Fadli - Cucu Surahman UPI - Peserta Didik Dalam Tafsir - Civilization Research
Fadli - Cucu Surahman UPI - Peserta Didik Dalam Tafsir - Civilization Research
1
© 2023 by the authors; This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons
Attribution-ShareAlike 4.0 International License. (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/), which permits
unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
Zulfadli, Cucu Surahman
A. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah upaya sengaja untuk memaksimalkan potensi manusia, baik
fisik maupun intelektual, serta proses humanisasi. Kepribadian utama dibentuk
sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yaitu al-qurān dan hadiś. Menurut yang
dijelaskan (Nata, 2016), tentang Pendidikan Islam merupakan upaya membimbing,
mengarahkan, dan membina anak didik yang dilakukan secara terarah dan terencana.
Dalam proses pendidikan, tidak akan terlepas dari seorang pendidik dan peserta didik.
Secara profesional guru dan siswa saling bergantung, seperti dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan (Aziz, 2017).
Partisipasi siswa merupakan salah satu unsur pendidikan dalam sistem
pendidikan Islam (Rahardja, Hidayanto, Hariguna, & Aini, 2019). Peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses
pendidikan pada jenjang dan bentuk pendidikan tertentu, menurut pasal 1 angka 4 UU
RI No. 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang sistem pendidikan Nasional. Tetapi, pada
hakikatnya semua manusia adalah peserta didik (Shaturaev & Bekimbetova, 2021).
Sebab, pada hakikatnya, semua manusia adalah makhluk yang senantiasa berada
dalam proses perkembangan menuju kesempurnaan, atau suatu tingkatan yang
dipandang sempurna, dan proses itu berlangsung sepanjang hayat (Badrudin, 2018).
Tentu saja, ketika berbicara tentang pendidikan, siswa jug tidak kalah penting,
karena mereka sebagai pusat pembelajaran. (Basri, 1994). Peserta didik, dengan
berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa” maka istilah yang tepat untuk
menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik
(Yulyani, Saepuddin, & Surbiantoro, 2018). Peserta didik cakupannya lebih luas, yang
tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara
istilah anak didik hanya khusus bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan
peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di
sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti
majelis taklim, paguyuban, dan sebagainya (Harahap, 2016).
Tafsir tarbawi yang merupakan bagian ijtihad akademisi, berupaya mendekati Al-
qur’an melalui sudut pandang pendidikan. Ijtihad ini diharapkan dapat mewacanakan
sebuah paradigma tentang konsep pendidikan yang dilandaskan kepada kitab suci.
Dengan demikian, petunjuk kitab suci diharapkan mampu diimplementasikan sebagai
nilai-nilai dasar dalam pendidikan (Badrudin, 2018). Berdasarkan analisis dari
beberapa artikel sebelumnya penulis tertarik untuk membahas tentang peserta didik
dalam perspektif tafsir tarbawi, fokus pembahasan adalah Q.S. Al-Kahfi [18]: 60.
Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
tinjauan tarbawi tentang peserta didik menurut Q.S. Al-Kahfi [18]: 60, esensi yang
terkandung di dalamnya, serta implikasinya terhadap pendidikan dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dan metode library research.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Karena data dalam penelitian ini tidak dikumpulkan melalui interaksi dengan
manusia, peneliti menggunakan pendekatan penelitian non-interaktif (Gunawan,
2013). Berdasarkan analisis dokumen, penelitian ini membuat penilaian. Pada
kenyataannya, para peneliti sendiri yang mengumpulkan, mengenali, mengkaji, dan
mensintesa informasi untuk memahami gagasan toleransi Islam yang bersumber dari
teks Q.S. al-Kahfi [18]: 60.
Penulis menggunakan sumber perpustakaan untuk mengumpulkan,
mengidentifikasi, dan mengevaluasi data. Oleh karena itu, nama lain dari penelitian ini
adalah penelitian kepustakaan (Ibrahim, 2014). Penelitian ini bersifat prosedural dan
menggunakan teknik Tahlili sebagai cara penafsiran utama dalam konteks penafsiran
Al-Qur'an (analisis), Sebaliknya, muqaran (perbandingan) dan mawdu'I (tematik)
digunakan sebagai pendukung topik yang diteliti. Informasi primer diperoleh atau
dikumpulkan oleh peneliti sendiri (Sugiyono, 2009) berdasarkan teks ayat-ayat
Alquran, terjemahan, dan tafsir. Ayat-ayat dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 60 dan komentar
para mufassir menjadi sumber informasi utama.
Dalam investigasi ini, analisis data dilakukan selama dan setelah data yang
diperlukan dikumpulkan. Sejalan dengan Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011). Hal
ini menunjukkan bahwa tugas-tugas dilakukan secara terus menerus dan interaktif
hingga selesai dalam analisis data kualitatif. Dengan kata lain, sejak awal hingga
selesainya penulisan laporan penelitian, data dalam penelitian ini terus diolah dan
dianalisis. Setelah organisasi, masing-masing potongan data selanjutnya diperiksa
sesuai dengan fokus penelitian pada masalah yang relevan.
c. Siswa hidup, bernafas sebagai manusia dengan kebutuhan yang harus dipenuhi baik
secara jasmani maupun rohani. Kebutuhan biologis, kasih sayang, keamanan, harga
diri, realisasi diri, dan persyaratan lainnya termasuk di sini. Agar pekerjaan
pendidikan mereka berjalan dengan baik dan efisien, para pendidik harus
memahami semua ini.
d. Peserta didik adalah ciptaan Tuhan yang berbeda satu sama lain dengan cara unik
yang dipengaruhi baik oleh sifat alaminya maupun lingkungan tempat tinggalnya.
Sangat penting bagi pendidik untuk memahami bagaimana anak-anak berbeda satu
sama lain secara individual. Hal ini karena ia membahas strategi yang harus
diterapkan oleh para pendidik untuk menghadapi berbagai pandangan dan
perbedaan ini dalam lingkungan yang cair tanpa mengorbankan kepentingan satu
pihak atau kelompok.
e. Siswa terdiri dari dua komponen: jasmani dan rohani. Komponen fisik memiliki
kekuatan fisik yang harus dilatih dan ditanamkan melalui proses pendidikan.
Sedangkan unsur spiritual memiliki kekuatan hati nurani, akal, dan emosi. Proses
pendidikan hendaknya difokuskan untuk mengasah daya intelektual melalui ilmu-
ilmu logika guna mempertajam daya nalar. Ibadah dan pengajaran moral adalah dua
cara untuk mengasah daya rasa. Menurut pemikiran ini, pendidikan Islam harus
dilaksanakan dengan pendekatan holistik pada setiap peserta didik.
f. Orang yang sedang belajar memiliki potensi alamiah yang dapat ditingkatkan dan
ditingkatkan secara aktif. Di sini tugas pendidik adalah membina perkembangan dan
membimbingnya ke arah tujuan pendidikan yang dimaksud tanpa mengorbankan
tanggung jawab kemanusiaannya, baik secara vertikal maupun horizontal. (Nizar,
2002).
Tiga istilah digunakan untuk menunjukkan bahasa Arab kepada siswa. Ketiga
istilah tersebut adalah thalib al-ilmi, yang berarti menuntut ilmu, murid, atau pelajar;
tilmiż, yang jamaknya adalah talmiż, yang menunjukkan mereka yang menginginkan
atau membutuhkan sesuatu. Salah satu dari ketiga ekspresi ini menunjuk seorang
siswa. Penerapannya adalah satu-satunya perbedaan. Istilah “murid” atau “tilmiż”
digunakan di sekolah yang berjenjang rendah, seperti Sekolah Dasar (SD), sedangkan
“ţalib al-‘ilm” digunakan di sekolah yang berjenjang lebih tinggi, seperti SMP, SMA/
SMK dan perguruan tinggi (Nata A. , 2005).
Perspektif tersebut di atas memperjelas bahwa peserta didik adalah mereka yang
membutuhkan pengetahuan, bimbingan, dan arahan dari pendidik. Islam
berpandangan bahwa ilmu adalah karunia dari Tuhan. Saat belajar, informasi
ditransfer dari seorang guru melalui proses yang disebut transfer. Peserta didik
hendaknya lebih mendekatkan diri kepada Allāh SWT melalui ilmu yang diperolehnya
karena Allāh SWT adalah sumber segala ilmu.
Ayat ini menggambarkan tentang kondisi keteguhan dan kepribadian pada sosok
nabi Mūsa AS, yang berbunyi:
"Dan (ingatlah) ketika mūsa berkata kepada muridnya : "aku tidak akan
berjalan (berhenti) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku
akan berjalan sampai bertahun-tahun".
di atas termasuk Bathil La asla lahu (batil, palsu, dan tidak ada dasarnya). Sumber
kepalsuan hadits itu adalah rawi yang bernama Abu ’Atikah Tarif bin Sulaiman (ada
yang mengatakan Salman). Menurut Imam Bukhori, Imam Nasa’i dan Abu Hatim bahwa
’Atikah Tarif tersebut tidak memiliki kredibilitas sebagai rawi hadits
Hadits yang dikutip di atas, menurut Imam Ibnu Hibban memiliki status baţil La
asla lahu (palsu dan tidak berdasar). Narator atau sumber kepalsuan hadiś ini adalah
Abū 'Atikah Tarif bin Sulaimān adalah orang yang hafal hadiś (ada yang mengatakan
Salman). Namun di sisi lain Atikah Tarif kurang memiliki kredibilitas sebagai perawi
hadits, menurut Imam Bukhori, Imam Nasa'i, dan Abu Hatim. (Ya’qub, 2003).
Menurut Imam Bukhori, Nabi Musa AS pernah berpidato sambil berdiri di tengah
pengikutnya (Bani Isra'il). kemudian dimintai keterangan tentang siapakah orang yang
paling berilmu ?‛. lalu nabi Mūsa AS menjawab: ‛Saya‛. Dia menderita kecaman dari
Allah atas jawaban ini karena dia gagal mengembalikan pengetahuan kepada Allah.
Allah kemudian memberinya wahyu. Demi Allah, "Aku yakin aku memiliki seorang
hamba yang tinggal di pertemuan dua lautan. Dia lebih tahu darimu." Nabi Musa
kemudian disuruh Allah untuk membawa ikan dalam keranjang. Nabi Khidir AS ada
disana, dimanapun dia kehilangan ikan. Nabi Musa AS. melaksanakan perintah Allah
tersebut (Al-Maraghi, tt.). Nilai pendidikan dalam cerita tersebut menunjukkan sebagai
hamba Allah yang şālih sangat dilarang sifat bangga diri (’ujub dan takabbur).
Pelajaran yang dapat dipetik dengan merenungkan narasi yang terkandung dalam
Surat Al-Kahfi ayat 60 adalah bahwa manusia adalah makhluk unik yang, ketika Allah
mengangkat mereka ke kemuliaan (diberikan derajat) sebagai khalifah-Nya di bumi ,
harus menanggung ujian dan kesulitan. Pengangkatan ini sarat dengan hak dan
supremasi martabat manusia. (Abdullah, 2005). Sehingga pada puncaknya manusia
yang sukses adalah mereka yang benar-benar bertakwa kepada Allah dan senantiasa
punya martabat ‘ārif billāh..
Demikian pula dalam belajar sangat diperlukan kesabaran dengan masa yang
cukup panjang, demi kesuksesan dan keberhasilan. Hal ini sebagaimana keteguhan
seorang Nabi Mūsa AS. dan kesetiaan murid dan pembantunya (Yusa’ bin Nūn bin
Afrośim bin Yūsuf AS.) (Al-Zuhaili, 1991 M/1411 H). Namun, seorang pembelajar juga
harus membuang sifat-sifat menjijikkan yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an.
D. SIMPULAN
Setiap orang yang selalu berkembang sepanjang hidupnya adalah pembelajar.
Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa pertumbuhan anak didik selalu mengarah
pada kedewasaan, dan semua itu terjadi sebagai akibat dari dukungan dan arahan yang
diberikan oleh guru. Potensi peserta didik dalam proses pendidikan adalah objek atau
tujuan dari sistem pendidikan yang secara langsung berfungsi sebagai topik atau
individu yang harus diakui oleh lingkungan sesuai dengan keberadaan individu
tersebut.
Lingkungan, tingkat bakat anak, karakteristik siswa, minat, dan faktor-faktor lain
semuanya perlu diperhitungkan selama mengajar. Oleh karena itu, setiap orang atau
sekelompok orang yang dipengaruhi oleh seseorang atau sekelompok orang yang
terlibat dalam kegiatan pendidikan dianggap sebagai siswa dalam definisi kata yang
paling luas. Sedangkan siswa—khususnya dalam konteks pendidikan—adalah anak
kecil yang menjadi tanggung jawab guru.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. S. (2005). Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al- qur’an (terj.), (Jakarta :
Rineka Cipta. 2005), cetakan ke-3, hlm. 88. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi, A., & dkk. (2006). Ilmu Pendidikan (Vol. 2). Jakarta: Rineka Cipta.
Aziz, A. (2017, Juli). Komunikasi Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam.
Mediakita, 1 (2), 173-184.
Badrudin. (2018). Peserta Didik dalam Perspektif Al-Qur’An (Interpretasi QS. at-
Taubah: 122 ). Al-Fath, 06(01), 50-69.
Bayan, A.-q. (1430 H/ 2009 M). Al-qur’an Bayan. ttp: Bayan Qur'an.
Harahap, M. (2016, Desember). Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Pendidikan
Islam. Jurnal Al-Thariqah, 1(2), 140-155.
Maghfiroh, L. (2018). Hakikat Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam.
Pendidikan Agama Islam, 1(2), 80-94.
Rahardja, U., Hidayanto, A., Hariguna, T., & Aini, Q. (2019). Design Framework on
Tertiary Education System in Indonesia Using Blockchain Technology.
International Conference on Cyber and IT Service Management (CITSM) (pp. 14-
23). Jakarta: IEEE.
Shaturaev, J., & Bekimbetova, G. (2021). Indigent Condition in Education and Low
Academic Outcomes in Public Education System of Indonesia and Uzbekistan.
researchgate.net, 1(1), 1-11.
Shihab, M. Quraish Shihab, S. S. (n.d.). . 2007. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Cetakan ke-7. Vol. 5.
Yulyani, M., Saepuddin, A., & Surbiantoro, E. (2018). , 2, 3. Prosiding Pendidikan Agama
Islam, 4(2), 155-161.