Anda di halaman 1dari 44

MODUL PRAKTIKUM

LABORATORIUM
PENANGANAN PROBLEMA PRODUKSI

LABORATORIUM HULU MIGAS

DISUSUN OLEH :
TIM LABORATORIUM HULU MIGAS
PENANGANAN PROBLEMA PRODUKSI

POLITEKNIK ENERGI DAN MINERAL AKAMIGAS CEPU


Jl. Gajahmada No. 38 Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, 58315

2023
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang


Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga Modul
Praktikum Penanganan Problema Produksi ini dapat hadir
sebagai salah satu fasilitas di Laboratorium Hulu Minyak dan
Gas khususnya Laboratorium Penanganan Problema Produksi.
Modul ini disusun untuk menunjang kelancaran kegiatan
Praktikum Penanganan Problema Produksi di Program Studi
Teknik Produksi Minyak dan Gas PEM Akamigas. Modul ini
diharapkan dapat membantu semua pihak yang terlibat dalam
praktikum tersebut dengan baik, tanpa kendala yang berarti
dalam pelaksanaannya.
Kami menyadari terdapat kesalahan dan keterbatasan
pengetahuan dalam penyusunan modul ini. Oleh karena itu
masukan ataupun saran dari pembaca yang membangun kami
butuhkan demi kesempumaan modul ini. Harapan kami semoga
Modul Praktikum Penanganan Problema Produksi ini dan
kegiatan praktikum yang dilaksanakan dapat bermanfaat
khususnya bagi praktikan dan umumnya bagi Civitas Akademik
Teknik Produksi Minyak dan Gas PEM Akamigas serta bagi
Program Studi lain sebagai referensi

Cepu, Agustus 2023


Kepala Laboratorium Hulu Migas

Rahmadsyah, S.T., M.Sc


NIP: 19800224 201103 1 001

1 | Modul Penanganan Problema Produksi


STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
LABORATORIUM PENANGANAN PROBLEMA
PRODUKSI

Fungsi dan Struktur Laboratorium Penanganan Problema


Produksi

1. Fungsi
1.1 Sebagai sarana untuk melakukan praktik atau
penerapan atas teori yang sudah didapat, serta
mengoptimalkan pengelolaan laboratorium
penanganan problema produksi.
1.2 Sebagai sarana penelitian tugas akhir dan sumber
pembelajaran bagi dosen maupun mahasiswa
Teknik Produksi Migas.
1.3 Pusat workshop, pengembangan SDM serta wadah
layanan terhadap civitas akademika dalam
meningkatkan pembelajaran khususnya di bidang
penanganan problema produksi.

2. Strutktur Laboratorium
2.1. Kepala laboratorium adalah tenaga edukatif yang
ditugaskan menjadi pimpinan tertinggi dalam
laboratorium dan bertanggung jawab terhadap semua
kegiatan yang ada di laboratorium hulu migas.
2.2. Laboran adalah seorang yang membantu pelaksanaan
kegiatan dan teknis operasional serta mempersiapkan
peralatan dan bahan untuk kegiatan penelitian.
2.3. Asisten Laboratorium adalah mahasiswa yang diseleksi
dan ditetapkan oleh Kepala Laboratorium untuk
memberikan penjelasan materi praktikum serta memandu
jalannya praktikum.
2.4. Praktikan atau Peserta Praktikum adalah mahasiswa yang
telah terdaftar untuk mata kuliah yang bersangkutan pada

2 | Modul Penanganan Problema Produksi


semester berjalan yang ditunjukkan dengan kartu rencana
studi KRS dan telah mendaftarkan diri untuk praktikum
pada semester berjalan.

Tata Tertib Umum Laboratorium Penanganan Problema


Produksi

1. Tata Tertib Penggunaan Laboratorium Penanganan Problema


Produksi
1.1 Praktikan wajib menaati semua tata tertib dan ketentuan
yang ada di Laboratorium Hulu Migas.
1.2 Berlaku sopan, santun, dan menjunjung etika akademik.
1.3 Menjaga kebersihan dan kenyamanan ruang laboratorium.
1.4 Praktikan dilarang memindahkan dan menggunakan
peralatan laboratorium tanpa didampingi oleh Asisten
Laboratoium.
1.5 Alat-alat laboratorium tidak diperbolehkan dibawa keluar
laboratorium tanpa izin dari Kepala Laboratorium.
1.6 Sebelum meninggalkan laboratorium praktikan wajib
mensterilisasikan ruangan dan peralatan praktikum serta
dikembalikan ke tempat semula dalam keadaan lengkap,
bersih, dan siap pakai.
1.7 Selalu mengedepankan keselamatan diri, orang lain, dan
fasilitas laboratorium.
1.8 Jika terjadi kerusakan atau hilangnya peralatan
laboratorium, maka praktikan yang yang bersangkutan
wajib melaporkan ke Asisten Laboratorium dan wajib
mengganti sesuai dengan kerusakan yang dilakukan.
1.9 Selama masa pandemi COVID-19, praktikan wajib
mengenakan masker sesuai dengan spesifikasi yang
diizinkan dan menjalankan protokol kesehatan [social
distancing).
1.10 Praktikan wajib menggunakan alat pelindung diri (APD)
yang sesuai dengan standar laboratorium.

2. Tata Tertib Praktikum Laboratorium Penanganan Problema


Produksi

3 | Modul Penanganan Problema Produksi


2.1 Setiap praktikan wajib menaati semua tata tertib dan SOP
(Standard Operating Procedure) yang berlaku.
2.2 Praktikan wajib mengambil mata kuliah Praktikum
Penanganan Problema Produksi dan terdaftar resmi
sebagai peserta Praktikum Penanganan Problema Produksi
2.3 Praktikan diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan
praktikum dan penugasan laporan praktikum sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan, perubahan jadwal
praktikum harus seizin koordinator Asisten Laboratorium.
2.4 Praktikan diwajibkan datang tepat waktu. Keterlambatan
akan mengurangi nilai keseluruhan praktikum dan
praktikan tidak diizinkan mengikuti kegiatan praktikum.
2.5 Praktikan wajib:
• Menggunakan jas laboratorium dan baju standar
praktikum laboratorium.
• Menggunakan sepatu tertutup.
• Menggunakan sarung tangan latex dan lap atau tisu
per kelompok.
• Menggunakan goggle apabila diperlukan pada
percobaan tertentu.
• Mengerjakan dan mengumpulkan Tugas
Pendahuluan (TP) berupa tujuan alat dan bahan dasar
teori praktikum kepada koordinator Asisten
Laboratorium sebelum praktikum dimulai.
• Mengisi dan mengumpulkan Job Safety Analysis
(JSA) kepada koordinator Asisten Laboratorium.
• Mengikuti sesi pre-test sebelum praktikum dimulai.
• Membawa alat tulis yang diperlukan.
2.6 Diharapkan agar praktikan membaca dan memahami
modul, serta mengikuti standar prosedur operasional
(SOP) untuk setiap peralatan dan kegiatan praktikum.
2.7 Sebelum praktikum dimulai, praktikan diwajibkan
melakukan peminjaman alat terlebih dahulu dengan
mengisi form yang telah disediakan
2.8 Praktikan wajib mengembalikan peralatan yang telah
dipinjam setelah praktikum selesai.

4 | Modul Penanganan Problema Produksi


2.9 Sebelum meningalkan laboratorium, praktikan harus
bertanggung jawab atas kebersihan laboratorium maupun
peralatan.
2.10 Praktikan wajib membuat laporan sementara hasil
praktikum pada hari itu paling lambat hingga pukul 21.00
WIB.
2.11 Praktikan wajib membuat laporan praktikum dengan
ketentuan yang sudah diberikan.

2.12 Praktikan wajib mengikuti post-test dan melakukan


presentasi setelah usai melakukan semua praktikum, yang
diberikan oleh penguji (Asisten Laboratorium).

3. Prosedur Peminjaman Peralatan dan Bahan Laboratorium


Penanganan Problema Produksi.
3.1 Sebelum praktikum dimulai, praktikan harus mengajukan
permohonan tertulis peminjaman alat dan pemakaian
bahan pada blanko yang telah disediakan.
3.2 Bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian antara daftar,
jenis, maupun jumlah alat sebagaimana berkas
peminjaman alat, segera melapor kepada Asisten
Laboratorium.
3.3 Saat kegiatan penelitian atau praktikum berlangsung,
peralatan tidak boleh dipinjamkan atau dipindahkan ke
tempat lain.
3.4 Setelah penelitian selesai, praktikan harus menyerahkan
kembali peralatan, dan Asisten Laboratorium memeriksa
kembali keadaan bahan dan alat yang telah digunakan. Jika
terdapat alat yang mengalami kerusakan atau hilang, maka
praktikan melalui Asisten Laboratorium wajib membuat
laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Laboratorium
dan wajib mengganti sebesar kerusakan.

4. Tata Tertib Bimbingan dan Asistensi Laporan Praktikum


Penanganan Problema Produksi
4.1 Bimbingan dimaksudkan agar laporan praktikum dapat
terarah dan terselesaikan dengan baik.

5 | Modul Penanganan Problema Produksi


4.2 Bimbingan laporan dibagi kelompok per kelas dengan
jumlah praktikan per kelompok yang telah disepakati.
4.3 Pembimbing laporan merupakan Asisten Laboratorium
dengan pengawasan Laboran dan Kepala Laboratorium
yang bertanggung jawab atas bimbingan laporan
praktikan.
4.4 Kegiatan bimbingan dilaksanakan setelah praktikan
selesai melakukan praktikum.
4.5 Praktikan wajib menghubungi pembimbing untuk
menyepakati rencana bimbingan.
4.6 Bimbingan secara langsung dengan praktikan
langsung mendatangi pembimbing.
4.7 Bimbingan secara tidak langsung dilakukan jika ada
kendala tertentu dengan melakukan bimbingan melalui
email atau media yang sudah disepakati.
4.8 Praktikan wajib mengisi lembar bimbingan di setiap
kegiatan bimbingan.
4.9 Laporan Praktikum dapat disetujui pembimbing jika telah
memenuhi jumlah minimal bimbingan yang disepakati
atau memenuhi syarat-syarat tertentu.
4.10 Praktikan harus selalu menjunjung sopan, santun, dan
etika akademik selama proses bimbingan.

6 | Modul Penanganan Problema Produksi


DAFTAR KEPENGURUSAN
LABORATORIUM PENANGANAN PROBLEMA PRODUKSI

Dosen Pengampu Praktikum


Ir. Edi Untoro, M.T. IPM / 196007281994031001

Koordinator Laboratorium
Rahmadsyah, S.T., M.Sc. / 198002242011031001

Laboran
Susilo Nuryani / 197107121991031002

Koordinator Asisten Laboratorium


Penanganan Problema Produksi
Arista Rahma Fidian Albakia / 211410027
Asisten Laboratorium

7 | Modul Penanganan Problema Produksi


FORMAT PENULISAN LAPORAN

Aturan penulisan laporan resmi


1. Ukuran kertas A4.
2. Batas bidang pengetikan pias atas dan kiri 4 cm, pias
kanan dan bawah 3 cm.
3. Jenis karakter Times New Roman
- Ukuran 18 untuk judul sampul, cetak tebal dan
justifikasi ditengah.
- Ukuran 14 untuk judul bab, cetak tebal dan justifikasi
ditengah.
- Ukuran 12 untuk naskah (teks)
- Ukuran 12 untuk sub bab, cetak tebal
4. Penggunaan spasi :
- 1 spasi untuk judul, nama anggota kelompok dan
judul bab
- 1,5 spasi digunakan untuk isi tiap bab
- 3 spasi digunakan untuk jarak antara isi pembahasan
dengan gambar
5. Penomoran halaman dari halaman pengesahan sampai
daftar lampiran menggunakan angka romawi, sedangkan
pada isi laporan menggunakan angka pada umumnya.

8 | Modul Penanganan Problema Produksi


6. Untuk gambar diberi keterangan, Contoh: Gambar 1.1
Termometer, diletakkan di bawah gambar. Sedangkan
untuk tabel diberi keterangan di atas tabel, Contoh: Tabel
1.1 Pengikisan Korosi.
7. Daftar gambar dan daftar tabel dituliskan setelah daftar
isi.
8. Semua simbol dan singkatan (nomenklatur) dituliskan
pada daftar singkatan dan simbol setelah daftar gambar
dan daftar tabel.
9. Untuk persamaan ditulis berurutan sebagai berikut,
misalnya: Sl = Sw + So + Sg (1)
10. Semua kutipan yang diambil dari daftar pustaka harus
diberi catalan kaki pada akhir kutipan.
11. Lampiran adalah dokumen tambahan yang mungkin ada
dan diletakkan pada akhir laporan setelah daftar pustaka.

9 | Modul Penanganan Problema Produksi


Format susunan laporan resmi
1. Halaman Judul.
2. Halaman pengesahan laporan.
3. Kata pengantar.
4. Daftar isi.
5. Daftar gambar (bila perlu).
6. Daftar tabel (bila perlu).
7. Daftar grafik (bila perlu).
8. Daftar singkatan dan simbol (bila perlu).
9. Daftar lampiran (bila perlu).
10. Daftar singkatan dan simbol.BAB I. Pendahuluan
11. BAB II – BAB IX Sesuai judul masing-masing modul,
yang setidaknya memuat:
a. Tujuan Praktikum.
b. Tinjauan Pustaka.
c. Tabel Alat dan Bahan.
d. Prosedur Percobaan.
e. Analisa (Hasil percobaan, perhitungan, tabel hasil
percobaan, dan grafik).
f. Pembahasan.
g. Kesimpulan.

10 | Modul Penanganan Problema Produksi


12. BAB X. Pembahasan Umum
13. BAB XI. Kesimpulan Umum
14. Daftar Pustaka
15. Lampiran
16. Kartu Praktikan.
17. Lembar Bimbingan Laporan.

11 | Modul Penanganan Problema Produksi


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................. 1

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) ............... 2

DAFTAR KEPENGURUSAN ............................................... 7

FORMAT PENULISAN LAPORAN .................................... 8

DAFTAR ISI .......................................................................... 12

I. EMULSI ............................................................................. 14

I.1 TUJUAN .................................................................. 14


I.2 CAPAIAN PEMBELAJARAN ............................. 14
I.3 KESELAMATAN KERJA .................................... 15
I.4 TINJAUAN PUSTAKA ......................................... 15
I.5 ALAT DAN BAHAN .............................................. 17
I.6 PROSEDUR PERCOBAAN .................................. 20
I.7 SOAL ANALISA .................................................... 21
1.8 DAFTAR PUSTAKA ............................................. 21
II. PARAFIN.......................................................................... 23

II.1 TUJUAN .................................................................. 23


II.2 CAPAIAN PRAKTIKUM ..................................... 23
II.3 KESELAMATAN KERJA .................................... 24
II.4 TINJAUAN PUSTAKA ......................................... 24

12 | Modul Penanganan Problema Produksi


II.5 ALAT DAN BAHAN .............................................. 28
II.6 PROSEDUR PERCOBAAN .................................. 30
II.7 DAFTAR PUSTAKA ............................................. 32
III. KOROSI .......................................................................... 33

III.1 TUJUAN .................................................................. 33


III.2 CAPAIAN PRAKTIKUM ..................................... 33
III.3 KESELAMATAN KERJA .................................... 33
III.4 TINJAUAN PUSTAKA ......................................... 34
III.5 ALAT DAN BAHAN .............................................. 39
III.6 PROSEDUR PERCOBAAN .................................. 41
III.7 SOAL ANALISA .................................................... 43
III.8 DAFTAR PUSTAKA ............................................. 43

13 | Modul Penanganan Problema Produksi


I. EMULSI

I.1 TUJUAN
1. Memahami prinsip dasar emulsi yang terlarut dalam
crude oil.
2. Memahami bagaimana dan mengapa emulsi bisa
terbentuk.
3. Memahami proses pemecahan emulsi.
4. Memahami prosedur penggunaan Centrifuge ASTM
D-4007

I.2 CAPAIAN PEMBELAJARAN


1. Mahasiswa dapat memahami prinsip dasar emulsi
yang terlarut dalam crude oil.
2. Mahasiswa dapat memahami bagaimana dan mengapa
emulsi bisa terbentuk.
3. Mahasiswa dapat mengoperasikan Centrifuge ASTM
D-4007
4. Mahasiswa dapat memahami proses pemecahan
emulsi.

14 | Modul Penanganan Problema Produksi


I.3 KESELAMATAN KERJA
1. Bekerja sesuai degan SOP yang berlaku di
Laboratorium Penanganan Problema Produksi serta
menggunakan APD yang sesuai dengan jenis
pekerjaan.
2. Hati – hati bekerja menggunakan perlatan yang mudah
pecah.
3. Bila menggunakan perlatan bertenaga listrik, lihat
terlebih dahulu tegangan jaringan listrik yang ada.
4. Bersihkan perlatan setiap kali sehabis digunakan
percobaan dengan mencucinya hingga bersih.
I.4 TINJAUAN PUSTAKA
Emulsi merupakan kombinasi dua jenis cairan yang
immiscible atau cairan yang pada kondisi normal tidak
dapat bercampur. Salah satu cairan tersebut akan tersebar
atau terdispersi sebagai droplet pada cairan lainnya.
Droplet cairan dikenal sebagai fasa eksternal atau fasa
kontinu. Ada beberapa jenis emulsi antara lain : air dalam
minyak (water in oil), minyak dalam air (oil in water), dan
oil in water in oil dst. Dalam hal ini, campuran terdiri dari
crude oil dan air yang bercampur dengan perantara
emulsifying agent. Ada beberapa perlakuan yang dapat
mengganggu kestabilan emulsi dan ada yang
memperkuatnya. Pada percobaan ini akan diuji pengaruh

15 | Modul Penanganan Problema Produksi


perlakuan tersebut terhadap stabilitas emulsi diantaranya
dengan metode agitasi (pengadukan), kemudian memecah
emulsi dengan metode pemanasan (thermal), penambahan
demulsifier (penambahan zat kimia), didiamkan (gravity
settling), dan sentrifuga (pemutaran). Kemudian volume
air kumulatif yang terpisah dari emulsi dibandingkan
terhadap waktu yang dibutuhkan.
Adanya air yang terkandung dalam minyak mentah
menyebabkan terbentuknya emulsi yang garuhi karena
adanya material kimia (asphaltene, resin dan asam
natfena yang berperan sebagai emulsifier, Pembentukan
emulsi dalam miyak mentah sangat tidak diharapkan
karena dapat menyebabkan korosi pada pipa (Mulyadi A,
2007)
Perubahan temperatur ini menyebabkan meningkatnya
viscositas minyak karena terbent kaya emulsi yang dapat
menyebabkan minyak mentah sulit untuk dialiri (fingas et
al. 2003) karena itu emula yag terbentuk harus dihilangkan
agar minyak entah mudah dialiri. Untuk pencegahan
emulsi harus dilakukan penelitian laboratorium dengan
metode kimia yaitu dengan menggunakan demulafier
(Grace, 1992). Demulsifier dalam kaitannya adalah untuk
menanggulangi masalah emisi yang terjadi pada suatu

16 | Modul Penanganan Problema Produksi


lapangan minyak yang hasilnya sangat diperlukan sebagai
acuan dalam penanganan masalah emulsi lebih lanjut.
I.5 ALAT DAN BAHAN
A. Alat

No Nama Gambar
Alat

1 Gelas
Ukur

2 Centrifuge
ASTM
D-4007

17 | Modul Penanganan Problema Produksi


3 Tube
Centrifuge

4 Hand
Gloves

18 | Modul Penanganan Problema Produksi


B. Bahan

No Nama Bahan Gambar


1 Sampel Crude
Oil

2 Toluene

19 | Modul Penanganan Problema Produksi


3 Demulsifier

I.6 PROSEDUR PERCOBAAN


1. Siapkan alat dan bahan
2. Masukkan 50 ml crude oil pada centrifuge tube
3. Tambahkan 50 ml toulena ke dalam masing-masing
centrifuge tube
4. Masukkan 10 tetes demulsifier ke dalam masing-
masing centrifuge tube
5. Tutup centrifuge tube hingga rapat
6. Kocok sampel tersebut sebanyak 10 kali hingga sampel
tercampur sempur
7. Buka tutup centrifuge tube
8. Masukkan centrifuge tube yang berisi sampel ke dalam
alat centrifuge ASTM D-4007 dengan arah tube
bersilangan

20 | Modul Penanganan Problema Produksi


9. Atur pada temperature 60 C = 140 F
10. Atur pada 1000 RPM
11. Tekan motor push to run, tunggu waktu putaran hingga
6-15 menit
12. Tunggu hingga berhenti dan amati hasilnya.
I.7 SOAL ANALISA
Kenapa emulsi dapat terbentuk di dalam reservoir
sedangkan temperature reservoir sangat tinggi?
1.8 DAFTAR PUSTAKA
1. ASTM D 4007-02. Standard Test Method for Water
and Sediment in Crude Oil by the Centrifuge Method
(Laboratory Procedure). An American National
Standard.
2. Azizi, K., & Nikazar, M. 2015. Characterization of
Chemical Demulsification of Oil in Water Emulsion:
Comparison Between a Kinetics Model and
Laboratory Experiments. Petroleum Science and
Technology, 33(1): 8-14.
3. Grace, R.. 1992. Commercial Emulsion Breaking. In
Schramm, L.L. Emulsions Fundamentals &
Applications in the Petroleum Industry. Washington
DC: American Chemical Society.
4. Impian, D., & Praputri, E. (2014). Optimasi Injeksi
Demulsifier Sebagai Respon Terhadap Proses
Acidizing. Jurnal Teknik Kimia, FTI, Universitas
Bung Hatta, 4(19).
5. Kokal, S., 2005, “Crude Oil Emulsion: A State of the
Art Review”, SPE Saudi Aramco, Revec ed., pp. 5-9.

21 | Modul Penanganan Problema Produksi


6. Zhou, H., Dismuke, K., Lett, N., & Penny, G. (2012).
Development of More Environmentally Friendly
Demulsifiers. SPE International Symposium and
Exhibition on Formation Damage Control,
151852(February). https://doi.org/10.2118/151852-
MS.
7. McCAIN, Wiliam D. Jr. The Properties of Petroleum
Fluids. 2 nd ed. PennWell Publishing co. : Tulsa,
Oklohama.1990.
8. Modul 2.”Emulsi”. TM-2108 ITB Fluida Reservoir.
Semester I 2012/2013.

22 | Modul Penanganan Problema Produksi


II. PARAFIN

II.1 TUJUAN
1. Memahami karakteristik parafin.
2. Mengetahui pengaruh konsentrasi solvent terhadap
sifat paraffin pada minyak mentah.
3. Memahami prosedur penggunaan Cooling Bath.

II.2 CAPAIAN PRAKTIKUM


1. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui
karakteristik parafin.
2. Mahasiswa diharapkan bisa mengoperasikan alat
Pour Poin sesuai dengan Standar Operasi yang telah
diterapkan.
3. Mahasiswa diharapkan bisa memahami cara kerja alat
cooling bath.
4. Mahasiswa diharapkan bisa menentukan mengetahui
pengaruh konsentrasi solvent terhadap sifat paraffin
pada minyak mentah.

23 | Modul Penanganan Problema Produksi


II.3 KESELAMATAN KERJA
1. Mengunakan APD yang sesuai dengan SOP yang
berlaku di Laboratorium Penanganan Problema
Produksi.
2. Hati – hati dengan peralatan yang mudah pecah
3. Bila menggunakan peralatan dengan tenaga listrik lihat
terlebih dahulu tegangan jaringan listrik yang ada
4. Bersihkan peralatan setelah digunakan.

II.4 TINJAUAN PUSTAKA


Komponen wax dalam minyak bumi terdiri dari
parafinik wax dengan jumlah atom karbon 18 hingga 36
(C18-C36) dan napthenic wax dengan jumlah atom 30
hingga 60 (C30-60). Kelarutan dari komponen wax dalam
minyak bumi sangat dipengaruhi oleh temperatur dan
tekanan sehingga komponen wax dalam minyak bumi
dapat berada dalam fasa gas, cair, maupun padat/kristal.
Kristal yang terbentuk dari paraffin wax akan memiliki
bentuk kristal wax makro kristal sedangkan bila terbentuk
dari napthenic wax akan memiliki bentuk makro kristal
(Elhadi, M.A.Y., 2008).
Cold point dan pour point sangat dibutuhkan untuk
memprediksi penyimpangan viskositas dari suatu minyak
bumi pada kondisi temperatur rendah serta sangat berguna

24 | Modul Penanganan Problema Produksi


untuk mengidentifikasi dan menentukan rencana
penyimpanan dan penyaluran minyak dikarenakan cukup
sulit untuk mengontrol aliran atau penyimpanan beberapa
jenis minyak pada temperatur yang rendah (Speight 2001).
Freezing point atau cold point merupakan kondisi
pada temperatur terendah di mana fasa hidrokarbon
berubah menjadi kondisi padat. Kecenderungan suatu
minyak bumi untuk berubah fasa menjadi padat
dipengaruhi oleh komposisi dan klasifikasi minyak itu
sendiri (Speight 2001).
Pour point merupakan titik temperatur terendah
suatu minyak bumi dapat dituang atau mengalir. Pada
dasarnya pour point berada 2-3℃ dari cold point. Pada
awalnya penentuan dan pengukuran pour point dilakukan
pada minyak dengan kandungan wax yang tinggi sampai
pada akhirnya digunakan untuk mendesain pipa dan
pompa (Speight 2001).
Cold point dan pour point sangat dipengaruhi oleh
komposisi dan temperatur. Semakin banyak kandungan
paraffin atau wax dalam suatu minyak bumi akan
meningkatkan cold point dan pour point serta akan
mempengaruhi viskositas suatu minyak bumi (Speight
2001).

25 | Modul Penanganan Problema Produksi


Elijah, et al., (2012) menyatakan bahwa komponen
utama dari fraksi berat hidrokarbon yang mengalami
pengendapan adalah asphaltenes, diamondoids, petroleum
resins, dan wax. Wax pada umumnya terdiri dari
hidrokarbon parafinik jenuh dengan jumlah karbon
berkisar dari 18-36. Wax juga mengandung sedikit
hidrokarbon naphtenic dengan jumlah karbon berkisar
dari 30-60 (Eyankware EO., Ulakpa WC., Eyankware
MO., 2016).
Menurut Eyankware, et al., ada empat faktor yang
memengaruhi nilai titik beku, dan titik tuang dari suatu
crude oil. Keempat faktor tersebut ialah perbedaan
temperature, kandungan parafin dan wax, flowrate, dan
surface properties (densitas, specific gravity, dan
viskositas) (Eyankware EO., Ulakpa WC., Eyankware
MO., 2016).
Penentuan dari nilai titik tuang, dan titik beku
menggunakan peralatan yang sama. Sampel crude oil
diletakkan dalam jar akan diobservasi setiap 3 menit,
dengan memposisikan jar pada posisi horizontal untuk
beberapa detik. Untuk mendapatkan titik kabut, minyak
didinginkan sampai timbul embun atau kabut di dalam jar.
Titik beku ditandai dengan keadaan dimana minyak tidak

26 | Modul Penanganan Problema Produksi


bisa mengalir atau dalam keadaan diam. Sedangkan, untuk
mendapatkan nilai dari titik tuang, crude oil yang telah
mencapai nilai titik bekunya akan dikondisikan pada
keadaan atmosfir yang ditandai dengan munculnya
kemampuan minyak untuk mengalir (ASTM D5853).
Cold point dan pour point dapat dipengaruhi oleh
komposisi penyusun minyak. Artinya pada minyak berat
akan lebih banyak mengandung padatan jika dibandingkan
dengan minyak ringan yang lebih banyak mengandung
gas, sehingga minyak berat akan lebih mudah mengalami
pembekuan deri pada minyak ringan. Jadi untuk
menghindari pembekuan maka diusahakan agar
temperatur minyak yang diproduksi tetap stabil (Pratama,
M. S. 2015)
Proses transportasi minyak dari formasi ke
permukaan akan mengakibatkan penurunan temperatur
dan takanan, sehingga harus diperhatikan pada suhu
berapa minyak mulai mengalami pembekuan dan
bagaimana agar minyak tidak mengalami pembekuan
dengan mengetahui besarnya cold point dan pour point
(Pratama, M. S. 2015)

27 | Modul Penanganan Problema Produksi


II.5 ALAT DAN BAHAN
A. Alat
NO NAMA GAMBAR
1 Tube kaca

2 Termometer

28 | Modul Penanganan Problema Produksi


4 Penutup
(cork)

5 Gelas Ukur

6 Cooling Bath

29 | Modul Penanganan Problema Produksi


B. Bahan
NO NAMA GAMBAR

1 Sampel Crude Oil

2 Toluena

S
II.6 PROSEDUR PERCOBAAN
Prosedur Pengukuran dengan Cooling Bath
1. Hidupkan peralatan uji Pour Point sampai suhu bath
stabil pada suhu peralatan yang telah ditentukan.
2. Persiapkan sampel crude oil (CO) yang akan di uji
Pour Pointnya.

30 | Modul Penanganan Problema Produksi


3. Panaskan sampel CO sebanyak 100 ml sampai suhu
50 oC.
4. Tuangkan sampel CO kedalam Pour Point Jar test
sampai batas garis yg ada pada Jar test.
5. Setiap penurunan suhu 3 oC, lakukan pengamatan
apakah masih bisa mengalir/bergerak ketika jar test
sedikit dimiringkan.
6. Lanjutkan cara ini sampai suatu titik dicapai dimana
minyak tidak menunjukan Gerakan ketika jar test
dipegang pada posisi horizontal selama 5 detik, amati
termometer dan catat
7. Tambahkan sebesar 3 oC pada hasil pengamatan
diatas dilaporkan sebagai Pour Point
8. Ulangi pengujian Pour Point seperti diatas dengan
membuat perbandingan tertentu:
Percobaan Crude Oil (ml) Toluena
(ml)
1 90 10
2 80 20
3 70 30

9. Catat semua hasil semua pengujian untuk membuat


laporan sementara.

31 | Modul Penanganan Problema Produksi


II.7 DAFTAR PUSTAKA
1. Devold, H., & ABB Asea Brown Boveri Ltd. (2009).
Oil and gas production handbook: An introduction to
oil and gas production. Oslo: ABB Oil and Gas
2. Eyankware EO, Ulakpa WC, Eyankware MO.
Determination of cloud and pour point of crude oil
with reference to crude transportation. International
Journal of Science & Healthcare Research. 2016;
1(3): 20-28
3. Elijah Taiwo, John Otolorin and Tinuade Afobi
(2012). Crude Oil Transportation: Nigerian Niger
Delta Waxy Crude, Crude oil Exploration in the
World, Prof. Mohamed Younes (Ed.)
4. Kristanto MT IPM, Dr. Ir. Dedy, dan team. Buku
Panduan Analisa Fluida Reservoir di Laboratorium.
UPN “Veteran” Yogyakarta
5. ASTM D97 - Pour Point Crude oils.

32 | Modul Penanganan Problema Produksi


III. KOROSI

III.1 TUJUAN
1. Memahami faktor –faktor yang mempengaruhi korosi.
2. Mengetahui pengaruh konsentrasi asam terhadap
kecepatan penghilangan karat.

III.2 CAPAIAN PRAKTIKUM


1. Mahasiswa dapat memahami defenisi korosi
2. Mahasiswa dapat memahami faktor –faktor yang
mempengaruhi korosi.
3. Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh konsentrasi
asam terhadap kecepatan penghilangan karat.

III.3 KESELAMATAN KERJA


1. Mengunakan APD yang sesuai dengan SOP yang
berlaku di Laboratorium Penanganan Problema
Produksi.
2. Hati – hati dengan peralatan yang mudah pecah
3. Bila menggunakan peralatan dengan tenaga listrik lihat
terlebih dahulu tegangan jaringan listrik yang ada
4. Bersihkan peralatan setelah digunakan.

33 | Modul Penanganan Problema Produksi


III.4 TINJAUAN PUSTAKA
Korosi adalah serangan destruktif suatu material melalui
reaksi dengan lingkungannya dan memiliki potensi bahaya
alam yang terkait dengan fasilitas produksi dan
transportasi minyak dan gas. Hampir semua lingkungan
berair dapat meningkatkan korosi, yang terjadi dalam
berbagai kondisi kompleks dalam produksi, pemrosesan,
dan sistem perpipaan minyak dan gas.
Korosi yang terjadi pada industri minyak dan gas
umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, yaitu
suhu dan tekanan yang tinggi, adanya gas korosif
(CO2 dan H2S), air yang terproduksi dari dalam sumur
dan adanya aktifitas bakteri. Degradasi material
menyebabkan penurunan sifat mekanis seperti kekuatan,
keuletan, kekuatan impact, menyebabkan material
terkelupas, pengurangan ketebalan dan pada
akhirnya mengalami kegagalan.
Korosi merugikan industri perminyakan ratusan juta
dolar setiap tahun. Permasalahan korosi dapat merusak
komponen-komponen industri perminyakan serta dapat
mengakibatkan bertambahnya potensi pencemaran oleh
minyak bumi terhadap lingkungan akibat kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi berlangsung. Ada banyak

34 | Modul Penanganan Problema Produksi


kemungkinan untuk mengurangi atau meminimalkan
biaya ini, tetapi itu membutuhkan usaha yang terus
menerus dan rutin. Pertimbangan korosi dan pemilihan
material yang tepat harus menjadi bagian penting dari
semua desain peralatan, pengawasan, dan tindakan
operasi, terutama untuk aktivitas berbiaya tinggi dalam
beberapa tahun terakhir dan antisipasi aktivitas di masa
mendatang. Biasanya tempat-tempat terjadinya korosi
antara lain di:
1. Down Hole Corrosion
High Fluid level pada jenis pompa angguk di
sumur minyak dapat menyebabkan terjadinya stress
pada rod bahkan dapat pula terjadi corrosion
fatigue. Pemilihan material untuk peralatan bottom
hole pump menjadi sangat penting. Pompa harus
dapat tahan terhadap sifat-sifat korosi dari fluida
yang diproduksi dan tahan pula terhadap sifat abrasi.
2. Flowing well
Anulus dapat pula digunakan untuk
mengalirkan inhibitor ke dasar tubing dan
memberikan proteksi pada tabung dari kemungkinan
bahaya korosi. Pelapisan dengan plastik dan

35 | Modul Penanganan Problema Produksi


memberikan inhibitor untuk proteksi tubing dapat
pula digunakan pada internal tubing surface.
3. Casing Corrosion
Casing yang terdapat di sumur-sumur
produksi bervariasi dari yang besar sampai yang
ensentric acid. Diperlukan perlindungan katiodik
untuk external casing. Korosi internal sing
tergantung dari komposisi annular fluid.
4. Well Heads
Peralatan dari well heads, terutama pada well gas
tekanan tinggi, sering mengalami korosi yang
disebabkan oleh kecepatan tinggi dan adanya
turbulensi dari gas
5. Flow Lines
Adanya akuntansi dari deposit di dalam flow
line dapat menyebabkan korosi dan pitting yang
akhirnya menyebabkan kebocoran Internal
corrosion di dalam flow line dapat dicegah dengan
inhibitor

Pencegahan Korosi Dengan dasar pengetahuan tentang


elektrokimia proses korosi yang dapat menjelaskan
mekanisme dari korosi, dapat dilakukan usaha-usaha
untuk pencegahan terbentuknya korosi. Banyak cara sudah

36 | Modul Penanganan Problema Produksi


ditemukan untuk pencegahan terjadinya korosi
diantaranya adalah dengan cara proteksi katodik, coating,
dan penggunaan chemical inhibitor

1. Proteksi Katodik
Untuk mencegah terjadinya proses korosi atau
setidak-tidaknya untuk memperlambat proses korosi
tersebut, maka dipasanglah suatu anoda buatan di luar
logam yang akan diproteksi. Daerah anoda adalah suatu
bagian logam yang kehilangan elektron. Ion positifnya
meninggalkan logam tersebut dan masuk ke dalam
larutan yang ada sehingga logami tersebut berkarat.
Terlihat disini karena perbedaan potensial maka arus
elektron akan mengalir dari anoda yang dipasang dan
akan menahan melawan arus electron dari logam yang
didekatnya, sehingga logam tersebut berubah menjadi
daerah katoda. Inilah yang disebut Cathodic
Protection. Dalam hal diatas elektron disuplai kepada
logam yang diproteksi oleh anoda buatan sehingga
elektron yang hilang dari daerah anoda tersebut selalu
diganti, sehingga akan mengurangi proses korosi dan
logam yang diproteksi. Anoda buatan tersebut ditanam
dalam suatu elektrolit yang sama (dalam hal ini tanah
lembab) dengan logam (dalam hal ini pipa) yang akan

37 | Modul Penanganan Problema Produksi


diprotekasi dan antara dan pipa dihubungkan dengan
kabel yang sesuai agar proses listrik diantara anoda dan
pipa tersebut dapat mengalir terus menerus
2. Coating
Cara ini sering dilakukan dengan melapisi
logam (coating) dengan suatu bahan agar logam
tersebut terhindar dari korosi. Coating adalah pelapisan
yang diterapkan pada permukaan suatu benda atau
substrat. Tujuan coating adalah untuk meningkatkan
sifat permukaan substrat, seperti penampilan, tahan air.
tahan korosi, tahan aus, dan tahan gores, Coating bisa
diaplikasikan dalam bentuk cair, gas atau padat.
3. Pemakaian Bahan-Bahan Kimia (Chemical Inhibitors)
Untuk memperlambat reaksi korosi digunakan
bahan kimia yang disebut inhibitor corrosion yang
bekerja dengan cara membentuk lapisan pelindung
pada permukaan metal. Lapisan molekul pertama yang
tebentuk mempunyai ikatan yang sangat kuat yang
disebut chers option, Corrosion inhibitor umumnya
berbentuk fluid atau cairan yang dimjeksikan pada
prokduction line. Karena inhibitor tersebut merupakan
masalah yang penting dalam menangani kororsi maka

38 | Modul Penanganan Problema Produksi


perlu dilakukan pemilihan inhibitor yang sesuai dengan
kondisinya.

III.5 ALAT DAN BAHAN


A. Alat
NO NAMA GAMBAR
1 Beaker
Glass

2 Pinset

3 Timbangan

39 | Modul Penanganan Problema Produksi


4 Piper
Volume

5 Oven

6 Stop Watch

7 Labu Takar

40 | Modul Penanganan Problema Produksi


C. Bahan
NO NAMA GAMBAR
1 Larutan
HCl

2 Paku
Berkarat

III.6 PROSEDUR PERCOBAAN


Prosedur Korosi:
1. Siapkan larutan HCl konsentrasi 3%, 6%, dan 9%
2. Masukkan larutan HCl konsentrasi 3%, 6%, dan 9%
masing-masing ke dalam beaker glass.
3. Timbang dan catat berat paku berkarat.
4. Celupkan paku berkarat masing-masing ke dalam HCl
konsentrasi 5%, 10%, dan 15%

41 | Modul Penanganan Problema Produksi


5. Masing-masing sampel diperlakukan dengan interval
waktu kelipatan 2 menit.
6. Setelah perlakuan diatas, masing-masing sampel
dikeringkan dan ditimbang untuk mengetahui berat
karat yang hilang.
Waktu Berat Karat yang Terkikis (gr)
(menit) HCl 3% HCl 6% HCl 9%
2
4
6
8
12
14
16
18
20

42 | Modul Penanganan Problema Produksi


III.7 SOAL ANALISA
1. Perubahan apa yang terjadi selama proses penghilangan
karat, tuliskan reaksinya.
2. Buatlah grafik dari: Waktu (absis) Vs Berat Karat
(ordinat)
3. Berikan kesimpulan dari hasil percobaan yang telah
anda lakukan)

III.8 DAFTAR PUSTAKA


1. Anonim. 2010. Coating Diakses dari
http://www.fobuma.com/tm_material /coating-id pada
7 September 2014
2. Yudityawarman Anggi 2010 Pencegahan Korasi
Diakses dari http: chemeng2301.blogspot.com/p
pencegahan-korosi.html pada 7 September 2014
3. Arsyad Deris 2021. Korosi Pada Industri Perminyakan
https://www.aeroengineering.co.id/2021/05/korosi-
pada-industri-perminyakan/
4. R.N 1987. Corosion in Oil and Gas Production.
https://onepetro.org/JPT/article-
abstract/39/07/756/75133/Corrosion-in-Oil-and-Gas-
Production?redirectedFrom=PDF

43 | Modul Penanganan Problema Produksi

Anda mungkin juga menyukai