuai untuk laki-laki atau perempuan, dan ini tercermin dalam cara
anak-anak dibesarkan untuk memenuhi harapan tersebut.

Selain itu, gender juga memiliki konsekuensi signifikan terhadap akses dan
partisipasi individu dalam masyarakat, termasuk akses pendidikan, pekerjaan, dan
kesempatan ekonomi. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk mengejar
kesetaraan gender guna memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan
yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi sepenuhnya dalam masyarakat.
Penting untuk memahami bahwa konsep gender bukanlah sesuatu yang alami atau
tetap, melainkan selalu berubah, tidak permanen, dapat dipertukarkan, dan bersifat
universal. Gender juga merupakan hasil konstruksi sosial yang menjadi fokus
perhatian setelah munculnya kelompok feminis pada dekade 1990-an. Pemikiran
ini muncul sebagai tanggapan terhadap ketidakadilan struktural dan kultural yang
dialami oleh perempuan, dengan tujuan mendorong sikap adil terhadap status
perempuan di berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan gender diartikan sebagai
prinsip bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dan harus
diperlakukan setara dalam semua hal, termasuk pendidikan, pekerjaan, hak politik,
dan hak ekonomi. Hal ini melibatkan penghapusan diskriminasi berbasis gender
dan memastikan bahwa setiap individu memiliki peluang yang setara dalam
masyarakat. Kesetaraan gender juga mencakup perubahan dalam norma sosial dan
pandangan masyarakat terkait peran gender, membutuhkan transformasi dalam
pandangan dan perilaku yang membatasi kesempatan dan peran individu
berdasarkan jenis kelamin.3

Upaya pembaharuan dalam konteks hukum kewarisan disertai dengan apa


yang dikenal sebagai kodifikasi hukum, dengan tujuan menciptakan standar
hukum guna mencapai kepastian hukum dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kontemporer yang timbul akibat perubahan zaman, serta mencapai klaim hak
hukum perempuan. Pendekatan sejarah menunjukkan bahwa perkembangan
hukum waris Islam dipengaruhi oleh hukum lokal masyarakat Arab pra-Islam.
Suku atau individu dalam masyarakat ini terbentuk dari laki-laki dewasa yang
melacak keturunan mereka melalui genealogi keluarga laki-laki. Aturan-aturan
3
Eman Suparman, 2007, hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 35
lisan berkembang sebagai manifestasi jiwa dan karakter suku, membantu
melindungi warisan suku dengan memperkuat kekuatan militer suku, membatasi
hak suksesi bagi kerabat laki-laki dari almarhum, dan memastikan bahwa putra
dan keturunan mereka menduduki posisi utama.

Sistem matrilineal dalam konteks ini mengindikasikan bahwa pembagian


warisan hanya dilakukan pada garis keturunan dari ibu. Namun, penelitian
menunjukkan bahwa sistem hukum waris di Arab pra-Islam sangat tidak adil dan
diskriminatif terhadap wanita. Perempuan tidak memiliki hak atau bagian dalam
pembagian harta warisan, sering kali dipaksa untuk menikah dengan saudara laki-
laki atau anggota keluarga lain guna memastikan bahwa harta mereka tetap berada
dalam lingkungan keluarga. Upaya pembaharuan dalam hukum kewarisan, oleh
karena itu, diarahkan untuk mengatasi ketidakadilan ini dan mengamankan hak-
hak perempuan dalam klaim hukum serta memastikan keadilan gender dalam
konteks warisan. Kodifikasi hukum menjadi alat untuk mencapai tujuan ini dengan
membentuk standar hukum yang lebih adil dan sesuai dengan tuntutan zaman.4

Dengan masuknya Islam, sistem hukum waris mengalami perubahan


signifikan dan lebih adil. Al-Qur'an memperkenalkan prinsip keadilan dan tanpa
diskriminasi dalam pembagian harta warisan, memberikan hak kepada wanita
untuk mendapatkan bagian dalam pembagian tersebut. Ini merupakan langkah
besar yang meningkatkan status wanita dalam masyarakat Arab. Menuju masa
renaissance Islam, struktur sosial di Hijaz, terutama di Mekkah dan Madinah,
mengalami perubahan. Keluarga inti menggantikan etnisitas sebagai unit dasar
masyarakat. Turunnya Al-Qur'an sebagai panduan menciptakan revolusi hukum
tentang warisan, dengan fokus pada hubungan suami-istri dan orang tua-anak.
Aturan-aturan ini dirancang khusus untuk melindungi dan memberikan keadilan
kepada perempuan dalam urusan waris. Oleh karena itu, hukum waris Al-Qur'an
dapat dianggap sebagai reformasi terhadap hukum adat kesukuan Arab pra-Islam.

