Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN SISTEM

PERNAFASAN PADA NY ”G” DENGAN ISPA DIRUANG


CEMARA II RS.TORA BELO

DISUSUN OLEH:
SARINI HUSEN KANOLI (202201077)

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Hermansyah M.S.Kep Ns. Djuwartini,S.Kep M,Kep


NIP.198907032019081001 NIK.20160901067

PROGRAM PROFESI NERS

UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA

2024
1. KONSEP TEORITIS
A. Definisi
Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) adalah radang akut saluran
pernafasan atas yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus,
maupun reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru. ISPA
adalah masuknya miroorganisme (bakteri, virus dan riketsia) ke dalam saluran
pernafasan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung sampai
14 hari (Wijayaningsih, 2016). ISPA merupakan salah satu penyakit menular
yang dapat ditularkan melalui udara. Infeksi saluran pernafasan akut
disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai
salah satu atau lebih gejala berupa tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek,
batuk kering atau batuk berdahak (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2018).
B. Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan jamur. Bakteri
penyebabnya antara lain genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus,
hemofilus, bordetella, dan korinebacterium. Virus penyebabnya antara lain
golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma,
herpes virus. Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA
diantaranya bakteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza yang di
udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas
yaitu tenggorokan dan hidung (Wijayaningsih, 2019). Biasanya bakteri dan
virus tersebut menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun yang kekebalan
tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim
hujan juga menimbulkan resiko serangan ISPA.Beberapa faktor lain yang
diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak adalah
rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi
lingkungan (Wijayaningsih, 2019).
C. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak
ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan
tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan
dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus
yang banyak terdapat pada dinding saluran pernafasan, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang
berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. Adanya infeksi virus
merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi
virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan
mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran
pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan
staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder
bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat
menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan
adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan
penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus
pada saluran pernafasan dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan
anak. Virus yang menyerang saluran pernafasan atas dapat menyebar ke
tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,
demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan bawah. Dampak infeksi
sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan bawah, sehingga bakteri-
bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas,
sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga
menyebabkan pneumonia bakteri. Penanganan penyakit saluran pernafasan
pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran pernafasan terutama
dalam hal bahwa sistem imun di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri
dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem
imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang
tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa.Ciri khas berikutnya adalah
bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran pernafasan
atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah.
Diketahui pula bahwa sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan
integritas mukosa saluran pernafasan. Dari uraian diatas, perjalanan klinis
penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap,yaitu(Wijayaningsih,
2019):
a. Tahap prepatogenesis,penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi,virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa.Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit.Timbul
gejala demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit,dibagi menjadi empat,yaitu dapat sembuh
sempurna,sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat
meninggal akibat pneumonia.
D. Pathway Teori

Invasi

Peradangan pada saluran pernafasan

inflamasi Kuman melepas endotoksin

Merangsang Merangsang tubuh untuk


pengeluaran zat-zat melepas zat pirogen oleh
seperti mediator kimia, leokosit
bradikinin,serotonin,
histamine dan
prostagladin Tubuh melepas
interleukin 1 Tubuh melepas
interleukin 3
nociseptor
Hipothalamus kebagian
termoregulator
Spina cord Merangsang mekanisme
sistem pertahanan tubuh
Suhu tubuh meningkat terhadap adanya
Thalamus mikroorganisme
Hipertermia
Korteks serebri
Sistem imun menurun

Nyeri Akut
Resiko infeksi
Merangsang produksi
mucus oleh sel-sel basilica
sepanjang saluran
pernafasan

Penumpukan sekresi mucus


pada jalan nafas

Obstruksi jalan nafas

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas

Pathway ISPA menurut (Cahyaningrum, 2020)


E. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala ISPA pada anak antara lain (Wijayaningsih, 2019):
a. Pilek biasa
b. Keluar sekret cair dan jernih atau mukus dari hidung
c. Kadang bersin-bersin
d. Sakit tenggorokan
e. Nafas cepat
f. Batuk
g. Sakit kepala
h. Sekret menjadi kental
i. Demam
j. Nausea
k. Muntah
l. Anoreksia
m. Diare
n. Nyeri abdomen
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan kultur/biakan kuman (swab) : hasil yang didapatkan adalah
biakan kuman (+) sesuai jenis kuman
2. Pemeriksaan hidung darah (deferential count) : laju endap darah meningkat
disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya
thrombositopenia
3. Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Saputro, 2017)
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologis
Penyebab ISPA umumnya adalah virus, sehingga terapi biasanya hanya bersifat
suportif saja.
a. Memperbanyak Minum. Memperbanyak minum sebanyak 8 gelas atau lebih
dapat menurunkan sekresi mukosa dan menggantikan kehilangan cairan.
Selain itu, minum air putih serta jus dilaporkan dapat meningkatkan sistem
imun.
b. Kompres Hangat. Lakukan kompres hangat pada daerah wajah untuk
membuat pernapasan lebih nyaman, mengurangi kongesti, dan membuat
drainase lebih baik pada rhinosinusitis. Gunakan lap hangat atau botol berisi
air hangat yang diletakkan di atas wajah dan pipi selama 5-10 menit
sebanyak 3-4 kali dalam sehari jika diperlukan.
c. Irigasi Nasal. Irigasi nasal dengan salin dapat meningkatkan kemampuan
mukosa nasal untuk melawan agen infeksius, dan berbagai iritan. Irigasi
nasal dapat meningkatkan fungsi mukosiliar dengan meningkatkan frekuensi
gerakan siliar. Irigasi nasal dapat dilakukan dengan menggunakan larutan
salin isotonik (NaCl 0,9%) via spuit ataupun spray dengan frekuensi 2 kali
dalam sehari.
2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis umumnya bersifat suportif untuk meringankan gejala.
Antibiotik dan antiviral tidak selalu diperlukan pada pasien ISPA.
a. Terapi Simptomatik.
1) Dekongestan oral atau topikal dapat membantu mengurangi keluhan
pada pasien dengan rhinorrhea. Sebaiknya dekongestan diberikan pada
anak di atas 2 tahun karena efek sampingnya seperti gelisah, palpitasi,
dan takikardia. Dekongestan topikal seperti fenilepinefrin atau
oxymetazoline lebih banyak dipakai, sebaiknya digunakan 3-4 hari saja
untuk menghindari efek rebound.
2) Antihistamin oral generasi satu dinilai memiliki efek antikolinergik
sehingga dapat digunakan untuk mengurangi rhinorrhea dan bersin.
Antihistamin yang biasanya digunakan adalah chlorpheniramine
maleate atau diphenhydramine.
3) Guaifenesin adalah mukolitik yang berfungsi untuk mengurangi sekresi
nasofaring. Guaifenesin dinilai dapat menurunkan sekresi dan
meningkatkan drainase pada pasien nasofaringitis atau rinosinusitis,
namun bukti klinisnya masih terbatas. Selain itu, codeine merupakan
obat yang sering digunakan pada pasien dengan keluhan
batuk. Codeine berperan sebagai antitusif yang bekerja secara sentral.
Untuk batuk berdahak pada orang dewasa, ada beberapa opsi terapi
yang dapat dipilih.
b. Antiviral
Pada pasien ISPA, antiviral biasanya tidak diperlukan. Antiviral bisa dipakai
pada pasien influenza yang terkonfirmasi atau jika
terjadi outbreak influenzae dimana manfaat lebih banyak dibandingkan
risiko. Antiviral diberikan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami
perburukan gejala. Misalnya pada pasien yang sedang hamil, bayi usia < 6
bulan, pasien usia > 65 tahun, pasien immunocompromised, dan pasien
dengan morbid obesitas. Regimen yang bisa digunakan adalah oseltamivir 2
x 75 mg hingga maksimal 10 hari.
c. Terapi Antibiotik
Kebanyakan kasus ISPA disebabkan oleh virus, sehingga penggunaan
antibiotik tidak efektif dan hanya boleh digunakan jika terdapat kecurigaan
atau konfirmasi adanya infeksi bakteri. (Saputro, 2020)
H. Komplikasi

Jika infeksi terjadi di paru-paru dan tidak ditangani dengan baik, penderita dapat
mengalami komplikasi serius yang dapat berakibat fatal, seperti (Cahyaningrum,
2020):
1. Gagal napas, akibat paru-paru berhenti berfungsi
2. Peningkatan kadar karbondioksida dalam darah
3. Gagal jantung
4. Penumpukan nanah di rongga selaput paru (empiema)
5. Kumpulan nanah (abses) pada paru-paru
6. Kerusakan kantong udara paru-paru (emfisema)
7. Bronkitis kronis
8. Infeksi lain, seperti mastoiditis, osteomielitis, dan selulitis
9. Sepsis
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
b. Usia. Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak
usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering
menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut.
c. Jenis Kelamin. Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang
dari 2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi
daripada laki-laki di negara Denmark.
d. Alamat. Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah
anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk
ISPA. Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit
gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam
rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia.
Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam
rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah
terjadinya ISPA anak.
2. Keluhan Utama. Adanya demam, kejang, sesak napas, batuk produktif, tidak
mau makan anak rewel dan gelisah, sakit kepala.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang. Biasanya klien mengalami demam
mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu
makan menurun, batuk, pilek dan sakit tenggorokan.
b. Riwayat penyakit dahulu. Biasanya klien sebelumnya sudah pernah
mengalami penyakit ini.
c. Riwayat penyakit keluarga. Riwayat penyakit infeksi, TBC,
Pneumonia, dan infeksi saluran napas lainnya. Menurut anggota
keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit klien
tersebut.
d. Riwayat sosial. Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan
yang berdebu dan padat penduduknya.
4. Kebutuhan Dasar
a. Makan dan minum. Penurunan intake, nutrisi dan cairan, diare,
penurunan BB dan muntah.
b. Aktivitas dan istirahat. Kelemahan, lesu, penurunan aktifitas, banyak
berbaring.
c. BAK. Tidak begitu sering.
d. Kenyamanan.Mialgia, sakit kepala.
e. Ygine. Penampilan kusut, kurang tenaga.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum. Bagaimana keadaan klien, apakah letih, lemah atau
sakit berat.
b. Tanda vital: Bagaimana suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah
klien. TD menurun, nafas sesak, nadi lemah dan cepat, suhu
meningkat, sianosis.
c. TB/BB. Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan.
d. Kuku. Bagaimana kondisi kuku, apakah sianosis atau tidak, apakah
ada kelainan.
e. Kepala. Bagaimana kebersihan kulit kepala, rambut serta bentuk
kepala, apakah ada kelainan atau lesi pada kepala.
f. Wajah. Bagaimana bentuk wajah, kulit wajah pucat/tidak
g. Mata. Bagaimana bentuk mata, keadaan konjungtiva anemis/tidak,
sclera ikterik/ tidak, keadaan pupil, palpebra dan apakah ada gangguan
dalam penglihatan.
h. Hidung. Bentuk hidung, keadaan bersih/tidak, ada/tidak sekret pada
hidung serta cairan yang keluar, ada sinus/ tidak dan apakah ada
gangguan dalam penciuman.
i. Mulut. Bentuk mulut, membran membran mukosa kering/ lembab,
lidah kotor/tidak, apakah ada kemerahan/tidak pada lidah, apakah
ada gangguan dalam menelan, apakah ada kesulitan dalam berbicara.
j. Leher. Apakah terjadi pembengkakan kelenjar tyroid, apakah
ditemukan distensi vena jugularis.
k. Telinga. Apakah ada kotoran atau cairan dalam telinga, bagaimanakan
bentuk tulang rawanya, apakah ada respon nyeri pada daun telinga.
l. Thoraks. Bagaimana bentuk dada, simetris/tidak, kaji pola pernafasan,
apakah ada wheezing, apakah ada gangguan dalam pernafasan.
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem Pernafasan.
1) Inspeksi
a) Membran mukosa- faring tampak kemerahan
b) Tonsil tampak kemerahan dan edema
c) Tampak batuk tidak produktif
d) Tidak ada jaringan parut dan leher.
e) Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
pernafasan cuping hidung.
2) Palpasi
a) Adanya demam
b) Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah
leher/nyeri tekan pada nodus limfe servikalis
c) Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid.

3) Perkusi.
a) Suara paru normal (resonance)
4) Auskultasi.
b) Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi
paru. Jika terdengar adanya stridor atau wheezing
menunjukkan tanda bahaya. (Suriani, 2018).
m. Abdomen. Bagaimana bentuk abdomen, turgor kulit kering/ tidak,
apakah terdapat nyeri tekan pada abdomen, apakah perut terasa
kembung, lakukan pemeriksaan bising usus, apakah terjadi
peningkatan bising usus/tidak.
n. Genitalia. Bagaimana bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin,
warna rambut kelamin. Pada laki-laki lihat keadaan penis, apakah
ada kelainan/tidak. Pada wanita lihat keadaan labia minora, biasanya
labia minora tertutup oleh labia mayora.
o. Integumen. Kaji warna kulit, integritas kulit utuh/tidak, turgor kulit
kering/tidak, apakah ada nyeri tekan pada kulit, apakah kulit teraba
panas.
p. Ekstremitas
1) Inspeksi : adakah oedem, tanda sianosis, dan kesulitan bergerak.
2) Palpasi : adanya nyeri tekan dan benjolan.
3) Perkusi : periksa refek patelki dengan reflek hummar. Adakah
terjadi tremor atau tidak, kelemahan fisik, nyeri otot serta
kelainan bentuk.
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)
2. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
(D.0001)
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)
4. Resiko infeksi. Faktor resiko : peningkatan paparan organisme pathogen
lingkungan (D.0142)
C. Intervensi keperawatan

No SDKI SLKI SIKI


1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri(I.08238):
keperawatan selama 3x24 jam Observasi:
dengan agen pencedera
maka tingkat nyeri (L.08066) -Identifikasi lokasi,karakteristik,durasi, frekunsi,intensitas nyeri.
fisiologis (D.0077) menurun dengan kriteria hasil: -Identifiksi skala nyeri
• Keluhan nyeri 5 -Identifikasi fakytooorrr yang memperberat dan memperingan nyeri
• Meringis 5 Terapeutik:
• Gelisah 5 -Berikan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapipijat, aromaterapi teknik imajinasi terbimbing, kompres
panas dingin)
Edukasi:
-Jelaskan penyebab, priode dan pemicu nyeri.
-Jelaskan strategi mengurangi nyeri
-Ajarkan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi:
-Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu.
2 Bersihan Jalan Nafas Setelah dilakukan intervensi Manajemen jalan nafas (I.01011):
tidak efektif keperawatan selama 3x24 jam Observasi:
berhubungan dengan maka bersihan jalan nafas -monitor pola nafas
sekresi yang tertahan meningkat dengan kriteria hasil: -monitor bunyi nafas tambahan
(D.0001) (L.01001) -monitor sputum
-batuk efektif 5 Terapeutik:
-produksi sputum 5 -posisikan semi fowler atau fowler
-Gelisah 5 -lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
Berikan oksige, jika perlu
Edukasi:
-ajarkan batuk efektif
3 Hipertermia Setelah dilakukan intervensi Manajemen hipertermia(I.15506):
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam Observasi:
proses penyakit maka termoregulasi membaik -identifikasi penyebab hipotermia
(D.0130) dengan kriteria hasil:(L.14134) -monitor suhu tubuh
-mengigil 5 Terapeutik
-kulit merah 5 -sediakan lingkungan yang dingi
-tekanan darah 5 -lakukan pendingin eksternal
Edukasi:
-anjurkan tirah baring
Kolaborasi:
-kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena jika perlu
4 Resiko infeksi. Faktor Setelah dilakukan intervensi Observasi:
resiko : peningkatan keperawatan selama 3x24 jam -Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistematik
paparan organisme maka status imun membaik Terapeutik:
pathogen lingkungan dengan kriteria hasil:(L.14133) -Batasi jumlah pengunjung
(D.0142) -infeksi berulang 5 -Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
-suhu tubuh 5 -Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
-sel darah putih 5 Edukasi:
-Jelaskan tanda dan gejala infeksi
-Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
-Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
-Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
D. Implementasi
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Implementasi
keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk
membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien,
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Setiadi.2021)
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien,
perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
Menurut Setiadi (2021) dalam buku Konsep & penulisan Asuhan
Keperawatan, Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien, keluarga,
dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan
pasien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2020). Riset Kesehatan Dasar.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Cahyaningrum, P. F. (2020). Hubungan Kondisi Faktor Lingkungan dan Angka


Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Pasca
Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Coleman. (2020). Social in the Creation of Human Capital in P. Dasgupta and I.


Serageldin (Ed). Social Capital : A Multi faceted Perpective, 13-39. Washington,
DC : The World Bank.
Purba, M. I. (2020). Pedoman Pemberantasan ISPA dan Pneumonia. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Wijayaningsih, K. S. (2019). Asuhan Keperawatan Anak. Jakatra: Trans Info Media.

Amalia Nurin, dkk, (2021).. Asuhan Keperawatan pada Anak.Edisi 2. Sagung Seto.
Jakarta

Setiadi (2021) Konsep & penulisan Asuhan Keperawatan,

PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.

PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai