Anda di halaman 1dari 55

WALI KOTA BANJAR

PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR


NOMOR 3 TAHUN 2023

TENTANG

PENYELENGGARAAN KESEHATAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA BANJAR,


Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang harus dilindungi, dimajukan, ditegakkan
dan dipenuhi, sehingga perlu diarahkan agar setiap orang
memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk
hidup sehat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya;
b. bahwa upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya, dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah dan masyarakat berdasarkan prinsip non
diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kesehatan
Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3237);
3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Kota Banjar di Provinsi Jawa Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4246);
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573);
6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5038);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
8. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
9. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5256) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573);
10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5571);
11. Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor
238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6841);

2
12. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran
Republik Indonesia Nomor 5601) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
14. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5612);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Darah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5197);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 tentang
Badan Pengawas Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 111, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5428);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang
Sistem Informasi Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5542);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5559);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 184, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5570);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Tradisional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 369, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5643);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5887), sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6402);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 229, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5942);

3
23. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
24. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 193);
25. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Banjar
(Lembaran Daerah Kota Banjar Tahun 2016 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjar Nomor 13)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kota Banjar Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Banjar
(Lembaran Daerah Kota Banjar Tahun 2021 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Daerah Kota Banjar Nomor 50);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BANJAR
dan
WALI KOTA BANJAR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN


KESEHATAN DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah Kota adalah Daerah Kota Banjar.
2. Pemerintah Daerah Kota adalah Wali Kota sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
3. Wali Kota adalah Wali Kota Banjar.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah
yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan Daerah.
5. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan
DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.

4
6. Dinas Kesehatan adalah unsur pelaksana urusan
pemerintahan bidang kesehatan yang menjadi kewenangan
daerah dipimpin oleh Kepala Dinas yang berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada Wali Kota melalui
Sekretaris Daerah.
7. Swasta adalah setiap komponen penyelenggara Upaya
Kesehatan non-pemerintah di Daerah Kota.
8. Masyarakat adalah sekelompok orang yang hidup bersama
dalam satu komunitas secara teratur dan saling tergantung
satu sama lain meliputi kelompok warga sipil, lembaga
nirlaba, korporasi, dan kelompok non pemerintah lain di
Daerah Kota.
9. Organisasi Profesi adalah organisasi yang bergerak di
bidang profesi Tenaga Kesehatan yang melakukan
pembinaan terhadap anggota dan memberikan rekomendasi
untuk izin praktik.
10. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
11. Penyelenggaraan Kesehatan Daerah adalah pengelolaan
Kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen di
Daerah Kota secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
12. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah
dan/atau masyarakat.
13. Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat
UKP adalah setiap suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk
peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan.
14. Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat
UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah dan
menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan
sasaran keluarga, kelompok dan masyarakat.
15. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
16. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya
disingkat FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan
pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non
spesialistik untuk keperluan observasi, promotif, preventif,
diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan
kesehatan lainnya.

5
17. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan yang
selanjutnya disingkat FKRTL adalah fasilitas kesehatan
yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang
bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi
rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan,
dan rawat inap di ruang perawatan khusus.
18. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
Pelayanan Kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
19. Badan Layanan Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat
BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh Unit Pelaksana
Teknis Daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola
pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan
pengelolaan daerah pada umumnya.
20. Unit Pelaksana Teknis Daerah, yang selanjutnya disingkat
UPTD adalah Organisasi yang melaksanakan kegiatan
teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang
tertentu pada Dinas Kesehatan.
21. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
BLUD UPTD Puskesmas adalah fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan pelayanan kesehatan
promotif dan pelayanan kesehatan preventif, untuk
mencapai derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.
22. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan Kesehatan yang
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan dan gawat darurat.
23. Pelayanan Kesehatan Tradisional adalah pengobatan
dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu
pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara
empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
24. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah
timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau
kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
25. Imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat
terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau
hanya mengalami sakit ringan.
26. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat
KIPI adalah kejadian medik yang diduga berhubungan
dengan Imunisasi.

6
27. Sumber Daya di Bidang Kesehatan adalah segala bentuk
dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan
alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan
teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Kota dan/atau masyarakat.
28. Sumber Daya Manusia Kesehatan yang selanjutnya
disingkat SDMK adalah seseorang yang bekerja secara aktif
di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal
kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan.
29. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
Kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
30. Pemberdayaan Masyarakat di bidang kesehatan yang
selanjutnya disebut Pemberdayaan Masyarakat adalah
proses untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan
kemampuan individu, keluarga serta masyarakat untuk
berperan aktif dalam upaya kesehatan yang dilaksanakan
dengan cara fasilitasi proses pemecahan masalah melalui
pendekatan edukatif dan partisipatif serta memperhatikan
kebutuhan potensi dan sosial budaya setempat.
31. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional
dan kosmetika.
32. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan Kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
33. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang
sakit, memulihkan Kesehatan pada manusia dan/atau
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
34. Makanan adalah barang yang diwadahi dan diberikan label
dan yang digunakan sebagai makanan atau minuman akan
tetapi bukan obat.
35. Hygiene Sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor
risiko terjadinya kontaminasi terhadap makanan, baik yang
berasal dari bahan makanan, orang, tempat dan peralatan
agar aman dikonsumsi.
36. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya
disingkat APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah yang ditetapkan oleh Wali Kota Banjar Bersama
DPRD Kota Banjar.
37. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya
disingkat STBM adalah pendekatan untuk mengubah
perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan
masyarakat dengan cara pemicuan.

7
38. Gawat Darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan
tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan
pencegahan kecacatan.
39. Pelayanan Kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang
dibutuhkan oleh pasien gawat darurat dalam waktu segera
untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan.
40. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu yang
selanjutnya disingkat SPGDT adalah suatu mekanisme
pelayanan Korban/Pasien Gawat Darurat yang terintegrasi
dan berbasis call center dengan menggunakan kode akses
telekomunikasi 119 dengan melibatkan masyarakat.
41. Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu atau Public Safety
Center yang selanjutnya disingkat P2KT/PSC adalah pusat
pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam
hal-hal yang berhubungan dengan kegawatdaruratan yang
berada di wilayah Pemerintah Daerah Kota yang merupakan
ujung tombak pelayanan untuk mendapatkan respon cepat.
42. Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang
sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi
tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif
dan efisien.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 2

Ruang lingkup dalam Peraturan Daerah ini, meliputi:


a. upaya kesehatan;
b. sumber daya manusia kesehatan;
c. sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan;
d. manajemen, informasi dan regulasi kesehatan;
e. penelitian dan pengembangan kesehatan;
f. pembiayaan kesehatan; dan
g. pemberdayaan masyarakat.

BAB II
UPAYA KESEHATAN

Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Kesehatan

Pasal 3

(1) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


huruf a, meliputi penyelenggaraan:
a. UKP; dan
b. UKM.
(2) Penyelenggaraan UKP dan UKM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. pelayanan kesehatan;
b. fasilitas pelayanan kesehatan;

8
c. sistem rujukan UKP;
d. gawat darurat;
e. pelayanan kesehatan tradisional;
f. pelayanan kesehatan bencana;
g. pelayanan darah;
h. promosi kesehatan;
i. surveilans kesehatan;
j. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit;
k. kejadian luar biasa;
l. kesehatan indera;
m. pelayanan kesehatan jiwa;
n. kesehatan lingkungan;
o. kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana;
p. pengelolaan imunisasi;
q. pelayanan gizi;
r. pelayanan kesehatan gigi dan mulut;
s. upaya kesehatan matra;
t. upaya kesehatan sekolah/madrasah/pesantren;
u. upaya kesehatan lanjut usia;
v. kesehatan kerja;
w. kesehatan olahraga;
x. pelayanan kesehatan reproduksi;
y. upaya keperawatan kesehatan masyarakat;
z. sistem rujukan UKM;
aa. jaminan kesehatan masyarakat; dan
bb. bedah mayat.
(3) BLUD UPTD Puskesmas bertanggungjawab melaksanakan
penyelenggaraan kesehatan di wilayah kerjanya.

Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan

Pasal 4

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan pelayanan


kesehatan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan melalui pendekatan:
a. upaya promotif;
b. upaya preventif;
c. upaya kuratif; dan
d. upaya rehabilitatif.

Bagian Ketiga
Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 5

(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan menyelenggarakan


pelayanan kesehatan, berupa:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan/atau
b. pelayanan kesehatan masyarakat.

9
(2) Jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. tempat praktik mandiri tenaga kesehatan;
b. BLUD UPTD Puskesmas;
c. klinik;
d. rumah sakit;
e. apotek;
f. unit transfusi darah;
g. laboratorium kesehatan;
h. optikal;
i. fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum; dan
j. fasilitas pelayanan kesehatan tradisional.
(3) Pemerintah Daerah Kota wajib menyelenggarakan Klinik
Utama dan Rumah Sakit kelas D dalam mendukung
program Jaminan Kesehatan Nasional dan program
kesehatan lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Klinik
Utama dan Rumah Sakit kelas D sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 6

(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (2) wajib memiliki izin penyelenggaraan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerbitan
izin operasional fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan yang telah memiliki izin
dengan masa berlaku tertentu dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah Kota berwenang menerbitkan izin
operasional Rumah Sakit Kelas C dan Kelas D serta fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat Daerah Kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin
operasional Rumah Sakit Kelas C dan Kelas D serta fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat Daerah dilaksanakan dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 8
(1) Setiap penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan wajib
mendukung program Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Kota.

10
(2) Setiap Rumah Sakit wajib memberikan informasi yang benar
tentang ketersediaan pelayanan medis, jumlah tempat tidur
dan jumlah tempat tidur ruang intensif kepada masyarakat.
(3) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

Pasal 9

(1) Setiap penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib


menyediakan fasilitas yang layak untuk kemudahan bagi
penyandang disabilitas.
(2) Setiap penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan
melakukan pembinaan terhadap upaya kesehatan
bersumberdaya masyarakat di lingkungan tempat fasilitas
pelayanan kesehatan tersebut berada.
(3) Pimpinan atau penanggung jawab fasilitas pelayanan
kesehatan wajib membuat laporan hasil kegiatan
penyelenggaraan upaya kesehatan kepada Dinas Kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan terhadap upaya
kesehatan bersumberdaya masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 10

(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (2) wajib menyelenggarakan sistem mutu
pelayanan kesehatan.
(2) Penyelenggaraan sistem mutu pelayanan kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Wali Kota.

11
Bagian Keempat
Sistem Rujukan UKP

Pasal 11

Sistem rujukan UKP, terdiri atas:


a. FKTP; dan
b. FKRTL.

Pasal 12

FKTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, terdiri


atas:
a. BLUD UPTD Puskesmas;
b. klinik pratama;
c. praktik mandiri Dokter; dan
d. praktik mandiri Dokter Gigi.

Pasal 13

FKRTL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, terdiri


atas:
a. rumah sakit;
b. klinik utama;
c. praktik mandiri Dokter Spesialis; dan
d. praktik mandiri Dokter Gigi Spesialis.

Pasal 14

(1) Pemerintah Daerah Kota wajib menyusun sistem rujukan


UKP.
(2) Penyelenggaraan sistem rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melibatkan Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat, Swasta dan Masyarakat.
(3) Pemerintah Daerah Kota bersama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan melakukan
koordinasi dalam penyelenggaraan sistem rujukan UKP.
(4) Penyelenggaraan sistem rujukan UKP dilaksanakan secara
berjenjang sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
(5) Ketentuan sistem rujukan UKP sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), dikecualikan dalam keadaan gawat darurat.
(6) Pemerintah Daerah Kota melaksanakan pengawasan
terhadap penyelenggaraan sistem rujukan UKP sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem
rujukan UKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dalam Peraturan Wali Kota.

12
Bagian Kelima
Gawat Darurat

Pasal 15

(1) Pelayanan kegawatdaruratan harus memenuhi kriteria


kegawatdaruratan.
(2) Kriteria kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang
lain/lingkungan;
b. adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi;
c. adanya penurunan kesadaran;
d. adanya gangguan hemodinamik; dan/atau
e. memerlukan tindakan segera.
(3) Pelayanan kegawatdaruratan meliputi penanganan
kegawatdaruratan, berupa:
a. prafasilitas pelayanan kesehatan;
b. intrafasilitas pelayanan kesehatan; dan
c. antarfasilitas pelayanan kesehatan.
(4) Pelayanan kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan melalui sistem penanggulangan gawat
darurat terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan di Daerah Kota
dan/atau tenaga kesehatan wajib memberikan pelayanan
kegawatdaruratan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(6) Pelayanan kegawatdaruratan dilaksanakan secara cepat,
tepat dan bertanggung jawab untuk penyelamatan nyawa
dan pencegahan kecacatan.
(7) Dalam menangani kondisi kegawatdaruratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan dilarang menolak
pasien dan/atau meminta uang muka pelayanan maupun
uang pembelian obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan
dalam proses penanganan sebelum memberikan tindakan.
(8) Fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dan ayat (7) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

13
Pasal 16

(1) Untuk terselenggaranya SPGDT, Pemerintah Daerah Kota


membentuk P2KT/PSC.
(2) P2KT/PSC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa Unit Pelaksana Teknis sebagai wadah koordinasi
untuk memberikan pelayanan gawat darurat secara cepat,
tepat dan cermat bagi masyarakat.
(3) P2KT/PSC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
fungsi sebagai:
a. pemberi pelayanan Korban/Pasien gawat darurat
dan/atau pelapor melalui proses triase (pemilahan
kondisi Korban/Pasien gawat darurat);
b. pemandu pertolongan pertama (first aid);
c. pengevakuasi Korban/Pasien gawat darurat; dan
d. pengoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
(4) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), P2KT/PSC memiliki tugas:
a. menerima terusan (dispatch) panggilan
kegawatdaruratan dari Pusat Komando Nasional
(National Command Center);
b. melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan dengan
menggunakan algoritme kegawatdaruratan;
c. memberikan layanan ambulans; dan
d. memberikan informasi tentang fasilitas pelayanan
kesehatan.
(5) P2KT/PSC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara
terus menerus.
(6) P2KT/PSC sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
berkoordinasi dengan unit teknis lainnya di luar bidang
kesehatan seperti Kepolisian Resort Kota Banjar dan Badan
Penanggulangan Bencana daerah Kota Banjar atau sebutan
lainnya serta instansi lain sesuai kekhususan dan
kebutuhan.
(7) P2KT/PSC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian utama dari rangkaian kegiatan SPGDT prafasilitas
pelayanan kesehatan yang berfungsi melakukan pelayanan
kegawatdaruratan dengan menggunakan algoritme
kegawatdaruratan yang ada dalam sistem aplikasi call center
119.
(8) Masyarakat yang mengetahui dan mengalami
kegawatdaruratan medis dapat melaporkan dan/atau
meminta bantuan melalui call center 119.
(9) Pertolongan terhadap korban/pasien gawat darurat
prafasilitas pelayanan kesehatan dapat diberikan oleh
masyarakat terlatih secara mandiri dan/atau dengan
panduan operator call center 119 sebelum tenaga kesehatan
tiba di tempat kejadian.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
P2KT/PSC diatur dalam Peraturan Wali Kota.

14
Bagian Keenam
Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pasal 17

(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional dapat


dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota, Swasta atau
Masyarakat.
(2) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional harus
dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1) Pelayanan kesehatan tradisional dapat berupa UKP dan


UKM.
(2) Penyelenggaraan UKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berupa kegiatan yang dilakukan oleh penyehat tradisional
dan tenaga kesehatan tradisional.
(3) Penyelenggaraan UKM sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilaksanakan melalui pembinaan yang meliputi:
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan
masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan tradisional; dan
c. pembiayaan.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan dengan melibatkan
Perangkat Daerah terkait.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

Pasal 19

(1) Setiap penyehat tradisional wajib terdaftar pada asosiasi


atau perkumpulan penyehat tradisional sesuai dengan
keahliannya.
(2) Setiap penyehat tradisional yang tidak terdaftar pada
asosiasi atau perkumpulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang melakukan kegiatan penyehatan tradisional
di Daerah Kota.
(3) Asosiasi atau perhimpunan atau perkumpulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), disahkan oleh instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Setiap asosiasi atau perhimpunan atau perkumpulan yang
bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan tradisional dan
memberikan rekomendasi kepada anggotanya dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional di Daerah
Kota harus terdaftar pada Dinas Kesehatan.
(5) Setiap asosiasi atau perhimpunan atau perkumpulan yang
tidak mendapatkan pengesahan dari instansi yang
berwenang dan tidak terdaftar pada Dinas Kesehatan tidak
dapat melakukan kegiatan di Daerah Kota.

15
Bagian Ketujuh
Pelayanan Kesehatan Bencana

Pasal 20

(1) Pelayanan kesehatan bencana, meliputi:


a. penyediaan sumber daya;
b. pelayanan kesehatan;
c. sistem informasi; dan
d. transportasi.
(2) Pemerintah Daerah Kota mempersiapkan kegiatan
pelayanan kesehatan pra bencana dan pasca bencana.
(3) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan
akses pelayanan kesehatan untuk kondisi siaga bencana.
(4) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak terdampak
bencana, wajib menyediakan akses pelayanan kesehatan
bagi warga terdampak bencana.
(5) Dalam hal terjadi bencana, setiap tenaga kesehatan dapat
memberi pertolongan sesuai dengan kemampuan dan
kompetensinya.
(6) Fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Kedelapan
Pelayanan Darah

Pasal 21

Pemerintah Daerah Kota bertanggungjawab terhadap


pendanaan penyelenggaraan pelayanan darah dalam rangka
jaminan ketersediaan darah untuk kepentingan pelayanan
kesehatan.

Pasal 22

(1) Dalam penyelenggaraan pelayanan darah Pemerintah


Daerah Kota berwenang membentuk Unit Transfusi Darah.
(2) Setiap pendirian Unit Transfusi Darah harus memiliki izin
dari Wali Kota sesuai dengan kewenangannya setelah
mendapat rekomendasi dari Tim Penilai di tingkat Provinsi.
(3) Dalam penyelenggaraan pelayanan darah, Pemerintah
Daerah Kota berwenang:
a. menetapkan kebijakan dalam biaya pengganti
pengelolaan darah melalui Keputusan Wali Kota dengan
didasarkan penghitungan unit cost;

16
b. memberikan pelayanan darah yang berkualitas, termasuk
pengamanan pelayanan darah yang meliputi pengerahan
dan pelestarian pendonor darah, pengambilan dan
pelabelan darah pendonor, pencegahan penularan
penyakit, pengolahan darah, penyimpanan darah dan
pemusnahan darah, pendistribusian darah, penyaluran
dan penyerahan darah;
c. memberikan izin operasional Unit Transfusi Darah
setelah mendapat rekomendasi dari Tim Penilai Unit
Transfusi Darah Tingkat Provinsi; dan
d. mengkoordinasi jejaring pelayanan darah.
(4) Setiap Rumah Sakit di Daerah Kota dapat memiliki bank
darah.
(5) Dalam upaya pencegahan penularan dan penanggulangan
penyakit, unit transfusi darah cabang wajib melakukan
penapisan darah terhadap penyakit berbahaya tertentu
sesuai dengan kemampuan dan melaporkan hasilnya
kepada Dinas Kesehatan.
(6) Unit transfusi darah cabang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Kesembilan
Promosi Kesehatan

Pasal 23

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya promosi


kesehatan.
(2) Pemerintah Daerah Kota dalam melakukan upaya promosi
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
melibatkan swasta dan masyarakat.

Pasal 24

(1) Upaya promosi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan di tempat umum,
tempat kerja, institusi kesehatan, institusi pendidikan dan
rumah tangga.

17
(2) Upaya promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui:
a. penyuluhan kesehatan yang dilakukan secara
berkesinambungan dan sesuai dengan pola penyakit
yang ada, terintegrasi dengan gerakan masyarakat hidup
sehat, melakukan advokasi dan menggalang kemitraan
dengan berbagai penggiat pembangunan kesehatan
termasuk Pemerintah Daerah lain;
b. peningkatan jumlah dan kemampuan tenaga penyuluh
kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya
dalam hal promosi kesehatan;
c. pengembangan metode dan teknologi promosi kesehatan
yang sejalan dengan perubahan dinamis masyarakat;
dan
d. kebijakan perilaku hidup bersih dan sehat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Promosi kesehatan
diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Kesepuluh
Surveilans Kesehatan

Pasal 25

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan surveilans


kesehatan.
(2) Penyelenggaraan surveilans kesehatan merupakan prasyarat
program kesehatan dan bertujuan untuk:
a. tersedianya informasi tentang situasi,
kecenderungan penyakit, dan faktor risikonya serta
masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai bahan pengambilan
keputusan;
b. terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan terjadinya KLB/wabah dan dampaknya;
c. terselenggaranya investigasi dan penanggulangan
KLB/wabah; dan
d. dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para
pihak yang berkepentingan sesuai dengan pertimbangan
kesehatan.
(3) Sasaran penyelenggaraan surveilans kesehatan, meliputi:
a. program kesehatan yang ditetapkan berdasarkan
prioritas nasional, spesifik lokal atau daerah, bilateral,
regional dan global; dan
b. program lain yang dapat berdampak terhadap kesehatan.
(4) Sasaran penyelenggaraan surveilans kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh
Dinas Kesehatan.

Pasal 26

(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan/atau


masyarakat yang menemukan kasus penyakit berpotensi
wabah penyakit wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan.

18
(2) Dalam mencegah peningkatan penyakit tidak menular dan
penyebaran penyakit menular, Dinas Kesehatan wajib
menyelenggarakan surveilans kesehatan, kewaspadaan dini
KLB dan respon.
(3) Penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB dan/atau
wabah memerlukan respon cepat dan penyelidikan
epidemiologi dari Pemerintah Daerah Kota dan Swasta dalam
waktu kurang dari 24 (dua puluh empat) jam setelah
diketahui.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

Pasal 27

Dalam menyelenggarakan surveilans kesehatan dilakukan


koordinasi oleh setiap layanan dan fasilitas kesehatan jejaring di
wilayah kerja BLUD UPTD.

Pasal 28

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan dan


pelaksanaan pemantauan dan pengamatan wabah penyakit
diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Kesebelas
Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Pasal 29

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


pencegahan dan pengendalian penyakit, meliputi:
a. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
dan
b. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tidak
menular.
(2) Penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular
langsung seperti tuberkulosis, infeksi saluran
pernafasan akut, HIV/AIDS dan infeksi menular seksual,
hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan dan
penyakit tropis menular langsung;

19
b. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tular
vektor dan zoonotik seperti malaria, zoonosis, filariasis
dan kecacingan, dan arbovirosis serta vektor dan
binatang pembawa penyakit lainnya; dan
c. penyakit menular lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, meliputi:
a. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit jantung
dan pembuluh darah;
b. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit paru
kronis dan gangguan imunologis;
c. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
diabetes mellitus dan gangguan metabolik;
d. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit kanker
dan kelainan darah;
e. upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tidak
menular lainnya;
f. upaya Kesehatan indera dan gangguan fungsional;
g. upaya Kesehatan jiwa; dan
h. upaya pencegahan dan pengendalian penyalahgunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

Pasal 30

(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan pencegahan dan


pengendalian penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya,
Swasta dan Masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
dan pelaksanaan upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

Bagian Kedua Belas


KLB

Pasal 31

(1) Pemerintah Daerah Kota berwenang menetapkan status


KLB.
(2) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib melaporkan
penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB atau wabah
kepada Pemerintah Daerah Kota dalam waktu 24 (dua
puluh empat) jam setelah penyakit tersebut terdiagnosa.
(3) Pemerintah Daerah Kota wajib menyelenggarakan
penanganan dan penyelidikan KLB.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
penanganan dan penyelidikan KLB sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

20
(5) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan
sanksi administratif, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

Bagian Ketiga Belas


Kesehatan Indera

Pasal 32

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


kesehatan indera.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya
kesehatan indera sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Keempat Belas


Pelayanan Kesehatan Jiwa

Pasal 33

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


kesehatan jiwa.
(2) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa,
Pemerintah Daerah Kota berwenang:
a. melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan
terhadap upaya kesehatan jiwa agar dilakukan secara
komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif;
b. membangun kerja sama lintas sektor dan berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota lain dalam menyediakan dan mengelola
data kependudukan Orang Dengan Gangguan Jiwa;
c. melakukan koordinasi dan kerjasama untuk melakukan
penatalaksanaan ODGJ yang dipasung secara
terintegrasi, komprehensif dan berkesinambungan, mulai
dari deteksi kasus, rehabilitasi medis, dan rehabilitasi
sosial melalui peran serta atau pemberdayaan
masyarakat;
d. melakukan koordinasi advokasi dan bimbingan teknis
dalam pelaksanaan kebijakan dan percepatan
pencapaian tujuan penanggulangan pemasungan ODGJ;
e. melakukan koordinasi untuk menetapkan 1 (satu) BLUD
UPTD Puskesmas dan/atau Rumah Sakit sebagai
institusi penerima wajib lapor bagi pecandu narkotika
dan psikotropika; dan

21
f. melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian
terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa dan
sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa.
(3) Wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk:
a. membuat kebijakan daerah mengenai upaya pelayanan
kesehatan jiwa daerah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
b. membuat rancangan regulasi untuk keberlangsungan
pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
(4) Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah
Kota wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
(5) Penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat bekerja
sama dengan swasta dan masyarakat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya
kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Kelima Belas


Kesehatan Lingkungan

Pasal 34

(1) Setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan Pemerintah


Daerah Kota, masyarakat dan/atau swasta wajib
memperhatikan dan menerapkan aspek kesehatan
lingkungan yang sehat, ditentukan melalui pencapaian atau
pemenuhan standar baku mutu lingkungan dan persyaratan
kesehatan.
(2) Standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan
kesehatan ditetapkan pada media lingkungan yang meliputi:
a. air;
b. udara;
c. tanah;
d. pangan;
e. sarana dan bangunan; dan
f. vektor dan binatang pembawa penyakit.
(3) Media lingkungan yang ditetapkan standar baku mutu
kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada pada
lingkungan:
a. permukiman;
b. tempat kerja;
c. tempat rekreasi; dan
d. tempat dan fasilitas umum.
(4) Media lingkungan yang ditetapkan standar baku mutu
kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan media
lingkungan yang berhubungan atau berdampak langsung
terhadap kesehatan masyarakat.

22
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

Pasal 35

(1) Masyarakat menyelenggarakan STBM secara mandiri


dengan berpedoman pada Pilar STBM.
(2) Pilar STBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
perilaku:
a. stop buang air besar sembarangan;
b. cuci tangan pakai sabun;
c. pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga;
d. pengamanan sampah rumah tangga; dan
e. pengamanan limbah cair rumah tangga.
(3) Pilar STBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan
untuk memutus mata rantai penularan penyakit dan
keracunan.
(4) Untuk mendukung penyelenggaraan STBM, Pemerintah
Daerah Kota berperan:
a. menetapkan skala prioritas wilayah untuk penerapan
STBM;
b. melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas program,
jejaring kerja, dan kemitraan dalam rangka
pengembangan penyelenggaraan STBM;
c. melaksanakan pelatihan teknis bagi petugas dan
masyarakat kecamatan dan/atau kelurahan;
d. melakukan pemantauan dan evaluasi; dan
e. menyediakan materi media komunikasi, informasi dan
edukasi.
(5) Strategi penyelenggaraan STBM, meliputi:
a. penciptaan lingkungan yang kondusif;
b. peningkatan kebutuhan sanitasi; dan
c. peningkatan penyediaan akses sanitasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanitasi total berbasis
masyarakat diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 36

(1) Pemerintah Daerah Kota melakukan pembinaan,


pengawasan dan pengendalian terhadap sarana, pelaku, dan
pengelolaan pada:
a. tempat fasilitas umum; dan
b. tempat pengelolaan pangan siap saji.

23
(2) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kaidah
higiene sanitasi tempat umum dan pengelolaan pangan siap
saji.

Pasal 37

(1) Setiap pemilik usaha di tempat fasilitas umum dan tempat


pengelolaan pangan siap saji wajib memiliki sertifikat laik
hygiene sanitasi.
(2) Sebagai bentuk pembinaan dan pengawasan, Dinas
Kesehatan dapat memberikan tanda terdaftar terhadap
sentra pedagang makanan jajanan.
(3) Sertifikasi laik hygiene sanitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan salah satu persyaratan untuk
mendapatkan izin operasional usahanya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sertifikasi tempat
umum dan pengelolaan pangan siap saji berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

Pasal 38

(1) Setiap perusahaan pengendalian vektor wajib memiliki izin


operasional.
(2) Ketentuan izin operasional perusahaan pengendalian vektor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

24
Bagian Keenam Belas
Upaya Kesehatan Ibu, Anak dan Keluarga Berencana

Pasal 39

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana sesuai standar
pelayanan.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan ibu, anak dan keluarga
berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengikutsertakan swasta dan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya
kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Wali Kota.

Bagian Ketujuh Belas


Pengelolaan Imunisasi

Pasal 40

(1) Setiap orang berhak mengikuti upaya kesehatan imunisasi.


(2) Upaya kesehatan Imunisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. jenis imunisasi;
b. penyelenggaraan imunisasi;
c. pemantauan dan penanggulangan kejadian ikutan pasca
imunisasi;
d. peran serta masyarakat;
e. pencatatan dan pelaporan; dan
f. pembinaan dan pengawasan.

Pasal 41

(1) Penyelenggaraan Imunisasi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 40 ayat (2) huruf b dikelompokkan menjadi imunisasi
program dan imunisasi pilihan.
(2) Imunisasi program sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. imunisasi rutin;
b. imunisasi tambahan; dan
c. imunisasi khusus.

Pasal 42

(1) Dinas Kesehatan bertanggung jawab menggerakkan peran


serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (2) huruf d melalui kegiatan pemberian informasi.
(2) Kegiatan pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. media cetak;
b. media sosial;
c. media elektronik dan media luar ruang;
d. advokasi dan sosialisasi;
e. pembinaan kader kesehatan;

25
f. pembinaan kepada kelompok binaan balita dan anak
sekolah; dan/atau
g. pembinaan organisasi atau lembaga swadaya
masyarakat.

Pasal 43

(1) Masyarakat dan/atau Swasta dapat berperan serta dalam


pelaksanaan imunisasi melalui kerja sama dengan
Pemerintah Daerah Kota.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. penggerak masyarakat;
b. sosialisasi imunisasi;
c. dukungan fasilitasi penyelenggaraan imunisasi;
d. keikutsertaan sebagai kader; dan/atau
e. turut serta melakukan pemantauan penyelenggaraan
imunisasi.

Pasal 44

(1) Pemerintah Daerah Kota wajib memfasilitasi


penyelenggaraan pelayanan pemberian imunisasi program
kepada seluruh masyarakat di Daerah Kota.
(2) Dinas Kesehatan bertanggung jawab dalam penyediaan
tenaga pengelola untuk penyelenggaraan imunisasi program.
(3) Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 45

Rumah sakit, BLUD UPTD Puskesmas, klinik dan Fasilitas


Pelayanan Kesehatan lainnya yang menyelenggarakan imunisasi
bertanggungjawab terhadap pengelolaan limbah Imunisasi
sesuai dengan persyaratan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 46

(1) Pasien yang mengalami gangguan kesehatan diduga akibat


Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi diberikan pengobatan dan
perawatan selama proses investigasi dan pengkajian
kausalitas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi berlangsung.
(2) Dalam hal gangguan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sebagai gangguan kesehatan akibat
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, maka pasien
mendapatkan pengobatan dan perawatan.
(3) Pembiayaan untuk investigasi dan kajian kasus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada
Pemerintah Daerah Kota, serta sumber pembiayaan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

26
(4) Pembiayaan untuk pengobatan, perawatan, dan rujukan
bagi seseorang yang mengalami gangguan kesehatan diduga
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi atau akibat Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi dibebankan pada Anggaran
Pendapatan Belanja pada Daerah Kota atau sumber
pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi dilaksanakan dengan berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 47

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


pelayanan imunisasi harus melakukan pencatatan dan
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf
e secara rutin dan berkala pada Dinas Kesehatan.

Pasal 48

Pemerintah Daerah Kota melakukan pembinaan dan


pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2)
huruf f terhadap penyelenggaraan imunisasi yang dilaksanakan
oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan secara berkala,
berjenjang dan berkesinambungan.

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan Imunisasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diatur dalam Peraturan
Wali Kota.

Bagian Kedelapan Belas


Pelayanan Gizi

Pasal 50

(1) Pemerintah Daerah Kota bertugas dan bertanggung jawab


dalam:
a. penyelenggaraan dan fasilitasi gizi skala kota;
b. penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kota;
c. perbaikan gizi keluarga dan masyarakat;
d. memenuhi kecukupan dan perbaikan gizi pada
masyarakat terutama pada keluarga miskin, rawan gizi
dan dalam keadaan situasi darurat;
e. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap
peningkatan status gizi;
f. menyelenggarakan pelayanan upaya perbaikan gizi di
fasilitas pelayanan kesehatan;
g. melaksanakan, fasilitasi, perizinan, koordinasi,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan wajib
upaya perbaikan gizi;
h. menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai
nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau; dan

27
i. menjaga agar bahan makanan memenuhi standar mutu
gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pemenuhan tugas dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan Swasta dan
Masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya perbaikan gizi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Wali Kota.

Pasal 51

(1) Upaya perbaikan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu


gizi perseorangan dan masyarakat yang dilakukan melalui:
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan
gizi seimbang;
b. perbaikan perilaku sadar gizi;
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai
dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(2) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus
kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut
usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
c. ibu hamil dan menyusui.
(3) Pelayanan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan di:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. institusi atau fasilitas lainnya;
c. masyarakat; dan
d. lokasi dengan situasi darurat.

Bagian Kesembilan Belas


Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut

Pasal 52

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


kesehatan gigi dan mulut.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan gigi dan mulut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
Swasta dan Masyarakat.
(3) Upaya kesehatan gigi dan mulut dilaksanakan melalui
pelayanan kesehatan gigi dan mulut perseorangan dan
masyarakat.
(4) Penyelenggaraan kesehatan gigi dan mulut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
kegiatan:
a. peningkatan kesehatan gigi dan mulut;
b. promosi kesehatan gigi dan mulut;
c. pencegahan penyakit gigi dan mulut;
d. pengobatan penyakit gigi dan mulut; dan
e. pemulihan kesehatan gigi dan mulut.

28
(5) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan sesuai standar pelayanan,
standar profesi, dan standar prosedur operasional.

Pasal 53

(1) Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan gigi dan mulut


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), Wali Kota
memiliki kewajiban menetapkan dan melaksanakan
kebijakan upaya kesehatan gigi dan mulut.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
upaya kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Kedua Puluh


Upaya Kesehatan Matra

Pasal 54

Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


kesehatan matra yang meliputi:
a. kesehatan haji dan umrah;
b. kesehatan penanggulangan bencana;
c. kesehatan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat;
d. kesehatan pada arus mudik; dan
e. kesehatan pada kegiatan di area tertentu.

Pasal 55

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan Kesehatan Haji


dan Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a
dalam bentuk :
a. pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kesehatan haji
di wilayahnya, termasuk dalam perjalanan dari daerah
asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asalnya;
b. penyiapan dan peningkatan sarana dan prasarana
kesehatan haji di wilayahnya;
c. peningkatan sumber daya manusia kesehatan haji di
wilayahnya;
d. penyediaan perbekalan kesehatan dan transportasi
kesehatan jemaah haji sakit;
e. pengamatan penyakit potensi wabah; dan
f. membuat laporan Penyelenggaraan Kesehatan Haji
kepada dinas kesehatan provinsi.
(2) Dalam menyelenggarakan Kesehatan Haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Wali Kota menetapkan Tim
Penyelenggara Kesehatan haji yang ditetapkan dengan
Keputusan Wali Kota.
(3) Dinas Kesehatan menetapkan BLUD UPTD Puskesmas dan
Rumah Sakit sebagai pelaksana upaya kesehatan Haji dan
Umrah sesuai tingkat atau tahapan pemeriksaan kesehatan
jemaah haji dan umrah.

29
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
Kesehatan jemaah haji dan umrah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 56

(1) Kesehatan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 54 huruf b merupakan kesehatan matra yang
dilakukan untuk mengurangi risiko kesehatan pada tahap
tanggap darurat.
(2) Ketentuan pelayanan kesehatan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 berlaku secara mutatis mutandis
terhadap penanggulangan bencana.

Pasal 57

(1) Kesehatan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf c merupakan
kesehatan matra yang dilakukan terhadap masyarakat dan
petugas yang terpajan pada gangguan keamanan dan
ketertiban, meliputi:
a. kegiatan kesiapan antisipasi terhadap kemungkinan
adanya risiko kesehatan keamanan dan ketertiban
masyarakat; dan
b. kegiatan operasional kesehatan penanggulangan risiko
kesehatan akibat keamanan dan ketertiban masyarakat.
(2) Kegiatan kesiapan antisipasi terhadap kemungkinan adanya
risiko kesehatan akibat keamanan dan ketertiban
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. analisis wilayah dan potensi gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat;
b. pemetaan wilayah rawan gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat;
c. sistem kewaspadaan dini;
d. pemetaan sumber daya kesehatan;
e. sistem rujukan kesehatan;
f. mobilisasi sumber daya kesehatan;
g. unit identifikasi korban;
h. koordinasi dan jejaring kerja;
i. komunikasi dan informasi; dan
j. rencana penanggulangan kedaruratan kesehatan.
(3) Kegiatan operasional kesehatan penanggulangan risiko
kesehatan akibat keamanan dan ketertiban masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. mobilisasi bantuan kesehatan;
b. penemuan dan pertolongan korban dan musibah massal;
c. pelayanan korban di pos depan pelayanan kesehatan
lapangan dan pelayanan rujukan; pelayanan medis
korban di unit pelayanan kesehatan terdekat;
d. pengamanan terhadap pos kesehatan lapangan dan unit
pelayanan kesehatan rujukan;
e. pelayanan kesehatan terhadap masyarakat yang harus
mengungsi dari wilayah yang terdampak gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat;

30
f. surveilans kesehatan;
g. inspeksi sanitasi dan perbaikan kualitas air bersih dan
sanitasi di wilayah terdampak; dan
h. pemulihan pasca gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
kesehatan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

Pasal 58

(1) Kesehatan pada arus mudik merupakan kesehatan matra


bagi masyarakat terpajan pada arus mudik dan arus balik
yang diselenggarakan pada saat:
a. persiapan; dan
b. selama arus mudik dan arus balik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kesehatan
pada arus mudik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 59

(1) Kesehatan pada kegiatan di area tertentu merupakan


kesehatan matra bagi masyarakat terpajan pada kegiatan,
paling sedikit terdiri atas:
a. kegiatan lomba lintas alam;
b. pekan olahraga;
c. lokasi wisata;
d. festival keagamaan;
e. pekan adat, seni dan budaya;
f. jambore di bumi perkemahan; dan
g. konvensi tingkat nasional dan internasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
kesehatan pada kegiatan di area tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Keduapuluh Satu


Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah/Pesantren

Pasal 60

(1) Pemerintah Daerah Kota wajib menyelenggarakan usaha


kesehatan sekolah/madrasah/pesantren diantaranya
berupa:
a. pendidikan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan; dan
c. pembinaan lingkungan sekolah sehat.
(2) Usaha kesehatan sekolah/madrasah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui
sekolah formal dan informal atau melalui lembaga
pendidikan lainnya dengan mengikutsertakan Swasta dan
Masyarakat.

31
(3) Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan
sekolah/madrasah/pesantren, dilakukan kerja sama antar
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)/Pos Kesehatan Pesantren
(Poskestren) dan BLUD UPTD Puskesmas untuk
menyelenggarakan 3 (tiga) program pokok (Trias UKS) sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemerintah Daerah Kota berkoordinasi dalam melakukan
pengembangan kapasitas tim pembina dan tim pelaksana
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)/Pos Kesehatan Pesantren
(Poskestren) melalui pelatihan dokter kecil dan guru
pembimbing Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)/Pos
Kesehatan Pesantren (Poskestren), sesuai kewenangan
masing-masing.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha
kesehatan sekolah/madrasah/pesantren sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Keduapuluh Dua


Upaya Kesehatan Lanjut Usia

Pasal 61

(1) Pemerintah Daerah Kota wajib menyelenggarakan upaya


kesehatan lanjut usia.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan lanjut usia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. penyediaan pos pelayanan terpadu lanjut usia;
b. penyediaan BLUD UPTD Puskesmas santun lanjut usia;
c. pemberian skrining kesehatan di seluruh fasilitas
kesehatan Pemerintah Daerah Kota dan Swasta;
d. pelayanan lanjut usia di rumah sakit;
e. pelayanan home care dan long term care;
f. optimalisasi sistem pencatatan dan pelaporan
pelayanan kesehatan lanjut usia; dan
g. pemberdayaan lanjut usia.
(3) Penyelenggaraan upaya kesehatan lanjut usia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan
lintas sektor, Swasta dan Masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya
kesehatan lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Keduapuluh Tiga


Kesehatan Kerja

Pasal 62

(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja


agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan
serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja.

32
(2) Pemberi kerja dan/atau pengelola tempat kerja harus
melakukan upaya pencegahan terhadap gangguan
kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi tempat
kerja di semua jenis pekerjaan sesuai dengan standar
kesehatan kerja di lingkungan kerja masing-masing.
(3) Pemberi kerja dan/atau pengelola tempat bekerja wajib
menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan
karyawan melalui Jaminan Sosial.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan.

Bagian Keduapuluh Empat


Kesehatan Olahraga

Pasal 63

(1) Pemerintah Daerah Kota melaksanakan upaya kesehatan


olahraga bersama dengan swasta dan masyarakat.
(2) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan
kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat.
(3) Upaya kesehatan olahraga dilaksanakan melalui aktivitas
fisik, latihan fisik dan/atau olahraga.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya
kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Keduapuluh Lima


Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Pasal 64

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


kesehatan reproduksi.
(2) Upaya kesehatan reproduksi dijamin melalui pelayanan
kesehatan yang aman, efektif dan terjangkau.
(3) Dalam menjamin kesehatan reproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelayanan kesehatan
harus melakukan:
a. informasi dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi,
terutama ditujukan kepada generasi muda;
b. fasilitasi pembentukan forum kesehatan reproduksi
berdasarkan kesadaran gender; dan
c. pelayanan kesehatan reproduksi yang mencegah
kejadian premarital seks (pasangan yang tidak sah), seks
bebas dan angka kehamilan yang berakibat pada
tindakan aborsi dan infeksi seksual, dan penyakit
HIV/AIDS.
(4) Penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan Swasta dan
Masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan upaya
kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Wali Kota.

33
Bagian Keduapuluh Enam
Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat

Pasal 65

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan upaya


keperawatan kesehatan masyarakat antara lain:
a. perawatan atau pelayanan kesehatan;
b. membimbing dan mendidik pasien dan keluarga; dan
c. meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
keperawatan.
(2) Penyelenggaraan upaya keperawatan kesehatan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengikutsertakan Swasta dan Masyarakat.
(3) Penyelenggaraan upaya keperawatan kesehatan masyarakat
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Keduapuluh Tujuh


Sistem Rujukan UKM

Pasal 66

Sistem rujukan UKM terdiri dari:


a. primer;
b. sekunder; dan
c. tersier.

Pasal 67

(1) Sistem rujukan UKM primer sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 66 huruf a, dilaksanakan oleh BLUD UPTD
Puskesmas.
(2) Pembinaan tata kelola penyelenggaraan UKM oleh BLUD
UPTD Puskesmas dilakukan oleh Dinas Kesehatan.

Pasal 68

(1) UKM sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66


huruf b, dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan.
(2) Penyelenggaraan UKM sekunder meliputi menerima dan
menindaklanjuti rujukan penyelesaian dari UKM Primer.
(3) Rujukan dari UKM Primer sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
a. sarana;
b. ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
c. operasional.
(4) Dinas Kesehatan melakukan koordinasi dengan Perangkat
Daerah lain dalam penyelesaian rujukan dari UKM primer.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan UKM diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

34
Bagian Keduapuluh Delapan
Jaminan Kesehatan Masyarakat

Pasal 69

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan jaminan


kesehatan bagi penduduk di Daerah Kota melalui:
a. kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional; atau
b. memberikan penggantian biaya pelayanan kesehatan.
(2) Penyelenggaraan pemberian jaminan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
swasta dan masyarakat.
(3) Penggantian biaya pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada penduduk
Daerah Kota yang memiliki:
a. data kependudukan yang valid;
b. status kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional nya
tidak aktif; dan
c. kondisi-kondisi tertentu yang tidak dijamin oleh Jaminan
Kesehatan Nasional.
(4) Pelayanan jaminan kesehatan bagi penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti pola penetapan tarif
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan kesehatan bagi
penduduk di Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Keduapuluh Sembilan


Bedah Mayat

Pasal 70

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan fasilitasi


layanan bedah mayat bagi Penduduk Daerah Kota.
(2) Fasilitasi layanan bedah mayat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di Daerah Kota, diselenggarakan oleh Dinas
Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai layanan bedah mayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

35
BAB III
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN

Pasal 71

(1) Pemerintah Daerah Kota melaksanakan pengelolaan upaya


pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia
kesehatan yang meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. pendayagunaan; dan
d. pembinaan dan pengawasan mutu sumber daya manusia
kesehatan.
(2) Pengelolaan sumber daya manusia kesehatan dilaksanakan
dalam rangka mendukung terselenggaranya kesehatan
daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya manusia
kesehatan diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 72

(1) Setiap penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dapat


menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
kesehatannya.
(2) Setiap penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dapat
mengikutsertakan tenaga kesehatannya dalam peningkatan
kompetensi.
(3) Setiap penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dapat
memberikan bantuan peningkatan kompetensi tenaga
kesehatannya.
(4) Bantuan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. informasi;
b. persetujuan;
c. dana pendidikan dan pelatihan; dan/atau
d. bentuk bantuan lainnya diberikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 73

(1) Setiap organisasi profesi pemberi rekomendasi praktik


tenaga kesehatan wajib terdaftar pada Dinas Kesehatan.
(2) Organisasi profesi di Daerah Kota wajib melakukan
pembinaan kepada seluruh anggotanya.
(3) Pembinaan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun dan dapat melibatkan Dinas Kesehatan.
(4) Setiap pergantian Ketua Organisasi Profesi Tingkat Daerah
Kota wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan.
(5) Pembinaan oleh organisasi profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi materi:
a. kode etik profesi;
b. standar keprofesian;
c. peningkatan ilmu dan keterampilan profesi;
d. status legal praktik keprofesian;
e. sosialisasi regulasi kesehatan terkait keprofesian; dan

36
f. pembangunan kesehatan di Daerah Kota.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diatur
dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 74

(1) Setiap Tenaga Kesehatan wajib memiliki surat tanda


registrasi dan surat izin praktik pada setiap fasilitas
pelayanan kesehatan tempat berpraktik.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan surat izin praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 75

(1) Setiap tenaga kesehatan yang berpraktik mandiri wajib


membuat laporan kegiatan pelayanan kesehatan kepada
Dinas Kesehatan.
(2) Setiap tenaga kesehatan yang melakukan praktik mandiri
wajib melakukan pembinaan terhadap kegiatan upaya
kesehatan berbasis Masyarakat di rukun warga tempat
berpraktik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan kegiatan pelayanan
kesehatan dan pembinaan terhadap kegiatan upaya
kesehatan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali
Kota.
(4) Setiap tenaga kesehatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

37
BAB IV
SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN DAN MAKANAN

Bagian Kesatu
Peredaran dan Penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan dan Makanan

Pasal 76

(1) Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan kewenangannya


wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat atas
peredaran dan penggunaan:
a. sediaan farmasi yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan khasiat;
b. alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan manfaat; dan
c. makanan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan gizi.
(2) Pemerintah Daerah Kota wajib memberikan perlindungan
kepada masyarakat atas peredaran dan penggunaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui:
a. upaya jaminan keamanan, mutu dan khasiat, serta
perlindungan masyarakat;
b. upaya jaminan mutu, keamanan dan manfaat;
c. upaya jaminan mutu, keamanan dan gizi;
d. upaya ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan;
e. upaya penyelenggaraan pelayanan kefarmasian;
f. upaya penggunaan obat yang rasional; dan
g. upaya kemandirian melalui pemanfaatan sumber daya
dalam negeri.

Pasal 77

(1) Pemerintah Daerah Kota melakukan pembinaan,


pengawasan dan pengendalian terhadap sarana dan pelaku
kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan sediaan
Farmasi, alat Kesehatan dan makanan.
(2) Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dalam pelaksanaannya dilakukan
oleh Dinas Kesehatan melalui koordinasi dengan instansi
terkait.
(3) Upaya pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. izin produksi, izin edar, izin distribusi, dan pelayanan
kefarmasian;
b. sarana produksi Sediaan Farmasi, alat kesehatan dan
makanan;
c. sarana dan unit pelayanan kefarmasian;
d. bahan berbahaya; dan
e. iklan.
(4) Upaya pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai
kewenangan Pemerintah Daerah Kota.

38
Pasal 78

(1) Dinas Kesehatan melaksanakan pengelolaan obat publik dan


perbekalan kesehatan.
(2) Dinas Kesehatan menjamin ketersediaan:
a. obat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar; dan
b. obat dan perbekalan kesehatanuntuk upaya kesehatan
kegawatdaruratan,KLBdan penanggulangan bencana.
(3) Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pendistribusian;
f. pencatatan dan pelaporan;
g. supervisi dan evaluasi; dan
h. pemusnahan.
(4) Dalam melaksanakan pengelolaan obat dan perbekalan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
didirikan Unit Pelaksana Teknis Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan makanan diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Bagian Kedua
Izin Usaha Mikro Obat Tradisional

Pasal 79

(1) Pemerintah Daerah Kota berwenang dalam menerbitkan izin


usaha mikro obat tradisional di Daerah Kota.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha mikro obat tradisional
wajib memiliki izin usaha mikro obat tradisional.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerbitan
izin usaha mikro obat tradisional di Daerah Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

39
Bagian Ketiga
Sertifikat Produksi Perusahaan Rumah Tangga Alat Kesehatan
dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

Pasal 80

(1) Pemerintah Daerah Kota berwenang menerbitkan:


a. sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1 (satu) tertentu
dan Pangan Industri Rumah Tangga kelas 1 (satu)
tertentu perusahaan rumah tangga; dan
b. perbekalan kesehatan rumah tangga tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha rumah tangga alat
kesehatan tertentu atau perbekalan kesehatan rumah
tangga tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki sertifikat produksi perusahaan rumah tangga alat
kesehatan tertentu dan perbekalan kesehatan rumah tangga
tertentu.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerbitan
sertifikat produksi perusahaan rumah tangga alat kesehatan
tertentu dan perbekalan kesehatan rumah tangga tertentu
di Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Keempat
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga

Pasal 81

(1) Setiap industri rumah tangga pangan wajib memiliki


sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.
(2) Sertifikat produksi pangan industri rumah tangga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. sertifikat penyuluhan keamanan pangan; dan
b. hasil rekomendasi pemeriksaan sarana produksi industri
rumah tangga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan
sertifikat produksi pangan industri rumah tangga dan
sertifikat penyuluhan keamanan pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Wali Kota.

40
(4) Industri rumah tangga pangan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin; dan/atau
g. denda administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

BAB V
MANAJEMEN, INFORMASI DAN REGULASI KESEHATAN

Pasal 82

Penyelenggaraan manajemen kesehatan, informasi kesehatan,


dan regulasi kesehatan dilakukan melalui:
a. kebijakan kesehatan;
b. administrasi kesehatan;
c. regulasi kesehatan; dan
d. pengelolaan data dan informasi kesehatan.

Pasal 83

(1) Penyelenggaraan kebijakan kesehatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 82 huruf a dilakukan dengan
memperhatikan kebijakan pembangunan kesehatan dalam:
a. rencana pembangunan jangka panjang di tingkat
Nasional, Provinsi dan tingkat Daerah Kota;
b. rencana pembangunan jangka menengah di tingkat
Nasional, Provinsi dan di tingkat Daerah Kota; dan
c. Penyelenggaraan Kesehatan Daerah sebagaimana diatur
dalam peraturan daerah ini.
(2) Pelaksanaan kebijakan pembangunan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menyusun skala prioritas perencanaan program
pembangunan kesehatan berbasis data sesuai dengan logic
model Dinas Kesehatan.

Pasal 84

(1) Penyelenggaraan administrasi kesehatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 82 huruf b meliputi:
a. perencanaan;
b. pengaturan dan pembinaan; dan
c. pengawasan dan pertanggungjawaban.

41
(2) Penyelenggaraan administrasi kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan:
a. berdaya guna dan berhasil guna, terpadu berlandaskan
pada arah kebijakan pembangunan nasional dengan
memperhatikan kebijakan dan prioritas pembangunan
kesehatan; dan
b. berorientasi pada kepentingan masyarakat,
memanfaatkan teknologi informasi, didukung sumber
daya manusia yang kompeten, dan pembiayaan yang
mencukupi untuk Dinas Kesehatan dan Perangkat
Daerah terkait.

Pasal 85

(1) Penyelenggaraan regulasi kesehatan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 82 huruf c meliputi:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan;
b. dokumentasi dan informasi hukum; dan
c. sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-
undangan.
(2) Penyelenggaraan perizinan dan non perizinan kesehatan
dilaksanakan dengan prinsip kecepatan, kemudahan dan
keterjangkauan.
(3) Penyelenggaraan regulasi kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memperhatikan perkembangan dan perubahan
lingkungan internal dan eksternal.

Pasal 86

(1) Dinas Kesehatan bertanggung jawab terhadap pengelolaan


data dan informasi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 huruf d.
(2) Data dan informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan di
Daerah Kota yang disampaikan secara berjenjang
berdasarkan kewilayahannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan data dan
informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

Pasal 87

(1) Pemerintah Daerah Kotamenetapkan kebijakan


penelitiandan pengembangan kesehatan, meliputi:
a. penelitian, pengembangan, penapisan teknologi dan
produk teknologi kesehatan;
b. ketersediaan tenaga peneliti dan anggaran
penelitian; dan/atau
c. perizinan dan pengawasan terhadap penelitian
kesehatan.

42
(2) Dalam melaksanakan kebijakan penelitian dan
pengembangan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah Daerah Kota dapat berkoordinasi dan/atau
bekerja sama dengan badan penelitian dan pengembangan
pada kementerian, perguruan tinggi dan/atau lembaga
penelitian lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan penelitian dan
pengembangan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 88

(1) Dalam hal penyelenggaraan Sistem Kesehatan Daerah,


Pemerintah Daerah Kota menetapkan kebijakan penelitian
dan pengembangan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87, melalui kegiatan:
a. pembuatan kajian; dan
b. inovasi bidang kesehatan.
(2) Dalam melaksanakan kebijakan pengembangan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah
Kota dapat berkoordinasi dan/atau bekerja sama dengan
lembaga lain.

BAB VII
PEMBIAYAAN KESEHATAN

Pasal 89

(1) Pemerintah Daerah Kota wajib untuk menjamin


ketersediaan pembiayaan kesehatan terhadap seluruh
subsistem penyelenggaraan kesehatan daerah.
(2) Pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui penghitungan dan pencatatan biaya
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 90

(1) Pemerintah Daerah Kota mengalokasikan besaran anggaran


kesehatan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari APBD di
luar gaji.
(2) Pemanfaatan anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan
publik paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari anggaran
kesehatan dalam APBD.
(3) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang
pelayanan publik terutama bagi penduduk miskin,
kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(4) Kebutuhan anggaran kesehatan dihitung berdasarkan target
yang dicapai dari standar pelayanan minimal dan standar
biaya umum.

43
Pasal 91

(1) Pembiayaan kesehatan diarahkan untuk menjamin


ketersediaan dana yang mencukupi, teralokasi,
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna
dalam pembiayaan kesehatan di Daerah Kota.
(2) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan pembiayaan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui:
a. penggalian dana;
b. pengalokasian dana; dan
c. pembelanjaan dana.
(3) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan pembiayaan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari:
a. APBD; dan/atau
b. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Penggalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a, dilakukan melalui kegiatan pencarian dan
pengoordinasian sumber-sumber dana yang berasal dari
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Swasta dan Masyarakat.
(5) Pengalokasian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilakukan melalui perencanaan anggaran.
(6) Pembelanjaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. aspek teknis;
b. alokasi sesuai outcome kegiatan;
c. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
d. jaminan pemeliharaan kesehatan yang bersifat wajib.

Pasal 92

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan kesehatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal
91 diatur dalam Peraturan Wali Kota.

BAB VIII
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 93

(1) Dalam penyelenggaraan kesehatan daerah Pemerintah


Daerah Kota dapat mengikutsertakan Masyarakat melalui
pemberdayaan Masyarakat.
(2) Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara individu, kelompok atau
kelembagaan melalui:
a. penyampaian masalah kesehatan, masukan dan/atau
cara pemecahan masalah terkait pengelolaan kesehatan
daerah;
b. penggerakan pemberdayaan masyarakat;
b. mengutamakan sasaran pemberdayaan
masyarakat;

44
c. kegiatan perilaku hidup bersih dan sehat; dan
d. peningkatan pemanfaatan potensi dan sumber daya
berbasis kearifan lokal.
(3) Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan,
potensi dan sosial budaya setempat.

Pasal 94

(1) Pemerintah Daerah Kota bertanggungjawab atas


pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
(2) Bentuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. penggerakan masyarakat;
b. pengorganisasian dalam pemberdayaan;
c. advokasi;
d. kemitraan; dan
e. peningkatan sumber daya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) serta dalam Pasal 93, diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 95

(1) Wali Kota berwenang melaksanakan pembinaan,


pengawasan, dan pengendalian atas penyelenggaraan
kesehatan daerah.
(2) Pengawasan, dan pengendalian atas penyelenggaraan
kesehatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan oleh Kepala Dinas Kesehatan selaku
penanggung jawab penyelenggaraan kesehatan daerah.
(3) Kepala Dinas Kesehatan melakukan pembinaan dan
pengawasan atas segala tindakan Tenaga Kesehatan
dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan dalam pelayanan
terhadap masyarakat di bidang kesehatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pengawasan
dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Wali Kota.

45
BAB X
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 96

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Perangkat Daerah di


lingkungan Pemerintah Daerah Kota diberi kewenangan
untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran dalam
ketentuan Peraturan Daerah ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 97

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 15 ayat (7) dikenai sanksi pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dikenai sanksi pidana
kurungan maksimal 6 (enam) bulan dan/atau denda
maksimal Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
pelanggaran.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 98

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan


pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Banjar yang telah ada
sebelum Peraturan Daerah Kota Banjar ini dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Daerah ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 99

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus


ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan
Daerah ini diundangkan.

46
Pasal 100

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kota Banjar.

Ditetapkan di Banjar
pada tanggal 10 Februari 2023
WALI KOTA BANJAR,

ttd

ADE UU SUKAESIH

Diundangkan di Banjar
pada tanggal 10 Februari 2023
SEKRETARIS DAERAH KOTA BANJAR,

ttd

ADE SETIANA

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJAR TAHUN 2022 NOMOR 3

NOREG PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR, PROVINSI JAWA BARAT


(3/12/2023)

47
PENJELASAN
ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR


NOMOR 3 TAHUN 2023

TENTANG
PENYELENGGARAAN KESEHATAN DAERAH

I. UMUM
Kebijakan pengelolaan kesehatan merupakan salah satu kebijakan
strategis yang mengandung hak dasar warga negara sebagaimana diamanatkan
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Hak dasar warga negara tersebut mengalir secara konstitusional dalam
peraturan perundang-undangan nasional yakni Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang
mengatur tegas aspek kekuasaan hukum dan sistem kebijakan pengelolaan
kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pemerintah Pusat telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Kebijakan pengelolaan
kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional dilakukan dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah
fungsional, berdasarkan kemampuan dan ketersediaan sumber daya di bidang
kesehatan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kota Banjar berkepentingan
untuk melakukan pengelolaan kesehatan untuk mengatasi masalah kesehatan
di wilayah Kota Banjar secara sistemik-holistik dalam kerangka desentralisasi
dan otonomi daerah yang fungsional.
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kesehatan Daerah menjadi
acuan kebijakan strategis dan sistemik bagi peraturan perundang-undangan
tentang kesehatan lainnya di Kota Banjar. Pengaturan dalam peraturan daerah
ini bersifat umum, sedangkan ketentuan yang lebih rinci dari masing-masing
subsistem dari Penyelenggaraan Kesehatan Daerah didelegasikan dalam
bentuk Peraturan Wali Kota yang lebih operasional.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud upaya promotif adalah kegiatan pelayanan
kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan, seperti pemberian leaflet dan brosur.

48
Huruf b
Yang dimaksud upaya preventif adalah suatu kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit,
seperti sosialiasi dan penyuluhan.
Huruf c
Yang dimaksud upaya kuratif adalah suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan
untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan
akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal
mungkin.

Huruf d
Yang dimaksud upaya rehabilitatif adalah kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuannya.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Fasilitas kesehatan yang dapat menyelenggarakan pelayanan
kesehatan tradisional antara lain:
a. rumah sakit;
b. klinik;
c. BLUD UPTD Puskesmas;
d. praktek mandiri tenaga kesehatan tradisional; dan
e. griya sehat.

49
Ayat (2)
Yang dimaksud tenaga kesehatan tradisional adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan tradisional serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan tradisional yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
tradisional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud kesehatan lingkungan merupakan upaya
pencegahan penyakit dan/atau kesehatan dari faktor resiko
lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat
baik dari aspek fisik, kimia, biologi maupun sosial. Kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota,
masyarakat dan/atau swasta berada pada media lingkungan
permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, dan tempat fasilitas
umum yang berhubungan atau berdampak langsung terhadap
kesehatan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
50
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud tempat fasilitas umum adalah sarana yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota/swasta, atau
perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat
seperti sarana pariwisata, kawasan transportasi, sarana ibadah,
sarana perdagangan, sarana pendidikan, sarana olahraga, rekreasi,
fasilitas pelayanan kesehatan, dan sarana
sosial lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud tempat pengelolaan pangan siap saji adalah usaha
pengelolaan makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan
siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat
usaha atas dasar pesanan seperti restoran/rumah makan, jasa
boga, makanan jajanan, dan depot air minum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud tempat umum adalah lokasi sarana dan
prasarana kegiatan bagi masyarakat umum, antara lain:
a. fasilitas kesehatan;
b. fasilitas pendidikan;
c. tempat ibadah;
d. hotel;
e. rumah makan dan usaha lain sejenis;
f. sarana olahraga;
g. sarana transportasi,darat,laut,udara dan kereta api;
h. stasiun dan terminal;
i. pasar dan pusat perbelanjaan;
j. pelabuhan dan bandar udara; dan
k. tempat fasilitas umum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas

51
Ayat (2)
Huruf e
Yang dimaksud Kader Kesehatan adalah setiap orang yang dipilih
oleh masyarakat dan dilatih oleh Dinas Kesehatan untuk
menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun
masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat
dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf b
Yang dimaksud dengan Institusi atau fasilitas lainnya adalah
institusi pendidikan, tempat kerja dan tempat umum.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Yang dimaksud kesehatan matra adalah upaya kesehatan dalam bentuk
khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan fisik
dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang serba
berubah secara bermakna baik di lingkungan darat, laut dan udara.
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Yang dimaksud terpajan adalah terpapar atau terkena dampak dari
kegiatan arus mudik.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas

52
Pasal 61
Ayat (2)
Huruf e
Yang dimaksud home care adalah pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada
individu dan keluarga ditempat tinggal mereka yang bertujuan
untuk meningkatkan, mempertahankan atau memaksimalkan
tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit.
Yang dimaksud long term care adalah berbagai layanan yang
membantu memenuhi kebutuhan medis dan non medis dari orang-
orang dengan penyakit kronis atau cacat yang tidak dapat merawat
diri mereka sendiri untuk jangka waktu lama.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud keperawatan kesehatan masyarakat adalah suatu
bidang dalam keperawatan kesehatan yang merupakan
perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat
dengan dukungan peran serta aktif masyarakat, serta
mengutamakan pelayanan promotif, preventif secara
berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan
rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai suatu
kesatuan yang utuh, melalui proses keperawatan untuk
meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga
mandiri dalam upaya kesehatannya.
Pasal 66
Huruf a
Yang dimaksud sistem rujukan UKM primer adalah UKM di
tingkat BLUD UPTD Puskesmas di Kecamatan.
Huruf b
Yang dimaksud sistem rujukan UKM sekunder adalah UKM di
tingkat Kota.
Huruf c
Yang dimaksud sistem rujukan UKM tersier adalah UKM di
tingkat Provinsi.
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

53
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Setiap tenaga kesehatan berhak memperoleh informasi dan
mendapat persetujuan dari pimpinan untuk meningkatkan
kompetensi.
Pasal 73
Cukup Jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup Jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup Jelas
Pasal 78
Yang dimaksud obat publik adalah obat yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan dasar.
Pasal 79
Cukup Jelas
Pasal 80
Cukup Jelas
Pasal 81
Cukup Jelas
Pasal 82
Yang dimaksud dengan Manajemen Kesehatan adalah pengelolaan yang
menghimpun berbagai upaya kebijakan Kesehatan, administrasi
kesehatan, pengelolaan data dan informasi Kesehatan, dan pengaturan
hukum kesehatan, yang mendukung sub sistem lainnya pada SKP guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
Pasal 83
Cukup Jelas
Pasal 84
Cukup Jelas

Pasal 85
Cukup Jelas
Pasal 86
Cukup Jelas
Pasal 87
Yang dimaksud dengan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan adalah
pengelolaan penelitian dan pengembangan, pemanfaatan dan penapisan
teknologi dan produk teknologi kesehatan yang diselenggarakan dan
dikoordinasikan guna memberikan data kesehatan yang berbasis bukti
untuk menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
Pasal 88
Cukup Jelas
Pasal 89
Yang dimaksud Pembiayaan Kesehatan adalah pengelolaan berbagai
upaya penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan dana kesehatan
untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pasal 90
Cukup Jelas

54
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dalam penyelenggaraannya
diantaranya dapat berupa bantuan dari perusahaan dalam bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pemberian hibah pihak
ketiga yang tidak mengikat, bantuan dari luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Huruf b
Yang dimaksud outcome kegiatan adalah segala sesuatu
yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan
dalam 1 (satu) program.
Pasal 92
Cukup Jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemberdayaan Masyarakat antara lain pos pelayanan terpadu, pos
pembinaan terpadu lansia dan PTM, pos upaya kesehatan kerja.
Pasal 94
Cukup Jelas
Pasal 95
Cukup Jelas
Pasal 96
Cukup Jelas
Pasal 97
Cukup Jelas
Pasal 98
Cukup Jelas
Pasal 99
Cukup Jelas
Pasal 100
Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 65

55

Anda mungkin juga menyukai