Anda di halaman 1dari 10

Membangun Kedaulatan Sektor Pangan

Pendahuluan

Pertumbuhan penduduk Indonesia yang kini sudah mencapai hampir 270 juta jiwa
membutuhkan pangan nasional yang sebanding. Akan tetapi, hal ini agak
mengkhawatirkan sebab jumlah lahan pertanian, terutama di Jawa terus mengalami
penurunan karena pemukiman penduduk, industri perumahan, dan industrialisasi. Hal
ini juga terjadi pada luas hutan yang terus berkurang sejalan dengan industrialisasi
perkebunan dan tambang. Ketahanan pangan nasional masih mampu bertahan karena
kearifan lokal masyarakat masyarakat adat yang masih menghargai bumi. Akan tetapi,
sebagaimana digambarkan bahwa diperkirakan dalam 10 tahun ke depan 70 %
penduduk akan melakukan urbanisasi dari desa ke kota untuk sekolah dan mencari
pekerjaan.
Menurut PP No. 17 Tahun 2015 Tentang Pangan dan Gizi,3 pada Pasal 1 ayat (2) yang
dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku
Pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan
dan/atau pembuatan makanan atau manuman. Pengertian ini merupakan derivasi dari
Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Pasal 1 ayat (3) PP No. 17 Tahun 2015 Tentang Pangan dan Gizi, bahwa yang dimaksud
dengan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai
dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
mutunya, aman dan beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan.
Alam Indonesia ini sangat subur, sejuk, indah dan kaya. Kondisinya yang demikian sejak
zaman leluhur bangsa Indonesia menyimpan daya tarik yang luar biasa, terutama
kekayaan alamnya yang beranekaragam baik bahan pangan, obat-obatan, tanaman hias,
binatang (jinak, liar), burung, serangga, reptil, dan mineral. Kekayaan alam yang
melimpah ini tersimpan daya tarik untuk dinikmati, memberikan keuntungan, dan
kekayaan, sekaligus tersimpan daya tarik untuk dikuasai bangsa asing baik melalui
perdagangan yang saling memberi keuntungan, namun sekaligus tersimpan potensi
untuk dijajah dan dikeruk.
Sejarah telah memberikan bukti objektif bahwa Bangsa Indonesia pernah mengalami
masa kejayaan, sekaligus memberikan fakta dijajah selama ratusan tahun. Fakta sejarah
yang demikian ini melahirkan kesadaran bahwa sebagai sebuah bangsa yang
mempunyai kekayaan alam yang demikian itu harus dibebaskan, dibela, dijaga, dan
dikelola secara bertanggungjawab dan berkelangsungan. Kesadaran ini sekalipun
terlambat namun memberikan pengalaman yang luar biasa bahwa Bangsa Indonesia ini
selain kaya sekaligus berdaulat. Oleh karena itu, secara berdaulat pula mengelola
kekayaan alamnya ini.
Sejarah telah memberikan pengalaman manis sekaligus pahit. Pengalaman manis
bahwa Bangsa Indonesia pernah menjadi bangsa besar, berdaulat, dan bermartabat,
namun sekaligus pengalaman pahit yang pernah dijajah, dieksploitasi sumber daya alam
dan sumber daya manusianya. Selama ratus tahun Bangsa Indonesia mengalami
kejayaan sehingga lalai untuk membangun dan menjalin persatuan dan kesatuan.
Kebanggaan kedaerahan ini justru menimbulkan egoisme lokal yang mudah diadu
domba oleh bangsa Asing melalui politik devide et impera.

Realitas

Pangan merupakan istilah yang teramat penting bagi pertanian, karena secara hakiki
pangan adalah suatu kebutuhan dasar dalam pemenuhan aspirasi humanistik. Oleh
karenanya, mendiskusikan topik ketahanan pangan akan menjadi sangat penting dan
menarik.
Jaminan ketahanan pangan bagi setiap penduduk mempunyai landasan legalitas yang
universal dan mempunyai makna strategis bagi setiap bangsa dan penguasa.
Kekurangan pangan dan gizi buruk pada penduduk berarti pelanggaran hak azasi
manusia (HAM) yang dilakukan penguasa. Dalam Human Right Declaration 1948 dan
Word Conference on Human Right 1993 disepakati, setiap individu berhak memperoleh
pangan yang cukup. Di Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 34 UUD 1945
berbunyi negara bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar, termasuk
kebutuhan pangan bagi fakir miskin, penyandang cacat, dan anak terlantar. Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, mendefinisikan ketahanan pangan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Terkait dengan konsep ketahanan pangan, setidaknya ada tiga aspek penting yang
menjadi persoalan dalam memahaminya. Ketiga aspek tersebut merupakan indikator
dari keberhasilan peningkatan ketahanan pangan itu adalah menyangkut ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi. Pertama, aspek ketersediaan. Berarti pangan tersedia cukup
untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta
aman. Persoalan yang dihadapi terkait dengan aspek ketersediaan pangan ini antara
lain tingginya laju peningkatan kebutuhan beberapa komoditas pangan yang lebih cepat
dari pada laju peningkatan produksi karena terbatasnya infrastruktur berupa irigasi,
meningkatnya petani gurem, terbatasnya fasilitas permodalan di pedesaan, lambatnya
penerapan teknologi akibat kurangnya insentif ekonomi, rendahnya kemampuan
mengelola cadangan pangan, rendahnya produksi pangan domestik karena dampak
anomali, dan menurunnya kualitas lingkungan.
Kedua, aspek distribusi. Artinya pasokan pangan dapat menjangkau ke seluruh wilayah
sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Beberapa persoalan strategis
yang menyangkut pendistribusian, misalnya; (a) terbatasnya sarana dan prasarana
perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah terpencil, (b)
keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar, (c) banyaknya pungutan resmi dan tidak
resmi, (d) tingginya biaya angkutan dibanding negara lain. Ketiga, aspek konsumsi.
Setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola
konsumsinya sesuai kaidah gizi dan kesehatan, serta prefensinya. Persoalan yang
dihadapi hubungannya dengan aspek konsumsi antara lain; (a) besarnya jumlah
penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan yang rendah,
(b) rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan
dan gizi, (c) masih dominannya konsumsi sumber energi karbohidrat yang berasal dari
beras, dan (d) rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan.
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya diversifikasi
pangan sudah terlihat sejak beberapa dekade yang lalu. Diversifikasi horizontal masih
sangat mewarnai arah pengembangan pertanian. Upaya untuk mengembangkan
komoditas bukan beras seperti jagung, umbi-umbian, sagu, pisang, dan ketela pohon
sebagai pengganti beras tampaknya kurang di respon oleh masyarakat. Hal ini
mengakibatkan bukan saja konsumsi beras perkapita kita terus meningkat, bahkan
komoditas pengganti beras tersebut, selain tidak disukai, sering mendapat label
inferior, bila menjadikan komoditi non beras sebagai makanan pokok. Saat ini,
diversifikasi vertikal merupakan arah yang harus kita tempuh, untuk mengantisipasi
ketergantungan kita terhadap konsumsi beras. Para pakar mensinyalir, kita belum
secara serius menggarapnya. Ini merupakan tantangan yang harus kita jawab bersama,
baik pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Upaya menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan industri pangan (agroindustri),
baik dalam skala kecil, menengah, dan besar di pedesaan dan diperkotaan, adalah salah
satu prasyarat utama. Jika reposisi dan redefinisi pertanian industrial abad 21 dapat
meluas kepada subsistem di luar konsentrasi aspek budidaya seperti agroindustri,
pemasaran, permodalan, dan infrastrukturnya, agaknya iklim kondusif lebih muda
didekati. Diversifikasi juga mempunyai dimensi regional, yang mengutamakan
spesialisasi wilayah dalam memproduksi komoditas unggulan secara efisien,
berkelanjutan, dan mampu diserap pasar. Manakala dimensi regional dan diversifikasi
dapat ditumbuh kembangkan, niscaya ia akan mampu sebagai mesin yang akan
mendorong pertumbuhan dan perdagangan antar daerah. (Dimuat di Harian Tribun
Timur, 18 Oktober 2006).
PANGAN merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia, setelah udara dan air.
Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga, dan komunitas merupakan
hak azasi manusia (HAM). Konsep ketahanan pangan menyangkut ketersediaan dan
keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu. Sedangkan kemandirian
pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap rumah
tangga, baik dari segi kecukupan, mutu, aman, merata, dan terjangkau, yang didasarkan
pada optimalisasi pemanfaatan keragaman sumber daya domestik. Pengertian pangan
memiliki dimensi yang luas, mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia
yang sehat dan produktif, termasuk pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial
dan budaya, seperti untuk kesenangan, kebugaran, dan kecantikan.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan dan kemandirian pangan adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak, terutama rakyat miskin, dilihat dari aspek
ketersediaan jumlah, mutu, harga, keterjangkauan, dan stabilitas. Fenomena yang ada
menunjukkan pertanyaan tersebut masih belum dijawab. Berdasarkan berbagai
pengalaman dalam aspek pangan di masa lalu, yang paling mendesak untuk dilakukan
dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan adalah
melakukan diversifikasi atau keragaman jenis pangan.
Terkait dengan potensi diversifikasi pangan, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman
pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389
jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, serta 110 jenis rempah-
rempah dan bumbu-bumbuan. Semua jenis keragaman pangan tersebut tersebar di
seluruh nusantara dan telah akrab dengan kehidupan masyarakat khususnya di
pedesaan. Melihat potensi keragaman pangan tersebut di atas, sudah seharusnya
Indonesia lebih memfokuskan pengembangan pertanian dengan pola diversifikasi
pangan. Indonesia masih memiliki potensi ubi kayu, jagung, ubi jalar, kentang, dan
masih banyak lagi jenis pangan yang mengandung gizi hampir setara dengan
kandungan gizi pada beras dan gandum.
Sayangnya, pola konsumsi masyarakat yang tergantung pada beras dan ketika produksi
beras tidak mencukupi kebutuhan konsumen itu ditanggulangi melalui subtitusi dengan
gandum yang bukan merupakan komoditas asli Indonesia. Impor gandum dari negara
lain pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan mencapai empat juta ton
pada tahun 2001. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah impor beras
yang hanya mencapai 1,35 juta ton pada tahun yang sama. Padahal kebutuhan pangan
untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia telah bertumpu pada pemenuhan
kebutuhan karbohidrat dan protein yang pada dasarnya dapat dipenuhi melalui
konsumsi umbiumbian dan biji-bijian yang bisa didapat dengan mudah di seluruh
Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan di negeri ini seharusnya tidak dengan cara
mengimpor gandum dari negara lain.
Diversifikasi atau penganekaragaman pangan Indonesia sudah seharusnya
dilaksanakan dan bukan menjadi sekadar wacana lagi. Sudah banyak penelitian dan
diskusi yang menyimpulkan tentang betapa pentingnya diversifikasi pangan guna
mengatasi ketergantungan kepada beras impor dan bahan pangan impor lainnya. Sejak
tahun 2004 telah dibentuk Forum Kerja Keanekaragaman Pangan yang anggotanya
terdiri atas berbagai unsur masyarakat. Pembentukan forum kerja ini bertujuan untuk
memasyarakatkan program diversifikasi pangan. Titik kritis program
penganekaragaman pangan adalah perubahan budaya masyarakat, baik budaya
pertanian, budaya industri, budaya perdagangan, dan budaya konsumsi.
SEJAUH ini kedaulatan pangan belum menjadi visi pemerintah. Dalam UU No. 18 Tahun
2012 tentang pangan Bab I pasal 1 point 4 yang khusus menjelaskan pembangunan
pangan diletakkan dalam konsep ketahanan pangan (food security). Konsep yang
diadopsi dari FAO itu, didefinisikan sebagai kemampuan negara memenuhi kebutuhan
pangan warganya. Istilah ini menunjuk pada kondisi terpenuhinya pangan di tingkat
rumah tangga, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu,
aman, merata, dan terjangkau.
Konsep ini, tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana pangan diperoleh, dan
bagaimana pangan tersedia. Yang penting, ada pangan dalam jumlah cukup. WTO
bahkan menyebutkan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar
(availability of food inthe market), pangan yang mengabdi kepada pasar. Intinya
diwujudkan melalui pasar, atau ‘memanen pangan dipasar impor’, ketimbang ‘memanen
dilahan sendiri’. Di sisi lain, Pengamat Pertanian HS Dillon, mengkritik pola pikir
ekonom neo-klasik di Indonesia yang banyak memberi kontribusi terhadap konsep
ketahanan pangan (food security). Dillon menilai, konsep tersebut pada dasarnya tidak
menjamin kedaulatan pangan, karena masih menerima konsep impor untuk memenuhi
pangan utama dalam menjamin stok pangan .
Hal ini dicermati, hampir seluruh komoditas pangan pokok masih tergantung pada
impor, terutama kedelai (61,8 %) dan gula (19 %), dan hanya kelapa sawit saja yang nol
persen. Terkait hal tersebut Dillon menegaskan, jika Indonesia ingin mewujudkan
kedaulatan bangsa yang tercermin dalam konsep tri sakti, yaitu berdaulat dalam bidang
politik, berkepribadian dalam bidang budaya, dan mandiri dalam bidang ekonomi.
Maka, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi pangan lokal
tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food sovereignity).
Fenomena ketidakmampuan kita berdaulat pada masalah pangan, akibat kebijakan dan
proteksi privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi sebagai inti Konsensus Washington.
Pada 1998, pemerintah menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas, akibat
tekanan WTO. Konsekuensinya petani padi, jagung, kacang kedelai dan buah-buahan
hancur semua. Dengan adanya kebijakan pasar bebas, perusahaan menggenjot produksi
pangan yang berorientasi ekspor. Sehingga berakibat, surplus pangan dari negara-
negara maju, berbalik ke pasar nasional, dan merusak mekanisme pasar dalam negeri.
Disaat yang sama, pemerintah malah menggenjot produksi hasil perkebunan yang
berorientasi ekspor, seperti terjadi pada tata niaga CPO, sehingga produksi tanaman
pangan di dalam negeri pun jadi terbengkalai.
Implikasinya, negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan untuk mengatur
produksi, distribusi, dan konsumsi disektor pangan. Ujung-ujungnya, sektor pangan
sangat bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir perusahaan raksasa.
Kondisi ini diperparah dengan program privatisasi sektor pangan, yang nota bene
merupakan kebutuhan pokok rakyat. Sebagai contoh, industri hilir pangan hingga
distribusi, baik eksportir maupun importirnya dikuasai perusahaan asing. Akhirnya
mayoritas rakyat Indonesia hanya menjadi konsumen sehingga pada akhirnya, sektor
pangan mengarah ke sistem monopoli dan oligopoli (kartel).
Berkenaan dengan itu, terjadinya krisis pangan global lebih disebabkan kebijakan dan
praktik yang menyerahkan urusan pangan pada pasar, yang diawali dengan
ditandatanganinya letter of intent di bawah komando IMF pada 1998, serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995) melalui
agreement on agriculture (WTO). Sehingga akses pasar komoditi pertanian Indonesia di
buka lebar-lebar, bahkan hingga 0%, seperti kedelai (1998, dan 2008), serta beras
(1998). Sementara itu subsidi domestik untuk petani terus berkurang, baik menyangkut
pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi, maupun insentif harga.