Dari perspektif sosio-historis, asbabun nuzul ayat tentang hukum waris


Islam menjelaskan bahwa itu adalah respons terhadap kebutuhan memperbaiki

4
Syaikhu, "Kewarisan Dalam Prespektif Keadilan Gender", Elmaslahah, Vol.2, No.2 (2018), h.128
sistem kekeluargaan dan hukum waris yang ada sebelumnya. Untuk menilai bahwa
konsep pewarisan dua banding satu tidak melanggar prinsip keadilan dan
persamaan, perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, perlu
membandingkannya dengan konteks sosial masyarakat. Dari sini, dapat dilihat
bahwa definisi syariah tentang hak waris bagi perempuan cukup adil karena
memberikan hak waris kepada perempuan. Ini menegaskan bahwa Islam mengakui
kedudukan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam hal warisan. Kedua,
untuk menjawab pertanyaan mengapa terjadi perbedaan sosial kuantitatif antara
laki-laki dan perempuan, perlu mempertimbangkan kondisi sosial keluarga pada
waktu itu, seperti beban mencari nafkah dan tanggung jawab hidup yang diberikan
sepenuhnya pada laki-laki.

Perbedaan rasio 2:1 dalam hukum waris Islam tidak berkaitan dengan
masalah gender, melainkan disebabkan oleh perbedaan tugas dan tanggung jawab
antara laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat Islam. Hak waris yang
lebih besar untuk laki-laki diartikan sejalan dengan beban tanggung jawab yang
lebih besar yang dipikul oleh mereka. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait
dengan rasio 2:1 dalam hukum waris:

a. Konteks historis: Ayat Al-Qur'an mengenai hukum waris diturunkan


pada masa tertentu dengan lingkungan dan situasi khusus. Oleh
karena itu, pemahaman konteks historis saat ayat tersebut
diturunkan menjadi penting.
b. Interpretasi yang adil: Prinsip utama Al-Qur'an adalah keadilan dan
tidak diskriminatif dalam pembagian harta warisan. Oleh karena itu,
rasio 2:1 harus diinterpretasikan dengan adil dan tanpa
diskriminasi.
c. Kehidupan modern: Dalam konteks kehidupan modern, situasi dan
lingkungan sosial masyarakat dapat berubah. Oleh karena itu,
penting untuk mempertimbangkan bagaimana rasio 2:1 dapat
diterapkan dengan tepat dalam situasi dan lingkungan modern.
d. Konsultasi dengan ahli: Dalam hal hukum waris, berkonsultasilah
dengan ahli hukum Islam untuk memahami dan menerapkan hukum
waris secara benar sesuai konteks dan prinsip-prinsip Islam.
e. Konsekuensi sosial dan ekonomi: Pembagian harta warisan
memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi bagi penerima warisan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mempertimbangkan
dampak sosial dan ekonomi dari pembagian harta warisan tersebut.

Menurut Muhammad Syahrur, ia mengembangkan teori yang dikenal sebagai


The Theory of Limit. Menurutnya, hukum waris dalam Islam seharusnya
diinterpretasikan sebagai suatu sistem yang adil dan memberikan hak yang setara bagi
semua anggota keluarga, bukan hanya terbatas pada laki-laki. Syahrur juga
menekankan pentingnya interpretasi hukum waris dalam Islam yang sesuai dengan
perubahan dan perkembangan zaman. Dalam pandangannya, hukum waris adalah
bentuk redistribusi harta dalam masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat dapat
merasakan manfaat dari harta tersebut. Metode baru yang diperkenalkan oleh Syahrur
melibatkan analisis linguistik, analisis matematis, dan interpretasi hermeneutik. Dalam
konteks hukum waris, Syahrur mencatat bahwa masih ada persoalan yang perlu
diatasi, seperti pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan.5

Terkait dengan teori limit yang digunakan dalam membaca ayat-ayat silsilah,
Syahrur memahami bahwa batasan-batasan ketentuan Allah harus dihormati, namun
ranah ijtihad tetap dinamis, fleksibel, dan tangguh. Dalam batasan hukum ini,
masyarakat manusia tidak hanya memiliki kebebasan, tetapi juga berkewajiban untuk
mengembangkan dan membuat hukum sesuai dengan konvensi sosial dan kondisi
sosial-politik. Dalam ayat An-Nisa ayat 11, Allah memberi keutamaan bagi laki-laki
dalam harta benda, yang berarti laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari perempuan.
Syahrur menjelaskan bahwa laki-laki adalah batas atas yang tidak dapat dijumlahkan,
sedangkan perempuan adalah batas bawah. Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu,
perempuan dapat memiliki bagian yang lebih besar sesuai dengan konsep batasan ini.

5
Dhea Januastasya Audina, “Kesetaraan Gender dalam Prespektif Hak asasi Manusia”, Nomos: Jurnal
Penelitian Ilmu Hukum, Vol.1, No. 6 (2021), h.220
III. Tinjauan Hukum Islam terhadap Penyelesaian Sengketa Kewarisan
Antara Ahli Waris Pengganti dengan Ahli Waris

Dalam sistem pewarisan Islam, yang berhak mendapat harta waris yang
menggantikan tempat ahli waris adalah apabila tidak ada ahli waris ashabul furudh
atau sisa harta setelah dibagikan kepada ashabul furudh. Dalam hukum kewarisan
Islam, selain terdapat ahli waris dengan bagian yang ditentukan atau ashabul
furudh/dzawil furudh yang merupakan kelompok terbanyak, terdapat juga ahli waris
yang bagianannya tidak ditentukan secara furudh, baik dalam Al-Quran maupun dalam
Al-Hadis. Mereka bisa mendapatkan seluruh harta dalam kondisi tidak adanya ahli
waris ashabul furudh atau sisa harta setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ashabul
furudh yang ada. Mereka mendapat bagian yang tidak ditentukan, bisa banyak atau
sedikit, atau tidak ada sama sekali.

Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada
ketentuan bagian yang pasti. Bagi mereka berlaku:6

a. Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris untuk
ahli waris ashabah.
b. Jika ada ahli waris ashabul furudh, maka ahli waris ashabah menerima sisa dari
ashabul furudh tersebut.

Syarat-syarat pemberian hak waris bagi dzawil arham antara lain:

a) Tidak ada ashabul furudh, karena jika ada ashabul furudh, mereka tidak hanya
mengambil bagiannya tetapi juga sisanya, karena merupakan hak mereka
secara ar-radd.
b) Tidak ada Ashabah. Ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada jika
tidak ada ashabul furudh. Jika ada ashabul furudh, ashabah akan menerima sisa
harta waris setelah hak para ashabul furudh terpenuhi.
c) Jika ashabul furudh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka suami atau
istri akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada
dzawil arham.

6
Al-Hafiz Limbanadi, “Kedudukan Dan Bagian Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Islam”, Jurnal Lex et
Societatis, Volume II, September, 2014, hlm.173.
Penyelesaian masalah kewarisan Islam merupkan kewenangan peradilan
agama. Hal tersebut ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dijelaskan bahwa kewenangan Pengadilan Agama dibatasi
khusus bagi orang-orang yang beragama Islam sehingga masalah kewarisan
merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Sebagai acuan dari pelaksanaan
Undang-Undang ini, telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Selain itu,
penyelesaian sengketa waris Islam dapat dilakukan dengan dua jalur: litigasi
dan non-litigasi. Penyelesaian non-litigasi, seperti mediasi, merupakan cara
yang diupayakan terlebih dahulu dalam menyelesaikan sengketa, karena
memiliki beberapa keuntungan, antara lain tidak membutuhkan waktu lama,
biaya yang lebih murah, dan tidak memaksa ahli waris yang bersengketa.

IV. Solusi Penyelesaian Kasus Denin Yolanda


Penyelesaian masalah kewarisan Islam merupakan ranah kewenangan
peradilan agama yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Melalui serangkaian perubahan, Undang-Undang
tersebut menjadi landasan hukum utama, termasuk dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Dalam konteks ini, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
menjadi penegas bahwa kewenangan Pengadilan Agama memiliki batasan khusus,
yaitu bagi orang-orang yang beragama Islam. Oleh karena itu, masalah kewarisan
secara otomatis masuk ke dalam wewenang Pengadilan Agama sebagai institusi
hukum yang memiliki keterlibatan langsung dengan hukum Islam. Sebagai
landasan pelaksanaan Undang-Undang tersebut, Kompilasi Hukum Islam juga
turut memberikan panduan dan norma-norma hukum yang harus diikuti dalam
penyelesaian masalah kewarisan. Ini menciptakan kerangka hukum yang jelas dan
terstruktur, yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam
sengketa kewarisan Islam. Dengan demikian, konsep penyelesaian masalah
kewarisan Islam melibatkan tiga elemen utama: Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, perubahan-perubahan yang menguatkan kewenangan peradilan agama, dan
panduan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam. Integrasi ketiganya
menciptakan dasar hukum yang komprehensif dan terperinci untuk menangani
permasalahan kewarisan di lingkungan masyarakat Islam. Maka terkait kasus yang
dialami oleh Yolanda, lebih efektif dilakukan penyelesaian melalui jalur litigasi,.
Hukum di Indonesia yang mengatur kewenangan hakim dalam
mempertimbangkan dan memutuskan suatu perkara di Pengadilan dapat ditemukan
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
atau disingkat sebagai UU Kekuasaan Kehakiman. Definisi hakim sendiri
dijelaskan secara rinci dalam Pasal 1 angka 5 UU Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan bahwa hakim mencakup hakim pada Mahkamah Agung, badan
peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Hakim diartikan sebagai representasi dari lembaga peradilan, yang diberi
wewenang kehakiman untuk melaksanakan peradilan dengan tujuan utama
menegakkan keadilan. Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, hakim
menikmati kebebasan yang dapat dijabarkan ke dalam tiga poin utama. Pertama,
hakim tunduk pada hukum dan keadilan, menegaskan prinsip bahwa hakim harus
mematuhi aturan hukum dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Kedua, tidak ada
pihak, termasuk pemerintah, yang dapat mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan
putusan, menegaskan independensi hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya.
Ketiga, tidak ada konsekuensi bagi hakim secara pribadi terkait dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi yudisialnya, menggarisbawahi perlindungan
terhadap hakim dalam melaksanakan tugasnya tanpa adanya ancaman terhadap
kepentingan pribadi.
E. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai