tempat dimana keanehan itu di mulai. Sesampainya di makam, sudah banyak warga berkumpul mengelilingi makam, Pak Lurah yang baru datang langsung segera memeriksa apa yang terjadi.
Makam Ki Rangan terbuka lebar, tepat tujuh hari
setelah kematiannya.
Semua berantakan, kayu penanda makam sampai
terpental jauh, tanah berserakan, dan hal yang paling mengerikan Pak Lurah temui juga, ada tali pocong yang tertinggal.
Jasadnya masih terbujur kaku, tapi yang mengerikan
dari ini, kepala Ki Rangan entah dibawa siapa, manusia? binatang? entah. Tak tahu apa yang ingin dilakukan dengan membawa lari kepala Ki Rangan, tapi Pak Lurah tau, orang yang mengincar kepala Ki Rangan bukanlah orang sembarangan, kemungkinan ia akan menggunakannya untuk sesuatu yang buruk, untuk sesuatu yang menimbulkan petaka.
Pak Lurah terdiam, ia terduduk di salah satu kijing
makam yang ckp terawat. Warga masih berseliweran, kasak-kusuk membicarakan kemungkinan buruk yg nantinya akn terjadi. Ingatannya kembali ke masa kecil, Ki Rangan bkn orang sembarangan. Dia termasuk orang yg ditakuti di desa ini.
Kematiannya mungkin ditunggu beberapa warga,
karena memang sikapnya yang arogan dan dikenal sebagai dukun sakti mandraguna, sering melakukan ritual yang tak jarang membuat celaka banyak orang.
Tapi dibalik sikap arogannya ia tetap menjadi sosok
orang yang menjaga desanya. Syaratnya satu, tak ada yang mengungkap dimana ia tinggal. Kalau sampai diungkap, nyawa yang menjadi tebusannya. Pernah ada satu kejadian, Ki Rangan ini membuat sebuah pesta pernikahan menjadi rusuh. Pesta pernikahan yg kala itu mengundang penari tradisional yg namanya wangi karena kecantikannya.
Yang saat itu diadakan oleh tetangga desa yg cukup
jauh. Dia yang mabuk parah terlibat keributan dgn beberapa orang.
Semua orang yang berada di tempat itu marah karena
perilaku tak sopan Ki Rangan saat berada di tempat tersebut.
Dengan membabi buta ia maju ke deretan para penari
yang berjajar dalam sebuah formasi, salah satunya dipeluk secara serampangan oleh Ki Rangan. Membuat para penari itu menangis ketakutan, dan sontak membuat acara menjadi rusuh. Salah satu orang dengan badan besar, membawanya keluar dari sanggar yang berada di pendopo desa. Orang itu kemudian memukul Ki Rangan saat sudah di halaman. Yang lainnya mengerubuti, membuat barikade dan yang lainnya hanya melihat keributan yang terjadi.
Si lelaki bertubuh besar itu memukuli Ki Rangan,
menghajar wajahnya berkali-kali, tapi Ki Rangan hanya tertawa terbahak-bahak, membuat yang lainnya kesal. Ki Rangan di hajar masa, dan yang terjadi Ki Rangan semakin kencang tertawa.
Hingga akhirnya semua orang yg melampiaskan
kemarahannya pada Ki Rangan tumbang satu persatu krn kelelahan. Dgn baju compang camping Ki Rangan msh berdiri tersenyum kpd para tamu yg hadir. “ASU KABEH! HAHAHA…” ucap lelaki itu keras, mulai saat itu namanya dikenal semakin luas. Usut punya usut, Ki Rangan adalah orang yang memiliki ilmu kanuragan yang cukup banyak. Dia kebal, kulitnya keras, senjata tajam tak tembus tubuhnya, karena ilmu yang dianutnya,
selain itu Ki Rangan juga bisa melakukan hal-hal yang
mengerikan, santet, pelet, ngepet, laki-laki ini menguasai sisi gelap ilmu kanuragan yang berkembang di Nusantara.
“Pak Lurah, ini bagaimana pak?” ucap Santoso yang
saat itu mulai cemas dengan apa yang akan terjadi kelak. Pak Lurah masih terdiam saja, memikirkan keputusan apa yang diambil. .
“Wes, tutup saja kuburannya, kita cari tahu siapa yang
sudah mengambil kepalanya…” Santoso yang mendengar apa yang diucapkan Pak Lurah langsung bergegas menyuruh yang lainnya untuk segera menutup makam Ki Rangan Para warga yang sedari tadi berkumpul, mulai meninggalkan makam satu persatu. Esok harinya berita ini menjadi perbincangan banyak orang di pasar.
Kebetulan hari itu adalah Jumat Kliwon, dimana Pasar
Kliwon akan ramai orang yang berbelanja dari berbagai desa. Ki Rangan memang sudah tiada, tapi ancamannya seperti masih membekas di ingatan para warga desa.
Pernah suatu ketika, Ki Rangan dicari oleh aparat,
satu regu diturunkan menuju desa tempatnya tinggal. Tetangga yang melihat hal ini keluar rumah karena penasaran, kenapa hanya untuk menangkap satu orang saja harus dikerahkan banyak orang.
Di depan rumahnya, Ki Rangan sedang bersantai,
menikmati kopi dan rokoknya. Beberapa saat kemudian, aparat datang. Turun dari mobil dan bersiap di depan pelataran. Ki Rangan meminum kopinya, menghisap rokoknya, asap ia sebulkan ke atas, asap tebal muncul. Mulutnya merapal mantra, regu aparat tiba-tiba berbalik arah, kembali lagi ke mobilnya, lalu pergi begitu saja.
Semua orang yang melihat itu hanya melongo, sampai
akhirnya selang dua minggu dua orang polisi datang ke desa, dengar-dengar polisi ini khusus didatangkan dari Pulau Dewata.
Di situ Ki Rangan akhirnya bisa ditangkap dan
dikalahkan, seperti yang sering orang katakan, bahwasanya diatas langit masih ada langit.
Cerita ini berkembang di masyarakat sekitar, terus
menjadi pembicaraan hingga akhir hayat Ki Rangan. Kini setelah kematiannya, petaka seolah terus menyelimuti warga desa. Setelah kejadian pada malam hari di makam Ki Rangan, desa seperti mendapat teror yang terjadi terus menerus. “Memangnya ada apa setelah peristiwa itu?” Pak Lurah hanya terdiam mendengar pertanyaan yang terlontar. Matanya menatap tajam ke bawah seolah tak ingin menceritakan kejadian itu.
Tapi mulutnya mulai terbuka, “Jadi, malam setelah
kepala Ki Rangan hilang, desa mendapatkan teror dari sosok pocong yang berkeliaran di desa ini, yang mengawali saat itu adalah Rohim…” ucapnya pelan.
Pak Lurah lalu menceritakan pengalaman warganya
yang diteror oleh sosok jadi-jadian ini. Sosok yang dimana berkeliaran mencari anggota tubuhnya yang sudah dicuri.
Di suatu malam, semua warga sudah tertidur dengan
pulas. Jelas sangat pulas, karena tak banyak yang bisa dilakukan di kampung ini, malam menjadi waktu yang tepat untuk beristirahat. Tapi malam itu lain dari biasanya, Rohim dan istrinya bisa mendengar jelas, pintu mereka diketuk berkali-kali, awalnya terdengar biasa, layaknya orang mengetuk pintu dengan nada yang pelan “tok,tok,tok” bunyi itu membangunkan Mas Rohim yang sudah terlelap dengan istrinya,
“tok,tok,tok” kali kedua pintu kembali di ketuk. “Sopo
to Mas? Tengah malam ketuk-ketuk pintu loh?” Ucap Murni, istri lelaki tersebut. “Sopo ya? Gak tahu sopan santun..” pandangan Rohim lalu tertuju ke arah pintu kamarnya.
“Tok,tok,tok….” Suara itu kembali bergema, Rohim
yang tak ingin bangun, langsung menutup telinganya dengan bantal, mencoba untuk tak mempedulikan suara itu. Hingga akhirnya, “BRAAAAKKK BRAAAK BRAAAKK…” suara itu membuat Rohim loncat dari tempatnya tidur,
ia segera mengambil golok yang berada dekat dapur,
Murni dengan was-was diam berdiri di pintu kamar yang kini terbuka, ia memandang suaminya yang sudah siap membuka pintu rumahnya dengan membawa golok tajam yang ia genggam erat. Kunci Rohim putar, tangan kanannya sudah memegang gagang pintu, perlahan pintu terbuka, nihil Rohim tak menemukan apapun.
Justru kini matanya memandang ke arah pohon
mangga di dekat latar rumahnya. Di balik kegelapan malam, Rohim seperti melihat sesuatu, sosok yang berdiri tegak mengarah ke rumahnya. Rohim terus mengamati, perlahan sosok itu maju,
sedikit demi sedikit, melayang seperti didorong angin.
Perlahan cahaya malam seperti ikut mengungkap apa yang bersembunyi di baliknya, sosok itu terus maju, tiba-tiba saja, badan Rohim seperti kaku, keringat mengucur deras di keningnya.
“Ono opo Mas?” Rohim tak menjawab pertanyaan
yang dilontarkan Murni. Laki-laki itu masih kaku, terdiam di depan pintu dengan membawa golok di tangannya. Murni melangkah perlahan, memastikan suaminya, ia terus berjalan pelan, hingga akhirnya matanya menangkap sesuatu. Ada sosok yang berdiri di depan suaminya. Sosok pocong dengan kain lusuh, berdiri tegak tanpa kepala. Murni yang melihat itu langsung berteriak. Spontan mendengar teriakan istrinya Rohim bisa kembali menggerakkan tubuhnya,
ia lalu secara serampangan mengayunkan golok ke
segala arah, Rohim terus menutup mata, mengayunkan goloknya maju ke arah pocong tanpa kepala itu berdiri.
“ASU, DEMIT SETAN, MINGGAT, MINGGAT,
MINGGAT…” Rohim terus mengayunkan goloknya, hanya gelap yang dia lihat, ketakutan sudah menguasai orang ini.
Sampai akhirnya…”CRAAAAKKKKK” golok Rohim
mengenai sesuatu. “Mas Rohim, eling mas, eling, sadar…. “ suara itu menyadarkan Rohim, kemudian ia membuka matanya. Darah segar mengalir di goloknya, Rohim langsung menjatuhkan goloknya, dia kemudian terduduk lesu, dengan tatapan nanar, melihat lengan Pak Lurah sudah terkena sabetan goloknya.
Beberapa warga yang melihat langsung memegangi
tangan Rohim, pertanyaan terus melingkar di kepala mereka, kenapa Rohim sampai melakukan hal segila ini, apa maksudnya menggerak-gerakan golok di pelataran dengan terus menutup mata.
Beberapa warga yang lain langsung menutup luka
Pak Lurah, beruntung itu hanya goresan saja. “Mas Rohim, edan kowe? ada apa malam-malam mainan golok di pelataran?” Sedikit emosi Pak Lurah bertanya tegas pada Rohim yang masih dipegang warga yang lainnya.
Murni kemudian lari menjelaskan apa yang
sebenarnya dialami oleh suaminya, semua warga yang mendengar penjelasan Murni sempat tak percaya, tapi tidak dengan Pak Lurah yang meminta Murni untuk terus bercerita. “POCONG PAAAK, POCONG, POCONG NDAS BUNTUNG…“ Pak Lurah yang mendengarkan apa yang dikatakan oleh Rohim hanya bisa terdiam, dan parahnya gangguan ini tidak berhenti di malam ini.
Esoknya Rohim yang mengalami hal ganjil mendadak
sakit keras, kepalanya kaku dan suhunya panas, badan yang lainnya lemas, aneh kenapa hanya kepalanya yang kaku?
Pertanyaan itu terus berputar di pikiran warga desa,
mantri terdekat juga bilang ini hanya demam biasa, tapi yang dirasakan oleh Rohim bukan sesuatu yang biasa saja.
Suatu malam, warga desa menggelar pengajian, guna
memohon doa agar desanya terbebas dari ancaman pocong Ki Rangan, pocong tanpa kepala. Pengajian itu berjalan hingga larut malam. Asep dan Mahmud pulang berdua, kebetulan rumah mereka dekat, mereka berjalan beriringan, Asep takut jika sampai melihat sosok itu, berbeda dengan Mahmud yang terlihat lebih berani.
“Ngopo to pegangan terus? Wedi? Takut?”
mendengar ucapan Mahmud, Asep hanya terdiam, dia terus memandang kedepan. Hingga tiba-tiba kedua lubang hidungnya mencium sesuatu, bau yang teramat busuk.
Asep langsung menutup mulutnya, ia kemudian
berjalan cepat, Mahmud jail menarik bajunya, Asep tak bisa bisa berjalan cepat. “Ngopo cepet-cepet? Mau lari? Takut?” sambil tertawa kecil Mahmud terus mengganggu Asep.
“Gak lucu Mud, ayo gek ndang muleh...” (“Gak Lucu
Mud, ayo buruan pulang...”) melihat gelagat Asep, Mahmud langsung melepaskan pegangannya. Asep lalu berjalan lebih cepat, bau busuk itu masih tercium tajam, membuat Asep terus berjalan dengan memegangi hidungnya. Entah apa, bangkai bangkong atau tikus, keduanya sama busuk. Namun asep merasakan sesuatu,
“Mud...Mahmud...” Asep sadar ia tak mendapati
temannya tak lagi banyak bicara dan jahil, atau lebih tepatnya, Mahmud tidak ada di sampingnya. Asep menoleh perlahan ke belakang.
“Sep.....” terdengar suara lirih, Asep berhenti sejenak,
pikirannya mecam-macam, jangan-jangan Mahmud mengusilinya, Asep kemudian memutar badannya “Opo to Mud wes oj....” bicaranya berhenti, Asep melihat Mahmud yang tak bisa bergerak, kaku mematung dengan mata melotot,
menatap tajam, mulutnya seperti ditahan oleh
sesuatu, di belakang Mahmud, Asep melihat sosok itu, pocong buntung berdiri di belakang Mahmud. “PO....POCONG, TULUNG...!!! POCONG...!!!, TULUNG POCONG...!!!” Asep berteriak keras, warga yang sudah beristirahat berhamburan keluar, dan bebarengan dengan itu, Asep melihat, pocong tanpa kepala itu melayang ke atas, terus melayang, hingga menghilang di kegelapan malam. Mahmud terjatuh, dia pingsan di tempat.
Para warga yang datang kemudian segera membantu
Asep menggotong Mahmud yang jatuh pingsan. Keesokan harinya, hal yang sama dialami oleh Mahmud, sama seperti apa yang dialami oleh Rohim. Melihat warganya diganggu Pak Lurah harus melakukan sesuatu. Kejadian ini perlu disudahi.
Seminggu sudah warga desa diganggu Ki Rangan
yang kini berubah menjadi pocong buntung, pocong tanpa kepala. Tak ada yang mampu menghilangkan teror pocong yang ada, sudah seminggu juga beberapa warga yang melihat sosok ini jatuh sakit. Sampai akhirnya, Sastro yang merantau di kota datang ke Desanya. Pak Lurah kenal dekat dengan Sastro, ia bercerita pada Sastro tentang desa yang terus-terusan diganggu oleh Pocong Buntung jelmaan Ki Rangan.
Sastro yang mendengar tidak terkejut, karena Sastro
paham ilmu kanuragan apa yang sudah dijalani oleh Ki Rangan.
“Irengan, Ki Rangan itu belajar ilmu Irengan, makanya
dia bisa nyantet, ngepet, pelet.. bisa dia...” Sastro menyimpulkan hal itu, karena memang Sastro paham, banyak orang yang lebih memilih irengan untuk menjadi sakti, karena syaratnya mudah, tinggal mentalnya saja yang kuat.
Pertukaran nyawa, meminum darah, makan daging
mentah, hewan atau manusia, seks bebas, semuanya bisa dilakukan untuk mendapatkan ilmu kanuragan yang sifatnya hitam. “Terus opo Tro? Apa yang harus kami lakukan untuk ini?” Pak Lurah sudah ingin mengakhiri teror yang terjadi di desanya. “Bongkar kuburannya, bakar mayatnya, api harus dikembalikan pada api, bukan pada tanah, Bapak paham kan?
Kalau Ki Rangan sudah menyingkirkan sifat
manusianya, dia bukan lagi...” Sastro tak melanjutkan ucapannya.
“Aku paham Tro, aku paham, aku akan lakukan jika
harus membongkar kuburan Bapak, aku yang anaknya paham apa yang pernah dia lakukan di masa hidupnya, aku yang anaknya sampai harus minggat dari rumah dan hidup di rumah saudara yang lainnya, makanya aku jadi Lurah,
mengabdi untuk masyarakat, bahwasanya yang bejat
itu Bapaknya bukan anaknya, aku sudah gak urus dia, semenjak kematian Ibu yang janggal, dia sudah bukan lagi bapakku, dia sudah kuanggap bukan manusia lagi...” hening, malam itu hening, Sastro tau ini akan dikatakan Pak Lurah, dia paham betul apa yang pernah Pak Lurah hadapi dulu.