Dengan sistem kebijakan dan praktek seperti itu, Indonesia kini bergantung pada pasar
internasional, baik mengenai harga maupun tren komoditas. Maka, ketika terjadi
perubahan pola produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, negara ini
terkena dampaknya, seperti melambungnya harga sejumlah komoditas pertanian,
akibat tingginya permintaan negara-negara yang pesat pertumbuhan ekonominya,
seperti Tiongkok dan India, sementara persediaan langka, sehingga terjadilah krisis
pangan global seperti sekarang ini.
Menurut Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, jalan keluar dari krisis
pangan adalah menegakkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti
memberikan hak pada setiap negara untuk mengatur dan memproteksi tata pertanian
di tiap-tiap negara. Untuk itu, mari kita jadikan Hari Kebangkitan Nasional, sebagai
momentum kebangkitan kedaulatan pangan nasional. Sehingga negara berkewajiban
memproteksi petaninya dari gempuran produk luar, akibat diberlakukannya CAFTA.
Produksi pertanian hasil jeri payah petani kita sendiri, harus ditujukan pada
pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan pada kebutuhan pasar ekspor yang hanya
menguntungkan perusahaan multinasional. Kedaulatan pangan harus memprioritaskan
pemenuhan pasar lokal dan nasional serta memberdayakan petani di pedesaan (Dimuat
di Media Online Masalembo.com, 16 Mei 2018).
Sejauh ini kedaulatan pangan belum menjadi visi pemerintah. Selama ini, visi
pemerintah seputar persoalan pangan seperti tertuang dalam UU No.7/1996 tentang
pangan. Dalam UU itu, pembangunan pangan diletakkan dalam konsep ketahanan
pangan (food security). Konsep yang diadopsi dari FAO itu, didefinisikan sebagai
kemampuan negara memenuhi kebutuhan pangan warganya. Istilah ini menunjuk pada
kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga, tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Konsep ini, tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana pangan diperoleh, dan
bagaimana pangan tersedia. Yang penting, ada pangan dalam jumlah cukup. WTO
bahkan menyebutkan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar
(availability of food in the market), pangan yang mengabdi kepada pasar. Intinya
diwujudkan melalui pasar, atau ‚memanen pangan dipasar impor‛, ketimbang ‚memanen
dilahan sendiri‛. Di sisi lain, Pengamat Pertanian HS Dillon, mengkritik pola pikir
ekonom neo-klasik di Indonesia yang banyak memberi kontribusi terhadap konsep
ketahanan pangan (food security). Dillon menilai, konsep tersebut pada dasarnya tidak
menjamin kedaulatan pangan, karena masih menerima konsep impor untuk memenuhi
pangan utama dalam menjamin stok pangan .
Bila hal ini dicermati, hampir seluruh komoditas pangan pokok masih tergantung pada
impor, terutama kedelai (61,8 %) dan gula (19 %), dan hanya kelapa sawit saja yang nol
persen. Terkait hal tersebut Dillon menegaskan, jika Indonesia ingin mewujudkan
kedaulatan bangsa yang tercermin dalam konsep Tri Sakti, yaitu berdaulat dalam
bidang politik, berkepribadian dalam bidang budaya, dan mandiri dalam bidang
ekonomi. Maka, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi
pangan lokal tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food sovereignity).

Solusi

Kedaulatan pangan merupakan prasyarat ketahanan. Ketahanan pangan baru tercipta


jika kedaulatan pangan dimiliki rakyat (petani). Dengan demikian, masing-masing
negara bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan tidak perlu bergantung pada
negara lain. Dari perspektif ini, pangan dan pertanian seharusnya tak ditaruh di pasar
yang rentan, tetapi ditumpuhkan pada kemampuan sendiri. Telah menjadi suatu hal
yang mendesak, kebutuhan untuk menyosialisasikan pola pikir dan pandangan
kedaulatan pangan kepada seluruh stakeholder (pemangku kepentingan), hingga ke
masyarakat paling bawah. Masalah pangan dan pertanian, tidak boleh dilepaskan pada
pasar global, tetapi pemerintah seharusnya mampu memberdayakan potensi rakyat
sendiri. Sejarah mencatat, unsur yang mampu menjamin keberlangsungan pangan dan
pertanian adalah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati yang mampu dikelola
dengan memberdayakan masyarakat.
Pada tataran praktis, banyak pakar merekomendasikan pentingnya penggalian potensi
pangan lokal untuk menjawab masalah keberdaulatan pangan. Untuk itu, urgensi dari
kedaulatan pangan karena merupakan hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk
mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif, serta menentukan dan
mengendalikan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai
kondisi ekologis, sosial, ekonomi, serta budaya khas masing-masing. Untuk
menciptakan atau menuju kedaulatan pangan, pemerintah harus menjamin akses petani
atas tanah, air, bibit, dan kredit. Ditingkat nasional, kebijakan reformasi agraria, air
untuk pertanian, aneka varietas lokal unggul, dan kredit berbunga rendah harus jadi
prioritas. Dalam konteks alam, petani perlu perlindungan atas aneka kemungkinan
kerugian bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan bencana lainnya.
Pemerintah perlu memberi jaminan hukum bila bencana alam itu menimpa petani,
supaya mereka tidak terlalu menderita. Salah satu solusinya, adalah diperlukan payung
hukum berupa UU yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian
atau konpensasi kerugian bagi petani atas bencana alam. Terkait dengan hal tersebut,
Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian di era Pemerintahan Megawati,
mengatakan bahwa kedaulatan pangan akan terwujud, jika kita mampu menetapkan
kebijakan yang tepat. Kebijakan yang dimaksud, adalah kebijakan proteksi sekaligus
promosi. Proteksi sangat kita butuhkan dalam perdagangan internasional yang tidak
adil. Karena WTO hanya adil bagi negara-negara maju, tetapi buat Indonesia tidak adil.
Memang free trade sesuai buat negara maju, tapi tidak buat negara baru berkembang,
seperti Indonesia.
Disamping dibutuhkan adanya proteksi, Indonesia pun harus all out dalam melakukan
promosi. Kalau kita hanya proteksi, semakin lama proteksinya semakin tinggi, dan tidak
bisa kita pertahankan. Untuk itu, sambil memproteksi, kita juga harus promosi melalui
produktivitas dan kualitas produk yang kita pasarkan. Misalnya, selama 2000-2004 kita
terapkan kebijakan proteksi dan promosi sebagai bentuk kedaulatan kita, terutama
kedaulatan dalam membuat kebijakan, merumuskan, melaksanakan dan merevisi bila
dirasa itu suatu kebutuhan. Hasilnya, pertanian kita termasuk pangan bertumbuh di
atas 4 persen.
Konsep kedaulatan pangan menjamin bahwa keragaman bahan makanan tersebut
terjaga dan menghindari diri dari ketergantungan yang lebih buruk dari pihak lain. Inti
konsep kedaulatan pangan ialah masyarakat mampu mandiri memenuhi kebutuhan
pangannya dengan tidak mengabaikan hak-hak untuk mendapatkannya. Sebagaimana
Peran teknologi pengolahan pangan bisa memberikan kontribusi nyata agar dapat
meningkatkan citra, baik rasa, komposisi, kualitas gizi, maupun penampilan produk-
produk pangan selain komoditas beras. Perlunya teknologi pangan itu agar harga jual
produk sesuai dengan daya beli masyarakat serta didukung dengan sistem promosi
yang mengarah kepada sasaran program. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan
waktu untuk berproses. Akan tetapi, untuk mengukur dan memperkirakan tingkat
keberhasilan program, diversifikasi pangan, kita bisa melihat contoh penerapan
teknologi sederhana, khususnya pangan lokal Indonesia yang telah banyak dilakukan
masyarakat meskipun masih dalam skala kecil.
Perberdayaan potensi tanaman pangan lokal yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia yang memiliki kekhasan masing masing akan menghilangkan ketergantungan
bangsa Indonesia terhadap produk pangan impor. Selain itu, sistem distribusi produk
pangan lokal jauh lebih mudah dibandingkan pola distribusi bahan konsumsi
masyarakat yang bersifat seragam seperti beras. Jalur distribusi bahan pangan lokal
dapat dilakukan lebih cepat dan lebih efisien karena bahan pangan ada di daerah dan
tersebar di nusantara. Hal ini mendorong perdagangan antar daerah yang efisien dan
aman serta menjamin suatu kondisi yang harus dipenuhi dalam rangka diversifikasi
pangan yang dikelola untuk mendorong terwujudnya ketahanan dan kemandirian
pangan. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 29 Nopember 2006).
Oleh karena itu, hakikat kedaulatan pangan sebenarnya adalah hak setiap bangsa dan
setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan
sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan
pasar internasional. Terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan
pangan, antara lain adalah ; Pertama, pembaruan agraria. Kedua, adanya hak akses
rakyat terhadap pangan. Ketiga, penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Keempat, pangan untuk pangan dan tidak sekedar komoditas yang diperdagangkan.
Kelima, pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi. Keenam, melarang penggunaan
pangan sebagai senjata, dan Ketujuh, pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan
kebijakan pertanian.
Selain ketujuh syarat tersebut, praktek untuk membangun kedaulatan pangan harus
dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar sebagaimana yang dicetuskan pada pertemuan
World Food Summit Five Years Later di Roma. Dalam pertemuan tersebut sejumlah
organisasi sosial yang mewakili petani kecil, buruh tani, nelayan, masyarakat adat
bersama sejumlah NGO membentukInternational Planning Committee for Food
Sovereignty (IPC). IPC berperan untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan
FAO dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Konsep kedaulatan pangan pun semakin
dikembangkan dan mendapat dukungan yang meluas. Pada tahun 2007 diadakanlah
konferensi internasional Kedaulatan Pangan di Nyeleni, Mali. Konferensi ini semakin
menguatkan pemahaman dan perjuangan gerakan sosial mewujudkan kedaulatan
pangan menjadi alternatif menjawab permasalahan pangan dan pertanian global.
Hal inilah dimanfaatkan gerakan petani dan masyarakat sipil lainnya untuk
memasukkan sebuah alternatif sistem pangan yang demokratis seperti yang
didiskusikan dalam Komisi FAO untuk Ketahanan Pangan Dunia, yang harus
dilaksanakan agar negara-negara dan masyarakat di sekuruh dunia memiliki hak untuk
melaksanakan kedaulatan pangan.Solusi sejati mengatasi krisis pangan berarti bahwa
petani kecil, dan bukan perusahaan transnasional, harus mendapatkan kontrol atas
sumberdaya agraria yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan yaitu, tanah, air,
benih dan pasar local.
Di tingkat nasional perjuangan kedaulatan pangan pun mulai semakin masif. Pendidikan
di tingkat organisasi tani menjadi hal yang signifikan untuk memperkuat perjuangan
kedaulatan pangan. Hal ini penting untuk memperkuat tekanan rakyat dalam
perubahan kebijakan pangan dan pertanian di tingkat nasional hingga daerah. Dalam
realisasinya, kedaulatan pangan akan tercapai apabila petani sebagai penghasil pangan
memiliki, menguasai dan mengontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih
dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan
pembaruan agraria. Hal ini perlu disertai dengan melaksanakan pertanian rakyat yang
berkelanjutan bukan saja untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi
yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan
sungguh-sungguh sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-
perusahaan transnasional penghasil input pertanian.
Gerakan kedaulatan pangan mulai meluas di Indonesia terutama sejak tahun 2002.
