M Thariq Kemal - V1721049 - D3 KP B - Uts Perekin
M Thariq Kemal - V1721049 - D3 KP B - Uts Perekin
Pendahuluan
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang kini sudah mencapai hampir 270 juta jiwa
membutuhkan pangan nasional yang sebanding. Akan tetapi, hal ini agak
mengkhawatirkan sebab jumlah lahan pertanian, terutama di Jawa terus mengalami
penurunan karena pemukiman penduduk, industri perumahan, dan industrialisasi. Hal
ini juga terjadi pada luas hutan yang terus berkurang sejalan dengan industrialisasi
perkebunan dan tambang. Ketahanan pangan nasional masih mampu bertahan karena
kearifan lokal masyarakat masyarakat adat yang masih menghargai bumi. Akan tetapi,
sebagaimana digambarkan bahwa diperkirakan dalam 10 tahun ke depan 70 %
penduduk akan melakukan urbanisasi dari desa ke kota untuk sekolah dan mencari
pekerjaan.
Menurut PP No. 17 Tahun 2015 Tentang Pangan dan Gizi,3 pada Pasal 1 ayat (2) yang
dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku
Pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan
dan/atau pembuatan makanan atau manuman. Pengertian ini merupakan derivasi dari
Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Pasal 1 ayat (3) PP No. 17 Tahun 2015 Tentang Pangan dan Gizi, bahwa yang dimaksud
dengan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai
dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
mutunya, aman dan beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan.
Alam Indonesia ini sangat subur, sejuk, indah dan kaya. Kondisinya yang demikian sejak
zaman leluhur bangsa Indonesia menyimpan daya tarik yang luar biasa, terutama
kekayaan alamnya yang beranekaragam baik bahan pangan, obat-obatan, tanaman hias,
binatang (jinak, liar), burung, serangga, reptil, dan mineral. Kekayaan alam yang
melimpah ini tersimpan daya tarik untuk dinikmati, memberikan keuntungan, dan
kekayaan, sekaligus tersimpan daya tarik untuk dikuasai bangsa asing baik melalui
perdagangan yang saling memberi keuntungan, namun sekaligus tersimpan potensi
untuk dijajah dan dikeruk.
Sejarah telah memberikan bukti objektif bahwa Bangsa Indonesia pernah mengalami
masa kejayaan, sekaligus memberikan fakta dijajah selama ratusan tahun. Fakta sejarah
yang demikian ini melahirkan kesadaran bahwa sebagai sebuah bangsa yang
mempunyai kekayaan alam yang demikian itu harus dibebaskan, dibela, dijaga, dan
dikelola secara bertanggungjawab dan berkelangsungan. Kesadaran ini sekalipun
terlambat namun memberikan pengalaman yang luar biasa bahwa Bangsa Indonesia ini
selain kaya sekaligus berdaulat. Oleh karena itu, secara berdaulat pula mengelola
kekayaan alamnya ini.
Sejarah telah memberikan pengalaman manis sekaligus pahit. Pengalaman manis
bahwa Bangsa Indonesia pernah menjadi bangsa besar, berdaulat, dan bermartabat,
namun sekaligus pengalaman pahit yang pernah dijajah, dieksploitasi sumber daya alam
dan sumber daya manusianya. Selama ratus tahun Bangsa Indonesia mengalami
kejayaan sehingga lalai untuk membangun dan menjalin persatuan dan kesatuan.
Kebanggaan kedaerahan ini justru menimbulkan egoisme lokal yang mudah diadu
domba oleh bangsa Asing melalui politik devide et impera.
Realitas
Pangan merupakan istilah yang teramat penting bagi pertanian, karena secara hakiki
pangan adalah suatu kebutuhan dasar dalam pemenuhan aspirasi humanistik. Oleh
karenanya, mendiskusikan topik ketahanan pangan akan menjadi sangat penting dan
menarik.
Jaminan ketahanan pangan bagi setiap penduduk mempunyai landasan legalitas yang
universal dan mempunyai makna strategis bagi setiap bangsa dan penguasa.
Kekurangan pangan dan gizi buruk pada penduduk berarti pelanggaran hak azasi
manusia (HAM) yang dilakukan penguasa. Dalam Human Right Declaration 1948 dan
Word Conference on Human Right 1993 disepakati, setiap individu berhak memperoleh
pangan yang cukup. Di Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 34 UUD 1945
berbunyi negara bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar, termasuk
kebutuhan pangan bagi fakir miskin, penyandang cacat, dan anak terlantar. Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, mendefinisikan ketahanan pangan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Terkait dengan konsep ketahanan pangan, setidaknya ada tiga aspek penting yang
menjadi persoalan dalam memahaminya. Ketiga aspek tersebut merupakan indikator
dari keberhasilan peningkatan ketahanan pangan itu adalah menyangkut ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi. Pertama, aspek ketersediaan. Berarti pangan tersedia cukup
untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta
aman. Persoalan yang dihadapi terkait dengan aspek ketersediaan pangan ini antara
lain tingginya laju peningkatan kebutuhan beberapa komoditas pangan yang lebih cepat
dari pada laju peningkatan produksi karena terbatasnya infrastruktur berupa irigasi,
meningkatnya petani gurem, terbatasnya fasilitas permodalan di pedesaan, lambatnya
penerapan teknologi akibat kurangnya insentif ekonomi, rendahnya kemampuan
mengelola cadangan pangan, rendahnya produksi pangan domestik karena dampak
anomali, dan menurunnya kualitas lingkungan.
Kedua, aspek distribusi. Artinya pasokan pangan dapat menjangkau ke seluruh wilayah
sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Beberapa persoalan strategis
yang menyangkut pendistribusian, misalnya; (a) terbatasnya sarana dan prasarana
perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah terpencil, (b)
keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar, (c) banyaknya pungutan resmi dan tidak
resmi, (d) tingginya biaya angkutan dibanding negara lain. Ketiga, aspek konsumsi.
Setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola
konsumsinya sesuai kaidah gizi dan kesehatan, serta prefensinya. Persoalan yang
dihadapi hubungannya dengan aspek konsumsi antara lain; (a) besarnya jumlah
penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan yang rendah,
(b) rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan
dan gizi, (c) masih dominannya konsumsi sumber energi karbohidrat yang berasal dari
beras, dan (d) rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan.
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya diversifikasi
pangan sudah terlihat sejak beberapa dekade yang lalu. Diversifikasi horizontal masih
sangat mewarnai arah pengembangan pertanian. Upaya untuk mengembangkan
komoditas bukan beras seperti jagung, umbi-umbian, sagu, pisang, dan ketela pohon
sebagai pengganti beras tampaknya kurang di respon oleh masyarakat. Hal ini
mengakibatkan bukan saja konsumsi beras perkapita kita terus meningkat, bahkan
komoditas pengganti beras tersebut, selain tidak disukai, sering mendapat label
inferior, bila menjadikan komoditi non beras sebagai makanan pokok. Saat ini,
diversifikasi vertikal merupakan arah yang harus kita tempuh, untuk mengantisipasi
ketergantungan kita terhadap konsumsi beras. Para pakar mensinyalir, kita belum
secara serius menggarapnya. Ini merupakan tantangan yang harus kita jawab bersama,
baik pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Upaya menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan industri pangan (agroindustri),
baik dalam skala kecil, menengah, dan besar di pedesaan dan diperkotaan, adalah salah
satu prasyarat utama. Jika reposisi dan redefinisi pertanian industrial abad 21 dapat
meluas kepada subsistem di luar konsentrasi aspek budidaya seperti agroindustri,
pemasaran, permodalan, dan infrastrukturnya, agaknya iklim kondusif lebih muda
didekati. Diversifikasi juga mempunyai dimensi regional, yang mengutamakan
spesialisasi wilayah dalam memproduksi komoditas unggulan secara efisien,
berkelanjutan, dan mampu diserap pasar. Manakala dimensi regional dan diversifikasi
dapat ditumbuh kembangkan, niscaya ia akan mampu sebagai mesin yang akan
mendorong pertumbuhan dan perdagangan antar daerah. (Dimuat di Harian Tribun
Timur, 18 Oktober 2006).
PANGAN merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia, setelah udara dan air.
Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga, dan komunitas merupakan
hak azasi manusia (HAM). Konsep ketahanan pangan menyangkut ketersediaan dan
keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu. Sedangkan kemandirian
pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap rumah
tangga, baik dari segi kecukupan, mutu, aman, merata, dan terjangkau, yang didasarkan
pada optimalisasi pemanfaatan keragaman sumber daya domestik. Pengertian pangan
memiliki dimensi yang luas, mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia
yang sehat dan produktif, termasuk pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial
dan budaya, seperti untuk kesenangan, kebugaran, dan kecantikan.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan dan kemandirian pangan adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak, terutama rakyat miskin, dilihat dari aspek
ketersediaan jumlah, mutu, harga, keterjangkauan, dan stabilitas. Fenomena yang ada
menunjukkan pertanyaan tersebut masih belum dijawab. Berdasarkan berbagai
pengalaman dalam aspek pangan di masa lalu, yang paling mendesak untuk dilakukan
dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan adalah
melakukan diversifikasi atau keragaman jenis pangan.
Terkait dengan potensi diversifikasi pangan, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman
pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389
jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, serta 110 jenis rempah-
rempah dan bumbu-bumbuan. Semua jenis keragaman pangan tersebut tersebar di
seluruh nusantara dan telah akrab dengan kehidupan masyarakat khususnya di
pedesaan. Melihat potensi keragaman pangan tersebut di atas, sudah seharusnya
Indonesia lebih memfokuskan pengembangan pertanian dengan pola diversifikasi
pangan. Indonesia masih memiliki potensi ubi kayu, jagung, ubi jalar, kentang, dan
masih banyak lagi jenis pangan yang mengandung gizi hampir setara dengan
kandungan gizi pada beras dan gandum.
Sayangnya, pola konsumsi masyarakat yang tergantung pada beras dan ketika produksi
beras tidak mencukupi kebutuhan konsumen itu ditanggulangi melalui subtitusi dengan
gandum yang bukan merupakan komoditas asli Indonesia. Impor gandum dari negara
lain pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan mencapai empat juta ton
pada tahun 2001. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah impor beras
yang hanya mencapai 1,35 juta ton pada tahun yang sama. Padahal kebutuhan pangan
untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia telah bertumpu pada pemenuhan
kebutuhan karbohidrat dan protein yang pada dasarnya dapat dipenuhi melalui
konsumsi umbiumbian dan biji-bijian yang bisa didapat dengan mudah di seluruh
Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan di negeri ini seharusnya tidak dengan cara
mengimpor gandum dari negara lain.
Diversifikasi atau penganekaragaman pangan Indonesia sudah seharusnya
dilaksanakan dan bukan menjadi sekadar wacana lagi. Sudah banyak penelitian dan
diskusi yang menyimpulkan tentang betapa pentingnya diversifikasi pangan guna
mengatasi ketergantungan kepada beras impor dan bahan pangan impor lainnya. Sejak
tahun 2004 telah dibentuk Forum Kerja Keanekaragaman Pangan yang anggotanya
terdiri atas berbagai unsur masyarakat. Pembentukan forum kerja ini bertujuan untuk
memasyarakatkan program diversifikasi pangan. Titik kritis program
penganekaragaman pangan adalah perubahan budaya masyarakat, baik budaya
pertanian, budaya industri, budaya perdagangan, dan budaya konsumsi.
SEJAUH ini kedaulatan pangan belum menjadi visi pemerintah. Dalam UU No. 18 Tahun
2012 tentang pangan Bab I pasal 1 point 4 yang khusus menjelaskan pembangunan
pangan diletakkan dalam konsep ketahanan pangan (food security). Konsep yang
diadopsi dari FAO itu, didefinisikan sebagai kemampuan negara memenuhi kebutuhan
pangan warganya. Istilah ini menunjuk pada kondisi terpenuhinya pangan di tingkat
rumah tangga, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu,
aman, merata, dan terjangkau.
Konsep ini, tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana pangan diperoleh, dan
bagaimana pangan tersedia. Yang penting, ada pangan dalam jumlah cukup. WTO
bahkan menyebutkan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar
(availability of food inthe market), pangan yang mengabdi kepada pasar. Intinya
diwujudkan melalui pasar, atau ‘memanen pangan dipasar impor’, ketimbang ‘memanen
dilahan sendiri’. Di sisi lain, Pengamat Pertanian HS Dillon, mengkritik pola pikir
ekonom neo-klasik di Indonesia yang banyak memberi kontribusi terhadap konsep
ketahanan pangan (food security). Dillon menilai, konsep tersebut pada dasarnya tidak
menjamin kedaulatan pangan, karena masih menerima konsep impor untuk memenuhi
pangan utama dalam menjamin stok pangan .
Hal ini dicermati, hampir seluruh komoditas pangan pokok masih tergantung pada
impor, terutama kedelai (61,8 %) dan gula (19 %), dan hanya kelapa sawit saja yang nol
persen. Terkait hal tersebut Dillon menegaskan, jika Indonesia ingin mewujudkan
kedaulatan bangsa yang tercermin dalam konsep tri sakti, yaitu berdaulat dalam bidang
politik, berkepribadian dalam bidang budaya, dan mandiri dalam bidang ekonomi.
Maka, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi pangan lokal
tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food sovereignity).
Fenomena ketidakmampuan kita berdaulat pada masalah pangan, akibat kebijakan dan
proteksi privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi sebagai inti Konsensus Washington.
Pada 1998, pemerintah menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas, akibat
tekanan WTO. Konsekuensinya petani padi, jagung, kacang kedelai dan buah-buahan
hancur semua. Dengan adanya kebijakan pasar bebas, perusahaan menggenjot produksi
pangan yang berorientasi ekspor. Sehingga berakibat, surplus pangan dari negara-
negara maju, berbalik ke pasar nasional, dan merusak mekanisme pasar dalam negeri.
Disaat yang sama, pemerintah malah menggenjot produksi hasil perkebunan yang
berorientasi ekspor, seperti terjadi pada tata niaga CPO, sehingga produksi tanaman
pangan di dalam negeri pun jadi terbengkalai.
Implikasinya, negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan untuk mengatur
produksi, distribusi, dan konsumsi disektor pangan. Ujung-ujungnya, sektor pangan
sangat bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir perusahaan raksasa.
Kondisi ini diperparah dengan program privatisasi sektor pangan, yang nota bene
merupakan kebutuhan pokok rakyat. Sebagai contoh, industri hilir pangan hingga
distribusi, baik eksportir maupun importirnya dikuasai perusahaan asing. Akhirnya
mayoritas rakyat Indonesia hanya menjadi konsumen sehingga pada akhirnya, sektor
pangan mengarah ke sistem monopoli dan oligopoli (kartel).
Berkenaan dengan itu, terjadinya krisis pangan global lebih disebabkan kebijakan dan
praktik yang menyerahkan urusan pangan pada pasar, yang diawali dengan
ditandatanganinya letter of intent di bawah komando IMF pada 1998, serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995) melalui
agreement on agriculture (WTO). Sehingga akses pasar komoditi pertanian Indonesia di
buka lebar-lebar, bahkan hingga 0%, seperti kedelai (1998, dan 2008), serta beras
(1998). Sementara itu subsidi domestik untuk petani terus berkurang, baik menyangkut
pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi, maupun insentif harga.
Dengan sistem kebijakan dan praktek seperti itu, Indonesia kini bergantung pada pasar
internasional, baik mengenai harga maupun tren komoditas. Maka, ketika terjadi
perubahan pola produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, negara ini
terkena dampaknya, seperti melambungnya harga sejumlah komoditas pertanian,
akibat tingginya permintaan negara-negara yang pesat pertumbuhan ekonominya,
seperti Tiongkok dan India, sementara persediaan langka, sehingga terjadilah krisis
pangan global seperti sekarang ini.
Menurut Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, jalan keluar dari krisis
pangan adalah menegakkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti
memberikan hak pada setiap negara untuk mengatur dan memproteksi tata pertanian
di tiap-tiap negara. Untuk itu, mari kita jadikan Hari Kebangkitan Nasional, sebagai
momentum kebangkitan kedaulatan pangan nasional. Sehingga negara berkewajiban
memproteksi petaninya dari gempuran produk luar, akibat diberlakukannya CAFTA.
Produksi pertanian hasil jeri payah petani kita sendiri, harus ditujukan pada
pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan pada kebutuhan pasar ekspor yang hanya
menguntungkan perusahaan multinasional. Kedaulatan pangan harus memprioritaskan
pemenuhan pasar lokal dan nasional serta memberdayakan petani di pedesaan (Dimuat
di Media Online Masalembo.com, 16 Mei 2018).
Sejauh ini kedaulatan pangan belum menjadi visi pemerintah. Selama ini, visi
pemerintah seputar persoalan pangan seperti tertuang dalam UU No.7/1996 tentang
pangan. Dalam UU itu, pembangunan pangan diletakkan dalam konsep ketahanan
pangan (food security). Konsep yang diadopsi dari FAO itu, didefinisikan sebagai
kemampuan negara memenuhi kebutuhan pangan warganya. Istilah ini menunjuk pada
kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga, tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Konsep ini, tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana pangan diperoleh, dan
bagaimana pangan tersedia. Yang penting, ada pangan dalam jumlah cukup. WTO
bahkan menyebutkan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar
(availability of food in the market), pangan yang mengabdi kepada pasar. Intinya
diwujudkan melalui pasar, atau ‚memanen pangan dipasar impor‛, ketimbang ‚memanen
dilahan sendiri‛. Di sisi lain, Pengamat Pertanian HS Dillon, mengkritik pola pikir
ekonom neo-klasik di Indonesia yang banyak memberi kontribusi terhadap konsep
ketahanan pangan (food security). Dillon menilai, konsep tersebut pada dasarnya tidak
menjamin kedaulatan pangan, karena masih menerima konsep impor untuk memenuhi
pangan utama dalam menjamin stok pangan .
Bila hal ini dicermati, hampir seluruh komoditas pangan pokok masih tergantung pada
impor, terutama kedelai (61,8 %) dan gula (19 %), dan hanya kelapa sawit saja yang nol
persen. Terkait hal tersebut Dillon menegaskan, jika Indonesia ingin mewujudkan
kedaulatan bangsa yang tercermin dalam konsep Tri Sakti, yaitu berdaulat dalam
bidang politik, berkepribadian dalam bidang budaya, dan mandiri dalam bidang
ekonomi. Maka, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi
pangan lokal tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food sovereignity).
Solusi
Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai strategi pokok untuk mencapai tujuan
pembangunan pangan nasional, yakni ketahanan pangan. Kedaulatan pangan tidak
menggantikan, namun menjadi pelengkap atau pendukung bahkan menjadi basis untuk
tercapainya ketahanan pangan yang sejati. Dengan mengimplementasikan spirit
kedaulatan pangan, maka ketahanan pangan di Indonesia akan lebih mampu dicapai
secara kokoh dan berkeadilan.
Penguatan peran serta masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda demokratisasi
lebih-lebih dalam era globalisasi. Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai
hak ketimbang sebagai kewajiban. Kontrol rakyat terhadap isi dan prioritas agenda
pengambilan keputusan atas program-program pembangunan, khususnya
pembangunan pertanian dan pangan yang ditujukan kepadanya adalah hak masyarakat
sebagai pemegang kata akhir dan mengontrol apa saja yang masuk dalam agenda dan
urutan prioritas.
Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat/petani secara umum dapat diwujudkan
dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat yaitu; Pertama,
belajar dari masyarakat. Artinya prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Ini berarti, harus dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi
pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan
masalah-masalahnya sendiri. Kedua, pendamping sebagai fasilitator dan masyarakat
sebagai pelaku. Artinya konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya pendamping
menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru.
Untuk itu, perlu sikap rendah hati serta kesediaan untuk belajar dari masyarakat dan
menempatkan warga masyarakat sebagai nara sumber utama dalam memahami
keadaan masyarakat itu. Ketiga, saling belajar dan berbagi pengalaman. Artinya salah
satu prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan
akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti
bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah.Kenyataan
telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan
pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan
yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang.
Namun, sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari
luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.
Daftar Pustaka