Anda di halaman 1dari 19

1

BAB II

TINJAUAN UMUM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI INDONESIA

2.1. Landasan Dan Sejarah Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pada dasarnya dengan adanya hukum persaingan usaha memiliki tujuan

untuk mengupayakan terciptanya persaingan usaha yang sehat yang dapat

mendorong pelaku usaha untuk melakukan efisiensi agar dapat bersaing secara

jujur pada pesaingnya. Hal ini jelas sudah tercantum pada Undang – Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat pada Pasal 3 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat adalah untuk :1

2.1.2 Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

2.1.3 Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan

usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha

yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha

kecil;

2.1.4 Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan


1
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33.
Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3817,) Pasal 3.
2

2.1.5 Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, persaingan usaha menjadi

salah satu instrumen ekonomi sejak saat reformasi digulirkan. Sebuah Undang-

Undang yang secara Komprehensif mengatur persaingan usaha tidak sehat dan

keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak

sehat terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun hak

istimewa (priveleges) yang tidak sehat kepada para pelaku bisnis tertentu sebagai

bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dikatakan secara

komprehensif karena sebenarnya secara pragmentaris batasan-batasan yuridis

terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara

tersebar diberbagai hukum positif tetapi, karena sifatnya yang sektoral perundang-

undangan tersebut sangat tidak efektif untuk secara konseptual memenuhi berbagai

indikator sasaran yang ini dicapai oleh Undang-Undang persaingan sehat tersebut.2

Pada dasarnya setiap orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk

memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka sebagai pemenuhan

kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer, sekunder, maupun terseier. Atas dasar

untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorong banyak orang yang

menjalankan kegiatan usaha, baik kegiatan usaha yang sejenis maupun kegiatan

usaha yang berbeda. Keadaan yang seperti itulah yang sesungguhnya menimbulkan

atau melahirkan persaingan usaha di antara para pelaku usaha. Oleh karena itulah,

2
Rizky Novyan Putra, “Urgensi Keberadaan Hukum Persaingan Usaha dan Antimonopoli Di
Indonesia”, (Business Law Review, Vol. 1), hlm 39.
3

persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang bisa terjadi.

Dengan memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk

mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha

dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar, sehingga tercipta iklim

persaingan usaha yang sehat, terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada

perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan cita-

cita keadilan sosial.3

Adanya dua orientasi dalam pengembangan hukum persaingan di Indonesia

yaitu yang pertama, berorientasi kepada pengaturan persaingan usaha antarpelaku

usaha agar terciptanya iklim usaha yang sehat dan kompetitif dan yang kedua,

berorientasi kepada perubahan perilaku atau kebiasaan yang terdapat dalam

masyarakat, terutama perilaku atau kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikkan oleh

pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya, mengandung arti bahwa

kedua hal itu merupakan landasan dan pertimbangan dalam upaya pengembangan

hukum persaingan usaha tersebut.4

Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa

diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan landasan yang kuat untuk

3
Hermansyah, “Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana, 2009), hlm. 9.
4
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk “Hukum Persaingan Usaha Antara Teks
dan Kontex”, (Jakarta: ROV Creative Media), h,1
4

menciptakan perekonomian yang efisien dan bebas dari segala bentuk distorsi.

Adanya jaminan kepastian hukum berdasarkan Undang-Undang Antimonopoli

tersebut diharapkan dapat mencegak praktik-praktik monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat, sehingga tercipta efektivas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

yang meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberikan peluah kerja baru dan

berpotensi mengurangi jumlah pengangguran.

2.1.1. Perjanjian yang Dilarang

Pada kerangka Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditemukan adanya 3 (tiga)

bagian perilaku pengusaha yang dilarang, yaitu: Perjanjian, Kegiatan, dan

Posisi Dominan5. Diantara larangan yang dilakukan pelaku usaha, terdapat

larangan untuk mengadakan perjanjian – perjanjian tertentu yang dapat

mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Secara yuridis pengertian perjanjian

sudah di jabarkan di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,

bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha guna

mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun,

baik tertulis maupun tidak tertulis.

Mengenai Perjanjian yang dilarang, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

mengatur 11 (sebelas) macam perjanjian – perjanjian yang dilarang, yaitu:

5
Insan Budi Mulia, Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 2000), hlm.
17
5

1. Oligopoli ( Pasal 4 )

Oligopoli adalah suatu perjanjian antar pelaku usaha untuk secara bersama –

sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran barang dan/atauj jasa

yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

2. Penetapan Harga ( Pasal 5 )

Penetapan Harga adalah perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang atau jasa yang harus

dibayar konsumen pada pasar yang bersangkutan.

3. Diskriminasi Harga dan Diskon ( Pasal 6 )

Diskriminasi Harga adalah perjanjian antar pelaku usaha yang mengakibatkan

pembeli yang satu harus membayar harga yang berbeda dari harga yang harus

dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama.

4. Pembagian Wilayah ( Pasal 9 )

Pembagian Wilayah adalah perjanjian antar pelaku usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran terhadap barang

dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak

sehat.