Karena meskipun krisis pangan belum terjadi, namun tanda-tanda kegagalan konsep
ketahanan pangan yang dijalankan FAO sudah mulai terlihat. Karena itu berbagai
inisiatif sudah dilakukan seperti gerakan rakyat seperti membangun koalisi penegakan
kedaulatan pangan. Pergerakan ini mendapat respons positif dari kalangan partai,
dengan adanya aksi di ruang parlemen untuk penolakan atas impor beras di Indonesia.
Kemudian berbagai seminar juga dilakukan oleh kalangan partai untuk memahami
sebab-sebab terjadinya ketergantungan pangan. Di tingkat parlemen, ketergantungan
pangan dan tak sanggupnya Indonesia menghasilkan produksi pangan dalam negeri
dijawab oleh DPR dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Berkelanjutan untuk mencegah konversi lahan pertanian ke non pangan.
Krisis pangan tahun 2008 menyadarkan banyak kalangan bahwa untuk memperkecil
ketergantungan pangan di Indonesia, harus lebih luas lagi upaya yang harus dilakukan.
Tidak cukup hanya sekedar mencegah konversi lahan, tapi harus lebih luas lagi,
mengatur soal perdagangan pangan. Atas desakan dari gerakan rakyat, diantaranya
pada 24 Februari 2011, SPI bersama sejumlah organisasi tani lainnya, organisasi sosial
lain, LSM, hingga para akademisi menggagas suatu Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat
Indonesia. Petisi Kedaulatan Pangan ini bertujuan untuk memperkuat dan memperluas
desakan kepada pemerintah untuk mengubah sistem pangan dan pertanian yang ada
saat ini demi melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat
Indonesia.Kebangkitan perjuangan kedaulatan pangan ini juga mulai terlihat dengan
adanya respons di tingkat legislasi dengan perubahan UU Pangan No. 7/1996 guna
menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan kepada setiap
warga negara.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
menjelaskan bahwa Pemberdayaan petani adalah segala upaya untuk meningkatkan
kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan
dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana
pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian,
kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan
kelembagaan petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat (petani) dalam
pembangunan mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan
penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan. Upaya-
upaya pemberdayaan masyarakat seharusnya mampu berperan meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia (SDM) terutama dalam membentuk dan merubah prilaku
masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas.

Kesimpulan dan Saran

Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai strategi pokok untuk mencapai tujuan
pembangunan pangan nasional, yakni ketahanan pangan. Kedaulatan pangan tidak
menggantikan, namun menjadi pelengkap atau pendukung bahkan menjadi basis untuk
tercapainya ketahanan pangan yang sejati. Dengan mengimplementasikan spirit
kedaulatan pangan, maka ketahanan pangan di Indonesia akan lebih mampu dicapai
secara kokoh dan berkeadilan.
Penguatan peran serta masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda demokratisasi
lebih-lebih dalam era globalisasi. Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai
hak ketimbang sebagai kewajiban. Kontrol rakyat terhadap isi dan prioritas agenda
pengambilan keputusan atas program-program pembangunan, khususnya
pembangunan pertanian dan pangan yang ditujukan kepadanya adalah hak masyarakat
sebagai pemegang kata akhir dan mengontrol apa saja yang masuk dalam agenda dan
urutan prioritas.
Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat/petani secara umum dapat diwujudkan
dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat yaitu; Pertama,
belajar dari masyarakat. Artinya prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Ini berarti, harus dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi
pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan
masalah-masalahnya sendiri. Kedua, pendamping sebagai fasilitator dan masyarakat
sebagai pelaku. Artinya konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya pendamping
menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru.
Untuk itu, perlu sikap rendah hati serta kesediaan untuk belajar dari masyarakat dan
menempatkan warga masyarakat sebagai nara sumber utama dalam memahami
keadaan masyarakat itu. Ketiga, saling belajar dan berbagi pengalaman. Artinya salah
satu prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan
akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti
bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah.Kenyataan
telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan
pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan
yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang.
Namun, sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari
luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai