Anda di halaman 1dari 20

KEPASTIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

KORPORASI BANK DALAM MENYEMBUNYIKAN BUKTI KESALAHAN


TRANSFER

A. PENDAHULUAN
Di Indonesia, sistem hukum berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), yang menetapkan bahwa
konstitusi memiliki kedudukan tertinggi (the supreme law of the land) dalam
hierarki perundang-undangan. Konstitusi menjadi pedoman dalam
pembentukan segala undang-undang di bawahnya. Sebagai bentuk jaminan,
Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of
the constitution), bertanggung jawab melakukan uji konstitusional terhadap
undang-undang dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945.
Salah satu ketentuan yang menjadi rujukan dalam penyusunan semua
peraturan perundang-undangan adalah Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa
"setiap individu berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Dengan
demikian, semua warga negara, dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum,
berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa
terkecuali.
Salah satu undang-undang yang mengatur hubungan antara lembaga
perbankan dan nasabahnya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011
tentang Transfer Dana. Hukum tersebut didasarkan pada prinsip pemenuhan
kepastian hukum, sejalan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain juga bertujuan
memenuhi kebutuhan akan kepastian hukum dalam pelaksanaan transfer
dana.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tetang Transfer Dana juga
memiliki rumusan dalam hal terjadinya kesalahan transfer, dimana salah
satunya memberikan larangan kepada penerima salah transfer dana untuk
menguasai dan mengakui dana hasil salah transfer tersebut sebagai miliknya,
sebagaimana disebutkan pada Pasal 85 “Setiap orang yang dengan sengaja
menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui
atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah)”.1
Pasal 85 dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana dapat diartikan secara gramatikal sebagai kewajiban bagi penerima
dana salah transfer untuk melaporkan atau mengadukan, dengan tujuan
mengembalikan dana tersebut kepada pemiliknya. Hal ini dapat dilihat dari
frasa "sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer
yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana." 2 Di samping itu,
Pasal 1360 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
menyatakan bahwa "siapa pun yang secara sadar atau tidak sadar menerima
sesuatu yang seharusnya tidak diberikan kepadanya, berkewajiban
mengembalikannya kepada orang yang memberikannya."
Dalam situasi terjadi kesalahan transfer, undang-undang mewajibkan
penerima dana yang menerima transfer yang salah untuk mengembalikan
dana tersebut. Meskipun demikian, proses pengembalian tidak dapat
dilakukan tanpa mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan oleh undang-
undang. Diperlukan tahapan cross-check kepada bank yang terlibat untuk
memastikan bahwa bank tersebut telah melakukan kesalahan transfer,
termasuk verifikasi terkait jumlah uang yang terlibat. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana perbankan atau penipuan yang mungkin
dilakukan dengan mengatasnamakan bank. Dengan demikian, proses
pengembalian dana menjadi lebih terstruktur dan dapat menjaga integritas
serta keamanan transaksi perbankan.
Pasal 78 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Tranfer Dana
secara berimbang juga membebankan kewajiban kepada penyelenggara
tranfer untuk membuktikan adanya kesalahan transfer. Pasal 78 menyebutkan:
Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan transfer
dana yang menimbulkan kerugian pada pengirim asal atau penerima,
penyelenggara dan/atau pihak lain yang mengendalikan sistem
1
Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Trans&er Dana (Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5204).
2
Ibid
transfer dana dibebani kewajiban untuk membuktikan ada atau
tidaknya keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana tersebut.3
Dalam konteks kesalahan transfer, bukti yang dimaksud mencakup
laporan atau catatan mengenai alur kesalahan transfer, baik berupa catatan
perintah transfer dana dari pengirim asal maupun catatan mengenai transfer
yang masuk ke rekening penerima salah transfer. Bank penyelenggara
transfer, melalui sistemnya, memiliki catatan terinci mengenai asal-usul dana,
jumlahnya, dan penerima yang bersangkutan. Oleh karena itu, secara logis,
kewajiban membuktikan adanya kesalahan transfer ditempatkan pada bank
penyelenggara transfer.
Meskipun Pasal 78 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang
Transfer Dana diharapkan memberikan kepastian hukum dalam menangani
permasalahan kesalahan transfer, muncul pertanyaan mengenai bagaimana
jika bank penyelenggara transfer meminta pengembalian dana tanpa
menunjukkan bukti kesalahan transfer. Pada tahap cross check, ketika
penerima dana salah transfer mengembalikan dana, bank penyelenggara
transfer mungkin tidak menunjukkan catatan kesalahan transfer atau bahkan
catatan perintah transfer dari pengirim asal. Dalam konteks ini, apakah bank
telah memenuhi kewajibannya untuk membuktikan kesalahan transfer sesuai
dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer
Dana menjadi pertanyaan yang relevan.
Sebagai contoh kasus, pada tahun 2021, Indah Harini, seorang
nasabah prioritas BRI, menemukan tambahan tabungan valasnya tanpa bukti
kesalahan transfer yang jelas. Meski BRI meminta pengembalian dana, Indah
Harini menolak tanpa bukti kesalahan transfer yang memadai. Risiko ini tidak
hanya terbatas pada tuntutan perdata tetapi juga dapat melibatkan tindak
pidana, seperti dugaan pencucian uang atau korupsi, tergantung pada tindakan
bank penyelenggara transfer.
Ketidakjelasan bukti kesalahan transfer yang disajikan oleh bank
penyelenggara dapat menimbulkan dugaan, termasuk praktik tindak pidana
pencucian uang, yang melibatkan penyembunyian bukti kesalahan transfer
untuk menutupi kejahatan asal. Terutama jika bank adalah Badan Usaha Milik

3
Ibid. Pasal 78
Negara (BUMN), dugaan kecurangan dan penyimpangan bisa melibatkan
dana operasional dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, sayangnya, undang-undang yang mengatur transfer dana
(Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011)4 tidak memberikan ancaman pidana
jika bank tidak memenuhi kewajibannya untuk membuktikan kesalahan
transfer, menciptakan kekosongan dalam kepastian hukum. Kepastian hukum,
menurut pandangan Radbruch5, menunjukkan bahwa hukum dapat berfungsi
sebagai aturan yang harus ditaati. Ketidakpastian hukum, seperti dalam kasus
ini, dapat menyebabkan hukum kehilangan fungsinya sebagai pedoman
perilaku, seperti yang diungkapkan oleh Fence M. Wantu. Oleh karena itu,
dari perspektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana,
tampak adanya kekosongan dalam kepastian hukum yang dapat berdampak
pada kepatuhan terhadap peraturan hukum.
Bank sebagai penyelenggara transfer dana tidak hanya tunduk pada
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana, tetapi juga
terikat oleh peraturan khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Pertanyaannya adalah apakah peraturan khusus ini mampu memberikan
kepastian hukum, khususnya dalam memberikan sanksi sebagai daya paksa
agar bank patuh terhadap Pasal 78 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011
Tentang Transfer Dana.
Pidana korporasi melibatkan pertanggungjawaban pidana tidak hanya
terhadap karyawan atau pengurus bank penyelenggara transfer, tetapi juga
terhadap badan hukum bank tersebut.6 Dalam konteks literasi dan penerapan
hukum kontemporer, pidana korporasi memandang badan hukum sebagai
subjek hukum pelaku kejahatan, yang dapat dikenakan pertanggungjawaban
pidana sebagaimana manusia alamiah.7

4
Theo Huijabers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Kanisius, 1982, halaman 162
5
Fence M. Wantu, Anatomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala Mimbar Hukum,
Vol. 19 No.3 Okotber 2007, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, halaman 388.
6
Dwi Wahyono, “The Criminal Responsibility by Corporate”, International Journal of Law
Recontruction Volume 5, Number 1, April 2021 DOI : http://dx.doi.org/10.26532/ijlr.v5i1.15587.
7
Sri Dewi Retno Ningsih, S. Supanto, Emmy Latifah, Corporation As The Actors of Fisheries Crime in
Indonesia, Surakarta: Jurnal Dinamika Hukum Faculty of Law Universitas Jenderal Soedirman, 2018
(https://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/2067/598)
Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak hanya ditempatkan pada
pengurus korporasi, melainkan juga dapat menuntut badan hukum itu sendiri. 8
Alasannya adalah bahwa dengan hanya memidana individu tidak menjamin
bahwa korporasi tidak akan mengulangi kejahatan. Dengan memidana
korporasi, diharapkan bank dapat dipaksa untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan.9
Namun, pemidanaan bank penyelenggara transfer melibatkan
pertimbangan kompleks, termasuk dalam pemahaman unsur-unsur pidana dan
rincian sanksi pidana korporasi. Dalam konteks pidana korporasi, pengukuran
unsur kesalahan (dolus) atau kelalaian (culpa) dapat menjadi perdebatan.
Apakah kesalahan subjektif korporasi dapat diatributkan kepada kesalahan
personal pengurus atau karyawan yang melakukan tindak pidana berdasarkan
hubungan kerja atau perintah pejabat korporasi yang menghendaki perbuatan
pidana juga merupakan pertanyaan yang perlu dijawab.

Rumusan Masalah

1) Bagaimana kepastian hukum pidana terhadap bank sebagai


penyelenggara transfer dalam menangani kasus tindak pidana
korporasi yang melibatkan penyembunyian bukti kesalahan transfer?
2) Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dan
diterapkan, dan sejauh mana hal ini mencerminkan kepastian hukum
sesuai dengan amanat Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

B. PEMBAHASAN
Kepastian Hukum Pidana terhadap Bank sebagai Penyelenggara
Transfer dalam Menangani Kasus Tindak Pidana Korporasi yang
Melibatkan Penyembunyian Bukti Kesalahan Transfer

