Adoc - Pub - Modifikasi Statistik Getis Lokal Pada Matriks Pemb

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 107

i

MODIFIKASI STATISTIK GETIS LOKAL PADA MATRIKS


PEMBOBOT AMOEBA UNTUK MODEL PANEL SPASIAL
DAN KAJIAN PERFORMANYA

JAJANG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Modifikasi Statistik


Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan
Kajian Performanya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Jajang
NIM G161090031
iv
v

RINGKASAN
JAJANG. Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA
untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya. Dibimbing oleh ASEP
SAEFUDDIN, I WAYAN MANGKU dan HERMANTO SIREGAR.
Model regresi klasik mengasumsikan antar objek tidak ada interaksi. Pada
beberapa kasus, asumsi tersebut adakalanya tidak terpenuhi sehingga perlu dicari
alternatif pemecahan yang dapat mengakomodasi adanya pengaruh interaksi.
Model spasial merupakan model yang dapat mengakomodasi pengaruh interaksi
melalui penambahan komponen spasial di ruas kanan model yang
direpresentasikan oleh matriks pembobot spasial.
Umumnya matriks pembobot spasial menggunakan konsep kedekatan
antar unit spasial, tanpa melibatkan kemiripan peubah yang menjadi perhatian.
Sebuah cara lain untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial adalah
menggunakan prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh Aldstadt dan Getis.
Dalam prosedur ini setiap elemen matriks, selain ditentukan oleh hubungan
kedekatan, juga ditentukan oleh kemiripan antar peubah menggunakan statistik
Getis lokal. Getis dan Ord telah mengklaim bahwa statistik Getis lokal
berdistribusi normal. Akan tetapi hasil uji secara empiris melalui kurva normal
menunjukkan bahwa kenormalan statistik Getis lokal dipengaruhi oleh peubah
yang menjadi perhatian (peubah asal). Berdasarkan hal ini maka dilakukan
modifikasi terhadap statistik Getis lokal sehingga diperoleh statistik Getis yang
kekar (robust). Melalui metode transformasi peubah asal ke penduga distribusi
sebaran kumulatif diperoleh statistik Getis termodifikasi, katakanlah Gnew, yang
robust artinya Gnew berdistribusi normal untuk sembarang peubah asal.
Untuk mengevaluasi statistik Getis lokal dan Getis lokal termodifikasi,
keduanya diterapkan pada AMOEBA untuk mengkonstruksi matriks pembobot,
katakanlah WG dan WGnew. Di samping itu dibandingkan pula kedua matriks
tersebut dengan matriks kontiguitas (WC). Model yang digunakan untuk
membandingkan ketiga matriks pembobot spasial adalah model yang dispesifikasi
oleh Cizek. Dengan menggunakan data simulasi dan kriteria akar kuadrat tengah
galat relatif diperoleh bahwa WGnew memberikan performa paling baik.
Berikutnya adalah mengevaluasi performa matriks pada kasus data riil. Studi
kasus yang diambil dalam penelitian ini terkait dengan masalah kemiskinan di
Provinsi Jawa Tengah.
Kemiskinan merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian baik di
tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jawa Tengah merupakan
provinsi dengan jumlah penduduk miskin kedua terbesar di Indonesia. Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan, beberapa di antaranya adalah
PDRB perkapita, populasi, pendidikan, share tenaga kerja pertanian, share tenaga
kerja industri, share tenaga kerja perdagangan dan share tenaga kerja jasa (empat
sektor dominan). Konsentrasi penelitian ini adalah mengkaji pengaruh tenaga
kerja lulusan SMP ke bawah, populasi penduduk, PDRB perkapita, dan share
tenaga kerja empat sektor dominan terhadap jumlah penduduk miskin dengan
menggunakan model panel spasial. Data yang digunakan untuk pemodelan data
dari tahun 2007 sampai 2011 yang diperoleh dari BPS pusat dan BPS Jawa
Tengah dari tahun 2008 sampai 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kenaikan populasi penduduk, jumlah pakerja yang tamat SMP, dan share tenaga
vi

kerja pertanian dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Sedangkan


kenaikan jumlah share tenaga kerja industri, perdagangan, jasa dan PDRB per
kapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan temuan-temuan
pada penelitian ini, terdapat beberapa cara untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin, diantaralnya adalah pengendalian populasi penduduk melalui keluarga
berencana (program KB), peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan,
perluasan lapangan usaha sektor industri, perdagangan dan jasa.
Kata-kata kunci: kemiskinan, PDRB perkapita, permutasi acak, statistik Getis
lokal, statistik Getis lokal termodifikasi.
vii

SUMMARY
JAJANG. Modified Local Getis Statistic on AMOEBA Weights Matrix for
Spatial Panel Model and Its Performance. Supervised by ASEP SAEFUDDIN, I
WAYAN MANGKU and HERMANTO SIREGAR.
Classical regression model assumes that no interaction between objects.
However, in some cases these conditions are not hold so we have to find an
alternative solution that can accommodate the interaction effect. Spatial model is
a model that can accommodate the interaction effect by adding a spatial
component in the right hand side that represented by a spatial weights matrix.
Generally, spatial weighted matrix uses closeness concept among the
units, without include the proximity of interest variables. Another way to
construct a spatial weights matrix is to use AMOEBA procedure introduced by
Aldstadt and Getis. In this procedure, each element of the matrix, beside is
determined by the closeness relationship, also determined by proximity among
variables using local Getis statistics. Getis and Ord have claimed that the statistic
is normally distributed. However, empirically, normal curve test shows that
normality of local Getis statistic is influenced by variable of interest (original
variable). Due to this reason, we propose a modification of local Getis statistic,
namely Gnew, which gives a robust result. A modification of local Getis statistics
by transforming ܺ௜ to ‫ܨ‬෠௡ (‫ݔ‬௝ ) gives a robust result, that is, it has normal
distribution for any distribution of Xj.
To assess local Getis and modified local Getis statistics, they are applied
on AMOEBA procedure to create weights matrix, namely WG and WGnew. We
compare them with contiguity matrix (WC). The model that used for comparison
is spatial dynamic panel model with respect to Cizek. By using simulated data and
root mean square error relative criteria, it is found that WGnew gives the best
performance. In the next stage, we evaluate spatial matrix performance in model
to real data, whereas in this case, we take poverty issue in Center Java Province.
Poverty is one of the issues of concern at both the central and local
government. Central Java was the province with the second largest number of
poor people in Indonesia. There are many factors that influence poverty, some of
them are GDP per capita, population, education, share of agriculture labor, share
of industry labor, share of trading labor and share of services labor (four dominant
sectors). Focus of this research is to study influence of labor of junior high school
graduates, population, GDP per capita and the share of labor in four dominant
sectors to the number of poor people using spatial panel model. Sources of data
for modeling obtained from central BPS and Center Java BPS from 2008 to 2012.
The research results show that an increase in population, labor of junior high
school graduates and share of agricultural labor can increase the number of poor
people. Meanwhile the increase in labor share of industry, trade and service
sectors and GDP per capita can decrease the number of poor people. Based on
these findings, there are several ways to reduce the number of poor people, such
as to control population by family planning program (KB program), improving
quality of human resources, expand some business, especially in sectors of
industry, trading and services.
Keywords: poverty, PDB per capita, random permutation, local Getis statistic,
modified local Getis statistic.
viii

 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix

MODIFIKASI STATISTIK GETIS LOKAL PADA MATRIKS


PEMBOBOT AMOEBA UNTUK MODEL PANEL SPASIAL
DAN KAJIAN PERFORMANYA

JAJANG

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada
Program Studi Statistika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
x

Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup: 1. Dr. Anang Kurnia, S.Si, M.Si
2. Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS

Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka: 1. Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc
2. Prof. Dr. Ir Noer Azam Achsani, M.Sc
xi

Judul Disertasi : Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot


AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya
Nama : Jajang
NIM : G161090031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Statistika

Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


Judul Disertasi Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot
AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya
Nama Jajang
NIM G161090031
..

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Jr. Asep Saefuddin, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc


~
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi


Statistika

Dr. Jr. Aji Hamim Wigena, M.Sc

Tanggal Ujian : D 5 MAR 2014 Tanggal Lulus :


1 3 MAR 2014
xii
xiii

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


yang dengan kehendak-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi
ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi Doktor
di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian disertasi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc, Prof. Dr. Ir. I Wayan
Mangku, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec atas curahan waktu dan
ilmunya dalam membimbing, memberikan arahan, masukan dan motivasi yang
sangat berarti dalam penyelesaian disertasi ini.
Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Dr. Ir. Aji Hamim Wigena,
M.Sc selaku ketua Program Studi Statistika, Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc, selaku
wakil dekan MIPA yang menjadi pimpinan sidang tertutup, Dr. Ir. Sri Nurdiati,
M.Sc selaku dekan MIPA yang menjadi pimpinan sidang terbuka, Prof. Dr. Ir.
Marimin, M.Sc selaku Sekretaris Program Doktor, Dr. Anang Kurnia, S.Si, M.Si
dan Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS sebagai penguji pada sidang tertutup atas berbagai
saran dan masukannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.
Hamonangan Ritonga, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.Sc atas
kesediaannya meluangkan waktu dan bersedia menjadi penguji luar komisi pada
siding terbuka.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak dan Ibu Dosen di
Departemen Statistika atas curahan ilmunya selama serta rekan-rekan S2/S3
Statistika atas diskusi dan kerjasamanya selama ini. Pada kesempatan ini penulis
juga menghaturkan terima kasih kepada Bapak Heriawan atas segala bantuannya,
serta staf administrasi di departemen statistika dan pasca atas kelancaran
pelayanan dalam penyelesaian disertasi ini.
Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada pimpinan di Universitas
Jenderal Soedirman atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
melanjutkan studi, serta rekan-rekan sejawat Program Studi Matematika
Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan motivasi dalam
penyelesaian disertasi ini.
Rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan untuk orang tua atas
kasih sayang dan do’anya, juga saudara-saudara serta Pak Muh. Nusrang atas
segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk istri dan
anak-anakku tercinta atas do’a, motivasi, kasih-sayang dan pengorbanannya
selama penyelesaian disertasi ini.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapan penulis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Maret 2014

Jajang
xiv
xv

DAFTAR ISI
xvi
xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Pembandingan RMSER dari model dengan WC, WG dan WGnew 48
Tabel 5.1 Peubah–peubah penelitian, keterangan dan satuan ...................... 58
Tabel 5.2 Korelasi antar peubah ................................................................... 62
Tabel 5.3 Analisis ragam model panel spasial dinamis (WC) sebelum
dilakukan PCA (GMM3) .............................................................. 63
Tabel 5.4 Perbandingan R2 model panel spasial dinamis dan model panel
dinamis .......................................................................................... 66
Tabel 5.5 Analisis ragam model panel spasial dinamis dengan matriks
WGnew .......................................................................................... 67
Tabel 5.6 Banyaknya salah klasifikasi tahun 2007 sampai tahun 2011 dari
model dengan matriks WC, WG dan WGnew ............................... 70

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi hubungan k ketetanggaan terdekat. ............................ 11
Gambar 2.2 Fungsi pembobot (wij) jarak radial. ......................................... 12
Gambar 2.3 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat α=1. .............................. 12
Gambar 2.4 Fungsi pembobot (wij) jarak eksponensial α=1. ...................... 13
Gambar 2.5 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat ganda ............................. 13
Gambar 2.6 Ilustrasi matriks kontiguitas tipe rook (b), bishop (c) dan queen (d)
dari unit-unit spasial (a) yang bertetangga terhadap F ............ 14
Gambar 2.7 Ilustrasi ecotope pada tahap pertama. ...................................... 16
Gambar 2.8 Ilustrasi ecotope pada tahap kedua. ......................................... 16
Gambar 2.9 Ecotope hasil tahap ketiga (a) dan kelima (b). ......................... 17
Gambar 2.10 Tipe matriks pembobot spasial menurut Stakhovych dan
Bijmolt (2008). ......................................................................... 19

Gambar 3.1 Kurva ‫ܩ‬௜ kasus ܺ௜ ~‫(ܽ݉݉ܽܩ‬1,4) N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 28

Gambar 3.2 Kurva ‫ܩ‬௡௘௪(௜) kasus ܺ௜ ~‫(ܽ݉݉ܽܩ‬1,4), N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 30
∗ ଶ
Gambar 3.3 Kurva ‫ܩ‬௡௘௪(௜) kasusܺ௜ ~߯(ସ) , N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 30

Gambar 3.4 Kurva ‫ܩ‬௡௘௪(௜) kasusܺ௜ ~‫(ܨ‬1,2), N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 31
Gambar 4.1 Bagan alir metode penentuan performa matriks pembobot
terbaik ....................................................................................... 45
Gambar 4.2 Plot jumlah simulasi dan RMSER untuk WC, WG dan WGnew 47
Gambar 4.3 Diagram batang RMSER untuk variasi δ pada T=7. ................ 49
Gambar 5.1 Pola persebaran jumlah penduduk miskin tahun 2007
sampai 2011 ............................................................................ 59
Gambar 5.2 Pola persebaran persentase penduduk miskin tahun 2007
sampai 2011 ............................................................................. 60
Gambar 5.3 Plot penduduk miskin (Y) dan interaksi spasialnya (WY). ....... 64
Gambar 5.4 Model dengan variasi matriks pembobot spasial ..................... 65
Gambar 5.5 Hubungan kemiskinan dan faktor yang mempengaruhinya..... 68
xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Bukti nilai harapan dan ragam statistik Getis lokal.................. 87


Lampiran 2. Peta Provinsi Jawa Tengah ...................................................... 88
Lampiran 3. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis).. 89
Lampiran 4. Model panel spasial dinamis PCA matriks peragam
GMM1 (ρ=0) .......................................................................... 90
Lampiran 5. Model panel spasial dinamis PCA matriks peragam GMM3 ... 91
Lampiran 6. Model panel spasial dinamis PCA matriks korelasi
GMM1 (ρ=0) .......................................................................... 92
Lampiran 7. Model panel spasial dinamis PCA matriks korelasi GMM3 .... 93
Lampiran 8. Grafik plot Yt vs Ytmin dan plot tebaran pengaruh tetap serta
sisaan dari model dinamis yang menggunakan matriks WC .... 94
Lampiran 9. Grafik plot Yt vs Ytmin dan plot tebaran pengaruh tetap serta
sisaan dari model dinamis yang menggunakan matriks WG .... 95
Lampiran 10. Grafik plot Yt vs Ytmin dan plot tebaran pengaruh tetap serta
sisaan dari model dinamis yang menggunakan matriks WGnew 96
Lampiran 11. Pengujian finite fourth moments pengaruh spesifik dan finite
variance sisaan melalui deteksi dengan kurva sebaran spesifik 97
Lampiran 12. Model panel spasial statis untuk PC matriks peragam ............. 98
Lampiran 13. Plot tebaran pengaruh tetap, sisaan dan dugaan dari ketiga
matriks pembobot spasial untuk model statis........................... 99
Lampiran 14. Tabel keakuratan model dalam menduga jumlah penduduk
miskin menggunakan matriks WC ........................................... 101
Lampiran 15. Tabel keakuratan model dalam menduga jumlah penduduk
miskin menggunakan matriks WG ........................................... 102
Lampiran 16. Tabel keakuratan model dalam menduga jumlah penduduk
miskin menggunakan matriks WGnew ..................................... 103
Lampiran 17. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan
dugaan tahun 2007 .................................................................. 104
Lampiran 18. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan
dugaan tahun 2008 .................................................................. 105
Lampiran 19. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan
dugaan tahun 2009 .................................................................. 106
Lampiran 20. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan
dugaan tahun 2010 .................................................................. 107
Lampiran 21. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan
dugaan tahun 2011 .................................................................. 108
xix

DAFTAR NOTASI DAN ISTILAH

AMOEBA : Prosedur penggerombolan (clustering) unit-unit spasial


menggunakan statistik autokorelasi local
DIFF-GMM : Metode GMM yang didasarkan kondisi momen pada
difference equation.
Ecotope : Kumpulan unit-unit spasial berkarakteristik mirip
berdasarkan statistik autokorelasi local hasil prosedur
AMOEBA.
Endogenous : Peubah penjelas yang berkorelasi dengan galat atau sisaan
Galat : Sisaan, error
Gerombol : Cluster
Gnew : Statistik Getis lokal hasil modifikasi
GMM : Generalized Method of Moments, metode penduga parameter
yang didasarkan pada kondisi-kondisi momen
MLE : Maximum Likelihood Estimation
QML : Quasi Maximum Likelihood
Robust : Kekar, tidak terpengaruh oleh tipe sebaran peubah asal
RMSER : Ukuran akurasi model yang terkoreksi oleh rata-rata peubah
tak bebas
SAR : Spatial Autoregression
SEM : Spatial Error Model
SLM : Spatial Lag Model
SYS-GMM : Metode GMM yang didasarkan gabungan kondisi momen
pada level equation dan difference equation.
WC : Matriks pembobot yang didasarkan pada hubungan
kedekatan (contiguity)
WG : Matriks pembobot hasi prosedur AMOEBA yang
menggunakan statistik Getis lokal standar
WGnew : Matriks pembobot hasi prosedur AMOEBA yang
menggunakan statistik Getis lokal termodifikasi
xv

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii


DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviii
DAFTAR NOTASI DAN ISTILAH................................................................ xix

1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 4
Kebaruan ............................................................................................................. 5

2 REVIEW DATA PANEL SPASIAL, MATRIKS PEMBOBOT SPASIAL


DAN PENDUGA GMM ..................................................................................... 6
2.1 Data Panel ..................................................................................................... 6
2.2 Data Spasial ................................................................................................... 6
2.3 Autokorelasi Spasial...................................................................................... 8
2.4 Matriks Pembobot Spasial............................................................................. 9
2.4.1 Matriks Pembobot Berdasarkan Kedekatan Geografis.......................... 10
2.4.2 Matriks Pembobot Berdasarkan Perilaku Data...................................... 15
2.4.3 Matriks Pembobot Berdasarkan Pendugaan .......................................... 18
2.5 Metode GMM ............................................................................................ 18
2.5.1 Pengantar Metode GMM ....................................................................... 18
2.5.2 Metode DIFF GMM dan SYS-GMM .................................................... 20

3 KENORMALAN ASIMTOTIK STATISTIK GETIS LOKAL


TERMODIFIKASI............................................................................................ 24
3.1 Pendahuluan ................................................................................................ 24
3.2 Statistik Getis lokal ..................................................................................... 24
3.3 Teorema Limit Pusat ................................................................................... 25
3.4 Data dan Metode ......................................................................................... 26
3.5 Hasil dan Pembahasan................................................................................. 27
3.5.1 Sebaran Empiris Statistik Getis lokal .................................................... 27
3.5.2 Modifikasi Statistik Getis Lokal ........................................................... 28
3.5.3 Sebaran Empiris Statistik Getis Lokal Termodifikasi ........................... 29
3.5.4 Sebaran Limit Statistik Getis Lokal Termodifikasi ............................... 31
3.6 Simpulan ..................................................................................................... 35
xvi

4 PERBANDINGAN PERFORMA W-GETIS DAN W-GETIS YANG


DIMODIFIKASI PADA MODEL PANEL SPASIAL DINAMIS ................... 36
4.1 Pendahuluan ................................................................................................ 36
4.2 Matriks Pembobot Prosedur AMOEBA ..................................................... 37
4.3 Pemodelan Data Panel Spasial .................................................................... 37
4.3.1 Spatial Lag Model (SLM) ..................................................................... 38
4.3.2 Spatial Error Model (SEM) ................................................................... 39
4.4 Model SLM-SEM Dinamis ......................................................................... 39
4.5 Pendugaan Parameter Model Panel Spasial Dinamis dengan SYS-GMM . 40
4.6 Data dan Metode ......................................................................................... 44
4.7 Hasil dan Pembahasan................................................................................. 46
4.8 Simpulan ..................................................................................................... 50

5 PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH


PENDUDUK MISKIN DI PROVINSI JAWA TENGAH ............................... 51
5.1 Pendahuluan ................................................................................................ 51
5.2 Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Jawa Tengah ........................ 52
5.3 Kemiskinan dan PDRB Provinsi Jawa Tengah ........................................... 53
5.4 Spesifikasi Model dan Uji Hipotesis Parameter Model .............................. 54
5.5 Kestasioneran Model Panel Spasial Dinamis.............................................. 56
5.6 Analisis Komponen Utama ......................................................................... 56
5.7 Data dan Metode ......................................................................................... 57
5.8 Hasil dan Pembahasan................................................................................. 58
5.8.1 Deskripsi Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin 58
5.8.2 Analisis Korelasi ................................................................................... 62
5.8.3 Model Panel Spasial Dinamis ................................................................ 63
5.8.4 Model Panel Spasial Statis .................................................................... 69
5.9 Simpulan dan Implikasi Kebijakan ............................................................. 70
5.9.1 Simpulan ................................................................................................ 70
5.9.2 Implikasi Kebijakan............................................................................... 71

6 PEMBAHASAN UMUM .................................................................................. 73

7 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 79

LAMPIRAN........................................................................................................... 85
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Model-model klasik pada umumnya mengasumsikan bahwa antar objek atau
individu pengamatan saling bebas. Model–model klasik tersebut tentunya tidak
relevan ketika dihadapkan pada data yang tidak saling bebas. Sebuah kasus
terjadinya wabah penyakit menular di suatu wilayah, selain dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung di wilayah tersebut, dipengaruhi
pula oleh wilayah tetangga di sekitarnya. Dengan demikian hasil pengamatan
jumlah orang yang terkena penyakit tersebut adalah tidak bebas. Sebuah ilustrasi
lain dalam bidang ekonomi, misalnya dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah
umumnya terdapat interaksi, artinya bahwa ketika suatu daerah mengalami
pertumbuhan umumnya berdampak pada pertumbuhan di daerah tetangganya.
Hasil pengamatan dari dua ilustrasi tersebut merupakan contoh dari data yang
tidak saling bebas yang disebut data yang berautokorelasi secara spasial. Menurut
Getis (2008) konsep autokorelasi spasial dapat dipandang sebagai kasus khusus
dari korelasi. Autokorelasi spasial merupakan korelasi dalam peubah-peubah
antar georeferenced space.
Data spasial adalah pengamatan dari sebuah proses stokastik yang berindeks
himpunan spasial, dimana himpunan spasial tersebut dapat berdimensi satu atau
lebih (Cressie, 1993; Gaetan dan Guyon, 2010). Hubungan spasial atau
autokorelasi spasial berkaitan dengan pola tak acak dari nilai-nilai atribut atas
himpunan unit-unit spasial (Ord dan Getis, 2001). Pemodelan untuk data spasial
cukup banyak digunakan, antara lain dalam bidang geografi, epidemiologi,
ekonomi, ekonometrika, sosioekonomi dan lain-lain. Model linier spasial telah
banyak digunakan dalam bidang ilmu ekonomi, geografi, ilmu regional (Kelejian
dan Prucha, 2007). Dalam bidang ekonometrika, pemodelan ketakbebasan spasial
(spatial dependent) cukup berkembang terutama yang mencakup pemodelan pada
data panel spasial. Dalam kasus pemodelan pertumbuhan ekonomi, untuk
meningkatkan keakurasian model atau keputusan, selain memperhatikan aspek
spasial, umumnya pengamatan dilakukan secara berkesinambungan, misalnya dari
tahun ke tahun. Dengan pengamatan yang berkesinambungan ini diharapkan akan
diperoleh informasi yang lebih baik karena pada data yang diperoleh selain
diamati keterkaitan antar daerah/wilayah, juga diamati perkembangannya setiap
daerah dari tahun ke tahun secara panel. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan demikian dinamakan data panel spasial. Keunggulan pemodelan data
panel spasial dibandingkan dengan data lain adalah dapat membantu
meningkatkan performa ramalan (Kholodilin et al., 2008). Menurut Baltagi
(2005) salah satu keunggulan data panel spasial adalah mampu secara lebih baik
mengidentifikasi dan mengukur pengaruh yang tidak dapat terdeteksi melalui data
cross sectional murni maupun data deret waktu murni. Pembandingan model
klasik (non spasial) dan model spasial yang telah diteliti oleh Costa-Font dan
Moscone (2008) terhadap pendugaan total pengeluaran untuk kesehatan di
Spanyol, hasilnya menunjukkan bahwa model spasial lebih akurat.
2

Pemodelan pada data yang tidak saling bebas baik dari sisi spasial maupun
waktu memerlukan metode khusus, karena melibatkan pengaruh antar spasial dan
waktu secara bersamaan. Pengaruh beda waktu (time lag) mengacu pada model-
model deret waktu (time series) yang sudah standar, sedangkan untuk melihat
pengaruh spasial melibatkan matriks pembobot spasial. Matriks pembobot spasial
ini mengukur pengaruh keeratan antar unit-unit spasial yang saling berdekatan
(bertetangga). Dalam model spasial, matriks pembobot spasial merupakan
komponen penting dalam kebanyakan model ketika representasi struktur spasial
dibutuhkan (Getis dan Aldstadt, 2004).
Matriks pembobot spasial yang umum digunakan dalam regresi spasial
adalah matriks yang elemennya bernilai nol dan satu yang mengacu pada
kedekatan (contiguity) antar unit spasial. Dalam konsep contiguity elemen
matriks bernilai satu jika antar unit saling berdekatan dan bernilai nol jika tidak
saling berdekatan. Dalam kondisi riil, keterkaitan antar unit spasial tidak cukup
hanya didasarkan pada jauh dekatnya jarak antar unit, tetapi perlu ditinjau dari sisi
lain misalnya karakteristik yang diamati. Salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk mengkonstruksi matriks pembobot adalah dengan melibatkan pada perilaku
datanya itu sendiri (Stakhovych dan Bijmolt, 2008). Liu et al. (2011a) telah
membandingkan model persamaan struktural (MPS) dengan model Spatial
Autoregressive (SAR) yang menggunakan matriks contiguity (WC). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa model SAR dengan WC relatif lebih baik jika
koefisien lag spasial cukup kecil, sementara ketika koefisien tersebut besar MPS
lebih baik. MPS memberikan performa yang stabil dalam variasi bias dan root
mean squared error (RMSE) terhadap perubahan nilai-nilai koefisien autoregresif
(Liu et al., 2011b).
Aldstadt dan Getis (2006) memperkenalkan sebuah teknik untuk
mengkonstruksi matriks pembobot yang disebut prosedur AMOEBA (A
Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm). Dalam prosedur
AMOEBA tersebut, bobot setiap elemen matriks, selain ditentukan oleh
kedekatan antar unit, juga ditentukan oleh kedekatan atribut/peubah melalui
statistik autokorelasi lokal. Statistik autokorelasi lokal yang digunakan dalam
prosedur AMOEBA adalah statistik Getis lokal. Konsep dalam konstruksi
matriks melalui prosedur AMOEBA adalah untuk setiap unit-unit spasial yang
mempunyai kemiripan atribut dan juga berdekatan akan mempunyai bobot yang
relatif lebih besar dibandingkan dengan unit-unit spasial yang mempunyai
kemiripan atribut namun tidak berdekatan. Begitu pula ketika antar unit-unit
spasial saling bersebelahan namun tidak memiliki kemiripan atribut maka akan
mempunyai bobot kecil. Dalam menentukan besar kecilnya bobot elemen
matriks, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan sebaran normal sebagai
pendekatan terhadap statistik Getis lokal sebagaimana yang telah diklaim oleh
Getis dan Ord (1992).
Menurut Getis dan Ord (1992) sebaran statistik Getis lokal (Gi) mengikuti
normal ketika jumlah yang bertetangga tidak terlalu sedikit ataupun tidak terlalu
banyak, tetapi tidak menyebutkan secara spesifik kriteria sedikit dan banyak yang
dimaksudkan tersebut. Kenormalan sebaran statistik Getis lokal perlu dikaji
kembali karena Zhang (2008) telah memberikan sebuah ilustrasi bahwa ketika
peubah yang menjadi perhatian menyebar Gamma, maka kenormalan sebaran
statistik Getis lokal tidak valid. Statistik Gi yang secara luas telah digunakan
3

perlu kehati-hatian dalam penggunaannya karena sering dibandingkan dengan


sebaran normal. Salah satu penerapan statistik Gi adalah dalam mengkonstruksi
matriks pembobot spasial prosedur AMOEBA dalam model Spatial
Autoregressive (SAR) (Aldstadt dan Getis, 2006).
Keberadaan matriks pembobot spasial sangat penting dalam pemodelan
spasial dimana ketakbebasan spasial dapat dimuat oleh kombinasi linier antara
matriks pembobot spasial dan peubah tak bebas yang berada di sisi ruas kanan
model. Munculnya pengaruh lag spasial dalam model tentunya berdampak pada
teknik pendugaan parameter, terutama ketika dikaitkan dengan karakteristik
sisaan model. Oleh karena itu, metode penduga parameter merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian selain spesifikasi model dan konstruksi matriks
pembobot spasial. Penduga parameter model seperti metode kemungkinan
maksimum (Maximum Likelihood, ML) mengasumsikan sebaran sisaan diketahui,
sedangkan dalam metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS)
mengasumsikan bahwa tidak terdapat peubah endogen. Namun demikian, tidak
jarang ditemukan kasus-kasus dimana asumsi-asumsi tersebut tidak terpenuhi.
Oleh karena itu, ketika kasus sebaran sisaan tidak diketahui maka metode ML
tidak relevan, begitu pula ketika terdapat peubah endogen maka metode OLS
tidak relevan. Metode lain yang dapat digunakan untuk menduga parameter
model adalah metode Quasi Maximum Likelihood (QML). Metode QML
prinsipnya hampir sama dengan metode ML yakni didasarkan pada fungsi
kemungkinan (likelihood function) sisaan, namun dalam metode QML sebaran
sisaan tidak perlu diketahui karena fungsi kemungkinan sisaan merupakan
postulat dari fungsi kepekatan sisaan yang sebenarnya. Dengan kata lain metode
ML merupakan kasus khusus dari metode QML ketika sebaran sisaan diketahui
sehingga fungsi kepekatan sisaan yang dipostulatkan merupakan fungsi kepekatan
yang sebenarnya.
Salah satu alternatif dalam menangani kasus-kasus tidak diketahuinya
sebaran sisaan dan adanya peubah endogen adalah menggunakan metode
Generalized Method of Moments (GMM). Metode GMM relatif lebih fleksibel
terhadap kasus-kasus terdapatnya peubah endogen dan sebaran sisaan yang tidak
diketahui. Penduga GMM adalah penduga yang konsisten dan kekar (robust)
terhadap ketidaknormalan (Fingleton, 2008b).
Performa penduga GMM dan Quasi Maximum Likelihood (QML)
menghasilkan penduga ragam asimtotik yang sama, sedangkan ketika sisaan yang
tidak menyebar normal, GMM lebih baik dibandingkan QML (Lee dan Yu, 2010)
maupun ML (Larch dan Walde, 2009). Elhorst (2010) mengklaim bahwa GMM
dapat menangani model ketakbebasan spasial linear yang memuat satu atau lebih
peubah-peubah penjelas endogen. Penduga GMM merupakan penduga yang
konsisten (Fingleton, 2008a; Arrelano, 2003). Beberapa keunggulan penduga
GMM dapat dilihat pada Druska dan Horrace (2004), Wooldridge (2001) dan
Battacharjee dan Holly (2011).
Metode GMM umumnya banyak digunakan dalam kajian-kajian model
ekonomi dan sosial yang melibatkan peubah endogen. Keterlibatan peubah
endogen dalam model akan berdampak pada kondisi momen yang tidak sama
dengan nol sehingga penduga klasik seperti metode kuadrat terkecil tidak relevan.
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian baik di
tingkat nasional ataupun daerah. Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk yang
4

cukup besar, merupakan pulau dengan jumlah penduduk miskin terbesar di


Indonesia. Sementara itu Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2011 merupakan
salah satu provinsi di pulau Jawa dengan jumlah penduduk miskin terbesar kedua,
yaitu 5.11 juta orang di bawah Provinsi Jawa Timur 5.36 juta orang (BPS, 2012).
Namun pada Maret 2013 jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah
menurun menjadi 4.73 juta orang di bawah Provinsi Jawa Timur yaitu 4.77 juta
orang (Berita Resmi Statistik BPS, Juli 2013).
Untuk menerapkan penduga parameter GMM pada model dan evaluasi
matriks pembobot spasial, dalam penelitian ini diambil kasus faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah penduduk miskin. Spesifikasi model yang digunakan
mengacu pada model Cizek et al. (2011) yang merupakan perluasan dari model
Kapoor et al. (2007).

