Anda di halaman 1dari 11

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

PERSPEKTIF IMAM GHAZALI


Tri Mulyono; Mualimul Huda
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Kudus, Indonesia
trimulyono002@gmail.com

ABSTRAK
Dalam pendidikan Islam kurikulum memegang peran penting untuk menentukan sebuah
keberhasilan pembelajaran islam serta dapat dijadikan sebuah acuan atau landasan program
pendidikan islam dalam berbagai jenjang. Dasar itulah yang menjadikan alasan utama
sebuah kurikulum pendidikan islam menjadi komponen terpenting pada lembaga keagamaan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa konsep kurikulum pendidikan Islam
perspektif Imam Ghazali. kemudian mampu merelevansikan konsep kurikulum tersebut
dengan kurikulum pada saat ini. Penelitian ini adalah penelitian studi kepustakaan (library
research), yang bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kurikulum pendidikan Islam
perspektif Imam Ghazali serta relevansinya pada lembaga jenjang MTs. Penelitian ini
menggunakan metode dokumentasi dalam pengumpulan datanya serta metode analisis isi
(Content Analisis). Penelitian ini berhasil memperoleh dua temuan, yaitu : 1) konsep
kurikulum perspektif Imam Ghazali didasarkan pada Klasifikasi ilmu pengetahuan, yakni
kurikulum yang berdasarkan dari Ilmu Fardlu ‘ain dan kurikulum yang berdasarkan pada
ilmu fardlu Kifayah sehingga dari klasifikasi tersebut mampu menghasilkan komponen-
komponen yang terdapat pada sistem kurikulum yakni komponen tujuan, materi, metode,
proses pembelajaran dan evaluasi kurikulum. 2) Relevansinya kurikulum perspektif Imam
Al-Ghazali dengan kurikulum pada lembaga jenjang MTs bahwa dalam
mengimplementasikan materi, metode, proses pembelajaran serta evaluasi pendidikan harus
berdasarkan tujuan dalam pendidikan yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kata Kunci : Kurikulum Pendidikan Islam; Imam Ghazali

A. PENDAHULUAN

Dalam pendidikan Islam kurikulum memegang peran penting untuk


menentukan sebuah keberhasilan pembelajaran islam serta dapat dijadikan
sebuah acuan atau landasan program pendidikan islam dalam berbagai jenjang.
Dasar itulah yang menjadikan alasan utama sebuah kurikulum pendidikan islam
menjadi komponen terpenting pada lembaga keagamaan. Karena dengan hal itu
proses pembelajaran dalam pendidikan semakin terarah dan terkonsep
perencanaannya, langkah apa serta bagaimana pola sistem pendidikan yang akan
diterapkan untuk guru dan siswa pada lembaga keagamaan.
Kondisi kurikulum di negara Indonesia saat ini sudah mengalam banyak
pergantian, karena kurikulum disusun menyesuaikan dengan tuntutan dan
perkembangan zaman saat ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai
pengguna dari hasil sebuah pendidikan. Kondisi pendidikan saat ini adalah
pendidikan kontemporer yang menekankan aspek pengetahuan saja hal tersebut
dikarenakan selama beberapa tahun ini negara sedang dilanda virus Covid-19
sehingga aspek sikap kurang begitu diperhatikan oleh sistem pendidikan.
Siti Zaleha dalam jurnalnya yang berjudul gagasan Kurikulum Pendidikan
Islam Perspektif Al-Ghazali menyampaikan bahwa bahwa tujuan akhir
pendidikan Islam ialah kedekatan diri kepada Allah dan kebahagian di dunia dan
di akhirat. Dengan demikian, rumusan tujuan inilah yang menjadi rumusan
tujuan kurikulum dan sekaligus merupakan rumusan yang harus dipegang
dalam merumuskan tujuan kurikulum pada setiap jenjang dan lingkup
pendidikan. Di dalam menerapkan materi kurikulum pendidikan Islam, agar
sesuai dan searah dengan tujuan kurikulum tersebut, maka al-Ghazali, sesuai
dengan pembagian ilmu pengetahuan, ia menitik beratkan al ilm al-syariah
sebagai ilmu yang wajib diberikan untuk setiap individu, baik dalam bentuk ilmu
pengetahuan yang bersifat ilm fardu`ain maupun yang bersifat ilm fard kifayah
Di samping itu, sebagai penunjang diberikan juga ilmu pengetahuan gair
alsyariah baik yang bersifat fard kifayah maupun yang bukan fard kifayah tetapi
terpuji serta dimungkinkan pula untuk memasukkan ilmu pengetahuan yang
bersifat mubah (dibolehkan). 1
Jurnal oleh Adi Fadli dengan judul konsep pendidikan Imam Al-Ghazali dan
relevansinya dalam sistem pendidikan di Indonesia menyimpulkan bahwa
Konsep pendidikan Al-Ghazali dapat diketahui dengan cara memahami
pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan
pendidikan yaitu tujuan pendidikan, kurikulum, etika guru dan murid, serta
metode pembelajaran. Konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Imam Al-Ghazali
sangat relevan dengan sistem pendidikan di Indoneisa yang ditinjau dari tujuan
pendidikan, konsep pendidik dan peserta didik, metode pembelajran, serta
kurikulum yang diterpakan saat ini khususnya pendidikan karakter, dimana
pada tataran aplikasi sangat mengedepankan pada aspek pengembangan
intelektual, moral, dan spiritual sehingga mampu mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2
Dari kedua penelitian diatas , terdapat perbedaan judul maupun pembahasan
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Jurnal yang pertama hanya
membahas konsep kurikulum pendidikan Islam perspektif Imam Ghazali saja
sedangkan jurnal yang kedua hanya membahas konsep pendidikan perspektif
Imam Ghazali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah
pengembangan dari jurnal yang sudah ada dengan tujuan untuk menganalisa

1 Siti Zaleha et al., “Gagasan Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Al-Ghazali,” Al-Fikra :
Jurnal Ilmiah Keislaman 19, no. 2 (June 9, 2021): 254, accessed July 11, 2022, http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/view/11344.
2 Adi Fadli, “KONSEP PENDIDIKAN IMAM AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DALAM

SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA,” El-Hikam 10, no. 2 (2017): 276, accessed July 12, 2022,
http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/elhikam/article/view/3087.
konsep kurikulum pendidikan Islam perspektif Imam Ghazali. kemudian mampu
merelevansikan konsep kurikulum tersebut dengan kurikulum pada saat ini.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan atau literature
search. Studi kepustakaan adalah metode penelitian yang dilakukan hanya atas
dasar dokumen yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dengan memeriksa semua
sumber perpustakaan yang terkait dengan penelitian ini. Dalam hal ini, dokumen
yang dikaji sebagai literasi merupakan teori penelitian dengan pendekatan
filosofis, yaitu suatu pendekatan yang menggali pikiran para tokoh dan
mengungkap segala esensi yang muncul dari berbagai teks tertulis dan
manuskrip yang diterbitkan. Islam memiliki universalitas dalam ajarannya dan
mengandung hikmah untuk semua.3

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kurikulum
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, kurikulum adalah
seperangkat rencana dan aturan tentang tujuan, isi, bahan pembelajaran, dan
metode yang digunakan sebagai pedoman untuk menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.4
Menurut Crow and Crow, kurikulum adalah rencana studi atau
kumpulan semua pelajaran yang disusun untuk menyelesaikan suatu
program pendidikan tertentu.5
William B. Ragan dalam bukunya Modern Elementary Curriculum,
kurikulum dalam arti luas mencakup semua program dan kehidupan di
sekolah, artinya pengalaman semua siswa menjadi tanggung jawab sekolah.
Kurikulum tidak hanya mencakup bahan ajar, kurikulum juga mencakup
semua bentuk kegiatan kelas. Oleh karena itu, Williams menyimpulkan
bahwa kurikulum juga mencakup hubungan guru-siswa, metode pengajaran,
model pendidikan, dan penilaian guru.6
Dari beberapa pengertian di atas, maka kurikulum adalah seperangkat
alat perencanaan kegiatan pembelajaran, termasuk seperangkat isi dan
beberapa bahan ajar yang sistematis terkait dengan berbagai kegiatan dan
komunikasi dengan masyarakat yang akan dilakukan. Kegiatan pembelajaran
yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan yang baik. Dengan kata
lain, pengertian kurikulum yang lebih luas tidak hanya mencakup bahan ajar,
tetapi juga metode, model, penilaian, dan segala bentuk kegiatan yang
terdapat di sekolah.
Al Ghazali tidak menjelaskan pengertian kurikulum. Oleh karena itu,
untuk memahami konsep kurikulum Al Ghazali, perlu mempelajari situasi
pendidikan dan bagaimana konsep kurikulum itu diterapkan dalam

3 Muh Shofi Al Mubarok and Sudarno Shobron, “Dakwah Dan Jihad Dalam Islam: Studi Atas
Pemikiran K.h.m. Hasyim Asy'ari,” Profetika 16, no. 2 (December 17, 2015): 138, accessed July 11,
2022, https://www.neliti.com/publications/162444/.
4 Haiatin Chasanatin, Pengembangan Kurikulum, 2016th ed. (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,

n.d.), 15.
5 Farid Hasyim, Kurikulum Pendidikan Agama Islam, 2015th ed., n.d., 11.
6 Dr Hj Sutiah M.Pd, PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI TEORI DAN APLIKASINYA (NLC,

2020), 13.
kehidupannya (zaman klasik). Pada zaman klasik atau Ghazali mengenal
banyak jenis dan jenjang lembaga pendidikan, antara lain: Lembaga
penelitian, observatorium, rumah sakit, dll.7
2. Biografi Imam Ghazali
Nama lengkap Imam Ghazali adalah Hujjatul Islam Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali lebih dikenal dengan
nama Al Ghazali.8 Tetapi ada juga yang mengatakan nama lengkapnya Abu
Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, karena kedudukannya yang
tinggi dalam Islam, maka dia digelari dengan “Hujjatul Islam”.9 Ia lahir pada
tahun 450 H/1058 M di sebuah kota kecil yaitu di desa Ghozalah, Thusia,
wilayah Khuroson, Persia atau sekarang dikenal dengan Negara Iran.10 Nama
Ghazali masih sering dibicarakan dan kadang-kadang diucapkan Ghazaly
(dua z) karena profesi ayahnya adalah pemintal wol. yang berarti pemintal
benang. Sedang Al Ghazali dengan huruf z berasal dari kata Ghazalah, yakni
nama kampung halaman Al Ghazali, nama inilah yang sering digunakan oleh
banyak orang.11
Imam Al-Ghazali adalah adalah anak yang lahir dari keluarga miskin.
Ayahnya adalah seorang pemintal wol (pengrajin) yang kemudian menjual
produknya sendiri, sehingga kehidupan sehari-harinya didasarkan pada
bisnis tenun wolnya sendiri. Ayahnya mengajarinya gaya hidup sederhana
dan jujur, serta harus bisa hidup mandiri tanpa bantuan dari luar. Ayahnya
setiap hari semakin tertarik dan mencintai kehidupan sufi , sehingga sebelum
kematiannya ia menjadi sahabatnya Muhammad Arazikani, seorang ahli sufi
untuk mendidik keduanya.Setelah kematiannya, sahabatnya tersebut telah
dipercayakan pendidikan kedua putranya.12
Al-Ghazali adalah anak berbakat dengan tingkat kecerdasan dan minat
belajar yang tinggi. Hal itu terlihat dari kemauannya untuk belajar. Selama
beliau hidup dengan teman-teman ayahnya, Al-Ghazali mempelajari banyak
ilmu diantaranya ilmu fikih, riwayat hidup para wali serta tentang kehidupan
spiritual mereka. Namun keadaan tersebut tidak berlangsung lama karena
para sufi yang mengalami kemiskinan, sehingga situasi pada tahun tersebut
menjadikan Ghazali dan adiknya diberikan kepada Madrasah untuk
mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak. Di madrasah inilah
Al Ghazali mengembangkan potensi intelektual dan spiritualnya. Tetapi
dengan perkembangan zaman serta kondisi budaya dan struktural

7 Sabda Syaifuddin, Konsep Kurikulum Pendidikan Islam (Refleksi Pemikiran Al-Ghazali), 2008, 77,
accessed July 12, 2022, https://idr.uin-antasari.ac.id/348/.
8 “Ihya-Ulumuddin-Bahasa-Indonesia-Jilid-1.Pdf,” n.d., 24, accessed July 12, 2022,
https://rahmadkhairul.files.wordpress.com/2018/07/ihya-ulumuddin-bahasa-indonesia-jilid-1.pdf.
9 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Madiun: Jaya Star

Nine, 2013), 1.
10 Nisrokha Nisrokha, “Konsep Kurikulum Pendidikan Islam:,” Madaniyah 7, no. 1 (January 31,

2017): 155, accessed July 12, 2022,


https://journal.stitpemalang.ac.id/index.php/madaniyah/article/view/82.
11 Abidin Ibnu Rusn and Kamdani Kamdani, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Pustaka

Pelajar, 1998), 9.
12 Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, 2.
masyarakat yang mempengaruhi pemikirannya, ia harus memperluas
pandangan dan wawasannya. 13
Seperti yang dikatakan Sharif, pada mulanya Al-Ghazali berguru kepada
Ahmad Ibnu Muhammad Al-Razikani di Thus hingga ia remaja. Darinya, Al-
gazali belajar ilmu hukum. Setelah memperdalam dasar-dasar hukum, ia
mulai melakukan perjalanan ke Yordania untuk mencari pengetahuan untuk
memperluas visinya tentang hukum. Setelah belajar di Jorjan, ia kembali ke
Thus dan tinggal di sana selama kurang lebih tiga tahun. Hal tersebut
dimanfaatkan oleh Al Ghazali untuk mempelajari tasawuf dan mengamalkan
berbagai ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari di bawah bimbingan
Yusuf Al-Nassaj, serta berguru pada salah seorang guru yang bernama Abu
Al- Ma’ali Abd Al-Malik bin Abi Muhammad al-Juwaini, Imam Al-Haramain.
Beliau merupakan salah seorang ulama ternama di madrasah Nizham al-
Muluk. Di madrasah inilah Al-Ghazali belajar ilmu teologi, falsafah, hukum,
logika, ilmu pengetahuan alam dan tasawuf. Al-Ghazali sangat cerdas
dibandingkan dengan siswa lainnya. Karena kecerdasannya yang tinggi, Al-
ghazali bahkan dapat dengan cepat memahami bahwa kemampuannya
melebihi gurunya, tetapi itu tidak membuatnya sombong, ia tetap tawadlu.
dan menghormati gurunya yakni Imam Al Haramain.14
Selama di Naisabur Al-Ghazali belajar tidak hanya dengan Imam Al-
Haramain, tetapi juga dengan guru-guru yang lain, terus menerus
mempelajari berbagai ilmu, ia belajar dengan seorang ahli tasawuf yang
merupakan murid dari pamannya yang juga merupakan ahli tasawuf pula
yaitu Abu A-Fadl Ibnu Muhammad Ali Al-Farmadhi. Dengan gurunya
tersebut ia belajar teori serta praktek-praktek ilmu tasawuf. Selain itu dengan
secara mandiri, ia melakukan pertapaan dan mepraktekkan ajaran tasawuf.
Hal tersebut dijalankan sampai Al-Farmadhi wafat pada tahun 447 H/1084
M.15
Sekitar dua puluh delapan tahun setelah meninggalnya Al-Farmadhi,
pendidikan Al-Ghazali secara formal juga telah berakhir, tetapi bukan Al-
Ghazali namanya jika berhenti dalam belajar. Pada usia ini, ia memperoleh
pengetahuan yang tidak dimiliki anak muda lainnya. Ia sudah memiliki
keahlian dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain filsafat, teologi, retorika,
hukum Islam, moralitas, tasawuf, pendidikan Islam, dan psikologi. Karena Dia
ambisius, cerdas, dan ingin belajar, jadi dia melanjutkan perjalanannya ke
Bagdad.16
Pada tahun 481 H/1091 M Al-Ghazali memulai kehidupannya yang baru
yaitu menjadi seorang pengajar pada sebuah universitas yang didirikan oleh
Nizham Al-Muluk di Baghdad. Kemudian di tahun 484 H/1091 M Al-Ghazali
menerima jabatan tinggi dalam universitas tadi. Ia diangkat sebagai guru

13 Nisrokha, “Konsep Kurikulum Pendidikan Islam,” 156.


14 Muhammad Edi Kurnanto, “PENDIDIKAN DALAM PEMIKIRAN AL-GHAZALI,”
Khatulistiwa 1, no. 2 (Summer 2011): 161, accessed December 7, 2022,
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/896106.
15 Edi Kurnanto, “Pendidikan dalam Pemikiran Al-Ghazali,” 162.
16 Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, 5.
besar dalam bidang ilmu syariat Islam. Pada saat diangkat sebagai guru besar
usianya masih terbilang sangat belia yakni 3 puluh empat tahun, sedangkan
jika dibandingkan dengan guru besar yang lainnya usia masih diatasnya.
Setelah beberapa tahun menerima jabatan tersebut beliau pula diberi tugas
untuk menjadi rektor dari Universitas Nizham Al-Muluk di Baghdad.17
Al-Ghazali adalah pengikut paham Syafiya di bidang Fiqh sedangkan
mengikuti mazhab Asy'ari di bidang teologi mengikuti madzhab Asy’ariyah.
Pada waktu Baghdad memang sebuah kota besar yang menjadi tempat
berkumpulnya para pemikir dari berbagai kalangan, pengikut dari berbagai
madzhabpun sering berkumpul di kota tersebut. Selama di Bagdad, Ghazalie
tidak membatasi pergaulannya, ia berkencan dengan semua orang sambil
tetap berpegang pada keyakinannya. Dia bercampur dengan Kristen, Yahudi,
ateis, penyembah api, penyembahan berhala, dan pemikir dari berbagai
aliran. Baghdad juga memiliki materialis, naturalis, dan filsuf. Situasi ini yang
menyebabkan sering terjadi diskusi dan diskusi di antara mereka.18
Setelah empat tahun menjadi profesor dan presiden di Universitas
Baghdad, Ghazalie mengalami kegembiraan dan kebingungan. Seringnya
pertemuan dengan berbagai kalangan di Bagdad mempengaruhi
pemikirannya, tidak hanya mengubah pola hidupnya secara total, tetapi ia
mulai mencari kebenaran dan kebebasan berpikir. Dia mulai berpikir tentang
cara berpikir yang berbeda tentang aliran mana yang benar dan mana yang
salah. Setelah itu, ia memutuskan untuk berhenti dan melanjutkan
perjalanannya ke Syam, mengadopsi gaya hidup beribadah, mengembara ke
berbagai gurun pasir dan meninggalkan posisi terbaiknya di Bagdad. Hal ini
dilakukan untuk melatih diri, menjauhi barang-barang ilegal/dilarang,
meninggalkan kemewahan hidup, dan memperdalam ilmu pengetahuan
spiritualitas dan penghayatan keislaman.19
Pada usia yang ke 49 tahun Al-Ghazali dipanggil oleh Fahr Al-Mulk salah
satu putra Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar di Madrasah
Nidzamiyah. Namun hal itu tidak berlangsung lama hingga ia memutuskan
untuk kembali ke kampung halamannya di Thus. Di kota ini, Ghazali
mendirikan sekolah dengan hanya calon sufi khusus, dan dia
memerintahkannya sampai wafat. Tepat pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun
505 H/19 Desember 1111 M Al-Ghazali wafat, ia wafat pada usia 55 tahun.
Dengan didampingi oleh saudara laki-lakinya yaitu Abu Hamid
Mujiduddin.20

3. Konsep Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Imam Ghozali


Konsep kurikulum yang dikemukakan oleh al Ghozali erat kaitannya
dengan konsep ilmu pengetahuan. Kurikulum yang dimaksud adalah
kurikulum dalam arti sempit, yaitu kumpulan pengetahuan yang diturunkan

17 Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, 3.


18 Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, 4.
19 Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, 5.
20 Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, 4.
dari guru kepada siswa. Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Dinn al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi beberapa kelompok :
1) Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Sumbernya
Berdasarkan sumber aslinya.. Klasifikasi ilmu dapat dibagi menjadi dua
kategori, ilmu Syari'ah dan ilmu Syari'ah.21
a) Ilmu Syariat
Menurut al-Ghazali ilmu pengetahuan syari’ah merupakan segala
sesuatu yang diambil dari Nabiullah (shalawatullah ‘alaihim
wasalamuhu) serta akal tidak menunjukkannya seperti berhitung, bukan
juga sebuah percobaan seperti kedokteran, dan bukan juga pendengaran
seperti bahasa.
b) Ilmu Ghairu Syariat
Ilmu ghairu syari’ah adalah ilmu yang didapatkan dari akal manusia
karena sumbernya dari akal manusia yang tentunya mempunyai
keterbatasan dalam hal pengetahuan dimana akal memiliki keterbatasan
yang membuat jadi sebab bahwa akal belum tentu benar. Oleh sebab itu
ilmu ghairu syari’ah dibagi menjadi tiga bagian, yakni ilmu yang terpuji,
tercela dan sesuatu yang mubah.22
2) Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Fungsi Sosial23
a) Ilmu tercela adalah ilmu yang tidak ada gunanya baik di dunia maupun
di akhirat, seperti ilmu perbintangan, ghaib, dan ilmu perdukunan.
Sekali ilmu ini dipelajari, akan merugikan orang yang memilikinya dan
orang lain, serta meragukan keberadaan Allah SWT.
b) Ilmu yang terpuji seperti tauhid dan agama. Jika ilmu ini dipelajari,
maka dapat mengantarkan manusia kepada jiwa yang suci, bebas dari
kerendahan hati dan keburukan, serta mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
c) Ilmu terpuji pada tingkat tertentu dan tidak boleh dipelajari karena
dapat menyebabkan guncangan keyakinan seperti ilmu filsafat.
3) Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Dimensinya24
a) Ilmu Mukasyafah
Menurut al-Ghazali jelas bahwa pandangan Allah dapat dicapai
dengan membersihkan cermin ini dari kotoran ini, yang merupakan
hijab Allah SWT, untuk mengetahui sifat dan perbuatanNYa.
Pengetahuan ini termasuk pengetahuan masa depan. Al-Ghazali dalam
bukunya Ihya` menjelaskan bagaimana mengamalkan ilmu
mukasyafah untuk mencapai tujuan keilmuan tersebut.
b) Ilmu Muamalah
Ilmu muamalah adalah ilmu tentang praktik kebaktian mencangkup
doktrin dan praktik sekaligus.

21 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumudin (Libanon: Cetakan Edisi Ke-7, 1971), 30.
22 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, 31.
23 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, 28–31.
24 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, 36.
4) Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Tingkat Kewajibannya25
Secara garis besar klasifikasi ilmu menurut kewajibannya dibagi menjadi:
a) Ilmu Fardhu Ain
Pengertiannya adalah ilmu mengenai cara mengamalkan
kewajiban. Maka barang siapa yang telah mengetahui kewajiban dan
waktu wajibnya maka ia telah mengetahui ilmu yang menjadi fardhu
‘ain.
b) Ilmu Fardhu Kifayah
Fardhu kifayah adalah setiap ilmu yang tidak dapat tidak
dibutuhkan dalam dalam menegakkan urusan-urusan dunia seperti
kedokteran, karena kedokteran adalah suatu kepastian (dharuri) dalam
kebutuhan dalam menjaga kekalnya tubuh. Dan seperti berhitung
karena itu pasti dibutuhkan dalam pergaulan, membagi wasiat,
warisan dan lain-lain Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah segala jenis ilmu baik dari
ilmu syari’ah maupun ghairu syari’ah yang mana ilmu tersebut
berhubungan dengan kemaslahatan suatu negeri. Yang mau tidak mau
harus ada yang menguasai dalam batasan cukup karena merupakan
suatu yang pokok dalam suatu negeri, contohnya ilmu kedokteran dan
ilmu kalam.

Dari klasifikasi ilmu diatas dapat disimpulkan bahwa Imam Ghazali tidak
menjelaskan secara khusus tentang pengertian dari kurikulum, melainkan
beliau hanya mengklasifikasi ilmu menjadi beberapa bagian kemudian beliau
mengkonsep ilmu tersebut sebagai mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
peserta didik.
Imam Al-Ghazali menyatakan ilmu-ilmu pengetahuan yang harus
dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan yaitu:26
1. Ilmu-ilmu yang fardu’ain yang wajib di pelajari oleh semua orang Islam
meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab suci Al-
Qur’an dan Al-Hadits.
2. Ilmu-ilmu yang merupakan fardu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang
dapat di manfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti
ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian
dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian
khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang di lakukannya
terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikulum menurut Al-Ghazali di dasarkan kepada dua kecenderungan
sebagai berikut:27

25 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, 30–31.


26 Nisrokha, “Konsep Kurikulum Pendidikan Islam,” 160.
27 Nisrokha, “Konsep Kurikulum Pendidikan Islam,” 161.
1. Kecenderungan Agama dan Tasawuf Kecenderungan ini membuat Al-
Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan
memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan
membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
2. Kecenderungan Pragmatis Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian
terhadap ilmu bedasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di
dunia maupun di akhirat. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak
bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Menurut Al-
Ghazali setiap ilmu harus di lihat dari fungsi dan kegunaannya dalam
bentuk amaliah.

4. Analisis Konsep Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Imam Ghazali


Sebagai seorang ilmuwan, Al Ghazali memiliki pemikiran dalam semua
ilmu filsafat, ilmu hukum, ilmu sosial dan ilmu alam, termasuk pemikiran
tentang pendidikan. Oleh karena itu, dalam rangka menggali khazanah ilmu,
dipandang penting untuk membahas dan melengkapi kembali teori
pendidikan, termasuk khazanah pendidikan di Indonesia. Secara umum, ada
dua aspek penting dalam konsep pendidikan Ghazali. Artinya, mengajarkan
akhlak agama tanpa mengabaikan kepentingan dunia. Pandangan kurikulum
Al Ghazali membawa aspek pembagian disiplin ke dalam tempat dan tujuan
yang tepat.
Kurikulum yang dimaksud adalah seperangkat pengetahuan yang
diberikan pendidik kepada peserta didik untuk mencapai tujuannya. Mirip
dengan kurikulum saat ini, pembagian pengetahuan dalam hal ini adalah
pembagian mata pelajaran pada rasio yang sebenarnya, dan pembagian
tersebut memperkenalkan sudut pandang keluaran pengetahuan, tetapi sudut
pandang ini sebenarnya adalah kehidupan nyata mereka.
Sistematika pembagian Kurikulum Al-Ghazali didasarkan kepada tujuan
dari masing-masing kurikulum itu sendiri, dalam hal ini Mata Pelajaran. Ada
banyak bidang ilmu, sehingga kita perlu membagi lagi bidang ilmu yang
disebut kurikulum.. Perbedaan penetapan kurikulum AlGhazali dengan
kurikulum saat ini adalah AlGhazali juga menerapkan nilai kemanfaatannya
atau status hukum pembelajaran terkait dengan nilainya: fardhu ‘ain dan
fardu kifayah. Artinya ada Ilmu yang memang perlu untuk dipelajari dan
tidak perlu dipelajari tetapi perlu ada diantara orang-orang untuk belajarPada
titik ini, jika kita memperhatikan lembaga pendidikan kita, moral agama, dan
humaniora umum lainnya, ilmu pengajaran moral agama memiliki ruang dan
waktu yang cukup untuk mencapai hasil yang maksimal.
Begitulah individualitas dan kedewasaan berpikir seorang siswa
terbentuk setelah siswa tersebut selesai belajar di sekolah. Pertimbangan
penting lainnya dalam konsep Al-Ghazali adalah menumbuhkan nilai-nilai
agama dalam proses pendidikan guna membentuk kepribadian siswa yang
matang dan tangguh untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Al-gazali tidak
mendukung pantangan mempelajari ilmu umum, Al-gazali mendukung
mencari ilmu tersebut berdasarkan ilmu agama. Oleh karena itu, kualitas dan
pengetahuan siswa secara komprehensif dapat membantu kemajuan dunia
Islam secara keseluruhan.
Dari berbagai analisis di atas, dapat kita simpulkan bahwa konsep
kurikulum pendidikan Islam dari perspektif Imam Ghazali masih sangat
relevan dengan pendidikan Islam saat ini. Menghadapi situasi pendidikan saat
ini, , di mana kemajuan teknologi begitu besar, yang tidak pernah mengubah
tujuan dan gagasannya sendiri, sehingga semua bentuk mata pelajaran yang
diusulkan dalam kurikulum saat ini selalu mendukung konsep keilahian dan
pendidikan moral. Hal ini sejalan dengan konsep kurikulum yang dianut oleh
Imam Ghazali dan sangat mengedepankan perkembangan peradaban Islam
yang semakin ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi..

C. Simpulan
Al Ghazali tidak menjelaskan pengertian kurikulum. Oleh karena itu, untuk
memahami konsep kurikulum menurut Al Ghazali, perlu dikaji situasi
pendidikan pada saat itu dan bagaimana konsep kurikulum itu tersebar luas.
Kurikulum didasarkan pada karakteristik masing-masing lembaga, bukan
dipertimbangkan atau selangkah demi selangkah berdasarkan jenjang atau jenis
pendidikan.
Imam Ghazali merancang kurikulum berdasarkan klasifikasi keilmuannya,
yang terbagi menjadi beberapa ilmu. Klasifikasi pandangan Imam al-Ghazali
tentang ilmu dapat dilihat dari empat perspektif., yaitu : 1) dari segi sumbernya,
2) dari segi fungsi sosialnya, 3) dimensinya, serta 4) dari segi kewajibannya.
Klasifikasi ilmu dari segi sumbernya di bagi menjadi dua, yakni ilmu syari’ah dan
ilmu ghoiru syari’ah. Dari segi fungsi sosialnya ilmu di klasifikasikan menjadi
dua, yakni ilmu terpuji dan tercela. Dari segi dimensinya ilmu diklasifikasikan
menjadi dua, yakni ilmu mukasyafah dan ilmu muamalah. Dan ilmu dilihat dari
kewajibannya diklasifikasikan menjadi dua yakni ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu
kifayah. Selain itu, al-Ghazali menyajikan konsep kurikulum berdasarkan ilmu
fardlu 'ain dan kurikulum berdasarkan ilmu fardlu kifayah. Ghazali tidak hanya
menekuni studi agama saja, tetapi juga menaruh perhatian besar pada ilmu
umum guna menghasilkan kemaslahatan hidup dalam ilmu Faldu Kifayah. Dari
konsep klasifikasi ilmu, Imam Ghazali menentukan berbagai jenis ilmu yang
harus dipelajari siswa pendidikan dasar dan tinggi. Dari konsep tersebut, Imam
Ghazali juga secara tidak langsung menentukan tujuan, materi, metode, proses
pembelajaran, dan penilaian yang merupakan bagian dari komponen kurikulum.
Konsep kurikulum Perspektif Imam Ghazali sangat relevan dengan
komponen-komponen kurikulum di tingkat lembaga pendidikan saat ini dengan
menggunakan kurikulum 2013. Dalam hal tujuan, materi, metode, proses
pembelajaran, dan penilaian, kedua konsep tersebut masih sering digunakan
dalam sistem kurikulum saat ini, bersamaan dengan sistem teknis siap
pengembangan saat ini.
D. DAFTAR PUSTAKA
Abidin Ibnu Rusn, & Kamdani, K. (1998). Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan.
Pustaka Pelajar.
Abu Hamid Al-Ghazali. (1971). Ihya Ulumudin. Cetakan Edisi Ke-7.
Al Mubarok, M. S., & Shobron, S. (2015). Dakwah Dan Jihad Dalam Islam: Studi Atas
Pemikiran K.h.m. Hasyim Asy'ari. Profetika, 16(2), 136–143.
https://doi.org/10.23917/profetika.v16i2.1847
Chasanatin, H. (2016). Pengembangan Kurikulum. Kaukaba Dipantara.
Edi Kurnanto, M. (2011). PENDIDIKAN DALAM PEMIKIRAN AL-GHAZALI.
Khatulistiwa, 1(2), 161–176.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/896106
Fadli, A. (2017). KONSEP PENDIDIKAN IMAM AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA
DALAM SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA. El-Hikam, 10(2), 276–299.
http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/elhikam/article/view/3087
Hasyim, F. (n.d.). Kurikulum Pendidikan Agama Islam (2015th ed.).
Ihya-ulumuddin-bahasa-indonesia-jilid-1.pdf. (n.d.). Retrieved July 12, 2022, from
https://rahmadkhairul.files.wordpress.com/2018/07/ihya-ulumuddin-bahasa-
indonesia-jilid-1.pdf
Iqbal, A. M. (2013). Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Jaya Star Nine.
M.Pd, D. H. S. (2020). PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI TEORI DAN APLIKASINYA.
NLC.
Nisrokha, N. (2017). Konsep Kurikulum Pendidikan Islam: Madaniyah, 7(1), 154–173.
https://journal.stitpemalang.ac.id/index.php/madaniyah/article/view/82
Syaifuddin, S. (2008). Konsep Kurikulum Pendidikan Islam (Refleksi Pemikiran Al-Ghazali).
https://idr.uin-antasari.ac.id/348/
Zaleha, S., Wahyudi, H., Saridin, M., Abbas, A., Kurniawan, H., & Dasri, M. (2021).
Gagasan Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Al-Ghazali. Al-Fikra : Jurnal Ilmiah
Keislaman, 19(2), Article 2. https://doi.org/10.24014/af.v19i2.11344

Anda mungkin juga menyukai