8
Septa Chandra, Correlation Between Theory of Criminal Liability and Criminal Punishment Toward
Corporation in Indonesia Criminal Justice Practice, Surakarta: Jurnal Dinamika Hukum Faculty of Law
Universitas Jendral Soedirman, 2017
(https://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/649/486)
9
Akhmad Fajar Adi Nugroho, R. B Sularto, The Urgency of Corporate Criminal Lialibity in Criminal Law
in Indonesia, Riau: Fakultas Hukum Universitas Riau, 2020
(https://myl.ejournal.unri.ac.id/index.php/ML/article/view/7776/pdf)
Istilah "korporasi" sering digunakan oleh para ahli hukum perdata.
Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, korporasi dapat didefinisikan sebagai
suatu perseroan yang memiliki status sebagai badan hukum (rechtspersoon
dalam bahasa Belanda atau legal entities/corporation dalam bahasa Inggris).
Utrecht memberikan konsep bahwa korporasi adalah badan hukum yang
memiliki hak dan kewajiban sendiri, yang terpisah dari hak dan kewajiban
anggota individualnya. Dalam persepsi Perma Tipi Korporasi dan berbagai
peraturan perundang-undangan khusus yang mencakup tindak pidana oleh
korporasi, korporasi diartikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisir, baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum.
Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi para sarjana mengenai
korporasi, ada dua pendapat tentang makna korporasi. Pendapat pertama
menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan dagang yang memiliki status
badan hukum. Dalam hal ini, hanya korporasi yang telah berbadan hukum
yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Alasannya adalah bahwa
dengan memiliki status badan hukum, struktur pengurus dan batas hak serta
kewajiban dalam korporasi menjadi jelas. Pendapat lain mengatakan bahwa
korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu
memiliki status badan hukum. Dalam konteks ini, setiap kelompok manusia,
baik dalam konteks usaha dagang maupun jenis usaha lainnya, dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana.10
Sebagai negara hukum, fondasi konstitusional Indonesia tertuang
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).
Dokumen ini merinci prinsip-prinsip hukum yang menjadi pijakan bagi
sistem hukum Indonesia, dan salah satu prinsip utamanya adalah kepastian
hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap
individu untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil.
Dalam konteks ini, untuk memahami bagaimana kepastian hukum
diwujudkan dalam menangani kasus tindak pidana korporasi yang melibatkan
bank sebagai penyelenggara transfer. Analisis terhadap sistem hukum pidana
menjadi esensial untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan

10
Loebby Loqman, “Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian”, Jakarta, Datacom, 2002,
hal. 32.
sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum yang
diamanatkan oleh konstitusi.
Pertama-tama, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak
individu atas kepastian hukum yang adil. Dalam kasus tindak pidana
korporasi, aspek ini menuntut agar setiap langkah penegakan hukum,
termasuk penanganan penyembunyian bukti kesalahan transfer oleh bank,
dilakukan secara transparan dan adil. Kejelasan prosedur hukum, hak-hak
individu, dan penyelesaian perkara dengan itikad baik menjadi bagian
integral dari upaya memberikan kepastian hukum.
Kedua menilai kepastian hukum, dalam Undang-Undang Transfer
Dana (UU Transfer Dana), terdapat ketentuan mengenai delik yang terkait
dengan kegiatan salah transfer dana, yang diatur dalam Pasal 85. Pasal ini
secara tegas mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menguasai
dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer, yang diketahui atau patut
diketahui bukan haknya, dapat dikenai pidana penjara dengan maksimal
hingga 5 tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Ketentuan ini menunjukkan seriusnya hukuman terhadap tindakan
menguasai dan mengakui dana hasil transfer yang tidak sah, yang secara
eksplisit melanggar ketentuan UU Transfer Dana. Hal ini mencerminkan
upaya legislator untuk memberikan sanksi yang tegas guna mencegah dan
menindak pelaku tindak pidana transfer dana yang dapat merugikan pihak
lain.
Disamping itu, dikatakan bahwa pelaku yang merupakan nasabah juga
dapat dijerat dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) terkait tindak pidana penggelapan. Hal ini terjadi ketika nasabah
mengetahui bahwa dana yang diterimanya merupakan hasil transfer yang
tidak sah, namun dengan sengaja menolak untuk mengembalikan. Pasal 372
KUHP menegaskan ketentuan pidana terhadap tindak pidana penggelapan,
memberikan dasar hukum tambahan untuk menangani situasi di mana
nasabah terlibat dalam kegiatan penyalahgunaan dana hasil transfer.11

11
Amrullah, Arief, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang
Perbankan, Jurnal Hukum, (Vol 9: September 2002) h. 23-24.
Dengan demikian, kombinasi antara Pasal 85 UU Transfer Dana dan
Pasal 372 KUHP menciptakan landasan hukum yang kuat untuk menindak
tegas dan memberikan sanksi kepada pelaku yang terlibat dalam kegiatan
salah transfer dana, baik dari sisi penyelenggara transfer maupun nasabah
yang mengetahui dan menolak untuk mengembalikan dana tersebut.
Masalah muncul ketika yang melakukan kesalahan ini ialah Bank atau
dalam hal ini Korporasi. Undang-Undang Transfer Dana tidak merumuskan
jika Bank yang menjadi pelaku dalam salah transfer ini. Namun merujuk dari
KUHAP, ketentuan mengenai alat bukti dalam penanganan perkara pidana,
termasuk salah transfer dana, diatur dengan jelas oleh Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Transfer Dana (UU
Transfer Dana). Pasal 184 KUHAP menyebutkan beberapa alat bukti yang
dapat digunakan, seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa.12
Namun, UU Transfer Dana dalam Pasal 76 memberikan perluasan
jenis alat bukti yang dapat digunakan secara spesifik untuk tindak pidana
transfer dana. Alat bukti tersebut mencakup informasi elektronik, dokumen
elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang terkait dengan kegiatan Transfer
Dana. Perluasan ini mencerminkan respons terhadap perkembangan teknologi
dan tren digital dalam transaksi perbankan, memberikan dasar hukum yang
relevan untuk membuktikan tindakan yang melibatkan elemen-elemen
elektronik.
Selain itu, UU Transfer Dana mengatur pembagian beban pembuktian
(burden of proof) yang berbeda dari prinsip yang diterapkan dalam KUHAP.
Pasal 78 UU Transfer Dana menetapkan bahwa dalam kasus keterlambatan
atau kesalahan Transfer Dana yang menimbulkan kerugian pada Pengirim
Asal atau Penerima, beban pembuktian ditempatkan pada Penyelenggara
dan/atau pihak lain yang mengendalikan Sistem Transfer Dana. Hal ini berarti
bahwa bank yang bertindak sebagai penyelenggara transfer memiliki
kewajiban membuktikan adanya atau tidaknya keterlambatan atau kesalahan
dalam proses Transfer Dana.

12
Fitri Novia Heriani, “Kasus Salah Transfer, Penggunaan Pasal 85 UU Transfer Dana Harus Hati-Hati”
diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-salah-transfer--penggunaan-pasal-85-uu-
transfer-dana-harus-hati-hati-lt61849edb377d1/ pada tanggal 21 Desember 2023
Dengan demikian, peraturan mengenai alat bukti dan pembagian
beban pembuktian dalam UU Transfer Dana secara khusus menyesuaikan diri
dengan karakteristik unik dari tindak pidana transfer dana, terutama dalam
konteks teknologi dan proses transaksi perbankan modern.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Bank sebagai


Penyelenggara Transfer dalam Menangani Kasus Tindak Pidana
Korporasi yang Melibatkan Penyembunyian Bukti Kesalahan Transfer.
Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu konsep sentral dalam
bidang hukum pidana. Menurut Andi Sofyan dan Nur Azisa,
pertanggungjawaban pidana mengarah pada proses pemidanaan terhadap
pelaku dengan tujuan untuk menentukan apakah seseorang yang menjadi
terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak
pidana tertentu atau tidak.13 Pertanggungjawaban pidana diterapkan pada
subjek hukum, yang meliputi individu manusia dan badan hukum. Sebagai
contoh, pertanggungjawaban pidana korporasi adalah bentuk dari
pertanggungjawaban pidana oleh badan hukum. Dalam konteks ini, Zulfita
Zahra mengemukakan pandangan terkait pertanggungjawaban pidana
korporasi, yang menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi
berkaitan dengan isu-isu seperti tanggung jawab, kesengajaan, atau kelalaian
yang dilakukan oleh korporasi.14 Pandangan serupa diungkapkan oleh
Kartikey Mahajan, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana
korporasi timbul ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan undang-
undang tertentu oleh suatu perusahaan.15
Di Inggris, korporasi telah diberikan kemampuan untuk bertanggung
jawab atas tindak pidana sejak tahun 1944, dan perkembangan ini tercermin
dalam tiga kasus utama, yaitu DPP v Kent and Sussex Contractors, R v ICR
Haulage, dan Moore v Bresler. Korporasi dapat terlibat dalam
pertanggungjawaban pidana terkait sejumlah tindak pidana seperti pencucian
uang, penghindaran pajak, suap dan korupsi, penipuan, konspirasi,

13
Sofyan, A & Azisa, N. (2016). Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press. h. 124.
14
Zahra, Z. (2018). Corporate Criminal Liability in Criminal Acts on The Position in an Automotive
Company. Jurnal Hukum Prasada, 5(2). h. 100.
15
Mahajan, K. (2008). Corporate Criminal Liability: Why Corporations are Preferred and Not the
Employees?. Company Law Journal, 4. h. 3.
pelanggaran kontrol ekspor, pelanggaran lingkungan, pelanggaran kesehatan
dan keselamatan, serta penyalahgunaan pasar. Setiap tindak pidana ini diatur
oleh regulasi tertentu yang memandu pertanggungjawaban pidana korporasi
dan bisa memperluas yurisdiksi mereka.
Contohnya, Undang-Undang Suap Inggris (UKBA) memberikan
kewenangan untuk yurisdiksi ekstraterritorial. UKBA memungkinkan
penuntutan terhadap individu dan perusahaan yang memiliki keterkaitan
dekat dengan Inggris atas pelanggaran suap yang terjadi di luar negeri.
Keterkaitan dekat ini dapat diindikasikan oleh tiga faktor, yaitu warga negara
Inggris, individu yang tinggal di Inggris Raya, atau badan yang didirikan di
Inggris Raya. Salah satu faktor ini sudah cukup untuk memberikan
pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan hukum Inggris.16
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dijatuhkan dalam bentuk
denda, perintah kompensasi kepada korban, pencekalan dari proses
pengadaan publik, atau perintah penyitaan sesuai dengan Proceeds of Crime
Act 2002 (POCA). Pertanggungjawaban ini diberikan setelah korporasi
dinyatakan bersalah, tergantung pada unsur-unsur actus reus dan mens rea
dalam kasus tertentu. Dua teori yang mendasari pertanggungjawaban pidana
korporasi di Inggris adalah teori identifikasi dan vicarious liability.17
Teori identifikasi mengakui bahwa anggota inti korporasi yang terlibat
dalam tindak pidana dianggap sebagai perwujudan kehendak korporasi.
Korporasi, sebagai subjek hukum, dianggap bertindak melalui individu yang
secara langsung terkait dengannya. Sementara itu, teori vicarious liability
menunjukkan bahwa korporasi dapat bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan oleh karyawan atau agennya. Vicarious liability, meskipun awalnya
diterapkan secara terpisah, kini sering digabungkan dengan teori identifikasi.
Hal ini berarti bahwa perusahaan dapat dinyatakan bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukan oleh individu terkait dengan perusahaan, dan
vicarious liability juga dapat diperluas ketika suatu perusahaan diakuisisi oleh
perusahaan lain.

16
Chasani, M. (2017). Corporate Criminal Liability In Indonesia On The Perspective Of Comparison.
Indonesian Journal Of Criminal Law Studies (IJCLS), II (2). h. 148.
17
Wells, C. (ed). (2011). Corporate Criminal Liability in England and Wales: Past, Present and Future in
Corporate Criminal Liability Emergence, Convergence and Risk. Berlin: Springer. h. 97.
Indonesia menganut sistem hukum civil law yang mengakibatkan
terjadinya kodifikasi hukum di bidang perdata, dagang, dan pidana. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan kodifikasi hukum
pidana di Indonesia yang mengatur berbagai aspek dan menjadi pedoman
bagi masyarakat serta aparat penegak hukum. Saat ini, KUHP tidak mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi karena menganggap hanya individu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Oleh karena itu,
pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam undang-undang tindak
pidana yang tidak dikodifikasi. Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun
1951 tentang penimbunan barang-barang menjadi landasan pertama yang
mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam
hukum pidana Indonesia dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang
Darurat Nomor 17 Tahun 1951. Setelah itu, Indonesia menetapkan berbagai
undang-undang tindak pidana yang mengatur tindak pidana korporasi, seperti
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, kehutanan, perikanan, pertambangan mineral dan batubara,
pelayaran, pasar modal, perlindungan konsumen, ketenagakerjaan, dan
ketentuan umum serta tata cara perpajakan. Berbagai undang-undang tersebut
mengatur berbagai bentuk perbuatan pidana yang dapat dilakukan oleh
korporasi.
Perkembangan zaman telah menyebabkan meningkatnya kasus tindak
pidana korporasi di Indonesia. Hal ini menimbulkan kebutuhan akan prosedur
penanganan tindak pidana korporasi agar kasus dapat diselesaikan dan hukum
dapat ditegakkan. Namun, aparat penegak hukum seringkali tidak memahami
prosedur penanganan perkara pidana korporasi, yang mengakibatkan
kesalahan dalam menentukan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi
dan menghambat proses penyelesaian kasus serta penegakan hukum. Untuk
mengatasi masalah ini, diterapkan peraturan mengenai tata cara penyelesaian
kasus pidana korporasi, yang tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 13 Tahun 2016. Pasal 4 PERMA Nomor 13 Tahun 2016
menjelaskan situasi di mana korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban
pidana.18
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat diminta sesuai dengan
ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang
korporasi. Dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat
menilai kesalahan korporasi, seperti memperoleh keuntungan dari tindak
pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, atau tidak melakukan langkah-
langkah pencegahan. Kesalahan pada korporasi menjadi faktor utama yang
membuat korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Indonesia
menetapkan pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan teori strict
liability dan vicarious liability.
Strict liability merupakan teori pertanggungjawaban pidana di mana
korporasi dapat dipidana tanpa adanya kesalahan (liability without fault).
Artinya, korporasi dapat dipidana jika melakukan perbuatan yang telah
dirumuskan dalam undang-undang, tanpa memperhatikan niat atau sikap
batinnya.19 Penerapan teori ini membuat korporasi langsung diberikan
pertanggungjawaban pidana saat tindak pidana yang dilakukan sudah
memenuhi unsur, sehingga tidak diperlukan pembuktian mens rea.
Selanjutnya, Indonesia juga menerapkan vicarious liability yang serupa
dengan negara Inggris, di mana korporasi menjadi pengganti individu yang
melakukan tindak pidana. Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi
dijelaskan dalam pasal 25 PERMA Nomor 13 Tahun 2016, di mana hakim
dapat menjatuhkan pidana berupa denda, serta pidana tambahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Indonesia menerapkan
pidana tambahan pada pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 13 Tahun 2016, yang
melibatkan pembekuan kegiatan, pencabutan izin usaha, pembubaran
dan/atau larangan korporasi, penyitaan aset perusahaan, dan pengambilalihan
perusahaan oleh negara.20
Korporasi, termasuk bank sebagai salah satu bentuknya, dibentuk
dengan tujuan menjalankan kegiatan usaha tertentu yang tidak boleh
18
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi, 4
19
Kurniawan, R & Sari D, S.N.I. (2014). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict
Liability (Studi Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan Hidup). Jurnal Yuridis, 1 (2). h. 159.
20
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi, 25.
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
dan/atau kesusilaan. Karakteristik utama korporasi, seperti yang dinyatakan
dalam hukum perdata, mencakup aspek subjek hukum buatan, batas waktu
hidup yang terbatas, pemberian kekuasaan oleh negara untuk menjalankan
kegiatan usaha tertentu, serta struktur permodalan dengan pemegang saham
yang memiliki tanggung jawab terbatas atas kerugian korporasi.21
Dalam konteks ini, bank dapat dikategorikan sebagai korporasi
dengan memenuhi ciri-ciri tersebut. Bank, sebagai lembaga keuangan,
memainkan peran penting dalam menghimpun dan mengelola dana
masyarakat dalam jumlah besar. Namun, ketika melihat sifat bank yang
berbasis kepercayaan dan memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas
keuangan, pertanyaan muncul apakah sanksi pidana korporasi layak
diterapkan pada bank.22
Meskipun bank memenuhi kualifikasi sebagai korporasi yang dapat
dikenakan pertanggungjawaban pidana, aspek kepercayaan dan kestabilan
sistem keuangan dapat memunculkan pertimbangan khusus. Dalam beberapa
kasus, penerapan sanksi pidana terhadap bank dapat memiliki dampak luas,
tidak hanya pada bank itu sendiri tetapi juga pada stabilitas ekonomi secara
keseluruhan.23
Oleh karena itu, dalam menilai apakah bank pantas dikenakan sanksi
pidana korporasi, perlu dilakukan analisis yang matang. Faktor-faktor seperti
tingkat kesalahan, dampak terhadap masyarakat dan ekonomi, serta upaya
perbaikan dan pencegahan kejadian serupa di masa depan harus
dipertimbangkan dengan cermat. Keputusan terkait sanksi pidana korporasi
terhadap bank harus sejalan dengan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan
pertimbangan keseimbangan antara penegakan hukum dan stabilitas sistem
keuangan.24

