BAB 4 Skripsi - Christhofer

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

1

BAB IV

ANALISA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT YANG DILAKUKAN

OLEH GRAB INDONESIA

4.1. Sanksi bagi pelaku yang terbukti melakukan praktik persaingan

usaha tidak sehat berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang

mengawasi terlaksananya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, memiliki

kewenangan dalam menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada

pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang.

Adapun penjatuhan sanksi ini dilakukan dengan proses yang telah

ditentukan yaitu, ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

mendapatkan laporan dari masyarakat dan atau pelaku usaha, dengan inisiatif

setelah dilakukan penelitian bahwa diduga telah terjadinya praktek monopoli dan

persaingan usaha yang tidak sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan sampai menghadirkan para pelaku

usaha yang bersangkutan, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang dianggap perlu

untuk memberikan keterangan terkait dugaan kasus praktek monopoli dan

persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pemeriksaan atas dasar inisiatif dilakukan atas dasar inisiatif Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sendiri. Pemeriksaan atas dasar laporan

adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha


2

(KPPU) karena adanya laporan yang disampaikan baik oleh masyarakat yang

dirugikan atau atas dasar laporan dari pelaku usaha yang dirugikan oleh pelaku

usaha yang dilaporkan. Tahapan pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu Pemeriksaan

Pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan

Pemeriksaan pendahuluan adalah suatu tindakan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) untuk meneliti dan/atau memeriksa laporan guna

menilai perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan

serangkaian pemeriksaan danl atau penyelidikan yang dilakukan oleh majelis

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai tindak lanjut pemeriksaan

pendahuluan. Segala sesuatu tentang Pemeriksaan oleh Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) ini diatur dalam Keputusan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Tata cara penyampaian

laporan dan penanganan dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999. Keputusan ini merupakan hukum acara Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) dan juga pedoman bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) untuk melaksanakan fungsi penyelidikan dan pemeriksaan sebagaimana

diamanatkan oleh Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun l999.

Selanjutnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga dapat

meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang, kemudian daripada itu Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) juga berwenang melakukan upaya untuk mendapatkan, meneliti,

dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan
3

pemeriksaan. Setelah semua proses tersebut dilakukan melalui prosedur yang

telah ditetapkan dalam ketentuannya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak lain

atau masyarakat. Dan keputusan itu diberitahukan kepada pelaku usaha yang

diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

termasuk di dalamnya dengan menjatuhkan saksi berupa tindakan administratif

seperti dijelaskan diatas.

Sanksi hukum terhadap pelaku praktik monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, ditentukan

sedemikian rupa yaitu :

1) Sanksi Administratif

Sanksi admininitratif adalah salah satu bentuk sanksi yang dikenakan bagi

pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang – Undang No. 5 Tahun 1999.

Mengenai sanksi administratif ini diatur ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2)

Undang – Undang No.5 Tahun 1999, yang selengkapnya menyatakan. Pasal 47

ayat (1) komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif

terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang – undang ini. Pasal 47

ayat (2) tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat

berupa :

a) penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16,


4

b) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,

c) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti

menimbulkan praktik monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha

tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat,

d) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi

dominan,

e) penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan

pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud Pasal 28, penetapan

pembayaran ganti rugi,

Dari ketentuan Pasal 47 Ayat (2) huruf b di atas perlu kiranya dijelaskan

bahwa yang dimaksud penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan

dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku

usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya. Sedangkan yang

diperintahkan untuk dihentikan dalam Pasal 47 Ayat (2) huruf c adalah kegiatan

atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.

2) Sanksi Pidana Pokok

Selain sanksi admmsitratif seperti yang telah dikemukakan di atas, maka

sanksi lain yang dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan

Undang-Undang Anti Monopoli adalah pidana pokok. Mengenai sanksi pidana

pokok ini ditentukan dalam Pasal 48 Ayat (1), (2), dan (3), yang selengkapnya

berbunyi : Pasal 48 Ayat (1) : Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9

sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan

Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua


5

puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus

miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)

bulan. Pasal 48 Ayat (2) : Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan

Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang

ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar

rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar

rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

Pasal 48 Ayat (3) : Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 UndangUndang ini

diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau

pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap pelaku praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat adalah pidana denda. Pidana denda adalah hukuman

yang dikenakan kepada kekayaan, hukuman kurungan dan hukuman penjara

kepada kemerdekaan. Sedangkan hukuman mati kepada jiwa orang.

