Adoc - Pub - Modifikasi Statistik Getis Lokal Pada Matriks Pemb
Adoc - Pub - Modifikasi Statistik Getis Lokal Pada Matriks Pemb
Adoc - Pub - Modifikasi Statistik Getis Lokal Pada Matriks Pemb
JAJANG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN
Jajang
NIM G161090031
iv
v
RINGKASAN
JAJANG. Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA
untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya. Dibimbing oleh ASEP
SAEFUDDIN, I WAYAN MANGKU dan HERMANTO SIREGAR.
Model regresi klasik mengasumsikan antar objek tidak ada interaksi. Pada
beberapa kasus, asumsi tersebut adakalanya tidak terpenuhi sehingga perlu dicari
alternatif pemecahan yang dapat mengakomodasi adanya pengaruh interaksi.
Model spasial merupakan model yang dapat mengakomodasi pengaruh interaksi
melalui penambahan komponen spasial di ruas kanan model yang
direpresentasikan oleh matriks pembobot spasial.
Umumnya matriks pembobot spasial menggunakan konsep kedekatan
antar unit spasial, tanpa melibatkan kemiripan peubah yang menjadi perhatian.
Sebuah cara lain untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial adalah
menggunakan prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh Aldstadt dan Getis.
Dalam prosedur ini setiap elemen matriks, selain ditentukan oleh hubungan
kedekatan, juga ditentukan oleh kemiripan antar peubah menggunakan statistik
Getis lokal. Getis dan Ord telah mengklaim bahwa statistik Getis lokal
berdistribusi normal. Akan tetapi hasil uji secara empiris melalui kurva normal
menunjukkan bahwa kenormalan statistik Getis lokal dipengaruhi oleh peubah
yang menjadi perhatian (peubah asal). Berdasarkan hal ini maka dilakukan
modifikasi terhadap statistik Getis lokal sehingga diperoleh statistik Getis yang
kekar (robust). Melalui metode transformasi peubah asal ke penduga distribusi
sebaran kumulatif diperoleh statistik Getis termodifikasi, katakanlah Gnew, yang
robust artinya Gnew berdistribusi normal untuk sembarang peubah asal.
Untuk mengevaluasi statistik Getis lokal dan Getis lokal termodifikasi,
keduanya diterapkan pada AMOEBA untuk mengkonstruksi matriks pembobot,
katakanlah WG dan WGnew. Di samping itu dibandingkan pula kedua matriks
tersebut dengan matriks kontiguitas (WC). Model yang digunakan untuk
membandingkan ketiga matriks pembobot spasial adalah model yang dispesifikasi
oleh Cizek. Dengan menggunakan data simulasi dan kriteria akar kuadrat tengah
galat relatif diperoleh bahwa WGnew memberikan performa paling baik.
Berikutnya adalah mengevaluasi performa matriks pada kasus data riil. Studi
kasus yang diambil dalam penelitian ini terkait dengan masalah kemiskinan di
Provinsi Jawa Tengah.
Kemiskinan merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian baik di
tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jawa Tengah merupakan
provinsi dengan jumlah penduduk miskin kedua terbesar di Indonesia. Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan, beberapa di antaranya adalah
PDRB perkapita, populasi, pendidikan, share tenaga kerja pertanian, share tenaga
kerja industri, share tenaga kerja perdagangan dan share tenaga kerja jasa (empat
sektor dominan). Konsentrasi penelitian ini adalah mengkaji pengaruh tenaga
kerja lulusan SMP ke bawah, populasi penduduk, PDRB perkapita, dan share
tenaga kerja empat sektor dominan terhadap jumlah penduduk miskin dengan
menggunakan model panel spasial. Data yang digunakan untuk pemodelan data
dari tahun 2007 sampai 2011 yang diperoleh dari BPS pusat dan BPS Jawa
Tengah dari tahun 2008 sampai 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kenaikan populasi penduduk, jumlah pakerja yang tamat SMP, dan share tenaga
vi
SUMMARY
JAJANG. Modified Local Getis Statistic on AMOEBA Weights Matrix for
Spatial Panel Model and Its Performance. Supervised by ASEP SAEFUDDIN, I
WAYAN MANGKU and HERMANTO SIREGAR.
Classical regression model assumes that no interaction between objects.
However, in some cases these conditions are not hold so we have to find an
alternative solution that can accommodate the interaction effect. Spatial model is
a model that can accommodate the interaction effect by adding a spatial
component in the right hand side that represented by a spatial weights matrix.
Generally, spatial weighted matrix uses closeness concept among the
units, without include the proximity of interest variables. Another way to
construct a spatial weights matrix is to use AMOEBA procedure introduced by
Aldstadt and Getis. In this procedure, each element of the matrix, beside is
determined by the closeness relationship, also determined by proximity among
variables using local Getis statistics. Getis and Ord have claimed that the statistic
is normally distributed. However, empirically, normal curve test shows that
normality of local Getis statistic is influenced by variable of interest (original
variable). Due to this reason, we propose a modification of local Getis statistic,
namely Gnew, which gives a robust result. A modification of local Getis statistics
by transforming ܺ to ܨ (ݔ ) gives a robust result, that is, it has normal
distribution for any distribution of Xj.
To assess local Getis and modified local Getis statistics, they are applied
on AMOEBA procedure to create weights matrix, namely WG and WGnew. We
compare them with contiguity matrix (WC). The model that used for comparison
is spatial dynamic panel model with respect to Cizek. By using simulated data and
root mean square error relative criteria, it is found that WGnew gives the best
performance. In the next stage, we evaluate spatial matrix performance in model
to real data, whereas in this case, we take poverty issue in Center Java Province.
Poverty is one of the issues of concern at both the central and local
government. Central Java was the province with the second largest number of
poor people in Indonesia. There are many factors that influence poverty, some of
them are GDP per capita, population, education, share of agriculture labor, share
of industry labor, share of trading labor and share of services labor (four dominant
sectors). Focus of this research is to study influence of labor of junior high school
graduates, population, GDP per capita and the share of labor in four dominant
sectors to the number of poor people using spatial panel model. Sources of data
for modeling obtained from central BPS and Center Java BPS from 2008 to 2012.
The research results show that an increase in population, labor of junior high
school graduates and share of agricultural labor can increase the number of poor
people. Meanwhile the increase in labor share of industry, trade and service
sectors and GDP per capita can decrease the number of poor people. Based on
these findings, there are several ways to reduce the number of poor people, such
as to control population by family planning program (KB program), improving
quality of human resources, expand some business, especially in sectors of
industry, trading and services.
Keywords: poverty, PDB per capita, random permutation, local Getis statistic,
modified local Getis statistic.
viii
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
JAJANG
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada
Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
x
Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup: 1. Dr. Anang Kurnia, S.Si, M.Si
2. Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS
Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka: 1. Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc
2. Prof. Dr. Ir Noer Azam Achsani, M.Sc
xi
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota Anggota
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Jajang
xiv
xv
DAFTAR ISI
xvi
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Pembandingan RMSER dari model dengan WC, WG dan WGnew 48
Tabel 5.1 Peubah–peubah penelitian, keterangan dan satuan ...................... 58
Tabel 5.2 Korelasi antar peubah ................................................................... 62
Tabel 5.3 Analisis ragam model panel spasial dinamis (WC) sebelum
dilakukan PCA (GMM3) .............................................................. 63
Tabel 5.4 Perbandingan R2 model panel spasial dinamis dan model panel
dinamis .......................................................................................... 66
Tabel 5.5 Analisis ragam model panel spasial dinamis dengan matriks
WGnew .......................................................................................... 67
Tabel 5.6 Banyaknya salah klasifikasi tahun 2007 sampai tahun 2011 dari
model dengan matriks WC, WG dan WGnew ............................... 70
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi hubungan k ketetanggaan terdekat. ............................ 11
Gambar 2.2 Fungsi pembobot (wij) jarak radial. ......................................... 12
Gambar 2.3 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat α=1. .............................. 12
Gambar 2.4 Fungsi pembobot (wij) jarak eksponensial α=1. ...................... 13
Gambar 2.5 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat ganda ............................. 13
Gambar 2.6 Ilustrasi matriks kontiguitas tipe rook (b), bishop (c) dan queen (d)
dari unit-unit spasial (a) yang bertetangga terhadap F ............ 14
Gambar 2.7 Ilustrasi ecotope pada tahap pertama. ...................................... 16
Gambar 2.8 Ilustrasi ecotope pada tahap kedua. ......................................... 16
Gambar 2.9 Ecotope hasil tahap ketiga (a) dan kelima (b). ......................... 17
Gambar 2.10 Tipe matriks pembobot spasial menurut Stakhovych dan
Bijmolt (2008). ......................................................................... 19
∗
Gambar 3.1 Kurva ܩ kasus ܺ ~(ܽ݉݉ܽܩ1,4) N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 28
∗
Gambar 3.2 Kurva ܩ௪() kasus ܺ ~(ܽ݉݉ܽܩ1,4), N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 30
∗ ଶ
Gambar 3.3 Kurva ܩ௪() kasusܺ ~߯(ସ) , N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 30
∗
Gambar 3.4 Kurva ܩ௪() kasusܺ ~(ܨ1,2), N=200 pada variasi pi
menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 31
Gambar 4.1 Bagan alir metode penentuan performa matriks pembobot
terbaik ....................................................................................... 45
Gambar 4.2 Plot jumlah simulasi dan RMSER untuk WC, WG dan WGnew 47
Gambar 4.3 Diagram batang RMSER untuk variasi δ pada T=7. ................ 49
Gambar 5.1 Pola persebaran jumlah penduduk miskin tahun 2007
sampai 2011 ............................................................................ 59
Gambar 5.2 Pola persebaran persentase penduduk miskin tahun 2007
sampai 2011 ............................................................................. 60
Gambar 5.3 Plot penduduk miskin (Y) dan interaksi spasialnya (WY). ....... 64
Gambar 5.4 Model dengan variasi matriks pembobot spasial ..................... 65
Gambar 5.5 Hubungan kemiskinan dan faktor yang mempengaruhinya..... 68
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 4
Kebaruan ............................................................................................................. 5
LAMPIRAN........................................................................................................... 85
1
1 PENDAHULUAN
Pemodelan pada data yang tidak saling bebas baik dari sisi spasial maupun
waktu memerlukan metode khusus, karena melibatkan pengaruh antar spasial dan
waktu secara bersamaan. Pengaruh beda waktu (time lag) mengacu pada model-
model deret waktu (time series) yang sudah standar, sedangkan untuk melihat
pengaruh spasial melibatkan matriks pembobot spasial. Matriks pembobot spasial
ini mengukur pengaruh keeratan antar unit-unit spasial yang saling berdekatan
(bertetangga). Dalam model spasial, matriks pembobot spasial merupakan
komponen penting dalam kebanyakan model ketika representasi struktur spasial
dibutuhkan (Getis dan Aldstadt, 2004).
Matriks pembobot spasial yang umum digunakan dalam regresi spasial
adalah matriks yang elemennya bernilai nol dan satu yang mengacu pada
kedekatan (contiguity) antar unit spasial. Dalam konsep contiguity elemen
matriks bernilai satu jika antar unit saling berdekatan dan bernilai nol jika tidak
saling berdekatan. Dalam kondisi riil, keterkaitan antar unit spasial tidak cukup
hanya didasarkan pada jauh dekatnya jarak antar unit, tetapi perlu ditinjau dari sisi
lain misalnya karakteristik yang diamati. Salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk mengkonstruksi matriks pembobot adalah dengan melibatkan pada perilaku
datanya itu sendiri (Stakhovych dan Bijmolt, 2008). Liu et al. (2011a) telah
membandingkan model persamaan struktural (MPS) dengan model Spatial
Autoregressive (SAR) yang menggunakan matriks contiguity (WC). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa model SAR dengan WC relatif lebih baik jika
koefisien lag spasial cukup kecil, sementara ketika koefisien tersebut besar MPS
lebih baik. MPS memberikan performa yang stabil dalam variasi bias dan root
mean squared error (RMSE) terhadap perubahan nilai-nilai koefisien autoregresif
(Liu et al., 2011b).
Aldstadt dan Getis (2006) memperkenalkan sebuah teknik untuk
mengkonstruksi matriks pembobot yang disebut prosedur AMOEBA (A
Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm). Dalam prosedur
AMOEBA tersebut, bobot setiap elemen matriks, selain ditentukan oleh
kedekatan antar unit, juga ditentukan oleh kedekatan atribut/peubah melalui
statistik autokorelasi lokal. Statistik autokorelasi lokal yang digunakan dalam
prosedur AMOEBA adalah statistik Getis lokal. Konsep dalam konstruksi
matriks melalui prosedur AMOEBA adalah untuk setiap unit-unit spasial yang
mempunyai kemiripan atribut dan juga berdekatan akan mempunyai bobot yang
relatif lebih besar dibandingkan dengan unit-unit spasial yang mempunyai
kemiripan atribut namun tidak berdekatan. Begitu pula ketika antar unit-unit
spasial saling bersebelahan namun tidak memiliki kemiripan atribut maka akan
mempunyai bobot kecil. Dalam menentukan besar kecilnya bobot elemen
matriks, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan sebaran normal sebagai
pendekatan terhadap statistik Getis lokal sebagaimana yang telah diklaim oleh
Getis dan Ord (1992).
Menurut Getis dan Ord (1992) sebaran statistik Getis lokal (Gi) mengikuti
normal ketika jumlah yang bertetangga tidak terlalu sedikit ataupun tidak terlalu
banyak, tetapi tidak menyebutkan secara spesifik kriteria sedikit dan banyak yang
dimaksudkan tersebut. Kenormalan sebaran statistik Getis lokal perlu dikaji
kembali karena Zhang (2008) telah memberikan sebuah ilustrasi bahwa ketika
peubah yang menjadi perhatian menyebar Gamma, maka kenormalan sebaran
statistik Getis lokal tidak valid. Statistik Gi yang secara luas telah digunakan
3
untuk mendapatkan matriks pembobot yang baik dalam arti dapat memberikan
ketepatan/akurasi dalam model.
Ketiga adalah menerapkan matriks pembobot spasial yang dihasilkan dari
tahap kedua dengan performa terbaik dalam pemodelan terhadap data riil. Data
yang diambil dalam penelitian adalah jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, termasuk di antaranya adalah faktor interaksi spasial.
Data yang digunakan adalah data tahun 2007 sampai 2011 yang bersumber dari
BPS pusat dan BPS Jawa Tengah tahun 2008 sampai 2012. Tujuan dalam tahap
ketiga adalah mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk
miskin.
Kebaruan
Luasnya penggunaan statistik Getis lokal terutama dalam berbagai bidang
seperti bidang ekonomi, social dan geografi, perlu diimbangi dengan kehandalan
dan kevalidan alat statistik yang digunakan. Terdapatnya perbedaan pendapat
antar peneliti terkait dengan kenormalan statistik Getis lokal memunculkan
masalah yang perlu dikaji kembali. Berdasarkan pada munculnya permasalahan
ini, dikaji bagaimana sebaran statistik Getis lokal melalui pendekatan empiris
sebagai konfirmasi terhadap sebaran statistik Getis lokal tersebut. Dengan
demikian yang menjadi kebaruan (novelty) dalam disertasi ini adalah
memodifikasi statistik Getis lokal sehingga kenormalan asimtotik statistik Getis
lokal kekar (robust) terhadap asumsi sebaran peubah asal.
6
Data spasial merupakan salah satu terapan proses stokastik dimana realisasi
dari himpunan peubah acaknya bergantung pada indeks (misalnya, indeks bidang,
misalnya indeks waktu, proses stokastik , ∈ adalah koleksi peubah acak,
ruang atau waktu) (Gaetan dan Guyon, 2010). Pada kasus indeks berdimensi satu,
ℝ adalah
dengan indeks waktu (t) yang cukup terkenal adalah data deret waktu (time
serries). Pada kasus himpunan indeks lokasi, misalkan s, dengan,
sebagai random field) (Gaetan dan Guyon, 2010; Smith, 2014). Menurut Cressie
sebuah proses stokastik , . Umumnya data spasial dengan lokasi yang
(1993) data spasial dapat dipandang sebagai hasil dari pengamatan terhadap
berdekatan satu dengan yang lain (dalam ruang/bidang) seringkali lebih mirip
dibandingkan dengan data yang lebih jauh (Cressie, 1993). Sebagai ilustrasi,
untuk indeks spasial s yang berdimensi dua (bidang) adalah kasus pemetaan
penyebaran penyakit, sedangkan ilustrasi indeks spasial s dimensi tiga adalah
dalam proses terjadinya gempa yang dapat diukur dari posisi gempa serta
kedalaman episentrumnya (Cressie, 1993).
Data spasial dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe dasar, yaitu point-
referenced data, areal data, point pattern data. Pada tipe data pertama, yaitu
himpunan bagian dari ℝ yang bersifat tetap. Kasus pada data point-referenced
s, dengan
data sering dihubungkan dengan data geostatistical. Contoh tipe data pertama
dalam kasus ruang dimensi dua adalah data eksplorasi batubara di sebuah wilayah.
Eksplorasi batubara tersebut merupakan sebuah vektor acak meskipun
pengamatan di lokasi-lokasi tersebut kosong (Cressie, 1993). Tipe data yang
kedua, yaitu areal data dimana pada tipe data ini himpunan bagian indeks D
bersifat tetap (mungkin berbentuk regular maupun nonregular) yang dipartisi ke
dalam jumlah unit berhingga yang lebih kecil. Data pada tipe kedua sering
dihubungkan dengan data lattice yang mengandung arti amatan yang
berkorespondensi dengan corner dari grid. Contoh tipe data kedua adalah
informasi mengenai kategori tingkat kemiskinan dalam sebuah koleksi atau
kumpulan daerah (misalkan kabupaten atau wilayah regional lainnya) yang
terbagi ke dalam beberapa level atau tingkat kemiskinan. Dalam pemetaan
tingkatan kemiskinan ini biasanya ditunjukkan oleh warna-warna yang berbeda
pada unit-unit spasialnya. Tipe data spasial yang ketiga, yaitu data point pattern,
dimana pada tipe data ini himpunan bagian D bersifat acak, himpunan indeks
tersebut memberikan lokasi dari sebuah kejadian. Misalnya Y(s) diberi nilai 1
(suatu peristiwa kejadian di lokasi s bernilai 1), artinya bahwa peristiwa acak
terjadi. Ilustrasi kasus data tipe ketiga (point pattern) adalah lokasi atau tempat
tinggal orang-orang yang menderita penyakit tertentu. Ilustrasi lainnya dari data
point pattern adalah lokasi spesies tanaman tertentu di sebuah hutan dimana
respon Y(s) tetap (peristiwa dari sebuah kejadian) dan lokasi si yang dipandang
sebagai kejadian acak (Banerjee et al., 2004). Kasus tipe data ketiga ini
berkonotasi dengan proses Poisson, namun mempunyai indeks yang lebih dari
satu.
8
Berkaitan dengan sifat dari data spasial yang merupakan proses stokastik
maka hubungan antar unit spasial atau wilayah merupakan bagian yang penting
dalam analisis data spasial. Pada data deret waktu (proses stokastik berindeks
waktu, t) terdapat sebuah ukuran yang digunakan untuk mengukur keeratan
hubungan antar peubah pada indeks waktu yang berbeda yaitu statistik
autokorelasi. Hal yang mirip dengan kasus data deret waktu, dalam analisis data
spasial terdapat statistik yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antar
unit spasial yang disebut autokorelasi spasial.
Getis (2009) mengklasifikasikan tiga metode atau tiga cara yang dapat
digunakan untuk mendapatkan matriks pembobot spasial, yaitu berdasarkan sudut
pandang teoritis, topologi dan empiris. Ilustrasi matriks dari ketiga metode
tersebut berturut-turut adalah matriks pembobot dengan elemen matriks yang
didasarkan pada jarak kebalikan, kontiguitas (contiguity) dan menggunakan
prosedur AMOEBA. Dapat dilihat bahwa klasifikasi metode konstruksi matriks
menurut Getis tercakup oleh tiga metode yang dikemukakan oleh Stakhovych dan
Bijmolt. Hampir semua analisis-analisis dalam statistik spasial, ekonometrika
spasial, geostatistik dan epidemiologi berdasarkan pada hubungan topologi antar
objek-objek spasial. Hubungan fungsi indikator biner disini berdasarkan ukuran
ketidakmiripan antar objek seperti fungsi jarak antar objek dan ukuran kemiripan
seperti hubungan ketetangaan (Berry et al., 2008). Beberapa matriks pembobot
spasial yang mengacu pada jarak geografi yang menggunakan fungsi jarak
eksponensial, pangkat dan pangkat ganda (Perret, 2011). Selain fungsi jarak
menurut geografis, terdapat fungsi jarak dengan menggunakan atribut lain dalam
menentukan hubungan spasial antar unit spasial, misalnya menggunakan jarak
sosial-ekonomi (Conley dan Topa, 2002) dan jarak ekonomi (Conley dan Dupor,
2003; Anselin 2003; Tsang, 2007). Namun sebagian besar dalam analisis-analisis
spasial menggunakan konsep jarak geografi. Dalam uraian berikut diberikan
beberapa cara untuk mengkonstruksi matriks pembobot yang didasarkan pada
klasifikasi berdasarkan Stakhovych dan Bijmolt (2008).
dari semua unit spasial j (i≠j) terhadap unit spasial i telah diperingkat dari
terhadap i.
Mengacu pada konsep k-tetangga terdekat (k-rearest neighbor, k-NN),
terdapat dua tipe matriks pembobot spasial yang dapat diperoleh yaitu matriks
pembobot spasial yang tidak simetris dan matriks pembobot yang mempunyai
sifat simetris. Perbedaan kedua matriks ini bergantung pada definisi elemen-
elemen matriks pembobot spasial yang diambil. Gambar 2.1 menyajikan
sebuah contoh penentuan ketetanggaan berdasarkan k-tetangga terdekat.
Jika matriks pembobot spasial bersifat tidak simetris, maka wij didefinisikan
1,
sebagai :
= (, 2.1
0, selainnya
sedangkan jika matriks pembobot spasial bersifat simetris maka wij
= . 2.2
0, selainnya
1, 0 ≤ . ≤ . (
pembobot spasial menurut jarak radial ditentukan sebagai
= . 2.3
0, selainnya
Gambar 2.2 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut
jarak radial pada persamaan (2.3).
12
Gambar 2.3 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut
jarak pangkat untuk α=1 pada persamaan (2.4)
1, @A. ∩ @A. ≠ 0(
spasial i (bnd(i)) dan batas unit spasial j (bnd(j)) maka diberi bobot 1,
= .
0, @A. ∩ @A. = 0
(2.7)
Beberapa tipe matriks kontiguitas adalah rook, bishop dan queen. Sebagai
ilustrasi, dimisalkan terdapat unit-unit spasial A, B,…,J (Gambar 2.6) dan
akan ditentukan unit-unit yang bertetangga dengan F.
• Bobot shared-boundaries
Bobot atau elemen matriks pembobot spasial yang didasarkan pada shared-
boundaries menggunakan informasi panjang batas (D ) dari dua unit yang
berbatasan dengan unit-unit spasial lain, yakni D = ∑F D , dan D adalah
bersebelahan. Apabila li menyatakan panjang total dari perbatasan unit i yang
panjang perbatasan unit spasial i dan unit spasial j maka bobot shared-
boundaries didefinisikan sebagai
= = .
GHI GHI
GH ∑JKH GHJ
(2.8)
GHI HI
LM
didefinisikan sebagai =
maka matriks pembobot spasial hasil kombinasi jarak dan perbatasan
∑JKH GHJ HJ
LM .
15
Getis lokal (Gi). Misalkan N , i=1,2,..., N adalah peubah yang menjadi perhatian
Dua statistik autokorelasi lokal yang populer adalah statistik Moran lokal (Ii) dan
TH ∑V
IWX UHI TI
S = , ≠ , , = 1,2, … , ,
YZ
(2.9)
dengan m2 adalah momen kedua dari peubah zj. Statistik Getis lokal didefinisikan
sebagai (Getis dan Ord,1992).
∑V
IWX UHI \I
[ = ∑V
, ≠ , , = 1,2, … , .
IWX \I
(2.10)
(unit spasial), i, i=1,2,...,n, [ adalah statistik Getis lokal dan [∗ adalah statistik
pembobot spasial. Misalkan diberikan sebuah area yang terbagi atas n wilayah
(1) Hitung [^∗ 0 yaitu nilai [^∗ untuk unit spasial di lokasi i itu sendiri. Nilai
sebagai berikut (Aldstadt dan Getis, 2006) :
[^∗ 0 yang lebih dari nol menunjukkan bahwa nilai di lokasi i lebih besar
dari rata-rata semua unit. Sedangkan [^∗ 0 yang kurang dari nol
(2) Hitunglah [∗ 1 , yaitu nilai untuk setiap daerah yang memuat unit i dan
menunjukkan bahwa nilai di lokasi i lebih kecil dari rata-rata semua unit.
semua kombinasi dari tetangga yang berdekatan. Jika [∗ 0 lebih atau
kurang dari kombinasi yang memaksimumkan nilai mutlak [∗ 1 maka unit-
unit yang baru tersebut menjadi ecotope tinggi atau rendah yang baru. Unit-
unit yang tergabung membentuk ecotope baru ini disebut sebagai unit-unit
yang ter-include. Unit spasial yang bersebelahan yang tidak termasuk dalam
ecotope dieliminasi (exclude).
16
(2) Setelah terbentuk ecotope baru (dalam contoh ini ecotope terdiri dari empat
unit, yakni atas, tengah, kiri dan kanan), dilakukan proses yang sama, yaitu
mencari unit-unit j yang berdekatan terhadap ecotope yang baru tersebut,
dimisalkan diperoleh hasil sebagai berikut
proses ini berlanjut sampai tidak terdapat lagi unit-unit yang dapat
memaksimumkan nilai mutlak statistik lokal. Dimisalkan dalam ilustrasi ini
diperoleh maksimum jarak dari i adalah 5, dan hasil ecotope terbentuk
disajikan pada Gambar 2.9(a) untuk tahap ketiga dan Gambar 2.9(b) untuk
tahap kelima.
...
(a) (b)
Gambar 2.9 Ecotope hasil tahap ketiga (a) dan kelima (b)
Berdasarkan Gambar 2.9(b) terlihat bahwa pada langkah keenam semua unit
yang bersebelahan dengan ecotope berwarna pink, artinya bahwa setelah
dari unit i.
Apabila ecotope sudah terbentuk dimana tidak ada lagi unit-unit spasial
yang dapat memaksimumkan nilai statistik lokal, maka dibuat matriks pembobot
satu penghubung dari unit i (Y_R = 1), maka unit tersebut diberi pembobot 1.
penghubung antara unit i dan j meningkat. Ketika ecotope hanya mengandung
Ketika tidak ada asosiasi antara unit i dengan sembarang unit j (Y_R = 0) maka
baris i dari matriks W adalah nol.
Berkaitan dengan prosedur AMOEBA dimana wij menggunakan fungsi
kumulatif sebaran normal dan hasil kajian Zhang (2008) yang menunjukkan
kaitan sebaran statistik Gi dengan sebaran peubah asal, dalam kajian ini
difokuskan pada statistik Getis lokal.
18
dengan MKT. Sebagai ilustrasi ambil model linier dengan dua peubah bebas, Np
adalah ketika tidak terjadi masalah endogeneitas dimana metode GMM sama
Matriks pembobot
spasial (W) k-NN
radial
Jarak pangkat
eksponensial
Pangkat ganda
Share-boundary
Geografi Boundaries
rook
Contiguity bishop
queen
Kombinasi jarak
dan boundaries
Gambar 2.10 Tipe matriks pembobot spasial menurut Stakhovych dan Bijmolt
(2008)
20
dari Np dan Nq dan ~s = z maka kondisi momen dapat dinyatakan dengan
v5~s8 = 0. Karena kondisi momen populasi tidak diketahui maka digunakan
momen contoh (sample moment),
1 1 1
~̅ s = ~ s = N r − N s = r − ′s. 2.12
p p
dan penduga } bersifat tak bias (Rossi, 2010; Verbeek, 2008). Jika dalam kasus
model (2.11) terdapat peubah endogen, katakanlah peubah bebas Nq sehingga
kondisi momen pada model (2.11) menjadi vwxy zy = 0 dan vw{y zy ≠ 0, maka
keberadaan peubah endogen ini dibuat peubah instrumen (katakanlah peubah Oq ),
hasil dugaan MKT bersifat bias (Verbeek, 2008). Untuk memecahkan masalah
yaitu peubah yang berkorelasi dengan peubah bebas terkait (dalam kasus ini w{y )
(2.11), karena Nq bersifat endogen, maka kondisi momen didasarkan pada
dan tidak berkorelasi dengan galat atau sisaan. Kembali pada ilustrasi model
s = ∑
p y wy ∑p y |y
0p
(2.13)
dengan wy = Np , Nq dan y = Np , Oq . Apabila dinyatakan dalam bentuk
pada kasus Oq = Nq metode IV sama dengan MKT (Verbeek, 2008).
(2.14)
Untuk sebuah model yang linier, penduga bagi parameter s (Rossi, 2010)
s = ′ ′ 0p ′ ′r. 2.16
Metode pemilihan umum dalam menentukan matriks pembobot =
0p
∑
p ~̅ 5s 8~̅ 5s 8′ , dan s diperoleh dari penduga GMM tahap pertama,
p
2 −1 … 0 0
−1 …
[=§ … …2 … 0
… 0
… ¨.
0 0 … 2 −1
0 0 … −1 2
Penduga parameter α dan β pada model (2.17) bergantung pada sifat dari N .
Apabila N bersifat strictly exogenous dalam arti bahwa peubah-peubah tersebut
tidak berkorelasi dengan , vcNR ∆ d = 0 sedemikian, maka Np , … , N dapat
ditambahkan langsung pada instrumen persamaan beda pertama. Apabila N
bersifat predermined dalam arti bahwa vcN R d = 0 untuk ≥ maka peubah-
peubah instrumen yang digunakan adalah eN,p
, … , N,R0p
f.
Berdasarkan (2.18), dimisalkan adalah matriks yang didefinisikan sebagai
∆rq ∆N
= § ∆r ∆Nª ¨,
′
′
(2.19)
∆r, 0p ∆N ′
,
momen untuk menduga α adalah v5r,0R ∆ 8 = 0 dan kondisi momen untuk
dan anggaplah bahwa xit bersifat predermined. Berdasarkan (2.18) maka kondisi
er , N ′ , N ′ f 0
dan β adalah
p p q ±
¬ er , r , N , N , N f °
= ¬ p q p q
°. (2.20)
⋱
′ ′ ′
¬ °̄
« 0 erp , … , r, 0q , Np
′
, … , N,′ 0p f
Berdasarkan (2.20) kondisi momen dapat dituliskan kembali sebagai v5′ ∆ 8 =
0, atau dapat dinyatakan sebagai v5 ∆r − ²8 = 0, ² = 7, s′, i=1,2,...,N.
Karena momen populasi tidak diketahui, maka kondisi momen tersebut
∆rq ±
∆N′
¬ ª °
¬ ⋮ ⋮ °
′
∆r ∆N
= ¬ ∆r, 0p ∆N,′ °,
¬ rq N ′ °
(2.22)
¬ ⋮ °
¬ ⋮ °̄
r, 0p ′
« N
dan didefinisikan sebagai matriks instrumen pada level equation,
µ
µ = § ⋱ ¨,
0 e∆rq , … , ∆r, 0q , ∆Nq , … , ∆N, 0p f
′ ′
· 0
maka kondisi momen untuk penduga SYS-GMM adalah (Eigner, 2009)
= ¶ ¸,
0 µ
(2.23)
dengan · adalah kondisi momen pada DIFF-GMM. Penduga parameter bagi ²³,
²³ , dengan SYS-GMM sama halnya dengan penduga pada (2.21), namun
dengan mengganti (2.19) dengan (2.22) dan kondisi momen pada (2.20) dengan
kondisi momen (2.23). Penduga SYS-GMM termasuk dalam penduga yang
konsisten (Rossi, 2010; Verbeek, 2008).
24
3.1 Pendahuluan
Getis dan Ord (1992) memperkenalkan statistik Getis lokal (Gi) untuk
mempelajari pola lokal dalam data spasial. Statistik ini mengukur derajat
hubungan yang dihasilkan dari pusat titik-titik terboboti dan semua titik lain yang
berjarak d dari titik asal (pivot). Dalam hal ini apabila ditetapkan nilai peubah di
titik asal (Xi), i=1,2,…, n, maka terdapat (n-1)! kemungkinan nilai-nilai xj
selainnya yang bertetangga. Di bawah hipotesis null bahwa tidak terdapat
karenanya sebaran permutasi [ mendekati normal (Getis dan Ord, 1992). Salah
hubungan spasial, permutasi acak di sini saling lepas dan serba sama dan oleh
satu penerapan statistik Getis lokal dalam pemodelan adalah untuk membentuk
matriks pembobot spasial yang disebut A Multidirectional Optimum Ecotope-
Based Algorithm (AMOEBA) oleh Aldstadt dan Getis (2006), dan berikutnya
algoritmanya dioptimalkan oleh Duque et al. (2011).
Asumsi kenormalan asimtotik statistik Getis lokal telah banyak digunakan
dan untuk menentukan nilai-p (p-value), Getis dan Ord (1992) menyarankan
membandingkannya dengan nilai-p uji-z. Dalam merancang matriks pembobot
spasial, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan kenormalan asimtotik dari
statistik Gi dalam algoritma AMOEBA.
Kenormalan asimtotik statistik Gi yang telah diklaim oleh Getis dan Ord
perlu dikonfirmasi kembali dikarenakan Zhang (2008) telah memperlihatkan
bahwa sebaran statistik Gi bergantung pada sebaran peubah asal Xi i=1,2,…,n.
Kajian ini bertujuan untuk mengkonfirmasi sebaran statistik Gi dan memberikan
sebuah alternatif penyelesaian ketika Gi tidak selalu menyebar normal.
yang tidak dapat terdeteksi oleh statistik global. Statistik Getis lokal, [ , yang
mempelajari pola lokal dalam data spasial, mendeteksi kantung-kantung spasial
berjarak tidak lebih dari d diekspresikan dengan [ . dan didefinisikan sebagai:
25
∑ .N
[ . = , j ≠i 3.1
∑ N
dengan . adalah matriks pembobot spasial simetrik yang bernilai 1 jika unit
spasial j berada dalam jarak d dari unit spasial i, selainnya 0. Peubah acak N
penyederhanaan, ambil [ = [ ., = . dan = ∑F (jumlah
adalah nilai amatan positif yang menjadi perhatian untuk unit spasial i. Untuk
unit-unit yang bertetangga dengan unit i). Nilai harapan dan ragam statistik [ di
bawah hipotesis null adalah
v[ = 3.2
A−1
A − 1 −
q
¢£¤[ = .¶ ¸ , 3.3
A − 1 A − 2 N̅
q
dengan N̅ = ¹0p , q = ¹0pI − 5N̅ 8 (Getis dan Ord, 1992). Bukti nilai
∑ PI I ∑I P Z q
artinya bahwa unit i tidak mempunyai tetangga maka v[ = 0 dan ¢£¤[ =
0. Pada kasus = A − 1 artinya semua unit spasial j, (j=1,2,...n, j≠i)
bertetangga dengan i ( = A − 1) maka v[ = ¹0p = 1 dan ¢£¤[ = 0.
¹0p
[ − v[
[∗ = , = 1,2, . . , A, 3.4
º¢£¤[
dengan v[ dan ¢£¤[ adalah rataan dan ragam yang dinyatakan pada (3.2)
dan (3.3).
Teorema ini mendasarkan pada ukuran contoh yang besar (A → ∞), dan terkait
peubah acak, terutama untuk peubah acak yang saling bebas dan identik.
, ¹ , A ≥ 0 adalah peubah acak pada ruang Ω, ½, b, barisan (¹ , A ≥ 0)
kekonvergenan dalam peluang dan kekonvergenan dalam sebaran. Misalkan
¾
¹ → jika lim¹→∞ b|¹ −| ≤ = 1 ∀ > 0.
konvergen dalam peluang, yakni
Misalkan ¹ dan adalah peubah acak dengan fungsi sebaran Á¹ dan F. Jika
lim¹→∞ Á¹ N = ÁN maka ¹ konvergen dalam sebaran menuju X ditulis
¹ → (konvergen dalam sebaran) (Billingsley,1995). Terdapat keterkaitan
26
¾
¹ → maka ¹ → (Billingsley,1995).
antara kekonvergenan dalam peluang dan kekonvergenan dalam sebaran, jika
Dalam CLT klasik diasumsikan bahwa sebaran peubah acak yang saling
barisan peubah acak iid, dengan E[Xi] = µ dan Var[Xi] = σ2 < ∞, dan ¹ =
∑¹ /A . Jika n menuju tak hingga, maka
→ 0,1.
√¹\ÂÄ 0µ
Å
(3.5)
Ketika kondisi keidentikan sebaran tidak terpenuhi dimana peubah acak
limit pusat Lyapounov (Lyapounov CLT). Anggaplah adalah barisan peubah
mempunyai nilai tengah dan ragam yang tidak identik, dapat digunakan teorema
acak saling bebas yang masing-masing mempunyai nilai harapan Æ dan ragam
¥q . Didefinisikan ¹q = ∑¹p ¥q . Untuk sembarang Ç > 0, kondisi Lyapounov
lim¹→∞ ZÈÉ ∑¹p ve| − Æ |qÊË f = 0 terpenuhi, untuk A → ∞, maka
p
RÄ
∑¹p − Æ → 0,1.
p
RÄ
Chung (2001) mengambil kasus khusus dimana Æ = 0 dan ¹ = 1 dan δ=1.
(3.6)
dan ¹ , j≠j’, 1 ≤ ≤ ¹ , saling bebas dan antar baris (n=1,2,...) tidak saling
Misalkan v5¹ 8 = 7¹ , ¢£¤5¹ 8 = ¥¹ , v̹ = ∑p 7¹ = 7¹ ,
q Ä
identik. Jika untuk setiap u > 0, kondisi Lindenberg lim¹→Ð RZ ∑¹p v −
p
peubah acak yang sama dengan Lyapounov, yakni peubah acak tidak menyebar
∑¹p − Æ → 0,1.
maka
p
RÄ
(3.7)
sebaran empiris statistik Getis lokal, [∗, untuk mengkonfirmasi klaim Getis dan
sebaran peubah .
Ord (1992) maupun Zhang (2008) menggunakan metode permutasi acak terhadap
menentukan [∗ pada setiap pi serta jenis sebaran peubah acak Xi.
(3) Lakukan permutasi acak sebanyak 5000 kali terhadap Xi untuk
(4) Buat kurva normal [∗ yang dihasilkan dari tahap (3).
Sebaran statistik Getis lokal [ didasarkan pada permutasi acak dari
menyebar normal.
Mengacu pada definisi statistik [ (3.1), permutasi pada penyebut bersifat tetap
peubah Xi, i=1,...,n (permutasi acak unit-unit yang bertetangga dengan unit i).
(konstan), sehingga sebaran statistik Getis lokal bergantung pada fungsi indikator
= ( 3.8
0, jika unit tidak bertetangga dengan unit , atau =
Susunan permutasi acak dari unit-unit spasial yang bertetangga ini dapat
dianggap sebagai pengambilan objek tanpa pengembalian (without replacement)
sehingga setiap unit spasial mempunyai peluang yang bergantung pada
pengambilan sebelumnya. Proses ini cenderung mendekati sebaran
hipergeometrik, dimana sebaran tersebut dapat diaproksimasi oleh normal
(Nicholson, 1956; Roussas, 1997, Lahiri et al., 2007). Anggaplah bahwa pusat
perhatian terarah pada jumlah unit yang bertetangga dan unit yang bukan
tetangga. Jika dari n-1 unit yang ada terdapat jumlah unit yang bertetangga
b5Õ = 18 = H. .
U
dengan i sebanyak wi , maka peluang jumlah unit yang bertetangga adalah
¹0p
empiris statistik [∗ untuk peubah asal Xi, i=1,2,..,N yang menyebar Gamma(1,4),
Konsentrasi pertama yang dilakukan adalah mengkonfirmasi kembali sebaran
[∗ di bawah hipotesis null, menggunakan 5000 permutasi untuk N=200 ketika
N=200 menggunakan 5000 permutasi. Pada Gambar 3.1 disajikan kurva statistik
Kurva normal statistik [∗ hasil prosedur permutasi disajikan pada Gambar
peubah acak Xi menyebar iid Gamma (1,4).
3.1. Dalam karakteristik kurva normal, salah satu di antaranya bahwa bentuk
(equally likely) tidak dapat terpenuhi karena peubah mempunyai sebaran yang
normal. Namun demikian, asumsi antar objek mempunyai sifat serba sama
kurva statistik Gi* cenderung menjulur (skew) ketika peubah asal menyebar
berbeda. Berdasarkan sebaran empiris pada Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa
Gamma(1,4). Mengacu pada Gambar 3.1 dan pendapat Zhang (2008) kenormalan
Ambil sebagai peubah acak asal dan transformasi, N → Á³¹ N ,
sifat equally likely maka dilakukan ditansformasi terhadap Xi.
1
veÁ³¹ N f = 1 b ≤ N = ÁN
A
1
VareÁ³¹ N f =
dan
cÁN dc1 − ÁN d.
A
Dengan demikian untuk A → ∞, Á³¹ N → ÁN), karena Á³¹ N konvergen dalam
Ú
peluang menuju ÁN maka Á³¹ N konvergen dalam sebaran menuju ÁN, atau
dinyatakan dengan Á³¹ N → ÁN (Roussas, 1997; Shao, 2003).
Modifikasi statistik [ dengan mentransformasi N ke Á³¹ N diperoleh
statistik Getis lokal termodifikasi, katakanlah [¹ÛU , yang dinyatakan sebagai :
∑ Á³¹ 5N 8
[¹ÛU = , ≠ . 3.10
∑ Á³¹ 5N 8
Misalkan ¢ = Á³¹ N , i=1,2…,n, maka statistik Getis lokal termodifikasi dalam
[¹ÛU − v5[¹ÛU 8
bentuk baku dapat dinyatakan sebagai
[¹ÛU
∗
= , 3.11
Ü¢£¤5[¹ÛU 8
UH. ¹0p0UH. ÝÞ q
ve[¹ÛU f = ¹0p dan ¢£¤e[¹ÛU f = ; = , ̦ ¡̅
UH
¹0pZ ¹0q ¦Â
berturut-turut adalah simpangan baku dan nilai tengah peubah acak ¢.
dengan dan
sebaran statistik membentuk kurva normal baku. Untuk lebih lanjut akan
ditunjukkan bahwa sebaran statistik Getis lokal termodifikasi menyebar normal.
setiap n barisan peubah acak ¢p , ¢q , … , ¢¹ saling bebas, dengan nilai tengah dan
teorema Lyapounov (Billingsley, 1995, Chung, 2001). Anggaplah bahwa untuk
¹
1
maka
ä = lim¹→Ð dan @p → Æ as A → ∞.
∑I U
ã HI Z
¹0p
Karena ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= = ¹0på e∑
ã ¢ f, ¹ dapat dituliskan
p
X
kembali sebagai
ã ¢ − Æ + ∑
¹ = ∑ ã Æ . (3.14)
v¹ → 0 untuk A → ∞.
. Pertama akan dibuktikan bahwa
Ambil =
∑I ÑI
¹0p
. ∑ ¢ ∑ 5¢ − @p 8
,
= −
A−1 ∑ ¢ ∑ ¢
1 ∑ 5¢ − @p 8
atau dapat ditulis kembali sebagai
ã ¢ = .
∑ ¢ A − 1@p
Karena ¢ → Æ dan @p → Æ, ∑
ã ¢ →∑ ∑
ã Æ , dapat ditunjukkan
p p
∑I I I ÑI
→0 v¹ = ∑
ã Æ → 0, A → ∞.
∑I UHI 5I 0åX 8
¹0påX
Berikutnya akan dibuktikan bahwa ¢£¤¹ → ÁN51 − ÁN8ä. Perhatikan
bahwa sehingga, untuk
¹
1
mengacu pada (3.12), diperoleh
Karena 0 < Æ ≤ 1 dan v5¢ 8 → Æ , diperoleh Ï Ï = Ï¢ − Æ Ï ≤ Ï¢ Ï, sehingga
sisi ruas kanan (3.16) menjadi
vÏ
ã Ï ≤ Ï
ã Ï vÏ¢ Ï . 3.17
ª ª ª
= ¹→Ð
lim ª
¹
¹→Ð
1 1
= lim q = 0.
eÁN51 − ÁN8äf
q ¹→Ð A
untuk A → ∞.
¹
A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= = .
@p
Karena @p → Æ untuk A → ∞, diperoleh
51 − ÁN8
A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= → ì0, äí untuk A → ∞. 3.19
ÁN
34
;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=
Akibat 2. Berdasarkan (3.19) berakibat bahwa:
[¹ÛU
∗
= → 0,1,
Ü¢£¤5[¹ÛU 8
untuk A → ∞.
51 − ÁN8
maka untuk menunjukkan Akibat 2, cukup diperlihatkan
2 . q
∑ ï q − +
∑
ã A−1 A − 1 ð
q
ä = lim = lim
¹→Ð A ¹→Ð A
= lim¹→Ð ¹¹0p ,
UH. ¹0p0UH.
. A − 1 − . ̦ q
¢£¤5[¹ÛU 8 =
A − 1q A − 2 ¡̅ q
. A − 1 − . ̦ q A
=
AA − 1A − 1 ¡̅ q A − 2
. A − 1 − . ̦ q A
=
A ¡̅ q A − 2
. A − 1 − . A̦ q A − 1
= .
AA − 1 ¡̅ q A − 2
Karena ̦ → ¥, A¥ q = ÁN51 − ÁN8, ¡̅ = @p → Æ, → ä,
UH. ¹0p0UH.
¹¹0p
dan
→ 1 untuk A → ∞, maka
¹
¹0q
51 − ÁN8
¢£¤ A − 1[¹ÛU → ä,
ÁN
;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=
sehingga akan berimplikasi
[¹ÛU
∗
= → 0,1 untuk A → ∞.
Ü¢£¤5[¹ÛU 8
35
3.6 Simpulan
Sebaran empiris dari statistik Getis lokal terstandardisasi, selain dipengaruhi
bertetangga, pi. Pada kasus peubah asal yang menyebar Gamma (1, 4)
oleh sebaran peubah asal, dipengaruhi pula oleh proporsi unit-unit spasial yang
diperoleh bentuk kurva [∗ tidak simetris. Ketika ñ → 0 kurva sebaran statistik
Getis lokal cenderung menjulur ke kanan sedangkan ketika atau ñ → 1 menjulur
ke kiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kasus ini statistik [∗ tidak
menyebar normal.
Getis lokal yang kekar (robust). Kurva statistik Getis lokal termodifikasi [∗ )
4.1 Pendahuluan
Dalam pemodelan untuk menentukan hubungan antara peubah bebas dan
peubah tak bebas, umumnya berpedoman pada asumsi tidak adanya hubungan
yang saling mempengaruhi antar peubah tak bebas. Namun demikian, dalam
beberapa kasus tertentu asumsi kebebasan tersebut terkadang tidak terpenuhi
sehingga memerlukan metode lain. Dalam kasus data-data yang terkait dengan
wilayah (spasial) misalnya, dimungkinkan bahwa nilai peubah tak bebas di
wilayah tertentu, selain dipengaruhi oleh karakteristik lokal (peubah-peubah
bebas) juga dipengaruhi pula oleh nilai peubah tak bebas di sekitarnya
(tetangganya). Besarnya pengaruh nilai-nilai peubah yang berada di sekitarnya
direpresentasikan oleh sebuah matriks yang disebut matriks pembobot spasial.
Oleh karena matriks pembobot spasial merupakan elemen penting dalam
pemodelan data spasial, maka konstruksi matriks pembobot spasial yang
representatif dapat meningkatkan akurasi model yang dibangun. Dengan kata
lain, perbedaan konstruksi matriks pembobot spasial tentunya akan
mempengaruhi kualitas model yang dibangun.
Menurut Getis dan Aldstadt (2004) matriks pembobot spasial merupakan
elemen yang sangat dibutuhkan dalam kebanyakan model ketika representasi
struktur spasial dibutuhkan. Jenis matriks pembobot spasial yang umum
digunakan dalam model regresi spasial antara lain matriks yang didasarkan pada
ketetanggaan. Konsep ini hanya didasarkan pada jarak secara fisik tanpa melihat
kedekatan dari atribut yang menjadi perhatian. Ukuran kedekatan antar spasial
dengan mempertimbangkan atribut tertentu dapat dikuantifikasi menggunakan
ukuran autokorelasi spasial. Ukuran autokorelasi spasial dapat diklasifikasikan
menjadi autokorelasi global autokorelasi lokal. Autokorelasi global
mengkarakterisasi autokorelasi spasial untuk keseluruhan area yang dikaji
menggunakan sebuah nilai, sedangkan autokorelasi lokal biasanya digunakan
untuk mendapatkan pola atau pun dalam menentukan hotspot sebuah wilayah
(Nelson dan Boots, 2008). Dalam kaitannya dengan konstruksi matriks pembobot
spasial, statistik autokorelasi yang digunakan adalah statistik autokorelasi lokal.
Aldstadt dan Getis (2006) mengkonstruksi matriks pembobot spasial
menggunakan prosedur yang disebut A Multidrectional Optimum Ecotope-Based
Algorithm (AMOEBA). Mereka membandingkan W hasil prosedur AMOEBA
(WG) dengan matriks kontiguitas (W-Contiguity, WC) pada model SAR yang
hasilnya menunjukkan bahwa performa WG lebih baik daripada WC.
Dalam prosedur AMOEBA yang telah dikaji oleh Aldstadt dan Getis
(2006), penentuan nilai-nilai elemen matriks yang didasarkan sebaran normal dari
statistik Getis lokal. Namun sebaran statistik Getis lokal sangat bergantung pada
sebaran peubah asal dan juga proporsi unit-unit yang bertetangga. Berkaitan
dengan prosedur AMOEBA, jumlah unit yang tergabung tidak dapat dikontrol
sehingga asumsi kenormalan statistik Getis lokal sangat sulit untuk terpenuhi.
Sebagai alternatif, untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial dalam
37
dalam membentuk cluster tinggi atau rendah digunakan statistik Getis lokal, [∗ ,
hubungan antara unit spasial yang berdekatan. Untuk menggabungkan unit-unit
yang didefinisikan pada (3.4). Dalam prosedur ini Aldstadt dan Getis (2006)
menggunakan sebaran normal untuk mengkonstruksi setiap element/unsur dari
matriks pembobot. Langkah-langkah prosedur AMOEBA disajikan pada (2.4.2).
Untuk mengkonstruksi matriks pembobot AMOEBA yang didasarkan pada
matriks S − Çò adalah matriks non singular (invertible). Model (4.1) berada
agen-agen tetangganya (Anselin, 1999). Pada model (4.1) diasumsikan bahwa
ûY_R =1, tetapi ûY¹ > −1 sehingga batas bawah dari ruang parameter Ç
matriks pembobot spasial W. Apabila matriks W bersifat row-normalized maka
tak bebas maupun peubah bebas. Kombinasi SLM dan SEM pada model data
panel dinamis dinyatakan sebagai
dimana ~. dengan ragam ¥q , | adalah vektor amatan peubah tak
bebas berdimensi N 1, | − 1 peubah tak bebas lag pertama, ò matriks
pembobot spasial berdimensi N , matriks amatan peubah-peubah
penjelas strictly exogenous berdimensi N (K banyaknya peubah penjelas),
ô adalah vektor galat, } adalah vektor K x 1 koefisien kemiringan. Lag
spasial ò | menangkap korelasi waktu yang sama antara unit i dan unit j,
j≠i. þ matriks korelasi spasial pembobot berdimensi N x N ketika muncul
korelasi galat spasial, þ ô galat spasial dan z vektor inovasi. Untuk
penyederhanaan bentuk model pada (4.3), ambil matriks = | −
1, ò | , berukuran N x (K+2) dan = ý, Ç, }′ ′ adalah vektor
parameter (K+2) x 1, sehingga (4.3) menjadi
normalized, yaitu ∑¹ = 1 dan ∑¹ × = 1, adalah untuk memenuhi sifat
memenuhi sifat bahwa agar model stabil atau stasioner (Lee dan Yu, 2010). Row
row normalized memenuhi |ý| + Ç < 1 untuk Ç≥0 atau |ý| + ÇûY¹ < 1 untuk
Kestabilan model (4.3) dapat terpenuhi apabila untuk matriks pembobot W yang
Ç < 0, dengan ûY¹ adalah akar ciri minimum dari matriks W yang row
normalized tersebut.
SEM merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam masalah kesalahan
pengukuran, sedangkan metode alternatif GMM dapat mengatasi masalah
endogeneitas. Metode GMM merupakan perluasan dari metode Instrument
Variable dimana dalam pendugaan parameter didasarkan pada kondisi momen
yang menggunakan peubah instrumen. Peubah instrumen merupakan peubah
yang berkorelasi dengan peubah bebas tetapi tidak berkorelasi dengan galat
(Thomas, 1997). Metode penduga GMM didasarkan pada kondisi momen yang
pada aplikasinya diduga berdasarkan momen contoh (sample moments).
Metode GMM yang sering digunakan dalam pendugaan parameter dari
model-model yang melibatkan adanya pengaruh endogeneitas dalam bidang
ekonomi adalah metode pendugaan GMM Arellano-Bond atau yang lebih dikenal
dengan DIFF-GMM. Namun penduga DIFF-GMM tidak efisien karena instrumen
hanya menggunakan informasi peubah first diference, sehingga untuk mengatasi
tahapan, pertama menduga , kedua menduga ü dan ¥q , dan ketiga menduga
setelah peubah | dan dikoreksi oleh ü.
Prosedur metode SYS-GMM selengkapnya adalah sebagai berikut:
peubah bebas ò ∆ . Dalam pendekatan ini, karena peubah ∆ tidak
adalah instrumen-instrumen yang melibatkan pengaruh spasial lag waktu dari
berkorelasi dengan ∆ô maka ò ∆ juga tidak bekorelasi dengan
∆ô . Oleh karena itu instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi δ
adalah ò ∆ . Dengan demikian kondisi momen lain untuk menduga δ
adalah (Cizek et al., 2011),
42
5 , ∆8 = 0
Persamaan-persamaan kondisi momen (4.8)-(4.11) dapat dinyatakan sebagai
(4.12)
ö = diag ö, , ö, . Gabungan kondisi momen (4.11) dan (4.16) adalah
v5 ô
8 = v 5| ö 8 = .
ö − 4.18
= ö 5|
ö − ö 8
ö ö 5|
ö − ö 8 /.
ö ö
ö = 5 ö ö
ö 8 ö ö
ö ö r ,
0x
(4.19)
2 jika =
−1 jika = + 1 (
[ ≡
−1 jika = + 1
0 jika lainnya
⨂ menyatakan kronecker product (Jacob et al., 2009).
model yang dihasilkan saling bebas. Berdasarkan ö yang diperoleh dari (4.19),
³
lakukan transformasi = r − ² , t=2,3,…,T. Tahap selanjutnya
adalah melakukan operasi beda pertama terhadap , sehingga diperoleh
∆z = S − üþ ∆ô , = 3, … , . Sekali lagi untuk menyederhanakan
model, ambil ∆z = 5∆z 2, … , ∆z 8 dan ∆ô = 5∆ô 3, … , ∆ô 8,
sehingga dalam notasi yang lebih sederhana diperoleh ∆z = 5S 0q −
üS 0q ⊗þ ∆ô atau ∆z = ∆ô − ü∆ô dengan ∆ô = S 0q ⊗þ ∆ô ,
dan ∆z = ∆ô − ü∆ô , dengan ∆ô = S 0q ⊗ þ ∆ô , dimana ⊗
berikut:
5ü , ¥, 8 = arg min%,Å& eä − Γ³ ü, üq , ¥q f eä − Γ³ ü, üq , ¥q f.
ini digunakan matriks pembobot identitas):
(4.21)
44
'
' ' '
' '
' ' '
ã ,
0p
' = ;
" = " | 4.24
dengan
'ö = '
0x
'
ö ö ö /ö .
∆u 0 ∆¡
gabungan difference equation dan level equation pada sisaan menghasilkan
ï ð = ï ð + ï ¹ ð , = 3,4, . . , .
u ¡
(4.25)
adalah vektor satu berdimensi (T-2). Berdasarkan hasil dugaan ̂ dan ²³ maka
diperoleh dugaan bagi bagi r , dan akhirnya akan diperoleh sisaan. Penduga
SYS-GMM menggunakan gabungan difference equation dan level equation
RMSER, misalkan r dan r berturut-turut adalah vektor peubah tak bebas dan
sehingga vektor peubah tak bebas berdimensi 2N(T-2). Untuk menentukan
RMSE. = /q
V ′ 0 V
ï ð ï ð.
p V 00
0 V 00
0q Â
0 Â
0
V V
(4.26)
mulai
Buat program
AMOEBA
k
a
Duga parameter Duga parameter Duga parameter l
menggunakan WG menggunakan menggunakan WC i
WGnew
Hitung Hitung
RMSRR(WG) RMSER(WGnew) Hitung RMSER(WC)
Gambar 4.1 Bagan alir metode penentuan performa matriks pembobot terbaik
46
dari model yang menggunakan WG, WGnew dan WC, dan tentukan
kuadrat tengah sisaan
(8) Ulangi Tahap (1) sampai (7) sebanyak S kali
(9) Hitung RMSER dari model untuk ketiga jenis matriks pembobot spasial,
WG, WGnew dan WC dan bandingkan hasilnya.
untuk 3 yang meyebar normal, saling bebas dan identik dengan nilai tengah
dasar pembangkitan data pada SLM (W) dan SEM (M). Dalam kasus ini dicoba
nol dan ragam satu. Dalam pembangkitan data deret waktu, untuk menghilangkan
pengaruh nilai awal ketika membangkitkan data deret waktu, maka untuk deret
waktu sebelum 100-T diabaikan (Hsiao, 2003).
bergantung pada variasi yit dicoba menggunakan T=3, T=5 dan T=7.
Pembandingan performa matriks pembobot AMOEBA dengan matriks kontiguitas
pada model, menggunakan kriteria akar rata-rata kuadrat tengah sisa relatif
(RMSER).
47
Idealnya simulasi ditentukan sampai tidak ada lagi perubahan RMSER pada
simulasi berikutnya, sehingga umumnya jumlah simulasi diseting sangat besar.
Karena dalam perancangan matriks pembobot spasial AMOEBA untuk kasus ini
dipengaruhi oleh banyaknya unit spasial N, hal ini tentunya akan memakan waktu
yang cukup lama. Oleh karena itu banyaknya simulasi didasarkan pada plot
antara RMSER dengan jumlah simulasi. Sebagai ilustrasi, dalam merancang
matriks pembobot AMOEBA untuk menentukan apakah sebuah unit spasial
∑0p
p = ∑0p
5 − = 20p − 1.
0
Oleh karena itu waktu yang dibutuhkan untuk satu kali simulasi bergantung pada
banyaknya unit spasial (N). Jumlah simulasi (B) yang dicoba dalam kasus ini
adalah 30, 40, 50 dan 60. Sedangkan parameter-parameter koefisien lag waktu,
koefisien autokorelasi spasial pada SLM dan koefisien autokorelasi SEM untuk
membangkitkan data adalah λ=0.3, δ =0.3, β =1, dan ρ =0.3. Plot RMSER dan
banyaknya simulasi (B) 30, 40, 50 dan 60 untuk T=3 disajikan pada Gambar 4.2.
Mengacu pada Gambar 4.2, terlihat perubahan akar kuadrat tengah sisa
relatif (RMSER) setelah simulasi ke-40 relatif stabil dan ini menunjukkan bahwa
dalam kasus parameter yang dicobakan, cukup menggunakan simulasi sebanyak
40. Namun dalam simulasi ini mengambil batas simulasi 50, hal ini untuk
mengurangi perubahan untuk kasus variasi parameter-parameter selainnya dan
untuk T=5 dan T=7.
0.2500
WC
0.2000 WG
WGnew
RMSER
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
B30 B40 B50 B60
Jumlah simulasi
Gambar 4.2 Plot jumlah simulasi dan RMSER untuk WC, WG dan WGnew
Tabel 4.1 Pembandingan RMSER dari model dengan WC, WG dan WGnew
λ δ ρ WC WG Wgnew
T=3 0.3 0.3 -0.3 0.1853 0.2288 0.1636
0.3 0.3 -0.1 0.1895 0.2141 0.2262
0.3 0.3 0.1 0.1948 0.2246 0.1744
0.3 0.3 0.3 0.2004 0.2312 0.1837
0.3 0.5 -0.3 0.0927 0.1390 0.1137
0.3 0.5 -0.1 0.0955 0.1401 0.0819
0.3 0.5 0.1 0.0975 0.1392 0.0849
0.3 0.5 0.3 0.1002 0.1383 0.0918
0.5 0.3 -0.3 0.0875 0.1170 0.0764
0.5 0.3 -0.1 0.0899 0.1203 0.0791
0.5 0.3 0.1 0.0920 0.1254 0.0853
0.5 0.3 0.3 0.0944 0.1171 0.0913
T=5 0.3 0.3 -0.3 0.1319 0.1138 0.1231
0.3 0.3 -0.1 0.1463 0.1455 0.1311
0.3 0.3 0.1 0.1617 0.1667 0.1623
0.3 0.3 0.3 0.1791 0.1764 0.1587
0.3 0.5 -0.3 0.0674 0.0904 0.0537
0.3 0.5 -0.1 0.0746 0.0939 0.0598
0.3 0.5 0.1 0.0827 0.0983 0.0670
0.3 0.5 0.3 0.0915 0.0722 0.0749
0.5 0.3 -0.3 0.0621 0.0690 0.0513
0.5 0.3 -0.1 0.0688 0.0752 0.0575
0.5 0.3 0.1 0.0762 0.0833 0.0635
0.5 0.3 0.3 0.0843 0.0896 0.0692
T=7 0.3 0.3 -0.3 0.1555 0.1676 0.1264
0.3 0.3 -0.1 0.1711 0.1656 0.1675
0.3 0.3 0.1 0.1919 0.1880 0.1538
0.3 0.3 0.3 0.2147 0.2043 0.1719
0.3 0.5 -0.3 0.0781 0.0741 0.0746
0.3 0.5 -0.1 0.0870 0.1109 0.0572
0.3 0.5 0.1 0.0969 0.1160 0.0715
0.3 0.5 0.3 0.1085 0.1245 0.0790
0.5 0.3 -0.3 0.0784 0.0723 0.0539
0.5 0.3 -0.1 0.0869 0.0798 0.0605
0.5 0.3 0.1 0.0969 0.0880 0.0717
0.5 0.3 0.3 0.1081 0.0997 0.1019
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa model dengan matriks pembobot
WGnew secara umum memberikan RMSER yang lebih kecil baik dibandingkan
dengan RMSER model WC maupun WG. Sebagai ilustrasi, dari dua belas
49
kombinasi parameter yang dicoba, hanya dua RMSER model dengan WGnew
lebih besar dibandingkan model dengan WC. Pada kasus T=5 terdapat sedikit
perubahan dimana terdapat beberapa RMSER dari model dengan WG yang sedikit
lebih baik dibandingkan dengan WC dan WGnew akan tetapi dari keseluruhan
hasil yang diperoleh WGnew masih memberikan performa terbaik. Pada kasus
T=7 tidak terlihat adanya perubahan, yakni secara keseluruhan WGnew
memberikan performa terbaik dengan nilai RMSER yang paling minimum.
Temuan lain dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa untuk λ =0.5 dan δ=0.3 atau
λ =0.3 dan δ=0.5 menghasilkan RMSER yang cenderung lebih kecil dibandingkan
ketika kedua parameter tersebut kecil (λ=δ=0.3) baik untuk T=3, 5 maupun T=7.
Hal ini diduga sebagai dampak dari proses pembangkitan data dimana variasi
peubah bebas X dan pengaruh unit spesifik tetap (η) yang tinggi, sehingga variasi
ini dapat ditangkap oleh kedua parameter tersebut (λ dan δ). Namun demikian
kajian dan perhatian lebih lanjut difokuskan pada bagaimana perubahan koefisien
lag spasial (δ) terhadap RMSER untuk λ dan ρ yang tetap. Hal ini sesuai dengan
fokus kajian yakni pembandingan performa matriks pembobot spasial dimana δ
merupakan koefisien lag spasial pada model.
Berdasarkan koefisien lag spasial (δ), sebagaimana yang tersaji pada Tabel
4.1 terdapat kecenderungan dimana RMSER model dengan matriks pembobot WC,
WG, dan WGnew cenderung lebih kecil seiring dengan meningkatnya δ. Namun
demikian untuk melihat trend keterkaitan atau pengaruh perubahan δ terhadap
RMSER dari ketiga performa matriks pembobot spasial, spasial, maka dicoba dengan
simulasi pada λ=0.3, β=1, ρ=0.3, untuk variasi δ= 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5 dan 0.6.
Gambar 4.3 menyajikan diagram batang RMSER pada variasi koefisien lag
spasial, δ= 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5 dan 0.6 untuk pada T=7.
0.3500
WC
0.3000
WG
0.2500 WGnew
RMSER
0.2000
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
δ)
Koefisien lag spasial (δ
4.8 Simpulan
Berdasarkan pada proses pembangkitan data dengan spesifikasi parameter
λ=0.3 dan 0.5, δ=0.3 dan 0.5, β=1, ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3 serta untuk T=3, 5
dan 7, dan matriks kontiguitas (WC) sebagai acuan dalam pembangkitan data,
matriks pembobot AMOEBA dengan statistik Getis termodifikasi (WGnew)
memberikan performa terbaik. Pada berbagai parameter dan T yang dicoba, nilai-
nilai RMSER dari model dengan WGnew memberikan hasil paling minimum.
Pengaruh perubahan koefisien lag spasial (δ) terhadap RMSER pada
koefisien lag waktu (λ) dan koefisien lag spasial sisaan (ρ) sama dengan 0.3,
terdapat kecenderungan penurunan nilai RMSER seiring dengan peningkatan δ.
Dari sisi performa WG dan WC, untuk koefisien lag spasial yang kurang dari 0.4
(δ <0.4) performa WG lebih baik daripada performa WC sedangkan untuk
koefisien lag spasial minimal 0.4 (δ ≥0.4) performa WC lebih baik daripada
performa WG. Namun demikian hasil perbandingan secara keseluruhan untuk
koefisien lag spasial 0.1 sampai 0.6 (δ =0.1,..., 0.6), WGnew memberikan
performa terbaik dimana RMSER dari model dengan WGnew paling minimum.
Dalam konstruksi matriks pembobot menggunakan prosedur AMOEBA
terdapat beberapa baris yang mempunyai elemen nol untuk semua kolom sehingga
perlu dipertimbangkan pemisahan unit-unit spasial baris yang mempunyai elemen
nol semua dengan yang tidak nol semua melalui fungsi indikator pada model.
51
posisi suatu daerah tidak sama jika dilihat dari jumlah penduduk miskin dan
persentase penduduk miskinnya. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh populasi
penduduk terhadap tingkat kemiskinan di suatu daerah. Kualitas sumberdaya
manusia juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin, karena pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kesempatan lebih
tinggi untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Jumlah penduduk miskin
juga sangat dipengaruhi oleh pendapatan perkapita penduduknya. PDRB
perkapita di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sangat berpengaruh dalam
penentuan garis kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu setiap
daerah di Provinsi Jawa Tengah senantiasa berusaha untuk meningkatkan
pendapatan perkapita penduduknya agar dapat berada di atas garis kemiskinan.
Jika pendapatan perkapita penduduknya semakin meningkat diharapkan dapat
mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah yang bersangkutan.
Pada penelitian ini, selain share tenaga kerja empat sektor dominan,
populasi penduduk, PDRB perkapita dan pendidikan, dikaji pula interaksi spasial
antar wilayah yang saling berdekatan. Interaksi spasial ini diperlukan untuk
melihat bagaimana pengaruh tetangga antar kabupaten/kota terhadap jumlah
penduduk miskin di kabupaten/kota tertentu. Dampak adanya faktor interaksi
spasial dalam model adalah munculnya endogeneitas, sehingga penduga
parameter yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah metode SYS-
GMM.
Berdasarkan latar belakang di atas, konsentrasi penelitian ini adalah
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan faktor
interaksi spasial kabupaten/kota yang bertetangga dengan melibatkan jenis
matriks pembobot spasial yang berbeda dalam model. Tujuan penelitian ini
adalah mendapatkan performa matriks pembobot terbaik yang dapat menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan interaksi spasial
di Provinsi Jawa Tengah serta dapat merumuskan implikasi kebijakan dari hasil
analisis yang diperoleh.
orang. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa kebutuhan lapangan usaha di
wilayah ini cukup tinggi untuk menampung penduduk yang masih produktif untuk
bekerja. Dilihat dari jenis pekerjaan penduduk, jumlah pekerja pada lapangan
usaha di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan menempati
proporsi tertinggi dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, yaitu sebesar 5.38
juta orang. Namun demikian dari tahun ke tahun jumlah tenaga kerja di sektor
pertanian mengalami penurunan seiring dengan perkembangan di sektor lainya
seperti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Ditinjau dari sisi
pendidikan tertinggi yang berhasil ditamatkan oleh penduduk berumur 15 tahun
ke atas yang bekerja adalah sebagai berikut: jumlah penduduk yang tamat SD
sebesar 9.136 juta orang, tamat SMP 3.048 juta orang dan tamat SMA ke atas
sebanyak 3.732 juta orang (BPS Jawa Tengah, 2012). Dari data tersebut diketahui
bahwa pendidikan penduduk di Provinsi Jawa Tengah perlu ditingkatkan guna
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dapat diserap oleh berbagai
lapangan usaha yang tersedia di Provinsi Jawa Tengah.
waktu tertentu, biasanya dalam satu tahun. Melalui pendekatan produksi, PDRB
terbagi menjadi sembilan sektor, yaitu (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan
Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, (5)
Konstruksi/Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Pengangkutan
dan Komunikasi, (8) Jasa Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan, dan (9)
Jasa-jasa. Sektor pertanian dan pertambangan termasuk ke dalam kelompok
sektor primer, sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih serta
bangunan termasuk kelompok sekunder sedangkan sisanya, yakni perdagangan,
pengangkutan, jasa keuangan dan jasa-jasa termasuk ke dalam kelompok tersier.
PDRB setiap wilayah disajikan dalam dua bentuk yaitu atas dasar harga
berlaku dan atas dasar harga konstan pada suatu tahun dasar. Dalam penyajian
berdasarkan harga berlaku, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga
yang berlaku pada masing-masing tahun, baik pada saat menilai produksi dan
biaya antara maupun pada penilaian komponen nilai tambah dan komponen
pengeluaran produk domestik regional bruto. Sedangkan dalam penyajian atas
dasar harga konstan, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga yang
terjadi pada tahun dasar (dalam publikasi ini harga konstan didasarkan kepada
harga-harga pada tahun 2000). Karena menggunakan harga konstan (tetap), maka
perkembangan agregat dari tahun ke tahun semata-mata disebabkan oleh
perkembangan riil kuantum produksi bukan lagi karena faktor fluktuasi harga
(inflasi/deflasi).
Penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor, terutama sektor-sektor unggulan
atau dominan, diharapkan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di Provinsi
Jawa Tengah. Berdasarkan data dari BPS Jawa Tengah (2011) terdapat empat
sektor lapangan usaha yang cukup dominan dalam memberikan kontribusi
terhadap laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah, yakni sektor
pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa. Sektor
pertanian termasuk ke dalam kelompok sektor primer, sektor industri pengolahan
termasuk kelompok sekunder dan sektor perdagangan dan jasa termasuk
kelompok tersier. Dari ketiga kelompok sektor ini, kelompok sektor sekunder dan
tersier berkontribusi relatif lebih besar dibandingkan kelompok sektor primer
(BPS Jawa Tengah, 2011).
5.4 Spesifikasi Model dan Uji Hipotesis Parameter Model
Dalam lingkup nasional, Siregar dan Wahyuni (2008) memodelkan
hubungan antara jumlah penduduk miskin dengan populasi penduduk, share
pertanian, share industri, tingkat pendidikan (SMP dan SMA), tingkat inflasi dan
PDRB. Dalam penelitian ini pemodelan hubungan antara jumlah penduduk
miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dikembangkan, yaitu dengan
melibatkan pengaruh interaksi spasial dimana pada komponen ruas kanan model
dilibatkan pengaruh spasial (WY).
Spesifikasi model yang digunakan untuk memodelkan keterkaitan antara
jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya melalui model
SLM-SEM dengan fokus utama pada bagaimana pengaruh populasi penduduk,
tenaga kerja lulusan setara SMP, share tenaga kerja empat sektor dominan, PDRB
perkapita, dan pengaruh spasial terhadap jumlah penduduk miskin. Model yang
digunakan mengacu pada model Cizek et al. (2011),
55
bSÌS
= ýbSÌS,0p + ÇÕ bSÌS + sp b6bèÌS
+ sq Ìb + s Ì7S + sª Ì7S + s8 Ì7b[
+ s9 Ì7Ì + s: bâ;b +
= ü + u , dan u = + 3 , = 1,2, … ,35, = 1,2, . . ,5 , (5.1)
Matriks pembobot spasial pada bagian SLM yang dikaji adalah WC, WG dan
WGnew. Beberapa kasus khusus dari model (4.3) dan (4.4) antara lain ketika ρ=0,
maka model pada persamaan (5.1) merupakan model panel spasial dinamis SLM,
untuk kasus ρ=λ=0, model (5.1) merupakan model panel spasial statis dengan
spesifikasi SLM, sedangkan ketika ρ=λ=δ=0, model (5.1) merupakan model
regresi klasik. Dalam kajian penelitian ini konsentrasi utamanya adalah
bagaimana keterkaitan antara faktor-faktor yang yang mempengaruhi jumlah
penduduk miskin dan bagaimana performa ketiga jenis matriks pembobot spasial
dalam model.
′ö ö
ö = 5 ö ′ö
ö 8 ′ö ö
ö ′ö r ,
0x
Misalkan adalah parameter yang sebenarnya, sehingga dalam hal ini akan
dilakukan uji hipotesis 75 : = vs 75 : ≠ . Berdasarkan (5.2)
ö = 5
ö ö
öö ö 8 ö ö
öö 5
ö + ô 8
0x
ö = + 5 ö ö ö ö
ö 8 ö ö
ö ö ô
0x
ö − 8 = 5 ö ö
ö ö ö 8 ö ö ö ö ô
0x
5
→ B
ö0x ′ö DE ö → B ö →
dan .
′ö ö
dengan ö , C
matriks S − ÇÕ tak singular, sehingga (4.3) dapat dituliskan kembali sebagai
Perhatikan model panel spasial dinamis (4.3), dan asumsikan bahwa
stasioner apabila |ý| < 1. Dalam model panel spasial dinamis, kestabilan model
(5.6) tidak hanya ditentukan oleh ý, |ý| < 1, tetapi ditentukan oleh akar-akar ciri
(characteristic roots) dari matriks ýS − ÇÕ 0p harus berada dalam lingkaran
dari matriks Õ (Harville, 1997). Determinan dari matriks diagonal dan matriks
matriks diagonal dan matriks segitiga atas dengan diagonal utama akar-akar ciri
b′ Õ b = Λ
Çb′ Õ b = ÇΛ
b′ b − b′ ÇÕ b = b′ b − ÇΛ
b′ cS − ÇÕ db = S − ÇΛ
cS − ÇÕ d0p = S − ÇΛ0p, karena PP’ = P’P=I
1
detcS − ÇÕ d0p = |cS − ÇÕ d0p | =I .
1 − Çû
p
Misalkan ûY¹ dan ûY_R berturut-turut akar ciri minimum dan akar ciri
maksimum dari matriks Õ , maka detýS − ÇÕ 0p = |ýS − ÇÕ 0p | =
|ý||S − ÇÕ 0p | < 1. Dengan mengambil akar-akar ciri minimum dan akar ciri
maksimum ûY¹ dan ûY_R , sedemikian sehingga |ý| < 1 dan
p
p0Ë÷øHÄ
|ý| < 1 maka kondisi |ý||S − ÇÕ 0p | < 1 terpenuhi.
p
p0Ë÷øùJú
Dengan
demikian maka kondisi kestabilan model (5.11) terpenuhi apabila |ý| p0Ë÷ <
p
øHÄ
1 dan |ý| p0Ë÷ < 1 atau dapat disederhanakan menjadi |ý| < 1 −
p
ÇûY¹ ⟺ |ý| + ÇûY_R < 1 (apabila Ç < 0) dan |ý| < 1 − ÇûY_R ⟺ |ý| +
øùJú
baru yang tidak saling berkorelasi yang disebut komponen utama, dimana k ≤ p
(Morrison, 1990). Misalkan X1,…,Xp peubah bebas dan Σ adalah matriks peragam
ýL = |D − ýL| = 0,
dengan λ adalah akar ciri dan I matriks identitas (Harville, 1997; Seber, 2007).
dengan akar ciri (eigen value) λj, j=1,..,p dan vektor ciri (eigen vector) aj ,j=1,..,p.
Misalkan dari p peubah asal ditransformasi ke k komponen utama (k ≤ p) dan A
bM = .
(PC), dinyatakan dengan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data untuk tahun 2007 sampai
2011 yang bersumber dari BPS Jawa Tengah tahun 2008 sampai 2012, atau
t=2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011. Adapun komponen data cross-section
tersebut yaitu 35 kabupaten / kota, atau i=1,2,..., 35.
Metode analisis yang digunakan terdiri dari metode eksplorasi dan
pemodelan. Analisis eksplorasi ditujukan untuk mengetahui pola persebaran
jumlah dan persentase penduduk miskin terutama melalui pemetaan. Pemodelan
digunakan untuk menghubungkan pengaruh faktor-faktor peubah bebas (termasuk
pengaruh lag spasial) terhadap jumlah penduduk miskin menggunakan model
panel spasial pengaruh tetap (fixed effect) yang mengacu pada model Cizek et al.
(2011). Sebagai tambahan, dalam hal ini dilakukan analisis pemodelan tanpa
melibatkan pengaruh spasial menggunakan perangkat lunak (software) Eviews
versi 6.
Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2007 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2010
Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2008 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2011
Gambar 5.1 Pola persebaran jumlah penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011
60
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2010
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2008 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011
Gambar 5.2 Pola persebaran persentase penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011
61
Kelas keempat untuk jumlah penduduk miskin 288000 orang sampai kurang dari
384000 orang, dan kelas kelima adalah untuk jumlah penduduk miskin lebih dari
384000. Berdasarkan pembagian kelas tersebut menunjukkan bahwa kelas
pertama menunjukkan kelompok kabupaten/kota dengan jumlah penduduk miskin
yang terendah dan kelas kelima menunjukkan kelompok kabupaten/kota dengan
jumlah penduduk miskin tertinggi. Perbedaan degradasi warna dari terang ke
gelap merepresentasikan kelompok kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
miskin dari rendah ke tinggi. Secara umum sebagian besar kabupaten/kota
menempati kelas kedua dan yang paling sedikit adalah menempati kelas kelima.
Dari tahun ke tahun terjadi pergeseran warna pada beberapa kabupaten/kota, hal
ini terjadi karena berubahnya jumlah penduduk miskin. Sebagai contoh
Kabupaten Kebumen pada tahun 2007, 2008 dan 2009 berada di kelas keempat,
namun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2010 dan 2011 bergeser posisinya ke
kelas ketiga. Hal ini berarti jumlah penduduk miskin Kabupaten Kebumen di
Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan. Berdasarkan Gambar 5.1 terdapat
kabupaten/kota yang relatif tetap pada posisinya data dari tahun 2007 sampai
2011. Sebagai ilustrasi, Kabupaten Brebes dengan jumlah penduduk miskin
terbesar, yaitu pada kelas kelima (warna gelap/tua), dan Kabupaten Banyumas
menempati kelas keempat, untuk selengkapnya kabupaten/kota dengan degradasi
warna yang sama dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Untuk melihat persebaran persentase penduduk miskin, pembagian
banyaknya kelas dan panjang interval kelas dilakukan dengan cara yang sama
sebagaimana pada jumlah penduduk miskin. Kelas pertama, kedua, ketiga,
keempat dan kelima berutur-turut adalah untuk persentase penduduk miskin
kurang dari 6%, 6% sampai kurang dari 12%, 12% sampai kurang dari 18%, 18%
sampai kurang dari 24% dan di atas 24%. Berdasarkan pembagian kelas tersebut
diperoleh pola persebaran persentase penduduk miskin yang tersaji pada Gambar
5.2.
Pola persebaran jumlah penduduk miskin (Gambar 5.1) dan persentase
penduduk miskin (Gambar 5.2) berbeda. Perbedaan pola persebaran ini
dikarenakan adanya faktor koreksi, yaitu jumlah penduduk atau populasi
penduduk di setiap kabupaten/kota. Berdasarkan Gambar 5.2 persentase
penduduk miskin untuk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sebagian besar
mengalami pergeseran dari kelas keempat ke kelas ketiga atau bergeser ke posisi
tengah. Pergerakan persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun di
kabupaten/kota cukup dinamis, hal ini dapat dilihat dari perubahan degradasi
warna pada kabupaten/kota. Jika dibandingkan antara persebaran jumlah
penduduk miskin (Gambar 5.1) dan persebaran persentase penduduk miskin
(Gambar 5.2) terdapat perbedaan. Misalnya dalam persebaran persentase
penduduk miskin Kabupaten Brebes menempati kelas kelima untuk tahun 2007
sampai tahun 2009, namun untuk tahun 2010 dan 2011 bergeser ke kelas keempat.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Brebes, secara persentase
mengalami penurunan penduduk miskin. Namun apabila dilihat dari jumlah
penduduk miskin, Kabupaten Brebes selalu menempati kelas kelima.
Berdasarkan Gambar 5.2, secara umum persebaran persentase penduduk miskin,
untuk kelas keempat dan kelas ketiga lebih dominan dibandingkan dengan kelas
lainnya.
62
Nilai-p (p-value) dari setiap korelasi antara dua peubah ditunjukkan oleh
nilai yang ada dalam tanda kurung, “( )”. Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa
korelasi antar peubah bebas menunjukkan bahwa nilai-p (p-value) sebagian besar
kurang dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar antar peubah bebas
berkorelasi secara linier Tabel 5.2. Jumlah penduduk atau populasi merupakan
peubah bebas yang mempunyai hubungan positif paling kuat dengan jumlah
penduduk miskin dibandingkan dengan peubah bebas lainnya, yaitu sebesar 0.8
dengan nilai p (p-value) 0.000, signifikan pada taraf signifikansi 0.05.
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat pula bahwa jumlah penduduk miskin
mempunyai hubungan positif dengan jumlah tenaga kerja berpendidikan setara
SMP dan share tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini berarti ketika populasi,
jumlah tenaga kerja berpendidikan setara SMP dan Share tenaga kerja pertanian
meningkat maka jumlah penduduk miskin akan meningkat. Sementara itu, share
tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan PDRB perkapita
mempunyai hubungan negatif dengan jumlah penduduk miskin, hal ini berarti jika
faktor-faktor tersebut meningkat maka jumlah penduduk miskin akan menurun.
Korelasi antar peubah bebas signifikan pada taraf signifikansi 5%, dan hal ini
sebagai informasi awal untuk terjadinya multikolinier.
63
dapat dijelaskan dengan dua komponen utama pertama. Sedangkan hasil PCA
dengan menggunakan matriks korelasi, dengan menggunakan dua komponen
utama pertama dapat menjelaskan 70.71% dari total keragaman X. Dalam kajian
ini diambil dua komponen utama pertama karena dengan dua komponen utama
tersebut dapat mempertahankan kekonsistenan tanda koefisien model dengan
korelasi pada Tabel 5.2. Dengan demikian dalam pemodelan ini yang menjadi
peubah bebas adalah PC1 dan PC2, dimana PCj = Xaj, j=1,2, atau dalam bentuk
matriks PC=XA, dengan A=[a1, a2]. Sebagai tambahan, dalam analisis ini
dilakukan pemodelan dengan perangkat lunak Eviews untuk kasus δ = 0
(kasus model panel dinamis non spasial) sebagai bahan pembanding terhadap
performa matriks pembobot spasial.
Mengacu pada matriks pembobot spasial dari hasil prosedur AMOEBA,
baik matriks AMOEBA yang menggunakan statistik Getis lokal (WG) maupun
matriks AMOEBA yang menggunakan statistik Getis termodifikasi (WGnew)
terdapat beberapa baris yang nol, wij=0, untuk semua kolom j untuk j=1,2,…,N
(i≠j). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota
i yang mempunyai elemen nol semua tidak dipengaruhi secara spasial oleh
kabupaten/kota j yang berada di sekitar. Gambar 5.3 memperlihatkan plot antara
Y dan WY dari hasil prosedur AMOEBA menggunakan statistik Gnew.
Gambar 5.3 Plot penduduk miskin (Y) dan interaksi spasialnya (WY).
Interaksi spasial yang ditunjukkan pada Gambar 5.3 memberikan hasil yang
khas dimana terdapat kabupaten atau kota dengan nilai-nilai WY bernilai nol.
Dalam kasus kabupaten atau kota dengan nilai WY sama dengan nol menunjukkan
bahwa kabupaten atau kota tersebut tidak mempunyai kemiripan jumlah penduduk
miskin dengan kabupaten atau kota disekitarnya. Kabupaten atau kota yang
termasuk dalam kasus ini tidak membentuk ecotope atau dalam prosedur
AMOEBA yang disebut dengan unit yang ter-exclude. Kabupaten atau kota yang
mempunyai nilai WY tidak sama dengan nol menunjukkan bahwa kabupaten atau
kota tersebut mempunyai kemiripan jumlah penduduk miskin dengan kabupaten
atau kota disekitarnya, sehingga akan membentuk ecotope rendah maupun tinggi.
Dalam model apabila sebuah kabupaten atau kota membentuk ecotope maka
jumlah penduduk miskin di kabupaten atau kota tersebut dipengaruhi oleh jumlah
penduduk miskin dari kabupaten atau kota disekitarnya.
Untuk mengakomodasi keberadaan unit-unit yang berhubungan secara
spasial dan yang tidak berhubungan secara spasial, dalam model dengan WG dan
WGnew akan dikembangkan atau dimodifikasi lebih lanjut. Modifikasi model
65
0, × > 0(
x5 =
1, × = 0
dengan × = ∑ p ò c, d. Namun pada tahapan penduga GMM, parameter
s akan tereliminir ketika dilakukan operasi beda pertama (first difference) yang
0, × > 0 (
x5 = x5 w5 =
w5 , × = 0
w5 = ¹\Yw w5 = 1,2, … , , A]¤×w5 = ‖w5 ‖q = º∑p q .
w
[
[
,
Misalkan ∗ = cx5 ⋮ d dan }∗ = cs5 ⋮ }′d′ maka model persamaan
(5.11)
WC WG WGnew WC WG WGnew
Model panel spasial dengan peubah bebas PC hasil transformasi PCA setiap
matriks pembobot spasial disajikan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5 (PCA dari
matriks peragam), Lampiran 6 dan Lampiran 7 (PCA dari matriks korelasi). Hasil
GMM1 (ρ=0) dan GMM3 baik untuk peubah bebas PC dari PCA matriks peragam
(Lampiran 4 dan Lampiran 5) maupun PCA matriks korelasi (Lampiran 6 dan
66
Lampiran 7) menunjukkan hasil akurasi yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
R2 yang sama. Ketepatan model panel dinamis dengan menggunakan koefisien
determinasi (R2) untuk model non spasial (dengan perangkat lunak Eviews) dan
model spasial disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Perbandingan R2 model panel spasial dinamis dan model panel dinamis
Matriks pembobot Metode
Matrik PCA R2(%)
Spasial penduga
- Peragam Eviews 99.33
WC Korelasi GMM1 (ρ=0) 99.68
WC Korelasi GMM3 99.67
WG Korelasi GMM1 (ρ=0) 99.68
WG Korelasi GMM3 99.67
WGnew Korelasi GMM1 (ρ=0) 99.69
WGnew Korelasi GMM3 99.66
WC Peragam GMM1 (ρ=0) 99.72
WC Peragam GMM3 99.71
WG Peragam GMM1 (ρ=0) 99.72
WG Peragam GMM3 99.70
WGnew Peragam GMM1 (ρ=0) 99.72
WGnew Peragam GMM3 99.70
Berdasarkan Tabel 5.4, tampak bahwa nilai R2 pada model non spasial
paling kecil dibandingkan dengan model spasial. Mengacu pada Tabel 5.4 yang
disarikan dari Lampiran 4 sampai Lampiran 7, terlihat bahwa untuk ketiga jenis
matriks pembobot spasial (WC, WG dan WGnew) pada model baik untuk GMM1
hasil PCA matriks peragam menghasilkan nilai R2 yang sama, yaitu 99.72%.
Sedangkan untuk GMM3, nilai R2 untuk WC, WG dan WGnew berturut-turut
adalah 99.71%, 99.70% dan 99.70%. Nilai R2 yang dihasilkan dari model
GMM1 melalui PCA pada matriks korelasi untuk model dengan WC, WG dan
WGnew berturut-turut adalah turut adalah 99.68%, 99,68% dan 99.69% ,
sedangkan untuk GMM3 99.67%, 99.67% dan 99.66%. Nilai R2 pada model
WGnew dengan peubah bebas PC dari matriks matriks korelasi paling tinggi
dibanding model dengan WC maupun WG meskipun sangat kecil perbedaanya.
Berdasarkan hasil R2 pada GMM1 dan GMM3 dalam model ini mengambil
GMM1 karena memberikan nilai R2yang relatif lebih besar. Berdasarkan nilai R2
pada Tabel 5.4 dapat menjadi sebuah indikasi pula bahwa pengaruh jumlah
penduduk miskin pada tahun tertentu Y(t) sangat dipengaruhi oleh jumlah
penduduk miskin pada tahun sebelumnya Y(t-1) (Ytmin1).
Hasil PCA pada matriks peragam dengan dua komponen utama didominasi
oleh PDRB perkapita dan populasi penduduk, sedangkan hasil PCA pada matriks
korelasi pada komponen pertama merupakan rata-rata dari semua peubah bebas
dan komponen kedua didominasi oleh SMP, populasi dan PDRB perkapita.
Berdasarkan nilai R2 dari model dengan peubah bebas PC dari matriks peragam
lebih tinggi daripada R2 dari model dengan peubah bebas PC dari matriks korelasi,
dalam kasus ini akan digunakan model dengan WGnew hasil PCA dari matriks
peragam. Berdasarkan model dengan matriks pembobot spasial WGnew
67
maka |ý| + Ç = 0.74 + 0.06 = 0.80 < 1. Berdasarkan hasil ini maka model
yang dihasilkan stasioner (Cizek, 2011). Sementara itu berdasarkan asumsi yang
terkait dengan sisaan dan pengaruh spasial tetap (η) memperlihatkan bahwa plot
tebaran (scatter plot) pengaruh tetap dan sisaan adalah acak (Lampiran 8 sampai
Lampiran 10). Tahap diagnosa berikutnya yakni keberhinggaan ragam sisaan dan
keberhinggaan momen keempat dari pengaruh tetap (η). Berdasarkan uji
keberhinggaan melalui pendekatan kurva sebaran normal dari η, ternyata
pengaruh tetap (η) menyebar normal (berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov,
p-value lebih dari 0.15). Hasil ini tentunya menjadi sebuah indikasi bahwa
momen keempat yang berhingga sehingga asumsi terpenuhi. Berikutnya
mendiagnosa ragam berhingga dari sisaan. Berdasarkan plot peluang normal
terlihat bahwa sisaan tidak menyebar normal pada taraf signifikansi 5% atau 0.05
karena nilai p-value kurang dari 0.01. Walaupun demikian berdasarkan penduga
sebaran metode kernel terlihat bahwa kurva sisaan mempunyai ragam yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan ragam pengaruh tetap. Karena kurva pengaruh
tetap (η) mempunyai momen keempat yang berhingga (finite) maka dapat
dikatakan bahwa sisaan mempunyai ragam berhingga (finite variance) (Lampiran
11). Hasil analisis ragam (Analysis of Variance, ANOVA) berdasarkan hasil
model dengan matriks spasial WGnew disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Analisis ragam model panel spasial dinamis dengan matriks
WGnew
Peubah Theta stdev Nilai t Nilai-p
Ytmin1 0.735263 0.041402 17.759022 0.000000
WY 0.059828 0.021953 2.725322 0.006424
Bo 2.039104 1.385817 1.471409 0.141181
POP 0.037305 0.007697 4.846494 0.000001
SMP 0.004180 0.000863 4.844504 0.000001
SHTKTANI 0.000559 0.000114 4.891940 0.000001
SHTKIND -0.000120 0.000024 -4.920705 0.000001
SHTKPDG -0.000217 0.000044 -4.881905 0.000001
SHTKJASA -0.000233 0.000048 -4.875097 0.000001
PDRBKAP -0.001667 0.000543 -3.069662 0.002143
R2= 99.72%
Berdasarkan Tabel 5.5 terdapat pengaruh jumlah penduduk miskin tahun
sebelumnya yaitu sebesar 73.53%, artinya bahwa apabila pada tahun lalu terdapat
seribu jumlah penduduk miskin maka akan menyumbang sebanyak 735 penduduk
miskin pada tahun sekarang, ceteris paribus. Hal ini menjadi indikasi bahwa
68
pengaruh jumlah penduduk miskin pada tahun sebelumnya cukup besar. Dalam
kondisi ceteris paribus pengaruh tetangga sekitar mempunyai pengaruh sebesar
6% terhadap jumlah penduduk miskin pada wilayah tertentu.
Peningkatan populasi penduduk dapat meningkatkan jumlah penduduk
miskin. Dari hasil analisis diketahui peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1000
orang dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 37 orang.
Kebijakan yang perlu diambil dalam hal ini adalah perlunya dilakukan
pengontrolan terhadap populasi penduduk, antara lain dengan menggiatkan
kembali program keluarga berencana. Kesadaran penduduk untuk mengatur jarak
dan jumlah kelahiran diharapkan berdampak pada terpenuhinya segala kebutuhan
hidup seluruh anggota keluarga, sehingga tercipta keluarga yang ideal.
Kualitas pendidikan tentunya sangat mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia. Mengacu pada Tabel 5.5 terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya
tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP akan berdampak pada peningkatan
jumlah penduduk miskin. Hal ini berarti bahwa pendidikan tenaga kerja setara
SMP masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Oleh
karena itu program wajib belajar sembilan tahun yang telah dijalankan oleh
pemerintah perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Pada saat ini, tenaga kerja yang
berpendidikan setara SMP relatif lebih sulit untuk mendapatkan penghasilan yang
layak karena ketatnya persaingan dengan tenaga kerja yang pendidikannya lebih
tinggi. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yang
berpendidikan setara SMP, perlu dikembangkan berbagai pelatihan yang dapat
meningkatkan keahlian serta jiwa kewirausahaan di kalangan penduduknya
tersebut. Selain itu pemerintah sebaiknya berupaya untuk membuka kembali
kesempatan penduduknya untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi sehingga
tercipta sumberdaya manusia yang benar-benar handal dalam berbagai bidang.
98.92%. Mengacu pada Lampiran 13, pola sisaan dan pengaruh tetap (η) dari
model dengan WGnew terlihat menyebar acak dan berada di sekitar nol.
Sementara itu pengaruh tetap (η) dari model dengan WC dan WG mempunyai
pola sebaran acak namun mempunyai nilai-nilai lebih banyak di atas nol. Dengan
mengacu pada kenyataan ini maka model dengan WGnew relatif lebih baik dalam
menggambarkan pola sebaran jumlah penduduk miskin dibandingkan model
dengan WC maupun WG (Lampiran 13).
Untuk mengukur ketepatan hasil dugaan jumlah penduduk miskin dari
ketiga jenis matriks pembobot spasial, dilakukan pembandingan terhadap jumlah
penduduk miskin sebenarnya yang telah diklasifikasikan sebagaimana tersaji pada
Gambar 5.1. Keakuratan dugaan jumlah penduduk miskin melalui analisa salah
klasifikasi untuk tahun 2007 sampai 2011 dari matriks WC, WG dan WGnew
disajikan pada Lampiran 14 sampai Lampiran 16. Berdasarkan analisis kesalahan
klasifikasi per kelompok atau per kelas dari Lampiran 14 sampai Lampiran 16,
terlihat bahwa untuk tahun 2007 sampai 2011, matriks WGnew memberikan
performa paling baik. Hal ini ditunjukkan oleh kesalahan klasifikasi (elemen-
elemen diluar diagonal utama) yang paling sedikit diantara model dengan matriks
WC maupun WG. Untuk lebih jelasnya, tabel kesalahan klasifikasi pada
Lampiran 14 sampai Lampiran 16 diringkas pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Banyaknya salah klasifikasi tahun 2007 sampai 2011 dari model
dengan matriks WC, WG dan WGnew.
Tahun WC WG WGnew
2007 18 11 4
2008 6 6 2
2009 6 3 3
2010 12 7 4
2011 11 8 5
Total 53 35 18
Lampiran 17 sampai Lampiran 21 berturut-turut menyajikan perbandingan jumlah
penduduk miskin hasil dugaan model untuk matriks WC, WG dan WGnew dengan
jumlah penduduk miskin sebenarnya (aktual) untuk tahun 2007 sampai 2011
melalui pemetaan. Berdasarkan Lampiran 17 sampai Lampiran 21 terlihat bahwa
pergeseran atau perubahan degradasi warna dari Gambar 5.1 lebih banyak
dihasilkan oleh model yang menggunakan matriks WC, sedangkan yang paling
sedikit dihasilkan oleh model yang menggunakan matriks WGnew. Hasil ini
sesuai dengan analisa salah klasifikasi pada Tabel 5.6 dimana total salah
klasifikasi pada model dengan WC paling tinggi.
6 PEMBAHASAN UMUM
Dalam model regresi klasik umumnya diasumsikan bahwa antar objek tidak
ada interaksi atau saling bebas. Sementara itu dalam beberapa kasus tertentu
asumsi dalam model regresi tidak dapat terpenuhi. Dalam kondisi ini maka perlu
sebuah model yang mampu mengakomodasi keberadaan interaksi antar objek.
Model spasial merupakan salah satu model yang dapat mengakomodasi adanya
pengaruh interaksi dimana dalam model ini direpresentasikan oleh matriks
pembobot spasial. Komponen matriks pembobot spasial dalam model dapat
digunakan untuk memuat pengaruh unit-unit tetangga di sekitarnya terhadap unit
spasial tertentu.
Terdapat beberapa metode atau teknik yang dapat digunakan untuk
mengkonstruksi matriks pembobot spasial. Matriks pembobot spasial yang umum
digunakan dan paling sederhana didasarkan pada konsep ketetanggaan terdekat
(contiguity), dimana elemen matriks mempunyai bobot satu ketika antar unit
saling bersebelahan dan bernilai nol untuk selainnya. Teknik lain dalam
mengkonstruksi matriks pembobot telah dikembangkan, salah satu diantaranya
adalah melalui prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh Aldstadt dan Getis.
Dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial melalui prosedur AMOEBA,
digunakan statistik Getis lokal yang diklaim menyebar normal. Keungggulan
prosedur AMOEBA dibandingkan dengan matriks pembobot kontiguitas adalah
dalam prosedur AMOEBA, selain berdasarkan kedekatan antar unit juga
melibatkan kemiripan antar peubah yang berdekatan. Namun demikian, hasil
evaluasi terhadap statistik Getis lokal menunjukkan bahwa pengaruh sebaran
peubah asal (yang menjadi perhatian) perlu dipertimbangkan, tentunya selain
proporsi unit-unit yang bertetangga. Berdasarkan kasus ketika peubah yang
menjadi perhatian katakanlah peubah Xi , i=1,2,…,n menyebar iid Gamma (1,4),
kenormalan statistik Getis lokal tidak valid. Oleh karena dalam prosedur
AMOEBA didasarkan pada sebaran normal maka dilakukan modifikasi terhadap
statistik tersebut.
Statistik Getis lokal didasarkan pada permutasi acak dari unit-unit spasial
dan selanjutnya dianggap sebagai sebuah perobaan pengambilan objek dari
sekumpulan objek tanpa pengembalian. Hal ini berarti objek-objek (unit-unit
spasial) tersebut dianggap homogen.
Hasil modifikasi melalui transformasi peubah ke dalam bentuk penduga
fungsi sebaran kumulatif dengan menggunakan teorema Lyapounov, diperoleh
statistik Getis lokal termodifikasi yang menyebar normal. Untuk mengevaluasi
performa statistik Getis lokal termodifikasi dalam mengkonstruksi matriks
pembobot spasial prosedur AMOEBA, dilakukan analisa perbandingan pada
model menggunakan data simulasi dan aplikasi pada kasus data riil.
Pada kasus data riil, hubungan antara peubah tak bebas dengan faktor-faktor
yang mempengaruhinya terkadang relatif kompleks misalnya terdapat
ketakbebasan spasial (spatial dependence). Oleh karena itu dalam spesifikasi
model yang digunakan mengacu pada spesifikasi Spatial Lag Model dan Spatial
Error Model (SLM-SEM) Cizek et al. (2011). Namun demikian konsentrasi
dalam penelitian ini adalah membandingkan performa matriks pembobot spasial
yang dikonstruksi melalui prosedur AMOEBA. Untuk mendukung
pembandingan performa matriks pembobot spasial, dibangkitkan data dengan
spesifikasi parameter λ=0.3 , β=1 dan variasi δ=0.3 dan 0.5 (koefisien lag spasial)
74
dan ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3 (koefisien error spasial). Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa WGnew relatif lebih baik dibandingkan dengan WG maupun
WC dimana RMSER dari model dengan WGnew paling kecil. Temuan lain dari
hasil ini adalah adanya kecenderungan penurunan RMSER seiring dengan
peningkatan koefisien lag spasial (δ).
Pada tahap berikutnya, untuk mengkaji performa matriks pembobot spasial
diaplikasikan pada kasus data riil. Kasus yang diambil dalam penelitian ini adalah
jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk
miskin dalam ruang lingkup Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sampai 2011.
Mengangkat isu kemiskinan dalam penelitian ini karena merupakan isu yang
menjadi perhatian baik di pemerintah pusat maupun daerah. Sementara Provinsi
Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin kedua
terbesar, namun dari sisi persentase Provinsi Jawa Tengah menempati urutan
keduabelas terbesar. Dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi jumlah
penduduk miskin, dalam penelitian ini dibatasi pada faktor populasi penduduk,
jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMP, share tenaga kerja sektor pertanian,
industri, perdagangan dan jasa, serta faktor PDRB perkapita. Banyaknya faktor
atau peubah bebas dalam pemodelan berpeluang terjadinya multikolinear. Untuk
mendiagnosa multikolinear dalam model, dilakukan tahap eksplorasi awal melalui
analisis korelasi antar peubah bebas.
Berdasarkan analisis korelasi diperoleh hasil bahwa sebagian besar nilai-p
(p-value) antar peubah bebas kurang dari 0.05. Hal ini berarti bahwa sebagian
besar antar peubah bebas berkorelasi secara linier. Sementara itu korelasi antara
jumlah penduduk miskin (peubah tak bebas) dengan peubah-peubah bebas terlihat
bahwa populasi penduduk merupakan peubah bebas yang mempunyai hubungan
positif paling kuat dibandingkan dengan peubah bebas lainnya. Hasil analisis
korelasi antara jumlah penduduk miskin dengan tenaga kerja berpendidikan SMP
dan share tenaga kerja sektor pertanian juga mempunyai hubungan yang positif.
Share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan PDRB
perkapita mempunyai hubungan yang negatif dengan jumlah penduduk miskin.
Analisis pengaruh ketujuh peubah bebas terhadap jumlah penduduk miskin
dilakukan melalui model dengan melibatkan jenis matriks yang berbeda. Dari
ketiga jenis matriks yang digunakan peubah bebas komponen utama (PC) yang
merupakan hasil transformasi dari peubah-peubah bebas X menggunakan PCA.
Peubah-peubah bebas PC yang digunakan dalam model diperoleh dari hasil PCA
pada matriks peragam dan matriks korelasi untuk mendapatkan model yang baik.
PC hasil PCA pada matriks peragam didominasi oleh peubah PDRB perkapita dan
populasi penduduk, sedangkan PC hasil PCA pada matriks korelasi berbeda. PC1
hasil PCA pada matriks korelasi merepresentasikan rata-rata dari ketujuh peubah
bebas, sedangkan PC2 merepresentasikan peubah jumlah tenaga kerja lulusan
SMP, populasi penduduk dan PDRB perkapita.
Berdasarkan pemodelan dengan menggunakan PC hasil PCA pada matriks
peragam diperoleh bahwa ketiga matriks pembobot spasial (WC, WG dan
WGnew) memberikan performa yang sama baiknya dimana koefisien determinasi
masing-masing sebesar 99.72%. Sedangkan berdasarkan pemodelan dengan
menggunakan PC hasil PCA pada matriks korelasi diperoleh nilai koefisien
determinasi model dengan matriks WC, WG dan WGnew berturut-turut sebesar
99.68%, 99.68% dan 99.69%. Walaupun dalam hal ini nilai koefisien determinasi
75
dari model dengan WGnew lebih tinggi, namun perbedaannya sangat kecil. Hal
ini menunjukkan dalam model lebih didominasi oleh koefisien lag waktu satu
tahun sebelumnya, Y(t-1). Dengan kata lain terdapat hubungan yang sangat erat
antara jumlah penduduk miskin untuk tahun tertentu dan tahun sebelumnya.
Dengan pertimbangan koefisien determinasi di atas, interpretasi hasil pada
kasus ini didasarkan pada model dengan matriks WGnew. Berdasarkan tabel
ANOVA dari model dengan WGnew ternyata sekitar 73.53% jumlah penduduk
miskin dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya, ceteris
paribus. Sedangkan pada populasi penduduk diperoleh koefisien 0.0373, apabila
terdapat peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1000 orang dapat meningkatkan
jumlah penduduk miskin sebanyak 37 orang. Kebijakan yang perlu diambil dalam
hal ini adalah perlunya dilakukan pengontrolan terhadap populasi penduduk,
antara lain dengan menggiatkan kembali program keluarga berencana (program
KB). Kesadaran penduduk untuk membatasi jumlah kelahiran diharapkan
berdampak pada terpenuhinya segala kebutuhan hidup anggota keluarga.
Kualitas pendidikan tentunya sangat mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia. Tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP tentunya relatif lebih sulit
untuk mendapatkan penghasilan yang layak karena ketatnya persaingan dengan
tenaga kerja yang pendidikannya lebih tinggi. Program wajib belajar sembilan
tahun yang telah dijalankan oleh pemerintah perlu mendapat perhatian lebih
lanjut. Share tenaga kerja di sektor pertanian mempunyai hubungan yang positif
dengan jumlah penduduk miskin, artinya bahwa sebagian besar tenaga kerja di
sektor pertanian mempunyai pendapatan yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan sektor lain. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap
PDRB total provinsi Jawa Tengah yang semakin menurun padahal tenaga kerja
yang terserap di sektor pertanian adalah yang paling tinggi.
Peningkatan PDRB perkapita (PDRBKAP) dapat menurunkan jumlah
penduduk miskin, dimana dari hasil analisis diketahui bahwa peningkatan 1 unit
PDRB perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.001667
unit. Hal ini berarti bahwa kenaikan pendapatan perkapita sebesar Rp 1 juta maka
dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 1667 orang. Share tenaga
kerja sektor industri, sektor perdagangan dan sektor jasa mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap jumlah penduduk miskin artinya bahwa dengan semakin
besar tenaga kerja yang terserap di ketiga sektor tersebut maka akan berdampak
pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pengaruh penurunan jumlah penduduk
miskin oleh tenaga kerja yang terserap di sektor perdagangan dan jasa hampir dua
kali lipat dibanding sektor industri.
Penelusuran terhadap pembandingan performa matriks pembobot spasial
dilakukan dengan menggunakan model panel spasial statis, dalam arti bahwa
pengaruh jumlah penduduk pada tahun sebelumnya dieliminir. Berdasarkan hasil
pendugaan model dengan GMM baik pada GMM satu tahap maupun GMM tiga
tahap, nilai koefisien determinasi (R2) dari model dengan WC, WG dan WGnew
berturut-turut sebesar 96.16%, 98.28% dan 98.92%. Asumsi-asumsi model
seperti keacakan sisaan dan keacakan pengaruh tetap (η) pada model dengan
WGnew juga memberikan performa yang baik dibandingkan dengan model
dengan WC maupun WG. Perbandingan hasil dugaan jumlah peduduk miskin
pada model panel statis melalui pemetaan dan analisis salah klasifikasi sangat
terlihat perbedaan performa ketiga matriks tersebut. Jumlah salah klasifikasi dari
76
hasil pemodelan dengan WC hampir tiga kali lipat jumlah salah klasifikasi model
dengan WGnew. Sedangkan jumlah salah klasifikasi dari hasil pemodelan dengan
WG hampir dua kali lipat jumlah salah klasifikasi model dengan WGnew. Hal ini
menunjukkan bahwa performa WGnew dapat memberikan hasil terbaik dalam
pemodelan jumlah penduduk miskin.
77
7.1 Simpulan
Dalam pemodelan dimana terdapat ketakbebasan spasial antar peubah tak
bebas perlu dipertimbangkan model-model ketakbebasan dengan memuat lag
spasial. Ketakbebasan spasial dalam model dapat dimuat melalui keterlibatan
matriks pembobot spasial di ruas kanan model.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi matriks
pembobot spasial memunculkan sebuah pilihan sedemikian sehingga matriks
pembobot spasial yang digunakan mempunyai performa yang baik. Metode
umum dalam mengkonstruksi matriks pembobot didasarkan pada konsep
ketetanggaan, dimana untuk dua unit spasial yang bertetangga atau bersebelahan,
maka elemen matriks tersebut bernilai 1 dan selainnya bernilai nol. Teknik lain
yang dapat digunakan adalah prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh
Aldstadt dan Getis yang melibatkan peubah yang menjadi perhatian. Dalam
mengkonstruksi elemen matriks pembobot spasial, Aldstadt dan Getis
menggunakan asumsi kenormalan sebaran statistik Getis yang diklaim oleh Getis
Pada kasus peubah asal yang menyebar Gamma diperoleh bentuk kurva [∗
dan Ord tanpa mempertimbangkan sebaran peubah asal.
peubah asal yang menyebar Gamma, statistik [∗ tidak normal sedangkan untuk
tidak simetris (menjulur), demikian pula hasil uji analitik oleh Zhang bahwa untuk
peubah asal normal statistik [∗ juga normal. Oleh karenanya dapat disimpulkan
bahwa kenormalan statistik [∗ bergantung pada sebaran peubah asal.
fungsi sebaran empirisnya, ke Á³¹ 5N 8, diperoleh statistik Getis lokal (Gnew(i))
Modifikasi statistik Getis lokal melalui transformasi peubah asal ke penduga
7.2 Saran
Berdasarkan beberapa temuan dari hasil kajian terhadap masalah sebaran
statistik Getis lokal, matriks pembobot spasial dan aplikasinya terdapat beberapa
hal yang perlu dikaji lebih lanjut.
Perlu kehati-hatian dalam penggunaan asumsi kenromalan statistik Getis
lokal dalam analisis-analisis data spasial.
Dalam hal mengkonstruksi matriks pembobot prosedur AMOEBA
disarankan untuk menggunakan statistik Getis lokal yang termodifikasi untuk
meningkatkan performa hasil dugaan.
Pemodelan data panel spasial lebih lanjut yang melibatkan matriks
pembobot spasial perlu dicoba menggunakan matriks pembobot spasial dinamis
(berubah menurut waktu) menggunakan prosedur AMOEBA. Dengan demikian
variasi dalam data deret waktu dan dependensi spasial dapat diakomodasi oleh
matriks pembobot spasial tersebut.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ajmani VB. 2009. Applied Econometrics Using The SAS(R) System. John Wiley
& Sons. New Jersey.
Aldstadt J dan Getis A. 2006. Using AMOEBA to create a spatial weights matrix
and identify spatial clusters. Geographical Analysis 8:327-343.
Anselin L. 1995. Local indicators of spatial association-LISA. Geographical
Analysis 27 : 93-115.
Anselin L. 1999. Spatial Econometrics [diunduh 7 Juli 2012]. Tersedia pada:
http://www.csiss.org/learning_resources/ content/papers/baltchap.pdf.
Anselin L. 2003. Spatial Autocorrelation (2): Spatial Weights [diunduh 13
Desember 2013]. Tersedia pada: http://www.negia.ucsb.edu/Publications/
Tech_Reports/92/92-10.pdf.
Anselin L dan Lozano-Gracia N. 2008. Errors in variables and spatial effects in
hedonic house price models of ambient air quality. Empirical Economics
34: 5–34.
Arrelano M dan Bond S. 1991. Some test of specification for panel data: monte
carlo evidence and an application to employment equations. Review of
Economic Studies 58:277-297.
Arrelano M. 2003. Panel Data Econometrics. Oxford University Press Inc.
New York.
Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. Third edition. John
Wiley & Sons. England.
Banerjee S, Carlin BP, Gelfand AE. 2004. Hierarchical Modeling and Analysis
for Spatial Data. Chapman & Hall. London.
Berry BJL, Griffith DA dan Tiefelsdorf MR. 2008. From spatial analysis to
geospatial science. Geographical Analysis. 40: 229-238.
Bhattacharjee A dan Holly S. 2011. Structural interaction in spatial panels. Empir
Econ 40: 69-94.
Billingsley P. 1995. Probability and Measure. Third Edition. John Wiley & Sons.
New York.
Bond SR, Hoeffler A, Temple J. 2001. GMM estimation of empirical growth
models. Centre for Economic Policy Research. Discussion Paper No. 3048:
1-33.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan
Distribusi Pendapatan. BPS, Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tinjauan PDRB Kabupaten Kota Jawa
Tengah 2010. BPS Jawa Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data dan Informasi Kemiskinan Provinsi
Jawa Tengah 2002-2010. BPS Jawa Tengah, Semarang.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Tengah Dalam Angka 2008. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka 2009. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jawa Tengah Dalam Angka 2010. BPS Jawa
Tengah. Semarang
80
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Tengah Dalam Angka 2011. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Tengah Dalam Angka 2012. BPS Jawa
Tengah. Semarang
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase
Penduduk Miskin di Indonesia [diunduh 4 Desember 2013]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2013.
Berita Resmi Statistik. No. 47/07/Th. XVI, 1 Juli 2013 [diunduh
9 Nopember 2013]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/brs_file/
kemiskinan_01jul13.pdf.
Bruderl J. 2005. Panel data analysis [diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada:
http//www2.sowi.uni-mannheim.de/lsssm/veranst/panelanalyse.pdf.
Conley TG dan Topa G. 2002. Socio economic distance and spatial patterns in
unemployment. Journal of Applied Econometrics. DOI: 10.1002/jae.670,
17: 303–327.
Conley TG dan Dupor B. 2003. A spatial analysis of sectoral complementarity.
Journal of Political Economy. 3: 311-352.
Costa-Font J dan Moscone F. 2008. The imfact of decentralization and inter-
territorial interactions on Spanish health expenditure. Empirical Economics.
34: 167-184.
Cressie NAC. 1993. Statistics for Spatial Data. John Wiley and Sons. New York.
Chung KL. 2001. A Course in Probability Theory. Academic Press. USA
Cizek P, Jacobs J, Lighart J dan Vrijburg. 2011. GMM estimation of fixed effects
dynamic panel data models with spatial lag and spatial errors [diunduh 8
Januari 2012]. Tersedia pada: http://www.tilburguniversity.edu/webwijs/
files/center/ligthart/JErev.pdf.
Druska V dan Horrace WC. 2004. Generalized moments estimation for spatial
panel data: Indonesian rice farming. Amer. J. Agr. Econ 86 : 185–198.
Duque JC, Aldstadt J, Velasquez E, Franco JL, Betancourt A. 2011. A
computationally efficient for delineating irregularly shaped spatial cluster. J
Geogr Syst 13 : 355-372. Doi:10.1007/s10109-010-0137-1.
Eigner F. 2009. Dynamic panel data methods for cross-section panels with an
application on a winter tourism demand model [diunduh 24 Januari 2014].
Tersedia pada: http://homepage.univie.ac.at/robert.kunst/pres09_pan_
eigner.pdf.
Elhorst JP. 2010. Applied spatial econometrics: raising the bar. Spatial Economic
Analysis 5: 9-28.doi:10.1080/17421770903541772.
Fingleton B. 2008a. A Generalized method of moments estimator for a spatial
panel model with an endogenous spatial lag and spatial moving average
errors. Spatial Economic Analysis 3: 27-44
Fingleton B. 2008b. A Generalized method of moments estimator for a spatial
model with Moving Average Errors, with Application to Real Estate Prices.
Empirical Economics 34: 35-57.
Fotheringham AS dan Rogerson PA. 2009. Spatial Analysis. SAGE. London.
Fotheringham AS. 2009. “The problem of spatial autocorrelation” and local
spatial statistics. Geographical Analysis 41 : 398-403.
81
Folmer H dan Oud JHL. 2008. How to get rid of W: a latent variables approach to
modeling spatially lagged variables. Environment and Planning A 40:2526–
2538
Gaetan C dan Guyon X. 2010. Spatial Statistics and Modelling. John Wiley &
Sons. New York.
Getis A dan Ord JK. 1992. The analysis of spatial association by use of distance
statistics. Geographical Analysis 24 : 189-206.
Getis A dan Aldstadt J. 2004. Constructing the spatial weights matrix using local
statistic. Geographical Analysis 36 : 90-104.
Getis A. 2008. A history of the concept of spatial autocorrelation: A Geographer’s
perspective. Geographical Analysis 40 : 297-309.
Getis A. 2009. Spatial weights matrices. Geographical Analysis. 41 : 404-410.
Hsiao C. 2003. Analysis of Panel Data. Second Edition. Cambridge University
Press. California.
Harville DA. 1997. Matrix Algebra From a Statistician’s Perspective. Springer-
Verlag. New York.
Jacobs JPAM, Ligthart JE dan Vrijburg. 2009. Dynamic panel data models
featuring endogenous interaction and spatially correlated errors [diunduh
2 Desember 2012]. Tersedia pada: www.ub.edu/sea2009.com/Papers/11.pdf.
Kapoor M, Kelejian HH, Prucha IR. 2007. Panel data models with spatially
correlated error components. Journal of econometric 140 : 97-130.
Kelejian HH., Prucha IR. 1998. A generalized spatial two-stage least squares
procedure for estimating a spatial autoregressive model with autoregressive
disturbances. Journal of Real Estate Finance and Economic. 17:99-121.
Kelejian HH., Prucha IR. 1999. A generalized moments estimator for
autoregressive parameter in spatial model. International Economic Review.
40:509-533.
Kelejian HH., Prucha IR. 2007. The relative efficiencies of various predictors in
spatial econometric models containing spatial lag. Regional Sciences and
Urban Economics. 37: 363-374.doi:10.1016/j.regsciurbeco.2006.11.005.
Kelejian HH., Prucha IR. 2010. Specification and estimation of spatial
autoregressive models with autoregressive and heteroskedastic disturbances.
Journal of Econometrics 157: 53-67. doi:10.1016/j.jeconom.2009.10.025.
Kholodilin KA, Siliverstovs B dan Kooths S. 2008. A dynamic panel data
approach to the forecasting of the GDP of German La¨nder. Spatial
Economic Analysis. 3 : 195-207
Kukenova M dan Monteiro JA. 2008. Spatial dinamic panel model and system
GMM: monte carlo investigation [diunduh 2 April 2012]. Tersedia pada:
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/13405/1/MPRA_paper_13405.pdf.
Lahiri SN, Chaterjee A dan Maiti T. 2007. Normal approximation to the
hypergeometric distribution in nonstandard cases and sub-Gaussian Berry-
Esseen theorem. Journal of Statistical Planning and Inference. 137: 3570-
3590.
Larch M dan Walde J. 2009. Finite sample properties of alternative GMM
estimators for random effects models with spatially correlated errors. Ann
Reg Sci. 43:473–490
Lee, LF dan Yu J. 2010. Spatial dynamic panel-stable model with fixed effects.
Foundation and Trends in Econometrics. 4: 48-79.
82
Liu A, Folmer H dan Oud JHL. 2011a. W-based vs latent variables spatial
autoregressive models: evidence from Monte Carlo simulation. Ann Reg Sci.
47:619–639.
Liu A, Folmer H dan Oud JHL. 2011b. Estimating regression coefficients by W-
based and latent variables spatial autoregressive models in the presence of
spillovers from hotspots : evidence from Monte Carlo simulations. Lett Spat
Resour Sei. 4: 71-80.
Morrison, D.F. (1990). Multivariate Statistical Methods, 3nd edition. NY: McGraw-Hill.
Nelson TA dan Boots B. 2008. Detecting spatial hot spots in landscape ecology.
Journal compilation. Ecography. 31: 556-566.
Nicholson WL. 1956. On the normal approximation to the hypergeometric
distribution. The Annals of Mathematical Statistics. 27: 471-483.
Ord JK dan Getis A. 1995. Local spatial autocorrelation statistics: distributional
issues and an application . Journal Geographical Analysis 27 : 286-306
Ord JK dan Getis A. 2001. Testing for local autocorrelation in the presence of
global autocorrelation. Journal of Regional Science. 41: 411-432
Perret JK. 2011. A proposal for an alternative spatial weight matrix under
consideration of the distribution of economic activity. Schumpeter
discussion papers 2011-002.
Ross HM. 1997. Introduction to Probability Models. Academic Press.
California.
Rencher AC dan Schaalje GB. 2007. Linear Models in Statistics. John Wiley &
Sons. New Jersey.
Rossi E. 2010. Introduction to the generalized method of moments [diunduh 24
Januari 2014]. Tersedia pada: http://economia.unipv.it/pagp/
pagine_personali/erossi/rossi_GMM_1_Ecnmtra_Fin_2010.pdf.
Roussas GG. 1997. A Course in Mathematical Statistics. Second Edition.
Academic Press. San Diego.
Seber GAF. 2007. A Matrix Handbook for Statisticians. John Wiley & Sons. New
Jersey.
Sen A. 1976. Large sample-size distribution of statistics used in testing for spatial
correlation. Geographical Analysis 9:175–184.
Shao J. 2003. Mathematical Statistics. Second Edition. Springer. New York.
Siregar H dan Wahyuniarti D. 2008. Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin [diunduh 2 Juli 2013]. Tersedia pada:
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ pdffiles/PROS_2008_MAK3
Smith, TE. 2014. Areal data analysis (Part III). Notebook for spatial data analysis
[diunduh 20 januari 2014]. Tersedia pada: http://www.seas.upenn.edu/
~ese502/#contents
Stakhovych S dan Bijmolt THA. 2008. Specification of spatial models: A
simulation study on weights matrices. Papers in Regional Science 88 : 389-
408.
Thomas RL. 1997. Modern Econometrics an Introduction. Addison Wesley.
London.
Tiefelsdorf M. 2002. The saddlepoint approximation of Moran’s I’s and local
Moran’s Ii’s reference distribution and their numerical evaluation.
Geographical Analysis. 34:187-206.
83
Tsang EWK. 2007. Economic distance and the survival of foreign direct
investments. Academy of Management Journal. 50: 1156-1168.
Verbeek M. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Third Edition. John Wiley
& Sons.
Ward MD dan Gleditsch KS. 2008. Spatial Regression Models. Sage
Publications. California.
Wooldridge JM. 2001. Application of generalized method of moments
estimation. Journal of Economic Perspectives 15: 87-100.
Zhang T. 2008. Limiting distribution of the G statistics. Elsevier 78: 1656-1661
84
85
LAMPIRAN