21
Kristian, Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan, (Vol 4,
Oktober-Desember 2013).
22
Pujiyono, Corporation Criminal Responsibility Model Based on Restorative Justice Approach in
Indonesia, Semarang: Diponegoro Law Review Faculty of Law Diponegoro University, 2016
(https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/476588)
23
Aditya Bagus Kuncoro, The Policy Implementation of Corporation of Consumer Dispute Resolution
(BPSK) Reviewed From Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection, Surakarta: Legal Standing:
Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret 2017
(https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/875364)
24
https://definitions.uslegal.com/c/corporatecrime/diakses pada tanggal 21 Desember 2023
Tindak pidana merupakan perbuatan yang melibatkan tindakan atau
kelalaian yang bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan norma yang
hidup dalam masyarakat. Setiap perbuatan pidana harus dianggap melanggar
hukum, dan pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan
kesalahannya. Pertanggungjawaban pidana dikenakan berdasarkan
kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan atau kealpaan, dan tidak adanya
alasan pemaaf.25
Dalam konteks tindak pidana korporasi, definisinya dapat diartikan
sebagai kejahatan yang dilakukan baik oleh korporasi itu sendiri maupun oleh
individu yang dapat diidentifikasi dengan perusahaan atau badan usaha lain.
Menurut Perma Tipi Korporasi dan RUUKUHP, tindak pidana oleh korporasi
adalah perbuatan pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang
korporasi. Hal ini melibatkan orang-orang yang memiliki kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi, termasuk tindak pidana yang
dilakukan oleh individu berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya,
baik secara individu maupun bersama-sama untuk dan atas nama korporasi.26
Tanggungjawab pidana korporasi mencakup korporasi yang diduga
melakukan tindak pidana, induk korporasi, korporasi subsidiari, dan/atau
korporasi yang memiliki hubungan hukum yang melakukan tindak pidana
bersama dengan korporasi. Tanggungjawab pidana berlaku tidak hanya ketika
korporasi masih beroperasi tetapi juga ketika dalam proses pembubaran,
penggabungan, peleburan, atau tindakan pengurus korporasi yang tidak lagi
aktif atau telah meninggal dunia yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi.27
Dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat tiga
tahapan, yaitu pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus
harus bertanggungjawab secara pidana; kedua, korporasi sebagai pembuat,
tetapi pengurus yang bertanggungjawab secara pidana; ketiga, korporasi

25
Satya Marta Rihayat, Ismansyah, Nani Mulyati, The Role of General Attorney in Eradication of
Corruption by Corporation, Semarang: Diponegoro Law Review Faculty of Law Diponegoro University,
2019 (https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/1206954)

26
Said, M. Natsir, Hukum Perusahaan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1987.
27
Muladi, Penerapan Tanggungjawab Korporasi dalam Hukum Pidana, UNDIP Semarang, 2003, hlm.
2.
sebagai pembuat dan korporasi juga yang harus bertanggungjawab secara
pidana. Tahapan ketiga membuka kemungkinan untuk menuntut korporasi
dan meminta pertanggungjawabannya sesuai dengan hukum pidana. 28 Alasan
diaturnya korporasi sebagai pembuat dan pihak yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana adalah untuk menjaga
keseimbangan dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, mengingat keuntungan
yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat bisa sangat
besar.29
Tindak pidana korporasi dapat dianggap sebagai kejahatan
transnasional yang terorganisir dan merupakan bagian dari white collar crime,
sebagaimana didefinisikan oleh Sutherland. Pelaku kejahatan korporasi
umumnya memiliki tingkat sosial ekonomi yang tinggi, terlibat dalam
kegiatan jabatannya, melibatkan kelompok kejahatan, dan mendapat
perlindungan, sehingga sulit dideteksi dan dituntut hukum.
Pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap bank sebagai
penyelenggara transfer dalam menangani kasus tindak pidana korporasi yang
melibatkan penyembunyian bukti kesalahan transfer merupakan aspek yang
memerlukan analisis mendalam dalam konteks kerangka hukum Indonesia. 30
Bank, sebagai entitas hukum, dapat dihadapkan pada pertanggungjawaban
pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang terkait dengan tindak pidana
korporasi.31
Dalam kerangka hukum Indonesia yang mengedepankan prinsip-
prinsip negara hukum, pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk bank,
diatur oleh undang-undang, terutama terkait dengan pelanggaran-pelanggaran
tertentu yang dapat merugikan masyarakat atau pihak lain. Dalam kasus
keterlibatan bank dalam tindak pidana korporasi, evaluasi terhadap individu-
individu di dalam bank yang terlibat dalam proses transfer dana menjadi
penting. Pengurus dan karyawan bank diharapkan mematuhi ketentuan
hukum dan menjalankan fungsi pengawasan secara efektif.
28
Zakaria, Alfons, Criminal Law Enforcement of Indonesia Commerce Act Number 7 the year 2014 for
Corporation Perpetrators: Why it Will be Difficult, Malang: Brawijaya Law Journal: Journal Of Legal
Studies Brawijaya University, 2019 (https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/1603918)
29
Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di
Indonesia”, Bandung, CV Utomo, 2004, hal. 27.
30
Nasution, M. Irsan, Pola Pertanggungjawaban Pidana Bank Kaitannya Dengan Tindak Pidana
Perbankan, ‘Adliya, (Vol 9: 321, Januari-Juni 2015).
31
Said, M. Natsir, Hukum Perusahaan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1987.
Aspek kritis lainnya dalam menilai pertanggungjawaban pidana
korporasi bank adalah penilaian terhadap langkah-langkah pencegahan yang
diambil oleh bank tersebut. Kepatuhan terhadap standar keamanan dan
kepatuhan yang ditetapkan oleh otoritas pengawas dapat menjadi faktor
penentu dalam menentukan sejauh mana bank dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana. Efektivitas sistem pengawasan internal dan eksternal juga
memegang peranan kunci dalam menilai keterlibatan bank dalam tindak
pidana korporasi.
Sanksi pidana yang dapat diterapkan pada bank melibatkan sejumlah
konsekuensi, seperti denda dan/atau hukuman penjara. Karakteristik dan
keparahan tindak pidana akan mempengaruhi jenis sanksi yang diberlakukan.
Disamping itu, bank juga berpotensi menghadapi sanksi tambahan, termasuk
pencabutan izin operasional atau tindakan administratif lainnya.32
Dalam hal ini menjadi bahasan penting bahwa proses hukum dalam
konteks pertanggungjawaban pidana korporasi melibatkan berbagai
pertimbangan, dan keputusan harus didasarkan pada tinjauan yang cermat
terhadap landasan konstitusional, undang-undang yang berlaku, dan
kepatuhan terhadap norma-norma hukum dalam penanganan kasus tindak
pidana korporasi yang melibatkan penyembunyian bukti kesalahan transfer.
C. PENUTUP
Dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam
konteks bank sebagai penyelenggara transfer dalam kasus tindak pidana
korporasi yang melibatkan penyembunyian bukti kesalahan transfer,
melibatkan sejumlah aspek yang kompleks. Pengertian korporasi sebagai
entitas hukum, baik yang memiliki status badan hukum maupun tidak,
menimbulkan berbagai interpretasi dan pendapat dari para ahli hukum.
Dalam konteks kepastian hukum, landasan konstitusional Indonesia,
seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945, memberikan hak setiap individu
untuk memperoleh kepastian hukum yang adil. Dalam menangani tindak
pidana korporasi, terutama melibatkan bank sebagai korporasi, penting untuk

32
Maryono, Yuhelson, The Legal Policy of Corporation Legal Standing as Rechtpersoon at Indonesian
Criminal Justice System, Jakarta: The Southeast Asia Law Journal Universitas Jayabaya, 2018
(https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/754438)
menjaga transparansi, keadilan, dan memastikan bahwa proses penegakan
hukum sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Ketentuan hukum yang mengatur tindak pidana transfer dana, seperti
yang diatur dalam UU Transfer Dana, memberikan landasan hukum yang
kuat untuk menindak pelaku yang terlibat dalam kegiatan salah transfer dana,
baik dari sisi penyelenggara transfer maupun nasabah yang mengetahui dan
menolak untuk mengembalikan dana tersebut. Penerapan sanksi pidana dalam
konteks ini perlu memperhatikan tingkat kesalahan, dampak terhadap
masyarakat dan ekonomi, serta upaya perbaikan dan pencegahan kejadian
serupa di masa depan.
Dalam menilai pertanggungjawaban pidana korporasi bank, perlu
diperhatikan faktor-faktor seperti langkah-langkah pencegahan yang diambil
oleh bank, kepatuhan terhadap standar keamanan dan kepatuhan, serta
efektivitas sistem pengawasan internal dan eksternal. Sanksi pidana, seperti
denda dan hukuman penjara, harus diterapkan dengan mempertimbangkan
karakteristik dan keparahan tindak pidana, serta potensi sanksi tambahan
seperti pencabutan izin operasional.
Dalam proses hukum, keputusan terkait pertanggungjawaban pidana
korporasi harus didasarkan pada tinjauan yang cermat terhadap landasan
konstitusional, undang-undang yang berlaku, dan kepatuhan terhadap norma-
norma hukum. Dengan demikian, pendekatan hukum terhadap kasus tindak
pidana korporasi yang melibatkan bank perlu mempertimbangkan
keseimbangan antara penegakan hukum dan stabilitas sistem keuangan, serta
menjaga prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam setiap langkah
penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Aditya Bagus Kuncoro. "The Policy Implementation of Corporation of Consumer
Dispute Resolution (BPSK) Reviewed From Law Number 8 Year 1999 on
Consumer Protection." Surakarta: Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum,
Universitas Sebelas Maret, 2017.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/875364.

Akhmad Fajar Adi Nugroho, R. B Sularto. "The Urgency of Corporate Criminal


Liability in Criminal Law in Indonesia." Riau: Fakultas Hukum Universitas
Riau, 2020.
https://myl.ejournal.unri.ac.id/index.php/ML/article/view/7776/pdf.

Amrullah, Arief. "Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan


Ekonomi di Bidang Perbankan." Jurnal Hukum (Vol 9: September 2002), 23-
24.

Chasani, M. "Corporate Criminal Liability In Indonesia On The Perspective Of


Comparison." Indonesian Journal Of Criminal Law Studies (IJCLS), II (2),
2017. h. 148.

Dwidja Priyatno. "Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana


Korporasi Di Indonesia." Bandung: CV Utomo, 2004. h. 27.

Dwi Wahyono. "The Criminal Responsibility by Corporate." International Journal of


Law Recontruction Volume 5, Number 1, April 2021. DOI:
http://dx.doi.org/10.26532/ijlr.v5i1.15587.

Emmy Latifah, S. Supanto, Sri Dewi Retno Ningsih. "Corporation As The Actors of
Fisheries Crime in Indonesia." Surakarta: Jurnal Dinamika Hukum Faculty of
Law Universitas Jenderal Soedirman, 2018.
https://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/2067/598
.

Fence M. Wantu. "Anatomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim." Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Okotber 2007. Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, 388.

Fitri Novia Heriani. "Kasus Salah Transfer, Penggunaan Pasal 85 UU Transfer Dana
Harus Hati-Hati." Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-
salah-transfer--penggunaan-pasal-85-uu-transfer-dana-harus-hati-hati-
lt61849edb377d1/ pada tanggal 21 Desember 2023.

Kurniawan, R & Sari D, S.N.I. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan


Asas Strict Liability (Studi Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan
Hidup)." Jurnal Yuridis, 1 (2), 2014. h. 159.

Kristian. "Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi." Jurnal Hukum dan


Pembangunan (Vol 4, Oktober-Desember 2013).

Loebby Loqman. "Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian." Jakarta:


Datacom, 2002. h. 32.

Mahajan, K. "Corporate Criminal Liability: Why Corporations are Preferred and Not
the Employees?." Company Law Journal, 4, 2008. h. 3.

Maryono, Yuhelson. "The Legal Policy of Corporation Legal Standing as


Rechtpersoon at Indonesian Criminal Justice System." Jakarta: The Southeast
Asia Law Journal Universitas Jayabaya, 2018.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/754438.

Muladi. "Penerapan Tanggungjawab Korporasi dalam Hukum Pidana." UNDIP


Semarang, 2003. hlm. 2.

Nasution, M. Irsan. "Pola Pertanggungjawaban Pidana Bank Kaitannya Dengan


Tindak Pidana Perbankan." ‘Adliya, (Vol 9: 321, Januari-Juni 2015).

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Pujiyono. "Corporation Criminal Responsibility Model Based on Restorative Justice


Approach in Indonesia." Semarang: Diponegoro Law Review Faculty of Law
Diponegoro University, 2016.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/476588.

Satya Marta Rihayat, Ismansyah, Nani Mulyati. "The Role of General Attorney in
Eradication of Corruption by Corporation." Semarang: Diponegoro Law
Review Faculty of Law Diponegoro University, 2019.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/1206954.
Said, M. Natsir. "Hukum Perusahaan di Indonesia." Alumni, Bandung, 1987.

Sofyan, A & Azisa, N. "Hukum Pidana." Makassar: Pustaka Pena Press, 2016. h. 124.

Sri Dewi Retno Ningsih, S. Supanto, Emmy Latifah. "Corporation As The Actors of
Fisheries Crime in Indonesia." Surakarta: Jurnal Dinamika Hukum Faculty of
Law Universitas Jenderal Soedirman, 2018
(https://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/
2067/598).

Septa Chandra. "Correlation Between Theory of Criminal Liability and Criminal


Punishment Toward Corporation in Indonesia Criminal Justice Practice."
Surakarta: Jurnal Dinamika Hukum Faculty of Law Universitas Jendral
Soedirman, 2017
(https://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/
649/486).

Theo Huijabers. "Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah." Jakarta: Kanisius, 1982.
halaman 162.

Wantu, Fence M. "Anatomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim." Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Okotber 2007, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, halaman 388.

Zahra, Z. "Corporate Criminal Liability in Criminal Acts on The Position in an


Automotive Company." Jurnal Hukum Prasada, 5(2), 2018. h. 100.

"Corporate Crime." Diakses pada tanggal 21 Desember 2023 dari


https://definitions.uslegal.com/c/corporatecrime/.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, 4.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, 25.

Anda mungkin juga menyukai