Hakim pada waktu menjatuhkan pidana denda biasanya dalam surat

keputusannya ditentukan pul berapa lama pidana kurungan yang harus dijalani.

Sebagai pengganti apabila denda itu tidak dibayar. Pidana kurungan semacam ini

dinamakan kurungan pengganti denda atau kurungan subsider yang sekurang –

kurangnya 6 bulan, tempo enam bulan ini dapat ditambahkan sampai 8 bulan

dalam hal gabungan dan ulangan kejahatan serta karena peraturan dalam Pasal 52.

3) Sanksi Pidana Tambahan

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak
6

saja dikenai sanksi administratif atau sanksi pidana pokok, tetapi juga dapat

dikenakan sanksi tambahan. Mengenai sanksi tambahan ini diatur dalam

ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Anti Monopoli, yang selengkapnya berbunyi:

Dengan menunjuk Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan

berupa :

a) Pencabutan izin usaha

b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukri melakukan oelanggaran

terhadap Undang – Undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau

komisaris sekurang – kurangnya 2 (dua) tahun dan selama – lamanya 5

(lima) tahun

c) Penghentian kegiatan usaha atau tindakan tertentu yang menyebabkan

timbulnya kerugian kepada pihak lain.

Penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan melalui 2

pendekatan, yaitu pendekatan perse illegal dan pendekatan rule of reason, yang

dimaksud dengan perse illegal suatu perbuatan yang secara inheren bersifat

dilarang atau ilegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan atau praktik yang

bersifat dilarang atau ilegal tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dan

perbuatan tersebut.

Perse illegal itu dapat juga diartikan sebagai suatu terminologi yang

menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum dan dilarang

secara mutlak, serta tidak diperlukan pembuktian apakah tindakan tersebut

memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha. Perbuatan-perbuatan seperti


7

perjanjian penetapan harga, perjanjian pemboikotan, dan perjanjian pembagian

wilayah adalah contoh jenis-jenis perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perse

illegal.

Pendekatan rule of reason, yaitu penerapan hukum dengan

mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan atau suatu

perbuatan oleh pelaku usaha. Untuk menerapkan prinsip ini tidak hanya

diperlukan pengetahuan ilmu hukum, tetapi penguasaan terhadap ilmu ekonomi. .

Dengan perkataan lain, melalui pendekatan rule of reason, apabila suatu

perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus

mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat

persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses persaingan dan

apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya.

Pertimbangan atau argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah

aspek ekonomi, keadilan, efisiensi dan perlindungan terhadap golongan ekonomi

tertentu.

Menerapkan prinsip rule of reason yang diperlukan tidak hanya

pengetahuan ilmu hukum, tetapi penguasaan ilmu ekonomi. Karena dalam banyak

kasus bukan tidak mungkin perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha itu secara

ekonomi dapat dibenarkan. Jadi sangatlah ideal, bila komposisi anggota Komisi

Pengawas Persaingan Usaha itu terdiri dari para ahli ekonomi dan ahli hukum.

Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, perlu dikemukakan juga

bahwa memang banyak jenis larangan terhadap perjanjian dan kegiatan usaha

yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang
8

ditentukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Larangan-larangan yang

bersifat substantif itu dalam penegakannya dinyatakan berlaku baik yang bersifat

rule of reason maupun bersifat perse illegal.

4.2. Pertimbangan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam

Putusan Nomor 13/KPPU-I/2019

KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ)

yang mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

untuk melakukan penegakan hukum persaingan. Secara sederhana state auxiliary

organ adalah lembaga negara yang dibentuk di luar konstitusi dan merupakan

lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (eksekutif,

legislatif, dan yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga independen

semu negara.

Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi) menjadi penting

sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme

ke demokrasi. Lembaga quasi tersebut menjalankan kewenangan yang sebenarnya

sudah diakomodasi oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan keadaan

ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang perlu

dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak merupakan bagian

dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya dibentuk pada sektor-

sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi-judicial), eksekutif (quasi-

public) yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara yang
9

berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa kewenangan lembaga

negara di sektor yang sama.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPP)U merupakan suatu organ

khusus yang mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam

persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim

persaingan usaha yang kondusif. Meskipun Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya hukum persaingan,

namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan

demikian, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak berwenang

menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih

merupakan lembaga administratif karena kewenangan yang melekat padanya

adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan

sanksi administratif.

Jadi, dalam konteks sistem pemerintahaan negara, sangat jelas status atau

kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yaitu sebagai lembaga

independen nonstruktural, artinya bukan bagian dari dan tidak berada dalam

struktur pemerintahaan negara (departemen). KPPU dibentuk secara khusus untuk

mengawasi pelaksanaan Undang-Uundang Antimonopoli. Status kelembagaan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang demikian untuk menghindari

struktur komando dari suatu departemen atau lembaga yang lebih tinggi. Artinya

secara yuridis KPPU sebagai institusi sudah dibentuk sedemikian supaya tidak ada

jalur komando yang memberi perintah dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya.
10

Meskipun demikian, dalam melaksanakan tugasnya mengawasi

pelaksanaan Undang-Undang Antimonopoli tersebut, Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) tetap bertanggung jawab kepada presiden dalam

kedudukan sebagai kepala negara, hal tersebut karena KPPU juga melaksanakan

sabagian tugas-tugas pemerintahan negara, yaitu melaksanakan Undang-Undang.

Hal ini sesuai dengan sistem ketatanegaraaan Indonesia di bawah Undang-Undang

1945, yang menyatakan bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan

pemerintahan. Atas dasar itulah dalam melaksanakan tugasnya, KPPU dinyatakan

bertanggung jawab kepada Presiden. Demikian hal ini dinyatakan dalam

ketentuan pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa

“komisi bertanggung jawab kepada Presiden.”

Dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 mengatur tentang Hukum Acara Persaingan Usaha yang memuat tata cara

penanganan perkara persaingan usaha, baik oleh KPPU, Pengadilan Negeri,

maupun Mahkamah Agung serta pihak kepolisian. Selain Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999, ada beberapa sumber pengaturan hukum acara persaingan usaha,

antara lain:

a) Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1999 tentang Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden

Nomor 80 Tahun 2008.

b) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010

tentang Tata Cara Penanganan Perkara.


11

c) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Cara

Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha.

Dasar penanganan perkara persaingan usaha oleh KPPU menurut Pasal 38,

39, dan 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bisa dikarenakan sebagai

berikut:

a) Atas dasar inisiatif dari KPPU apabila ada dugaan terjadi pelanggaran

Undang-Undang persaingan usaha tanpa ada laporan dari masyarakat

b) Atas dasar laporan tertulis dari orang yang mengetahui telah terjadi atau

patut diduga telah terjadi pelanggaran Undang-Undang persaingan usaha

c) Atas dasar laporan tertulis dari orang yang dirugikan sebagai akibat

terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang persaingan usaha.

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan penyelesaian kasus

yang digunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk

mengevaluasi suatu tindakan bisnis dan menilai apakah tindakan itu melanggar

persaingan yang sehat atau tidak. Rumusan undang-undang yang biasa dipakai

dalam pendekatan ini biasanya terkandung pernyataan “yang dapat

mengakibatkan”, dan atau “patut diduga”.

Kata-kata tersebut menyiratkan diperlukannya penulisan secara lebih

mendalam tindakan pelaku bisnis tertentu. Dalam pendekatan rule of reason,

pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan

tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap pelaku

bisnis lain atau terhadap perekonomian umum.


12

Teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai

akibat perjanjian, guna mementukan apakah perjanjian tersebut menghambat atau

mendukung persaingan. Penerapan asas ini didasarkan pada hukum sebab akibat,

dimana tindakan pelaku usaha secara langsung maupun tidak langsung telah

berakibat merugikan pelaku usaha lainnya dan atau masyarakat konsumen pada

umumnya. Selain bersifat anti persaingan, juga mempunyai alasan pembenaran

yang menguntungkan dari pertimbangan sosial, keadilan maupun efek yang

ditimbulkan serta juga unsur maksud (intent).

Asas rule of reason dapat diketahui akibat yang tercipta karena tindakan

atau perjanjian yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan praktik

monopoli sehingga merugikan pihak lain. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

umumnya mayoritas menggunakan pendekatan rule of reason. Penggunaan

alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan akibatnya secara

keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan oleh Undang-Undang

yaitu mengakibatkannya terjadi persaingan usaha tidak sehat.

Penerapan pendekatan rule of reason harus melalui prosedur pembuktian

yang diawali dengan menentukan definisi relevant market. Penilaian dan

keputusan tentang implikasi persaingan akibat tindakan bisnis, tergantung pada

ukuran (pangsa) pasar dan bentuk pasar terkait (the relevant market). Misalnya,

dalam suatu kasus yang menyangkut penyalahgunaan posisi dominan, jika pasar

yang didefinisikan adalah kecil dan perusahaan yang berada dalam pengawasan

memiliki pangsa (pasar) yang lebih besar pada pasar tersebut, maka perusahaan

tersebut dianggap sebagai dominan.


13

Dalam Pasal 19 huruf d dapat diuraikan ke dalam beberapa unsur sebagai

berikut:

1) Unsur Pelaku Usaha

Sebagaimana dimaksud dari Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, yaitu: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

Implementasi ke dalam kasus tindakan diskriminasi terkait jasa angkutan sewa

khusus oleh PT Grab dan PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) tahun

2019, yang dimaksud dengan pelaku usaha dalam hal ini adalah PT Grab yang

merupakan badan hukum perseroan terbatas yang bergerak dalam bidang penyedia

aplikasi ojek online, dengan demikian maka unsur pelaku usaha terpenuhi.

2) Unsur Melakukan Satu Atau Beberapa Kegiatan

Berdasarkan ketentuan pasal 19 huruf d Undang-Undang No 5 tahun 1999

menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa

kegiatan, baik sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lain, yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

berupa melakukan praktik diskriminasi kepada pelaku usaha tertentu.” Disini

dapat dilihat dengan jelas bahwa yang memenuhi unsur diatas adalah PT Grab

melakukan perjanjian dengan PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI)

dalam kegiatan usaha di bidang jasa angkutan sewa khusus. Dalam hal ini PT
14

Grab dan PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) mengadakan program

khusus yang diperuntukkan bagi mitra mereka saja. Maka dengan demikian unsur

melakukan satau atau beberapa kegiatan terpenuhi.

3) Unsur Pelaku Usaha Tertentu

Bahwa pelakun usaha tertentu yang dimaksud dalam perkara ini adalah PT

Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) selaku badan hukum perseroan

terbatas yang bekerja sebagai penyedia jasa Angkutan Sewa Khusus (ASK). Maka

dengan demikian unsur pelaku usaha tertentu terpenuhi.

4) Unsur Melakukan Praktik Diskriminasi

PT Grab memberikan muatan promosi hanya kepada PT Transportasi

Pengangkutan Indonesia (TPI) tanpa menawarkannya kepada perusahaan lain

yang bergerak di bidang jasa Angkutan Sewa Khusus (ASK), selain itu PT Grab

mengadakan program loyalitas hanya kepada mitra pengemudi PT Transportasi

Pengangkutan Indonesia (TPI), Grab memberikan prioritas dan skema insentif

yang berbeda serta memberikan keistimewaan kepada PT Transportasi

Pengangkutan Indonesia (TPI) untuk menambah mitra pengemudi dan unit mobil

disaat PT Grab menetapkan moratorium kepada mitra Angkutan Sewa Khusus

(ASK) lainnya. Maka dengan demikian unsur melakukan praktik diskriminasi

terpenuhi.

Terkait dengan pertimbangan Majelis Komisi dalam persidangan, penulis

akan menguraikan hasil analisis dari pemenuhan unsur Pasal 14 tentang Integrasi

Vertikal, antara lain:


15

1. Pertama, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) beranggapan bahwa

dampak pelanggaran yang dilakukan oleh Para Terlapor dianggap sangat

besar yang dilakukan sejak tahun 2017 sampai dengan 2019. Namun,

penulis melihat bahwa KPPU tidak menguraikan akibat integrasi vertikal

terhadap perekonomian dalam skala nasional, selain itu KPPU juga tidak

menyebutkan siapa saja pelaku usaha kompetitor yang terdampak akibat

intergrasi vertikal ini. Beberapa kompetitor PT Transportasi Pengangkutan

Indonesia (TPI) adalah Koperasi Jasa Perkumpulan Rental Indonesia,

Induk Koperasi Kepolisian Negara Indonesia, PT CSM Corporatama, dan

PT Cipta Lestari Trans Sejahtera. Dalam persidangan, KPPU tidak

menghadirkan mereka sebagai saksi, yang harusnya mereka bersaksi

apakah mereka mengalami kerugian akibat perjanjian kerja sama antara

Grab dengan PT TPI atau tidak.

2. Kedua, sehubungan dengan perjanjian kerja sama antara para Terlapor,

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) beranggapan bahwa Grab

telah melakukan penguasaan pasar jasa angkutan sewa khusus sebesar

70% dari produk jasa penyediaan aplikasi Angkutan Sewa Khusus (ASK)

berbasis teknologi, namun apa yang dipertimbangkan oleh KPPU adalah

berapa banyak pangsa pasar pemakai aplikasi Grab, bukan berapa banyak

kendaraan yang dioperasikan oleh PT Transportasi Pengangkutan

Indonesia (TPI) setelah membuat perjanjian kerja sama dengan Grab.

Menurut penulis, KPPU telah melakukan kesalahan dalam menafsirkan

pangsa pasar, dimana seharusnya yang dibuktikan adanya penguasaan pasar

adalah mengenai presentase atau pangsa pasar PT TPI setelah melakukan kerja
16

sama dengan Grab, namun yang dihitung oleh KPPU adalah pangsa pasar milik

Grab yang diasumsikan sebesar 70%. Adapun presentase jumlah mitra TPI setelah

melakukan kerja sama dengan Grab yaitu 6% dari total mitra Jabodetabek, 3%

dari total mitra wilayah Medan, 1,9% dari total mitra wilayah Surabaya, dan 1,3%

dari total mitra wilayah Makassar. Oleh karenanya, pangsa pasar PT TPI di empat

wilayah geografis yang berada dibawah 6% tidak sama sekali mempunyai market

power, juga tidak menguasai produksi

3. Ketiga, ada kekeliruan tentang dugaan KPPU terkait dengan hubungan

integrasi vertikal dalam kerja sama antara Grab dengan PT TPI. Mengacu

pada pengertian integrasi vertikal sesuai Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun

2010 tentang Pedoman Integrasi Vertikal, yakni sebagai berikut: Integrasi

vertikal adalah perjanjian yang bertujuan untuk menguasai beberapa unit

usaha yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa

tertentu. Integrasi vertikal bisa dilakukan dengan strategi penguasaan unit

usaha produksi ke hulu dimana perusahaan memiliki unit usaha hingga ke

penyediaan bahan baku maupun ke hilir dengan kepemilikan unit usaha

hingga ke distribusi barang dan jasa hingga ke konsumen akhir.

Dalam perkara ini, perjanjian kerja sama antara Grab dengan PT TPI tidak

ada unsur keberlanjutan apapun. Sebab aplikasi Grab tetap dapat dioperasikan

meskipun tanpa adanya PT TPI, begitupun sebaliknya PT TPI tetap dapat

menjalankan usaha rentalnya tanpa adanya aplikasi dari Grab. Sehingga menurut

penulis, tidak tepat dan sangat keliru ketika KPPU menyatakan adanya

keberlanjutan antara Grab dengan PT TPI.


17

4. Keempat, dalam melakukan pembuktian atas bentuk diskriminasi, KPPU

tidak melakukan kajian atas dampaknya secara ekonomi dan hanya

melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang tidak memiliki

kapabilitas sebagai saksi dalam perkara a quo.

