Anda di halaman 1dari 3

88

keenam (model 6) mengeliminasi variabel JRART yang merupakan p-value


terbesar pada model 6 dengan nilai 0,361. Model ketujuh (model 7)
mengeliminasi variabel SPAM yang merupakan p-value terbesar pada
model 7 dengan nilai 0,166. Model kedelapan (model 8) mengeliminasi
variabel JRKOT yang merupakan p-value terbesar pada model 8 dengan
nilai 0,222. (lihat tulisan berwarna merah pada tabel II.12). Proses berhenti
pada model kesembilan (model 9) yang mengeliminasi variabel PRTBKR
yang merupakan p-value terbesar pada (model 9) dengan nilai 0,68. Pada
model regresi ke 9 (sembilan) pada akhirnya didapatkan 5 (lima) variable
bebas atau predictor yang relative signifikan pada tingkat kepercayaan 5%
(p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan persentase KK
permukiman kumuh di Kabupaten Sidenreng Rappang yaitu :
1) Jumlah titik lokasi kumuh (JTKUM) dengan nilai p 0,000
2) Jarak desa/kelurahan i ke pusat perbelanjaan terdekat (JRBEL) dengan
nilai p 0,002
3) Persentase Kepala Keluarga (KK) miskin yang tidak bersekolah
(PKKMTS) dengan nilai p 0,007
4) Persentase bangunan dengan ketidakteraturan (BTTER) dengan nilai p
0,011
5) Persentase bangunan yang tidak terlayani sarana prasarana
persampahan (SAMPAH) dengan nilai p 0,016
Jumlah titik lokasi kumuh (JTKUM) menjadi faktor utama yang
mempengaruhi permukiman kumuh di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Permukiman kumuh di Kabupaten Sidenreng Rappang tahun 2020
mengalami kenaikan jumlah titik lokasi kumuh menjadi sebanyak 108 titik
lokasi yang tersebar di 27 desa/kelurahan. Program pemerintah dalam
penanganan permukiman kumuh tidak mampu menekan pertumbuhan
permukiman kumuh. Meskipun beberapa titik lokasi mendapatkan
penanganan hingga tahun 2019, namun tumbuh titik lokasi yang baru pada
desa/kelutahan yang sama sehingga luas permukiman kumuh semakin
bertambah.
89

Jarak titik lokasi permukiman kumuh dengan pusat perdagangan/


fasilitas perbelanjaan (JRBEL) menjadi faktor kedua yang berpengaruh
nyata terhadap permukiman kumuh di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Adapun penyebabnya karena nilai strategis lokasi yang dekat dengan pusat
perdagangan/fasilitas perbelanjaan yang menjadi daya tarik penduduk
untuk tinggal dekat dan bermukim disekitarnya. Dalam upaya pemenuhan
kebutuhan tempat tinggal, kaum migran seringkali menyewa rumah di
bagian pusat kota yang dekat dengan lokasi mata pencaharian. Akibatnya,
terjadi proses pemadatan bangunan yang tidak terkendali dan menciptakan
permukiman kumuh (Prayitno, 2014). Berdasarkan data sebanyak 14
desa/kelurahan dari 27 desa/kelurahan yang teridentifikasi kumuh berjarak
tidak lebih dari 1 km dari pusat perdagangan/fasilitas perbelanjaan.
Faktor ketiga adalah Persentase Kepala Keluarga (KK) miskin yang
tidak bersekolah (PKKMTS).Rendahnya tingkat pendidikan akan
berdampak pada rendahnya pola pikir dan menurunkan kepedulian
masyarakat terhadap keberlangsungan lingkungan serta berpengaruh pada
kondisi ekonomi yang kurang dikarenakan standar pendidikan memiliki
pengaruh dalam jenis pekerjaan yang dilakoni oleh masyarakat
(Wimardana, 2016). Berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan
Sosial) rata-rata sebesar 10,69% Kepala Keluarga Miskin di
Desa/Kelurahan teridentifikasi kumuh tidak memiliki ijasah/ tidak
mengenyam pendidikan formal karena alasan kesulitan ekonomi.
Persentase bangunan dengan ketidakteraturan (BTTER) menjadi
faktor keempat. Menurut Wurm dkk pengaturan bangunan yang tidak
teratur, ketinggian bangunan rendah, bahan konstruksi yang buruk, dan
kepadatan bangunan yang umumnya tinggi mempengaruhi buruknya
standar hidup masyarakat di permukiman kumuh (Wurm et al., 2017).
Berdasarkan data hasil Baseline Survey Program Kotaku dan
Bappelitbangda Kabupaten Sidenreng Rappang rata-rata sebesar 33,9 %
bangunan tidak teratur pada Desa/Kelurahan teridentifikasi kumuh.
90

Faktor kelima adalah Persentase bangunan yang tidak terlayani


sarana prasarana persampahan (SAMPAH). Dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016
pengelolaan persampahan merupakan salah satu kriteria untuk meninjau
kondisi kekumuhan suatu lingkungan kumuh. Berdasarkan data hasil
Baseline Survey Program Kotaku dan Bappelitbangda Kabupaten
Sidenreng Rappang rata-rata sebesar 60,11 % Rumah / bangunan pada
Desa/Kelurahan teridentifikasi kumuh tidak terlayani Prasarana dan Sarana
Persampahan.
Tabel II. 13 Model Summary hasil regresi berganda variabel yang
mempengaruhi permukiman kumuh

Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate
1 ,960a ,922 ,831 8,362

2 ,960b ,922 ,844 8,035

3 ,960c ,921 ,854 7,773

4 ,959d ,920 ,861 7,583

5 ,959e ,919 ,868 7,387

6 ,957f ,916 ,872 7,293

7 ,955g ,912 ,872 7,269

8 ,949h ,901 ,865 7,473

9 ,945i ,893 ,861 7,583

Berdasarkan model summary menunjukkan nilai R-square sebesar


0,893 (lihat tabel 13) artinya sebesar 89,3% keragaman persentase KK
permukiman kumuh di Kabupaten Sidenreng Rappang dipengaruhi oleh
variable bebas (independent variable) yang ada pada model . Kemudian
sisanya 11,7% dipengaruhi oleh variable bebas lain di luar model. Dari
Tabel II.12 persamaan regresi berganda yang dihasilkan sebagai berikut :

Anda mungkin juga menyukai