5. Pemboikotan ( Pasal 10 )

Pemboikotan adalah suatu perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha

yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri
6

6. Kartel ( Pasal 11 )

Kartel adalah perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya

yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan

atau pemasaran suatu barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

7. Trust ( Pasal 12 )

Trust adalah perjanjian antar pelaku usaha untuk melakukan kerjasama dengan

membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap

menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing – masing

perusahaan atau perseroan anggotanya, yang memiliki tujuan guna mengontrol

produksi dana tau pemasaran atas barang dan jasa, yang dapat menyebabkan

persaingan usaha tidak sehat.

8. Oligopsoni ( Pasal 13 )

Oligopsoni yaitu perjanjian antar pelaku usaha untuk menguasai pembelian

atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau

jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat menyebabkan terjadinya persaingan

usaha tidak sehat

9. Integrasi Vertikal ( Pasal 14 )

Integrasi Vertikal adalah suatu perjanjian atar pelaku usaha untuk menguasai

sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa

tertentu yang mana setiap rangkaian produksi yang merupakan hasil pengolahan

atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak

langsung, yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.


7

10. Perjanjian tertutup ( Pasal 15 )

Perjanjian tertutup yang dimaksudkan adalah suatu perjanjian antar perlaku

usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau

jasa hanya akan memasok. Kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak

tertentu dan atau jasa harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari

pelaku usaha pemasok.

11. Perjanjian dengan pihak luar negeri ( Pasal 16 )

Perjanjian dengan pihak luar negeri adalah perjanjian antara pelaku usaha

dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

2.1.2 Pengertian Pelaku Usaha

Pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Disebutkan

perlaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi. Di dalam penjelasan Undang-Undang yang termasuk

pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang,

distributor dan lain-lain.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka setiap pelaku

usaha baik prinsipal, agen, distributor, dealer, dan pengecer yang menjual barang

dan jasa secara langsung ataupun melalui pedagang perantara kepada konsumen

bertanggung jawab terhadap lualitas barang dan jasa tersebut dan kerugian yang
8

diderita konsumen, selama barang tersebut tidak mengalami perubahan, istilah

pelaku usaha adalah istilah yang digunakan oleh pembuat Undang-Undang yang

ada pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana

Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar pelaku ekonomi tiga

diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun

publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai

berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulang, penyedia

dana lainnya, dan sebagainya;

2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan atau

jasa dari barang-barang dan atau jasa lain (bahan baku, bahan

tambahan/penolong. Dan bahan lainnya). Produsen ini terdiri dari orang atau

badan usaha yang berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi

sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkut, asuransi, perbankan,

obat-obatan, dan sebagainya;

3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan

barang dan atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail

supermarket atau toko lainnya.


9

2.2. Monopoli

Monopoli adalah keadaan dimana suatu bisnis dikuasai oleh satu perusahaan

atau pasar dan tidak memiliki pesaing. Biasanya monopoli terjadi saat ada barang

atau jasa yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktik Usaha Tidak Sehat, menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan Monopoli adalah, Monopoli adalah suatu penguasaan atas

produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa atas penggunaan jasa tertentu

oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.6

Secara umum Monopoli dapat diartikan sebagai berikut :

“Monopoli adalah jika hanya satu pelaku mempunyai kontrol yang penuh

terhadap pasokan barang dan atau jasa di suatu pasar, dan mempunyai kuasa penuh

terhadap penentuan harganya.”7 Karena pada dasarnya dalam pasar terdapat

transaksi pembeli di samping penjualan, maka dari itu dapat dibedakan antara

adanya monopoli berupa penjual tunggal dan monopsoni yang menyangkut pembeli

tunggal (dapat dibedakan antara Oligopoli dan Oligopsoni).

2.3 Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU) Untuk mengawasi agak

terlaksananya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka dibentuklah suatu komisi.

Pembentukan ini didasarkan pada 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang


6
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha. (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2008), hlm.18
7
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika,2009), hlm.5
10

mengintruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas dan fungsi komisi

ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan

Keppres No.75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Maka dengan demikian, kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan

meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara8

KPPU adalah lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta wasit independen dalam rangka menyelesaikan

perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat. Perlu ditekankan bahwa melalui wewenang pengawasan yang

dimilikinya, KPPU diharapkan dapat menjaga dan mendorong agar sistem ekonomi

pasar lebih efisiensi produksi, konsumsi dan alokasi, sehingga pada akhirnya

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan bahwa

tugas-tugas KPPU terdiri dari :9

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha

yang dapat mengakbatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat.

3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi


8
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009),
hlm.78.
9
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Kontex, (Jakarta: ROV Creative Media), hlm.314.
11

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

4. Mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan komisi sebagai yang sudah

diatur dalam Pasal 36.

5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang

berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999.

7. Memberikan laporan secara berkala atau hasil kerja komisi kepada Presiden dan

DPR.

Sesuai yang tercantum pada Pasal 36 Undang – Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

memberi wewenang kepada KPPU untuk :10

1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan

terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau

persaingan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat.

3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh

10
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817), Pasal 36.
12

masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai hasil

penelitiannya.

4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak

adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap

mengetahui pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli

atau setiap orang yang dimaksud dalam huruf e dan f tersebut diatas yang tidak

bersedia memenuhi panggilan komisi.

8. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999.

9. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen dan atau alat bukti lain

untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.

10. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan

praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

11. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Tugasnya melakukan penilaian terhadap perjanjian atau kegiatan yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,

melakukan penilaian ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang
13

dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, mengambil tindakan sesuai

dengan wewenang komisi sebagaimana yang sudah diatur pada Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, dan memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Wewenang KPPU ialah menerima laporan dari masyarakat tentang adanya

dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,

melakukan penelitian tentang adanya dugaan kegiatan dan atau perjanjian

terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, mendapatkan dan

meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan

dan atau pemeriksaan, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya

kerugian dipihak pelaku usaha lain atau masyarakat, memberitahukan putusan

komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat, dan menjatuhkan sanksi berupa tindaakan

administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang

nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Meskipun demikian, komisi tidak memiliki kewenangan secara hukum untuk

menindak (memaksa) pelaku usaha yang menolak untuk diperiksa atau menolak

memberikan informasi kepada komisi. Kalau ada pelaku usaha yang menolak untuk

diperiksa atau menolak memberikan informasi maka pelaku usaha tersebut oleh

komisi diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku,


14

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersusun mekanisme

sebagai berikut:11

Adapun beberapa aspek yang dipertimbangan oleh majelis hakim dalam

memutus perkara, yaitu :12

1. Aspek filosofis

Aspek filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan

bahwa peraturan yang dibentuk untuk mempertimbangkan pandangan hidup,

kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa

Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Aspek Sosiologis

Aspek sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Aspek sosiologis sesungguhnya

menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan

masyarakat dan negara.

3. Aspek Yuridis

Aspek yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan

aturang yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin

kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

11
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakara: Sinar Grafika, 2009), hlm.137-
138.
12
Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Prespektif Hukum
Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.126
15

2.4 Pendekatan Perse Illegal dan Rule of Reason

1) Teori Dasar Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pendekatan Perse Illegal dan Rule Of Reason telah lama diterapkan untuk menilai

apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha melanggar Undang- Undang

Antimonopoli. Kedua metode pendekatan yang memiliki perbedaan ini juga

digunakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Monopoli atau persaingan usaha

tidak sehat terjadi akibat dari suatu superrior skill, yang salah satunya dapat

terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara, berdasarkan pada

peraturan perundangundangan yang berlaku kepada pelaku usaha tertentu atas hasil

riset dan pengembangan atas teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal

dengan istilah Trade Secret (Rahasia Dagang), yang meskipun tidak memperoleh

eksklusivitas pengakuan oleh negara, namun dengan rahasia dagangnya mampu

membuat produk yang superior.13 Ada beberapa hal-hal yang mempengaruhi

terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara ilmiah,

yaitu :14

a) Monopoli atau persaingan usaha tidak sehat terjadi karena pemberian negara

(Ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang

dikutip kembali dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

b) Monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang terjadi akibat adanya historical

13
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara
Teks dan Komtex, (Jakarta: ROV Creative Media), hlm.55.
14
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 25.
16

accident, yaitu monopli yang terjadi karena tidak sengaja, dan berlangsung karena

proses alamiah yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana monopoli

tersebut terjadi. Dalam hal ini penilaian mengenai pasar bersangkutan yang

memungkinkan terjadinya monopoli menjadi sangat relevan.

2) Teori Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Terdapat dua teori yang terdapat dalam hukum anti monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat yaitu :

a) Teori Perse Illegal

Menurut Yahya Harahap mengatakan bahwa perse illegal pun artinya, “sejak

semula tidak sah”, oleh karena nya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan

yang “melanggar hukum”, Sehingga perbuatan itu dengan sendirinya telah

melanggar ketentuan yang sudah diatur, jika perbuatan tersebut telah memenuhi

rumusan dalam Undang-Undang persaingan usaha tanpa ada suatu pembuktian,

itulah yang disebut dengan perse illegal.15

b) Teori Rule Of Reason

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga

otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenaik akibat perjanjian

atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau

kegiatan tersebut bersifar menghambat atau mendukung persaingan.16 Melalui

pendekatan rule of reason, apabila suatu perbuatan dituduh melanggar hukum

15
Alum Simbolon, “Pendekatan Yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha menentukan Pelanggaran Dalam Hukum Persaingan Usaha), Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM No.2 Vol.20, (Medan: April 2013), hlm.192
16
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara
teks dan kontex, (Jakarta: ROV Creative Media, 2009), hlm. 61
17

persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah

perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya

terhadap proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai

pertimbangan lainnya.17

17
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2009), hlm.79.
18
19

Anda mungkin juga menyukai