Terkait pertimbangan Majelis KPPU dalam pemenuhan unsur Pasal 15

ayat (2), Penulis telah melakukan analisis dan sependapat dengan pertimbangan

Majelis KPPU yang menyatakan bahwa pemenuhan unsur Pasal 15 ayat (2) oleh

Para Terlapor ialah tidak terpenuhi dan menyatakan bahwa Para Terlapor tidak

terbukti melanggar Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. Dengan demikian,

Penulis setuju dengan pertimbangan dan putusan Majelis KPPU yang menyatakan

bahwa Para Terlapor tidak terbukti melanggar Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 5

Tahun 1999 karena telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Kemudian, penulis juga menganalisis terkait dengan pemenuhan unsur

Pasal 19 huruf d, antara lain, yaitu:

1. Pertama, menurut penulis, Majelis Komisi yang telah salah dalam menilai

temuan fakta hukum persidangan, sebab syarat utama penerapan Pasal 19

huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik

Diskriminasi adalah terbuktinya praktik monopoli dan atau persaingan

usaha yang merugikan masyarakat umum. Dalam hal ini, sesuai dengan

Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 19 huruf d

memperbolehkan adanya perlakuan berbeda apabila ada alasan hukum,

sosial, keamanaan dan alasan sah lainnya. Di dalam persidangan, para


18

kompetitor dari PT TPI seperti Koperasi Jasa Perkumpulan Rental

Indonesia, Induk Koperasi Kepolisian Negara Indonesia, PT CSM

Corporatama dan PT Cipta Lestari Trans Sejahtera memberikan kesaksian

di bawah sumpah yang menyatakan bahwa mereka tidak merasa dirugikan

dan tidak merasa terdiskriminasi atas perjanjian kerja sama antara Grab

dengan PT TPI, mereka justru mengungkapkan jika aplikasi Grab dengan

teknologi canggih dapat menguntungkan semua koperasi taksi tersebut.

2. Kedua, penulis tidak setuju atas apa yang sudah didalilkan KPPU terkait

dengan praktik diskriminasi, pasalnya KPPU tidak melakukan kajian

terlebih dahulu atas dampak praktik tersebut dari segi ekonomi. KPPU

juga tidak mengajukan bukti apapun terkait wilayah geografis yakni

Surabaya dan Makassar atas dugaan diskriminasi yang dapat

mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

3. Ketiga, terkait pemberian sanksi denda kepada Para Terlapor, KPPU

Menghukum Terlapor I membayar denda sebesar Rp7.500.000.000,00

(Tujuh Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) atas pelanggaran Pasal 14

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan membayar denda sebesar

Rp22.500.000.000,00 (Dua Puluh Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah)

atas pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5. Pengaturan

denda diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu

pemberian denda ialah minimal 1.000.000.000 milyar (satu milyar) dan

makslimal 25.000.000.000 milyar (dua puluh lima milyar). Selain itu

diatur juga dalam Peraturan KPPU No. 3/2009 tentang Pedoman Tindakan

Administratif. Baik dalam Pasal 47 maupun Peraturan KPPU No. 3/2009,


19

tidak ada menjelaskan apakah pemberian denda maksimal tersebut pada

tiap pasal yang dilanggar atau pada tiap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Dalam amar Putusan KPPU tersebut, KKPU justru menyimpulkan sendiri

bahwa pemberian denda maksimal diberikan pada tiap pasal yang dilanggar. Hal

ini dapat dilihat dari KPPU yang memberikan jumlah denda atas 2 Pasal yang

dilanggar kepada Terlapor I senilai 30.000.000.000 milyar (tiga puluh milyar),

yang mana sudah melebihi batas maksimal denda. Perlu untuk diperhatikan bahwa

diperlukan penjelasan yang lebih rinci terhadap pemberian denda maksimal dalam

Hukum Persaingan Usaha agar tidak disalahtafsirkan.

Dengan demikian, dari analisis hukum yang Penulis telah lakukan, Penulis

tidak sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis KPPU yang

menyatakan bahwa Para Terlapor telah melanggar Pasal 14 dan Pasal 19 Huruf D

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu juga Penulis tidak sependapat juga

dengan Majelis KPPU yang menyimpulkan bahwa pemberian sanksi maksimal

diberikan pada tiap pasal yang dilanggar, sedangkan hal tersebut tidak ada diatur

dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maupun Peraturan KPPU

Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Tindakan Administratif.

Anda mungkin juga menyukai