1.2 Tujuan Penelitian


Merujuk pada permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan sebaran empiris dan sebaran analitis statistik Getis local
termodifikasi.
2. Mendapatkan statistik Getis lokal yang memiliki sifat kenormalan yang
kekar (robust) terhadap sebaran peubah asal.
3. Mendapatkan performa matriks pembobot spasial (W) yang baik di antara
W hasil prosedur AMOEBA dan W standar.
4. Mendapatkan model hubungan jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya dan merumuskan implikasi kebijakan dari kasus
yang diambil.

1.3 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini mencakup dua hal, yakni dari segi teoritis dan
praktis. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memunculkan teori
sebaran statistik Getis lokal sehingga dalam penerapan tidak menimbulkan
kesalahan pengambilan keputusan secara statistik. Sedangkan dari segi praktis,
dengan diperolehnya matriks pembobot yang representatif, dapat diperoleh model
yang baik sehingga rumusan implikasi studi kasus dapat dijelaskan dengan akurat.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Secara garis besar penelitian yang dilakukan dalam disertasi terdiri dari tiga
tahap. Tahap pertama adalah mengkaji sebaran statistik Getis lokal. Dalam
banyak aplikasi statistik ini diasumsikan menyebar normal asimtotik. Namun
demikian sebaran statistik ini perlu ditinjau kembali dengan adanya penemuan
hasil kajian Zhang (2008) dimana sebaran statistik ini terkait dengan sebaran
peubah asal. Tujuan dalam tahap pertama adalah mengkonfirmasi sebaran
statistik Getis lokal dan mendapatkan sebaran statistik Getis lokal yang robust
terhadap asumsi sebaran peubah asal.
Kedua menerapkan statistik Getis lokal hasil modifikasi yang diperoleh dari
tahap pertama dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial, dan selanjutnya
diterapkan dalam model. Untuk mengevaluasi performa matriks pembobot spasial
yang dihasilkan, dilakukan pembandingan dengan matriks pembobot standar,
dalam hal ini matriks kontiguitas (contiguity). Tujuan dari tahap kedua adalah
5

untuk mendapatkan matriks pembobot yang baik dalam arti dapat memberikan
ketepatan/akurasi dalam model.
Ketiga adalah menerapkan matriks pembobot spasial yang dihasilkan dari
tahap kedua dengan performa terbaik dalam pemodelan terhadap data riil. Data
yang diambil dalam penelitian adalah jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, termasuk di antaranya adalah faktor interaksi spasial.
Data yang digunakan adalah data tahun 2007 sampai 2011 yang bersumber dari
BPS pusat dan BPS Jawa Tengah tahun 2008 sampai 2012. Tujuan dalam tahap
ketiga adalah mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk
miskin.

Kebaruan
Luasnya penggunaan statistik Getis lokal terutama dalam berbagai bidang
seperti bidang ekonomi, social dan geografi, perlu diimbangi dengan kehandalan
dan kevalidan alat statistik yang digunakan. Terdapatnya perbedaan pendapat
antar peneliti terkait dengan kenormalan statistik Getis lokal memunculkan
masalah yang perlu dikaji kembali. Berdasarkan pada munculnya permasalahan
ini, dikaji bagaimana sebaran statistik Getis lokal melalui pendekatan empiris
sebagai konfirmasi terhadap sebaran statistik Getis lokal tersebut. Dengan
demikian yang menjadi kebaruan (novelty) dalam disertasi ini adalah
memodifikasi statistik Getis lokal sehingga kenormalan asimtotik statistik Getis
lokal kekar (robust) terhadap asumsi sebaran peubah asal.
6

2 REVIEW DATA PANEL SPASIAL, MATRIKS PEMBOBOT SPASIAL


DAN PENDUGA GMM

2.1 Data Panel


Data panel merupakan gabungan amatan cross-section seperti rumah tangga,
negara, perusahaan dan sebagainya atas beberapa periode waktu (Baltagi, 2005).
Menurut Bruderl (2005) data panel merupakan data yang diperoleh dari hasil
pengukuran berulang dari satu atau lebih peubah terhadap satu atau lebih orang
(pengulangan cross-sectional time series). Sebagian besar data panel berasal dari
survey panel, namun dapat pula diperoleh dari survey cross-sectional dengan
restrospective question. Himpunan data longitudinal atau data panel mengikuti
contoh yang diberikan individu dari waktu ke waktu sehingga menyediakan
beberapa pengamatan pada masing-masing individu dalam contoh tersebut. Data
panel memuat amatan berulang atas unit yang sama (misalnya individu-individu,
rumah tangga, perusahaan) yang dikumpulkan atas jumlah periode tertentu
(Verbeek, 2008).
Data panel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan data
cross-section. Beberapa kelebihan tersebut antara lain adalah kemampuan data
panel dalam mengontrol keheterogenan individu yang tidak teramati, dapat
meningkatkan efisiensi penduga. Kelebihan lain dari data panel adalah lebih
informatif, dapat mempelajari dinamika individu dan mampu mengidentifikasi
dan mengukur dampak yang tidak terdeteksi dalam cross-sectional. (Baltagi,
2005; Hsiao, 2003; Bruderl, 2005). Namun demikian di dalam data panel terdapat
beberapa keterbatasan. Beberapa keterbatasan pada data panel antara lain dalam
masalah rancangan dan pengumpulan data, distorsi salah pengukuran
(measurement errors), masalah non respon (penolakan untuk berpartisipasi atau
responden tidak ada di tempat/rumah). Ilustrasi lain dalam masalah keterbatasan data
panel adalah ketika responden mungkin sudah meninggal, atau pindah rumah, atau
menolak setelah mengetahui ada biaya yang harus dikeluarkan dalam menjawab kuisioner
sehingga amatan data panel akan berkurang (Baltagi, 2005).

2.2 Data Spasial


Analisis-analisis statistika umumnya mengasumsikan bahwa amatan-amatan
fenomena diambil di bawah kondisi identik dan setiap amatan diambil secara
bebas dari amatan lainnya (saling bebas), atau sering dinyatakan dengan amatan
identik dan saling bebas (identically independent distribution, iid) (Cressie, 1993).
Independensi atau kebebasan merupakan asumsi yang sangat umum yang
membuat teori-teori statistika dapat diterapkan. Namun demikian model-model
yang memerlukan ketidakbebasan secara statistik sering lebih realistis terjadi di
lapangan. Tidak terpenuhinya kondisi amatan yang identik dan saling bebas data
(kehomogenan data) biasanya dijelaskan atau dideskripsikan dalam model-model
statistika dengan asumsi rata-rata yang tidak konstan. Rata-rata yang digunakan
seringkali diasumsikan merupakan kombinasi linier dari beberapa peubah
penjelas.
7

Data spasial merupakan salah satu terapan proses stokastik dimana realisasi
dari himpunan peubah acaknya bergantung pada indeks (misalnya, indeks bidang,

misalnya indeks waktu, proses stokastik  ,  ∈  adalah koleksi peubah acak,
ruang atau waktu) (Gaetan dan Guyon, 2010). Pada kasus indeks berdimensi satu,

yakni untuk setiap t anggota himpunan indeks T,  ∈ ,  merupakan peubah


acak pada ruang peluang (Ross, 1997; Billingsley,1995). Ilustrasi proses stokastik

ℝ adalah
dengan indeks waktu (t) yang cukup terkenal adalah data deret waktu (time
serries). Pada kasus himpunan indeks lokasi, misalkan s, dengan,

 , , dengan  ⊂ ℝ merupakan sebuah proses acak (disebut juga


lokasi data dalam ruang Euclid berdimensi d, himpunan Z(s) di lokasi s,

sebagai random field) (Gaetan dan Guyon, 2010; Smith, 2014). Menurut Cressie

sebuah proses stokastik  , . Umumnya data spasial dengan lokasi yang
(1993) data spasial dapat dipandang sebagai hasil dari pengamatan terhadap

berdekatan satu dengan yang lain (dalam ruang/bidang) seringkali lebih mirip
dibandingkan dengan data yang lebih jauh (Cressie, 1993). Sebagai ilustrasi,
untuk indeks spasial s yang berdimensi dua (bidang) adalah kasus pemetaan
penyebaran penyakit, sedangkan ilustrasi indeks spasial s dimensi tiga adalah
dalam proses terjadinya gempa yang dapat diukur dari posisi gempa serta
kedalaman episentrumnya (Cressie, 1993).
Data spasial dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe dasar, yaitu point-
referenced data, areal data, point pattern data. Pada tipe data pertama, yaitu

ℝ dan s bervariasi secara kontinu atas ruang D, yang merupakan


point-referenced data, dimana data Y(s) merupakan sebuah vektor acak di lokasi

himpunan bagian dari ℝ yang bersifat tetap. Kasus pada data point-referenced
s, dengan

data sering dihubungkan dengan data geostatistical. Contoh tipe data pertama
dalam kasus ruang dimensi dua adalah data eksplorasi batubara di sebuah wilayah.
Eksplorasi batubara tersebut merupakan sebuah vektor acak meskipun
pengamatan di lokasi-lokasi tersebut kosong (Cressie, 1993). Tipe data yang
kedua, yaitu areal data dimana pada tipe data ini himpunan bagian indeks D
bersifat tetap (mungkin berbentuk regular maupun nonregular) yang dipartisi ke
dalam jumlah unit berhingga yang lebih kecil. Data pada tipe kedua sering
dihubungkan dengan data lattice yang mengandung arti amatan yang
berkorespondensi dengan corner dari grid. Contoh tipe data kedua adalah
informasi mengenai kategori tingkat kemiskinan dalam sebuah koleksi atau
kumpulan daerah (misalkan kabupaten atau wilayah regional lainnya) yang
terbagi ke dalam beberapa level atau tingkat kemiskinan. Dalam pemetaan
tingkatan kemiskinan ini biasanya ditunjukkan oleh warna-warna yang berbeda
pada unit-unit spasialnya. Tipe data spasial yang ketiga, yaitu data point pattern,
dimana pada tipe data ini himpunan bagian D bersifat acak, himpunan indeks
tersebut memberikan lokasi dari sebuah kejadian. Misalnya Y(s) diberi nilai 1
(suatu peristiwa kejadian di lokasi s bernilai 1), artinya bahwa peristiwa acak
terjadi. Ilustrasi kasus data tipe ketiga (point pattern) adalah lokasi atau tempat
tinggal orang-orang yang menderita penyakit tertentu. Ilustrasi lainnya dari data
point pattern adalah lokasi spesies tanaman tertentu di sebuah hutan dimana
respon Y(s) tetap (peristiwa dari sebuah kejadian) dan lokasi si yang dipandang
sebagai kejadian acak (Banerjee et al., 2004). Kasus tipe data ketiga ini
berkonotasi dengan proses Poisson, namun mempunyai indeks yang lebih dari
satu.
8

Berkaitan dengan sifat dari data spasial yang merupakan proses stokastik
maka hubungan antar unit spasial atau wilayah merupakan bagian yang penting
dalam analisis data spasial. Pada data deret waktu (proses stokastik berindeks
waktu, t) terdapat sebuah ukuran yang digunakan untuk mengukur keeratan
hubungan antar peubah pada indeks waktu yang berbeda yaitu statistik
autokorelasi. Hal yang mirip dengan kasus data deret waktu, dalam analisis data
spasial terdapat statistik yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antar
unit spasial yang disebut autokorelasi spasial.

2.3 Autokorelasi Spasial


Autokorelasi spasial dapat dipandang sebagai kasus khusus dari korelasi.
Autokorelasi spasial berkaitan dengan pola tak acak dari nilai-nilai atribut atas
himpunan unit-unit spasial (Getis, 2008). Dalam proses ketakbebasan spasial
(spatial dependence), unit spasial tertentu bergantung pada unit-unit spasial
tetangganya. Berdasarkan hubungan dengan wilayah unit spasial sekitar maka
terdapat dua kecenderungan secara umum apakah sebuah wilayah mempunyai
karakteristik yang mirip dalam atribut tertentu dengan wilayah sekitar atau tidak.
Deskripsi dari hubungan derajat kemiripan antar objek amatan dan jarak yang
memisahkan objek-objek tersebut merupakan elemen kunci dalam mengukur dan
memahami autokorelasi spasial (Fotheringham, 2009).
Dilihat dari sisi kemiripan dan ketidakmiripan secara spasial, terdapat dua
bentuk umum autokorelasi spasial, yakni autokorelasi spasial positif dan
autokorelasi spasial negatif. Autokorelasi spasial positif merefleksikan kemiripan
nilai dalam ruang, sedangkan autokorelasi spasial negatif mencerminkan
ketidakmiripan nilai dalam ruang. Namun demikian dalam aplikasinya, perhatian
mendasar dalam analisis spasial adalah untuk menemukan pola dalam data
spasial. Analisis penemuan pola tersebut mengarah pada identifikasi autokorelasi
spasial (Ord dan Getis, 2001).
Dari sisi cakupan analisis unit spasial, ukuran autokorelasi spasial dapat
dianalisis melalui dua pendekatan atau dua analisis, yaitu ukuran autokorelasi
global dan ukuran autokorelasi lokal. Dalam analisis autokorelasi global meliputi
kajian keseluruhan pola peta dan secara umum mejawab sebuah pertanyaan
apakah terdapat pola yang menggerombol atau tidak. Sedangkan analsis
autokorelasi spasial lokal digunakan untuk mendeteksi adanya sinyal kantung
(pockets) yang signifikansi dalam gerombol (cluster) (Ord dan Getis, 1995).
Autokorelasi spasial lokal cenderung lebih baik ketika mendeteksi hotspot
dibandingkan autokorelasi spasial global dimana autokorelasi lokal mampu
mendeteksi hotspot (local spatial cluster) (Nelson dan Boots, 2008). Menurut
Anselin (1995), hotspot merupakan local spatial cluster teridentifikasi sebagai
lokasi atau himpunan lokasi yang bersebelahan dimana Local Indicator Spatial
Association (LISA) berbeda nyata atau signifikan. Getis dan Ord (1992) dalam
penelitiannya menemukan bahwa ketika menggunakan analisis hubungan spasial
global diperoleh hasil yang tidak signifikan, namun ketika menggunakan analisis
hubungan spasial lokal terdapat beberapa unit spasial yang signifikan.
Terdapat beberapa statistik autokorelasi spasial baik untuk statistik
autokorelasi global maupun autokorelasi lokal. Dua diantaranya yang cukup
terkenal dan sering digunakan dalam analisis data spasial adalah statistik Moran
(atau lebih dikenal dengan indeks Moran, I) dan statistik Getis (G). Dalam
9

aplikasinya sebaran dari kedua statistik diasumsikan normal. Sebaran statistik


autokorelasi Moran global (I) adalah asimtotik normal (Sen,1976), begitu pula
dengan sebaran statistik Getis global (G) dimana Zhang (2008) telah
menunjukkan bahwa sebaran statistik Getis global asimtotik normal. Berbeda
dengan kasus statistik autokorelasi global, sebaran statistik Moran lokal (Ii)
cenderung mempunyai kurtosis dan tidak menyebar normal asimtotik (Sen, 1976;
Tiefelsdorf, 2002). Sementara itu sebaran statistik Getis lokal (Gi) bergantung
pada jumlah unit yang bertetangga dan sebaran peubah asalnya. Zhang (2008)
telah menunjukkan bahwa apabila sebaran peubah asal Gamma, kenormalan
sebaran statistik Getis lokal tidak valid.
Statistik autokorelasi lokal mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan statistik autokorelasi global, diantaranya dapat mendeketeksi hotspot yang
tidak dapat dideteksi menggunakan statistik autokorelasi global. Dalam kaitan
dengan matriks pembobot spasial, statistik Getis lokal dapat digunakan untuk
menentukan elemen dari matriks pembobot spasial (Getis dan Aldstadt, 2004;
Aldstadt dan Getis, 2006). Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan asumsi
kenormalan dari statistik Getis lokal untuk menentukan elemen matriks pembobot
spasial.

2.4 Matriks Pembobot Spasial


Matriks pembobot spasial merupakan komponen penting dalam pemodelan
data-data spasial dimana pada data tersebut terdapat ketakbebasan spasial (spatial
dependence). Matriks pembobot spasial, W, merupakan matriks N x N tak negatif
yang menspesifikasi himpunan ketetanggaan untuk setiap unit amatan spasial.
Spesifikasi dalam matriks W terbagi ke dalam tiga, yaitu (1) memperlakukan
matriks pembobot sebagai completely exogenous construct, (2) membiarkan data
menentukan matriks pembobot sendiri, (3) menduga matriks pembobot
(Stakhovych dan Bijmolt, 2008).
Pada pendekatan pertama didasarkan pada hubungan secara geografis dari
unit-unit spasial yang memuat amatan-amatan ini. Beberapa contoh matriks
pembobot yang menggunakan pendekatan pertama ditentukan berdasarkan
kontiguitas spasial (spatial contiguity), jarak invers (inverse distance) dan k
tetangga terdekat (k nearest neighbors, k-NN). Matriks pembobot spasial
berdasarkan kontiguitas terdiri dari tiga jenis, yaitu rook contiguity, bishop
contiguity dan queen contiguity. Pada pendekatan yang kedua membiarkan data
membentuk matriks pembobot, salah satu contoh yang termasuk dalam
pendekatan kedua adalah metode yang diperkenalkan oleh Getis dan Aldstadt
dengan menggunakan konsep jarak hubungan spasial. Dalam membentuk matriks
pembobot, Getis dan Aldstadt (2004) menggunakan jarak keterhubungan melalui
statistik Getis lokal. Aldstadt dan Getis (2006) mengembangkan konsep
konstruksi matriks pembobot spasial menggunakan data empiris dan secara
simultan mengidentifikasi bentuk geometrik dari gerombol-gerombol spasial
(spatial clusters). Pada pendekatan ketiga, matriks pembobot dirancang
menggunakan metode pendugaan, salah satu diantaranya menggunakan Structural
Equation Model, SEM atau model persamaan struktural (MPS) (Folmer dan Oud,
2008; Liu et al., 2011a, Liu et al., 2011b).
10

Getis (2009) mengklasifikasikan tiga metode atau tiga cara yang dapat
digunakan untuk mendapatkan matriks pembobot spasial, yaitu berdasarkan sudut
pandang teoritis, topologi dan empiris. Ilustrasi matriks dari ketiga metode
tersebut berturut-turut adalah matriks pembobot dengan elemen matriks yang
didasarkan pada jarak kebalikan, kontiguitas (contiguity) dan menggunakan
prosedur AMOEBA. Dapat dilihat bahwa klasifikasi metode konstruksi matriks
menurut Getis tercakup oleh tiga metode yang dikemukakan oleh Stakhovych dan
Bijmolt. Hampir semua analisis-analisis dalam statistik spasial, ekonometrika
spasial, geostatistik dan epidemiologi berdasarkan pada hubungan topologi antar
objek-objek spasial. Hubungan fungsi indikator biner disini berdasarkan ukuran
ketidakmiripan antar objek seperti fungsi jarak antar objek dan ukuran kemiripan
seperti hubungan ketetangaan (Berry et al., 2008). Beberapa matriks pembobot
spasial yang mengacu pada jarak geografi yang menggunakan fungsi jarak
eksponensial, pangkat dan pangkat ganda (Perret, 2011). Selain fungsi jarak
menurut geografis, terdapat fungsi jarak dengan menggunakan atribut lain dalam
menentukan hubungan spasial antar unit spasial, misalnya menggunakan jarak
sosial-ekonomi (Conley dan Topa, 2002) dan jarak ekonomi (Conley dan Dupor,
2003; Anselin 2003; Tsang, 2007). Namun sebagian besar dalam analisis-analisis
spasial menggunakan konsep jarak geografi. Dalam uraian berikut diberikan
beberapa cara untuk mengkonstruksi matriks pembobot yang didasarkan pada
klasifikasi berdasarkan Stakhovych dan Bijmolt (2008).

2.4.1 Matriks Pembobot Berdasarkan Kedekatan Geografis


Terdapat beberapa tipe matriks pembobot spasial menurut kedekatan
geografis, yaitu berdasarkan jarak, berdasarkan batas bersama atau perbatasan
(boundaries) dan berdasarkan kombinasi dari jarak dan perbatasan. Berikut
beberapa ilustrasi dari tipe-tipe matriks pembobot spasial yang berdasarkan
kedekatan geografis.

2.4.1.1 Matriks Pembobot Jarak


Matriks pembobot spasial yang didasarkan pada konsep jarak mengambil
jarak dij sebagai jarak pusat (centroid distance) antara dua pasang unit-unit spasial
i dan j. Matriks pembobot spasial yang didasarkan konsep jarak dapat
diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu matriks k tetangga terdekat (k-
nearest neighbor weights), matriks jarak radial (radial distance weights), matriks
jarak pangkat (power distance weights), matriks jarak eksponensial (exponential
distance weights) dan matriks jarak pangkat ganda (double-power distance
weights) (Smith, 2014).
• Matriks k tetangga terdekat (k-nearest neighbor)
Setiap baris i dalam matriks pembobot spasial menurut k tetangga terdekat
memiliki k buah kolom j dengan elemen 1 dan kolom selainnya bernilai 0.
Apabila terdapat n unit spasial dan dari n unit spasial tersebut akan ditentukan
k unit spasial yang bertetangga dengan unit spasial tertentu, katakanlah unit
spasial i, maka tahap awal yang perlu diproses adalah menentukan jarak n-1
unit spasial j (i≠j) terhadap unit spasial i. Sebagai ilustrasi, misalkan jarak
11

dari semua unit spasial j (i≠j) terhadap unit spasial i telah diperingkat dari

himpunlah   = 1, … ,  yang memuat k tetangga paling dekat


kecil ke besar sebagai berikut, dij(1)≤ dij(1)≤… dij(n-1). Untuk setiap k=1,2,…,n-1,

terhadap i.
Mengacu pada konsep k-tetangga terdekat (k-rearest neighbor, k-NN),
terdapat dua tipe matriks pembobot spasial yang dapat diperoleh yaitu matriks
pembobot spasial yang tidak simetris dan matriks pembobot yang mempunyai
sifat simetris. Perbedaan kedua matriks ini bergantung pada definisi elemen-
elemen matriks pembobot spasial yang diambil. Gambar 2.1 menyajikan
sebuah contoh penentuan ketetanggaan berdasarkan k-tetangga terdekat.
Jika matriks pembobot spasial bersifat tidak simetris, maka wij didefinisikan

1,   
sebagai :

 =  (, 2.1
0,  selainnya
sedangkan jika matriks pembobot spasial bersifat simetris maka wij

1,    atau    (


didefinisikan sebagai :

 =  . 2.2
0,  selainnya

Gambar 2.1 Ilustrasi hubungan k ketetanggaan terdekat


• Matriks jarak radial
Setiap bobot atau elemen matriks pembobot spasial yang didasarkan jarak
radial bergantung pada nilai batas (treshold) yang diambil. Untuk baris
tertentu, semakin besar nilai threshold maka semakin banyak kolom pada
baris tersebut bernilai 1 dan semakin kecil nilai threshold maka semakin
sedikit kolom pada baris tersebut yang bernilai 1. Apabila dimisalkan
terdapat n unit spasial dan jarak dari unit spasial i terhadap semua unit spasial
j (i≠j) adalah dij serta ditentukan nilai d sebagai threshold maka matriks

1, 0 ≤ . ≤ . (
pembobot spasial menurut jarak radial ditentukan sebagai

 =  . 2.3
0,  selainnya
Gambar 2.2 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut
jarak radial pada persamaan (2.3).
12

Gambar 2.2 Fungsi pembobot (wij) jarak radial


• Matriks jarak pangkat
Matriks pembobot yang didasarkan pada jarak radial tampak bahwa unit-unit
yang berada pada jarak yang tidak lebih dari nilai treshold diberi bobot 1
meskipun mempunyai nilai jarak yang berbeda. Hal yang hampir sama
terjadi pula pada matriks pembobot yang didasarkan pada k-NN dimana setiap
k tetangga dari unit tertentu, katakanlah unit spasial i, diberi bobot 1.
Menurut Cressie (1993) semakin dekat unit j dengan unit i maka semakin
mirip. Oleh karena itu, selain pemberian bobot yang hanya bernilai biner (1
dan 0) perlu dipertimbangkan nilai atau bobot jarak sebenarnya, antara lain
yang didasarkan pada jarak pangkat. Berdasarkan konsep jarak pangkat
setiap bobot matriks semakin kecil ketika semakin jauh dari unit spasial i.

 = . . 2.4


Setiap elemen matriks menurut jarak pangkat didefinisikan sebagai
01

Gambar 2.3 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut
jarak pangkat untuk α=1 pada persamaan (2.4)

Gambar 2.3 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat α=1


• Matriks jarak eksponensial
Matriks pembobot spasial yang didasarkan pada jarak eksponensial pada
dasarnya hampir sama dengan bobot jarak pangkat. Apabila dimisalkan dij
adalah jarak antara unit spasial i dan unit spasial j, matriks pembobot spasial
menurut jarak eksponensial adalah
 = exp5−7. 8. 2.5
Gambar 2.4 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut
dij
jarak eksponensial.
13

Gambar 2.4 Fungsi pembobot (wij) jarak eksponensial untuk α=1


• Matriks jarak pangkat ganda
Matriks jarak pangkat ganda mempunyai prinsip yang sedikit berbeda dengan
matriks jarak pangkat ataupun jarak eksponensial dimana setiap bobot atau
elemen matriks, selain menggunakan fungsi pangkat juga didasarkan pada
threshold. Apabila dij menyatakan jarak antara unit spasial i dan unit spasial j
(i≠j) dan d adalah nilai threshold maka matriks pembobot spasial menurut
matriks jarak pangkat ganda adalah
 
;1 − 5. /.8 = , 0 ≤ . ≤ .(
 = : . 2.6
0, . > .
Gambar 2.5 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut
jarak ganda pada persamaan (2.6).

Gambar 2.5 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat ganda

2.4.1.2 Matriks Pembobot Berdasarkan Batas


Matriks pembobot yang didasarkan pada konsep jarak adalah mudah
dihitung, namun dalam beberapa kasus kontribusi perbatasan (boundaries share)
antar unit spasial memainkan peranan penting untuk menentukan pengaruh
spasial. Dua tipe matriks pembobot yang dapat digunakan dengan memanfaatkan
perbatasan, yaitu bobot spatial contiguity (kedekatan spasial) dan bobot shared-
boundaries (Smith, 2014).
• Bobot kontiguitas spasial
Elemen-elemen dari matriks pembobot spasial kontiguitas didasarkan pada
hubungan ketetanggaan secara geografis. Misalkan W={wij} i, j=1,2,…,n,
adalah matriks kontiguitas dengan wij merepresentasikan elemen (nilai bobot)
unit spasial i dan j. Berdasarkan aturan dalam matriks kontiguitas, wij bernilai
satu ketika antara dua unit spasial saling bertetangga atau bersebelahan dan
bernilai nol ketika antara dua unit spasial tidak bertetangga atau bersebelahan,
14

serta didefinisikan pula wii = 0. Bobot spasial kontiguitas didasarkan pada


batas bersama, artinya bahwa apabila terdapat persekutuan antara batas unit

1, @A. ∩ @A. ≠ 0(
spasial i (bnd(i)) dan batas unit spasial j (bnd(j)) maka diberi bobot 1,

 =  .
0, @A. ∩ @A. = 0
(2.7)

Beberapa tipe matriks kontiguitas adalah rook, bishop dan queen. Sebagai
ilustrasi, dimisalkan terdapat unit-unit spasial A, B,…,J (Gambar 2.6) dan
akan ditentukan unit-unit yang bertetangga dengan F.

Unit spasial Rook Bishop Queen


A B C B A C A B C
D F G D F G F D F G
H I J I H J H I J
(a) (b) (c) (d)
Gambar 2.6 Ilustrasi matriks kontiguitas tipe rook (b), bishop (c) dan queen
(d) dari unit-unit spasial (a) yang bertetangga terhadap F
Berdasarkan tipe matriks kontiguitas yang didasarkan pada aturan rook, unit-
unit yang bertetangga dengan F adalah B, D, I dan G (Gambar 2.6.b),
sedangkan menurut aturan bishop diperoleh A, C, H dan J (Gambar 2.6.c) dan
jika didasarkan pada aturan queen diperoleh A,B,C,…,J (Gambar 2.6.d).

• Bobot shared-boundaries
Bobot atau elemen matriks pembobot spasial yang didasarkan pada shared-
boundaries menggunakan informasi panjang batas (D ) dari dua unit yang

berbatasan dengan unit-unit spasial lain, yakni D = ∑F D , dan D adalah
bersebelahan. Apabila li menyatakan panjang total dari perbatasan unit i yang

panjang perbatasan unit spasial i dan unit spasial j maka bobot shared-
boundaries didefinisikan sebagai

 = = .
GHI GHI
GH ∑JKH GHJ
(2.8)

2.4.1.3 Bobot Kombinasi Jarak dan Boundaries


Bobot matriks yang didasarkan pada kombinasi jarak dan perbatasan
(boundaries) menggunakan berbagai kombinasi yang mungkin dari tipe jarak dan
batas. Oleh karena itu banyak jenis matriks pembobot yang dihasilkan bergantung

ketika jarak yang digunakan adalah jarak pangkat .