Keesokan harinya, saat malam, tepat malam jumat,
Pak Lurah dan Sastro mengumpulkan para warga, mereka harus mengakhiri teror yang terus menyelimuti warga desa.
Mereka berkumpul kembali di Makam Ki Rangan, siap
untuk menggali tanah kuburannya. Beberapa orang juga mempersiapkan tumpukan kayu, mereka siap menjalani ritual obongmayit.
Tiga orang menggali makam Ki Rangan, awalnya
berjalan seperti biasa saja, tak ada masalah. Hingga kejanggalan terjadi, ketiga penggali makam terdiam, mereka kaku, menatap satu sama lain, ketiganya bersiap dengan cangkul yang sudah berada diatas kepala. Tiba-tiba saja dengan cepat, salah satu dari penggali langsung menghantamkan cangkul mengarah ke sebelahnya, mereka langsung saling menyerang.
Bunyi besi beradu, ketiganya kini saling serang.
Sastro dan Pak Lurah yang melihat ini segera memerintahkan yang lainnya untuk memisah, tapi tak ada yang berani mendekat.
ampai akhirnya “CRAAAKK!!!” cangkul menancap di
punggung salah satu penggali, darah muncrat mengotori makam. Di saat itulah Sastro langsung meloncat, memukul salah satunya, cangkul terlepas.
Tapi Sastro tak melihat, di belakangnya seorang
penggali lainnya kini mengarahkan cangkulnya, Pak Lurah yang kemudian melihat langsung melempar batu, yang tepat mengenai kepala orang tersebut, kemudian dia tersungkur. Tiga orang tumbang, satu terluka di bagian punggung, satu jatuh karena lemparan batu Pak Lurah hingga kepalanya berdarah, satu masih dipegang oleh Sastro. Mereka semua kesurupan.
Tapi entah ada hubungannya atau tidak, tiba-tiba saja
angin bertiup kencang, sangat kencang, sampai akhirnya ada angin yang seperti menyasar Sastro para penggali, membuat mereka terpental cukup jauh.
Sastro memerintahkan yang lainnya untuk mengambil
air yang sudah dicampur daun kelor, satu persatu orang yang kesurupan lalu diobati. Yang paling parah adalah orang yang terkena sabetan di punggung, mau tak mau Pak Mantri juga ikut andil untuk merawat yang cedera.
Setelah orang-orang yang kesurupan berhasil diobati
dan ditenangkan, sastro kemudian menyiram makam Ki Rangan dengan air yang sudah dicampur daun kelor. Mencoba menetralisir kekuatan jahat yang masih berputar di atasnya. Tiba-tiba saja, hal lain terjadi, langit mendadak mendung, Sastro yang melihat ini segera menyuruh yang lainnya untuk menutup kayu dengan terpal yang biasa digunakan untuk menjemur padi hasil panen. Penggalian dilanjutkan oleh orang yang berbeda,
kali ini yang terjadi tiba-tiba saja para menggali
tumbang dan kesurupan, mereka meracau, sambil terus mengayunkan cangkul yang masih mereka genggam.
Lagi Sastro berusaha membantu, ditemani oleh Mbah
Rusman yang sering menjadi imam di masjid desa, mencoba menenangkan dan menyadarkan orang2 yang kesurupan. Tapi masalah tak berhenti di sini, tiba2tetes air dari langit mulai turun, ini akan mempersulit proses pembakaran nantinya.
Sastro kemudian terdiam, ia membisikan sesuatu
pada Pak Lurah, dia berjalan mengelilingi kayu yang sudah ditutup terpal, tatapannya fokus, ia terus menghisap rokoknya, menyembulkan asapnya ke atas, dia terus berjalan. Pak Lurah memerintahkan agar tak ada yang mengajak bicara Sastro, karena saat ini dia harus menjalankan ritual topo bisu, dan harus mengalihkan hujan yang datang. Dua ritual ilmu kanuragan sekaligus ia lakukan, topo bisu untuk berkonsentrasi, mempercepat proses,
sedangkan tadang udan untuk menghalau hujan yang
datang, Sastro harus menjalani dua syarat sekaligus, tidak bicara dan tidak membuang air kecil saat melakukannya. Lambat laun awan hujan seperti bergeser, dan bebarengan dengan itu, proses penggalian sudah selesai.
Lagi, Pak Lurah harus menyaksikan jasad Bapaknya,
Ki Rangan yang tak utuh dan sdh mulai muncul belatung. Bau busuk menyeruak, beberapa orang muntah tak tahan dgn aroma mayat yg sudah hampir dua minggu dikebumikan. tp proses hrs sgr dilakukan, mayat Ki Rangan harus segera dibakar. Terpal dibuka, minyak tanah dituang di atas kayu dengan jumlah banyak, Ki Rangan digotong oleh beberapa orang, lalu diletakkan di atas kayu yang sudah tersusun.
Empat orang mengelilingi kayu, semuanya membawa
obor, empat orang berdiri tepat di posisi seperti melambangkan empat arah mata angin. Lor, Kidul, Kulon dan Wetan, dalam istilah lain Utara, Selatan, Barat dan Timur.
Api sudah dinyalakan, komando di tangan Sastro, ia
merapal mantra lirih, tangannya diangkat ke atas, jari- jarinya terbuka, tepat saat Sastro mengepalkan tangan, keempat orang itu langsung melempar obor yang ada di tangan mereka masing-masing.
“Wangsul dhateng alamipun sampeyan, wangsul
dhateng penciptanipun sampeyan, tenang wonten ngrika, kaliyan ganjaranipun” ucap Sastro mulai membuka mulutnya, api kemudian membumbung tinggi, menghangatkan malam yang tadinya dingin menusuk. “Iso Tro, Wes rampung?” (“Bisa Tro, sudah selesai?”) tanya Pak Lurah mencoba memastikan. Sudah Pak, semua sudah selesai, yang hitam bisa dilawan yang putih, begitu juga sebaliknya, di dunia ini keduanya sama kuat, sama imbang, tinggal manusianya saja memilih menjalani yang mana.
Mayat Ki Rangan terbakar hebat, kian lama api kian
kecil, bebarengan itu mayat Ki Rangan juga menjadi Abu. Keesokan harinya desa itu seperti mendapatkan sinar baru, orang-orang yang sakit satu persatu sembuh, gangguan tak terjadi lagi.
Satu pertanyaan siapa yang sebenarnya membawa
kepala Ki Rangan, apakah itu proses dari ilmu kanuragan hitam yang dianutnya, atau memang ada orang yang memanfaatkan ini semua.
Selang beberapa hari beberapa orang ada yang
melihat sesuatu di malam hari, saat lewat jalan yang kanan kirinya sawah. Rumornya mereka melihat seperti ada yang melayang mirip seperti api terbang, tepat muncul saat malam jumat kliwon. Entah itu kepala Ki Rangan atau bukan, ada yang bilang sosok itu adalah jelmaan dari Jin Banaspati. Konon orang-orang yang melakukan perjanjian sesat, akan menjelma menjadi apa yang dianutnya.
Sosok Jin Banaspati adalah salah satu sosok yang
biasanya dipuja untuk mencari ilmu kanuragan tingkat tinggi.
Selain itu orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan
hitam, biasanya matinya susah, anggota badannya juga bisa dijadikan syarat untuk memiliki ilmu yang serupa. Kepercayaan itu masih berkembang luas, ilmu kanuragan hitam selalu meminta pertukaran nyawa,
darah hal-hal yang bersifat negatif. Sedangkan ilmu
kanuragan putih lebih kearah penempaan diri dan jiwa, puasa, ikhlas, berlaku seperti manusia secara normal, bukan untuk ajang pamer, bukan untuk ajang mencari uang, sifatnya lebih untuk menolong sesama, yang paling berat dalam memiliki ilmu kanuragan putih adalah apakah manusia itu sendiri bisa terus berperilaku ikhlas.
Ilmu kanuragan di nusantara banyak jenisnya, hitam
putih, kekuatan, kekayaan bahkan ada yang sampai menawarkan keabadian. Masing-masing memiliki ritualnya sendiri, masing-masing memiliki caranya sendiri.
Seperti yang sempat menjadi pembicaraan akan
sosok yang bernama Walisdi, yang mencoba untuk mendapatkan ilmu keabadian, hidup menjadi sosok yang kuat dan juga abadi. Namun ritual yang dijalankan, perjanjian yang dilakukan, bukanlah hal yang sembarangan. Walisdi. Walisdi. Walisdi. Sebut namanya tiga kali sambil menutup mata. Itu adalah cara paling mudah untuk memanggil sosok Pocong Gundul. Walisdi adalah dukun ilmu hitam yang memiliki dendam masa lalu sehingga ia ingin menjadi orang yang sakti. Sayangnya, cara yang digunakan membuatnya harus melakukan perjanjian dengan sosok gaib Banaswati. Walisdi kemudian menjelma menjadi Pocong Gundul dengan energi paling kuat. Ia bisa muncul kapan saja saat kita memikirkannya.
Kini sosok Walisdi ini dikenal dengan Pocong Gundul.
Sosok gaib yang memiliki kekuatan besar dan membahayakan. Jangan coba panggil namanya saat sendiri, atau nanti petaka datang menyertai. Sosok Pocong Gundul Walisdi ini mencari korban dengan weton yang sama dengannya, yaitu weton Selasa Kliwon. Dalam sisi manusia selalu ada hal baik dan buruk, weton selasa kliwon memiliki kelemahan, yang dimana membuat orang yang mendapatkan weton ini memiliki unsur api,
mudah marah, emosi meluap-luap dan mudah
tersinggung, Tapi kembali lagi kepada siapa yang menjalani, setiap weton juga memiliki sisi positifnya, selasa kliwon juga memilikinya.
Sisi positif pemilik weton ini diantaranya adalah pandai
berbicara, setia dan ambisius, keilmuan dan pengetahuannya sangat luas, sehingga menjadi rujukan untuk tempat bertanya.
Aura negatif adalah hal yang sebenarnya diincar dari
sosok ini, itulah mengapa kita manusia selalu harus menonjolkan sisi positif. Karena hal yang negatif, sangat disukai oleh sosok seperti Walsidi ini. Walisdi sendiri bersekutu dengan jin banaspati, jin api. Jenis jin satu ini dalam kepercayaan masyarakat dikenal sebagai hantu yang bertubuh api. Makhluk mistis ini memiliki kekuatan yang besar. Auranya panas, mudah menarik sesuatu hal yang bersifat panas juga.
Konon kabarnya, ada salah satu sekolah di
Yogyakarta dikenal sebagai tempat angker. Kabarnya sering muncul penampakan yang berwujud pocong gundul, namun sosok ini berbeda dari yang biasanya dilihat oleh orang-orang.
Pocong gundul sndr merupakan perwujudan dr sosok
manusia yg merupakan dukun ilmu hitam bernama Walisdi. kbrny ia meregang nyawa krn pertarungan supranatural mlwn dukun ilmu putih. Saat Walisdi akn mti, ia berpsn untk tdk melepaskan ikatan tali pocongnya kecuali d bagian kepala. Berlatar ketidakpuasan diri, energi negatif, dendam, kemarahan, kebencian, membuat Walisdi memutuskan mencari ilmu hitam di sebuah kaki gunung yang terkenal angker.
Ia akhirnya bercita-cita untuk menjadi orang yang
tidak terkalahkan menggunakan ilmu hitam yang kuat, saat itulah dia membuat perjanjian dengan hantu berwujud kepala api atau yang sering disebut Banaspati. #terorpocong #pocongwalisdi #poconggundul
Ki Rangan dan Walisdi adalah sebagian kecil manusia
yang bisa disebut menguasai ilmu kanuragan nusantara, keduanya adalah contoh orang yang memiliki ilmu irengan atau hitam. Kematian keduanya menyisakan teror yang akhirnya harus dialami oleh orang lain. Ilmu kanuragan bukanlah hal yang sembarangan, salah pada saat mempelajarinya bisa jadi gila, salah dalam memakainya bisa terbawa dan akhirnya menjadi sosok yang setelah kematiannya, meninggalkan ketakutan yang mendalam pada manusia lainnya.
These pages were created and arranged by Rattibha
services (https://www.rattibha.com) The contents of these pages, including all images, videos, attachments and external links published (collectively referred to as "this publication"), were created at the request of a user (s) from X. Rattibha provides an automated service, without human intervention, to copy the contents of tweets from X and publish them in an article style, and create PDF pages that can be printed and shared, at the request of X user (s). Please note that the views and all contents in this publication are those of the author and do not necessarily represent the views of Rattibha. Rattibha assumes no responsibility for any damage or breaches of any law resulting from the contents of this publication.