Anda di halaman 1dari 7

Dhomir sya’ni disebut juga dhomir hadits ( ‫)َضِم ْيُر اْلَحِد ْيِث‬, dhomir qisshoh ( ‫)َضِم ْيُر اْلِقَّص

ِة‬, dhomir
Amr ( ‫)َضِم ْيُر ْاَألْم ِر‬, dhomir majhul ( ‫)َضِم ْيُر اْلَم ْج ُهْو ِل‬, atau majhul ( ‫ )اْلَم ْج ُهْو ُل‬saja. Ulama-ulama Bashroh
memilih istilah dhomir sya’ni, sementara ulama-ulama Kufah memilih istilah dhomir majhul.
Sebagian dari mereka menggunakan istilah dhomir sya’ni dalam kondisi ungkapan
mudzakkar, dan istilah dhomir qisshoh dalam kondisi ungkapan muannats.

Definisi dhomir sya’ni adalah;


“Dhomir di awal kalimat yang tidak merujuk pada lafaz tertentu dan kesamarannya
diperjelas oleh kalimat sesudahnya”
Dhomir sya’ni boleh diterjemahkan : urusannya, perkaranya, masalahnya, kisahnya,
ceritanya, kondisinya, kasusnya :…dan makna-mana yang semisal. contoh;

‫ُه َو اُهلل أحٌد‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisinya/kasusnya ; Allah adalah
Esa.

‫ ُهَو‬pada kalimat di atas adalah dhomir sya’ni, karena berada di awal kalimat, tidak merujuk
pada lafaz tertentu dan kesamarannya diperjelas kalimat sesudahnya yaitu ungkapan; ‫ُهللا أحٌد‬
(Allah adalah Esa). Karena itu dhomir ‫ ُهَو‬pada kalimat di atas diterjemahkan:
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisinya/kasusnya . Contoh lain;

‫فإهنا ال تعمى األبصار‬


Sesungguhnya urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ;
bukan penglihatan yang buta (tapi mata hatilah yang buta).

Dhomir “haa” pada kata ‫ فإنها‬pada kalimat di atas adalah dhomir sya’ni, karena berada di
awal kalimat, tidak merujuk pada lafaz tertentu dan kesamarannya diperjelas kalimat
sesudahnya yaitu ungkapan; ‫( ال تعمى األبصار‬bukan penglihatan yang buta). Karena itu dhomir
pada kata ‫ فإنها‬pada kalimat di atas diterjemahkan
urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya.

Dalam rangka mendekatkan pemahaman, jika dhomir sya’ni memakai lafaz ‫ ُهَو‬, dhomir ini
boleh diperkirakan merujuk pada lafaz ‫( الشأن‬urusan), ‫( األمر‬perkara), atau ‫الحال‬
(keadaan/kondisi). Jika dhomir sya’ni yang dipakai adalah ‫هي‬, maka dhomir ini boleh
diperkirakan merujuk pada lafaz ‫( القصة‬kisah/cerita) atau ‫( المسألة‬masalah). Ar-Rodhy Al-
Astarobadzy dalam kitabnya; Syarah Ar-Rodhy mengusulkan perkiraan pertanyaan untuk
memahami dhomir sya’ni. Jika dalam sebuah kalimat ada dhomir sya’ni, maka seolah-olah di
sana ada pertanyaan:

‫ما الشأن؟‬
Apa urusannya?

Kemudian dijawab; ‫( ُهَو ُهللا أحٌد‬Urusannya; Allah adalah Esa) misalnya.


Dinamakan dhomir sya’ni karena dhomir ini dimunculkan untuk menjelaskan urusan
tertentu. Makna ‫ الَّش ْأِن‬adalah urusan. Disebut juga dhomir hadits (‫ )َضِم ْيُر الحديث‬karena dhomir
ini dimunculkan untuk menjelaskan pembicaraan/cerita tertentu. Makna ‫ الحديث‬adalah
pembicaraan. Nama lainnya adalah dhomir qisshoh (‫ )َضِم ْيُر القصة‬karena dhomir ini
dimunculkan untuk menjelaskan kisah/peristiwa tertentu. Makna ‫ القصة‬adalah
kisah/peristiwa. Istilah lain menyebutnya dhomir amr (‫ )َضِم ْيُر األمر‬karena dhomir ini
dimunculkan untuk menjelaskan perkara tertentu. Makna ‫ األمر‬adalah perkara. Ulama-ulama
Kufah menyebutnya dhomir majhul (‫)َضِم ْيُر المجهول‬, atau majhul (‫ )المجهول‬saja karena tidak ada
kata tertentu yang menjadi sasaran rujukan dhomir tersebut. Makna ‫ المجهول‬adalah yang
tidak diketahui.

Tujuan dimunculkannya dhomir sya’ni adalah untuk kepentingan tafkhim (


‫)التفخيم‬/menunjukkan pentingnya dan ta’dhim (‫)التعظيم‬/isti’dhom (‫)االستعظام‬/menunjukkan
agungnya informasi yang disajikan sesudah dhomir sya’ni. Maksudnya, orang yang
memunculkan dhomir sya’ni ingin mengungkapkan bahwa kandungan makna kalimat yang
hendak diungkapkan (baik dengan redaksi jumlah ismiyyah maupun jumlah fi’liyyah) itu
punya makna penting, yang mengharuskan telinga menyimak sungguh-sungguh dan jiwa
mmperhatikan dengan serius. Jadi ungkapan;

‫ُه َو اُهلل أحٌد‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisinya/kasusnya ; Allah adalah
Esa.

pemunculan dhomir sya’ni pada ungkapan di atas adalah ingin mengungkapkan bahwa
kandungan makna kalimat ‫“ ُهللا أحٌد‬Allah adalah Esa” itu punya makna penting, informasi
agung, yang mengharuskan telinga menyimak sungguh-sungguh dan jiwa mmperhatikan
dengan serius. Hal ini bisa difahami, karena dhomir sya’ni itu sifatnya mubham (samar), dan
segala sesuatu yang sifatnya mubham, yang tidak merujuk ke mana-mana itu umumnya
membuat penasaran dan memacu rasa keingintahuan. Karena itu, menjadi kurang tepat
jika dhomir sya’ni dimunculkan dalam konteks pemberian informasi yang remeh, misalnya;

‫هو الذباب يطري‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; lalat itu
terbang.
Dhomir sya’ni termasuk isim dan memiliki posisi i’rob sesuai dengan amilnya. Hanya saja
dhomir sya’ni tidak pernah berposisi majrur. Ibnu At-Thorowah menggolongkan dhomir
sya’ni sebagai harf dengan alasan dhomir sya’ni membuat harf ‫ ِإَّن‬menjadi tidak memiliki
efek i’rob sebagaimana harf ” ‫ ” مَا‬yang membuat ” ‫ ” َكْيَف‬atau harf Jarr ” ‫ ” كـ‬menjadi tidak
punya efek i’rob. Abu Hayyan cenderung setuju dengan Ibnu At-Thorowah.

Adapun syarat penggunaannya, maka ada lima ketentuan yang harus ditaati yaitu;
Pertama; Harus berupa mufrod ghoib.

Dhomir sya’ni harus berupa mufrod ghoib, maksudnya dhomir yang dipakai tidak boleh
bentuk mutsanna seperti ‫ أنتما‬dan ‫ هما‬, sebagaimana tidak boleh bentuk jamak seperti ‫ هم‬dan
‫هن‬. Dhomir sya’ni juga tidak boleh berupa mutakallim (penutur) seperti ‫ أنا‬dan ‫ نحن‬atau
mukhothob (obyek bicara) seperti seperti ‫ أنَت‬dan ‫أنِت‬. Dhomir sya’ni harus berupa mufrod
ghoib, yakni dhomir ‫ هو‬dan ‫هي‬. Tegasnya, dhomir sya’ni hanya bisa memakai dua macam
dhomir ini, karena hanya dua macam dhomir ini yang memenuhi syarat mufrod ghoib.
Contoh;

‫ُه َو اُهلل أحٌد‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah
Esa.

‫هي املرأة عرض‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; wanita adalah
kehormatan.

Dari segi penampilan fisik, bentuk mufrod ghoib itu bisa dalam keadaan
mustatir/mustakinn/ ‫ مستكن‬/‫( مستتر‬tersembunyi) maupun bariz/ ‫( بارز‬tampak) tanpa
membedakan apakah bariznya munfashil (terpisah dengan kata lain) ataukah muttashil
(bersambung dengan kata lain).
Contoh dhomir sya’ni yang mustatir ada pada kalimat berikut;

‫كان علي عادل‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Ali adalah adil.

Lafadz ‫ كان‬sebenarnya mengandung dhomir yaitu ‫ هو‬namun dhomir ini tersembunyi


sehingga dinamakan mustatir. Dhomir ‫ هو‬yang tersembunyi pada lafaz ‫ كان‬adalah dhomir
sya’ni, sehingga dikatakan dalam kalimat ini dhomir sya’ninya penampilan fisiknya mustatir
(tersembunyi). Kaidahnya: Jika dhomir sya’ni bertemu dengan kata ‫ كان‬dan saudara-
saudaranya seperti ‫ أضحى‬, ‫ أصبح‬, ‫ أمسى‬termasuk af’al muqorobah (‫ كاد‬dkk), maka dhomir sya’ni
harus disembunyikan (mustatir).
Contoh untuk bariz munfashil bisa dilihat pada contoh berikut;

‫ُه َو اُهلل أحٌد‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah
Esa.

Kata ‫ ُهَو‬adalah dhomir sya’ni. Kata ini dikatakan bariz karena tampak/tidak tersembunyi, dan
dikatakan munfashil karena tidak bersambung dengan kata lain.

Contoh untuk bariz muttashil bisa dilihat pada contoh berikut;


‫ظننته الصديُق نافٌع‬
Saya menduga Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya:
teman adalah bermanfaat

Kata ‫ ظننته‬berasal dari kata ‫( ظننت‬saya menduga) dan ‫ هو‬. ‫ هو‬disini adalah dhomir sya’ni.
Karena dia tampak, yakni lafaz “hu” pada kata ‫ ظننته‬maka dia dikatakan bariz. Kondisinya
yang bersambung dengan kata lain yaitu kata ‫ ظننت‬membuatnya disebut muttashil. Jadi,
dhomir sya’ni pada kalimat ini penampilan fisiknya dikatakan bariz muttashil. Kadiahnya;
Jika dhomir sya’ni bersambung dengan nawashikh nashob (kata-kata yang punya fungsi
menashobkan kata lain) seperti ‫ حسب‬,‫ ظن‬,‫ لكن‬,‫ أن‬, ‫إَّن‬, dan lain lain maka harus berbentuk bariz
muttashil.

Sampai di sini bisa dikatakan bahwa dhomir sya’ni dari segi penampilan fisik, bentuknya
tergantung amil (unsur yang mempengaruhi)nya.

Pemilihan dhomir sya’ni mudzakkar ataukah muannats didasarkan pada redaksi info yang
diberikan sesudah dhomir sya’ni. Jika kalimatnya bersifat muannats, maka dhomir sya’ninya
memakai muannats, dan jika kalimatnya bersifat mudzakkar, maka dhomir sya’ni memakai
mudzakkar. Contoh;

‫ُه َو اُهلل أحٌد‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah
Esa.

‫هي املرأة عرض‬


Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; wanita adalah
kehormatan.

Kalimat pertama dhomir sya’ni yang dipakai adalah bentuk mudzakkar karena kalimat
sesudahnya bersifat mudzakkar. Dikatakan kalimat sesudahnya bersifat mudzakkar, karena
inti kalimat (subyeknya) yaitu ‫ ُهللا‬adalah lafadz mudzakkar. Kalimat kedua dhomir sya’ni yang
dipakai adalah bentuk muannats karena kalimat sesudahnya bersifat muannats. Dikatakan
kalimat sesudahnya bersifat muannats, karena inti kalimat (subyeknya) yaitu ‫ المرأة‬adalah
lafadz muannats.

Kedua; Amil Yang Bekerja Padanya Hanya Ibtida’ atau nawasikhnya


Maksud syarat yang kedua ini adalah dhomir sya’ni harus selalu berposisi sebagai mubtada’
dan kalimat sesudahnya berposisi sebagai khobar. Apapun kalimatnya dan bagaimanapun
konteksnya, dhomir sya’ni tidak pernah berposisi selain mubtada’. Dhomir sya’ni boleh
dimasuki nawasikh mubtada’ apapun seperti ‫ كان‬dkk, ‫ إن‬dkk, dan ‫ ظن‬dkk, namun posisi
orsinilnya tetap sebagai mubtada’. Jika ada dhomir yang diduga sebagai dhomir sya’ni,
namun ternyata posisi i’robnya bukan sebagai mubtada’ atau yang asalnya mubtada’, maka
bisa dipastikan bahwa dhomir tersebut bukanlah dhomir sya’ni.
Ketiga; Tidak boleh diikuti tabi’ (‫)التابع‬
Dhomir sya’ni tidak boleh diikuti tabi’, maksudnya tidak boleh diikuti kata-kata yang i’robnya
mengikuti kata yang lain seperti athof, ta’kid, badal, dan na’at. Dhomir sya’ni tidak boleh
diikuti athof, ta’kid, badal apalagi na’at karena tidak pernah ada dhomir yang diberi na’at.
Dhomir sya’ni adalah kata mubham (samar). isim nakiroh saja tidak boleh diberi ta’kid,
apalagi dhomir sya’ni yang lebih mubham dari isim nakiroh.

Ibnu Hisyam Al-Anshory mengkritik Az-Zamakhsyary yang memahami dhomir pada ayat di
bawah ini sebagai dhomir sya’ni;

{ ‫[ }ِإَّنُه َيَر اُك ْم ُهَو َو َقِبيُلُه ِم ْن َح ْيُث اَل َتَر ْو َنُهْم‬27 :‫]األعراف‬
Menurut Ibnu Hisyam, dhomir “hu” pada kata ‫ ِإَّنُه‬bukanlah dhomir sya’ni, karena hukum asal
dhomir harus difahami dhomir sejati selama masih mungkin difahami demikian. Apalagi
ada qiroat yang membaca lafadz ‫ َو َقِبيُلُه‬dengan nashob. Jika lafadz tersebut dinashobkan,
maka bisa dipastikan dhomir “hu” pada kata ‫ ِإَّنُه‬bukanlah dhomir sya’ni karena syarat
dhomir sya’ni adalah tidak boleh diathofkan, sementara dalam qiroat tersebut diathofkan.

Keempat; Sesudah dhomir sya’ni harus berupa jumlah


Informasi yang disajikan sesudah dhomir sya’ni harus berupa jumlah (kalimat), tidak boleh
hanya mufrod (satu kata) atau tarkib. Dengan kata lain dhomir sya’ni harus selalu terletak
sebelum/di depan jumlah, tidak boleh sesudahnya. jumlahnyapun harus berupa jumlah
khobariyyah (bersifat informatif) tidak boleh insya-yyah (non informatif) atau tholabiyyah
(bersifat tuntutan). Jumlah tersebut juga harus dimunculkan dengan lengkap dua unsurnya
(musnad dan musnad ilaihnya) tidak boleh hanya salah satu. Contoh-contoh penggunaan
yang salah;

‫…ُه َو امللوك‬
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisinya/kasusnya ; raja-raja
adalah….

Contoh ini salah karena informasi sesudah dhomir sya’ni tidak berupa jumlah (kalimat)
sempurna.

‫اُهلل أحٌد ُه َو‬


Allah adalah Esa,Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya
Contoh ini salah karena dhomir sya’ni diletakkan sesudah jumlah.

‫ُه َو من أنت؟‬
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisinya/kasusnya ; Siapa Anda?
Contoh ini salah karena informasi sesudah dhomir sya’ni bukan berupa jumlah (kalimat)
khobariyyah, tapi jumlah insya-yyah karena kalimat yang berisi pertanyaan, bukan
informatif.

‫ُه َو ال تقرْأ‬
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisinya/kasusnya ; jangana
membaca!

Contoh ini salah karena informasi sesudah dhomir sya’ni bukan berupa jumlah (kalimat)
khobariyyah, tapi jumlah tholabiyyah karena kalimatnya berisi tuntutan, bukan kalimat
informatif.

Kelima; Tidak merujuk ke lafaz apapun


Dhomir sya’ni tidak boleh merujuk ke kata apapun baik sebelumnya ataupun sesudahnya.
Dhomir sya’ni hanya bisa diterangkan bahwa maksudnya dijelaskan oleh kalimat
sesudahnya sehingga makna mubham yang ada pada dhomir sya’ni kembali pada makna
kalimat yang diungkapkan sesudahnya. Jika ada lafaz tertentu sebelum dhomir maupun
sesudahnya yang merujuk pada dhomir tersebut, maka bisa dipastikan dhomir tersebut
bukanlah dhomir sya’ni.

Inilah lima syarat yang harus dipatuhi dalam menggunakan dhomir sya’ni.
Ketentuan lain terkait dhomir sya’ni adalah bolehnya dhomir sya’ni dibuang meskipun ini
jarang. Menurut Ar-Rodhy Al-Astarobadzy, dhomir sya’ni ketika bertemu dengan ‫ إَّن‬boleh
dibuang, misalnya dalam hadis;

‫إَّن من أشد الناس عذاًبا يوم القيامة املصورون‬


Sesungguhnya perkaranya: Para pelukis adalah diantara yang paling keras siksanya pada
hari kiamat.
Perkiraan kalimat ini adalah;

‫إنه من أشد الناس عذاًبا يوم القيامة املصورون‬


Sesungguhnya perkaranya: Para pelukis adalah diantara yang paling keras siksanya pada
hari kiamat.

Namun ada yang berpendapat pembuangan dhomir sya’ni yang melekat pada ‫ إَّن‬adalah
dhoif.
Yang telah disepakati, dhomir sya’ni boleh dibuang jika melekat pada ‫ أَّن‬Mukhoffafah ( ‫)أْن‬,
misalnya pada ayat berikut;

‫وآِخ ُر َد ْع واُهم َأِن الَحْم ُد ِهَّلل رِّب الَع اَلِم ين‬


Lafaz ‫ َأِن‬dalam ayat di atas, asalnya adallah ‫ َّن‬. Lafadz itu ditakhfif (diringankan) sehingga
‫َأ‬
menjadi ( ‫ )أْن‬. Lafaz ini mengandung dhomir sya’ni, perkiraannya adalah ‫َأَّنه‬.jadi, dalam
kalimat lengkap ayat tersebut perkiraannya adalah;

‫وآِخ ُر َدْع واُه م َأَّنه اَحلْم ُد لَّلِه رِّب الَعاَلِم ني‬


Akhir dari doa mereka adalah (urusannya ucapan) Alhamdulillahirobbil ‘alamin

Oleh: Uts Muafa

Anda mungkin juga menyukai