01
dan panjang perbatasan D
pada tipe jarak dan perbatasan yang digunakan (Anselin, 2003). Sebagai ilustrasi

GHI HI
LM
didefinisikan sebagai  =
maka matriks pembobot spasial hasil kombinasi jarak dan perbatasan

∑JKH GHJ HJ
LM .
15

2.4.2 Matriks Pembobot Berdasarkan Perilaku Data


Cara yang kedua dalam menentukan matriks pembobot menurut Stakhovych
dan Bijmolt (2008) adalah yang didasarkan pada perilaku datanya. A
Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm (AMOEBA) merupakan
salah satu ilustrasi dari matriks pembobot spasial yang didasarkan pada perilaku
data. AMOEBA adalah sebuah prosedur yang dirancang untuk menggerombolkan
(clustering) unit-unit spasial dan mengkonstruksi matriks pembobot spasial yang
menggunakan data empiris (Aldstadt dan Getis, 2006). Prosedur AMOEBA
didasarkan pada prinsip yang pertama kali dikembangkan oleh Getis dan Aldstadt
(2004) dimana struktur spasial dianggap sebagai dua bagian kerangka yang
memisahkan data yang berasosiasi secara spasial dan data yang tidak berasosiasi
secara spasial. Dasar-dasar dalam prosedur AMOEBA adalah tipe statistik lokal
yang digunakan untuk menguji hubungan antara unit spasial yang berdekatan.

Getis lokal (Gi). Misalkan N , i=1,2,..., N adalah peubah yang menjadi perhatian
Dua statistik autokorelasi lokal yang populer adalah statistik Moran lokal (Ii) dan

O = HR dan  adalah elemen-elemen matriks pembobot spasial. Statistik


P 0P̅

Moran lokal (Ii) didefinisikan sebagai (Anselin, 1995)

TH ∑V
IWX UHI TI
S = ,  ≠ , ,  = 1,2, … , ,
YZ
(2.9)

dengan m2 adalah momen kedua dari peubah zj. Statistik Getis lokal didefinisikan
sebagai (Getis dan Ord,1992).
∑V
IWX UHI \I
[ = ∑V
,  ≠ , ,  = 1,2, … , .
IWX \I
(2.10)

Untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial dan membentuk gerombol


(cluster) tinggi dan gerombol (cluster) rendah melalui prosedur AMOEBA,
Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan statistik Getis lokal. Statistik Getis lokal
yang digunakan ketika menentukan matriks pembobot spasial AMOEBA,
diasumsikan menyebar normal.
Berikut adalah tahapan prosedur AMOEBA dalam membentuk matriks

(unit spasial), i, i=1,2,...,n, [ adalah statistik Getis lokal dan [∗ adalah statistik
pembobot spasial. Misalkan diberikan sebuah area yang terbagi atas n wilayah

Getis lokal yang dibakukan. Langkah-langkah prosedur AMOEBA adalah

(1) Hitung [^∗ 0 yaitu nilai [^∗ untuk unit spasial di lokasi i itu sendiri. Nilai
sebagai berikut (Aldstadt dan Getis, 2006) :

[^∗ 0 yang lebih dari nol menunjukkan bahwa nilai di lokasi i lebih besar
dari rata-rata semua unit. Sedangkan [^∗ 0 yang kurang dari nol

(2) Hitunglah [∗ 1 , yaitu nilai untuk setiap daerah yang memuat unit i dan
menunjukkan bahwa nilai di lokasi i lebih kecil dari rata-rata semua unit.

semua kombinasi dari tetangga yang berdekatan. Jika [∗ 0 lebih atau
kurang dari kombinasi yang memaksimumkan nilai mutlak [∗ 1 maka unit-
unit yang baru tersebut menjadi ecotope tinggi atau rendah yang baru. Unit-
unit yang tergabung membentuk ecotope baru ini disebut sebagai unit-unit
yang ter-include. Unit spasial yang bersebelahan yang tidak termasuk dalam
ecotope dieliminasi (exclude).
16

(3) Evaluasi semua kombinasi tetangga sebelah dan selanjutnya keanggotaan


baru ecotope diidentifikasi.
(4) Proses ini berlanjut untuk jumlah penghubung k, k=2, 3, ..., maksimum

meningkatkan nilai mutlak [∗ .


dimana dalam kondisi ini tidak ada lagi unit-unit spasial yang dapat

Berikut merupakan sebuah ilustrasi proses penggabungan unit-unit spasial


dalam membentuk geometri dari ecotope atau gerombol (cluster) dengan jarak
maksimum 5 langkah (k=5) dari unit i.
(1) Untuk setiap amatan i, nilai statistik lokal diperoleh untuk semua kombinasi
dari tetangga sebelah/terdekat j. Amatan-amatan j yang memaksimumkan
statistik lokal menjadi anggota-anggota ecotope bersama dengan amatan i
(include) dan anggota-anggota selainnya tidak menjadi ecotope yang memuat
i (exclude). Gambar 2.7 memperlihatkan tiga unit j yang termasuk dalam
ecotope (kiri, kanan dan atas) dan yang tidak termasuk ecotope diberi warna
pink.

Gambar 2.7 Ilustrasi ecotope pada tahap pertama

(2) Setelah terbentuk ecotope baru (dalam contoh ini ecotope terdiri dari empat
unit, yakni atas, tengah, kiri dan kanan), dilakukan proses yang sama, yaitu
mencari unit-unit j yang berdekatan terhadap ecotope yang baru tersebut,
dimisalkan diperoleh hasil sebagai berikut

Gambar 2.8 Ilustrasi ecotope pada tahap kedua


Pada tahap kedua dihasilkan sel-sel berwarna hijau yang merupakan unit-unit
yang tergabung menjadi ecotope baru setelah proses jarak tetangga kedua,
dan warna pink unit-unit yang dikeluarkan (exclude).
(3) Semua kombinasi bersama-sama dengan anggota ecotope yang ada dievaluasi
menggunakan statistik lokal. Himpunan baru dari amatan-amatan j yang
memaksimumkan statistik lokal menjadi anggota ecotope tersebut. Demikian
17

proses ini berlanjut sampai tidak terdapat lagi unit-unit yang dapat
memaksimumkan nilai mutlak statistik lokal. Dimisalkan dalam ilustrasi ini
diperoleh maksimum jarak dari i adalah 5, dan hasil ecotope terbentuk
disajikan pada Gambar 2.9(a) untuk tahap ketiga dan Gambar 2.9(b) untuk
tahap kelima.

...

(a) (b)
Gambar 2.9 Ecotope hasil tahap ketiga (a) dan kelima (b)

Berdasarkan Gambar 2.9(b) terlihat bahwa pada langkah keenam semua unit
yang bersebelahan dengan ecotope berwarna pink, artinya bahwa setelah

statistik lokal. Dengan demikian diperoleh Y_R = 5 yakni lima langkah


langkah kelima, masuknya unit-unit spasial tidak dapat memaksimumkan

dari unit i.
Apabila ecotope sudah terbentuk dimana tidak ada lagi unit-unit spasial
yang dapat memaksimumkan nilai statistik lokal, maka dibuat matriks pembobot

(a) Ketika Y_R > 1,


AMOEBA melalui prosedur berikut :

abcO ≤ [∗ Y_R d − beO ≤ [∗ 5 8fg


, 0 <  ≤ Y_R (
 = ` bcO ≤ [∗ Y_R d − bcO ≤ [∗ 0d
0 , untuk  selainnya
(b) Ketika k jklm = 1
1, untuk  = 1(
 = 
0, selainnya
(c) Ketika Y_R = 0,
 = 0 , untuk semua j,
dengan  adalah penghubung (link) yang menghubungkan i dan j dalam ecotope.
Pada kondisi 1, yaitu ketika Y_R > 1, nilai-nilai  menurun ketika jumlah

satu penghubung dari unit i (Y_R = 1), maka unit tersebut diberi pembobot 1.
penghubung antara unit i dan j meningkat. Ketika ecotope hanya mengandung

Ketika tidak ada asosiasi antara unit i dengan sembarang unit j (Y_R = 0) maka
baris i dari matriks W adalah nol.
Berkaitan dengan prosedur AMOEBA dimana wij menggunakan fungsi
kumulatif sebaran normal dan hasil kajian Zhang (2008) yang menunjukkan
kaitan sebaran statistik Gi dengan sebaran peubah asal, dalam kajian ini
difokuskan pada statistik Getis lokal.
18

2.4.3 Matriks Pembobot Berdasarkan Pendugaan


Structural equation model atau model persamaan struktural (MPS)
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memodelkan hubungan
peubah laten eksogen dan peubah laten endogen. Disamping itu MPS juga dapat
digunakan untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial. Matriks pembobot
spasial merupakan fungsi dari peubah indikator dan loading dari model
pengukuran terhadap peubah tak bebas. Folmer dan Oud (2008) mengkonstruksi
matriks pembobot spasial dengan pendekatan peubah laten untuk memodelkan
hubungan spasial. Matriks pembobot spasial (W) yang dikonstruksi oleh Folmer
dan Oud (2008) merupakan fungsi peubah indikator dan loading pada persamaan
pengukuran. Dalam menduga matriks W digunakan metode kemungkinan
maksimum (Maximum Likelihood), artinya bahwa sisaan model diasumsikan
diketahui (Folmer dan Oud 2008; Liu et al., 2011a, Liu et al., 2011b). Folmer dan
Oud (2008) dan Liu et al. (2011a) memberikan sebuah ilustrasi kostruksi matriks
pembobot spasial melalui metode MPS dimana dalam metode pendugaan ini
diasumsikan bahwa sisaan model menyebar normal.
Ringkasan teknik konstruksi matriks pembobot spasial yang dipaparkan di
atas disajikan pada Gambar 2.10.

2.5 Metode GMM


2.5.1 Pengantar Metode GMM
Pada pendugaan parameter model regresi menggunakan metode kuadrat
terkecil (MKT) diasumsikan bahwa sisaan model regresi saling bebas serta
peubah penjelas dan sisaan saling bebas . Pada kasus data spasial, ketika terjadi
ketakbebasan spasial tentunya dapat mempengaruhi efisiensi dan ketakbiasan dari
penduga parameter ketika parameter tersebut diduga menggunakan MKT. Selain
adanya permasalahan pada ketakbebasan pada data spasial, hal yang sering
muncul adalah permasalahan endogeneitas dimana sisaan (galat) tidak saling
bebas dengan peubah penjelas. Masalah endogeneitas dapat muncul misalnya
dalam pemodelan yang melibatkan pengaruh lag waktu atau masalah yang terjadi
sebagai akibat dari salah pengukuran (Verbeek, 2008; Ajmani, 2009). Kasus
terdapatnya masalah endogeneitas dan ketakbebasan spasial dalam model
tentunya berdampak pada hasil penduga klasik seperti MKT yang berbias
(Verbeek, 2008). Solusi alternatif terhadap masalah pendugaan parameter pada
kasus tersebut adalah metode Instrumental Variable (IV) atau yang lebih umum
menggunakan metode Generalized Method of Moments (GMM).
Metode GMM merupakan metode penduga parameter model yang
didasarkan pada sejumlah kondisi momen, yakni sebuah pernyataan yang
mencakup data dan parameter. Pada kasus yang paling sederhana dari GMM

dengan MKT. Sebagai ilustrasi ambil model linier dengan dua peubah bebas, Np
adalah ketika tidak terjadi masalah endogeneitas dimana metode GMM sama

dan Nq tanpa intersep,


r = sp Np + sq Nq + u ,  = 1,2, … , . (2.11)
19

Matriks pembobot
spasial (W) k-NN

radial

Jarak pangkat

eksponensial

Pangkat ganda

Share-boundary

Geografi Boundaries
rook

Contiguity bishop

queen

Kombinasi jarak
dan boundaries

Perilaku data AMOEBA

Pendugaan Model persamaan struktural (MPS)

Gambar 2.10 Tipe matriks pembobot spasial menurut Stakhovych dan Bijmolt
(2008)
20

Kondisi momen pada (2.11) adalah vwxy zy  = 0 dan vw{y zy  = 0. Dalam

dan matriks | = } + z, dengan X adalah matriks yang kolom-kolomnya terdiri


bentuk yang lebih umum, misalkan model (2.11) dinyatakan dalam bentuk vector

dari Np dan Nq dan ~s =   z maka kondisi momen dapat dinyatakan dengan
v5~s8 = 0. Karena kondisi momen populasi tidak diketahui maka digunakan
momen contoh (sample moment),
 
1 1 1
~̅ s = € ~ s = € N r − N s =   r − ′s. 2.12
  
‚p ‚p

Penduga parameter bagi s pada persamaan (2.12) diperoleh berdasarkan


minimisasi dari fungsi ~̅ s. Pada kasus (2.12), jika ~̅ s = 0 maka hasil

digunakan dalam MKT, dimana penduga parameter } adalah } „ = ′0p   r,


minimisasi tersebut tidak lain merupakan persamaan normal yang sudah umum

dan penduga } „ bersifat tak bias (Rossi, 2010; Verbeek, 2008). Jika dalam kasus
model (2.11) terdapat peubah endogen, katakanlah peubah bebas Nq sehingga
kondisi momen pada model (2.11) menjadi vwxy zy  = 0 dan vw{y zy  ≠ 0, maka

keberadaan peubah endogen ini dibuat peubah instrumen (katakanlah peubah Oq ),
hasil dugaan MKT bersifat bias (Verbeek, 2008). Untuk memecahkan masalah

yaitu peubah yang berkorelasi dengan peubah bebas terkait (dalam kasus ini w{y )

(2.11), karena Nq bersifat endogen, maka kondisi momen didasarkan pada
dan tidak berkorelasi dengan galat atau sisaan. Kembali pada ilustrasi model

vwxy zy  = 0 dan v {y zy  = 0, sehingga penduga bagi parameter s, yang


disebut penduga Instrumental Variables (IV) adalah

s†‡ˆ = ∑
‚p y wy  ∑‚p y |y
 0p 
(2.13)

dengan wy = Np , Nq  dan y = Np , Oq . Apabila dinyatakan dalam bentuk

s†‡ˆ = ′0p ′r


matriks penduga IV dinyatakan sebagai

pada kasus Oq = Nq metode IV sama dengan MKT (Verbeek, 2008).
(2.14)

2.5.2 Metode DIFF GMM dan SYS-GMM


Ilustrasi yang telah disajikan di atas dibatasi pada banyaknya kondisi
momen (baris) dan banyaknya parameter (kolom) yang diduga berjumlah sama.
Pada kasus berikutnya diperluas untuk kasus dimana kondisi momen
danbanyaknya parameter tidak selalu sama. Apabila dimisalkan R adalah
banyaknya kondisi momen dan K adalah banyaknya parameter yang diduga maka
terdapat tiga kemungkinan. Kasus pertama, jika R = K maka parameter-parameter
dapat diduga menggunakan metode IV sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pada kasus kedua, dimana R < K maka parameter tidak dapat teridentifikasi. Pada
kasus ketiga, jika overidentified dimana R > K maka untuk menduga parameter
diperlukan matriks pembobot untuk meminimumkan jumlah kuadrat galat.
21

parameter adalah ~̅ s = ‰′z berdimensi R x 1 dan s berdimensi K x 1 Dalam


Sebagai ilustrasi, dimisalkan dari sebuah model diperoleh kondisi momen dan

kondisi demikian maka tidak terdapat s† yang memenuhi ~̅ 5s† 8 = 0, sehingga


untuk mendapatkan solusi terhadap kasus ini dibutuhkan matriks pembobot

AN, maka untuk mendapatkan penduga s adalah


(Rossi, 2010; Verbeek, 2008). Misalkan matriks pembobot yang dimaksud adalah

Šs = ~̅ s ‹ ~̅ s. 2.15


Ide GMM adalah meminimumkan fungsi pada persamaan (2.13), s†Œ =
arg min Šs . Turunan pertama (2.13) terhadap s,
‘ ‘ ‘
Šs = ~̅ s ‹ ~̅ s + ~̅ s′‹ ~̅ s
‘s ‘s ‘s 
= 2 ’ ~̅ s ‹ ~̅ s, “ × • .
’

Untuk sebuah model yang linier, penduga bagi parameter s (Rossi, 2010)
s†Œ =  ′ ‹  ′ 0p ′‹ ′r. 2.16
Metode pemilihan umum dalam menentukan matriks pembobot ‹ =
† † †
0p
– ∑
‚p ~̅ 5s 8~̅ 5s 8′— , dan s diperoleh dari penduga GMM tahap pertama,
p

misalkan menggunakan AN identitas (Verbeek, 2008; Rossi, 2010).

2.5.2.1 Metode DIFF-GMM


Metode difference GMM (DIFF-GMM) merupakan salah satu metode yang
cukup terkenal dalam menduga parameter pada model data panel. Pemodelan
data panel mempunyai akurasi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan data
cross-sectional ataupun data deret waktu (Baltagi, 2005). Salah satu keuntungan
dari data panel adalah dapat memahami secara lebih baik dari dinamika
penyesuaian melalui model dinamis. Hubungan dinamis dicirikan oleh keberadaan
lag peubah tak bebas. Sebagai ilustrasi, berikut diberikan model dinamis dengan
melibatkan peubah bebas dan penduga parameter dengan DIFF-GMM Arellano
dan Bond (1991). Misalkan diberikan sebuah model berikut:
r = 7r,0p + N

s + ˜ ,  = 2, … , . 2.17
dengan ˜ = š + › , N adalah vektor peubah bebas berdimensi 1 x K dan s
adalah vektor parameter berdimensi K x 1. Pada (2.17) diasumsikan vcš d = 0,

vc› d = 0, vc› š d = 0 untuk  = 1, … ,  dan  = 2, … , , dan vc› ›R d = 0


untuk i=1,2,..,N, dan ≠  (Bond et al., 2001).
Dalam metode DIFF-GMM, tahapan pertama adalah melakukan operasi beda
pertama (first difference) terhadap persamaan (2.17),
∆r = 7∆r,0p + ∆N

s + ∆› ,  = 3, … , . 2.18
Misalkan ∆› = ∆›Ÿ , … , ∆› , berdasarkan (2.18), v∆¡  = 0, ¢£¤∆¡  =
v5∆› ∆›′ 8 = ¥¦q [, dengan
22

2 −1 … 0 0
−1 …
[=§ … …2 … 0
… 0
… ¨.
0 0 … 2 −1
0 0 … −1 2
Penduga parameter α dan β pada model (2.17) bergantung pada sifat dari N .
Apabila N bersifat strictly exogenous dalam arti bahwa peubah-peubah tersebut
tidak berkorelasi dengan › , vcNR ∆› d = 0 sedemikian, maka Np , … , N dapat
ditambahkan langsung pada instrumen persamaan beda pertama. Apabila N
bersifat predermined dalam arti bahwa vcN ›R d = 0 untuk ≥  maka peubah-
peubah instrumen yang digunakan adalah eN,p 
, … , N,R0p

f.
Berdasarkan (2.18), dimisalkan  adalah matriks yang didefinisikan sebagai
∆rq ∆NŸ
 = § ∆rŸ ∆Nª ¨,


(2.19)
∆r, 0p ∆N ′
,

momen untuk menduga α adalah v5r,0R ∆› 8 = 0 dan kondisi momen untuk
dan anggaplah bahwa xit bersifat predermined. Berdasarkan (2.18) maka kondisi

menduga β adalah veN,0 ∆› f = 0, untuk j=1,2,...,t-1 (Arrelano, 2003).


Dengan demikian peubah instrumen yang digunakan untuk menduga parameter α

er , N ′ , N ′ f 0
dan β adalah
­ p p q ±
¬ er , r , N , N , N f °
 = ¬ p q p q Ÿ
°. (2.20)

′ ′ ′

¬ °̄
« 0 erp , … , r, 0q , Np

, … , N,′ 0p f
Berdasarkan (2.20) kondisi momen dapat dituliskan kembali sebagai v5′ ∆› 8 =
0, atau dapat dinyatakan sebagai v5 ∆r −  ²8 = 0, ² = 7, s′, i=1,2,...,N.
Karena momen populasi tidak diketahui, maka kondisi momen tersebut

bagi 7 dan s adalah


didasarkan pada momen contoh. Berdasarkan momen contoh ini maka penduga

²³Œ = ′‹ ′0p  ′ ‹  ′ ∆r. 2.21


dengan ‹ adalah matriks yang didefinisikan sebagai ‹ = ∑
‚p  ∆¡∆¡′

(Arrelano, 2003; Baltagi, 2005; Eigner, 2009).

2.5.2.2 Metode SYS-GMM


Metode system GMM (SYS-GMM) merupakan perbaikan dari metode
difference GMM (DIFF-GMM) dalam menangani masalah instrumen lemah
(weak instrument problem). Dalam SYS-GMM melibatkan “level equation” dan
“difference equation”. Peubah-peubah yang bersifat endogen dalam level
equation diinstrumen oleh lag difference, dengan demikian selain momen pada
DIFF-GMM, terdapat momen tambahan. Sebagai ilustrasi kembali pada kasus

Misalkan  didefinisikan sebagai


dimana peubah xit bersifat predetermined. .
23

­ ∆rq ±
∆NŸ′

¬ Ÿ ª °
¬ ⋮ ⋮ °

∆r ∆N

 = ¬ ∆r, 0p ∆N,′ °,
¬ rq N ′ °
(2.22)
¬ ⋮ Ÿ °
¬ ⋮ °̄
r, 0p ′
« N
dan  didefinisikan sebagai matriks instrumen pada level equation,
µ

e∆rq , ∆Nq , ∆NŸ f 0



′ ′

µ = § ⋱ ¨,
0 e∆rq , … , ∆r, 0q , ∆Nq , … , ∆N, 0p f
′ ′

· 0
maka kondisi momen untuk penduga SYS-GMM adalah (Eigner, 2009)
 = ¶  ¸,
0 µ
(2.23)

dengan · adalah kondisi momen pada DIFF-GMM. Penduga parameter bagi ²³,
²³Œ , dengan SYS-GMM sama halnya dengan penduga pada (2.21), namun
dengan mengganti (2.19) dengan (2.22) dan kondisi momen pada (2.20) dengan
kondisi momen (2.23). Penduga SYS-GMM termasuk dalam penduga yang
konsisten (Rossi, 2010; Verbeek, 2008).
24

3 KENORMALAN ASIMTOTIK STATISTIK GETIS LOKAL


TERMODIFIKASI

3.1 Pendahuluan
Getis dan Ord (1992) memperkenalkan statistik Getis lokal (Gi) untuk
mempelajari pola lokal dalam data spasial. Statistik ini mengukur derajat
hubungan yang dihasilkan dari pusat titik-titik terboboti dan semua titik lain yang
berjarak d dari titik asal (pivot). Dalam hal ini apabila ditetapkan nilai peubah di
titik asal (Xi), i=1,2,…, n, maka terdapat (n-1)! kemungkinan nilai-nilai xj
selainnya yang bertetangga. Di bawah hipotesis null bahwa tidak terdapat

karenanya sebaran permutasi [ mendekati normal (Getis dan Ord, 1992). Salah
hubungan spasial, permutasi acak di sini saling lepas dan serba sama dan oleh

satu penerapan statistik Getis lokal dalam pemodelan adalah untuk membentuk
matriks pembobot spasial yang disebut A Multidirectional Optimum Ecotope-
Based Algorithm (AMOEBA) oleh Aldstadt dan Getis (2006), dan berikutnya
algoritmanya dioptimalkan oleh Duque et al. (2011).
Asumsi kenormalan asimtotik statistik Getis lokal telah banyak digunakan
dan untuk menentukan nilai-p (p-value), Getis dan Ord (1992) menyarankan
membandingkannya dengan nilai-p uji-z. Dalam merancang matriks pembobot
spasial, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan kenormalan asimtotik dari
statistik Gi dalam algoritma AMOEBA.
Kenormalan asimtotik statistik Gi yang telah diklaim oleh Getis dan Ord
perlu dikonfirmasi kembali dikarenakan Zhang (2008) telah memperlihatkan
bahwa sebaran statistik Gi bergantung pada sebaran peubah asal Xi i=1,2,…,n.
Kajian ini bertujuan untuk mengkonfirmasi sebaran statistik Gi dan memberikan
sebuah alternatif penyelesaian ketika Gi tidak selalu menyebar normal.

3.2 Statistik Getis lokal


Autokorelasi spasial berkaitan dengan pola tak acak dari nilai-nilai atribut
atas himpunan unit-unit spasial. Autokorelasi spasial dapat dianalisis dari dua
perspektif yang berbeda. Dalam mengukur autokorelasi spasial, terdapat dua jenis
ukuran yaitu ukuran global dan ukuran lokal. Analisis autokorelasi global
meliputi kajian keseluruhan pola peta dan secara umum menjawab sebuah
pertanyaan apakah terdapat pola yang menggerombol atau tidak. Ukuran
autokorelasi spasial lokal digunakan untuk mendeteksi adanya sinyal kantung
yang signifikan dalam gerombol (cluster) (Ord dan Getis, 1995). Autokorelasi
statistik lokal mampu mendeteksi hotspot (local spatial cluster) (Nelson dan
Boots, 2008). Menurut Anselin (1995) hotspot merupakan local spatial cluster
teridentifikasi sebagai lokasi atau himpunan lokasi yang bersebelahan dimana
Local Indicator Spatial Association signifikan. Salah satu statistik untuk
mengukur autokorelasi lokal yang sering digunakan adalah statistik Getis lokal.
Statistik Getis lokal diperkenalkan oleh Getis dan Ord (1992) untuk

yang tidak dapat terdeteksi oleh statistik global. Statistik Getis lokal, [ , yang
mempelajari pola lokal dalam data spasial, mendeteksi kantung-kantung spasial

berjarak tidak lebih dari d diekspresikan dengan [ . dan didefinisikan sebagai:
25

∑  .N
[ . = , j ≠i 3.1
∑ N

dengan  . adalah matriks pembobot spasial simetrik yang bernilai 1 jika unit
spasial j berada dalam jarak d dari unit spasial i, selainnya 0. Peubah acak N

penyederhanaan, ambil [ = [ .,  =  . dan  = ∑F  (jumlah
adalah nilai amatan positif yang menjadi perhatian untuk unit spasial i. Untuk

unit-unit yang bertetangga dengan unit i). Nilai harapan dan ragam statistik [ di


bawah hipotesis null adalah

v[  = 3.2
A−1
 A − 1 −   
q
¢£¤[  = .¶ ¸ , 3.3
A − 1 A − 2 N̅ 
q

dengan N̅  = ¹0p , q  = ¹0pI − 5N̅ 8 (Getis dan Ord, 1992). Bukti nilai
∑ PI I ∑I P Z q

Berdasarkan (3.2) dan (3.3), terdapat kasus ekstrim, yakni untuk  = 0


harapan dan ragam dapat dilihat pada Lampiran 1.

artinya bahwa unit i tidak mempunyai tetangga maka v[  = 0 dan ¢£¤[  =
0. Pada kasus  = A − 1 artinya semua unit spasial j, (j=1,2,...n, j≠i)
bertetangga dengan i ( = A − 1) maka v[  = ¹0p = 1 dan ¢£¤[  = 0.
¹0p

Statistik Getis lokal yang terbakukan adalah

[ − v[ 
[∗ = ,  = 1,2, . . , A, 3.4
º¢£¤[ 

dengan v[  dan ¢£¤[  adalah rataan dan ragam yang dinyatakan pada (3.2)
dan (3.3).

3.3 Teorema Limit Pusat


Teorema limit pusat (Central Limit Theorem, CLT) merupakan salah satu
teorema yang cukup banyak digunakan untuk menguji kenormalan sebaran

Teorema ini mendasarkan pada ukuran contoh yang besar (A → ∞), dan terkait
peubah acak, terutama untuk peubah acak yang saling bebas dan identik.

dengan dasar-dasar kekonvergenan. Umumnya teorema ini didasarkan pada

, ¹ , A ≥ 0 adalah peubah acak pada ruang Ω, ½, b, barisan (¹ , A ≥ 0)
kekonvergenan dalam peluang dan kekonvergenan dalam sebaran. Misalkan

¾
¹ →  jika lim¹→∞ b|¹ −| ≤  = 1 ∀ > 0.
konvergen dalam peluang, yakni

Misalkan ¹ dan  adalah peubah acak dengan fungsi sebaran Á¹ dan F. Jika
lim¹→∞ Á¹ N = ÁN maka ¹ konvergen dalam sebaran menuju X ditulis
¹ →  (konvergen dalam sebaran) (Billingsley,1995). Terdapat keterkaitan
26

¾
¹ →  maka ¹ →  (Billingsley,1995).
antara kekonvergenan dalam peluang dan kekonvergenan dalam sebaran, jika

Dalam CLT klasik diasumsikan bahwa sebaran peubah acak yang saling

distribution). Misalkan p , q , … , ¹  adalah contoh acak berukuran n, yakni


bebas dan identik, atau biasanya disingkat iid (independent identically

barisan peubah acak iid, dengan E[Xi] = µ dan Var[Xi] = σ2 < ∞, dan ¹ =
∑¹  /A . Jika n menuju tak hingga, maka
→ 0,1.
√¹\ÂÄ 0µ
Å
(3.5)
Ketika kondisi keidentikan sebaran tidak terpenuhi dimana peubah acak

limit pusat Lyapounov (Lyapounov CLT). Anggaplah   adalah barisan peubah
mempunyai nilai tengah dan ragam yang tidak identik, dapat digunakan teorema

acak saling bebas yang masing-masing mempunyai nilai harapan Æ dan ragam
¥q . Didefinisikan ¹q = ∑¹‚p ¥q . Untuk sembarang Ç > 0, kondisi Lyapounov
lim¹→∞ ZÈÉ ∑¹‚p ve| − Æ |qÊË f = 0 terpenuhi, untuk A → ∞, maka
p

∑¹‚p − Æ  → 0,1.
p

Chung (2001) mengambil kasus khusus dimana Æ = 0 dan ¹ = 1 dan δ=1.
(3.6)

Misalkan untuk setiap A ≥ 1 terdapat ¹ peubah acak a¹ , 1 ≤  ≤ ¹ g, dimana


¹ → ∞ apabila A → ∞, ambil ̹ = ∑‚p ¹ dan asumsikan bahwa antar ¹

dan ¹ , j≠j’, 1 ≤  ≤ ¹ , saling bebas dan antar baris (n=1,2,...) tidak saling
Misalkan v5¹ 8 = 7¹ , ¢£¤5¹ 8 = ¥¹ , v̹  = ∑‚p 7¹ = 7¹ ,
q Ä

¢£¤̹  = ∑‚p ¥¹ = ¹, dan ΓÎ = ∑‚pϹ Ï . Sehingga jika ∑‚p ¥¹ = 1,


Ÿ
bebas.
Ä q q Ä Ä q

∀A, ∀, 7¹ = 0, v –Ϲ Ï — < ∞, dan ΓÎ → 0 maka ̹ → 0,1 untuk A → ∞.


Ÿ

Teorema Limit Pusat Lindenberg (Lindenberg CLT) mempunyai karakteritik

identik. Jika untuk setiap u > 0, kondisi Lindenberg lim¹→Ð RZ ∑¹‚p v −
p
peubah acak yang sama dengan Lyapounov, yakni peubah acak tidak menyebar

Æ q S|\H 0ÑH|ÒÓRÄ  = 0 terpenuhi, dengan I(.) adalah fungsi indikator, untuk A → ∞,


Ä

∑¹‚p − Æ  → 0,1.
maka
p

(3.7)

3.4 Data dan Metode


Data yang digunakan untuk mendukung dalam kajian ini merupakan data
simulasi melalui pembangkitan data menggunakan metode permutasi acak. Data

statistik Getis lokal [ ,  = 1,2, … , A (3.1) melalui kurva normal. Pendugaan


yang diperoleh dari hasil simulasi ini digunakan untuk menganalisa sebaran

sebaran empiris statistik Getis lokal, [∗, untuk mengkonfirmasi klaim Getis dan

sebaran peubah  .
Ord (1992) maupun Zhang (2008) menggunakan metode permutasi acak terhadap

pengujian kenormalan sebaran [∗ , dilakukan tahapan sebagai berikut :


Dalam metode pendugaan sebaran empiris statistik Getis lokal tersebut,

(1) Bangkitkan wij secara acak, dimana pi = wi/(n-1)


(2) Bangkitkan peubah acak Xj yang mengikuti sebaran Gamma (1,4)
berukuran N = 200, dengan pi berada pada interval 0.01 sampai 0.9.
27

menentukan [∗ pada setiap pi serta jenis sebaran peubah acak Xi.
(3) Lakukan permutasi acak sebanyak 5000 kali terhadap Xi untuk

(4) Buat kurva normal [∗ yang dihasilkan dari tahap (3).

3.5 Hasil dan Pembahasan


Tahapan analisis yang digunakan adalah mengkonfirmasi sebaran empiris
dari statistik Getis lokal yang terstandardisasi (terbakukan) melalui kurva normal
pada variasi proporsi jumlah unit yang bertetangga, pi. Untuk mengecek
kenormalan sebaran statistik Getis lokal (Gi), digunakan peubah asal (Xi) yang
menyebar Gamma (1,4). Hal ini untuk mengakomodasi klaim Zhang (2008) yang
mengatakan bahwa apabila Xi menyebar Gamma maka kenormalan Gi tidak valid.
Terakhir dimodifikasi statistik Gi sebagai solusi alternatif ketika Gi tidak selalu

Sebaran statistik Getis lokal [  didasarkan pada permutasi acak dari
menyebar normal.

Mengacu pada definisi statistik [ (3.1), permutasi pada penyebut bersifat tetap
peubah Xi, i=1,...,n (permutasi acak unit-unit yang bertetangga dengan unit i).

(konstan), sehingga sebaran statistik Getis lokal bergantung pada fungsi indikator

1, jika unit  bertetangga dengan unit 


wij yang bernilai 0 atau 1, wij∈{0,1}, j=1,2,..,n-1

 =  ( 3.8
0, jika unit  tidak bertetangga dengan unit , atau  = 
Susunan permutasi acak dari unit-unit spasial yang bertetangga ini dapat
dianggap sebagai pengambilan objek tanpa pengembalian (without replacement)
sehingga setiap unit spasial mempunyai peluang yang bergantung pada
pengambilan sebelumnya. Proses ini cenderung mendekati sebaran
hipergeometrik, dimana sebaran tersebut dapat diaproksimasi oleh normal
(Nicholson, 1956; Roussas, 1997, Lahiri et al., 2007). Anggaplah bahwa pusat
perhatian terarah pada jumlah unit yang bertetangga dan unit yang bukan
tetangga. Jika dari n-1 unit yang ada terdapat jumlah unit yang bertetangga

b5Õ = 18 = H. .
U
dengan i sebanyak wi , maka peluang jumlah unit yang bertetangga adalah
¹0p

3.5.1 Sebaran Empiris Statistik Getis lokal


Ambil [∗ sebagai statistik Getis lokal yang didefinisikan pada (3.4).

empiris statistik [∗ untuk peubah asal Xi, i=1,2,..,N yang menyebar Gamma(1,4),
Konsentrasi pertama yang dilakukan adalah mengkonfirmasi kembali sebaran

[∗ di bawah hipotesis null, menggunakan 5000 permutasi untuk N=200 ketika
N=200 menggunakan 5000 permutasi. Pada Gambar 3.1 disajikan kurva statistik

Kurva normal statistik [∗ hasil prosedur permutasi disajikan pada Gambar
peubah acak Xi menyebar iid Gamma (1,4).

3.1. Dalam karakteristik kurva normal, salah satu di antaranya bahwa bentuk

dilihat bahwa kenormalan statistik [∗ tidak valid.


kurva yang menyerupai lonceng dan simetris (symmetrical bell-shaped), dapat
28

Gambar 3.1 Kurva [∗ kasus  ~[£××£1,4, N=200 pada variasi pi

3.5.2 Modifikasi Statistik Getis Lokal


Misalkan  adalah peubah acak yang menggambarkan nilai-nilai di titik j,
dan  adalah sebuah fungsi indikator yang didefinisikan pada (3.8). Dalam hal
ini apabila setiap objek mempunyai sifat equally likely, maka sebaran
hipergeometrik sebagaimana dipaparkan di atas dapat diaproksimasi oleh sebaran

(equally likely) tidak dapat terpenuhi karena peubah  mempunyai sebaran yang
normal. Namun demikian, asumsi antar objek mempunyai sifat serba sama

kurva statistik Gi* cenderung menjulur (skew) ketika peubah asal  menyebar
berbeda. Berdasarkan sebaran empiris pada Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa

Gamma(1,4). Mengacu pada Gambar 3.1 dan pendapat Zhang (2008) kenormalan

menggunakan transformasi terhadap peubah  .


sebaran Gi* tidak valid, oleh karena itu dilakukan modifikasi terhadap statistik Gi

Konsep yang digunakan untuk memodifikasi statistik Getis lokal didasarkan


sebaran hipergeometrik dimana setiap objek mempunyai peluang sama untuk
terambil atau serba sama (equally likely). Oleh karena itu untuk mendapatkan

Ambil  sebagai peubah acak asal dan transformasi, N  → –Á³¹ N —,
sifat equally likely maka dilakukan ditansformasi terhadap Xi.

Á³¹ N  = ¹ ∑ 1\JØPH .


p
i =1,2,…,n,
(3.9)

Nilai tengah dan ragam Á³¹ N  berturut-turut adalah :


29

1
veÁ³¹ N f = € 1 b ≤ N  = ÁN 
A


1
VareÁ³¹ N f =
dan
cÁN dc1 − ÁN d.
A

v –ÏÁ³¹ N  − ÁN Ï — cÁN dc1 − ÁN d


q
Mengacu pada teorema Chebyshev (Billingsley, 1995; Roussas, 1997),

b5ÏÁ³¹ N  − ÁN Ï > √u8 ≤ = .


u Au

Dengan demikian untuk A → ∞, Á³¹ N → ÁN), karena Á³¹ N konvergen dalam
Ú

peluang menuju ÁN maka Á³¹ N konvergen dalam sebaran menuju ÁN, atau
dinyatakan dengan Á³¹ N → ÁN (Roussas, 1997; Shao, 2003).
Modifikasi statistik [ dengan mentransformasi N ke Á³¹ N  diperoleh
statistik Getis lokal termodifikasi, katakanlah [¹ÛU , yang dinyatakan sebagai :
∑  Á³¹ 5N 8
[¹ÛU = ,  ≠ . 3.10
∑ Á³¹ 5N 8
Misalkan ¢ = Á³¹ N , i=1,2…,n, maka statistik Getis lokal termodifikasi dalam

[¹ÛU − v5[¹ÛU 8
bentuk baku dapat dinyatakan sebagai

[¹ÛU

= , 3.11
Ü¢£¤5[¹ÛU 8
UH. ¹0p0UH.  ÝÞ q
ve[¹ÛU f = ¹0p dan ¢£¤e[¹ÛU f = ; = , ̦ ¡̅
UH
¹0pZ ¹0q ¦Â
berturut-turut adalah simpangan baku dan nilai tengah peubah acak ¢.
dengan dan

3.5.3 Sebaran Empiris Statistik Getis Lokal Termodifikasi


Prosedur yang digunakan untuk menguji sebaran empiris statistik Getis
lokal termodifikasi pada dasarnya sama dengan uji sebaran statistik Getis lokal,
akan tetapi peubah Xi , i=1,2,...,N, ditransformasi ke penduga fungsi sebarannya.

Gamma(1,4), sebaran ߪ q


Dalam uji ini akan diberikan tiga tipe sebaran peubah asal Xi, yaitu sebaran
(sebaran Chi-square, dengan derajat bebas 4), dan
sebaran F(1,2). Ketiga tipe sebaran ini mempunyai ekor (tail) yang cenderung
lebih panjang ke kanan. Hasil plot kurva normal statistik Getis termodifikasi dari
ketiga sebaran tersebut berturut-turut disajikan pada Gambar 3.2, Gambar 3.3 dan
Gambar 3.4.
Berdasarkan Gambar 3.2 dapat dilihat bahwa apabila peubah asal menyebar
Gamma(1,4), bentuk kurva statistik Gnew(i) mempunyai karakteristik yang sama
dengan bentuk kurva sebaran normal baku. Untuk kasus peubah asal yang
menyebar Khi-kuadrat dengan derajat bebas 4, statistik Gnew(i) juga mempunyai
bentuk kurva yang sama dengan kurva sebaran normal baku. Hal yang sama
terjadi pula untuk kasus peubah asal yang menyebar F dengan derajat bebas
pembilang 1 dan derajat bebas penyebut 2, F(1,2), dimana bentuk kurva statistik
Gnew(i) sama dengan bentuk kurva sebaran normal baku. Berdasarkan kasus tiga
tipe sebaran peubah asal yang berbeda ternyata menunjukkan hasil sama yakni
30

sebaran statistik membentuk kurva normal baku. Untuk lebih lanjut akan
ditunjukkan bahwa sebaran statistik Getis lokal termodifikasi menyebar normal.

Gambar 3.2 Kurva [¹ÛU



kasus  ~[£××£1,4, N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak

Gambar 3.3 Kurva [¹ÛU



kasus  ~ߪ
q
, N=200 pada variasi pi menggunakan
5000 permutasi acak
31

Gambar 3.4 Kurva [¹ÛU



kasus  ~Á1,2, N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak

3.5.4 Sebaran Limit Statistik Getis Lokal Termodifikasi


Perhatikan statistik Getis lokal termodifikasi [¹ÛU ) pada (3.10),
[¹ÛU

pada (3.11) dan ¢ = Á³¹ N , i=1,2…,n. Ambil ¥
q
= ¢£¤5¢ 8 =
à5PI 8–p0à5PI 8—
Æ = v5¢ 8 = Á5N 8, ≠,  = 1,2, … , A.
¹0p
¥ = ¥q dan Æ = Æ .
dan Untuk
q
penyederhanaan, dimisalkan Perhatikan bahwa
¥q ≈ ¥ q = , yakni untuk n besar, A → ∞, ¥q dan ¥ q , akan menuju
àP5p0àP8
¹0p
nol. Di bawah kondisi ini, [¹ÛU

adalah menyebar asimtotik normal standar,
[¹ÛU

→ 0,1.
Untuk membuktikan bahwa [¹ÛU ∗
menyebar normal standar, digunakan

setiap n barisan peubah acak ¢p , ¢q , … , ¢¹ saling bebas, dengan nilai tengah dan
teorema Lyapounov (Billingsley, 1995, Chung, 2001). Anggaplah bahwa untuk

ragam yang tidak homogen, v¢  = Æ , ¢£¤¢  = ¥q , dan dimisalkan â¹ =


∑¹‚p ¢ , ̹q = ¢£¤â¹  = ∑¹‚p ¥q . Untuk sembarang δ positif, jika
¹
1
lim € ve|¢ − Æ |qÊË f = 0 3.12
¹→Ð Ì qÊË
¹ ‚p

¹
1
maka

€¢ − Æ  → 0,1. 3.13


̹
‚p
32

Ambil ¹ = A − 1@p ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=, @p = ¢Â (@p adalah invariant


di bawah permutasi acak ¢ ), ¢ = Á³¹ 5N 8, Æ = ve¢ f = Á5N 8, 
ã  =  − H ,
U
¹0p

ä = lim¹→Ð dan @p → Æ as A → ∞.
∑I U
ã HI Z
¹0p
Karena ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= = ¹0på e∑ 
ã  ¢ f, ¹ dapat dituliskan
p
X
kembali sebagai

ã  ¢ − Æ  + ∑ 
¹ = ∑  ã  Æ . (3.14)

Teorema. Anggaplah bahwa ¢ = Á³¹ 5N 8, Æ = v5¢ 8, @p = ¢Â dan ¹


→ 0 , untuk sembarang
∑I UHI 5ˆI 0åX 8
¹0påX
sebaran  , j=1,2,...,n maka
sebagaimana diberikan pada (3.14). Jika

¹ →  –0, äÁN51 − ÁN8—


untuk A → ∞.
Bukti. Ambil ¹ = ∑  ã  ¢ − Æ  + ∑  ã  Æ (3.14), nilai tengah dan
ragam ¹ berturut-turut adalah, v¹  = ∑  ã  Æ dan ¢£¤¹  = v¹q  −
cv¹ dq = ∑ 
ã  q ¥q , dengan 
ã  =  − ¹0p
UH.

v¹  → 0 untuk A → ∞.
. Pertama akan dibuktikan bahwa

Ambil =
∑I ÑI
¹0p
. ∑  ¢ ∑  5¢ − @p 8
,

= −
A−1 ∑ ¢ ∑ ¢

1 ∑  5¢ − @p 8
atau dapat ditulis kembali sebagai

€ ã  ¢ = .
∑ ¢ A − 1@p

Karena ¢ → Æ dan @p → Æ, ∑ 
ã ¢ →∑ ∑ 
ã  Æ , dapat ditunjukkan
p p
∑I ˆI    I ÑI

→0 v¹  = ∑ 
ã  Æ → 0, A → ∞.
∑I UHI 5ˆI 0åX 8
¹0påX
Berikutnya akan dibuktikan bahwa ¢£¤¹  → ÁN51 − ÁN8ä. Perhatikan
bahwa sehingga, untuk

bahwa ¥q → 0, j=1,2,...,n (i ≠ j ) untuk A → ∞, sehingga



ã  q
lim ¢£¤¹  = lim æ€ Á5N 8 –1 − Á5N 8— ç.
¹→Ð ¹→Ð A−1

= äÁN51 − ÁN8.
Terakhir, akan ditunjukkan kenormalan asimtotik ¹ menggunakan teorema

Ambil è =  ã  Æ , ¹ = ∑ è dan ̹q = ¢£¤¹ ,


ã  ¢ , v5è 8 = 
Lyapounov (3.12).

¹
1
mengacu pada (3.12), diperoleh

lim qÊË € v ;Ïè − v5è 8Ï = . 3.15


qÊË
¹→Ð Ì
¹ 
33

Dengan mengambil Ç = 2, dan memisalkan  = ¢ − Æ , maka pembilang pada


(3.15) dapat dinyatakan sebagai

€ veè − v5è 8f = € vÏ


ã   Ï . 3.16
ª ª

 
Karena 0 < Æ ≤ 1 dan v5¢ 8 → Æ , diperoleh Ï Ï = Ï¢ − Æ Ï ≤ Ï¢ Ï, sehingga
sisi ruas kanan (3.16) menjadi

€ vÏ
ã   Ï ≤ €Ï
ã  Ï vÏ¢ Ï . 3.17
ª ª ª

 

¢ ∈ 0,1d, vÏ¢ Ï = v5¢ 8 = ¹é v ;¹ ∑‚p SPJØPI = =


ª ª p p à5PI 8
¹é
Karena , dengan
substitusi vÏ¢ Ï =
ª à5PI 8
¹é
ke persamaan (3.17) menghasilkan
1
€ vÏ
ã   Ï ≤ €Ï
ã  Ï vÏ¢ Ï = “,
ª ª ª
Aq
‚p 
ë
dengan K = ∑‚p Á5N 8 < ∞, sehingga (3.15) dapat dinyatakan sebagai
ÏU
ã HI Ï
¹
¹
1
lim € v ;Ïè − v5è 8Ï =
ª
ª
¹→Ð ¹
‚p
lim ∑¹‚p v ;Ïè − v5è 8Ï =
ª

= ¹→Ð
lim ª
¹
¹→Ð
1 1
= lim q “ = 0.
eÁN51 − ÁN8äf
q ¹→Ð A

Karena kondisi Lyapounov, (3.12) dan (3.13) dapat terpenuhi, maka

¹ → 50, ÁN51 − ÁN8ä8,


untuk A → ∞.
(3.18)

Akibat 1. Berdasarkan (3.18), diperoleh akibat berikut


51 − ÁN8
A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= →  ì0, äí,
ÁN

untuk A → ∞.

¹ = A − 1@p ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= dan


¢£¤¹  → ÁN51 − ÁN8ä untuk A → ∞, yang berimplikasi
Bukti. Perhatikan bahwa


A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= = .
@p
Karena @p → Æ untuk A → ∞, diperoleh
51 − ÁN8
A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= →  ì0, äí untuk A → ∞. 3.19
ÁN
34

;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=
Akibat 2. Berdasarkan (3.19) berakibat bahwa:

[¹ÛU

= → 0,1,
Ü¢£¤5[¹ÛU 8

untuk A → ∞.

Bukti. Mengacu pada Akibat 1 bahwa

A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= →  –0, ä—,


5p0àP8
àP

51 − ÁN8
maka untuk menunjukkan Akibat 2, cukup diperlihatkan

¢£¤ –A − 1[¹ÛU — = ¢£¤ ïA − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=ð → ä.


ÁN
Perhatikan bahwa ä = lim¹→Ð , 
ã  =  − ¹0p , dan ¢£¤5[¹ÛU 8 =
∑I U
ã HI Z U
H.
¹
Penjabaran ä dan ¢£¤5[¹ÛU 8 lebih lanjut dapat ditulis kembali
UH. ¹0p0UH.  ÝÞ Z
¹0pZ ¹0q ¦Â Z
.

2  . q
∑ ï q − + –
∑ 
ã  A−1 A − 1— ð
q
ä = lim = lim
¹→Ð A ¹→Ð A
= lim¹→Ð ¹¹0p ,
UH. ¹0p0UH. 

. A − 1 − .  ̦ q
¢£¤5[¹ÛU 8 =
A − 1q A − 2 ¡̅ q
. A − 1 − .  ̦ q A
=
AA − 1A − 1 ¡̅ q A − 2

¢£¤5A − 1[¹ÛU 8 = A − 1q ¢£¤5[¹ÛU 8


dan

. A − 1 − .  ̦ q A
=
A ¡̅ q A − 2
. A − 1 − .  A̦ q A − 1
= .
AA − 1 ¡̅ q A − 2
Karena ̦ → ¥, A¥ q = ÁN51 − ÁN8, ¡̅ = @p → Æ, → ä,
UH. ¹0p0UH. 
¹¹0p
dan
→ 1 untuk A → ∞, maka
¹
¹0q
51 − ÁN8
¢£¤ –A − 1[¹ÛU — → ä,
ÁN

;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=
sehingga akan berimplikasi

[¹ÛU

= → 0,1 untuk A → ∞.
Ü¢£¤5[¹ÛU 8
35

3.6 Simpulan
Sebaran empiris dari statistik Getis lokal terstandardisasi, selain dipengaruhi

bertetangga, pi. Pada kasus peubah asal  yang menyebar Gamma (1, 4)
oleh sebaran peubah asal, dipengaruhi pula oleh proporsi unit-unit spasial yang

diperoleh bentuk kurva [∗ tidak simetris. Ketika ñ → 0 kurva sebaran statistik
Getis lokal cenderung menjulur ke kanan sedangkan ketika atau ñ → 1 menjulur
ke kiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kasus ini statistik [∗ tidak
menyebar normal.

sebaran empirisnya, transformasi  ke Á³¹ 5N 8, memberikan kenormalan statistik


Modifikasi statistik Getis lokal melalui transformasi peubah asal ke penduga

Getis lokal yang kekar (robust). Kurva statistik Getis lokal termodifikasi [∗ )

standar (normal baku). Kenormalan statistik [∗ diperkuat melalui hasil


untuk tiga tipe sebaran peubah asal dicoba memperlihatkan bentuk kurva normal

pembuktian secara analitik yang menunjukkan bahwa statistik [∗ menyebar


normal untuk sembarang sebaran peubah asal  .
36

4 PERBANDINGAN PERFORMA W-GETIS DAN W-GETIS YANG


DIMODIFIKASI PADA MODEL PANEL SPASIAL DINAMIS

4.1 Pendahuluan
Dalam pemodelan untuk menentukan hubungan antara peubah bebas dan
peubah tak bebas, umumnya berpedoman pada asumsi tidak adanya hubungan
yang saling mempengaruhi antar peubah tak bebas. Namun demikian, dalam
beberapa kasus tertentu asumsi kebebasan tersebut terkadang tidak terpenuhi
sehingga memerlukan metode lain. Dalam kasus data-data yang terkait dengan
wilayah (spasial) misalnya, dimungkinkan bahwa nilai peubah tak bebas di
wilayah tertentu, selain dipengaruhi oleh karakteristik lokal (peubah-peubah
bebas) juga dipengaruhi pula oleh nilai peubah tak bebas di sekitarnya
(tetangganya). Besarnya pengaruh nilai-nilai peubah yang berada di sekitarnya
direpresentasikan oleh sebuah matriks yang disebut matriks pembobot spasial.
Oleh karena matriks pembobot spasial merupakan elemen penting dalam
pemodelan data spasial, maka konstruksi matriks pembobot spasial yang
representatif dapat meningkatkan akurasi model yang dibangun. Dengan kata
lain, perbedaan konstruksi matriks pembobot spasial tentunya akan
mempengaruhi kualitas model yang dibangun.
Menurut Getis dan Aldstadt (2004) matriks pembobot spasial merupakan
elemen yang sangat dibutuhkan dalam kebanyakan model ketika representasi
struktur spasial dibutuhkan. Jenis matriks pembobot spasial yang umum
digunakan dalam model regresi spasial antara lain matriks yang didasarkan pada
ketetanggaan. Konsep ini hanya didasarkan pada jarak secara fisik tanpa melihat
kedekatan dari atribut yang menjadi perhatian. Ukuran kedekatan antar spasial
dengan mempertimbangkan atribut tertentu dapat dikuantifikasi menggunakan
ukuran autokorelasi spasial. Ukuran autokorelasi spasial dapat diklasifikasikan
menjadi autokorelasi global autokorelasi lokal. Autokorelasi global
mengkarakterisasi autokorelasi spasial untuk keseluruhan area yang dikaji
menggunakan sebuah nilai, sedangkan autokorelasi lokal biasanya digunakan
untuk mendapatkan pola atau pun dalam menentukan hotspot sebuah wilayah
(Nelson dan Boots, 2008). Dalam kaitannya dengan konstruksi matriks pembobot
spasial, statistik autokorelasi yang digunakan adalah statistik autokorelasi lokal.
Aldstadt dan Getis (2006) mengkonstruksi matriks pembobot spasial
menggunakan prosedur yang disebut A Multidrectional Optimum Ecotope-Based
Algorithm (AMOEBA). Mereka membandingkan W hasil prosedur AMOEBA
(WG) dengan matriks kontiguitas (W-Contiguity, WC) pada model SAR yang
hasilnya menunjukkan bahwa performa WG lebih baik daripada WC.
Dalam prosedur AMOEBA yang telah dikaji oleh Aldstadt dan Getis
(2006), penentuan nilai-nilai elemen matriks yang didasarkan sebaran normal dari
statistik Getis lokal. Namun sebaran statistik Getis lokal sangat bergantung pada
sebaran peubah asal dan juga proporsi unit-unit yang bertetangga. Berkaitan
dengan prosedur AMOEBA, jumlah unit yang tergabung tidak dapat dikontrol
sehingga asumsi kenormalan statistik Getis lokal sangat sulit untuk terpenuhi.
Sebagai alternatif, untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial dalam
37

prosedur AMOEBA, digunakan statistik Getis lokal yang dimodifikasi (Gnew(i)).


Kenormalan statistik Gnew(i) kekar (robust) terhadap asumsi sebaran peubah asal.
Untuk melihat efisiensi matriks pembobot spasial yang dihasilkan maka
dibandingkan performa W-AMOEBA dengan statistik Getis lokal (WG) dan W-
AMOEBA dengan statistik Getis lokal termodifikasi (WGnew) dalam model.
Model yang digunakan untuk membandingkan performa antara kedua
matriks, diambil dari spesifikasi model Cizek et al. (2011) dan Jacobs et al.
(2009). Sedangkan metode penduga parameter yang digunakan adalah System-
Generalized Method of Moments (SYS-GMM). Kelejian dan Prucha (2010)
melakukan generalisasi penduga SYS-GMM untuk menduga parameter
autoregresif spasial dalam galat. Terdapat beberapa keunggulan metode SYS-
GMM dibandingkan dengan metode penduga lain. Bias penduga GMM relatif
lebih kecil daripada penduga Quasi Maximum Likelihood (QML) (Lee dan Yu,
2010). Metode GMM dapat menangani model ketakbebasan spasial yang memuat
satu atau lebih lag spasial peubah tak bebas dibandingkan dengan penduga ML
dan penduga Bayes (Kukenova dan Monteiro, 2008). Penduga GMM dapat
menangani model ketakbebasan spasial linear yang memuat satu atau lebih
peubah-peubah penjelas endogen (Elhorst, 2010). Bond et al. (2001) mengusulkan
untuk menggunakan penduga GMM dalam menduga model data panel dinamik.
Tujuan dalam BAB 4 ini adalah untuk membandingkan performa matriks
pembobot hasil prosedur AMOEBA yang didasarkan statistik Getis lokal dan
statistik Getis lokal yang termodifikasi.

4.2 Matriks Pembobot Prosedur AMOEBA


A Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm (AMOEBA) adalah
sebuah prosedur yang dirancang untuk menggerombolkan (clustering) unit-unit
spasial dan mengkonstruksi matriks pembobot spasial yang menggunakan data
empiris. Prosedur AMOEBA didasarkan pada prinsip yang pertama kali
dikembangkan oleh Getis dan Aldstadt (2004) dimana struktur spasial dianggap
sebagai dua bagian kerangka yang memisahkan data yang berasosiasi secara
spasial dan data yang bukan berasosiasi secara spasial. Dasar-dasar dalam
prosedur AMOEBA adalah tipe statistik lokal yang digunakan untuk menguji

dalam membentuk cluster tinggi atau rendah digunakan statistik Getis lokal, [∗ ,
hubungan antara unit spasial yang berdekatan. Untuk menggabungkan unit-unit

yang didefinisikan pada (3.4). Dalam prosedur ini Aldstadt dan Getis (2006)
menggunakan sebaran normal untuk mengkonstruksi setiap element/unsur dari
matriks pembobot. Langkah-langkah prosedur AMOEBA disajikan pada (2.4.2).
Untuk mengkonstruksi matriks pembobot AMOEBA yang didasarkan pada

menggunakan statistik [¹ÛU



statistik Getis lokal termodifikasi prinsip sama dengan prosedur (2.4.2), tetapi
(statistik Getis lokal termodifikasi) pada (3.11)
dalam pembentukan gerombol (cluster) unit spasialnya.

4.3 Pemodelan Data Panel Spasial


Data panel merupakan gabungan amatan cross-section seperti rumah tangga,
negara, perusahaan dan sebagainya atas beberapa periode waktu (Baltagi, 2005).
Data panel memuat amatan berulang atas unit yang sama (misalnya individu-
38

individu, rumah tangga, perusahaan) yang dikumpulkan atas jumlah periode


tertentu (Verbeek, 2008).
Bidang ekonometrika umumnya berkaitan dengan penggabungan interaksi
spasial dan struktur spasial ke dalam analisis regresi. Ketika terdapat
ketakbebasan spasial (spatial dependence) namun tidak dimuat dalam model
maka akan berdampak pada hasil dugaan yang berpotensi bias dan kehilangan
efisiensi (Anselin dan Lozano-Gracia, 2008).
Terdapat dua pendekatan berbeda yang dapat ditujukan untuk model regresi
spasial; pendekatan pertama adalah Spatial Lag Model (SLM) yang memasukan
ketakbebasan spasial dalam bentuk peubah lag spasial (Anselin dan Lozano-
Gracia, 2008). SLM hampir sama dengan model autoregresif dalam kasus deret
waktu sehingga sering dianggap sebagai model autoregresif spasial walaupun
berbeda secara fundamental (Fotheringham dan Rogerson, 2009). SLM sesuai
untuk kasus ketika nilai peubah tak bebas dari unit tertentu secara langsung
dipengaruhi oleh nilai-nilai y dari unit tetangganya (Ward dan Gleditsch, 2008).
Pendekatan kedua adalah Spatial Error Model (SEM) yang memasukan proses
autoregresif spasial pada galat (sisaan). Dalam SEM diasumsikan bahwa galat
dari model berkorelasi secara spasial (Ward dan Gleditsch, 2008). Pemodelan
data panel spasial mempunyai pola model yang hampir sama dengan model panel
data non spasial, perbedaan utamanya adalah pada model panel spasial melibatkan
pengaruh lag spasial, misalnya dalam kasus ini (WY).
Berdasarkan keterlibatan pengaruh lag waktu pada data panel, terdapat dua
pendekatan yaitu model panel spasial statis dan model panel spasial dinamis.
Dalam model panel spasial dinamis di ruas kanan model mengakomodasi
pengaruh peubah tak bebas dari tahun sebelumnya, lag satu, dua dan seterusnya.
Sedangkan dalam model panel spasial statis di ruas kanan model tidak melibatkan
atau tidak mengakomodasi pengaruh peubah tak bebas pada tahun sebelumnya
(lag waktu). Beberapa aplikasi dari model panel spasial dinamis cukup banyak,
beberapa diantaranya adalah Cizek et al. (2011), Kholodilin et al. (2008),
Kukenova dan Monteiro (2008), Lee dan Yu (2010) dan Jacobs et al. (2009)
menggunakan model panel spasial dinamis. Sedangkan Druska dan Horrace
(2004) dalam kajian usaha tani padi Indonesia menggunakan model panel spasial
statis dengan spesifikasi SEM panel statis.
Berikut adalah sebuah pengantar untuk model panel spasial statis yang
berikutnya difokuskan pada model panel spasial dinamis dengan mengadopsi
model dari Cizek yang mengkombinasikan SLM dan SEM.

