Anda di halaman 1dari 13

G20 RELIGION FORUM (R20)

INTERNATIONAL SUMMIT OF
RELIGIOUS LEADERS
ESSAY UAS MSI SEMESTER 1

SOSIOLOGI AGAMA
IAIN KEDIRI
BIODATA PENULIS ESSAY

Nama: Bagus Muhammad Syamsul Azam Noor


Nim: 22105062
Semester: Satu
Kelas: c
Prodi: Sosiologi Agama
Fakultas: Ushuluddin dan Dakwah

Nama: Adhimas Rifa’i


Nim: 22105060
Semester: Satu
Kelas: c
Prodi: Sosiologi Agama
Fakultas: Ushuluddin Dn Dakwah
ESSAY UAS

G20 RELIGION FORUM (R20) INTERNATIONAL SUMMIT OF REGLIOUS


LEADERS

Bagus Muhamad Syamsul Azam Noor

Adimas Rif’ai

IAIN KEDIRI

A. PENDAHULUAN
Forum Agama G20 atau lazim disebut Religion of Twenty (R20) akan melibatkan banyak
tokoh agama dunia, termasuk pemimpin agama yang dianggap problematis. Hingga saat ini,
memang ada begitu banyak persoalan agama di berbagai wilayah dunia mulai dari Afrika, Eropa,
Amerika, hingga Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya),
yang juga penggagas sekaligus Ketua Bersama R20, mengakui bahwa pelibatan aktor-aktor yang
dianggap problematis dalam forum R20 merupakan langkah yang berpotensi dinilai kontroversial.
Namun dalam perspektif yang lain, Gus Yahya menganggap justru hal tersebut merupakan
upaya paling konkret untuk menyelesaikan problem agama di wilayah masing-masing. Sebab,
menurutnya, harus ada komunikasi dengan pihak-pihak yang dianggap terlibat dalam masalah.
Oleh karena itu, forum R20 didesain sedemikian rupa agar pemimpin komunitas-
komunitas agama berdiskusi secara terbuka, jujur, terus terang, dan langsung mengarah kepada
masalah pokok tanpa adanya pengingkaran. Ini perlu dilakukan secara konstruktif demi
menemukan jalan keluar dari segala masalah yang dibicarakan.
B. PEMBAHASAN
MAKNA ISLAM DAN KEBUDAYAAN
Islam yang diturunkan di Jazirah Arab telah membawa bangsa Arab yang semula
terkebelakang, bodoh, tidak dikenal dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang
maju dan berperadaban. Ia sangat cepat bergerak mengembangkan dunia membina suatu
kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.
Bahkan kemajuan bangsa Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke
Eropa melalui Spanyol1
Islam memang berbeda dengan agama lain. Islam bukan kebudayaan, akan tetapi
menimbulkan kebudayaan. Kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau
peradaban Islam.7 Landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud
idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam”adalah agama Islam. Jadi agama Islam
melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam
adalah wahyu dari Tuhan. Penulis Barat banyak yang mengidentikkan “kebudayaan” dan
“peradaban” Islam dengan “kebudayaan” dan “peradaban” Arab. Untuk masa periode klasik,
pendapat itu mungkin dapat dibenarkan. Karena, pada masa itu pusat pemerintahan hanya satu dan
untuk beberapa abad sangat kuat. Peranan bangsa Arab di dalamnya sangat dominan. Semua
wilayah kekuasaan Islam mengunakan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi. Akan tetapi pada
masa periode pertengahan dan periode modern sudah terdapat “kebudayaan-kebudayaan” dan
“peradaban-peradaban” Islam non-Arab, seperti peradaban Persia, Turki, Urdu di India. Peran
Arab pada masa ini sudah jauh menurun. Bahkan tiga kerajaan besar Islam pada periode
pertengahan tidak satupun yang dikuasai oleh bangsa Arab. Namun meskipun sejak periode
pertengahan sudah terdapat “kebudayaan-kebudayaan” dan “peradabanperadaban” Islam non-
Arab, semuanya masih dipersatukan oleh Islam yang menjadi landasannya. Oleh karena itu,
dinamai “kebudayaan” dan “peradaban” Islam, bukan “kebudayaan” Arab dan “peradaban” Arab.2

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), h. 2

2
M. Nasir, Kapita Selekta (Bandung: NU Penerbitan W.Van Hoeve, tp,th), h. 4
Kata “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al Tsaqafah. Tetapi di Indonesia masih
banyak orang yang mensinonimkan dua kata “Kebudayaan” (Arab, al-Tsaqafah ; Inggris, Culture)
dan “Peradaban” (Arab, al-Hadharah ; Inggris, Civilization). Dalam ilmu Antropologi sekarang,
kedua istilah itu dibedakan. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga
wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks, ide-ide, gagasan,
nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud
benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.3
Kata peradaban adalah terjemahan dari kata Arab alHadharah. Juga diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan. Padahal istilah peradaban dipakai untuk bagian-
bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah. Peradaban sering juga dipakai
untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa,
sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.5 Jadi kebudayaan mencakup
juga peradaban, tetapi tidak sebaliknya, sebab peradaban dipakai untuk menyebut kebudayaan
yang maju dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dalam pengertian kebudayaan
direfleksikan kepada masyarakat yang terkebelakang, bodoh, sedangkan peradaban terefleksikan
kepada masyarakat yang sudah maju. Dalam buku ini pengertian peradaban adalah seperti
disebutkan di atas.

3
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 5
AKAR MODERATISME ISLAM
Pemahaman paling mendasar dalam mengenal Moderatisme yang diajarkan oleh Islam
tergambar dari penjelasan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an pada umumnya
menggunakan istilah ‘al-Wasathiyyah’ untuk mengungkap makna moderat dalam Islam.
Walaupun sebenarnya terdapat perbedaan-perbedaan dengan pemahaman moderat dalam konteks
saat ini. Oleh sebab itu pemahaman dasar ini bisa dijadikan akar dalam memahami moderatisme
Islam sebenarnya.
Kata ‘al-wasathiyyah’ berakar pada kata al-wasth (dengan huruf sin yang di-sukûn-kan)
dan al-wasath (dengan huruf sin yang di-fathah-kan) yang keduanya merupakan mashdâr
(infinitife) dari kata kerja (verb) wasatha. Secara sederhana, pengertian Wasathiyyah secara
terminologis berangkat dari makna-makna etimologis di atas yang artinya suatu karakteristik
terpuji yang menjaga seseorang dari kecendrungan bersikap ekstrim.

Adapun kata al-wasth merupakan pola zharf yang berarti baina (diantara). Sedangkan kata
al-wasathu, mengandung empat pengertian, yaitu: pertama, kata benda (ism) yang bermakna posisi
pertengahan diantara dua posisi bersebrangan. Kedua, sebagai kata sifat yang berarti pilihan
(khiyâr), utama (afdhal), dan terbaik (ajwad). Ketiga, mengandung arti ‘adl (adil). Keempat,
mengandung arti sesuatu yang berada diantara hal yang baik dan hal yang buruk/netral (asy-syay’u
baina al-jayyid wa ar-radˆi’)

Adapun jika kedua kata di atas diderivasikan, maka pengertiannya akan berkisar pada
pengertian adil, utama, pilihan/terbaik, dan seimbang antara dua posisi yang berseberangan.
Diantaranya, kata wasîth yang berarti hasîb dan sharîf, seperti perkataan Jauhari: “fulân wasîth fî
qaumihi idzâ kâna ausathuhum nasaban wa arfa’uhum mahallan.” Dan kata alwasath yang berarti
al-mutawassith baina al-mutakhassimaini (penengah antara dua orang yang berselisih). Demikian
pula derivasi-derivasi lainnya, seperti: at-tawassuth, at-tausîth, dan wâsithah.4

4
Ali Muhammad Muhammad ash-Shalabî, al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân, (Kairo: Maktabat at Tâbi’in, 1422/2001),
cet. ke-1, h. 13-15.
Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, wasathiyyah yang dapat disebut juga dengan at-tawâzun,
yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan atau bertolak-
belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegaskan yang lain. Sebagai contoh
dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme, dan sosialisme,
paham yang realistik dan yang idealis, dan lain sebagainya. Bersikap seimbang dalam
menyikapinya yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing
sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit.5
Adapun pengertian wasathiyyah menurut terminologi Islam,25 yang bersandarkan kepada
sumber-sumber otoritatifnya, secara terperinci Al-Qardhawi mendefinisikannya sebagai sebuah
sikap yang mengandung pengertian keadilan sebagai konsekuensi diterimanya kesaksian seorang
saksi berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 143. Berarti juga konsistensi dalam manhaj (istiqâmah al-
manhaj) dan jauh dari penyelewengan dan penyimpangan berdasarkan QS. al-Fâtihah [1]: 6.
Berarti pula dasar kebaikan (dalîl al khairiyyah) dan penampakan keutamaan dan keistimewaan
dalam perkara kebendaan (al mâddiyyât) dan kemaknawian (al-ma’nawiyyât). Juga berarti tempat
yang penuh keamanan yang jauh dari marabahaya. Demikian pula berarti sumber kekuatan dan
pusat persatuan dan perpaduan.6
Sementara itu dalam perkembangannya kata wasathiyyah seringkali disepadankan pula
dengan istilah ‘Moderasi’ yang secara etimologi berasal dari bahasa Inggris ‘moderation’ artinya
sikap sedang, tidak berlebih-lebihan. Adapun ‘Moderator’ adalah seorang penengah, atau pelerai7

5
Al-Qaradhawi, al-Khashâish al-‘Ammah li al-Islâm, h. 127
6
Al-Qardhawi, Al-Khashâish al-‘Âmmah li al-Islâm, h. 131-134.
7
John M. Echols dan Hasan Shadily, An English-Indonesiam Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2005), cet. ke-26, h. 384. L
PROBLEMATIKA DASAR UMAT
Problema Aqidah
Pembangunan yang dicanangkan adalah bukan hanya pembangunan ekonomi, sosial
kemasyarakatan saja tetapi juga menyangkut pembangunan rohani dalam artian pembangunan
manusia seutuhnya. Hal ini perlu disadari mengingat pembangunan yang selama ini dirasakan
lebih banyak memperhatikan aspek fisik jasmani dibandingkan dengan pembangunan pada bidang
rohani (mental spritual). Akibatnya kemajuan di bidang pembangunan fisik terasa begitu cepat,
munculnya gedung-gedung bertingkat, pusat-pusat perbelanjaan tumbuh dengan pesat, jalan-jalan
baru dibangun, dan berbagai pasilitas lainnya tersedia dimana-mana.
Pembangunan di bidang fisik itu tentu saja membawa dampak positif bagi kehidupan
masyarakat seperti berbagai kemudahan-kemudahan dalam mengakses setiap kebutuhan. Namun
demikian berbagai permasalahan umat juga mengalami perkembangan yang luar biasa baik dari
kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini disebabkan karena pembangunan mental spritual tidak
mendapatkan porsi yang seimbang dengan pembangunan pisik yang justru merupakan hakekat dari
pembangunan itu sendiri.
Situasi seperti itu terjadi karena terdapat kesalahan paradigma dalam melihat kemajuan suatu
bangsa atau masyarakat. Kemajuan sesuatu seringkali diindikasikan dengan kemajuan fisik seperti,
banyaknya gedung bertingkat, alat transportasi yang lengkap, sarana komunikasi modern dan
sebagainya. Masih jarang terdengar bahwa kemajuan suatu bangsa atau masyarakat berdasarkan
pada kurangnya tindakan kriminal, norma-norma agama dan masyarakat berjalan dengan baik
serta berbagai aspek moralitas lainnya.8

8
Mubyarto, Agama Kemiskinan dan Ilmu Ekonomi dalam Sudjangi (ed.), Agama dan Masyarakat (Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama, 1993), 115
Problema Akhlak
Sebagai makhluk yang sempurna maka manusia dilengkapi dengan suatu tabiat yang
berbentuk dua kekuatan yaitu amarah dan syahwat (keinginan). Dua kekuatan inilah yang
menentukan akhlak dan sifat manusia.15 Dengan kekuatan syahwat, seseorang akan mencari
segala sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri guna untuk mempertahankan hidup dan
berketurunan. Sedang dengan kekuatan amarah, ia dapat menolak segala bahaya yang mengancam
keselamatan dan keamanan dirinya. Kekuatan terakhir ini pada dasarnya merupakan bagian dari
kekuatan pertama walaupun substansi masing-masing berlainan. Itulah sebabnya manusia saling
berebut kepentingan di dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka dikuasai oleh dua kekuatan ini
dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Sebagai konsekuensinya tampaklah apa yang
dinamakan dengan akhlak dan sifat-sifat yang diantaranya ada yang merupakan warisan dan ada
pula yang perolehan.16 Persoalan moralitas merupakan hal yang sangat menonjol di era globalisasi
ini terutama dikalangan remaja.17 Remaja sebagai bagian dari perjalanan umur kehidupan
seseorang, tentunya mempunyai kebutuhan dan keinginan yang harus terpenuhi. Kebutuhan itu
seringkali menjadi sumber timbulnya berbagai problema dalam diri dalam rangka penyesuain
terhadap lingkungannya.9
RADIKALISME DALAM TATARAN SOSIAL
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, secara formal sosiologi mepelajari hubungannya
dengan masyarakat, proses sosial, dan ketentuan-ketentuan sosial, struktur sosial, kelangsungan
hidup dari kelompok sosial (apakah unsur-unsur pengawasan sosial yang menjamin kelangsungan
hidup kelompok/ masyarakat, serta bagaimanakah individu paling efektif diawasi oleh
masyarakat), serta perubahan-perubahan sosial (social change) sebagai objek formalnya.10
Karena sifatnya yang nomografis, 20 pembicaraan radikalisme dalam perspektif sosiologi
berbeda jika dibandingkan pembicaraan radikalisme dalam ilmu politik, yang hanya bertujuan
mendeskripsikan dan menjelaskan objek yang sedang diamati, dan tidak bermaksud untuk
menyusun suatu kerangka teori guna dijadikan alat atau kerangka bertindak bagi keperluan dan
kepentingan praktis sebagaimana yang dipahami oleh ilmu politik11

9
Mustafa al-Adawy, Fiqh al- Akhlâk wa al-Mu`âmalât baina al-Mu`minîn diterjemahkan oleh Salim Bazemool dan
Taufiq Damas dengan judul Fikih Akhlak (Jakarta: Qisthi Press, 2006), h. 342.
10
Margaret Silson Vine, Sociological Theory, An Introduction, Dalam Astrid S. Susanto. h. 6.
11
James M. Henslin. Social Problems.Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.Second Edition 1990. h 154-155.
Ada dua pendekatan utama dalam memahami radikalisme dari sisi Sosiologi, yaitu
perspektif fungsionalisme (functionalist theory), masyarakat dilihat sebagai bentuk keteraturan
(order) yang terdiri dari berbagai elemen yang saling bersinergi antara satu dengan lainnya, guna
menciptakan keseimbangan (equilibrium). Emile Durkheim adalah salah satu pemikir yang dapat
digolongkan sebagai fungsionalis, dan sumbangan pemikirannya terhadap radikalisme (violence)
adalah diintrodusirnya konsep anomi, suatu konsep sosiologi yang oleh Emile Durkheim guna
menjelaskan kondisi psikologi yang merasa asing (estranged) sebagai akibat tercabutnya atau
hilangnya rasa kemanusian dalam ranah kehidupan (uprooted), dan ekonomi menurut Emile
Durkheim adalah penyebab yang bisa menimbulkan kondisi anomi tersebut. Melalui pendekatan
ini radikalisme dipahami sebagai akibat dari perubahan sosial ekonomi yang tidak diikuti dengan
perubahan regulasi sehingga timbul ketimpangan dimasyarakat dlam menghadapi kondisi
tersebut12.
Ketika nilai yang hendak diperoleh dalam masyarakat tidak memiliki ketersediaan sarana
dalam proses pencapaian tujuan, maka berbentuk penyimpangan dari keteraturan akan muncul,
misalnya dalam hal ini radikalisme, sehingga radikalisme merupakan bentuk respon yang alamiah
terhadap situasi yang ada.Perhatian lain dari Robert K. Merton sehubungan dengan berbagai
institusi sosial yang ada dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan fungsi institusi,
adalah dikembangkannya istilah fungsi manifes (Manifest Functions) dan fungsi laten (Latent
Functions).Fungsi manifes mengacu pada fungsi yang memang dikehendaki sedangkan fungsi
laten adalah fungsi yang tidak dikehendaki dari penciptaan suatu sistem atau institusi sosial dalam
masyarakat. Berbeda dengan asumsi dan proposisi fungsionalisme, teori konflik terbangun dalam
rangka menantang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural dan Dahrendorf dinilai
sebagai tokoh utama teori konflik ini.13

SOLUSI ISLAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL


Kemajuan bidang teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, serta makin
menonjolnya kepentingan ekonomi dan perdagangan yang telah mendorong terwujudnya
globalisasi, memberi peluang terjadinya infiltrasi budaya Barat sebagai ukuran tata nilai dunia.
Tidak jarang terjadi, demi kepentingan ekonomi, suatu negara terpaksa menerima masuknya

12
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Alimandan-Penyadur, (Jakarta: Penerbit PT.
Raja Grafindo Persada, cet ke-4, 2003), h. 21
13
Robert K. Merton, On Theoritical Sociology, (New York: The Pree Pres, 1967), h 114-115.
budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi negara itu sendiri dan berakibat
pada pola pikir dan pola tindak yang ditandai dengan pemikiran Negara Federasi, menurun-nya
rasa sosial dan semangat ke-bhinekaan yang mengarah pada disintegrasi bangsa dan pelanggaran
hukum serta pola hidup individualisme dan konsumerisme yang bertentangan dengan pola hidup
sederhana dan semua itu bertentangan dengan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia yang digali
dari Pancasila.

Sebagai umat Islam dalam menilai modern jangan dilihat dari segi modern pakaiannya,
perhiasan, dan penampilannya saja. Tetapi modern bagi umat Islam adalah modern dari segi
pemikirannya, tingkah laku, ilmu pengetahuan, teknologi, dsb. Yang dijiwai akhlakul karimah,
serta terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera dalam naungan ridha Allah SWT.14

Untuk itu, kita sebagai umat Islam tidak boleh lengah dalam mengahadapi masalah
modernisasi dan globalisasi ini. Dengan memberi landasan dan tidak mengabaikan agama (Islam)
tanpa harus menghilangkan secara radikal nilai-nilai budaya, agama mempunyai peran besar dalam
membangun Sumber Daya Manusia yang berkualitas tanpa harus selalu bergantung pada pola
kehidupan Barat dan berperan dalam membangun moral yang baik.

Organisasi-organisasi Islam hendaknya diisi dua hal yaitu, disamping pembinaan keimanan
dan ketaqwaan juga perlu mendapatkanperhatian untuk diisi peningkatan produktivitas,
komunikasi yang berkaitan dengan kemajuan ekonomi, kemajuan dan perkembangan IPTEK, serta
masalah sosial, hukum budaya, politik dan lainya. Untuk menghasilkan SDM yang berkualitas,
setiap individu harus memiliki landasan dan kemampuan yang meliputi perilaku, kerja keras
disiplin, tanggung jawab dapat dipercaya dan sejenisnya dengan berpedoman pada ajaran Al-
Qur’an dan Hadit’s.

Isu seputar globalisasi mulai marak sekitar dekade 1990- an, masa ini sering disebut dengan
zaman globalisasi atau the age of globalization. Era pasar bebas (free trade) yang tidak lagi dibatasi
dengan sekat-sekat geografi, budaya, dan ideologi politik sebuah negara, seolah sudah menjadi
suatu kepastian yang harus terjadi. Masalah globalisasi juga berkaitan dengan persoalan sosial,
budaya, agama, politik.15

14
Mohammad Arif, INDIVIDUALISME GLOBAL DI INDONESIA (Studi Tentang Gaya Hidup Individualis Masyarakat
Indonesia Di Era Global). KEDIRI:STAIN KEDIRI PRESS. 2015, hlm. 15
15
Khusnul Khotimah, “Islam Dan Globalisasi: Sebuah Pandangan Tentang Universalitas Islam”, Komunika, no. 1
Januari-Juni 2009, hlm 1
C. PENUTUP
Indonesia merupakan salah satu negara yang pluralis bukan hanya dari segi agama
semata namun dari adat istiadat, suku bangsa, ras bahkan budaya. Sebagai konsekuensi dari
penerimaannya terhadap agama-agama yang beragam, bangsa Indonesia, seperti yang telah
disinggung terdahulu, sesekali harus menghadapi perselisihan. Karenanya mereka dituntut
untuk terus menerus mencari upaya dalam menciptakan kerukunan dan harmoni yang menjadi
syarat persatuan bangsa.
Mengetahui dinamika internasional yang semakin disrupsi, perlu ada kesadaran moral
serta kebijakan yang mampu menjaga umat islam di dunia tetap aman dalam bingkai islam
moderat, islam yang mampu menjaga semua golongan, islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Kita dapat menilai bahwa sesungguhnya masalah-masalah yang menyangkut hubungan
antar umat beragama bukan problem yang terjadi dengan sendirinya tetapi erat juga kaitannya
dengan kondisi politik, sosial dan ekonomi. Di Indonesia perbedaan agama merupakan salah
satu keragaman bangsa. Karena agama memiliki nilai-nilai yang sakral, maka agama dapat
menguasai kesadaran dan emosi para pemeluknya yang jika terusik maka akan melahirkan
konflik yang jika tidak cepat diatasi maka akan menimbulkan tindakan-tindakan radikalisme.
Pemerintah di tuntut bersikap netral dalam arti tidak memihak agama manapun. Oleh sebab
itu, perlu secara berkala mengadakan dialog dan musyawarah antarumat beragama,
menetapkan peraturanperaturan tentang hubungan antarumat beragama serta yang terpenting
sebenarnya adalah dengan memahami teks-teks agama bukan hanya interpretasi secara tekstual
saja tetapi diperlukan juga interpretasi kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), h. 2

M. Nasir, Kapita Selekta (Bandung: NU Penerbitan W.Van Hoeve, tp,th), h. 4

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 5

Ali Muhammad Muhammad ash-Shalabî, al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân, (Kairo: Maktabat at


Tâbi’in, 1422/2001), cet. ke-1, h. 13-15.

Al-Qaradhawi, al-Khashâish al-‘Ammah li al-Islâm, h. 127

Al-Qardhawi, Al-Khashâish al-‘Âmmah li al-Islâm, h. 131-134.

John M. Echols dan Hasan Shadily, An English-Indonesiam Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005), cet. ke-26, h. 384. L

Mustafa al-Adawy, Fiqh al- Akhlâk wa al-Mu`âmalât baina al-Mu`minîn diterjemahkan oleh
Salim Bazemool dan Taufiq Damas dengan judul Fikih Akhlak (Jakarta: Qisthi Press, 2006), h.
342.

Margaret Silson Vine, Sociological Theory, An Introduction, Dalam Astrid S. Susanto. h. 6.

James M. Henslin. Social Problems.Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.Second Edition
1990. h 154-155.

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Alimandan-Penyadur,


(Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, cet ke-4, 2003), h. 21

Robert K. Merton, On Theoritical Sociology, (New York: The Pree Pres, 1967), h 114-115.

Mohammad Arif, INDIVIDUALISME GLOBAL DI INDONESIA (Studi Tentang Gaya Hidup


Individualis Masyarakat Indonesia Di Era Global). KEDIRI:STAIN KEDIRI PRESS. 2015, hlm.
15

Khusnul Khotimah, “Islam Dan Globalisasi: Sebuah Pandangan Tentang Universalitas Islam”,
Komunika, no. 1 Januari-Juni 2009, hlm 1

Anda mungkin juga menyukai