Anda di halaman 1dari 6

Riuh.

suara motor dan angkot bersahut-sahutan, tidak ada yg mau mengalah, dari
kursi penumpang angkot biru laut, dua lelaki paruh baya menatap jalanan,
ekspresi wajah mereka khawatir. "jancuk" sahut salah seorang dari mereka,
"isok telat iki" (bisa terlambat ini)
lelaki yg satunya menoleh, ia mengkerutkan dahi, menatap kawannya, "mbok
pikir koen tok sing gopoh" (kamu kira, cuma kamu seorang yg khawatir)

"halah" "wes mlayu ae, gak nutut iki nek nuruti ngene iki" (lari saja
yuk, gak sempat ini kalau kita nungguin ini)

mereka sepakat, lantas, mereka melompat dari dalam angkot, mulai berlari
menuju jalanan stasiunt, berjibaku dengan orang lalu lalang, mereka
abaikan keringat didahi, menembus lautan orang yg sibuk dengan urusan
mereka masing2, satu yg mereka harus tuju, kereta yg akan membawa mereka
pergi.
"goblok koen Gus, mene nek kate onok urusan, ojok tambah ngejak maen
gaplek"
(bodoh kamu gus, kalau besok ada urusan seharusnya gak kamu ajak aku maen
gaplek)

Agus, lelaki gondrong dengan kumis tipis itu tertawa sembari menghela
nafas panjang, ia merasa geli atas apa yg terjadi.

"Halah. nyocot! sing penting kan menang, oleh duwek akeh"


(bacot, yang penting kemarin menang kan, dapat duit banyak)
ucap Agus, gemas, ia jitak kepala Ruslan, kawan yg akan menemaninya
sebelumnya, Agus dan Ruslan setuju, daripada nganggur, lebih baik mereka
ikut kawan,

meski hanya sebagai kuli bantuan, tapi setidaknya, darisana mungkin hidup
mereka akan berubah, tidak lagi harus mendengar kiri kanan tetangga yang
mengecap mereka sebagai pengangguran yg gak punya masa depan.

kereta melaju, jauh. meninggalkan kota kelahiran Agus, disini, kehidupan


baru bagi Agus dan Ruslan, akan dimulai.

Agus yg pertama turun, diikuti Ruslan, mereka melihat sekeliling,


harusnya, kawan mereka akan menjemput di stasiunt ini, namun, ia hanya
melihat orang lalu lalang, tidak ada tanda kawan mereka,

"asu arek iki Gus, dibelani adoh2 gak disusul" (anj*ng, anak ini,
dibelain jauh2 eh,gak dijemput)

Agus mengangguk setuju, lantas, ia duduk, mengeluarkan sebatang rokok yg


ia simpan di kantung celana, sial. gumamnya, hidupnya sulit, sebatang
rokok yg bengkok pun, terpaksa ia hisap, kini, jadi kuli terdengar masuk
akal baginya, seenggaknya, ia bisa makan nasi lagi.

Ruslan hanya melihat orang2, lebih tepatnya, melihat perempuan2 cantik yg


lalu lalang, tidak ada rokok untuknya, jadi, daripada melamun, Ruslan
tahu bagaimana memaksimalkan kemampuannya untuk menikmati pemandangan.
tak beberapa lama, terdengar suara teriakan familiar, ia datang

"ayok"

Agus dan Ruslan mengikuti.

"numpak opo iki" (naik apa kita) ucap Ruslan,

"numpak bis lah, iki jek adoh ambek nggone" (naik bus lah, ini tempatnya
masih jauh soalnya) Agus tidak banyak komentar, ia sudah diberitahu,
kerjaan mereka tidak jauh dari kuli untuk bendungan.

disepanjang perjalanan, Agus hanya melihat jalanan, mereka menaiki Bus


antar kota, menjelaskan setidaknya kemana mereka akan pergi. Koco, kawan
yg mereka kenal dari warung kopi memang tidak banyak memberitahu soal
pekerjaan ini, kecuali mereka butuh tenaga tambahan,

bahkan, Koco tidak memberitahu, bahwa nanti, Agus dan Ruslan, tidak akan
tinggal di Mes tempat para kuli resmi tinggal, Agus dan Ruslan, hanya
tahu, bahwa ada rumah yg siap menampung mereka, selama mereka bekerja di
tempat ini.

"gratislah" kata Koco, "wes kere mosok jek dijaluki duwik, wes santai ae"
(gratislah, masa kalian sudah susah, masih dimintai duit untuk tinggal,
santai saja)

Ruslan hanya menatap Agus, bila ada yg gak beres dari suatu pekerjaan,
adalah sesuatu yg berbau "gratis"

Agus nyengir, buang air saja bayar, ini, tinggal di rumah orang masa
gratis. kalau gak rumah setan, ya rumah orang gak waras. tapi dilain hal,
Koco meyakinkan Agus, bahwa rumah itu gratis karena sudah dibayar setahun
penuh, dan pekerja sebelumnya sudah pamit pulang.

"pamit pulang kenapa mas?" tanya Agus.

"gak eroh" (gak tau) kata Koco,

"isterine ngelahirno, jarene" (isterinya melahirkan, katanya) Koco


mengangkat bahu, tanpa sadar, Bus memasuki daerah yg semakin malam,
semakin sepi, sunyi,

Agus masih tidak yakin, "sing liane" (yang lainnya?)

"muleh pisan" (pulang juga)

"gak kerasan" tutur Koco, dan kemudian, ia berdiri.

"wes totok" (sudah sampai) Ruslan dan Agus, mengangkat tasnya, mengikuti
Koco yg sudah melangkah turun, pertama kali melihat Desa itu, Agus hanya
melihat sebuah desa biasa saja, tak ada yg aneh,
tidak ada yg aneh, kecuali Koco, Koco menunjuk sesuatu, sebuah jalanan
lurus, setelah memasuki desa, Koco mengatakannya
"Omah sing bakal mok nggoni, lurus ae yo, wes ra usah menggak menggok,
gampang kok ancer-ancere, yo" (rumah yg nanti akan kalian tinggali, lurus
saja ya,gak perlu belak-belok, mudah kok posisinya) sahut Koco,

sebelum menyalakan sebatang rokok, melipir pergi ke sudut desa lain, Agus
dan Ruslan hanya saling menatap bingung, sebelum, bersama, mereka pergi.

Agus menelusuri jalan setapak, gelap, tentu saja. Ruslan mengikuti


dibelakang, tidak ada bedanya sama jalanan di desa Agus, hanya saja,
mungkin karena tempat asing, suasana itu, membuat mereka merinding. "Koco
Asu" umpat Ruslan, Agus setuju. saat mereka sampai diujung jalan,

Agus dan Ruslan tidak lagi melihat ada jalan setapak, kecuali, rumput
setinggi mata kaki, didepannya, ada kebun pohon jati yang menjulang
tingg, Agus dan Ruslan melihat disana-sini, tidak ada jalan, lelah bila
harus kembali, Agus menembus masuk ke kebun jati seorang diri.
tak beberapa lama, Ruslan mengikuti.

dibawah pohon jati, Agus menahan diri, sejak kecil, ia memang biasa
dengan tempat seperti ini, namun Ruslan berhati-hati, pekerjaan yg sempat
membuatnya bersemangat tiba-tiba seperti mati rasa, perasaannya tidak
enak, tapi selama ada Agus,
Ruslan merasa semua akan baik-baik saja. baik-baik saja, sebelum, Ruslan
melihat tempat tinggal mereka, sebuah rumah yang ada dibalik kebun jati.
Rumah kayu, berdiri sendiri, dengan petromaks yg sudah menyala, pintunya
terbuka, Agus, mendekatinya.

"gus, Rumah setan pasti gus" ucap Ruslan,

"iya, rumah siapa lagi yg kaya gini kalau gak rumah setan" Agus
menimpali, tapi ia, tetap mendekati, di pintu rumah, tercium aroma
makanan,
Ruslan semakin yakin, sampai, dari dalam, muncul si pemilik rumah.

"wes tekan ya, monggo" (sudah datang ya, silahkan)

mata Agus bertemu dengan mata seorang wanita, usianya mungkin lebih tua
dari Agus, sosoknya ramah, ia mengangguk saat Agus berdiri di depan
pintu, ia melewati Agus, Ruslan melangkah masuk, mengamati makanan yg
tersaji di meja namun, Agus mengatakannya secara tiba-tiba.

"saya mencium lemah layat dari makanan itu"

si wanita menoleh, menatap Agus, ia tersenyum, mengangguk, sebelum pergi,


Agus baru tahu, ada Rumah lebih besar, tidak jauh dari tempat ia
berdiri..

Agus menutup pintu.

"gak usah dimakan Rus, biarin aja" ucap Agus, ia memandangi rumah besar
disebrang dari jendela, Ruslan mendekati.

"prosoko gak onok omah iku loh gus mau" (perasaanku tadi, gak ada rumah
loh disitu)
"Rumahe demit" kata Agus tertawa, membuat Ruslan kesal

"goblok" sahut Ruslan,

"aku eroh awakmu ngelmu, tapi yo ojok ceplas ceplos ngunu, awakmu nantang
iku jeneng'e" (aku tahu kamu dulu suka ngilmu, tapi jangan begitu
ngomongnya, itu kaya kamu nantangin dia) sahut Ruslan, khawatir

"iya, Rus, paham aku, aku cuma mau lihat reaksinya"

"itu makanannya gimana"

"biarin aja, besok juga udah dimakan ulat" Agus menutup tirai jendela.

"berarti temenan gak beres omah iki" (berarti rumah ini memang gak beres
ya)

Agus duduk, sembari melihat makanan didepannya. ia melihat Ruslan yg


masih penasaran.

"guk omahe sing gak beres, tapi lemahe iki sing gak beres" (bukan
rumahnya yg gak beres, tapi tanah tempat rumah ini berdiri yg tidak
beres)

"lemah" (tanah) sahut Ruslan,

"Omah iki ngadek gok ndukure, lemah tapal" (Rumah ini, berdiri diatas
tanah Tumbal)

Agus berdiri, ia berkeliling rumah, sebenarnya, daripada rumah, tempat


ini lebih terlihat seperti gubuk kayu reot, hanya ada 2 kamar dan satu
dapur, selebihnya ruang tamu dan pekarangan, namun, ada rumah yg lebih
besar persis didepannya, rumah itu, bukan rumah demit, seperti yg Agus
katakan, namun, rumah itu adalah rumah manusia. Agus pun mengatakannya
pada Ruslan agar ia tidak bertanya lagi,

"perempuan tadi, itu Gundik'colo"

Ruslan kaget bukan main saat mendengarnya. "masa, masih ada perempuan
seperti itu"

"iya" agus mengangguk,


"kelihatan dari aroma dan cara dia berjalan kelihatan sekali dia
Gundik'colo"

Ruslan geleng kepala,

"serem juga ini tempat, pergi gak kita ini" sahut Ruslan,

"gak usah, yang penting, hati-hati aja sama tuh perempuan" batin Agus,
matanya melihat sudut dapur,

"lihat apa"
"Pocongan"

"matamu" kata Ruslan,

Agus hanya geleng-geleng kepala,

"ada berapa?"
Agus menatap Ruslan, "masih 7 sih Rus, kayaknya nanti malam keluar semua"
Agus pun menutup pintu dapur,

"biarin lah" Agus melipir ke kamar, diikuti Ruslan,

"Asu" umpatnya berkali-kali

Malam itu, masih awal dari segalanya. manakala Agus sudah terlelap dalam
tidurnya, Ruslan mengintip dari jendela kamarnya, disana, jauh ditempat
rumah tempat perempuan itu tinggal, ia tengah berdiri tepat di
jendelanya, tengah menatap tempat Ruslan mengintip.

"Asu koen Gus, gara2 lambemu, aku gak isok turu" (Anj*ng kamu gus, gara2
mulutmu, semalam gak tidur aku) sahut Ruslan mengejar Agus yg sudah
menyampirkan tasnya, bersiap menemui Koco yg sudah menunggu diluar rumah,
beberapa kali Agus melirik Ruslan,
senyumannya mengembang

"sing ngongkon awakmu gak turu iku sopo" (yg nyuruh kamu gak tidur itu
siapa) sahut Agus, cengengesan

, sampai didepan, Agus membuka kain yg ia gunakan untuk menutupi makanan,


ketika kain dibuka, Ruslan melompat, melihat makanan semalam, dipenuhi
belatung yg memakan saripatih

bau busuk langsung menusuk hidung Agus dan Ruslan.

"bosok" (busuk) ucap Agus,


"ayo wes, kawanen" (yasudahlah, kesiangan kita)

Agus dan Ruslan melangkah keluar, tepat di depan rumah, tiba-tiba, mereka
berhadapan dengan perempuan itu, ia menunduk, mengucap "monggo"

Agus ikut menunduk, kemudian, melewatinya. Ruslan yang sedari tadi


memperhatikan, melihat gelagat mata perempuan itu yg mengikuti sosok Agus
yg terus berjalan cepat, di sudut bibirnya, perempuan itu tersenyum,
namun, Agus tidak tahu akan hal itu.

"he, gus, wong iku mau ngguyu loh ndelok awakmu, gak wedi ta" (gus, orang
tadi senyum loh lihat kamu, gak takut)

"tresno paling ambek aku" (suka kali sama aku) sahut Agus, tertawa-tawa

"gak wedi di senengi ambek ngunu iku" (gak takut kamu di sukai yg seperti
itu)
"gak, iku ngunu jek menungso kok" (gak lah, bagaimanapun, dia masih
manusia kok)

lama mereka berjalan di bawah kebun pohon jati, sampailah mereka di


jalanan setapak, menuruni jalan utama, sebelum melihat Koco dan semua
teman-temannya, Agus dan Ruslan bertegur sapa sebelum memulai
pekerjaannya.

Ruslan masih kepikiran ucapan Agus semalam, semuanya berputar dalam


kepalanya, mulai dari tanah layat, pocong sampai Gundik'colo, semua itu,
tidak asing baginya, kecuali, masih ada perempuan seperti itu di jaman
seperti ini.

seujujurnya, ia takut sekali, namun Agus, aneh

hari mulai petang, Agus dan Ruslan kembali, manakala ia mau melewati
jalan ke pohon jati, kebetulan, mereka berpapasan dengan seorang lelaki
tua pencari rumput, lelaki itu, melihat Agus dan Ruslan bergantian.

"kalian yg tinggal di rumah Lastri"

"iya" kata Agus,

Anda mungkin juga menyukai