4.3.1 Spatial Lag Model (SLM)


Spesifikasi Spatial Lag Model (SLM) lebih sesuai untuk menspesifikasi
secara eksplisit dampak amatan peubah tetangga disekitarnya terhadap peubah tak
bebas tertentu. Dalam SLM menghipotesiskan bahwa peubah tak bebas
bergantung pada peubah tak bebas lainnya yang bertetangga dan himpunan
karakteristik lokal teramati (observed local characteristics). Model SLM
dicirikan dengan adanya kombinasi linear matriks pembobot dan peubah tak bebas
di ruas kanan. Pada SLM statis dimana pada model tersebut tidak melibatkan
pengaruh lag waktu sebelumnya dapat dinyatakan sebagai

|  = Çò|  + ‰ ó} + ô , ô  = õ + z  (4.1)


39

matriks N x K dari peubah bebas waktu t (K adalah banyaknya peubah bebas), Ç


dengan yN(t) adalah vektor N x 1 dari amatan peubah tak bebas waktu t, XN(t)

adalah parameter (koefisien) autoregresive spasial, } vektor parameter peubah-


peubah beas, ôö  vektor galat acak, õ = šp , . . š , … , š , dengan š adalah
pengaruh spasial i, zö  vektor N x 1 dari komponen acak waktu t berukuran N,
dan Õ = a g, ,  = 1,2, … , ,  = 0 (semua elemen diagonal bernilai nol)
adalah matriks pembobot spasial.
SLM dianggap sebagai spesifikasi formal dari proses interaksi spasial
dimana nilai-nilai peubah tak bebas tertentu ditentukan bersama-sama dengan

matriks S − Çò adalah matriks non singular (invertible). Model (4.1) berada
agen-agen tetangganya (Anselin, 1999). Pada model (4.1) diasumsikan bahwa

<Ç<÷ dengan ûY¹ dan ûY_R


p p
dalam kondisi stasioner apabila ÷
øHÄ øùJú
adalah nilai-nilai minimum dan maksimum dari akar ciri (characteristic root)

ûY_R =1, tetapi ûY¹ > −1 sehingga batas bawah dari ruang parameter Ç
matriks pembobot spasial W. Apabila matriks W bersifat row-normalized maka

kurang dari -1(Anselin, 1999).

4.3.2 Spatial Error Model (SEM)


Spatial Error Model (SEM) menghipotesiskan bahwa peubah tak bebas
bergantung pada himpunan karakteristik lokal teramati (observed local
characteristics) dan bentuk galat berkorelasi antar spasial. SEM untuk kasus
model statis dapat dinyatakan sebagai

|  = ‰ ó} + õ + ô  , ô  = üòô  + z , (4.2)

dengan | , ‰ ó, õ , ô , ò, z  dan } penjelasannya sama dengan


sebelumnya, sedangkan ü adalah koefisien autokorelasi spasial. Model (4.2)
<ü<÷ , dengan ûY¹
p p
berada dalam kondisi kestasioneran apabila ÷
dan ûY_R berturut-turut adalah nilai-nilai minimum dan maksimum akar ciri dari
øHÄ øùJú

matriks pembobot spasial W (Anselin, 1999).

4.4 Model SLM-SEM Dinamis


Model Panel Spasial Dinamis merupakan perluasan dari model spasial statis
dimana pada model spasial dinamis, selain melibatkan pengaruh lag spasial dan
pengaruh karakteristik lokal, juga melibatkan pengaruh lag waktu pada peubah
tak bebas yN(t-1) di ruas sisi kanan model. Dengan menggunakan kelebihan dari
SLM dan SEM, untuk menangkap adanya pengaruh spasial dari peubah tak bebas
dan pengaruh spasial dalam galat (error), SLM dan SEM dapat dikombinasikan
yang mengacu pada model Cizek et al. (2011) dan Jacobs et al. (2009). Menurut
Cizek et al. (2011) SEM merupakan sebuah alternatif untuk menangkap aspek
spasial yang mungkin berasal dari masalah salah pengukuran (measurement error)
dalam peubah. Menurut Thomas (1997), kesalahan pengukuran terjadi sebagai
akibat adanya kesalahan sewaktu mengukur peubah, baik dalam mengukur peubah
40

tak bebas maupun peubah bebas. Kombinasi SLM dan SEM pada model data
panel dinamis dinyatakan sebagai

|  = ý|  − 1 + Çò |  + ‰ } + ô ,  = 2, … , 


ô  = üþ ô  + z , z  = õ +  ,
(4.3)
(4.4)

dimana  ~. dengan ragam ¥q  , |  adalah vektor amatan peubah tak
bebas berdimensi  N 1, |  − 1 peubah tak bebas lag pertama, ò matriks
pembobot spasial berdimensi  N , ‰  matriks amatan peubah-peubah
penjelas strictly exogenous berdimensi  N “ (K banyaknya peubah penjelas),
ô  adalah vektor galat, } adalah vektor K x 1 koefisien kemiringan. Lag
spasial ò |  menangkap korelasi waktu yang sama antara unit i dan unit j,
j≠i. þ matriks korelasi spasial pembobot berdimensi N x N ketika muncul
korelasi galat spasial, þ ô  galat spasial dan z  vektor inovasi. Untuk
penyederhanaan bentuk model pada (4.3), ambil matriks   = |  −
1, ò | , ‰  berukuran N x (K+2) dan  = ý, Ç, }′ ′ adalah vektor
parameter (K+2) x 1, sehingga (4.3) menjadi

|  =   + ô . 4.5

Normalisasi baris (row normalized) matriks pembobot merupakan upaya untuk

normalized, yaitu ∑¹  = 1 dan ∑¹ × = 1, adalah untuk memenuhi sifat
memenuhi sifat bahwa agar model stabil atau stasioner (Lee dan Yu, 2010). Row

bahwa S − Çò  dan S − üþ  bersifat bounded uniformly in absolute

¹ = .,¹  adalah sembarang matriks n x n, A . Baris dan kolom matriks


(Kelejian dan Prucha, 1998; Kelejian dan Prucha, 1999). Misalkan matriks

¹ dikatakan bounded uniformly in absolute jika terdapat konstanta 


¹ ¹
sedemikian sehingga berlaku

max €Ï.,¹ Ï ≤  dan max €Ï.,¹ Ï ≤  , untuk semua A . 4.6


pØع pØع
‚p ‚p

row normalized memenuhi |ý| + Ç < 1 untuk Ç≥0 atau |ý| + ÇûY¹ < 1 untuk
Kestabilan model (4.3) dapat terpenuhi apabila untuk matriks pembobot W yang

Ç < 0, dengan ûY¹ adalah akar ciri minimum dari matriks W yang row
normalized tersebut.

4.5 Pendugaan Parameter Model Panel Spasial Dinamis dengan SYS-GMM


Dalam model persamaan dinamis memuat lag waktu, sehingga berdampak
masalah endogeneitas. Adanya peubah endogen tentunya mengakibatkan metode-
metode klasik seperti metode kuadrat terkecil (MKT) tidak relevan karena peubah
endogen berkorelasi dengan galat yang tentunya tidak sesuai dengan asumsi
MKT. Di sisi lain, munculnya masalah endogeneitas mungkin dapat terjadi pula
dalam hal kesalahan pengukuran (measurement error) sehingga penggunaan MKT
akan berdampak serius. Jika kesalahan pengukuran terjadi pada peubah bebas,
maka dapat mengarah pada bias dan ketidakkonsistenan penduga MKT. Jika
kesalahan pengukuran terjadi pada peubah tak bebas dapat mengarah pada
kehilangan ketepatan pendugaan (Thomas, 1997). Menurut Cizek et al. (2011)
41

SEM merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam masalah kesalahan
pengukuran, sedangkan metode alternatif GMM dapat mengatasi masalah
endogeneitas. Metode GMM merupakan perluasan dari metode Instrument
Variable dimana dalam pendugaan parameter didasarkan pada kondisi momen
yang menggunakan peubah instrumen. Peubah instrumen merupakan peubah
yang berkorelasi dengan peubah bebas tetapi tidak berkorelasi dengan galat
(Thomas, 1997). Metode penduga GMM didasarkan pada kondisi momen yang
pada aplikasinya diduga berdasarkan momen contoh (sample moments).
Metode GMM yang sering digunakan dalam pendugaan parameter dari
model-model yang melibatkan adanya pengaruh endogeneitas dalam bidang
ekonomi adalah metode pendugaan GMM Arellano-Bond atau yang lebih dikenal
dengan DIFF-GMM. Namun penduga DIFF-GMM tidak efisien karena instrumen
hanya menggunakan informasi peubah first diference, sehingga untuk mengatasi

Untuk menduga  pada (4.5), dalam metode SYS-GMM terdapat tiga


digunakan sistem GMM (SYS-GMM) (Cizek et al., 2011).

tahapan, pertama menduga , kedua menduga ü dan ¥q , dan ketiga menduga 
setelah peubah |  dan   dikoreksi oleh ü.
Prosedur metode SYS-GMM selengkapnya adalah sebagai berikut:

Tahap awal dalam menduga  adalah dengan melakukan operasi beda


(1) Tahap pertama

pertama (first difference) untuk mengeliminir pengaruh spasial õ . Berdasarkan


model SEM, ô  = S − üþ 0p 5õ +  8, operasi beda pertama
∆ô  = S − üþ 0p ∆  dapat mengeliminir õ .Operasi beda pertama

∆|  = ∆  + ∆ô . 4.7


(4.6) menghasilkan

Metode penduga parameter GMM model (4.7) didasarkan pada himpunan


kondisi momen dari parameter-parameter yang bersesuaian. Kondisi momen

tak bebas |ö ó − , s=2,…,t-1


untuk mengidentifikasi λ, Arellano dan Bond (1991) menggunakan level peubah

v5|  − ∆ô 8 = 0,  = 3, … , ; = 2, … ,  − 1 4.8.


Kondisi momen yang digunakan untuk mengidentifikasi parameter δ terdiri dari
dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan instrumen lag spasial
dengan beragam waktu dari lag spasial dari peubah tak bebas.
Kondisi momen untuk menduga δ dalam pendekatan pertama adalah

v –eՁG r  − f ∆˜ — = 0,  = 3, … , , = 2, … ,  − 1, D = 1, … , • 4.9,




dengan l menunjukkan variasi pangkat WN dan L adalah lag spasial maksimum


yang digunakan untuk menginstrumen peubah tak bebas. Pendekatan kedua

peubah bebas ò ∆‰ . Dalam pendekatan ini, karena peubah ∆‰  tidak
adalah instrumen-instrumen yang melibatkan pengaruh spasial lag waktu dari

berkorelasi dengan ∆ô  maka ò ∆‰  juga tidak bekorelasi dengan
∆ô . Oleh karena itu instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi δ
adalah ò ∆‰ . Dengan demikian kondisi momen lain untuk menduga δ
adalah (Cizek et al., 2011),
42

v5cò ∆‰ d ∆ô 8 = 0,  = 3, … ,  4.10.


Kondisi momen untuk mengidentifikasi β :
v5∆‰ ∆ô 8 = 0,  = 3, … , . 4.11.

5 ,  ∆˜8 = 0
Persamaan-persamaan kondisi momen (4.8)-(4.11) dapat dinyatakan sebagai
(4.12)

,   = 5|  − , ò |  − , ò ∆‰ , ∆‰ 8 .



dengan

Dalam metode SYS-GMM, selain kondisi momen (4.12), terdapat tambahan


kondisi momen Blundel Bond yang melibatkan beda pertama pada peubah tak

v5∆|  − ô 8 = 0,  = 3, … , ; = 2, … ,  − 1 4.13


bebas yN(t),

v –eՁG ∆r  − f ˜ — = 0,  = 3, . , ; = 1, . ,  − 1; D = 1, … , • 4.14




v5cՁ ∆ d ˜ 8 = 0,  = 3, … ,  4.15


v5∆‰ ô 8 = 0,  = 3, … ,  4.16

Kondisi-kondisi momen (4.13) sampai (4.16), dapat disederhanakan menjadi

v– , ô — = 0,



(4.17)

,  = –∆r  − , ՁG ∆r  − , Ձ ∆ , ∆ —.



dengan

|ö = |ö  , … , |ö ′ , ö =


ö  , … , ö ′ |
     
ö = ∆|ö , |ö  dan ö = ∆ö , ö  , ô
  
ö = ∆ôö , ôö  ,

Untuk penyederhanaan, ambil

ö = diag ö, , ö,  . Gabungan kondisi momen (4.11) dan (4.16) adalah

v5 ô
 8 = v – 5| ö 8— = .
ö −  4.18

parameter yang akan diduga, maka untuk menduga parameter  digunakan


Karena banyaknya kondisi momen pada (4.18) lebih banyak daripada banyaknya

matriks pembobot untuk meminimumkan kondisi momen (4.18).


Dalam metode penduga SYS-GMM fungsi yang diminimisasi adalah

 = – ö 5|
ö − ö 8— 
ö – ö 5|
ö − ö 8— /.


Melalui turunan pertama terhadap , , = , diperoleh :





ö ö 
„ ö = 5 ö ö 
ö 8 ö ö 
ö ö r ,
0x
 (4.19)

ö = diagö, ,  0q ⊗  , ,


ö = 5ö ö ö /ö8 ,
0x
dengan   =  ⨂[
adalah N(T-2) x N(T-2) matriks pembobot yang didefinisikan sebagai
43

2 jika  = 
−1 jika  =  + 1 (
[ ≡ 
−1 jika  =  + 1
0 jika lainnya
⨂ menyatakan kronecker product (Jacob et al., 2009).

(2) Tahap Kedua


Tahap kedua dalam metode SYS-GMM adalah menduga parameter

untuk mentransformasi peubah | ö sehingga komponen acak (galat) dari


ö dan 
koefisien autokorelasi pada bagian bagian SEM (ρ). Hasil dugaan ini digunakan

model yang dihasilkan saling bebas. Berdasarkan  „ ö yang diperoleh dari (4.19),
³
lakukan transformasi ˜   = r  −  ² , t=2,3,…,T. Tahap selanjutnya
adalah melakukan operasi beda pertama terhadap ˜  , sehingga diperoleh
∆z  = S − üþ ∆ô ,  = 3, … , . Sekali lagi untuk menyederhanakan
model, ambil ∆z = 5∆z 2, … , ∆z 8 dan ∆ô = 5∆ô 3, … , ∆ô 8,
sehingga dalam notasi yang lebih sederhana diperoleh ∆z = 5S 0q −
üS 0q ⊗þ ∆ô atau ∆z = ∆ô − ü∆ô   dengan ∆ô   = S 0q ⊗þ ∆ô ,
dan ∆z = ∆ô   − ü∆ô  , dengan ∆ô   = S 0q ⊗ þ ∆ô   , dimana ⊗

Pendugaan parameter ü dan ¥q didasarkan pada kondisi momen sebagai


menyakatan kronecker product.

berikut:

­ 0qΔu Δu ±


p 
2¥q
¬ p Δu̅ Δu̅ °
v ¬ 0q   ° = 2¥q ¤  ⁄ .
¬ p °̄ 0
« 0qΔu̅ Δu


  ke dalam kondisi ketiga momen di


Substitusi ∆z dan ∆z dengan ∆ô dan ∆ô

vcä − Á ü, üq , ¥q  d = 0,


atas maka akan diperoleh
(4.20)

dengan ä = ;V!LZ
X
∆˜

∆˜ , V!LZ
X
∆˜Â

∆˜Â , V!LZ
X
∆˜Â

∆˜ = .

ʁ Δ˜Â − 0qΔ˜Â Δ˜Â 2


q   p
­  0q ±
¬ Δ˜Â Ę#  − 0qĘ# " Ę#  trM M °°.
Γ" = ¬
q  p  q 
 0q 
¬ q °̄
« 0qeΔ˜Â Δ˜Â + Ę#  ʁ f − 0qĘ#  Δ˜Â 0
  p 

Nilai-nilai ∆˜ merupakan nilai dugaan yang diperoleh menggunakan persamaan


∆˜  = ∆r − ∆ „  . Pendugaan parameter ü dan ¥q dengan SYS-GMM
diperoleh dengan meminimumkan fungsi non linier sebagai berikut (dalam kasus

5ü , ¥, 8 = arg min%,Å& eä − Γ³ ü, üq , ¥q  f eä − Γ³ ü, üq , ¥q  f.
ini digunakan matriks pembobot identitas):

(4.21)
44

Tahap ketiga adalah mentransformasi |  dan   untuk


(3) Tahap Ketiga

'   = S − üþ  , sehingga diperoleh


だ = S − üþ |  dan 
|
menghasilkan model yang galatnya tidak berkorelasi secara cross-sectional,

Δr(  = Δ) ² + Δu ,


r(  = ) ² + u .
(4.22)
(4.23)

dengan mengambil |ãö = ∆| ' = 5∆


ãö  , 
ãö , | ' ö ,  ãö = ∆ô
' ö 8 , ô ã ö  dan
ã ö , ô
Dengan cara yang sama sebagaimana pada sistem pendugaan di tahap pertama,
ö

' = diag ' ,'  , diperoleh
ö ö, ö,

' 
' ' '
 ' ' 
' ' '
 ã ,
0p
' = ;
 "    =  "    |  4.24

dengan 
'ö = –'
 
 
0x
'
ö ö ö /ö— .

4.6 Data dan Metode


Data yang digunakan untuk pembandingan merupakan hasil simulasi
berdasarkan karakterisrik model panel spasial dinamis. Untuk membandingkan
performa matriks pembobot spasial, digunakan kriteria akar kuadrat tengah sisa
relatif (relative root mean squared error, RMSER). Penggunaan RMSER
bertujuan untuk mengurangi pengaruh besaran variasi data yang diperoleh dari
hasil bangkitan. Untuk menentukan RMSER, perhatikan model sisaan (4.4),

∆u  0 ∆¡ 
gabungan difference equation dan level equation pada sisaan menghasilkan
ï  ð = ï ð + ï ¹ ð ,  = 3,4, . . , .
u  š ¡ 
(4.25)

Berdasarkan (4.25) diperoleh š̂  = 5 ′  8  u ,  = D ⊗ S dan D


0p

adalah vektor satu berdimensi (T-2). Berdasarkan hasil dugaan š̂  dan ²³ maka
diperoleh dugaan bagi bagi r , dan akhirnya akan diperoleh sisaan. Penduga
SYS-GMM menggunakan gabungan difference equation dan level equation

RMSER, misalkan r dan r berturut-turut adalah vektor peubah tak bebas dan
sehingga vektor peubah tak bebas berdimensi 2N(T-2). Untuk menentukan

vektor penduganya, dan r rata-rata r ,

RMSE. = /q
V ′ 0 V
ï ð ï ð.
p V 00
0 V 00
0q Â

0 Â

0
V V
(4.26)

Berdasarkan kriteria RMSER pada (4.26) maka performa matriks pembobot


spasial terbaik dapat dipilih menurut RMSER paling minimum. Sebagai gambaran
alur metode penelitian dalam pemilihan matriks pembobot spasial, berikut
disajikan bagan alir metode penelitian pemilihan performa matriks pembobot
(Gambar 4.1).
45

mulai

Buat program
AMOEBA

Tetapkan parameter Bangkitkan X


Buat matriks
λ, δ, β dan ρ
WC
U
l
a
Bangkitkan n
Y g
i

k
a
Duga parameter Duga parameter Duga parameter l
menggunakan WG menggunakan menggunakan WC i
WGnew

Hitung Hitung
RMSRR(WG) RMSER(WGnew) Hitung RMSER(WC)

Hitung rata-rata Hitung rata-rata Hitung rata-rata


RMSER(WG) RMSER(WGnew) RMSER(WC)

Pilih W dengan rata-rata


RMSER minimum

Gambar 4.1 Bagan alir metode penentuan performa matriks pembobot terbaik
46

Proses pembangkitan data dirancang sebagai berikut :


(1) Tentukan matriks konstiguitas W={wij}
(2) Tetapkan parameter/koefisien autokorelasi λ=0.3, δ=0.3 dan 0.5, β=1 dan

(3) Tentukan peubah bebas X  = 1 + 2, 1 menyebar seragam (8,15) dan 2


ρ∈{-0.3, -0.1,0.1,0.3}.

(4) Bangkitkan š yang menyebar seragam (-5,5)


menyebar seragam (-5,5)

(5) Bangkitkan 3  menyebar normal (dan eksponensial) bebas identik

(6) Bangkitkan r  berdasarkan persamaan :


dengan nilai tengah nol dan ragam 1.

r  = S − ÇՁ 0p –ýr  − 1 +  s + S − üՁ 0p 5š + 3 8—


Setelah memperoleh r , hitung rata-rata untuk setiap i, i=1,…,N dan
konstruksi W-AMOEBA menggunakan statistik Getis lokal dan Getis

(7) Duga parameter-parameter Ç, ý, s, ü menggunakan metode SYS-GMM


lokal termodifikasi (Gnew).

dari model yang menggunakan WG, WGnew dan WC, dan tentukan
kuadrat tengah sisaan
(8) Ulangi Tahap (1) sampai (7) sebanyak S kali
(9) Hitung RMSER dari model untuk ketiga jenis matriks pembobot spasial,
WG, WGnew dan WC dan bandingkan hasilnya.

4.7 Hasil dan Pembahasan


Konsentrasi pada penelitian ini adalah membandingkan performa matriks
pembobot spasial yang dikonstruksi melalui prosedur AMOEBA, sehingga dalam
pembangkitan data simulasi digunakan parameter λ dan β tertentu, yang
dispesifikasi λ=0.3, 0.5 dan β=1. Asumsi kestabilan model panel spasial dinamis
maka harus dikondisikan |λ|+δ<1. Nilai-nilai λ dan δ yang diambil positif untuk
memperoleh nilai peubah tak bebas (y) positif agar statistik Getis lokal terdefinisi.
Berdasarkan beberapa alas an ini maka koefisien lag spasial pada bagian SLM (δ)
dan koefisien lag spasial pada bagian SEM (ρ) diambil beberapa nilai, yaitu ,
δ=0.3 dan 0.5 serta ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3.
Data simulasi dibangkitkan berdasarkan model yang mengacu pada
Cizek et al. (2011) dengan menggunakan matriks kontiguitas (contiguity) sebagai

untuk 3  yang meyebar normal, saling bebas dan identik dengan nilai tengah
dasar pembangkitan data pada SLM (W) dan SEM (M). Dalam kasus ini dicoba

nol dan ragam satu. Dalam pembangkitan data deret waktu, untuk menghilangkan
pengaruh nilai awal ketika membangkitkan data deret waktu, maka untuk deret
waktu sebelum 100-T diabaikan (Hsiao, 2003).

spasial AMOEBA adalah rata-rata r = 4WX H4 ,  = 1,2, … , . Karena rÂ


∑!
Peubah yang menjadi perhatian dalam mengkonstruksi matriks pembobot
0

bergantung pada variasi yit dicoba menggunakan T=3, T=5 dan T=7.
Pembandingan performa matriks pembobot AMOEBA dengan matriks kontiguitas
pada model, menggunakan kriteria akar rata-rata kuadrat tengah sisa relatif
(RMSER).
47

Idealnya simulasi ditentukan sampai tidak ada lagi perubahan RMSER pada
simulasi berikutnya, sehingga umumnya jumlah simulasi diseting sangat besar.
Karena dalam perancangan matriks pembobot spasial AMOEBA untuk kasus ini
dipengaruhi oleh banyaknya unit spasial N, hal ini tentunya akan memakan waktu
yang cukup lama. Oleh karena itu banyaknya simulasi didasarkan pada plot
antara RMSER dengan jumlah simulasi. Sebagai ilustrasi, dalam merancang
matriks pembobot AMOEBA untuk menentukan apakah sebuah unit spasial

−1 −1 −1


termasuk include atau exclude, dibutuhkan evaluasi sebanyak

∑0p
‚p – — = ∑0p
‚5 – —−– — = 20p − 1.
  0
Oleh karena itu waktu yang dibutuhkan untuk satu kali simulasi bergantung pada
banyaknya unit spasial (N). Jumlah simulasi (B) yang dicoba dalam kasus ini
adalah 30, 40, 50 dan 60. Sedangkan parameter-parameter koefisien lag waktu,
koefisien autokorelasi spasial pada SLM dan koefisien autokorelasi SEM untuk
membangkitkan data adalah λ=0.3, δ =0.3, β =1, dan ρ =0.3. Plot RMSER dan
banyaknya simulasi (B) 30, 40, 50 dan 60 untuk T=3 disajikan pada Gambar 4.2.
Mengacu pada Gambar 4.2, terlihat perubahan akar kuadrat tengah sisa
relatif (RMSER) setelah simulasi ke-40 relatif stabil dan ini menunjukkan bahwa
dalam kasus parameter yang dicobakan, cukup menggunakan simulasi sebanyak
40. Namun dalam simulasi ini mengambil batas simulasi 50, hal ini untuk
mengurangi perubahan untuk kasus variasi parameter-parameter selainnya dan
untuk T=5 dan T=7.
0.2500
WC
0.2000 WG
WGnew
RMSER

0.1500

0.1000

0.0500

0.0000
B30 B40 B50 B60
Jumlah simulasi

Gambar 4.2 Plot jumlah simulasi dan RMSER untuk WC, WG dan WGnew

Dengan menggunakan jumlah simulasi 50 (B=50) diperoleh RMSER untuk


variasi parameter-parameter λ, δ dan ρ pada T=3,5 dan 7 (Tabel 4.1). Berdasarkan
Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa pada kasus T=3, RMSER dari model yang
menggunakan matriks pembobot AMOEBA dengan statistik Getis lokal (WG)
paling besar dibandingkan dengan matriks contiguity (WC) dan matrik AMOEBA
dengan statistik Getis termodifikasi (WGnew).
48

Tabel 4.1 Pembandingan RMSER dari model dengan WC, WG dan WGnew
λ δ ρ WC WG Wgnew
T=3 0.3 0.3 -0.3 0.1853 0.2288 0.1636
0.3 0.3 -0.1 0.1895 0.2141 0.2262
0.3 0.3 0.1 0.1948 0.2246 0.1744
0.3 0.3 0.3 0.2004 0.2312 0.1837
0.3 0.5 -0.3 0.0927 0.1390 0.1137
0.3 0.5 -0.1 0.0955 0.1401 0.0819
0.3 0.5 0.1 0.0975 0.1392 0.0849
0.3 0.5 0.3 0.1002 0.1383 0.0918
0.5 0.3 -0.3 0.0875 0.1170 0.0764
0.5 0.3 -0.1 0.0899 0.1203 0.0791
0.5 0.3 0.1 0.0920 0.1254 0.0853
0.5 0.3 0.3 0.0944 0.1171 0.0913
T=5 0.3 0.3 -0.3 0.1319 0.1138 0.1231
0.3 0.3 -0.1 0.1463 0.1455 0.1311
0.3 0.3 0.1 0.1617 0.1667 0.1623
0.3 0.3 0.3 0.1791 0.1764 0.1587
0.3 0.5 -0.3 0.0674 0.0904 0.0537
0.3 0.5 -0.1 0.0746 0.0939 0.0598
0.3 0.5 0.1 0.0827 0.0983 0.0670
0.3 0.5 0.3 0.0915 0.0722 0.0749
0.5 0.3 -0.3 0.0621 0.0690 0.0513
0.5 0.3 -0.1 0.0688 0.0752 0.0575
0.5 0.3 0.1 0.0762 0.0833 0.0635
0.5 0.3 0.3 0.0843 0.0896 0.0692
T=7 0.3 0.3 -0.3 0.1555 0.1676 0.1264
0.3 0.3 -0.1 0.1711 0.1656 0.1675
0.3 0.3 0.1 0.1919 0.1880 0.1538
0.3 0.3 0.3 0.2147 0.2043 0.1719
0.3 0.5 -0.3 0.0781 0.0741 0.0746
0.3 0.5 -0.1 0.0870 0.1109 0.0572
0.3 0.5 0.1 0.0969 0.1160 0.0715
0.3 0.5 0.3 0.1085 0.1245 0.0790
0.5 0.3 -0.3 0.0784 0.0723 0.0539
0.5 0.3 -0.1 0.0869 0.0798 0.0605
0.5 0.3 0.1 0.0969 0.0880 0.0717
0.5 0.3 0.3 0.1081 0.0997 0.1019

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa model dengan matriks pembobot
WGnew secara umum memberikan RMSER yang lebih kecil baik dibandingkan
dengan RMSER model WC maupun WG. Sebagai ilustrasi, dari dua belas
49

kombinasi parameter yang dicoba, hanya dua RMSER model dengan WGnew
lebih besar dibandingkan model dengan WC. Pada kasus T=5 terdapat sedikit
perubahan dimana terdapat beberapa RMSER dari model dengan WG yang sedikit
lebih baik dibandingkan dengan WC dan WGnew akan tetapi dari keseluruhan
hasil yang diperoleh WGnew masih memberikan performa terbaik. Pada kasus
T=7 tidak terlihat adanya perubahan, yakni secara keseluruhan WGnew
memberikan performa terbaik dengan nilai RMSER yang paling minimum.
Temuan lain dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa untuk λ =0.5 dan δ=0.3 atau
λ =0.3 dan δ=0.5 menghasilkan RMSER yang cenderung lebih kecil dibandingkan
ketika kedua parameter tersebut kecil (λ=δ=0.3) baik untuk T=3, 5 maupun T=7.
Hal ini diduga sebagai dampak dari proses pembangkitan data dimana variasi
peubah bebas X dan pengaruh unit spesifik tetap (η) yang tinggi, sehingga variasi
ini dapat ditangkap oleh kedua parameter tersebut (λ dan δ). Namun demikian
kajian dan perhatian lebih lanjut difokuskan pada bagaimana perubahan koefisien
lag spasial (δ) terhadap RMSER untuk λ dan ρ yang tetap. Hal ini sesuai dengan
fokus kajian yakni pembandingan performa matriks pembobot spasial dimana δ
merupakan koefisien lag spasial pada model.
Berdasarkan koefisien lag spasial (δ), sebagaimana yang tersaji pada Tabel
4.1 terdapat kecenderungan dimana RMSER model dengan matriks pembobot WC,
WG, dan WGnew cenderung lebih kecil seiring dengan meningkatnya δ. Namun
demikian untuk melihat trend keterkaitan atau pengaruh perubahan δ terhadap
RMSER dari ketiga performa matriks pembobot spasial, spasial, maka dicoba dengan
simulasi pada λ=0.3, β=1, ρ=0.3, untuk variasi δ= 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5 dan 0.6.
Gambar 4.3 menyajikan diagram batang RMSER pada variasi koefisien lag
spasial, δ= 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5 dan 0.6 untuk pada T=7.

0.3500
WC
0.3000
WG
0.2500 WGnew
RMSER

0.2000

0.1500

0.1000

0.0500

0.0000
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
δ)
Koefisien lag spasial (δ

Gambar 4.3 Diagram batang RMSER untuk variasi δ pada T=7

Berdasarkan Gambar 4.3 terdapat kecenderungan penurunan RMSER baik


dari model dengan WC, WG maupun WGnew seiring dengan meningkatnya nilai
50

δ. Namun demikian performa matriks WC cenderung lebih baik dibandingkan


matriks WG ketika δ ≥ 0.4, sedangkan pada δ < 0.4 performa matriks WG lebih
baik dibandingkan performa matriks WC. Berdasarkan Gambar 4.3 performa
matriks WGnew menunjukkan hasil yang konsisten dan paling baik diantara
matriks WC dan WG, dimana model dengan WGnew memberikan RMSER yang
paling kecil untuk berbagai variasi δ yang dicoba.

4.8 Simpulan
Berdasarkan pada proses pembangkitan data dengan spesifikasi parameter
λ=0.3 dan 0.5, δ=0.3 dan 0.5, β=1, ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3 serta untuk T=3, 5
dan 7, dan matriks kontiguitas (WC) sebagai acuan dalam pembangkitan data,
matriks pembobot AMOEBA dengan statistik Getis termodifikasi (WGnew)
memberikan performa terbaik. Pada berbagai parameter dan T yang dicoba, nilai-
nilai RMSER dari model dengan WGnew memberikan hasil paling minimum.
Pengaruh perubahan koefisien lag spasial (δ) terhadap RMSER pada
koefisien lag waktu (λ) dan koefisien lag spasial sisaan (ρ) sama dengan 0.3,
terdapat kecenderungan penurunan nilai RMSER seiring dengan peningkatan δ.
Dari sisi performa WG dan WC, untuk koefisien lag spasial yang kurang dari 0.4
(δ <0.4) performa WG lebih baik daripada performa WC sedangkan untuk
koefisien lag spasial minimal 0.4 (δ ≥0.4) performa WC lebih baik daripada
performa WG. Namun demikian hasil perbandingan secara keseluruhan untuk
koefisien lag spasial 0.1 sampai 0.6 (δ =0.1,..., 0.6), WGnew memberikan
performa terbaik dimana RMSER dari model dengan WGnew paling minimum.
Dalam konstruksi matriks pembobot menggunakan prosedur AMOEBA
terdapat beberapa baris yang mempunyai elemen nol untuk semua kolom sehingga
perlu dipertimbangkan pemisahan unit-unit spasial baris yang mempunyai elemen
nol semua dengan yang tidak nol semua melalui fungsi indikator pada model.
51

5 PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI PROVINSI JAWA TENGAH
5.1 Pendahuluan
Masalah kemiskinan merupakan salah satu permasalahan mendasar yang
menjadi pusat perhatian baik di pemerintahan pusat ataupun daerah. Berbagai
upaya kerap dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun daerah dalam membantu
penduduk miskin, diantaranya: Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras untuk
keluarga miskin (RASKIN), jaminan kesehatan masyarakat dan lain-lain.
Beberapa bantuan tersebut merupakan sebuah penyelesaian sementara, yang dapat
membantu memecahkan masalah kemiskinan. Akan tetapi untuk dapat
mengurangi jumlah penduduk miskin, perlu adanya pengkajian lebih mendalam
akar permasalahan kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu
perlu dikaji secara lebih seksama faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
penduduk miskin sehingga dampak-dampak negatif yang muncul dari kemiskinan
itu dapat diminimalisir.
Jumlah penduduk miskin bulan Maret 2013 di Indonesia mencapai 28.07
juta orang. Sementara itu pada bulan Maret 2013, pulau Jawa merupakan pulau
dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia, namun secara persentase
pulau Jawa menempati kedua terkecil setelah Pulau Kalimantan (Berita Resmi
Statistik, Juli 2013). Oleh karena itu terdapat kaitan yang sangat erat antara
jumlah penduduk miskin dan populasi penduduk di suatu wilayah. Provinsi Jawa
Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk
miskin yang berada di peringkat kedua terbesar di Indonesia setelah Provinsi Jawa
Timur (BPS, 2012 diolah). Namun dari sisi persentase penduduk miskinnya,
Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-12 terbesar di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, populasi penduduk mempunyai
hubungan positif dengan jumlah penduduk miskin. Hal ini berarti meningkatnya
populasi penduduk berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin
(Siregar dan Wahyuniarti, 2008).
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dapat pula mempengaruhi jumlah
penduduk miskin yang ada di daerah bersangkutan. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan ekonomi suatu daerah berkaitan erat dengan perkembangan
lapangan usaha yang tersedia di daerah tersebut yang dapat menampung penduduk
usia produktif untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Salah satu indikator yang
sering digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari sisi produksi terdapat sembilan
lapangan usaha sebagai penyumbang PDRB. Diantara sembilan sektor lapangan
usaha tersebut terdapat empat sektor lapangan usaha yang dominan di Provinsi
Jawa Tengah. Keempat sektor lapangan usaha itu adalah sektor pertanian, sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa (BPS Jawa Tengah,
2011). Keempat sektor ini memiliki peranan penting dalam menyerap tenaga
kerja di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu banyaknya tenaga kerja
yang terserap pada keempat sektor dominan ini (share tenaga kerja) menjadi
perhatian dalam melihat pengaruhnya terhadap jumlah penduduk miskin.
Selain share tenaga kerja pada empat sektor dominan, perlu juga dikaji
pengaruh populasi penduduk, kualitas sumberdaya manusia serta PDRB perkapita
terhadap jumlah penduduk miskin. Berdasarkan data dari BPS diketahui bahwa
52

posisi suatu daerah tidak sama jika dilihat dari jumlah penduduk miskin dan
persentase penduduk miskinnya. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh populasi
penduduk terhadap tingkat kemiskinan di suatu daerah. Kualitas sumberdaya
manusia juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin, karena pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kesempatan lebih
tinggi untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Jumlah penduduk miskin
juga sangat dipengaruhi oleh pendapatan perkapita penduduknya. PDRB
perkapita di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sangat berpengaruh dalam
penentuan garis kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu setiap
daerah di Provinsi Jawa Tengah senantiasa berusaha untuk meningkatkan
pendapatan perkapita penduduknya agar dapat berada di atas garis kemiskinan.
Jika pendapatan perkapita penduduknya semakin meningkat diharapkan dapat
mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah yang bersangkutan.
Pada penelitian ini, selain share tenaga kerja empat sektor dominan,
populasi penduduk, PDRB perkapita dan pendidikan, dikaji pula interaksi spasial
antar wilayah yang saling berdekatan. Interaksi spasial ini diperlukan untuk
melihat bagaimana pengaruh tetangga antar kabupaten/kota terhadap jumlah
penduduk miskin di kabupaten/kota tertentu. Dampak adanya faktor interaksi
spasial dalam model adalah munculnya endogeneitas, sehingga penduga
parameter yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah metode SYS-
GMM.
Berdasarkan latar belakang di atas, konsentrasi penelitian ini adalah
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan faktor
interaksi spasial kabupaten/kota yang bertetangga dengan melibatkan jenis
matriks pembobot spasial yang berbeda dalam model. Tujuan penelitian ini
adalah mendapatkan performa matriks pembobot terbaik yang dapat menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan interaksi spasial
di Provinsi Jawa Tengah serta dapat merumuskan implikasi kebijakan dari hasil
analisis yang diperoleh.

5.2 Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Jawa Tengah


Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di pulau Jawa yang diapit oleh
dua provinsi besar yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur. Letak
Provinsi Jawa Tengah antara 5o40’ dan 8o30’ Lintang Selatan dan antara 108o30’
dan 111o30’ Bujur Timur. Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi
menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah pada tahun 2010 adalah sebesar
3.25 juta hektar atau 25.04 persen dari luas Pulau Jawa atau 1.7 persen dari luas
Indonesia. Wilayah provinsi Jawa Tengah terdiri dari luas sawah sebesar 992 ribu
hektar dan luas bukan lahan sawah sebesar 2.26 juta hektar (BPS Jawa Tengah,
2012).
Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 adalah 32.64
juta orang dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir
merata yaitu jumlah laki-laki sebanyak 16.27 juta orang dan jumlah perempuan
16.37 juta orang. Kepadatan penduduknya mencapai 1003 orang per km2. Pada
tahun 2011 jumlah rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah adalah 8.9 juta rumah
tangga dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3.7 (BPS Jawa Tengah, 2012).
Secara proporsional jumlah penduduk terbesar adalah penduduk usia produktif
atau kelompok umur angkatan kerja (15-64 tahun) yaitu sebanyak 21.99 juta
53

orang. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa kebutuhan lapangan usaha di
wilayah ini cukup tinggi untuk menampung penduduk yang masih produktif untuk
bekerja. Dilihat dari jenis pekerjaan penduduk, jumlah pekerja pada lapangan
usaha di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan menempati
proporsi tertinggi dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, yaitu sebesar 5.38
juta orang. Namun demikian dari tahun ke tahun jumlah tenaga kerja di sektor
pertanian mengalami penurunan seiring dengan perkembangan di sektor lainya
seperti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Ditinjau dari sisi
pendidikan tertinggi yang berhasil ditamatkan oleh penduduk berumur 15 tahun
ke atas yang bekerja adalah sebagai berikut: jumlah penduduk yang tamat SD
sebesar 9.136 juta orang, tamat SMP 3.048 juta orang dan tamat SMA ke atas
sebanyak 3.732 juta orang (BPS Jawa Tengah, 2012). Dari data tersebut diketahui
bahwa pendidikan penduduk di Provinsi Jawa Tengah perlu ditingkatkan guna
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dapat diserap oleh berbagai
lapangan usaha yang tersedia di Provinsi Jawa Tengah.

5.3 Kemiskinan dan PDRB Provinsi Jawa Tengah


Konsep kemiskinan yang digunakan oleh BPS, diukur dengan menggunakan
konsep kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. Oleh karena itu penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan
(BPS Jawa Tengah, 2012). Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang
disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. GKNM adalah kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan (BPS Jawa
Tengah, 2012).
Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu persoalan yang menjadi
fokus utama dalam pembangunan di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2011,
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk
miskin kedua terbesar di Indonesia yaitu 5.1 juta penduduk. Akan tetapi jika
ditinjau dari sisi persentase penduduk miskin, Provinsi Jawa Tengah menempati
urutan ke-12 terbesar di Indonesia yaitu sebesar 15.76 % dari total jumlah
penduduk di Provinsi Jawa Tengah (BPS, 2012). Untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin (kemiskinan) perlu upaya-upaya tertentu sehinga laju
pertumbuhan ekonomi meningkat dimana salah satu indikator yang sering
digunakan untuk melihat laju pertumbuhan ekonomi tersebut adalah PDRB.
PDRB merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto (NTB) dari
berbagai aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa di suatu wilayah
dalam periode tertentu, tanpa memperhatikan kepemilikan atas faktor produksi.
Di dalam beragam buku pendapatan nasional, sering disebutkan bahwa besaran
PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,
pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. PDRB yang digunakan
dalam makalah mengacu pada pendekatan produksi. Dalam pendekatan produksi,
PDRB merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir atau nilai tambah bruto yang
dihasilkan oleh suatu unit ekonomi/unit usaha di suatu wilayah dalam jangka
54

waktu tertentu, biasanya dalam satu tahun. Melalui pendekatan produksi, PDRB
terbagi menjadi sembilan sektor, yaitu (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan
Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, (5)
Konstruksi/Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Pengangkutan
dan Komunikasi, (8) Jasa Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan, dan (9)
Jasa-jasa. Sektor pertanian dan pertambangan termasuk ke dalam kelompok
sektor primer, sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih serta
bangunan termasuk kelompok sekunder sedangkan sisanya, yakni perdagangan,
pengangkutan, jasa keuangan dan jasa-jasa termasuk ke dalam kelompok tersier.
PDRB setiap wilayah disajikan dalam dua bentuk yaitu atas dasar harga
berlaku dan atas dasar harga konstan pada suatu tahun dasar. Dalam penyajian
berdasarkan harga berlaku, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga
yang berlaku pada masing-masing tahun, baik pada saat menilai produksi dan
biaya antara maupun pada penilaian komponen nilai tambah dan komponen
pengeluaran produk domestik regional bruto. Sedangkan dalam penyajian atas
dasar harga konstan, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga yang
terjadi pada tahun dasar (dalam publikasi ini harga konstan didasarkan kepada
harga-harga pada tahun 2000). Karena menggunakan harga konstan (tetap), maka
perkembangan agregat dari tahun ke tahun semata-mata disebabkan oleh
perkembangan riil kuantum produksi bukan lagi karena faktor fluktuasi harga
(inflasi/deflasi).
Penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor, terutama sektor-sektor unggulan
atau dominan, diharapkan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di Provinsi
Jawa Tengah. Berdasarkan data dari BPS Jawa Tengah (2011) terdapat empat
sektor lapangan usaha yang cukup dominan dalam memberikan kontribusi
terhadap laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah, yakni sektor
pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa. Sektor
pertanian termasuk ke dalam kelompok sektor primer, sektor industri pengolahan
termasuk kelompok sekunder dan sektor perdagangan dan jasa termasuk
kelompok tersier. Dari ketiga kelompok sektor ini, kelompok sektor sekunder dan
tersier berkontribusi relatif lebih besar dibandingkan kelompok sektor primer
(BPS Jawa Tengah, 2011).
5.4 Spesifikasi Model dan Uji Hipotesis Parameter Model
Dalam lingkup nasional, Siregar dan Wahyuni (2008) memodelkan
hubungan antara jumlah penduduk miskin dengan populasi penduduk, share
pertanian, share industri, tingkat pendidikan (SMP dan SMA), tingkat inflasi dan
PDRB. Dalam penelitian ini pemodelan hubungan antara jumlah penduduk
miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dikembangkan, yaitu dengan
melibatkan pengaruh interaksi spasial dimana pada komponen ruas kanan model
dilibatkan pengaruh spasial (WY).
Spesifikasi model yang digunakan untuk memodelkan keterkaitan antara
jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya melalui model
SLM-SEM dengan fokus utama pada bagaimana pengaruh populasi penduduk,
tenaga kerja lulusan setara SMP, share tenaga kerja empat sektor dominan, PDRB
perkapita, dan pengaruh spasial terhadap jumlah penduduk miskin. Model yang
digunakan mengacu pada model Cizek et al. (2011),
55

b“S̓S
= ýb“S̓S,0p + ÇÕ b“S̓S + sp b6b蕋ÌS
+ sq Ìb + sŸ Ì7“‹S + sª Ì7“S + s8 Ì7“b[
+ s9 Ì7“Š‹Ì‹ + s: bâ;“‹b + ˜
˜ = ü ˜ + u , dan u = š + 3 ,  = 1,2, … ,35,  = 1,2, . . ,5 , (5.1)

Matriks pembobot spasial pada bagian SLM yang dikaji adalah WC, WG dan
WGnew. Beberapa kasus khusus dari model (4.3) dan (4.4) antara lain ketika ρ=0,
maka model pada persamaan (5.1) merupakan model panel spasial dinamis SLM,
untuk kasus ρ=λ=0, model (5.1) merupakan model panel spasial statis dengan
spesifikasi SLM, sedangkan ketika ρ=λ=δ=0, model (5.1) merupakan model
regresi klasik. Dalam kajian penelitian ini konsentrasi utamanya adalah
bagaimana keterkaitan antara faktor-faktor yang yang mempengaruhi jumlah
penduduk miskin dan bagaimana performa ketiga jenis matriks pembobot spasial
dalam model.

penyederhanaan notasi, misalkan, c b“S̓S,0p , Õ b“S̓S , b6b蕋ÌS


Untuk melakukan uji hipotesis terhadap parameter model, untuk

Ìb , Ì7“‹S , Ì7“S , Ì7“b[ , Ì7“Š‹Ì‹ , bâ;“‹b d =  ,


PDKMISKINit = | ,  = cý, Ç, sp , sq , sŸ , sª , s8 , s9 , s: d dan ô  adalah vektor galat

|  =   + ô .


sehingga model (5.1) dapat dinyatakan sebagai
(5.2)

bagi  adalah (4.19).


Berdasarkan metode penduga SYS-GMM tahap 1 (GMM1) diperoleh penduga

′ö ö 
„ ö = 5 ö ′ö 
ö 8  ′ö ö 
ö ′ö r ,
0x


Misalkan  adalah parameter yang sebenarnya, sehingga dalam hal ini akan
dilakukan uji hipotesis 75 :  =  vs 75 :  ≠  . Berdasarkan (5.2)
„ ö = 5
ö ö 
öö  ö 8  ö ö 
öö 5
ö  + ô 8
0x

„ ö =  + 5 ö ö  ö ö 
ö 8  ö ö 
ö ö ô
0x
   

„ ö −  8 = 5 ö ö 
ö ö ö 8 ö ö  ö ö ô
0x
5

ö 0x Aö ö


„ ö −  8 = –  ö ö 
ö ö

A  Aö  Aö ôV
√ö5 —
ö ö ö √ö
(5.3)

ô = S − ρM0p z = ;z , dengan ; = S − ρM0p . Menurut Cizek et al.


(2011) apabila sisaan v bersifat acak saling bebas dan mempunyai ragam
berhingga (finite variance), serta pengaruh tetap (η) mempunyai momen keempat
yang berhingga (finite fourth moment) maka
„ ö −  8— → ö –, 5 B
′   
 B ′   
5B 
′ B ′   
 B
0x 0x
–√ö5 8 B C ′8 5 B 8 — (5.4)


→ B 
ö0x ′ö DE ö → B ö → 
dan   .
′ö ö
dengan ö , C

Pada kasus ρ=0, ô = z , dengan z = õ + F , B=I, sehingga


„ ö −  8— ~ö –, 5 B
′   
 B ′   
5B 
′ B ′   
 B
0x 0x
–√ö5 8 B C 8 5 B 8 — (5.5)
56

5.5 Kestasioneran Model Panel Spasial Dinamis

matriks S − ÇՁ  tak singular, sehingga (4.3) dapat dituliskan kembali sebagai
Perhatikan model panel spasial dinamis (4.3), dan asumsikan bahwa

r  = S − ÇՁ 0p ýr  − 1 + ‰ö } + ˜ .


Pada kasus model panel dinamis non spasial (Ç = 0) model (5.6) stabil atau
(5.6)

stasioner apabila |ý| < 1. Dalam model panel spasial dinamis, kestabilan model
(5.6) tidak hanya ditentukan oleh ý, |ý| < 1, tetapi ditentukan oleh akar-akar ciri
(characteristic roots) dari matriks ýS − ÇՁ 0p harus berada dalam lingkaran

Misalkan û adalah akar ciri matriks Ձ . Jika Ձ matriks simetris maka


satuan (lingkaran berjari-jari satu).

terdapat matriks b sedemikian sehingga b′ Ձ b = Λ, sedangkan apabila Ձ


matriks tak simetris maka b′ Ձ b = T, dengan Λ dan T berturut-turut adalah

dari matriks Ձ (Harville, 1997). Determinan dari matriks diagonal dan matriks
matriks diagonal dan matriks segitiga atas dengan diagonal utama akar-akar ciri

untuk kasus matriks Ձ simetris, maka


segitiga atas adalah perkalian dari elemen diagonal utamanya. Sebagai ilustrasi

b′ Ձ b = Λ
Çb′ Ձ b = ÇΛ
b′ b − b′ ÇՁ b = b′ b − ÇΛ
b′ cS − ÇՁ db = S − ÇΛ
cS − ÇՁ d0p = S − ÇΛ0p, karena PP’ = P’P=I

1
detcS − ÇՁ d0p  = |cS − ÇՁ d0p | =I .
1 − Çû
‚p
Misalkan ûY¹ dan ûY_R berturut-turut akar ciri minimum dan akar ciri
maksimum dari matriks Ձ , maka detýS − ÇՁ 0p  = |ýS − ÇՁ 0p | =
|ý||S − ÇՁ 0p | < 1. Dengan mengambil akar-akar ciri minimum dan akar ciri
maksimum ûY¹ dan ûY_R , sedemikian sehingga |ý| – — < 1 dan
p
p0Ë÷øHÄ
|ý| – — < 1 maka kondisi |ý||S − ÇՁ 0p | < 1 terpenuhi.
p
p0Ë÷øùJú
Dengan
demikian maka kondisi kestabilan model (5.11) terpenuhi apabila |ý| –p0Ë÷ —<
p
øHÄ

1 dan |ý| –p0Ë÷ — < 1 atau dapat disederhanakan menjadi |ý| < 1 −
p

ÇûY¹ ⟺ |ý| + ÇûY_R < 1 (apabila Ç < 0) dan |ý| < 1 − ÇûY_R ⟺ |ý| +
øùJú

ÇûY_R < 1( apabila Ç ≥ 0 (Cizek, 2011).

5.6 Analisis Komponen Utama


Banyaknya peubah bebas dalam model dapat meningkatkan akurasi hasil
pendugaan, namun terkadang muncul permasalahan lain yaitu terjadinya
multikolinieritas antar peubah bebas. Salah satu di antara beberapa pemecahan
terhadap masalah multikolinieritas adalah dengan mentransformasi peubah bebas
X ke peubah baru yang saling bebas melalui analisis komponen utama (Principal
Component Analysis).
Analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA)
merupakan salah satu teknik analisis peubah ganda (multivariate analysis) yang
dapat digunakan untuk mereduksi p peubah yang saling berkorelasi ke k peubah
57

baru yang tidak saling berkorelasi yang disebut komponen utama, dimana k ≤ p
(Morrison, 1990). Misalkan X1,…,Xp peubah bebas dan Σ adalah matriks peragam

dari matriks Σ ditentukan dengan menyelesaikan persamaan ciri, yaitu .KD −


(covariance matrix) berukuran p x p dari peubah X1,..,Xp. Akar ciri dan vektor ciri

ýL = |D − ýL| = 0,
dengan λ adalah akar ciri dan I matriks identitas (Harville, 1997; Seber, 2007).
dengan akar ciri (eigen value) λj, j=1,..,p dan vektor ciri (eigen vector) aj ,j=1,..,p.
Misalkan dari p peubah asal ditransformasi ke k komponen utama (k ≤ p) dan A

dengan vektor ciri aj, ‹ = e£p , . . , £ , . . , £ f maka k komponen utama pertama


adalah sebuah matriks berukuran p x p yang kolom-kolomnya, bersesuaian

bM = ‹.
(PC), dinyatakan dengan

Dalam pemodelan, matriks PC merupakan matriks yang dijadikan sebagai peubah

model panel statis, yakni untuk kasus ý = 0 dan ü = 0.


bebas dalam model. Tanpa menghilangkan generalisasi, sebagai ilustrasi, diambil

| = ÇòÚ | + ‰} + D ⊗S" η + ε (5.7)

adalah matriks identitas berukuran T x T dan N x N, | = rpp , … , r , … , r ,


dengan Wp=IT⊗W, dan lT adalah vektor satu berukuran T, IT dan IN berturut-turut

η = ηp , … , η , … , η  dan ε = εpp , … , ε , … , ε . Dengan menggunakan bM

| = NOP Q + RST∗ + UV ⊗LW η


η + ε. 5.8
sebagai peubah bebas, maka modelnya adalah :

lakukan substitusi bM = ‹ ke (5.8) sehinnga diperoleh


Untuk mengembalikan ke model awal (menggunakan pubah bebas X) dapat

Q = NOP Q + XYT∗ + UV ⊗LW η


η + ε. 5.9
Z∗ adalah penduga bagi s ∗
Berdasarkan (5.7) dan (5.9) diperoleh s = ‹s ∗ . Jika s
dan ; = ¢£¤s Z∗ ), maka penduga bagi s adalah s† = ‹s Z∗ dan ¢£¤5s† 8 = ‹ ;‹′
(Rencher dan Schaalje, 2007).

5.7 Data dan Metode


Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS) pusat dan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah dengan ruang
lingkup penelitian adalah Provinsi Jawa Tengah. Peubah-peubah penelitian yang
digunakan meliputi jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin,
populasi penduduk, jumlah tenaga kerja yang lulus SMP, PDRB perkapita dan
share tenaga kerja empat sektor dominan. Keempat sektor dominan tersebut
adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan
sektor jasa. Share tenaga kerja dihitung berdasarkan persentase rasio jumlah
tenaga kerja di sektor tertentu terhadap jumlah tenaga kerja total dikalikan seratus
persen. Sedangkan PDRB perkapita dihitung berdasarkan rasio antara PDRB
terhadap jumlah penduduk pada tahun tersebut, dengan menggunakan PDRB atas
dasar harga konstan pada tahun 2000. Peubah-peubah penelitian, keterangan dan
satuan disajikan pada Tabel 5.1.
58

Tabel 5.1 Peubah–peubah penelitian, keterangan dan satuan


Peubah Keterangan satuan
PDKMISKINit Jumlah penduduk miskin, kabupaten / kota i Ribu orang
tahun t
POPULASIit Populasi penduduk kabupaten/kota i tahun t Ribu orang
SMPit Jumlah lulusan SMP yang bekerja Ribu orang
kabupaten/kota i tahun t
SHTKTANIit Share tenaga kerja sektor pertanian %
kabupaten/kota i tahun t
SHTKINDit Share tenaga kerja sektor industri pengolahan %
kabupaten/kota i tahun t
SHTKPDGit Share tenaga kerja sektor perdagangan %
kabupaten/kota i tahun t
SHTKJASAit Share tenaga kerja sektor jasa kabupaten/kota i %
tahun t
PDRBKAPit PDRB perkapita kabupaten/kota i tahun t Ribu rupiah

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data untuk tahun 2007 sampai
2011 yang bersumber dari BPS Jawa Tengah tahun 2008 sampai 2012, atau
t=2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011. Adapun komponen data cross-section
tersebut yaitu 35 kabupaten / kota, atau i=1,2,..., 35.
Metode analisis yang digunakan terdiri dari metode eksplorasi dan
pemodelan. Analisis eksplorasi ditujukan untuk mengetahui pola persebaran
jumlah dan persentase penduduk miskin terutama melalui pemetaan. Pemodelan
digunakan untuk menghubungkan pengaruh faktor-faktor peubah bebas (termasuk
pengaruh lag spasial) terhadap jumlah penduduk miskin menggunakan model
panel spasial pengaruh tetap (fixed effect) yang mengacu pada model Cizek et al.
(2011). Sebagai tambahan, dalam hal ini dilakukan analisis pemodelan tanpa
melibatkan pengaruh spasial menggunakan perangkat lunak (software) Eviews
versi 6.

5.8 Hasil dan Pembahasan

5.8.1 Deskripsi Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin


Pola sebaran jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin
disajikan ke dalam Peta provinsi Jawa Tengah. Pola persebaran jumlah penduduk
miskin dan persentase penduduk miskin dari tahun 2007 sampai 2011 berturut-
turut disajikan pada Gambar 5.1 dan Gambar 5.2. Pada masing-masing tahun
jumlah penduduk miskin yang ada di Provinsi Jawa Tengah tersebut dibagi ke
dalam lima kelas dengan panjang interval sama. Pembagian ke dalam lima kelas
hanya untuk memudahkan melihat pola sebaran. Sedangkan panjang interval
didasarkan pada rasio antara jangkauan (jangkauan=nilai maksimum-nilai
minimum) dan banyaknya kelas. Kelas pertama yaitu untuk jumlah penduduk
miskin yang kurang dari 96000 orang. Kelas kedua untuk jumlah penduduk
miskin antara 96000 orang sampai kurang dari 192000 orang. Kelas ketiga untuk
jumlah penduduk miskin 192000 orang sampai kurang dari 288000 orang.
59

Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2007 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2010

Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2009

Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2008 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2011

Gambar 5.1 Pola persebaran jumlah penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011
60

Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2010

Persentase Penduduk Miskin Tahun 2009

Persentase Penduduk Miskin Tahun 2008 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011

Gambar 5.2 Pola persebaran persentase penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011
61

Kelas keempat untuk jumlah penduduk miskin 288000 orang sampai kurang dari
384000 orang, dan kelas kelima adalah untuk jumlah penduduk miskin lebih dari
384000. Berdasarkan pembagian kelas tersebut menunjukkan bahwa kelas
pertama menunjukkan kelompok kabupaten/kota dengan jumlah penduduk miskin
yang terendah dan kelas kelima menunjukkan kelompok kabupaten/kota dengan
jumlah penduduk miskin tertinggi. Perbedaan degradasi warna dari terang ke
gelap merepresentasikan kelompok kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
miskin dari rendah ke tinggi. Secara umum sebagian besar kabupaten/kota
menempati kelas kedua dan yang paling sedikit adalah menempati kelas kelima.
Dari tahun ke tahun terjadi pergeseran warna pada beberapa kabupaten/kota, hal
ini terjadi karena berubahnya jumlah penduduk miskin. Sebagai contoh
Kabupaten Kebumen pada tahun 2007, 2008 dan 2009 berada di kelas keempat,
namun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2010 dan 2011 bergeser posisinya ke
kelas ketiga. Hal ini berarti jumlah penduduk miskin Kabupaten Kebumen di
Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan. Berdasarkan Gambar 5.1 terdapat
kabupaten/kota yang relatif tetap pada posisinya data dari tahun 2007 sampai
2011. Sebagai ilustrasi, Kabupaten Brebes dengan jumlah penduduk miskin
terbesar, yaitu pada kelas kelima (warna gelap/tua), dan Kabupaten Banyumas
menempati kelas keempat, untuk selengkapnya kabupaten/kota dengan degradasi
warna yang sama dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Untuk melihat persebaran persentase penduduk miskin, pembagian
banyaknya kelas dan panjang interval kelas dilakukan dengan cara yang sama
sebagaimana pada jumlah penduduk miskin. Kelas pertama, kedua, ketiga,
keempat dan kelima berutur-turut adalah untuk persentase penduduk miskin
kurang dari 6%, 6% sampai kurang dari 12%, 12% sampai kurang dari 18%, 18%
sampai kurang dari 24% dan di atas 24%. Berdasarkan pembagian kelas tersebut
diperoleh pola persebaran persentase penduduk miskin yang tersaji pada Gambar
5.2.
Pola persebaran jumlah penduduk miskin (Gambar 5.1) dan persentase
penduduk miskin (Gambar 5.2) berbeda. Perbedaan pola persebaran ini
dikarenakan adanya faktor koreksi, yaitu jumlah penduduk atau populasi
penduduk di setiap kabupaten/kota. Berdasarkan Gambar 5.2 persentase
penduduk miskin untuk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sebagian besar
mengalami pergeseran dari kelas keempat ke kelas ketiga atau bergeser ke posisi
tengah. Pergerakan persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun di
kabupaten/kota cukup dinamis, hal ini dapat dilihat dari perubahan degradasi
warna pada kabupaten/kota. Jika dibandingkan antara persebaran jumlah
penduduk miskin (Gambar 5.1) dan persebaran persentase penduduk miskin
(Gambar 5.2) terdapat perbedaan. Misalnya dalam persebaran persentase
penduduk miskin Kabupaten Brebes menempati kelas kelima untuk tahun 2007
sampai tahun 2009, namun untuk tahun 2010 dan 2011 bergeser ke kelas keempat.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Brebes, secara persentase
mengalami penurunan penduduk miskin. Namun apabila dilihat dari jumlah
penduduk miskin, Kabupaten Brebes selalu menempati kelas kelima.
Berdasarkan Gambar 5.2, secara umum persebaran persentase penduduk miskin,
untuk kelas keempat dan kelas ketiga lebih dominan dibandingkan dengan kelas
lainnya.
62

5.8.2 Analisis Korelasi


Analisis korelasi berfungsi untuk melihat hubungan linier antara dua
peubah. Pada model, koefisien korelasi antara peubah tak bebas dan peubah
bebas dapat dijadikan sebagai tahap untuk menentukan arah atau tanda hubungan
tersebut. Sedangkan analisis korelasi antar peubah bebas dapat dijadikan sebagai
informasi ada atau tidak adanya multikolinier. Korelasi antara peubah tak bebas
dan peubah bebas serta korelasi antar peubah bebas disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Korelasi antar peubah
PDK POPU SHTK SHTK SHTK SHTK
SMP
MISKIN LASI TANI IND PDG JASA
POPULASI 0.803
(0.000)
SMP 0.564 0.782
(0.000) (0.000)
SHTKTANI 0.546 0.353 0.188
(0.000) (0.000) (0.013)
SHTKIND -0.338 -0.139 -0.037 -0.588
(0.000) (0.067) (0.627) (0.000)
SHTKPDG -0.389 -0.311 -0.296 -0.747 0.062
(0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.418)
SHTKJASA -0.565 -0.428 -0.389 -0.742 0.099 0.8
(0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.193) (0.000)
PDRBKAP -0.33 -0.045 0.019 -0.54 0.331 0.382 0.431
(0.000) (0.553) (0.801) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000)

Nilai-p (p-value) dari setiap korelasi antara dua peubah ditunjukkan oleh
nilai yang ada dalam tanda kurung, “( )”. Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa
korelasi antar peubah bebas menunjukkan bahwa nilai-p (p-value) sebagian besar
kurang dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar antar peubah bebas
berkorelasi secara linier Tabel 5.2. Jumlah penduduk atau populasi merupakan
peubah bebas yang mempunyai hubungan positif paling kuat dengan jumlah
penduduk miskin dibandingkan dengan peubah bebas lainnya, yaitu sebesar 0.8
dengan nilai p (p-value) 0.000, signifikan pada taraf signifikansi 0.05.
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat pula bahwa jumlah penduduk miskin
mempunyai hubungan positif dengan jumlah tenaga kerja berpendidikan setara
SMP dan share tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini berarti ketika populasi,
jumlah tenaga kerja berpendidikan setara SMP dan Share tenaga kerja pertanian
meningkat maka jumlah penduduk miskin akan meningkat. Sementara itu, share
tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan PDRB perkapita
mempunyai hubungan negatif dengan jumlah penduduk miskin, hal ini berarti jika
faktor-faktor tersebut meningkat maka jumlah penduduk miskin akan menurun.
Korelasi antar peubah bebas signifikan pada taraf signifikansi 5%, dan hal ini
sebagai informasi awal untuk terjadinya multikolinier.
63

5.8.3 Model Panel Spasial Dinamis


Dalam pemodelan, jumlah penduduk miskin (PDKMISKIN) dinotasikan
dengan Y dan jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya dinotasikan dengan
Ytmin1. Dengan menggunakan peubah bebas X dalam model, artinya bahwa
apabila kasus terjadinya korelasi yang signifikan antar peubah bebas tidak
dipertimbangkan, maka diperoleh hasil model panel spasial dinamis sebagai
berikut (Tabel 5.3).
Tabel 5.3 Analisis ragam model panel spasial dinamis (WC) sebelum dilakukan
PCA (GMM3)
Theta Stdev nilait Nilai-p
Ytmin1 0.75777 0.04071 18.61191 0.00000
WY 0.04702 0.02731 1.72140 0.08518
POPULASI 0.02664 0.00909 2.93100 0.00338
SMP -0.01229 0.02005 -0.61311 0.53981
SHTKTANI 0.21436 0.12276 1.74619 0.08078
SHTKIND 0.13639 0.17588 0.77547 0.43806
SHTKPDG -0.06497 0.33433 -0.19432 0.84593
SHTKJASA -0.30268 0.44144 -0.68567 0.49292
PDRBKAP -0.00072 0.00073 -0.99253 0.32094
2
R =99.72%
Berdasarkan Tabel 5.3, terlihat adanya beberapa koefisien pada model yang
berbeda tanda dengan korelasi peubah tersebut dengan jumlah penduduk miskin,
yaitu SMP dan SHTKIND. Korelasi SMP dan jumlah penduduk miskin bertanda
positif (Tabel 5.2) sedangkan dari hasil pemodelan, koefisien SMP bertanda
negatif (Tabel 5.3). Hal yang terjadi sebaliknya pada SHTKIND, korelasi antara
SHTKIND dengan jumlah penduduk miskin bertanda negatif sedangkan dari hasil
pemodelan koefisien SHTKIND pada bertanda positif (Tabel 5.3). Hasil uji
signifikansi terhadap peubah-peubah penjelas tampak bahwa hanya peubah
populasi yang mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf signifikansi 5%.
Pengaruh peubah tak bebas tahun sebelumnya (Ytmin1) dan lag spasial (WY) juga
signifikan pada taraf signifikansi 5%.
Masalah multikolinearitas dalam model regresi merupakan hal yang perlu
diperhatikan karena dampak yang muncul dari masalah tersebut berpengaruh
terhadap inferensia. Salah satu upaya dalam mengatasi masalah multikolinearitas
model adalah dengan mentransformasi peubah-peubah bebas X melalui analisis
komponen utama (Principal Component Analysis, PCA). Prinsip dari PCA ini
adalah mentransformasi peubah bebas ke dalam peubah baru yang disebut
komponen utama dimana antar komponen utama saling bebas. Setelah dilakukan
transformasi, berikutnya komponen–komponen utama (Principal Component, PC)
dijadikan sebagai peubah bebas bagi model yang dibangun.
Hasil PCA terhadap peubah tenaga kerja lulusan SMP, populasi penduduk,
share tenaga kerja empat sektor dominan dan PDRB perkapita disajikan pada
Lampiran 3. Dalam kasus ini pengambilan komponen utama didasarkan pada
proporsi kumulatif dan kekonsistenan tanda koefisien pada model dan korelasi
antara peubah bebas dan peubah tak bebas. Untuk PCA dengan menggunakan
matriks peragam, sebesar 99.98% dari total keragaman data peubah bebas (X)
64

dapat dijelaskan dengan dua komponen utama pertama. Sedangkan hasil PCA
dengan menggunakan matriks korelasi, dengan menggunakan dua komponen
utama pertama dapat menjelaskan 70.71% dari total keragaman X. Dalam kajian
ini diambil dua komponen utama pertama karena dengan dua komponen utama
tersebut dapat mempertahankan kekonsistenan tanda koefisien model dengan
korelasi pada Tabel 5.2. Dengan demikian dalam pemodelan ini yang menjadi
peubah bebas adalah PC1 dan PC2, dimana PCj = Xaj, j=1,2, atau dalam bentuk
matriks PC=XA, dengan A=[a1, a2]. Sebagai tambahan, dalam analisis ini
dilakukan pemodelan dengan perangkat lunak Eviews untuk kasus δ = 0
(kasus model panel dinamis non spasial) sebagai bahan pembanding terhadap
performa matriks pembobot spasial.
Mengacu pada matriks pembobot spasial dari hasil prosedur AMOEBA,
baik matriks AMOEBA yang menggunakan statistik Getis lokal (WG) maupun
matriks AMOEBA yang menggunakan statistik Getis termodifikasi (WGnew)
terdapat beberapa baris yang nol, wij=0, untuk semua kolom j untuk j=1,2,…,N
(i≠j). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota
i yang mempunyai elemen nol semua tidak dipengaruhi secara spasial oleh
kabupaten/kota j yang berada di sekitar. Gambar 5.3 memperlihatkan plot antara
Y dan WY dari hasil prosedur AMOEBA menggunakan statistik Gnew.

Gambar 5.3 Plot penduduk miskin (Y) dan interaksi spasialnya (WY).

Interaksi spasial yang ditunjukkan pada Gambar 5.3 memberikan hasil yang
khas dimana terdapat kabupaten atau kota dengan nilai-nilai WY bernilai nol.
Dalam kasus kabupaten atau kota dengan nilai WY sama dengan nol menunjukkan
bahwa kabupaten atau kota tersebut tidak mempunyai kemiripan jumlah penduduk
miskin dengan kabupaten atau kota disekitarnya. Kabupaten atau kota yang
termasuk dalam kasus ini tidak membentuk ecotope atau dalam prosedur
AMOEBA yang disebut dengan unit yang ter-exclude. Kabupaten atau kota yang
mempunyai nilai WY tidak sama dengan nol menunjukkan bahwa kabupaten atau
kota tersebut mempunyai kemiripan jumlah penduduk miskin dengan kabupaten
atau kota disekitarnya, sehingga akan membentuk ecotope rendah maupun tinggi.
Dalam model apabila sebuah kabupaten atau kota membentuk ecotope maka
jumlah penduduk miskin di kabupaten atau kota tersebut dipengaruhi oleh jumlah
penduduk miskin dari kabupaten atau kota disekitarnya.
Untuk mengakomodasi keberadaan unit-unit yang berhubungan secara
spasial dan yang tidak berhubungan secara spasial, dalam model dengan WG dan
WGnew akan dikembangkan atau dimodifikasi lebih lanjut. Modifikasi model
65

dan WGnew. Perhatikan model (5.10) dan fungsi indikator x5


dengan memisahkan unit-unit spasial dan unit-unit non spasial pada matriks WG

|  = ý|  − 1 + Çò |  + s x5 + ‰ } + ô ,


dengan x5 adalah sebuah fungsi indikator yang didefinisikan sebagai
(5.10)

0, ˜× > 0(
x5 = 
1, ˜× = 0
dengan ˜× = ∑ ‚p ò c, d. Namun pada tahapan penduga GMM, parameter
s akan tereliminir ketika dilakukan operasi beda pertama (first difference) yang

selanjutnya dilakukan modifikasi pada fungsi x5 dimodifikasi sebagai berikut:


berdampak pada matriks X yang berpangkat tidak penuh. Dengan demikian

0, ˜× > 0 (
x5  = x5 w5 = 
w5 , ˜× = 0
w5 = ¹\Yw w5  = 1,2, … , , A]¤×w5  = ‖w5 ‖q = º∑‚p  q .
w 
[
[ 
,

|  = ý|  − 1 + Çò |  + s x5 ó + ‰ } + ô .


Dengan demikian modifikasi terhadap model (5.9) adalah

Misalkan ‰∗  = cx5  ⋮ ‰ d dan }∗ = cs5 ⋮ }′d′ maka model persamaan
(5.11)

|  = ý|  − 1 + Çò |  + ‰∗ }∗ + ô .


(5.10) menjadi
(5.12)
Dengan demikian maka pendugaan parameter model pada persamaan (5.12) dapat
digunakan metode GMM. Model-model yang akan dibandingkan disajikan pada
Gambar (5.4).

Pembandingan akurasi Model

PCA (matriks peragam) PCA (matriks korelasi)

WC WG WGnew WC WG WGnew

Gambar 5.4 Model dengan variasi matriks pembobot spasial.

Model panel spasial dengan peubah bebas PC hasil transformasi PCA setiap
matriks pembobot spasial disajikan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5 (PCA dari
matriks peragam), Lampiran 6 dan Lampiran 7 (PCA dari matriks korelasi). Hasil
GMM1 (ρ=0) dan GMM3 baik untuk peubah bebas PC dari PCA matriks peragam
(Lampiran 4 dan Lampiran 5) maupun PCA matriks korelasi (Lampiran 6 dan
66

Lampiran 7) menunjukkan hasil akurasi yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
R2 yang sama. Ketepatan model panel dinamis dengan menggunakan koefisien
determinasi (R2) untuk model non spasial (dengan perangkat lunak Eviews) dan
model spasial disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Perbandingan R2 model panel spasial dinamis dan model panel dinamis
Matriks pembobot Metode
Matrik PCA R2(%)
Spasial penduga
- Peragam Eviews 99.33
WC Korelasi GMM1 (ρ=0) 99.68
WC Korelasi GMM3 99.67
WG Korelasi GMM1 (ρ=0) 99.68
WG Korelasi GMM3 99.67
WGnew Korelasi GMM1 (ρ=0) 99.69
WGnew Korelasi GMM3 99.66
WC Peragam GMM1 (ρ=0) 99.72
WC Peragam GMM3 99.71
WG Peragam GMM1 (ρ=0) 99.72
WG Peragam GMM3 99.70
WGnew Peragam GMM1 (ρ=0) 99.72
WGnew Peragam GMM3 99.70

Berdasarkan Tabel 5.4, tampak bahwa nilai R2 pada model non spasial
paling kecil dibandingkan dengan model spasial. Mengacu pada Tabel 5.4 yang
disarikan dari Lampiran 4 sampai Lampiran 7, terlihat bahwa untuk ketiga jenis
matriks pembobot spasial (WC, WG dan WGnew) pada model baik untuk GMM1
hasil PCA matriks peragam menghasilkan nilai R2 yang sama, yaitu 99.72%.
Sedangkan untuk GMM3, nilai R2 untuk WC, WG dan WGnew berturut-turut
adalah 99.71%, 99.70% dan 99.70%. Nilai R2 yang dihasilkan dari model
GMM1 melalui PCA pada matriks korelasi untuk model dengan WC, WG dan
WGnew berturut-turut adalah turut adalah 99.68%, 99,68% dan 99.69% ,
sedangkan untuk GMM3 99.67%, 99.67% dan 99.66%. Nilai R2 pada model
WGnew dengan peubah bebas PC dari matriks matriks korelasi paling tinggi
dibanding model dengan WC maupun WG meskipun sangat kecil perbedaanya.
Berdasarkan hasil R2 pada GMM1 dan GMM3 dalam model ini mengambil
GMM1 karena memberikan nilai R2yang relatif lebih besar. Berdasarkan nilai R2
pada Tabel 5.4 dapat menjadi sebuah indikasi pula bahwa pengaruh jumlah
penduduk miskin pada tahun tertentu Y(t) sangat dipengaruhi oleh jumlah
penduduk miskin pada tahun sebelumnya Y(t-1) (Ytmin1).
Hasil PCA pada matriks peragam dengan dua komponen utama didominasi
oleh PDRB perkapita dan populasi penduduk, sedangkan hasil PCA pada matriks
korelasi pada komponen pertama merupakan rata-rata dari semua peubah bebas
dan komponen kedua didominasi oleh SMP, populasi dan PDRB perkapita.
Berdasarkan nilai R2 dari model dengan peubah bebas PC dari matriks peragam
lebih tinggi daripada R2 dari model dengan peubah bebas PC dari matriks korelasi,
dalam kasus ini akan digunakan model dengan WGnew hasil PCA dari matriks
peragam. Berdasarkan model dengan matriks pembobot spasial WGnew
67

berikutnya dianalisa asumsi-asumsi kestasioneran (kestabilan) model, sebaran


sisaan, sebaran pengaruh tetap, keberhinggaan momen keempat pengaruh tetap
dan keberhinggaan ragam sisaan.

normalized dan berdasarkan Lampiran 4 diperoleh λ=0.74 dan Ç = 0.06 (positif),


Karena matriks WGnew yang digunakan dalam pemodelan bersifat row-

maka |ý| + Ç = 0.74 + 0.06 = 0.80 < 1. Berdasarkan hasil ini maka model
yang dihasilkan stasioner (Cizek, 2011). Sementara itu berdasarkan asumsi yang
terkait dengan sisaan dan pengaruh spasial tetap (η) memperlihatkan bahwa plot
tebaran (scatter plot) pengaruh tetap dan sisaan adalah acak (Lampiran 8 sampai
Lampiran 10). Tahap diagnosa berikutnya yakni keberhinggaan ragam sisaan dan
keberhinggaan momen keempat dari pengaruh tetap (η). Berdasarkan uji
keberhinggaan melalui pendekatan kurva sebaran normal dari η, ternyata
pengaruh tetap (η) menyebar normal (berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov,
p-value lebih dari 0.15). Hasil ini tentunya menjadi sebuah indikasi bahwa
momen keempat yang berhingga sehingga asumsi terpenuhi. Berikutnya
mendiagnosa ragam berhingga dari sisaan. Berdasarkan plot peluang normal
terlihat bahwa sisaan tidak menyebar normal pada taraf signifikansi 5% atau 0.05
karena nilai p-value kurang dari 0.01. Walaupun demikian berdasarkan penduga
sebaran metode kernel terlihat bahwa kurva sisaan mempunyai ragam yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan ragam pengaruh tetap. Karena kurva pengaruh
tetap (η) mempunyai momen keempat yang berhingga (finite) maka dapat
dikatakan bahwa sisaan mempunyai ragam berhingga (finite variance) (Lampiran
11). Hasil analisis ragam (Analysis of Variance, ANOVA) berdasarkan hasil
model dengan matriks spasial WGnew disajikan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Analisis ragam model panel spasial dinamis dengan matriks
WGnew
Peubah Theta stdev Nilai t Nilai-p
Ytmin1 0.735263 0.041402 17.759022 0.000000
WY 0.059828 0.021953 2.725322 0.006424
Bo 2.039104 1.385817 1.471409 0.141181
POP 0.037305 0.007697 4.846494 0.000001
SMP 0.004180 0.000863 4.844504 0.000001
SHTKTANI 0.000559 0.000114 4.891940 0.000001
SHTKIND -0.000120 0.000024 -4.920705 0.000001
SHTKPDG -0.000217 0.000044 -4.881905 0.000001
SHTKJASA -0.000233 0.000048 -4.875097 0.000001
PDRBKAP -0.001667 0.000543 -3.069662 0.002143
R2= 99.72%
Berdasarkan Tabel 5.5 terdapat pengaruh jumlah penduduk miskin tahun
sebelumnya yaitu sebesar 73.53%, artinya bahwa apabila pada tahun lalu terdapat
seribu jumlah penduduk miskin maka akan menyumbang sebanyak 735 penduduk
miskin pada tahun sekarang, ceteris paribus. Hal ini menjadi indikasi bahwa
68

pengaruh jumlah penduduk miskin pada tahun sebelumnya cukup besar. Dalam
kondisi ceteris paribus pengaruh tetangga sekitar mempunyai pengaruh sebesar
6% terhadap jumlah penduduk miskin pada wilayah tertentu.
Peningkatan populasi penduduk dapat meningkatkan jumlah penduduk
miskin. Dari hasil analisis diketahui peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1000
orang dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 37 orang.
Kebijakan yang perlu diambil dalam hal ini adalah perlunya dilakukan
pengontrolan terhadap populasi penduduk, antara lain dengan menggiatkan
kembali program keluarga berencana. Kesadaran penduduk untuk mengatur jarak
dan jumlah kelahiran diharapkan berdampak pada terpenuhinya segala kebutuhan
hidup seluruh anggota keluarga, sehingga tercipta keluarga yang ideal.
Kualitas pendidikan tentunya sangat mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia. Mengacu pada Tabel 5.5 terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya
tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP akan berdampak pada peningkatan
jumlah penduduk miskin. Hal ini berarti bahwa pendidikan tenaga kerja setara
SMP masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Oleh
karena itu program wajib belajar sembilan tahun yang telah dijalankan oleh
pemerintah perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Pada saat ini, tenaga kerja yang
berpendidikan setara SMP relatif lebih sulit untuk mendapatkan penghasilan yang
layak karena ketatnya persaingan dengan tenaga kerja yang pendidikannya lebih
tinggi. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yang
berpendidikan setara SMP, perlu dikembangkan berbagai pelatihan yang dapat
meningkatkan keahlian serta jiwa kewirausahaan di kalangan penduduknya
tersebut. Selain itu pemerintah sebaiknya berupaya untuk membuka kembali
kesempatan penduduknya untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi sehingga
tercipta sumberdaya manusia yang benar-benar handal dalam berbagai bidang.

Gambar 5.5. Hubungan kemiskinan dan faktor yang mempengaruhinya

Share tenaga kerja di sektor pertanian juga mempunyai hubungan yang


positif dengan jumlah penduduk miskin, artinya adalah peningkatan tenaga kerja
di sektor pertanian dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Hal ini terjadi
karena produktivitas sektor pertanian yang rendah padahal penyerapan tenaga
kerjanya tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Berdasarkan hal tersebut
69

maka pemerintah perlu melakukan berbagai terobosan di bidang pertanian dengan


cara memberikan berbagai penyuluhan atau pelatihan yang dapat meningkatkan
kemampuan pada petani dalam mengelola kegiatan agribisnis mulai dari tingkat
hulu sampai hilir. Sebagian besar petani yang berada di pedesaan merupakan
petani tradisional dengan pengetahuan yang masih turun temurun dan
produktivitasnya masih perlu ditingkatkan. Perubahan perilaku bertani secara
tradisional menjadi modern diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sektor
pertanian sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para tenaga kerja di sektor
pertanian. Selain upaya tersebut perlu diupayakan usaha mentransformasi tenaga
kerja dari sektor pertanian ke sektor industri, sektor perdagangan maupun sektor
jasa. Dengan adanya upaya transformasi tenaga kerja ini, maka produktivitas
tenaga kerja yang berada di sektor pertanian diharapkan akan meningkat yang
berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan petani.
Share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan dan sektor jasa
mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah penduduk miskin, artinya
bahwa dengan semakin besar tenaga kerja yang terserap di ketiga sektor tersebut
maka akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pengaruh
penurunan jumlah penduduk miskin oleh tenaga kerja yang terserap di sektor
perdagangan dan jasa hampir dua kali lipat dibanding sektor industri. Ketiga
sektor tersebut merupakan sektor-sektor unggulan di Provinsi Jawa Tengah. Oleh
karena itu perlu adanya perluasan lapangan usaha di ketiga sektor ini supaya dapat
menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja.
Peningkatan PDRB perkapita (PDRBKAP) dapat menurunkan jumlah
penduduk miskin, dimana dari hasil analisis diketahui bahwa peningkatan 1 unit
PDRB perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.001667
unit. Hal ini berarti bahwa kenaikan pendapatan perkapita sebesar Rp 1 juta maka
dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 1667 orang.
Berdasarkan hasil analisa terhadap model panel spasial dinamis, dari kriteria
R2 tidak terlalu kelihatan pengaruh matriks pembobot spasial karena pengaruh
penduduk miskin tahun sebelumnya yang sangat signifikan. Oleh karena itu,
untuk melihat performa dari ketiga matriks pembobot spasial, yaitu WC, WG dan
WGnew, dicoba dengan mengeliminir pengaruh lag waktu pada model asal (Y(t-
1)). Dengan demikian dalam pembandingan matriks pembobot W berikutnya
menggunakan model panel spasial statis.

5.8.4 Model Panel Spasial Statis


Pada tahap berikutnya difokuskan pada analisis performa ketiga matriks
pembobot spasial (WC, WG dan WGnew) , dengan tidak melibatkan pengaruh lag
waktu, Y(t-1) (λ=0) menggunakan peubah bebas PC hasil PCA matriks peragam.
Analisis ini ditujukan untuk melihat perbedaan performa ketiga matriks pembobot
spasial (WC, WG dan WGnew) dalam model.Spesifikasi model untuk

|  = Çò |  + s x5 + ‰ } + z ,


membandingkan WC, WG dan WGnew model statis adalah

dengan u  = š + 3 , t=1,2,...,T.


(5.13)

Hasil output model dari masing-masing jenis matriks pembobot disajikan


pada Lampiran 12. Berdasarkan Lampiran 12 koefisien determinasi (R2) dari
model dengan WC, WG dan WGnew berturut-turut adalah 96.16%, 98.28% dan
70

98.92%. Mengacu pada Lampiran 13, pola sisaan dan pengaruh tetap (η) dari
model dengan WGnew terlihat menyebar acak dan berada di sekitar nol.
Sementara itu pengaruh tetap (η) dari model dengan WC dan WG mempunyai
pola sebaran acak namun mempunyai nilai-nilai lebih banyak di atas nol. Dengan
mengacu pada kenyataan ini maka model dengan WGnew relatif lebih baik dalam
menggambarkan pola sebaran jumlah penduduk miskin dibandingkan model
dengan WC maupun WG (Lampiran 13).
Untuk mengukur ketepatan hasil dugaan jumlah penduduk miskin dari
ketiga jenis matriks pembobot spasial, dilakukan pembandingan terhadap jumlah
penduduk miskin sebenarnya yang telah diklasifikasikan sebagaimana tersaji pada
Gambar 5.1. Keakuratan dugaan jumlah penduduk miskin melalui analisa salah
klasifikasi untuk tahun 2007 sampai 2011 dari matriks WC, WG dan WGnew
disajikan pada Lampiran 14 sampai Lampiran 16. Berdasarkan analisis kesalahan
klasifikasi per kelompok atau per kelas dari Lampiran 14 sampai Lampiran 16,
terlihat bahwa untuk tahun 2007 sampai 2011, matriks WGnew memberikan
performa paling baik. Hal ini ditunjukkan oleh kesalahan klasifikasi (elemen-
elemen diluar diagonal utama) yang paling sedikit diantara model dengan matriks
WC maupun WG. Untuk lebih jelasnya, tabel kesalahan klasifikasi pada
Lampiran 14 sampai Lampiran 16 diringkas pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Banyaknya salah klasifikasi tahun 2007 sampai 2011 dari model
dengan matriks WC, WG dan WGnew.
Tahun WC WG WGnew
2007 18 11 4
2008 6 6 2
2009 6 3 3
2010 12 7 4
2011 11 8 5
Total 53 35 18
Lampiran 17 sampai Lampiran 21 berturut-turut menyajikan perbandingan jumlah
penduduk miskin hasil dugaan model untuk matriks WC, WG dan WGnew dengan
jumlah penduduk miskin sebenarnya (aktual) untuk tahun 2007 sampai 2011
melalui pemetaan. Berdasarkan Lampiran 17 sampai Lampiran 21 terlihat bahwa
pergeseran atau perubahan degradasi warna dari Gambar 5.1 lebih banyak
dihasilkan oleh model yang menggunakan matriks WC, sedangkan yang paling
sedikit dihasilkan oleh model yang menggunakan matriks WGnew. Hasil ini
sesuai dengan analisa salah klasifikasi pada Tabel 5.6 dimana total salah
klasifikasi pada model dengan WC paling tinggi.

5.9 Simpulan dan Implikasi Kebijakan


5.9.1 Simpulan
Melalui analisa persebaran jumlah penduduk miskin dan persentase
penduduk miskin, terdapat perbedaan pola persebaran. Perbedaan persebaran
jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin tersebut sangat
dipengaruhi oleh populasi penduduk.
71

Analisa awal terhadap faktor-faktor (peubah bebas) yang mempengaruhi


jumlah penduduk miskin melalui analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi
yang signifikan antar faktor-faktor atau peubah bebas tersebut. Adanya korelasi
antar peubah bebas dalam model berdampak pada perubahan tanda dari korelasi
yang sebenarnya dengan koefisien pada model sehingga diperlukan transformasi
menggunakan PCA.
Melalui transformasi PCA, dengan mengambil dua komponen utama
pertama dihasilkan koefisien-koefisien model yang konsisten (mempunyai tanda
yang sama) dengan korelasi antar peubah bebas. PC1 dan PC2 hasil PCA pada
matriks peragam didominasi oleh PDRB perkapita dan populasi penduduk. PC1
hasil PCA pada matriks korelasi merupakan rata-rata dari peubah bebas,
sedangkan PC2 lebih didominasi oleh SMP, populasi penduduk dan PDRB
perkapita. Berdasarkan pemodelan dengan peubah bebas PC1 dan PC2 hasil PCA
pada matriks peragam, diperoleh koefisien determinasi yang sama yaitu 99.72%.
Sedangkan pemodelan dengan peubah bebas PC1 dan PC2 hasil PCA pada
matriks korelasi, untuk WC, WG dan WGnew berturut-turut diperoleh koefisien
determinasi 99.68%, 99.68% dan 99.69%.
Berdasarkan hasil pemodelan menggunakan dua PC, baik PCA hasil matriks
peragam maupun matriks korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sangat erat antara jumlah penduduk miskin pada tahun sekarang dan tahun
berikutnya yang ditunjukkan oleh koefisien lag waktu yang sangat signifikan.
Populasi penduduk, tenaga kerja lulusan SMP dan share tenaga kerja sektor
pertanian mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin. Share
tenaga kerja industri, perdagangan dan jasa serta PDRB perkapita mempunyai
pengaruh negatif.
Evaluasi performa matriks pembobot WGnew, WC dan WG melalui
pendekatan model panel spasial statis menunjukkan bahwa matriks WGnew
memberikan performa terbaik. Koefisien determinasi model dengan WGnew
paling tinggi, yaitu 98.92%, sedangkan koefisien determinasi model dengan WC
dan WG berturut-turut sebesar 96.16% dan 98.28%. Hasil analisis salah
klasifikasi menunjukkan bahwa model dengan WGnew mempunyai tingkat salah
klasifikasi paling sedikit dibandingkan dengan salah klasifikasi pada model WG
maupun WC. Hasil ini sesuai dengan pola persebaran degradasi warna dimana
pola persebaran jumlah penduduk miskin hasil dugaan dengan WGnew lebih mirip
dengan pola persebaran jumlah penduduk miskin aktual.

5.9.2 Implikasi Kebijakan


Kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam upaya
menurunkan tingkat kemiskinan adalah dengan mengendalikan laju pertumbuhan
penduduk misalnya dengan menggiatkan kembali program keluarga berencana
(program KB). Program ini diharapkan mampu mengendalikan jumlah dan jarak
kelahiran dalam sebuah keluarga, sehingga kesejahteraan keluarga diharapkan
akan lebih baik dan pada akhirnya tingkat kemiskinan dapat diturunkan.
Selain itu diperlukan juga tersedianya sumberdaya manusia yang handal,
supaya dapat terserap di berbagai sektor lapangan usaha. Oleh karena itu
kompetensi tenaga kerja lulusan SMP perlu ditingkatkan dengan cara memberikan
berbagai pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian serta menumbuhkan jiwa
72

wirausaha. Selain itu, pemerintah daerah provinsi atau kabupaten perlu


memprioritaskan pengeluaran pemerintah dengan membuka akses pada
masyarakat untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi, misalnya SMA atau SMK ke atas. Hal ini tentu harus sejalan dengan
implementasi anggaran 20 persen dana pemerintah untuk pendidikan.
Tingginya share tenaga kerja sektor pertanian berakibat pada rendahnya
produktivitas pertanian di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan nilai
produktivitas pertanian yang terbatas sementara jumlah tenaga kerja besar. Oleh
karena itu untuk menurunkan kemiskinan adalah dengan mengembangkan usaha-
usaha pengolahan hasil pertanian dalam bentuk industri rumah tangga atau
industri kecil yang berlokasi di pedesaan. Dalam jangka panjang industri rumah
tangga dan industri kecil ditunjang untuk bermitra dengan industri besar sehingga
tenaga kerja yang berada di desa dapat diserap lebih banyak ke luar dari sektor
pertanian.
Terkait dengan masalah industri, berkembangnya industri akan
meningkatkan produktivitas perekonomian secara keseluruhan. Apabila industri
yang dikembangkan berbasis pertanian, maka hal ini akan mendorong stabilitas
harga yang diterima petani dan meningkatkan volume penjualannya sehingga
dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini akan berkaitan pula dengan sektor
perdagangan dan jasa. Dengan demikian apabila produktivitas tenaga kerja
meningkat maka pendapatanpun akan meningkat dan akhirnya berdampak pada
penurunan kemiskinan.
Dampak peningkatan PDRB perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk
miskin. Terkait dengan masalah ini, akselerasi PDRB perkapita merupakan syarat
keharusan dari pemerintah daerah provinsi yang difokuskan dengan meningkatkan
iklim investasi swasta. Investasi disarankan agar diarahkan lebih banyak pada
sektor pertanian dan industri (agroindustri). Kebijakan lain yang dapat menunjang
pengembangan iklim investasi di pedesaan ini adalah dengan meningkatkan
produktivitas pertanian, memperluas perdagangan, meningkatkan pembangunan
infrastruktur pedesaan, sehingga para investor dapat tertarik untuk
mengembangkan usahanya di daerah bersangkutan.
73

6 PEMBAHASAN UMUM
Dalam model regresi klasik umumnya diasumsikan bahwa antar objek tidak
ada interaksi atau saling bebas. Sementara itu dalam beberapa kasus tertentu
asumsi dalam model regresi tidak dapat terpenuhi. Dalam kondisi ini maka perlu
sebuah model yang mampu mengakomodasi keberadaan interaksi antar objek.
Model spasial merupakan salah satu model yang dapat mengakomodasi adanya
pengaruh interaksi dimana dalam model ini direpresentasikan oleh matriks
pembobot spasial. Komponen matriks pembobot spasial dalam model dapat
digunakan untuk memuat pengaruh unit-unit tetangga di sekitarnya terhadap unit
spasial tertentu.
Terdapat beberapa metode atau teknik yang dapat digunakan untuk
mengkonstruksi matriks pembobot spasial. Matriks pembobot spasial yang umum
digunakan dan paling sederhana didasarkan pada konsep ketetanggaan terdekat
(contiguity), dimana elemen matriks mempunyai bobot satu ketika antar unit
saling bersebelahan dan bernilai nol untuk selainnya. Teknik lain dalam
mengkonstruksi matriks pembobot telah dikembangkan, salah satu diantaranya
adalah melalui prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh Aldstadt dan Getis.
Dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial melalui prosedur AMOEBA,
digunakan statistik Getis lokal yang diklaim menyebar normal. Keungggulan
prosedur AMOEBA dibandingkan dengan matriks pembobot kontiguitas adalah
dalam prosedur AMOEBA, selain berdasarkan kedekatan antar unit juga
melibatkan kemiripan antar peubah yang berdekatan. Namun demikian, hasil
evaluasi terhadap statistik Getis lokal menunjukkan bahwa pengaruh sebaran
peubah asal (yang menjadi perhatian) perlu dipertimbangkan, tentunya selain
proporsi unit-unit yang bertetangga. Berdasarkan kasus ketika peubah yang
menjadi perhatian katakanlah peubah Xi , i=1,2,…,n menyebar iid Gamma (1,4),
kenormalan statistik Getis lokal tidak valid. Oleh karena dalam prosedur
AMOEBA didasarkan pada sebaran normal maka dilakukan modifikasi terhadap
statistik tersebut.
Statistik Getis lokal didasarkan pada permutasi acak dari unit-unit spasial
dan selanjutnya dianggap sebagai sebuah perobaan pengambilan objek dari
sekumpulan objek tanpa pengembalian. Hal ini berarti objek-objek (unit-unit
spasial) tersebut dianggap homogen.
Hasil modifikasi melalui transformasi peubah ke dalam bentuk penduga
fungsi sebaran kumulatif dengan menggunakan teorema Lyapounov, diperoleh
statistik Getis lokal termodifikasi yang menyebar normal. Untuk mengevaluasi
performa statistik Getis lokal termodifikasi dalam mengkonstruksi matriks
pembobot spasial prosedur AMOEBA, dilakukan analisa perbandingan pada
model menggunakan data simulasi dan aplikasi pada kasus data riil.
Pada kasus data riil, hubungan antara peubah tak bebas dengan faktor-faktor
yang mempengaruhinya terkadang relatif kompleks misalnya terdapat
ketakbebasan spasial (spatial dependence). Oleh karena itu dalam spesifikasi
model yang digunakan mengacu pada spesifikasi Spatial Lag Model dan Spatial
Error Model (SLM-SEM) Cizek et al. (2011). Namun demikian konsentrasi
dalam penelitian ini adalah membandingkan performa matriks pembobot spasial
yang dikonstruksi melalui prosedur AMOEBA. Untuk mendukung
pembandingan performa matriks pembobot spasial, dibangkitkan data dengan
spesifikasi parameter λ=0.3 , β=1 dan variasi δ=0.3 dan 0.5 (koefisien lag spasial)
74

dan ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3 (koefisien error spasial). Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa WGnew relatif lebih baik dibandingkan dengan WG maupun
WC dimana RMSER dari model dengan WGnew paling kecil. Temuan lain dari
hasil ini adalah adanya kecenderungan penurunan RMSER seiring dengan
peningkatan koefisien lag spasial (δ).
Pada tahap berikutnya, untuk mengkaji performa matriks pembobot spasial
diaplikasikan pada kasus data riil. Kasus yang diambil dalam penelitian ini adalah
jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk
miskin dalam ruang lingkup Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sampai 2011.
Mengangkat isu kemiskinan dalam penelitian ini karena merupakan isu yang
menjadi perhatian baik di pemerintah pusat maupun daerah. Sementara Provinsi
Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin kedua
terbesar, namun dari sisi persentase Provinsi Jawa Tengah menempati urutan
keduabelas terbesar. Dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi jumlah
penduduk miskin, dalam penelitian ini dibatasi pada faktor populasi penduduk,
jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMP, share tenaga kerja sektor pertanian,
industri, perdagangan dan jasa, serta faktor PDRB perkapita. Banyaknya faktor
atau peubah bebas dalam pemodelan berpeluang terjadinya multikolinear. Untuk
mendiagnosa multikolinear dalam model, dilakukan tahap eksplorasi awal melalui
analisis korelasi antar peubah bebas.
Berdasarkan analisis korelasi diperoleh hasil bahwa sebagian besar nilai-p
(p-value) antar peubah bebas kurang dari 0.05. Hal ini berarti bahwa sebagian
besar antar peubah bebas berkorelasi secara linier. Sementara itu korelasi antara
jumlah penduduk miskin (peubah tak bebas) dengan peubah-peubah bebas terlihat
bahwa populasi penduduk merupakan peubah bebas yang mempunyai hubungan
positif paling kuat dibandingkan dengan peubah bebas lainnya. Hasil analisis
korelasi antara jumlah penduduk miskin dengan tenaga kerja berpendidikan SMP
dan share tenaga kerja sektor pertanian juga mempunyai hubungan yang positif.
Share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan PDRB
perkapita mempunyai hubungan yang negatif dengan jumlah penduduk miskin.
Analisis pengaruh ketujuh peubah bebas terhadap jumlah penduduk miskin
dilakukan melalui model dengan melibatkan jenis matriks yang berbeda. Dari
ketiga jenis matriks yang digunakan peubah bebas komponen utama (PC) yang
merupakan hasil transformasi dari peubah-peubah bebas X menggunakan PCA.
Peubah-peubah bebas PC yang digunakan dalam model diperoleh dari hasil PCA
pada matriks peragam dan matriks korelasi untuk mendapatkan model yang baik.
PC hasil PCA pada matriks peragam didominasi oleh peubah PDRB perkapita dan
populasi penduduk, sedangkan PC hasil PCA pada matriks korelasi berbeda. PC1
hasil PCA pada matriks korelasi merepresentasikan rata-rata dari ketujuh peubah
bebas, sedangkan PC2 merepresentasikan peubah jumlah tenaga kerja lulusan
SMP, populasi penduduk dan PDRB perkapita.
Berdasarkan pemodelan dengan menggunakan PC hasil PCA pada matriks
peragam diperoleh bahwa ketiga matriks pembobot spasial (WC, WG dan
WGnew) memberikan performa yang sama baiknya dimana koefisien determinasi
masing-masing sebesar 99.72%. Sedangkan berdasarkan pemodelan dengan
menggunakan PC hasil PCA pada matriks korelasi diperoleh nilai koefisien
determinasi model dengan matriks WC, WG dan WGnew berturut-turut sebesar
99.68%, 99.68% dan 99.69%. Walaupun dalam hal ini nilai koefisien determinasi
75

dari model dengan WGnew lebih tinggi, namun perbedaannya sangat kecil. Hal
ini menunjukkan dalam model lebih didominasi oleh koefisien lag waktu satu
tahun sebelumnya, Y(t-1). Dengan kata lain terdapat hubungan yang sangat erat
antara jumlah penduduk miskin untuk tahun tertentu dan tahun sebelumnya.
Dengan pertimbangan koefisien determinasi di atas, interpretasi hasil pada
kasus ini didasarkan pada model dengan matriks WGnew. Berdasarkan tabel
ANOVA dari model dengan WGnew ternyata sekitar 73.53% jumlah penduduk
miskin dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya, ceteris
paribus. Sedangkan pada populasi penduduk diperoleh koefisien 0.0373, apabila
terdapat peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1000 orang dapat meningkatkan
jumlah penduduk miskin sebanyak 37 orang. Kebijakan yang perlu diambil dalam
hal ini adalah perlunya dilakukan pengontrolan terhadap populasi penduduk,
antara lain dengan menggiatkan kembali program keluarga berencana (program
KB). Kesadaran penduduk untuk membatasi jumlah kelahiran diharapkan
berdampak pada terpenuhinya segala kebutuhan hidup anggota keluarga.
Kualitas pendidikan tentunya sangat mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia. Tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP tentunya relatif lebih sulit
untuk mendapatkan penghasilan yang layak karena ketatnya persaingan dengan
tenaga kerja yang pendidikannya lebih tinggi. Program wajib belajar sembilan
tahun yang telah dijalankan oleh pemerintah perlu mendapat perhatian lebih
lanjut. Share tenaga kerja di sektor pertanian mempunyai hubungan yang positif
dengan jumlah penduduk miskin, artinya bahwa sebagian besar tenaga kerja di
sektor pertanian mempunyai pendapatan yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan sektor lain. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap
PDRB total provinsi Jawa Tengah yang semakin menurun padahal tenaga kerja
yang terserap di sektor pertanian adalah yang paling tinggi.
Peningkatan PDRB perkapita (PDRBKAP) dapat menurunkan jumlah
penduduk miskin, dimana dari hasil analisis diketahui bahwa peningkatan 1 unit
PDRB perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.001667
unit. Hal ini berarti bahwa kenaikan pendapatan perkapita sebesar Rp 1 juta maka
dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 1667 orang. Share tenaga
kerja sektor industri, sektor perdagangan dan sektor jasa mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap jumlah penduduk miskin artinya bahwa dengan semakin
besar tenaga kerja yang terserap di ketiga sektor tersebut maka akan berdampak
pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pengaruh penurunan jumlah penduduk
miskin oleh tenaga kerja yang terserap di sektor perdagangan dan jasa hampir dua
kali lipat dibanding sektor industri.
Penelusuran terhadap pembandingan performa matriks pembobot spasial
dilakukan dengan menggunakan model panel spasial statis, dalam arti bahwa
pengaruh jumlah penduduk pada tahun sebelumnya dieliminir. Berdasarkan hasil
pendugaan model dengan GMM baik pada GMM satu tahap maupun GMM tiga
tahap, nilai koefisien determinasi (R2) dari model dengan WC, WG dan WGnew
berturut-turut sebesar 96.16%, 98.28% dan 98.92%. Asumsi-asumsi model
seperti keacakan sisaan dan keacakan pengaruh tetap (η) pada model dengan
WGnew juga memberikan performa yang baik dibandingkan dengan model
dengan WC maupun WG. Perbandingan hasil dugaan jumlah peduduk miskin
pada model panel statis melalui pemetaan dan analisis salah klasifikasi sangat
terlihat perbedaan performa ketiga matriks tersebut. Jumlah salah klasifikasi dari
76

hasil pemodelan dengan WC hampir tiga kali lipat jumlah salah klasifikasi model
dengan WGnew. Sedangkan jumlah salah klasifikasi dari hasil pemodelan dengan
WG hampir dua kali lipat jumlah salah klasifikasi model dengan WGnew. Hal ini
menunjukkan bahwa performa WGnew dapat memberikan hasil terbaik dalam
pemodelan jumlah penduduk miskin.
77

7 SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Dalam pemodelan dimana terdapat ketakbebasan spasial antar peubah tak
bebas perlu dipertimbangkan model-model ketakbebasan dengan memuat lag
spasial. Ketakbebasan spasial dalam model dapat dimuat melalui keterlibatan
matriks pembobot spasial di ruas kanan model.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi matriks
pembobot spasial memunculkan sebuah pilihan sedemikian sehingga matriks
pembobot spasial yang digunakan mempunyai performa yang baik. Metode
umum dalam mengkonstruksi matriks pembobot didasarkan pada konsep
ketetanggaan, dimana untuk dua unit spasial yang bertetangga atau bersebelahan,
maka elemen matriks tersebut bernilai 1 dan selainnya bernilai nol. Teknik lain
yang dapat digunakan adalah prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh
Aldstadt dan Getis yang melibatkan peubah yang menjadi perhatian. Dalam
mengkonstruksi elemen matriks pembobot spasial, Aldstadt dan Getis
menggunakan asumsi kenormalan sebaran statistik Getis yang diklaim oleh Getis

Pada kasus peubah asal yang menyebar Gamma diperoleh bentuk kurva [∗
dan Ord tanpa mempertimbangkan sebaran peubah asal.

peubah asal yang menyebar Gamma, statistik [∗ tidak normal sedangkan untuk
tidak simetris (menjulur), demikian pula hasil uji analitik oleh Zhang bahwa untuk

peubah asal normal statistik [∗ juga normal. Oleh karenanya dapat disimpulkan
bahwa kenormalan statistik [∗ bergantung pada sebaran peubah asal.

fungsi sebaran empirisnya,  ke Á³¹ 5N 8, diperoleh statistik Getis lokal (Gnew(i))
Modifikasi statistik Getis lokal melalui transformasi peubah asal ke penduga

peubah asal  . Evaluasi performa statistik Getis lokal yang termodifikasi


yang kekar (robust), yakni statistik tersebut berdistribusi normal untuk sembarang

(Gnew(i)) dalam prosedur AMOEBA (WGnew), dalam penelitian ini digunakan


model panel spasial dinamis dan data hasil bangkitan melalui simulasi serta data
riil. Pembangkitan data yang didasarkan spesifikasi parameter yang dicoba,
λ=0.3, δ=0.3 dan 0.5, β=1, dan ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3, untuk T=3, 5 dan 7.
Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa WGnew memberikan performa yang
relatif lebih baik daripada matriks prosedur AMOEBA statistik Getis lokal (WG).
Demikian pula apabila dibandingan dengan WC, performa WGnew masih lebih
baik.
Untuk mengevaluasi performa matriks pembobot spasial dalam kasus data
riil, model diaplikasikan pada data jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya di Provinsi Jawa Tengah. Faktor-faktor tersebut dibatasi
pada populasi penduduk, jumlah tenaga kerja lulusan SMP, share tenaga kerja
pertanian, industri, perdagangan, jasa, serta PDRB perkapita. Analisis korelasi
terhadap peubah bebas menunjukkan adanya korelasi linier antar peubah bebas
yang signifikan. Korelasi antar peubah bebas dalam model berdampak pada
perubahan tanda dari korelasi yang sebenarnya dengan koefisien pada model.
Melalui transformasi PCA dan menggunakan dua PC baik hasil PCA pada matriks
peragam maupun matriks korelasi, diperoleh koefisien-koefisien dengan tanda
yang konsisten dengan korelasi yang sebenarnya. Berdasarkan PC hasil PCA
pada matriks peragam, ketiga matriks WC, WG dan WGnew pada model dinamis
78

memberikan performa yang sama baiknya. Berdasarkan PC hasil PCA pada


matriks korelasi, matriks WGnew pada model dinamis memberikan performa
sedikit lebih baik.
Analisis perbandingan performa matriks WC, WG dan WGnew melalui
pendekatan model panel spasial statis diperoleh hasil bahwa WGnew memberikan
performa terbaik. Koefisien determinasi model untuk WC, WG dan WGnew
berturut-turut 96.16%, 98.28% dan 98.92%. Sementara berdasarkan hasil uji
asumsi, model dengan WGnew relatif lebih baik dalam arti bahwa asumsi-asumsi
seperti keacakan sisaan dan asumsi pengaruh spesifik spasial terpenuhi. Begitu
pula ketepatan dengan pendugaan model dengan WGnew melalui pemetaan dan
analisis salah klasifikasi diperoleh hasil yang relatif tepat dibandingkan dengan
model lainnya. Hal ini merupakan bukti bahwa model dengan WGnew adalah
paling baik jika dibandingkan dengan model matriks WC maupun WG.
Berdasarkan ANOVA dari model panel dinamis spasial menggunakan
WGnew, terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah penduduk miskin pada
tahun tertentu dan tahun sebelumnya. Peningkatan populasi penduduk, tenaga
kerja lulusan SMP, dan share tenaga kerja sektor pertanian berdampak pada
meningkatkan jumlah penduduk miskin. Sementara peningkatan PDRB perkapita,
share tenaga kerja di sektor industri, perdagangan dan jasa dapat menurunkan
jumlah penduduk miskin.
Kebijakan pemerintah yang harus dilakukan adalah meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan iklim investasi di pedesaan,
meningkatkan produktivitas pertanian, memperluas perdagangan, meningkatkan
pembangunan infrastruktur pedesaan dan pengembangan industrialisasi pedesaan
yang mengarah pada agroindustri. Berkaitan dengan populasi penduduk, perlu
adanya upaya pengendalian populasi penduduk melalui program Keluarga
Berencana (KB). Sedangkan perluasan lapangan usaha di sektor industri,
perdagangan dan jasa perlu ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja baik
di pedesaan maupun di perkotaan. Upaya tersebut perlu didukung oleh
ketersediaan sumber daya manusia (tenaga kerja) yang handal sehingga
peningkatan pertumbuhan ekonomi berjalan secara optimal. Kualitas sumber
daya manusia dapat ditingkatkan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan.

7.2 Saran
Berdasarkan beberapa temuan dari hasil kajian terhadap masalah sebaran
statistik Getis lokal, matriks pembobot spasial dan aplikasinya terdapat beberapa
hal yang perlu dikaji lebih lanjut.
Perlu kehati-hatian dalam penggunaan asumsi kenromalan statistik Getis
lokal dalam analisis-analisis data spasial.
Dalam hal mengkonstruksi matriks pembobot prosedur AMOEBA
disarankan untuk menggunakan statistik Getis lokal yang termodifikasi untuk
meningkatkan performa hasil dugaan.
Pemodelan data panel spasial lebih lanjut yang melibatkan matriks
pembobot spasial perlu dicoba menggunakan matriks pembobot spasial dinamis
(berubah menurut waktu) menggunakan prosedur AMOEBA. Dengan demikian
variasi dalam data deret waktu dan dependensi spasial dapat diakomodasi oleh
matriks pembobot spasial tersebut.
79

DAFTAR PUSTAKA

Ajmani VB. 2009. Applied Econometrics Using The SAS(R) System. John Wiley
& Sons. New Jersey.
Aldstadt J dan Getis A. 2006. Using AMOEBA to create a spatial weights matrix
and identify spatial clusters. Geographical Analysis 8:327-343.
Anselin L. 1995. Local indicators of spatial association-LISA. Geographical
Analysis 27 : 93-115.
Anselin L. 1999. Spatial Econometrics [diunduh 7 Juli 2012]. Tersedia pada:
http://www.csiss.org/learning_resources/ content/papers/baltchap.pdf.
Anselin L. 2003. Spatial Autocorrelation (2): Spatial Weights [diunduh 13
Desember 2013]. Tersedia pada: http://www.negia.ucsb.edu/Publications/
Tech_Reports/92/92-10.pdf.
Anselin L dan Lozano-Gracia N. 2008. Errors in variables and spatial effects in
hedonic house price models of ambient air quality. Empirical Economics
34: 5–34.
Arrelano M dan Bond S. 1991. Some test of specification for panel data: monte
carlo evidence and an application to employment equations. Review of
Economic Studies 58:277-297.
Arrelano M. 2003. Panel Data Econometrics. Oxford University Press Inc.
New York.
Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. Third edition. John
Wiley & Sons. England.
Banerjee S, Carlin BP, Gelfand AE. 2004. Hierarchical Modeling and Analysis
for Spatial Data. Chapman & Hall. London.
Berry BJL, Griffith DA dan Tiefelsdorf MR. 2008. From spatial analysis to
geospatial science. Geographical Analysis. 40: 229-238.
Bhattacharjee A dan Holly S. 2011. Structural interaction in spatial panels. Empir
Econ 40: 69-94.
Billingsley P. 1995. Probability and Measure. Third Edition. John Wiley & Sons.
New York.
Bond SR, Hoeffler A, Temple J. 2001. GMM estimation of empirical growth
models. Centre for Economic Policy Research. Discussion Paper No. 3048:
1-33.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan
Distribusi Pendapatan. BPS, Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tinjauan PDRB Kabupaten Kota Jawa
Tengah 2010. BPS Jawa Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data dan Informasi Kemiskinan Provinsi
Jawa Tengah 2002-2010. BPS Jawa Tengah, Semarang.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Tengah Dalam Angka 2008. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka 2009. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jawa Tengah Dalam Angka 2010. BPS Jawa
Tengah. Semarang
80

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Tengah Dalam Angka 2011. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Tengah Dalam Angka 2012. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase
Penduduk Miskin di Indonesia [diunduh 4 Desember 2013]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2013.
Berita Resmi Statistik. No. 47/07/Th. XVI, 1 Juli 2013 [diunduh
9 Nopember 2013]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/brs_file/
kemiskinan_01jul13.pdf.
Bruderl J. 2005. Panel data analysis [diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada:
http//www2.sowi.uni-mannheim.de/lsssm/veranst/panelanalyse.pdf.
Conley TG dan Topa G. 2002. Socio economic distance and spatial patterns in
unemployment. Journal of Applied Econometrics. DOI: 10.1002/jae.670,
17: 303–327.
Conley TG dan Dupor B. 2003. A spatial analysis of sectoral complementarity.
Journal of Political Economy. 3: 311-352.
Costa-Font J dan Moscone F. 2008. The imfact of decentralization and inter-
territorial interactions on Spanish health expenditure. Empirical Economics.
34: 167-184.
Cressie NAC. 1993. Statistics for Spatial Data. John Wiley and Sons. New York.
Chung KL. 2001. A Course in Probability Theory. Academic Press. USA
Cizek P, Jacobs J, Lighart J dan Vrijburg. 2011. GMM estimation of fixed effects
dynamic panel data models with spatial lag and spatial errors [diunduh 8
Januari 2012]. Tersedia pada: http://www.tilburguniversity.edu/webwijs/
files/center/ligthart/JErev.pdf.
Druska V dan Horrace WC. 2004. Generalized moments estimation for spatial
panel data: Indonesian rice farming. Amer. J. Agr. Econ 86 : 185–198.
Duque JC, Aldstadt J, Velasquez E, Franco JL, Betancourt A. 2011. A
computationally efficient for delineating irregularly shaped spatial cluster. J
Geogr Syst 13 : 355-372. Doi:10.1007/s10109-010-0137-1.
Eigner F. 2009. Dynamic panel data methods for cross-section panels with an
application on a winter tourism demand model [diunduh 24 Januari 2014].
Tersedia pada: http://homepage.univie.ac.at/robert.kunst/pres09_pan_
eigner.pdf.
Elhorst JP. 2010. Applied spatial econometrics: raising the bar. Spatial Economic
Analysis 5: 9-28.doi:10.1080/17421770903541772.
Fingleton B. 2008a. A Generalized method of moments estimator for a spatial
panel model with an endogenous spatial lag and spatial moving average
errors. Spatial Economic Analysis 3: 27-44
Fingleton B. 2008b. A Generalized method of moments estimator for a spatial
model with Moving Average Errors, with Application to Real Estate Prices.
Empirical Economics 34: 35-57.
Fotheringham AS dan Rogerson PA. 2009. Spatial Analysis. SAGE. London.
Fotheringham AS. 2009. “The problem of spatial autocorrelation” and local
spatial statistics. Geographical Analysis 41 : 398-403.
81

Folmer H dan Oud JHL. 2008. How to get rid of W: a latent variables approach to
modeling spatially lagged variables. Environment and Planning A 40:2526–
2538
Gaetan C dan Guyon X. 2010. Spatial Statistics and Modelling. John Wiley &
Sons. New York.
Getis A dan Ord JK. 1992. The analysis of spatial association by use of distance
statistics. Geographical Analysis 24 : 189-206.
Getis A dan Aldstadt J. 2004. Constructing the spatial weights matrix using local
statistic. Geographical Analysis 36 : 90-104.
Getis A. 2008. A history of the concept of spatial autocorrelation: A Geographer’s
perspective. Geographical Analysis 40 : 297-309.
Getis A. 2009. Spatial weights matrices. Geographical Analysis. 41 : 404-410.
Hsiao C. 2003. Analysis of Panel Data. Second Edition. Cambridge University
Press. California.
Harville DA. 1997. Matrix Algebra From a Statistician’s Perspective. Springer-
Verlag. New York.
Jacobs JPAM, Ligthart JE dan Vrijburg. 2009. Dynamic panel data models
featuring endogenous interaction and spatially correlated errors [diunduh
2 Desember 2012]. Tersedia pada: www.ub.edu/sea2009.com/Papers/11.pdf.
Kapoor M, Kelejian HH, Prucha IR. 2007. Panel data models with spatially
correlated error components. Journal of econometric 140 : 97-130.
Kelejian HH., Prucha IR. 1998. A generalized spatial two-stage least squares
procedure for estimating a spatial autoregressive model with autoregressive
disturbances. Journal of Real Estate Finance and Economic. 17:99-121.
Kelejian HH., Prucha IR. 1999. A generalized moments estimator for
autoregressive parameter in spatial model. International Economic Review.
40:509-533.
Kelejian HH., Prucha IR. 2007. The relative efficiencies of various predictors in
spatial econometric models containing spatial lag. Regional Sciences and
Urban Economics. 37: 363-374.doi:10.1016/j.regsciurbeco.2006.11.005.
Kelejian HH., Prucha IR. 2010. Specification and estimation of spatial
autoregressive models with autoregressive and heteroskedastic disturbances.
Journal of Econometrics 157: 53-67. doi:10.1016/j.jeconom.2009.10.025.
Kholodilin KA, Siliverstovs B dan Kooths S. 2008. A dynamic panel data
approach to the forecasting of the GDP of German La¨nder. Spatial
Economic Analysis. 3 : 195-207
Kukenova M dan Monteiro JA. 2008. Spatial dinamic panel model and system
GMM: monte carlo investigation [diunduh 2 April 2012]. Tersedia pada:
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/13405/1/MPRA_paper_13405.pdf.
Lahiri SN, Chaterjee A dan Maiti T. 2007. Normal approximation to the
hypergeometric distribution in nonstandard cases and sub-Gaussian Berry-
Esseen theorem. Journal of Statistical Planning and Inference. 137: 3570-
3590.
Larch M dan Walde J. 2009. Finite sample properties of alternative GMM
estimators for random effects models with spatially correlated errors. Ann
Reg Sci. 43:473–490
Lee, LF dan Yu J. 2010. Spatial dynamic panel-stable model with fixed effects.
Foundation and Trends in Econometrics. 4: 48-79.
82

Liu A, Folmer H dan Oud JHL. 2011a. W-based vs latent variables spatial
autoregressive models: evidence from Monte Carlo simulation. Ann Reg Sci.
47:619–639.
Liu A, Folmer H dan Oud JHL. 2011b. Estimating regression coefficients by W-
based and latent variables spatial autoregressive models in the presence of
spillovers from hotspots : evidence from Monte Carlo simulations. Lett Spat
Resour Sei. 4: 71-80.
Morrison, D.F. (1990). Multivariate Statistical Methods, 3nd edition. NY: McGraw-Hill.
Nelson TA dan Boots B. 2008. Detecting spatial hot spots in landscape ecology.
Journal compilation. Ecography. 31: 556-566.
Nicholson WL. 1956. On the normal approximation to the hypergeometric
distribution. The Annals of Mathematical Statistics. 27: 471-483.
Ord JK dan Getis A. 1995. Local spatial autocorrelation statistics: distributional
issues and an application . Journal Geographical Analysis 27 : 286-306
Ord JK dan Getis A. 2001. Testing for local autocorrelation in the presence of
global autocorrelation. Journal of Regional Science. 41: 411-432
Perret JK. 2011. A proposal for an alternative spatial weight matrix under
consideration of the distribution of economic activity. Schumpeter
discussion papers 2011-002.
Ross HM. 1997. Introduction to Probability Models. Academic Press.
California.
Rencher AC dan Schaalje GB. 2007. Linear Models in Statistics. John Wiley &
Sons. New Jersey.
Rossi E. 2010. Introduction to the generalized method of moments [diunduh 24
Januari 2014]. Tersedia pada: http://economia.unipv.it/pagp/
pagine_personali/erossi/rossi_GMM_1_Ecnmtra_Fin_2010.pdf.
Roussas GG. 1997. A Course in Mathematical Statistics. Second Edition.
Academic Press. San Diego.
Seber GAF. 2007. A Matrix Handbook for Statisticians. John Wiley & Sons. New
Jersey.
Sen A. 1976. Large sample-size distribution of statistics used in testing for spatial
correlation. Geographical Analysis 9:175–184.
Shao J. 2003. Mathematical Statistics. Second Edition. Springer. New York.
Siregar H dan Wahyuniarti D. 2008. Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin [diunduh 2 Juli 2013]. Tersedia pada:
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ pdffiles/PROS_2008_MAK3
Smith, TE. 2014. Areal data analysis (Part III). Notebook for spatial data analysis
[diunduh 20 januari 2014]. Tersedia pada: http://www.seas.upenn.edu/
~ese502/#contents
Stakhovych S dan Bijmolt THA. 2008. Specification of spatial models: A
simulation study on weights matrices. Papers in Regional Science 88 : 389-
408.
Thomas RL. 1997. Modern Econometrics an Introduction. Addison Wesley.
London.
Tiefelsdorf M. 2002. The saddlepoint approximation of Moran’s I’s and local
Moran’s Ii’s reference distribution and their numerical evaluation.
Geographical Analysis. 34:187-206.
83

Tsang EWK. 2007. Economic distance and the survival of foreign direct
investments. Academy of Management Journal. 50: 1156-1168.
Verbeek M. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Third Edition. John Wiley
& Sons.
Ward MD dan Gleditsch KS. 2008. Spatial Regression Models. Sage
Publications. California.
Wooldridge JM. 2001. Application of generalized method of moments
estimation. Journal of Economic Perspectives 15: 87-100.
Zhang T. 2008. Limiting distribution of the G statistics. Elsevier 78: 1656-1661
84
85

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai