Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

I.1.. Latar belakang


Pemukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua
kota -kota di Indonesia bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya,
serta kawasan ini merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan
perkotaan. Penyebab tumbuhnya permukiman kumuh akibat tidak seimbangnya
pertambahan jumlah perumahan yang disediakan di kota dengan pertumbuhan
penduduknya. Kekurangan jumlah rumah ini biasanya diakibatkan karena
terjadinya pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat pesat ataupun karena
urbanisasi. Urbanisasi tersebut timbul akibat adanya perkembangan ekonomi kota
yang pesat. Seringkali keberadaan mereka diperkotaan tidak diimbangi dengan
kemampuan skill yang memadahi. Melihat kompetisi untuk mendapatkan
pekerjaan sangat ketat dan jumlah lapangan pekerjaan sangat terbatas. Hal ini
menyebabkan sebagian besar kaum urban mengalami kegagalan. Para kaum urban
yang gagal, biasanya tidak mampu membeli rumah yang layak. Sehingga mereka
terpaksa harus berada di tempat-tempat yang tidak layak.
Pada umumnya permukiman kumuh juga diakibatkan ketidakteraturan
struktur ruang. Adakalanya suatu permukiman tidak sesuai atau tidak berfungsi
sebagai mana mestinya. Seringkali suatu permukiman bergeser fungsinya selain
untuk bermukim juga dijadikan sebagai tempat usaha sehingga penggunaan
bangunannya dapat berfungsi sebagai tempat hunian, tempat usaha atau tempat
campuran. Kondisi ini dapat kita lihat dari perubahan permukiman sederhana
yang berlokasi dekat pasar, menjadi tempat usaha, sehingga seringkali lokasi
pasar sudah berpindah masuk ke lokasi perumahan membentuk pasar kilat. Situasi
semakin merangsang penghuni perumahan sederhana untuk merubah pemanfaatan
rumah tinggal menjadi rumah tempat usaha, yang akhirnya model rumah menjadi
berubah. Sempadan bangunan tidak ada lagi, ruang terbuka tidak ada lagi, semua
dibangunkan ruang sebagai tempat usaha. Suasana privasi tidak lagi terdapat di
permukiman tersebut. Hal ini disebabkan karena jumlah penghuni menempati

1
rumah tinggal semakin bertambah, hal ini dapat terjadi pada lokasi yang dekat
dengan pusat kota (CBD), ataupun yang dekat dengan pasar.
Kondisi seperti ini juga terjadi di Kota sungguminasa Kabupaten Gowa,
terutama permukiman di sekitar tanggul Sungai Je’neberang tepatnya sekitar
Jl.Syamsuddin Tunru RW 02 Kelurahan Sungguminasa. Permukiman ini terletak
di Bagian Wilayah Kota I (BWK I) dengan Jumlah 264 jiwa, dimana
diperuntukkan bagi aktivitas perdagangan dan jasa, selain juga pemerintahan dan
wisata. Menurut Daljoeni (2003), dengan adanya pemusatan kegiatan
perdagangan ini akan menyebabkan masalah bagi struktur perencanaan kota.
Permukiman ini sangat cepat menjadi permukiman padat dengan keanekaragaman
fungsi guna lahan. Perkembangan jumlah hunian pada permukiman ini kurang
diimbangi oleh ketersediaan lahan, sehingga untuk menambah jumlah hunian
mereka cenderung mengabaikan aturan-aturan dasar tentang pengadaan bangunan
rumah seperti kualitas bahan, jenis ruang, garis sempadan jalan maupun jarak
antar rumah. Bahkan mereka menggunakan sisi tanggul untuk didirikan bangunan
tempat tinggal sehingga menyebabkan permukiman tersebut menjadi kumuh dan
suasana yang tidak tertib yang berakibat pada berubahnya kualitas fisik kawasan.
Dengan memanfaatkan potensi yang ada di kawasan pusat kota, banyak
penduduk pada permukiman sekitar Jl.Syamsuddin Tunru yang membuka usaha di
rumah. Karena terbatasnya lahan dan tingginya harga tempat usaha, maka mereka
membuka usaha toko, industri kecil maupun warung dan kaki lima di rumah.
Dengan demikian terjadi perubahan penggunaan lahan. Dimana kawasan yang
diperuntukkan bagi permukiman menjadi kawasan campuran yaitu lahan yang
diperuntukkan bagi hunian dimanfaatkan untuk usaha (mix land use).
Secara fisik permasalahan yang muncul di kawasan permukiman sekitar
tanggul Sungai Je’neberang Kelurahan Sungguminasa Kabupaten Gowa adalah
merebaknya hunian dengan kondisi semi permanen yang menempel pada sisi
tanggul Sungai Je’neberang. Keadaan yang menyebabkan hunian di lokasi studi
menjadi tidak nyaman dan tidak layak huni dikarenakan :
1. Kepadatan dan tidak teraturnya bangunan
2. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) hampir 100 %

2
3. Rendahnya kualitas bangunan
Melihat permasalahan yang terjadi di permukiman sekitar tanggul Sungai
Je’neberang Kelurahan Sungguminasa maka penulis merekomendasikan untuk
rencana penataan kawasan permukiman di bantaran sungai Je’neberang yang
dapat melengkapi hunian dan lingkungan yang bermutu bagi masyarakat melalui
pendekatan partisipatif dengan konsep Arsitektur Ekoligis agar terciptanya
permukiman yang meningkatkan kualitas hidup sesuai dengan penataan ruang.

Kedudukan dan Letak Geografis


Kelurahan Sungguminasa adalah salah satu Kelurahan yang terletak di
wilayah kecamatan Somba Opu yang terletak di Ibukota Kabupaten Gowa dengan
jarak 1 Km dari Ibukota Kabupaten (Sungguminasa), Luas Wilayah 40,6Ha
dengan batas-batas Wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Kelurahan Tombolo
b. Sebelah Timur : Kelurahan Bonto – Bontoa
c. Sebelah Selatan : Desa Bontoala Kec Pallangga
d. Sebelah Barat : Kelurahan Pandang-pandang

Pusat pemerintahan Kelurahan Sungguminasa terletak di wilayah Lingkungan


Sungguminasa dan secara Administrasi Kelurahan Sungguminasa mempunyai 2
(Dua) lingkungan, 8 RW., 19 RT, yaitu sebagai berikut :
a. Lingkungan Sungguminasa membawahi 5 RW dan 13 RT.
b. Lingkungan Lambaselo membawahi 3 RW dan 6 RT

Keadaan Fisik Dasar Daerah


a. Topografi
Kelurahan Sungguminasa mempunyai kondisi wilayah yang datar dengan
ketinggian 25 km dari permukaan laut.

Tabel I.1. Luas Lahan Kelurahan Sungguminasa.


Lingkungan LAHAN Jumlah
Permukiman Pertanian Perkebunan Perikanan

3
Sungguminasa 24.5 - - - 24.5
Lambaselo 14.7 0.7 - - 15.4
Jumlah 39.2 0.7 - - 39.9
Presentase (%) 99.9 0.01 - - 100
Sumber Kantor Kelurahan Sungguminasa

Kependudukan
a. Jumlah dan Komposisi Penduduk menurut Kelompok Umur
Kependudukan merupakan aspek penting dalam perencanaan
pembangunan suatu daerah. Jumlah penduduk Kelurahan Sungguminasa
Tahun 2011 sebesar 7.623 jiwa yang terdiri dari 3.454 jiwa adalah laki-laki
dan 3.809 jiwa perempuan.

Tabel I.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kelurahan


Sungguminasa.

No. Lingkungan KK Jumlah penduduk Presentase


(%)
Laki-laki Perempuan Jumlah
868
1 Sungguminasa 2.214 2.409 4.623 64%
665 36%
2 Lambaselo 1.240 1.400 2.640
1.533 100%
Jumlah 3.454 3.809 7.263
Sumber Kantor Kelurahan Sungguminasa

Tabel I.3. Penduduk Kelurahan Sungguminasa Mata Pencaharian

No. Jenis Lingkungan Jumlah Presentase


Pekerjaan (%)
Sungguminasa Lambaselo
Pokok

1 PNS 112 20 132 11%


53%
2 Pedagang 200 425 625
-
3 Peternak - - -

4
11%
4 TNI/POLRI 130 6 136
0.1%
5 Petani 1 1 2
6%
6 Pensiunan 54 16 70
18%
7 Buruh 148 66 214
100%
Jumlah 645 633 1.179
Sumber Kantor Kelurahan Sungguminasa

Dari data tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas mata
pencaharian penduduk Kelurahan Sungguminasa adalah mayoritas Pedagang.

Status kepemilikan lahan.


Status kepemilikan lahan di permukiman ini ialah sebagian besar (56%)
merupakan tanah masyarakat pemilik, 11% merupakan tanah masyarakat
bukan pemilik, dan 33% merupakan tanah milik pemerintah. Dibawah ini
status kepemilikan tanah ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Column2

Milik Pemerintah
33%

Masayarakat
Pemilik
56%

Masayarakat
bukan Pemilik
11%

Grafik I.1 Status Kepemilikan Tanah

5
Peta Lokasi.

Gambar I.1 Peta lokasi


Sumber Citra Google Earth 2019

Luas Keliling 725 m dan luas keseluruhan 21.538 m2

I.2.. Rumusan Masalah


Melihat kondisi dan perkembangan di sekitar tanggul Sungai Je’neberang
tepatnya sekitar Jl.Syamsuddin Tunru RW 02 Kelurahan Sungguminasa maka
dirumuskan beberapa masalah mengenai penataan pada lokasi ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana menata kawasan di sekitar tanggul Sungai Je’neberang
tepatnya sekitar Jl.Syamsuddin Tunru RW 02 Kelurahan Sungguminasa
Kabupaten Gowa.
2. Bagaimana melihat standart pembangunan rumah di pinggiran sungai
3. Bagaimana menerapkan perencanaan permukiman berbasis mitigasi
bencana di pinggir tanggul sungai Je’neberang.

I.3. Tujuan Perancangan


1. Menciptakan sebuah konsep Arsitektur ekologis pada perancangan
kawasan di sekitar tanggul Sungai Je’neberang.
2. Mendesain hunian dan lingkungan yang bermutu bagi masyarakat dengan
konsep Arsitektur Ekoligis agar terciptanya permukiman yang
meningkatkan kualitas hidup sesuai dengan standart penataan ruang di

6
sekitar tanggul Sungai Je’neberang Kelurahan Sungguminasa Kabupaten
Gowa.
3. Mendesain kawasan permukiman di sekitar tanggul Sungai Je’neberang
melalui pendekataan partisipatif dengan konsep arsitektur ekologis
berbasis mitigasi bencana yang menggabungkan alam dan teknologi atau
menggunakan alam sebagai basis desain dan perbaikan lingkungan.

I.4. Lingkup Perencanaan


Untuk mencapai hasil akhir seperti yang disebutkan di atas, maka salah
satu strategi pelaksanaan yang akan di gunakan adalah melalui pembangunan
lingkungan sebagai pintu masuk untuk manusia seutuhnya, yang secara sosial
ekonomi efektif, produktif dan pada gilirannya akan membangun masyarakat adil,
maju dan sejahtera. Strategi ini akan diwujudkan dalam beberapa cara utama
sebgai berikut:
1. Mengadakan studi banding atau kunjungan lapangan yang terkait dengan
peningkatan kualitas hidup masyarakat.
2. Mengetahui standart penggunaan bangunan di pinggir sungai.
3. Mengetahui standart penggunaan bangunan berbasis mitigasi bencana.
4. Perencanaan mengacu pada penataan serta rencana pengembangan
kawasan sampai 10 Tahun kedepan.
I.5. Metode Perancangaan
Metode perancangan yang akan digunakan adalah melakukan assessment
kelokasi perencanaan untuk mendapatkan persentasi pengguna/pemakai, meninjau
dan menganalisis perkembangan daerah beserta permasalahannya. Kemudian
menganalisis data-data yang telah didapatkan dari berbagai sumber dan
permukiman yang berlokasi di tempat tersebut untuk digunakan sebagai strategi
perancangan berikutnya. Dalam tahap ini juga mengupayakan melihat
permasalahan dari berbagai sudut pandang dan dapat disinkronkan dengan
pendekatan konsep arsitektur ekologis di sekitar tanggul Sungai Je’neberang
Kabupaten Gowa.

7
I.6. Kerangka Berfikir

Gambar I.2 Kerangka Berpikir (Penulis 2019)

8
I.7. Sistematika Laporan
Berikut tahap pembahasan untuk mencapai tujuan pembahasan dengan
urutan-urutan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan tahap pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan
garis besar pengenalan proyek yang dikemukakan pada latar belakang, masalah
perancangan, tujuan perancangan, lingkup perancangan, kerangka berpikir dan
sistematika laporan.
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Perancangan
D. Lingkup Perancangan
E. Metode Perancangan
F. Kerangka Berfikir
G. Sistematika Laporan
BAB II : TINJAUAN UMUM PERANCANGAN
Merupakan tinjauan umum perancangan (definisi, teori dasar, standar
perancangan, klarifikasi, dsb) studi banding proyek sejenis.
BAB III : TINJAUAN KHUSUS TEMA
Merupakan tahap pendekatan perancangan dan tema yang dipilih dari studi
banding proyek sejenis dengan tema yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

9
BAB II

TINJAUAN UMUM PERANCANGAN

II.1. Definisi Permukiman, Kumuh, dan Permukiman Kumuh


II.1.1 Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,
baikyang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan mendukung
prikehidupan dan penghidupan. Perumahan dan permukiman adalah dua hal yang
tidak dapat kita pisahkan dan berkaitan erat dengan aktifitas ekonomi,
industrialisasi dan pembangunan daerah.
Permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan kegiatan yang ada di
dalamnya. Berarti permukiman memiliki arti lebih luas daripada perumahan yang
hanya merupakan wadah fisiknya saja, sedangkan permukiman merupakan
perpaduan antara wadah (alam, lindungan, dan jaringan) dan isinya (manusia yang
hidup bermasyarakat dan berbudaya di dalamnya). (Kuswartojo, 1997 : 21)
Permukiman merupakan bentuk tatanan kehidupan yang di dalamnya
mengandung unsur fisik dalam arti permukiman merupakan wadah aktifitas
tempat bertemunya komunitas untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat.
(Niracanti, Galuh Aji, 2001 : 51)

II.1.2 Kumuh
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan
tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas
menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang
diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum
mapan. Menurut kamus ilmu-ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah
yang kotor yang bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi
daerah slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk
dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan perumahannya tidak
memenuhi syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat. Slum’s merupakan

10
lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak layak huni atau tidak
memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman (Utomo Is Hadri, 2000).
Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang sudah sangat merosot
(kumuh) baik perumahan maupun permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam
kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus
ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
(Sukamto Soerjono, 1985).

II.1.3 Permukiman Kumuh


Diana Puspitasari dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim)
Kota Depok mengatakan, definisi permukiman kumuh berdasarkan
karakteristiknya adalah suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami
penurunan kualitas. Dengan kata lain memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi
maupun sosial budaya. Dan tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang
layak bahkan cenderung membahayakan bagi penghuninya. Menurut Diana, ciri
permukiman kumuh merupakan permukiman dengan tingkat hunian dan
kepadatan bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas rumah
yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan sarana dasar
seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah. Kawasan kumuh adalah kawasan
dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk.
Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang
berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat,
kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana
jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya. Ciri-ciri
pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Parsudi Suparlan
adalah :
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga

11
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup
secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas,
yaitu terwujud sebagai :
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena
itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT
atau sebuah RW.
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT
atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan
bukan hunian liar.
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat
pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas
kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja
di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informil. Berdasarkan salah satu ciri diatas, disebutkan bahwa
permukiman kumuh memiliki ciri “kondisi hunian rumah dan pemukiman
serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang
mampu atau miskin”. Penggunaan ruang tersebut berada pada suatu ruang
yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya sehingga berubah menjadi fungsi
permukiman, seperti muncul pada daerah sempadan untuk kebutuhan
Ruang Terbuka Hijau. Keadaan demikian menunjukan bahwa
penghuninya yang kurang mampu untuk membeli atau menyewa rumah di
daerah perkotaan dengan harga lahan/bangunan yang tinggi, sedangkan
lahan kosong di daerah perkotaan sudah tidak ada. Permukiman tersebut
muncul dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, kondisi
rumah yang kurang baik dengan kepadatan yang tinggi serta mengancam

12
kondisi kesehatan penghuni. Dengan begitu, permukiman yang berada
pada kawasan SUTET, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, dan
sempadan situ/danau merupakan kawasan permukiman kumuh. Menurut
Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan
kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai
berikut
a. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan
rendah, serta memiliki sistem sosial yang rentan.
b. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor
informal Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan
prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim,
misalnya memiliki:
 Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
 Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha.
 Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi,
drainase, dan persampahan).
 Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun
<20% dari luas persampahan.
 Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak
memenuhi syarat minimal untuk tempat tinggal.
 Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit
dan keamanan
 Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan
ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia dan
lingkungannya.

II.2. Teori Dasar


II.2.1. Permukiman
Permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia untuk menunjukan suatu
tujuan tertentu. Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari
terjemahan kata settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim.

13
Dengan demikian terlihat jelas bahwa kata permukiman mengandung unsur
dimensi waktu dalam prosesnya. Melalui kajian tersebut terlihat bahwa pengertian
permukiman dan pemukiman berbeda. Kata pemukiman mempunyai makna yang
lebih menunjuk kepada objek, yang dalam hal ini hanya merupakan unit tempat
tinggal (hunian). Permukiman memiliki 2 arti yang berbeda yaitu:
1. Isi. Yaitu menunjuk pada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat
di lingkungan sekitarnya.
2. Wadah. Yaitu menunjuk pada fisik hunian yang terdiri dari alam dan
elemen- elemen buatan manusia.
II.2.2.Elemen Permukiman
Permukiman terbentuk atas kesatuan antara manusia dan lingkungan di
sekitarnya. Permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa
elemen yaitu:
1. Alam
2. Manusia. Di dalam suatu wilayah permukiman, manusia merupakan
pelaku utama kehidupan, disamping makhluk hidup seperti hewan,
tumbuhan dan lainnya. Sebagai mahluk yang paling sempurna, dalam
kehidupannya manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang
kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara,
temperatur dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional dan
kebutuhan akan nilai – nilai moral.
3. Masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan kelompok orang (keluarga)
dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-
hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat
yang mendiami suatu wilayah permukiman adalah:
 Kepadatan dan komposisi penduduk
 Kelompok sosial
 Adat dan kebudayaan
 Pengembangan ekonom
 Pendidikan
 Kesehatan

14
 Hukum dan administrasi
4. Bangunan dan rumah. Bangunan dan rumah merupakan wadah bagi
manusia. Pada prinsipnya bangunan yang dapat digunakan sepanjang
operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi
masing- masing, yaitu :
 Rumah pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dan lain- lain.
 Fasilitas rekreasi atau hiburan.
 Pusat perbelanjaan
 Industri
 Pusat transportasi
5. Networks. Networks merupakan sistem buatan maupun alami yang
menyediakan fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman.
Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya bersifat relatif, dimana antara
wilayah permukiman satu dengan yang lainnya tidak sama. Sistem buatan
yang keberadaannya diperlukan dalam suatu wilayah antara lain:
 Sistemjaringan air bersih
 Sistem jaringan listrik
 Sistem transportasi
 Sistem komunikasi
 Drainese dan air kotor
 Tata letak fisik
II.2.3.Status Kepemilikan Tanah
Menurut Rusli (1995:1-2) menuliskan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, Hak atas tanah dapat dimiliki oleh orang
baik individu, kelompok maupun badan hukum. Hak- hak tersebut dapat
dipergunakan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Adapun macam-
macam hak atas tanah antara lain;
1. Hak Milik. Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada orang lain.

15
2. Hak Guna- Usaha. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, hak ini terjadi karena ketetapan
pemerintah dimana memiliki jangka waktu tertentu.
3. Hak Guna- Usaha. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, hak ini terjadi karena ketetapan
pemerintah dimana memiliki jangka waktu tertentu.
4. Hak- Pakai. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau menggunakan
hasi dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain.
5. Hak-Sewa. Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan atau menggunakan
hasil dari tanah orang lain yang telah disewa.
II.2.4.Persyaratan Dasar Permukiman
Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pernyataan yang
menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab pemukiman
menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang terdiri dari
berbagai aspek. Sehingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan
yang baik untuk suatu permukiman yaitu harus memenuhi sebagai berikut:
1. Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain
seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada
pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya.
2. Mempunyai akses terhadap pusat – pusat pelayanan seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, perdagangan dan lain-lain.
3. Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan
cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang
lebat sekalipun.
4. Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang
siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
5. Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/ tinja yang dapat dibuat dengan
sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki
septik komunal.

16
6. Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara
teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.
7. Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak,
lapangan atau taman, tempat beribadah, pendidikan dan kesehatan sesuai
dengan skala besarnya permukiman itu.
8. Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.

II.2.5. Faktor-Faktor Geografis dan Lingkungan


A. Faktor-Faktor Geografis
Kondisi geografis penting untuk diperhatikan oleh setiap pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman karena kondisi geografis tersebut akan
memberikan petunjuk kepada pelaksana pembangunan mengenai keadaan alam
dimana perumahan atau kawasan permukiman tersebut hendak dibangun, yaitu
sebagai berikut;
1. Tanah.
a. Kondisi tanah
Kondisi fisik tanah isi harus memenuhi bebrapa persyaratan, yaitu:
1) Tidak mengandung gas-gas beracun yang dapat mematikan.
2) Harus memungkinkan area-area permukiman yang tidak selalu
tergenang banjir.
3) Dapat dilakukan pembangunan.
4) Memunginkan sistem drainase dan saluran-saluran.
b. Riwayat tanah
1) Kawasan permukiman untuk mambangun perumahan di lahan
bekas perkebunan karet memerlukan bahan bangunan yang
mesti ekstra kuat, berhubung kenyataan membuktikan bahwa
tanah bekas perkebunan karet adalah “sarang rayap no.1”.
Membangun kerangka bangunan sampai atapnya sebaiknya
terbuat dari besi atau logam.
2) Kawasan permukiman untuk mambangun perumahan di lahan
bekas perkuburan memerlukan perhatian ekstra pada sistem

17
persumurannya. Sumur-sumur dan sumber-sumber air di situ
mesti digali ekstra dalam.
3) Kawasan permukiman untuk mambangun perumahan (apalagi
bangunan bertingkat) di daerah bekas rawa atau lahan yang
sejak puluhan tahun sering tergenang banjir memerlukan ekstra
perhitungan pada pembangunan pndamnya.
4) Kawasan permukiman untuk mambangun perumahan (apalagi
perumahan) di lahan bekas lapangan terbang akan memerlukan
perhitungan ekstra untuk mendapatkan sumber-sumber air dan
sumur-sumur, mengingat kurangnya resapan air disitu.
c. Ketinggian dan relief tanah dan sudut kemiringannya yang akan
sangat menentukan pola dan metode pelaksanaan pembangunan
secara fisik.
2. Sumber-sumber air.
Faktor faktor yang perlu diperhatikan pada kawasan permukiman, yaitu :
a. Keberadaan sumber air janganlah dirusak atau ditiadakan
b. Keberadaan sumber-sumber air di dekat bangunan (apalagi
bangunan bertingkat) akan membahayakan dalam arti melemahkan
pondasi bangunan, mengingat kondisi tanah yang lebih lunak.
c. Ada tidaknya pengaruh sumber-sumber air tersebut secara
langsung dengan sungai-sungai, atau danau-danau atau sumber-
sumber mineral yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk:
1). Sumber-sumber air minum.
2). Sumber-sumber air pencucian.
3). Sumber-sumber untuk irigasi atau pengairan sawah-sawah.
4). Sumber-sumber untuk peternakan.
5). Sumber-sumber energi pelistrikan.
6). Sumber-sumber air untuk perkebunan-perkebunan.
7). Sumber-sumber untuk keperluan industri.
8). Sumber-sumber untuk keperluan lainnya.
d. Sumber air tersebut tidak mengandung sumber-sumberkimia

18
organik/anorganik asam yang kuat berasal dari pabrik.
3. Gempa bumi
a. Gempa bumi pada dasrnya ada 3 (tiga) yaitu :
1) Gempa bumi tektonik, disebabkan oleh pergeseran lapisan
tanah.
2) Gempa bumi vulkanik, disebabkan erupsi atau letusan gunung
api.
3) Gempa bumi tanah runtuh, disebabkan kelongsoran tanah yang
terjadi karena erosi atau pengikisan tanah oleh air secara
lambat laun.
b. Daerah-daerah yang “rawan gempa” selaras dengan kondisi fisikal-
geografis dan macamnya gempa bumi, misalnya :
1) Daerah pegunuugan, tertutama bila daerah tersebut dikelilingi
oleh gunung-gunung api yang “masih aktif” rawan terjadi
gempa vulkanik.
2) Daerah “dislokasi” lapisan kulit bumi sehingga rawan terjadi
gempa bumi tektonik Bahkan daerah tertentu yang tanahnya
bersifat tektonis atau “labil” rawan terjadi gempa bumi
tektonik, meski ”hypocentrum” atau sumber gempanya terletak
jauh di dasar laut bahkan samudera.
3) Daerah “Epicentrum” yakni wilayah tegak lurus di atas
“Hypocentrum” (sumber gempa) yang kedalamannya ratusan
kilometer dalam kulit bumi, hal ini dapat diperhitungkan
dengan meneliti derajat frekuensi di Kantor Dinas Pengawasan
Gempa Bumidari terjadinya gempa bumi menurut mecam-
macamnya di daerah dalam selang waktu relatif lama.
c. Tinggi-rendahnya skala richter goncangan gempa secara pukul-rata
yang selama ini terjadi (terutama gempa bumi tektonik).
4. Adanya laut atau samudera serta danau atau telaga. Kawasan permukiman
dalam melaksanakan pembangunan perumahan perlu diperhitungkan tidak
dekat dengan laut dan samudera sebagaimana umumnya pasti mengandung

19
salinitas atau kadar garam yang tinggi sehingga tidak akan banyak
bermanfaat.
5. Gletser.
Gletser, yaitu sungai-sungai es yang mengalir perlahan-lahan tetapi
terjangan arus sungai es itu sangat kuat.Kawasan permukimanmesti jauh
dari “gletsher” dan perlu dibangun tanggul gletsher ke arah lokasi
bangunan yang akan didirikan untuk mencegah terjadinya erosi supaya
tidak menimbulkan gangguan terhadap pondasi pada bangunan.
6. Geiser
Geiser yaitu sumber air panas yang sewaktu-waktu dapat memancar dan
cocok untuk bangunan sarana darmawisata misalnya gedung hotel,
pemandian umum, atau sarana pengobatan misalnya rumah sakit, klinik
dan sejenisnya.
7. Sungai-sungai dan “meander”.
“Meander’,yaitu sungai yang berkelok-kelok.Kawasan permukiman
tersebut hendak jauh dari “meander” di mana rawan terjadi erosi karena
terjangan arusnya, apalagi sungai yang arusnya cukup deras. Untuk
mengamankan bangunan pondasi setempat, maka di setiap belokan sngai
perlu dibuat tanggul-tanggul batu yang tebal dan kuat.
8. Iklim setempat
Iklim setempat dan daerah bayang-bayang hujan perlu diperhatikan pada
kawasan permukiman ialah didasarkan atas pertimbangan karena :
a. Bangunanperumahan di daerah beriklim tropis/tropika yang tidak
direncanakan menggunakan penyejuk udara (AC) harus berlangit-
langit agak tinggi, tinggi lantai ke atap plafon minimal 3 meter bila
beriklim tropis.
b. Berbeda halnya dengan bangunan didaerah-daerah subtropis, seperti
iklim kutub. Langit-langit diperendah agar bisa menimbulkan
kehangatan.
c. Daerah bayang-bayang hujan, ialah daerah yang dilalui angin yang
panas dan kering serta tidak mengandung uap air. Hal ini karena

20
daerah bayang-bayang hujan terletak bersebrangan gunung
dengan/dari laut, sehingga air laut yang mengandung uap air
terhalang gunung tersebut dan hujan pegunungan hanya terjadi di
situ saja. Sehingga tidakndisarankan membangunan perumahan
pada kawasan bayangan hujan, adapun angin kering umumnya
bertiup di daerah bayangan hujan ialah angin dahsyat bagaikan
angin ribut yang dapat merusak tanaman dan bangunan yang tidak
kuat konstruksinya.
9. Gunung berapi.
Tidak membangun pada kawasan dekat dengan gunung berapi, yang harus
diperhatiakan sebagai berikut
a. Adanya sumber gas, yaitu :
1) Solfatar, yaitu sumber gas belerang.
2) Mofet, yaitu sumber gas asam.
3) Fumoral, yaitu sumber uap air, sumber gas yang berbahaya
bagi pernafasan
b. Dapat menibulkan gempa bumi lokal untuk kenyamanan hunian.
c. Sumber air panas.
d. Geiser/sumber-sumber air panas yang sewaktu-waktu memancar
keluar.
10. Basin/Bekken.
Basin/bekken ialah suatu dataran rendah yang dikelilingi oleh “lingkaran”
pegunungan atau perbukitan. Perlu di perhatikan kawasan permukiman
basin/bekken dalam pembangunan perumahan dalam hal :
a. Derajat kemiringan kawasan permukiman 0% - 15% di mana
perumahan akan dibangun.
b. Sumber-sumber air dan daerah-daerah resapan air perlu dibebaskan
dari pembangunan.
c. Kondisi tanah yang mesti diantisipasi dari segala kemungkinan
kelongsoran.
11. Sumber Tambang.

21
Bila seandainya di sekitar kawasan yang hendak akan dibangun
perumahan terdapat sumber-sumber tambang maka pembagunan tersebut
harus dibatalkan mengingat lokasi yang tidak tepat dan sangat beresiko
tinggi bila diperuntukkan bagi permukiman. Prinsip hukum ini juga dapat
dibuktikan melalui pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa sumber-
sumber kekayaan alam ditujukan secara utama untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
12. Hutan atau Perhutanan
Hutan-hutan atau perhutanan merupakan salah satu corak dari alam
vegetasi serta flora dan habitat fauna suatu daerah. Oleh karena itu,
kawasan hutan tidak baik dilakukan pembangunan perumahan agar tidak
merusak struktur alam vegetasi flora dan habitat fauna tersebut. Apalagi
bila kawasan tersebut sudah jelas-jelas dinyatakan sebagai daerah cagar
alam atau suaka margasatwa, maka berarti sama sekali tertutup untuk
segala macam pembangunan selain tentunya hanya pembangunan fasilitas
penjaganya semata-mata.
Kawasan permukiman dan lingkungan perumahan baik dilengkapi dengan
prasarana lingkungan yang memadai, yaitu:\
1. Terdiri atas jalan penghubung lingkungan perumahan. Perencanaan
konstruksi jalan harus memperhitungkan keadaan tanah dimana jalanakan
dibangun, kepadatan lalu lintas dan pemilihan bahan/material yang akan
dipergunakan.Pembuatan jalan lingkungan sebaiknya mengikuti bentuk
lahan dan tidak merubah bentuk alami unsur alam yang menarik seperti
bukit, kelompok pohon, petak arkeologi, kelompok batuan yang keluar
dari tanah.
2. Penyedian air bersih harus melalui system penyedian air dari PDAM atau
pengambilan air permukaan dari mata air/sungai. Bila persedian air tanah,
air permukaan dan sumber air sangat terbatas, maka harus dikembangkan
kemungkinan penyediaan air bersih yang berasal dari air limpasan hujan,
dengan pertimbangan perekayasaan limpasan air hujan tersebut ditampung
disuatu area/daerah tadah terkendali, dapat berupa kolam, ataupun

22
reservoir. Air bersih yang berkualitas harus dilakukan penelitian sanitasi
terlebih dahulu sebelum menentukan keputusan lokasi pengambilan air
bersih.
3. Keran kebakaran
Lingkungan perumahan harus dilengkapi keran kebakaran, keran tersebut
ditempatkan pada tempat yang mudah dilihat dan mudah digunakan oleh
unit mobil pemadam kebakaran, dengan jarak 200 m untuk daerah
perumahan.Apabila keran kebakaran tidak dimungkinkan, maka sebagai
penggantinya harus dapat sumur-sumur kebakaran pada jarak yang
disesuaikan dengan penempatan keran kebakaran.
4. Sistem drainase
Saluran mengumpulkan air hujan dan air bawah tanah yang ada
dilingkungan perumahan yang memiliki lebar sesuai kebutuhan/kondisi
alam pastikan tidak mampet danharus menyalurkan sesuai kemana akan
dibuang.
5. Pembungan air kotor/tangki septitank.
Adalah tempat pembuangan limbah cair rumah tangga dengan treatment
tertutup.Jika pada tiap-tiap unit rumah tidak mungkin untuk dibuat tangki
septitank maka diperlukan bak penampungan/kolam oksidasi dengan
sistem pembuangan air limbah lingkungan, setelah melalui proses
treatment (pemisahan antara limbah padat dan cair) baru dialirkan melalui
bak resapan keperairan umum.
6. Jaringan listrik
Di lingkungan pemukiman harus dilengkapi dengan jaringan listrik yang
sumbernya dari Pembangkit Listrik Negara (PLN) atau listrik lingkungan.
7. Pembuangan sampah
Setiap lingkungan perumahan dan pemukiman harus dilengkapi dengan
sistem pembuangan sampah yang meliputi fasilitas pengumpulan sampah,
pengangkutan sampah dan tempat pembuangan sampah berupa tempat
penimbunan suniter pembakaran.
8. Jalur hijau

23
Daerah (tempat, lapangan) ditanami rumput, pohom dan tanaman
perindang di setiap jengkal tanah yang kosongdipergunakan sebagai unsur
penghijauan dan atau daerah peresapan air hujan serta berfungsi
menurunkan suhu, menyerap gas polutan, meredam tingkat kebisingan,
insulasi alami yang mendinginkan permukaan bangunan.

II.3. Kasifikasi
II.3.1. Tipe dan Jenis Rumah
Kriteria rumah berdasarkan konstruksinya dibedakan menjadi :
Tabel 1.
KRITERIA RUMAH BERDASARKAN KONSTRUKSI

Gambar II.1 Tabel 1

Jika dilihat berdasarkan ukuranya, standar perbandingan jumlah rumah besar,


rumah sedang dan rumah kecil yaitu 1:3:6
 Luas kapling rumah besar : 120 m²–600 m² (tipe 70)
 Luas kapling rumah sedang : 70 m²–100 m² (tipe 45-54)
 Luas kapling rumah kecil : 21 m² –54 m² (tipe 21-36)
Untuk menentukan luas minimum rata-rata dari perpetakan tanah harus
mempertimbangkan faktor-faktor kehidupan manusianya, faktor alamnya dan
pengaturan bangunan setempat.
II.3.2. Kondisi Fisik Bangunan
Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, rumah di Kelurahan Bandulan dapatdigolongkan
menjadi 3 golongan, yaitu:

24
1. Rumah permanen, memiliki ciri dinding bangunannya dari tembok,
berlantai semen atau keramik, dan atapnya berbahan genteng.
2. Rumah semi-permanen, memiliki ciri dindingnya setengah tembok dan
setengah bambu, atapnya terbuat dari genteng maupun seng atau
asbes, banyak dijumpa ipada gang-gang kecil.
3. Rumah non-permanen, ciri rumahnya berdinding kayu, bambu atau gedek,
dan tidak berlantai (lantai tanah), atap rumahnya dari seng maupun asbes

II.3.3. Sarana
1. Sarana hunian
Perencanaan kebutuhan sarana hunian
a. Ketentuan Dasar Perencanaan
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang selain
berfungsi sebagai tempat berteduh dan melakukan kegiatan sehari-
hari dalam keluarga, juga berperan besar dalam pembentukan
karakter keluarga, sehingga selain harus memenuhi persyaratan
teknis kesehatan dan kemanan, rumah juga harus memberikan
kenyamanan bagi penghuninya, baik kenyamanan thermal maupun
psikis sesuai kebutuhan penghuninya.
Untuk merencanakan bangunan rumah yang memenuhi
persyaratan teknis kesehatan, keamanan dan kenyamanan, data dan
informasi yang perlu dipersiapkan:
1) jumlah dan komposisi anggota keluarga;
2) Penghasilan keluarga
3) Karakteristik nilai sosial budaya yang membentuk kegiatan
berkeluarga dan kemasyarakatan.
4) Kondidi topografi dan geografi area rencana sarana hunian.
5) Kondisi iklim; suhu, angin, kelembaban kawasan yang
direncanakan,
6) Pertimbangan gangguan bencana alam.
7) Kondisi vegetasi eksisting dan sekitar

25
8) Peraturan setempat, seperti rencana tata ruang yang meliputi GSB,
KDB, KLB, dan sejenisny, atau peraturan bangunan secara
spesifik, seperti aturan khusus arsitektur, keselamatan dan
bangunan.
Kebutuhan data dan informasi pada perencanaan bangunan
sarana hunian ini dapat mengacu secara terinci pada peraturan lain
mengenai hal tersebut.
b. Penggolongan
Acuan penggolongan sarana hunian ini berdasarkan
beberapa ketentuan peraturan yang telah berlaku, berdasarkan tipe
wujud fisik arsitektur dibedakan atas :
1. Hunian Tidak Bertingkat Hunian tidak bertingkat adalah
bangunan rumah yang bagian huniannya berada langsung di atas
permukaan tanah, berupa rumah tunggal, rumah kopel dan rumah
deret. Bangunan rumah dapat bertingkat dengan kepemilikan dan
dihuni pihak yang sama
2. Hunian Bertingkat Hunian bertingkat adalah rumah susun
(rusun) baik untuk golongan berpenghasilan rendah (rumah susun
sederhana sewa), golongan berpenghasilan menengah (rumah
susun sederhana) dan maupun golongan berpenghasilan atas
(rumah susun mewah apartemen) Bangunan rumah bertingkat
dengan kepemilikan dan dihuni pihak yang berbeda dan terdapat
ruang serta fasilitas bersama.

26
Tabel 1 Penggolongan Sarana Hunian.

Gambar II.2 Tabel 1

c. Persyaratan dan Kriteria


1) Hunian Tidak Bertingkat
Dalam merencanakan bangunan rumah harus memperhatikan
keselamatan dan kenyamanan rumah dengan mengacu pada
standar-standar sebagaimana diuraikan pada berbagai SNI dan
peraturan lainnya yang telah diberlakukan.
2) Hunian Bertingkat (rumah susun)
Hunian bertingkat dapat dikembangkan pada kawasan lingkungan
perumahan yang direncanakan untuk kepadatan penduduk >200
Jiwa/ha berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah atau dokumen
rencana lainnya, yaitu kawasan-kawasan:
a) Pusat kegiatan kota;
b) Kawasan-kawasan dengan kondisi kepadatan penduduk sudah
mendekati atau melebihi 200 jiwa/ha;
c) Kawasan-kawasan khusus yang karena kondisinya memerlukan
rumah susun, seperti kawasan-kawasan industri, pendidikan dan
campuran

27
Tabel 2 Faktor Reduksi Kebutuhan Lahan Untuk Sarana Lingkungan
Berdasarkan Kepadatan Penduduk.

Gambar II.3 Tabel 2

d. Besaran Luas
1. Hunian tidak bertigkat
Untuk menetukan luas minimum rata-rata perpetakan tanah
didasarkan pada faktor-faktor kehidupan manusia (kegiatan), faktor
alam dan peraturan bangunan. Luas lantai minimum per orang
dapat diperhitungkan dengan rumusan

Gambar II.4 Rumus 1

Berdasarkan kegiatan yang terjadi didalam rumah hunian,


yaitu; tidur (ruang tidur), masak, makan (dapur), mandi (kamar
mandi), duduk (ruang duduk/ruang tamu), kebutuhan udara segar
per orang dewasa per jam 16 – 24m3 dan per anak-anak per jam 8
– 12m3, dengan pergantian udara dalam ruang sebanyak-

28
banyaknya 2 kali per jam dan tinggi plafon rata-rata 2,5 m, maka
luas lantai per orang (Acuan dari Data Arsitek, Neufert, Ernst, Jilid
I-II):

Gambar II.5 Rumus 2

Jadi bila 1 kk terkecil rata-rata terdiri dari 5 orang (ayah +


ibu + 3 anak) maka kebutuhan luas lantai minimum
dihitung sebagai berikut:

1) Luas lantai utama = (2x9,6) + (3x4) m2= 33,6m2


2) Luas lantai pelayanan = 50% x 33,6m2= 16,8m2
3) Total Luas Lantai = 51m2
Jika koefisien dasar bangunan 50%, maka luas kavling
minimum untuk keluarga dengan anggota 5 orang.

Gambar II.6 Rumus 3

29
II.4. Studi Banding

II.4.1. Permukiman Kumuh Tepian Sungai Kecamatan Kolaka, Sulawesi


Tenggara
Kelurahan Lamokato merupakan perkampungan air yang telah lama dihuni
oleh penduduk setempat dan berkembang seiring pertumbuhan kota. Dari hasil
identifikasi kondisi perumahan dan permukiman di Kecamatan Kolaka tahun
2009, permukiman di sepanjang tepian sungai Balandete Kelurahan Lamokato
merupakan permukiman kumuh yang membutuhkan penanganan khusus dalam
hal sarana & prasarana permukiman, hal ini terkait pula kondisi sosial & ekonomi
penduduk yang umumnya adalah penduduk miskin. Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Pengembangan Kelembagaan
Masyarakat dalam perbaikan lingkungan dan pembangunan tanggul sungai
Kolaka sepanjang 200 m, pemasangan paving blok, jalan lingkungan,
pembangunan taman kota, merupakan upaya Pemda setempat untuk
meningkatkan kualitas fisik & nonfisik lingkungan perumahan & permukiman di
Kelurahan Lamokato. Keberhasilan kegiatan peningkatan kualitas permukiman
sangat tergantung pada kemampuan berbagai lembaga dan masyarakat dalam
melakukan proses pelaksanaan pembangunan. Khususnya kegiatan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah serta perbaikan
kualitas lingkungan perumahan & permukiman dengan menghindari dampak
negatif dari eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan.
1. Gambaran Umum Lokasi.
Kecamatan Kolaka memiliki luas wilayah 218.38 km2 meliputi:
Kelurahan Watuliandu, Kelurahan Lamokato, Kelurahan Tahoa,
Kelurahan Laloeha, Kelurahan Balandete, Kelurahan Lalomba,
Kelurahan Sabilambo, Kecamatan Kolaka. Secara administratif
Kecamatan Kolaka berbatasan dengan Kecamatan Latambaga di
sebelah utara, Kecamatan Mowewe di sebelah timur, Kecamatan
Wundulako di sebelah selatan dan Teluk Bone di sebelah barat, dan
sebagai lokasi penelitian Kelurahan Lamokato berbatasan dengan 4

30
Kelurahan, yaitu Kelurahan Watuliandu, Laloeha, Balandete dan
Tahoa. Luas lahan kawasan permukiman tepian sungai pada Kelurahan
Lamokato mencapai 65,2 km2, terletak di tepi sungai Balandete
dengan luas lahan ±30% berada di sekitar kawasan perdagangan; pasar
dan terminal.

Gambar II.7. Letak Kelurahan Lamokato, Kecamatan Kolaka secara


administratif.

2. Tinjauan Lokasi Perumahan dan Permukiman


Selanjutnya pembahasan mencakup identifikasi lokasi perumahan &
permukiman terhadap kriteria: kesesuaian lokasi terhadap RTRW
Kecamatan Kolaka, legalitas tanah, status penguasaan bangunan,
frekuensi bencana kebakaran, banjir dan tanah longsor.
a. Lokasi Perumahan dan Permukiman Tepian Sungai ditinjau
terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kecamatan Kolaka.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah, Kecamatan Kolaka
diperuntukkan bagi sektor Perekonomian dan Jasa Perkantoran,
Fasilitas Umum, Pendidikan, Pemukiman, Pertanian dan
Perkebunan
b. Legalitas Tanah
Sebagian besar penduduk telah menempati lahan bersertifikat,
dengan status pemilikan bangunan merupakan rumah milik pribadi,
dan kurang dari 30% rumah dibangun di atas tanah tidak
bersertifikat dan tidak sesuai peruntukannya.

31
c. Status Penguasaan Bangunan
Sebagian besar telah menempati tanah milik bersertifikat, sehingga
status pemilikan rumah pun dominan merupakan rumah milik
pribadi. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun
2011, kurang lebih 77,7% telah manempati rumah milik pribadi.
d. Frekuensi Bencana
Umumnya letak rumah pada kawasan perumahan dan permukiman
Kelurahan Lamokato RW 3 berada di bantaran sungai/sempadan
sungai dengan jarak rata- rata kurang dari 5 m dari sisi sungai.
Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan
sungai dengan kebiasaan membuang sampah, air kotor dan jamban
di sungai, menyebabkan rusaknya komunitas sungai. Sedangkan
bencana kebakaran tidak terjadi dalam satu tahun terakhir, kecuali
pada beberapa kelompok rumah dengan tingkat kepadatan tinggi
yang cenderung rawan terjadi kebakaran. Dengan adanya
perbaikan tanggul dan jalan lingkungan pada saat ini kondisi
bantaran sungai tidak lagi rawan bencana banjir dan longsor.
Disamping itu perlunya penambahan sarana TPS yang dikelola
dengan baik dan penataan kembali kawasan permukiman dengan
tingkat kepadatan rendah, untuk menghindari terjadinya bencana
kebakaran massal.

Gambar II.8. Kondisi tanggul pada bibir sungai sebelum dilakukan perbaikan

3. Tinjauan terhadap Kondisi Bangunan

32
Penilaian terhadap perumahan dan permukiman dari aspek kondisi
bangunan mencakup 4 kriteria, yaitu tingkat kualitas dan kelayakan
bangunan, kepadatan bangunan dan tingkat penggunaan luas lantai.
a. Tingkat Kualitas dan Kelayakan Bangunan
Sebagian besar rumah penduduk berbentuk rumah biasa dan rumah
panggung. Umumnya merupakan bangunan sederhana, semi
permanen, dan tidak layak huni. Berdasarkan pengamatan di lokasi
terdapat ±60% rumah tidak layak huni, terutama rumah-rumah
yang berada di tepi sungai, dengan kondisi material konstruksi
yang mudah rusak dan berkesan darurat.

Gambar II.9. Kondisi rumah warga yang sangat sederhana dan berkesan darurat.
b. Tingkat Kepadatan Bangunan
Pengembangan pembangunan rumah di RW 3 Kelurahan
Lamokato cenderung tidak terencana, berkembang sesuai
kebutuhan pemilik, tanpa memperhatikan jarak antar bangunan,
jarak antar rumah tetangga dan pola jalan.
c. Tingkat Penggunaan Luas Lantai
Tingkat penggunaan luas lantai rumah dominan kurang dari 60 m2,
dengan ukuran 5x8 m, 5x6, 4x5 m dan dihuni ± 4 – 6 orang/rumah.
Dengan demikian rata-rata penghuni menempati 5 – 6 m2 per
orang. Berdasarkan standar perencanaan rumah sehat
(Komaruddin, 1996), luas lantai rumah per orang disyaratkan 7 –
10 m2 per orang, sehingga kondisi di lokasi termasuk dalam
kumuh berat (>4,5 – 6,5 m2/orang).
4. Tinjauan terhadap Kondisi Prasarana dan Sarana Lingkungan.

33
Penilaian terhadap perumahan dan permukiman dari aspek prasarana
dan sarana lingkungan mencakup 6 kriteria, yaitu: tingkat pelayanan
air bersih, sanitasi lingkungan, persampahan, air hujan, jalan dan ruang
terbuka.
a. Tingkat Pelayanan Air Bersih
Pada lokasi tertentu masih dapat diperoleh air dari sumur galian,
namun kualitas air kurang baik akibat resapan air dari sungai,
sehingga hanya dapat dipergunakan untuk fungsi MCK.

Gambar II.10. Penduduk memanfaatkan air sungai untuk mencuci pakaian sebagai
pengganti air bersih dari PAM.

b. Kondisi Sanitasi Lingkungan


Dari kondisi sanitasi lingkungan sebagian besar penduduk belum
menyadari pentingnya kesehatan lingkungan. Hal ini nampak pada
kebiasaan penduduk yang membuang air kotor rumah tangga ke
sungai (90%) dan hanya 9,1% rumah yang memiliki saluran ke
riol kota.
c. Kondisi Persampahan
Umumnya penduduk di RW 3 Kelurahan Lamokato membuang
sampah di sungai (90,9%) dan selebihnya membakar sampah
(9,1%) di pekarangan atau di tempat-tempat terbuka.
d. Kondisi Saluran Air Hujan
Umumnya kualitas drainase lingkungan di Kelurahan Lamokato
merupakan saluran yang permanen, namun kondisinya rusak dan
tersumbat sampah (90%), sehingga saluran air hujan tidak dapat

34
berfungsi dengan baik. Pada musim hujan kondisi ini mempercepat
naiknya permukaan air yang dapat menyebabkan banjir.
e. Kondisi Jalan
Terdapat 90% jalan lingkungan dan jalan setapak yang memiliki
kondisi yang baik dan hanya 10% lahan yang belum terlayani
jalan, dengan pola letak jalan dan perumahan yang belum tertata
dengan baik.
f. Kondisi Ruang Terbuka
Tapak ruang terbuka di Kelurahan Lamokato, umumnya
merupakan lahan tidak terurus yang ditumbuhi tanaman liar, yang
juga dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Tingginya
kepadatan bangunan di permukiman ini, sehingga penduduk tidak
dapat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam
tanaman. Di kawasan tepian sungai hanya nampak tanah kosong
yang dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah dan
menambatkan perahu.
5. Tinjauan terhadap Aspek Sosial Ekonomi Penduduk.
Penilaian terhadap perumahan dan permukiman dari aspek sosial
ekonomi penduduk mencakup 4 kriteria, yaitu: tingkat kemiskinan,
tingkat pendidikan & tingkat keamanan.
a. Tingkat Kemiskinan
Pada tahun 2009 di RW3 Kelurahan Lamokato dari 266 KK
terdapat 172 KK penduduk miskin tingkat pra sejahtera dan
sejahtera 1, dengan mata
pencaharian sebagai tukang dan pedagang (masing-masing 27,3%),
18,2% berwiraswasta dan selebihnya sebagai PNS, petani dan supir
masing- masing sebesar 9,1%.
b. Tingkat Pendidikan
Umumnya tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Lamokato
adalah SD (38,7%), SMP (29,3%), SMA (17,7%) dan Perguruan
Tinggi (4,8%). Demikian pula dengan tingkat pendidikan kepala

35
keluarga, umumnya hanya setingkat SD (45,4%). Rendahnya
tingkat pendapatan, menyebabkan faktor pendidikan tidak menjadi
prioritas utama dalam keluarga.
c. Tingkat Keamanan
Umumnya kondisi lingkungan relatif aman dari pencurian dan
tindak kejahatan lainnya.

II.4.2. Permukiman Tepian Sungai di Kota Banjarmasin


Permukiman tepi sungai di Banjarmasin merupakan permukiman
vernakular yang sudah ada sejak masa kerajaan Banjar. Permukiman ini terus
berkembang sesuai dengan pertambahan penduduk yang kian bertambah. Sungai
bagi masyarakat Banjar dipandang sebagai sumber daya alam yang sangat
penting. Sungai juga memiliki fungsi yang sangat besar bagi masyarakat di Kota
Banjarmasin. Sebagai sarana transportasi, sungai memiliki fungsi (1)
angkutan/transportasi penumpang; (2) angkutan hasil bumi/pertanian; (3)
angkutan barang ; (4) angkutan batubara dan kayu industri ; (5) perdagangan
tradisional/pasar terapung (Bambang, 2005).
Sungai juga menjadi jalur penghubung antara pusat-pusat ekonomi dengan
daerah-daerah pendukung dalam mengembangkan perdagangan dan ekonomi.
Transportasi air digunakan masyarakat untuk menuju lokasi kerja, ke pasar, ke
sekolah, maupun ke tempat lainnya. Berdasar hasil penelitian (Mentayani,2001)
diperoleh gambaran bahwa masyarakat masih menggunakan sungai sebagai jalur
transportasi menuju lokasi kerja, ke pasar, maupun ke tempat lainnya walaupun
saat ini sudah tersedia sarana prasarana transportasi darat. Untuk kemudahan
mencapai alat transportasi air, tersedia beberapa tempat perhentian (dermaga air)
untuk tempat menunggu, ataupun sebagai tempat drop out penumpang dan
barang..
ASPEK-ASPEK TIPOMORFOLOGI PERMUKIMAN TEPI SUNGAI
permukiman tepi sungai di Banjarmasin dapat ditemukan pada setiap sarana
prasarana fisik yang digunakan oleh masyarakat setempat. Sarana prasarana fisik
tersebut meliputi dermaga, jembatan, titian, rumah lanting, dan jamban umum.

36
 Jembatan
Jembatan adalah struktur konstruksi yang berfungsi untuk
menghubungkan dua bagian jalan yang terputus karena adanya rintangan
alam yang tidak memungkinkan untuk dilewati seperti lembah yang
dalam, alur sungai, saluran irigasi dan rintangan lainnya.

Gambar II.11. Tipe-tipe Jembatan pada permukiman tepi sungai Sumber : Survey
Lapangan, 2009

Jembatan yang ada di sekitar permukiman tepi sungai di


Banjarmasin sebagian besar berbahan kayu dengan konstruksi tiang dari
balok ulin dan kayu galam. Jarak antar tiang disesuaikan sehingga masih
bisa dilewati kelotok dan speedboat yang melewatinya. Namun terdapat
juga beberapa jembatan yang susah dilewati ketika air pasang karena jarak
yang tersedia antara batas air dengan kolong jembatan sangat kecil, apalagi
kebiasaan orang-orang yang suka duduk di atas atap perahu maka semakin
menambah kecil jarak yang tersedia untuk melewati jembatan tersebut.
 Dermaga
Secara umum pengertian dermaga adalah sarana tambatan bagi alat
transportasi air (kapal, kelotok, jukung, speed-boat) bersandar untuk
bongkar/muat (B/M) barang atau embarkasi/debarkasi penumpang.
Dermaga pada permukiman tepi sungai yang berukuran besar biasanya
dibangun dengan konstruksi panggung.
Dermaga besar ini terdiri dari dua jenis material dan konstruksi ;
yang pertama seluruhnya dengan konstruksi panggung, yang kedua;

37
sebagian menggunakan konstruksi panggung dan sebagiannya lagi
menggunakan struktur rakit/terapung (lanting).
Untuk dermaga yang berukuran kecil (5x5m – 6x6m) biasanya
dibangun dengan konstruksi rakit (terapung). Kapal-kapal kecil yang
datang bertambat langsung di bagian tepi dermaga. Pengantar dan
penjemput bisa ikut turun ke dermaga tapi bisa juga menunggu di bagian
darat dermaga. Untuk menuju dermaga rakit biasanya dihubungkan
dengan titian kecil dari kayu yang bertumpu langsung ke balok kayu yang
mengikat dermaga tersebut.

Gambar II.12. Dermaga Panggung dan Dermaga Rakit (terapung) Sumber :


survey lapangan, 2009

 Titian
Titian adalah jalur sirkulasi penghubung yang digunakan
masyarakat tepian sungai untuk mencapai rumah-rumah, menuju sungai,
ataupun sebagai jalur interaksi masyarakat di dalam kampung. Titian pada
permukiman tepi sungai dibuat dari susunan papan dengan lebar sekitar 1-
2 meter, papan- papan tersebut dipasang berjajar bertumpu pada tiang-
tiang yang ditancapkan langsung ke sungai dengan tinggi tiang sekitar 1-3
meter.
Dilihat dari polanya titian-titian pada permukiman tepi sungai
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) pola. Pola pertama, titian lurus
memanjang dengan posisi diapit barisan rumah-rumah pada sisi kiri dan

38
kanannya (titian sebagai pembatas antar barisan rumah/atau sebagai jalur
gang). Pola kedua, titian berada pada satu sisi saja sedangkan sisi lainnya
berupa jalur sungainya. Pola ketiga, titian bercabang-cabang dengan
dimensi yang melebar pada setiap percabangannya. Percabangan ini bisa
dianalogikan seperti mengikuti lekuk-lekuk gang pada perkampungan di
atas air.
Pada beberapa kasus, terdapat titian-titian yang berukuran lebar
biasanya digunakan masyarakat sebagai ruang publik untuk tempat
berkumpul dan berinteraksi, ruang bermain anak-anak, ruang olahraga
(tenis meja atau bola sepak). Pada saat ada kenduri, titian digunakan juga
sebagai ruang duduk para tamu atau ruang masak bersama bagi ibu-ibu
yang membantu menyiapkan kenduri tersebut.

Gambar II.13. Tipe-tipe Titian pada permukiman tepi sungai Sumber :


survey lapangan, 2008

 Rumah Lanting (rumah diatas air)


Rumah lanting adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar yang
dibangun diatas air . Rumah-rumah lanting ini dapat dibedakan berdasarkan
fungsinya, struktur pondasinya dan konstruksi materialnya. Ditinjau dari
fungsinya rumah lanting tidak hanya berfungsi sebagai rumah tinggal, melainkan
berfungsi juga sebagai rumah toko, atau toko/warung.

39
Gambar II.14. Rumah-rumah lanting Sumber : Survey Lapangan, 2008.

Pondasi pada rumah lanting dibangun untuk menumpu beban bangunan.


Secara prinsip, fungsi pondasi pada bangunan tradisional Banjar secara umum
sama, yaitu menjadikan pondasi sebagai ”alat pengapung” bagi bangunan. Hal ini
disebabkan kondisi daya dukung tanah yang sangat lemah sebagai akibat
tingginya kandungan air. Dengan kata lain kondisi geografis lingkungan daerah
dimana arsitektur tradisional Banjar diciptakan adalah daerah rawa. Namun
demikian, jika pada bangunan tradisional yang dibangun di ”darat” pondasi
terbenam dalam rawa, maka pada rumah lanting dapat dikatakan pondasi
terbenam (walaupun tidak seluruhnya, disebabkan ada bagian yang harus timbul
di atas air) dalam air. Pada pondasi bangunan di atas rawa, maka yang menjadi
media pengapung bangunan adalah rawa itu sendiri, dan ini berbeda dengan
pondasi pada bangunan modern yang umumnya beban bangunan disalurkan
hingga ke bagian tanah keras atau mengandalkan daya geseran antara pondasi
tiang dengan permukaan tanah.

Gambar II.15. Material pondasi dari batang kayu gelondongan/log Sumber : survey
lapangan, 2009

40
Gambar II.16. Material pondasi dari bambu (haur) Sumber : survey lapangan, 2009

Untuk itu, pondasi pada rumah lanting sangat mengandalkan pada


kemampuan daya apung dari material pondasi. Sebagaimana diketahui,
khususnya pada masa-masa lalu di daerah ini memiliki potensi kayu yang
sangat melimpah. Sehingga dengan melihat atau belajar dari alam
masyarakat setempat menggunakan bahan kayu (masih berbentuk
gelondongan/log) sebagai pondasi rumah lanting ini. Seiring semakin
bertambahnya kebutuhan manusia akan kayu, dan semakin sulitnya
mendapatkan kayu, maka masyarakat secara alamiah bertahan terhadap
kondisi ini. Dalam perkembangannya, masyarakat memilih bambu sebagai
bahan pengganti kayu gelondongan tersebut. Dipilihnya bahan bambu
masih didasarkan atas kemudahan mendapatkan bahan ini di lingkungan
setempat.

Gambar II.17. Material pondasi dari kombinasi kayu gelondongan/log dan bambu Sumber
: survey lapangan, 2009

Untuk kota Banjarmasin, bahan bambu umumnya didatangkan dari


daerah Hulu Sungai (Pegunungan Meratus). Biasanya bambu-bambu yang
dikirim ke Banjarmasin, selain memang khusus didatangkan ke
Banjarmasin juga dari bambu hasil kegiatan wisata arung jeram yang
menyusuri Sungai Amandit. Bambu yang dijadikan pondasi umumnya
dipasang dengan cara menyatukan beberapa bambu (biasanya antara 80-
100 batang) menjadi satu dan di bagian ujungnya diikat menggunakan ban
bekas. Dipilihnya ban sebagai pengikat karena sifatnya yang mudah

41
didapat (limbah kendaraan), memiliki kekuata dan kelenturan/elastis, dan
juga sifat karet yang awet jika terendam dalam air.
 Jamban Umum
Jamban umum adalah tempat mandi, cuci, kakus (MCK) bagi masyarakat
di tepian sungai. Jamban ini biasanya dibangun masyarakat secara
bergotong royong dengan dana swadaya masyarakat. Sebagai salah satu
aspek tipo-morfologi jamban umum ini dapat dibedakan dari 3 hal yaitu;
lingkup pelayanannya, aspek fungsi, konstruksi dan materialnya.
Berdasarkan fungsinya, jamban umum ini dapat dibedakan menjadi
2, yaitu ; jamban yang hanya berfungsi untuk keperluan buang air saja, dan
jamban umum yang berfungsi untuk MCK. Pada jamban yang hanya
berfungsi untuk keperluan buang air saja biasanya tidak berhubungan
langsung dengan air (biasa dengan konstruksi panggung), sedangkan
jamban umum yang berfungsi untuk MCK biasanya dengan dimensi yang
lebih besar karena tersedia juga tempat terbuka untuk mandi atau tempat
berinteraksi dengan pedagang berperahu yang melewatinya

Gambar II.18. Jamban umum dengan konstruksi panggung dan konstruksi rakit Sumber :
Sketsa Audi dari dari Survey Lapangan,2009

Sedangkan ditinjau dari konstruksinya, jamban umum dapat


dibedakan menjadi dua, yaitu konstruksi panggung dengan titian yang

42
langsung menghubungkan ke darat. Dan konstruksi rakit yang
berhubungan langsung dengan sungai.

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK TIPOMORFOLOGI PADA


PERMUKIMAN TEPI SUNGAI
Pada permukiman tepi sungai diatas terdapat dua hal yang sangat berpengaruh
pada proses pembentukan aspek-aspek tersebut. Kondisi geografis kota
Banjarmasin yang berawa dan dikelilingi banyak sungai menjadikan karakter kota
termasuk dalam kategori lahan basah. Karakter lahan basah inilah yang diadaptasi
dalam setiap pembentukan aspek-aspek tipomorfologi. Dari terbentuknya aspek-
aspek tersebut memperlihatkan kearifan lokal yang masih kuat dari masyarakat di
permukiman tepi sungai di Banjarmasin.
Ketergantungan masyarakat terhadap sungai membentuk kebudayaan sungai yang
melekat erat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan sungai ini tergambar
dalam kegiatan sehari hari seperti kegiatan MCK disungai, menggunakan
transportasi air, melakukan transaksi jual beli dengan moda transportasi air, dan
masih banyak lagi faktor lainnya. Dalam pembangunan selanjutnya hendaknya hal
ini menjadi perhatian sehingga karakter lahan basah dan budaya sungai tetap bisa
diadaptasi dalam pembangunan sarana dan prasarana di permukiman tepi sungai.

II.5. Kesimpulan Studi Banding


Tabel II.1. Kesimpulan Studi Banding
Permukiman Kumuh Tepian Sungai
Kecamatan Kolaka, Sulawesi Tenggara
Lokasi/site Kriteria Kekurangan/saran
Kecamatan Kolaka  Tinjauan Lokasi Kekurangan:
 sarana & prasarana
memiliki luas Perumahan dan
air bersih belum
wilayah 218.38 km2 Permukiman.
terdistribusi
meliputi: Kelurahan  Tinjauan terhadap
merata.
Watuliandu, Kependudukan
pembuangan air
Kelurahan  Tinjauan terhadap Kondisi
kotor dan

43
Lamokato, Bangunan. pembuangan
Kelurahan Tahoa,  Tinjauan terhadap Kondisi sampah yang tidak
Kelurahan Laloeha, Prasarana dan Sarana memenuhi
Kelurahan Lingkungan. persyaratan
Balandete,  Tinjauan terhadap Aspek kesehatan.
Kelurahan Lalomba, Sosial Ekonomi Penduduk.  kualitas lingkungan
Kelurahan yang renda
Sabilambo,  kualitas bangunan
Kecamatan Kolaka.. yang rendah dan
tidak layak huni.
 tingkat
pertambahan
penduduk yang
tinggi.
 tingkat kemiskinan
yang tinggi.
Saran:
 Kondisi prasarana
dan sarana
lingkungan .
 Kondisi
rumah/bangunan
yang tidak layak
huni..
 Kepadatan rumah
dan bangunan.
 Ketidakteraturan
tata letak
rumah/bangunan.
 Jumlah penduduk

44
miskin.
 Kegiatan usaha
ekonomi penduduk
di sektor informal.
 Tingkat kepadatan
penduduk.
 Tingkat kerawanan
kesehatan dan
lingkungan.

Permukiman Tepian Sungai di Kota Banjarmasin


Lokasi/site Kriteria Keunggula/kekurangan

• permukiman tepian • Ketergantungan Keunggulan:


sungai Martapura di • Sungai juga
masyarakat terhadap
Kota Banjarmasin menjadi jalur
sungai membentuk
penghubung antara
kebudayaan sungai yang
pusat-pusat
melekat erat dalam
ekonomi dengan
kehidupan
daerah-daerah
bermasyarakat.Ketergantu
pendukung dalam
ngan masyarakat terhadap
mengembangkan
sungai membentuk
perdagangan dan
kebudayaan sungai yang
ekonomi
melekat erat dalam
Kekurangan:
kehidupan bermasyarakat. • Dengan demikian
• Kebudayaan sungai ini aspek-asepk
tergambar dalam kegiatan tipomorfologi pada
sehari hari seperti kegiatan permukiman tepi

MCK disungai, sungai tidak bisa


dilepaskan dari aspek
menggunakan transportasi
karakter lahan basah
air, melakukan transaksi
dan aspek budaya
jual beli dengan moda
sungai tersebut

45
transportasi air, dan masih
banyak lagi faktor lainnya.
Kesimpulan & Penerapan
Lokasi/site Kriteria Saran

di Kota • Rencana perancangan kawasan ini • Dengan dilakukannya


sungguminasa akan di bangun sesuai lokasi yang penataan kawasan ini

Kabupaten Gowa, ditentukan RTRW dan RTBL dalam diharapkan dapat


perda kab. Gowa no.4 tahun 2014. memecahkan masalah
terutama
kekumuhan yang terjadi di
permukiman di
lokasi perencanaan.
sekitar tanggul
Sungai Je’neberang
tepatnya sekitar
Jl.Syamsuddin
Tunru RW 02
Kelurahan
Sungguminasa

II.6. Lokasi
II.6.1. Gambaran Umum Kab. Gowa
a. Kondisi letas geografis
Kabupaten Gowa berada pada 12°38.16' Bujur Timur dari Jakarta dan
5°33.6' Bujur Timur dari Kutub Utara. Sedangkan letak wilayah administrasinya
antara 12°33.19' hingga 13°15.17' Bujur Timur dan 5°5' hingga 5°34.7' Lintang
Selatan dari Jakarta. Kabupaten yang berada pada bagian selatan Provinsi
Sulawesi Selatan ini berbatasan dengan 7 kabupaten/kota lain, yaitu di sebelah
Utara berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Di sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto sedangkan di bagian
Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Takalar.
b. Luas Wilayah

46
Luas wilayah Kabupaten Gowa adalah 1.883,33 km2 atau sama dengan
3,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Gowa
terbagi dalam 18 Kecamatan dengan jumlah Desa/Kelurahan definitif sebanyak
167 dan 726 Dusun/Lingkungan. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar
berupa dataran tinggi berbukit-bukit, yaitu sekitar 72,26% yang meliputi 9
kecamatan yakni Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao,
Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya
27,74% berupa dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi 9
Kecamatan yakni Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang,
Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo
Selatan.
Dari total luas Kabupaten Gowa, 35,30% mempunyai kemiringan tanah di
atas 40 derajat, yaitu pada wilayah Kecamatan Parangloe, Tinggimoncong,
Bungaya, Bontolempangan dan Tompobulu. Dengan bentuk topografi wilayah
yang sebahagian besar berupa dataran tinggi, wilayah Kabupaten Gowa dilalui
oleh 15 sungai besar dan kecil yang sangat potensial sebagai sumber tenaga listrik
dan untuk pengairan. Salah satu diantaranya sungai terbesar di Sulawesi Selatan
adalah sungai Jeneberang dengan luas 881 Km2 dan panjang 90 Km.
Tabel II.2. Ibu Kota Kecamatan, Jarak dan Luas Kecamatan
No Kecamatan Ibukota Jarak dari Luas %
Kecamatan Ibukota Kecama-tan Thd
Kab. (Km) (Km2) Luas
Kab.
1. Bontonompo Tamallayang 16 30,39 1,61

2. Bontonompo Pabundukang 30 29,24 1,55


Selatan
3. Bajeng Kalebajeng 12 60,09 3,19

4. Bajeng Barat Borimatangkasa 15,80 19,04 1,01

5. Pallangga Mangalli 2,45 48,24 2,56

6. Barombong Kanjilo 6,5 20,67 1,10

47
7. Somba Opu Sungguminasa 0,00 28,09 1,49

8. Bontomarannu Borongloe 9 52,63 2,79

9. Pattallassang Pattallasssang 13 84,96 4,51

10. Parangloe Lanna 27 221,26 11,75

11. Manuju Bilalang 20 91,90 4,88

12. Tinggi Moncong Malino 59 142,87 7,59

13. Tombolo Pao Tamaona 90 251,82 13,37

14. Parigi Majannang 70 132,76 7,05

15. Bungaya Sapaya 46 175,53 9,32

16. Bontolempangan Bontoloe 63 142,46 7,56

17. Tompobulu Malakaji 125 132,54 7,04

18. Biringbulu Lauwa 140 218,84 11,62

JUMLAH 1.883,33 100

Sumber : BPS Kabupaten Gowa 2015

48
Gambar II.19 Gambar peta admistrasi kab.gowa
c. Kondisi Administrasi Kabupaten Gowa
Wilayah administrasi Kabupaten Gowa terdiri dari 18 kecamatan dan 167
desa/kelurahan dengan luas sekitar 1.883,33 kilometer persegi atau sama dengan
3,01 persen dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten
Gowa sebagian besar merupakan dataran tinggi yaitu sekitar 72,26 persen. Ada 9
wilayah kecamatan yang merupakan dataran tinggi yaitu Parangloe, Manuju,
Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu
dan Biringbulu. Dari total luas Kabupaten Gowa 35,30 persen mempunyai
kemiringan tanah di atas 40 derajat, yaitu pada wilayah kecamatan Parangloe,
Tinggimoncong, Bungaya dan Tompobulu. Kabupaten Gowa dilalui oleh banyak
sungai yang cukup besar yaitu ada 15 sungai. Sungai dengan luas daerah aliran
yang terbesar adalah Sungai Jeneberang yaitu seluas 881 km² dengan panjang 90
km.

49
Tabel II.3. Jumlah Desa/Kelurahan Menurut Kecamatan di
Kabupaten Gowa, 2017
Kecamatan Desa Kelurahan

(1) (2) (3)

11 Bontonompo 11 3

22 Bontonompo Selatan 8 1

33 Bajeng 10 4
44 Bajeng Barat 7 0

55 Pallangga 12 4
66 Barombong 5 2

77 Sombaopu 0 14
88 Bontomarannu 6 3

99 Pattallassang 8 0

110 Parangloe 5 2

111 Manuju 7 0

112 Tinggimoncong 1 6

113 Tombolopao 8 1

114 Parigi 5 0

115 Bungaya 5 2

116 Botolempangan 8 0

117. Tompobulu 6 2

118. Biringbulu 9 2

Gowa 121 46

50
Sumber: Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa Dan Kelurahan
Kab. Gowa
d. kecamatan Somba Opu
Kecamatan Somba Opu merupakan daerah dataran yang
berbatasan Sebelah Utara Kota Makassar. Sebelah Selatan Kecamatan
Pallangga. Sebelah Barat Kecamatan Pallangga dan Kota Makassar
sedangkan di Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Bontomarannu. Dengan jumlah Kelurahan sebanyak 14 (empat belas)
kelurahan dan dibentuk berdasarkan PERDA No. 7 Tahun 2005. Ibukota
Kecamatan Somba Opu adalah Kelurahan Sungguminasa
Jumlah penduduk Kecamatan Somba Opu sebesar 162.979
jiwa yang terdiri dari laki-laki sebesar 81.239 jiwa dan perempuan
sebesar 81.740 jiwa.

51
BAB III

TINJAUAN KHUSUS TEMA

III.1 Pengertian Arsitektur Ekologis

Arsitektur adalah segala macam pembangunan yang secara sengaja


dilakukan untuk mengubah lingkungan fisik dan menyesuaikannya dengan skema-
skema tata cara tertentu lebih menekankan pada unsur social budaya. Menurut
Amos Raport.
Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dan
sesamanya serta dengan lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Miller dalam
Darsono (1995:16)
Atas dasar pengetahuan dasar-dasar ekologi yang telah diuraikan, maka
perhatian pada arsitektur sebagai ilmu teknik dialihkan kepada arsitektur
kemanusiaan yang memperhitungkan juga keselarasan dengan alam dan
kepentinagn manusia penghuninya. Pembangunan rumah atau tempat tinggal
sebagai kebutuhan kehidupan manusia dalam hubungan timbal balik dengan
lingkungan alamnya dinamakan arsitektur ekologis atau eko-arsitektur. (Krusche,
Per et sl. Oekologisches Bauen. Wiesbaden, Berlin 1982. Hlm.7.
Arsitektur ekologis merupakan pembangunan berwawasan lingkungan,
dimana memanfaatkan potensi alam semaksimal mungkin.

III.1.1 Perkembangan Arsitektur Ekologis


Dalam perkembangannya, kehidupan manusia dengan lingkungannya
mengalami evolusi. Dari hidup secara individu hingga membentuk suatu
komunitas tertentu. Maka perlu untuk diketahui, bagaimana sejarah
perkembangan kehidupan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan
lingkungannya, dan bagaimana kaitannya dalam dunia arsitektur. Desain-desain
yang bermunculan saat ini merupakan cerminan dari masa lalu. Jadi segala
sesuatu yang ada pada masa kini, berawal dari sejarah dan untuk dapat
menciptakan sesuatu yang lebih baik kita harus belajar dari sejarah. Maka dari itu,
sejarah ekologi dalam dunia arsitektur sangat penting untuk dipelajari dan

52
dipahami untuk dapat menghasilkan sesuaatu yang lebih berkualitas dan
bermanfaat, tanpa harus mencemarkan, merugikan, dan merusak lingkungan
dikemudian hari.

III.1.2 Pendekatan Arsitektur Ekologis


Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada
perncangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama , antara
lain : Yeang (2006), me-definisikannya sebagai: Ecological design, is bioclimatic
design, design with the climate of the locality, and low energy design. Yeang,
menekankan pada : integrasi kondisi ekologi setempat, iklim makro dan mikro,
kondisi tapak, program bangunan, konsep design dan sistem yang tanggap pada
iklim, penggunan energi yang rendah, diawali dengan upaya perancangan secara
pasif dengan mempertimbangkan bentuk, konfigurasi, façade, orientasi bangunan,
vegetasi, ventilasi alami, warna. Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus
dan ramah, melalui 3 tingkatan; yaitu yang pertama integrasi fisik dengan
karakter fisik ekologi setempat, meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah,
vegetasi, iklim dan sebagainya. Kedua, integrasi sistim-sistim dengan proses
alam, meliputi: cara penggunaan air, pengolahan dan pembuangan limbah cair,
sistim pembuangan dari bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan
sebagainya. Yang ketiga adalah, integrasi penggunaan sumber daya yang
mencakup penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Aplikasi dari ketiga
integrasi tersebut, dilakukannya pada perancangan tempat tinggalnya, seperti pada
gambar :

Gambar III.1. Orientasi bangunan, Pencegah radiasi matahari dan Atap ganda Rumah
Tinggal Ken Yeang, di Malaysia.

53
Pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, Heinz Frick (1998),
berpendapat bahwa, eko-arsitektur tidak menentukan apa yang seharusnya terjadi
dalam arsitektur, karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai standar atau
ukuran baku. Namun mencakup keselarasan antara manusia dan alam. Eko-
arsitektur mengandung juga dimensi waktu, alam, sosio-kultural, ruang dan teknik
bangunan. Ini menunjukan bahwa eko arsitektur bersifat kompleks, padat dan
vital. Eko-arsitektur mengandung bagian- bagian arsitektur biologis (kemanusiaan
dan kesehatan), arsitektur surya, arsitektur bionik (teknik sipil dan konstruksi bgi
kesehatan), serta biologi pembangunan. Oleh karena itu eko arsitektur adalah
istilah holistik yang sangat luas dan mengandung semua bidang.

Gambar III.2. Perbandingan siklus energi, materi pada rumah biasa dan rumah ekologis.

Mendekati masalah perancangan arsitektur dengan konsep ekologi,


berarti ditujukan pada pengelolaan tanah, air dan udara untuk keberlangsungan
ekosistim. Efisiensi penggunaan sumber daya alam tak terperbarui (energi)
dengan mengupayakan energi alternatif (solar, angin, air, bio). Menggunakan
sumber daya alam terperbarui dengan konsep siklus tertutup, daur ulang dan
hemat energi mulai pengambilan dari alam sampai pada penggunaan kembali,
penyesuaian terhadap lingkungan sekitar, iklim, sosial- budaya, dan ekonomi.
Keselarasan dengan perilaku alam, dapat dicapai dengan konsep perancangan
arsitektur yang kontekstual, yaitu pengolahan perancangan tapak dan bangunan
yang sesuai potensi setempat. termasuk topografi, vegetasi dan kondisi alam
lainnya.
Material yang dipilih harus dipertimbangkan hemat energi mulai dari
pemanfaatan sebagai sumber daya alam sampai pada penggunaan di bangunan dan

54
memungkinkan daur ulang (berkelanjutan) dan limbah yang dapat sesuai dengan
siklus di alam. Konservasi sumberdaya alam dan keberlangsungan siklus-siklus
ekosistim di alam, pemilihan dan pemanfaatan bahan bangunan dengan
menekankan pada daur ulang, kesehatan penghuni dan dampak pada alam
sekitarnya, energi yang efisien, dan mempertahankan potensi setempat.
Keselarasan rancangan arsitektur dengan alam juga harus dapat menjaga
kelestarian alam, baik vegetasi setempat maupun mahluk hidup lainnya, dengan
memperluas area hijau yang diharapkan dapat meningkatkan penyerapan CO2
yang dihasilkan kegiatan manusia, dan melestarikan habitat mahluk hidup lain.
Ukuran kenyamanan penghuni secara fisik, sosial dan ekonomi, dicapai
melalui : penggunaan sistim-sistim dalam bangunan yang alamiah, ditekankan
pada sistim-sistim pasif, pengendalian iklim dan keselarasan dengan
lingkungannya. Bentuk dan orientasi bangunan didasarkan pada selaras dengan
alam sekitarnya, kebutuhan penghuni dan iklim, tidak mengarah pada bentuk
bangunan atau style tertentu, tetapi mencapai keselarasan dengan alam dan
kenyamanan penghuni dipecahkan secara teknis dan ilmiah. Untuk mendapatkan
hasil rancangan yang mampu selaras dan sesuai dengan perilaku alam, maka
semua keputusan dari konsep perancangan harus melalui analisis secara teknis dan
ilmiah Pemikiran dan pertimbangan yang dilakukan memerlukan pemikiran yang
interdisiplin dan holistic karena sangat kompleks dan mencakup berbagai macam
keilmuan.

Gambar III.3. Integrasi sistim di alam dan sistim bangunan

Dari berbagai pendapat pada perancangan arsitektur dengan pendekatan


ekologi, pada intinya adalah, mendekati masalah perancangan arsitektur dengan
menekankan pada keselarasan bangunan dengan perilaku alam, mulai dari tahap

55
pendirian sampai usia bangunan habis. Bangunan sebagai pelindung manusia yang
ketiga harus nyaman bagi penghuni, selaras dengan perilaku alam, efisien dalam
memanfatkan sumber daya alam, ramah terhadap alam. Sehingga perencanaannya
perlu memprediksi kemungkinan- kemungkinan ketidak selarasan dengan alam
yang akan timbul dimasa bangunan didirikan, beroperasi sampai tidak digunakan,
terutama dari penggunaan energi, pembuangan limbah dari sistim-sistim yang
digunakan dalam bangunan. Semua keputusan yang diambil harus melalui
pertimbangan secara teknis dan ilmiah yang holistik dan interdisipliner. Tujuan
perancangan arsitektur melalui pendekatan arsitektur adalah upaya ikut menjaga
keselarasan bangunan rancangan manusia dengan alam untuk jangka waktu yang
panjang. Keselarasan ini tercapai melalui kaitan dan kesatuan antara kondisi alam,
waktu, ruang dan kegiatan manusia yang menuntut perkembangan teknologi yang
mempertimbangkan nilai-kilai ekologi, dan merupakan suatu upaya yang
berkelanjutan.

III.1.3 Prinsip Desain Arsitektur Ekologi


Prinsip-prinsip ekologi sering berpengaruh terhadap arsitektur (Batel Dinur,
Interweaving Architecture and Ecology – A theoritical Perspective)
1. FLUTUATION
Prinsip fluktuasi menyatakan bahwa bangunan didisain dan dirasakan
sebagai tempat membedakan budaya dan hubungan proses alami. Dalam hal ini
bangunan harus dapat mencerminkan proses alami yang terjadi di lokasi dan tidak
menganggap suatu penyajian berasal dari proses melainkan proses benar-benar
dianggap sebagai proses. Fluktuasi juga bertujuan agar manusia dapat merasakan
hubungan atau koneksi dengan kenyataan yang terjadi pada lokasi tersebut.
2. STRATIFICTION
Stratifikasi bermaksud untuk memunculkan interaksi dari perbedaan
bagian-bagian dan tingkat-tingkat, bermaksud untuk melihat interaksi antara
bangunan dan lingkungan sekitar. Semacam organisasi yang membiarkan
kompleksitas untuk diatur secara terpadu.
3. INTERDEPENDENCE (SALING KETERGANTUNGAN)

56
Menyatakan bahwa hubungan antara bangunan dengan bagiannya adalah
hubungan timbal balik. Peninjau (perancang dan pemakai) seperti halnya lokasi
tidak dapat dipisahkan dari bagian bangunan, saling ketergantungan antara
bangunan dan bagian-bagiannya berkelanjutan sepanjang umur bangunan.

III.1.4 Dasar-dasar Arsitektur Ekologi


1. HOLOSTIK
Dasar eko-arsitektur yang berhubungan dengan sistem keseluruhan,
sebagai satu kesatuan yang lebih penting dari pada sekedar kumpulan bagian.
Eko-Arsitektur mengandung bagian-bagian; arsitektur biologis (arsitektur
kemnusiaan yang memperhatikan kesehatan), arsitektur alternatif, arsitektur
matahari (dengan memanfaatkan energi surya), arsitektur bionic (teknik sipil dan
konstruksi yang memperhatikan kesehatan manusia), serta biologi pembangunan.
Maka istilah eko-arsitektur adalah istilah holistik yang sangat luas dan
mengandung semua bidang.
2. MATERIAL RAMAH LINGKUNGAN
Penggunaan material-material yang ramah lingkungan akan sangat
bermanfaat bagi alam dan manusia. Membuat keseimbangan yang sangat baik.
Seorang arsitek tidak bisa mengesampingkan bahan atau material yang akan
digunakan karena sangat berpengaruh terhadap alam, mulai dari dampak yang
akan terjadi jika menggunakan bahan yang akan merusak alam di masa depan.
Adapun prinsip-prinsip ekologis dalam penggunaan bahan bangunan :
 Menggunakan bahan baku, energi, dan air seminimal mungkin.
 Semakin kecil kebutuhan energi pada produksi dan transportasi, semakin
kecil pula limbah yang dihasilkan.
 Bahan-bahan yang tidak seharusnya digunakan sebaiknya diabaikan.
 Bahan bangunan diproduksi dan dipakai sedemikian rupa sehingga dapat
dikembalikan kedalam rantai bahan (didaur ulang).
 Menggunakan bahan bangunan harus menghindari penggunaan bahan
yang berbahaya (logam berat, chlor).
 Bahan yang dipakai harus kuat dan tahan lama.

57
 Bahan bangunan atau bagian bangunan harus mudah diperbaiki dan
diganti.
3. HEMAT ENERGI
Penggunaan bahan energi yang semakin mengkhawatirkan. Manusia
cenderung memanfaatkan energi yang tidak dapat diperbaharui. Penggunaan
energi untuk seluruh dunia diperkirakan 3×1014 MW per tahun, yang berarti
bahwa bahaya bagi manusia bukan hanya terletak pada kekurangan energi tetapi
juga pada kebanyakan energi yang dibakar dan mengakibatkan kelebihan
karbondioksida di atsmosfer yang mempercepat efek rumah kaca dan pemanasan
global.
4. PEKA TERHADAP IKLIM
Pengaruh iklim pada bangunan. Bangunan sebaiknya dibuat secara terbuka
dengan jarak yang cukup diantara bangunan tersebut agar gerak udara terjamin.
Orientasi bangunan ditepatkan diantara lintasan matahari dan angin sebagai
kompromi antara letak gedung berarah dari timur ke barat, dan yang terletak tegak
lurus terhadap arah angin. Gedung sebaiknya berbentuk persegi panjang yang
menguntungkan penerapan ventilasi silang.
5. MEMANFAATKAN PENGALAMAN MANUSIA
Pentingnya pengalaman manusia dapat mendukung lancarnya
pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan dengan pengalaman yang ia
miliki, baik itu dengan teori yang ada atau sebaliknya.

III.2 Studi Banding Arsitektur Eklogis


Pada sub ini Menjelaskan tentang beberapa bangunan yang menerapkan
tema yang sama atau sejenis dengan tema yang akan diterapkan pada proyek di
rancang.

III.2.1. Penerapan Arsitektur Ekologis pada Bangunan Resort Tepi Pantai


Karimunjawa
Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan yang terletak di
wilayah Kabupaten Jepara.

58
Wilayah pesisir dan lautan merupakan kawasan yang menyimpan
kekayaan sumberdaya alam yang sangat berguna bagi kepentingan manusia.
Secara mikro sumberdaya kawasan ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup esensial penduduk sekitarnya sedangkan secara makro, merupakan potensi
yang sangat diperlukan dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan nasional
disegala bidang. Untuk itu keberadaan potensi sumber daya alam hayati dan non
hayati di wilayah ini, perlu dikelola dan dimanfaatkan secara bijaksana sehingga
dapat lestari dan berkesinambungan. Salah satu potensi sumberdaya alam hayati
yang sangat potensial di daerah pesisir adalah keindahan terumbu karang.
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem

Gambar III.4 Perspektif mata burung. Gambar III.5. Site Plan

laut yang menjadi tempat kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam
ekosistem terumbu karang dapat hidup lebih dari 300 jenis karang, 2000 jenis ikan
dan berpuluh puluh jenis molluska,crustacea, sponge, algae, lamun dan biota
lainnya.
Sejalan dengan tingginya potensi keindahan alam di Indonesia yang secara
langsung berdampak pada meningkatnya pariwisata dan devisa Negara. Kegiatan
pariwisata tersebut membawa pula dampak buruk bagi lingkungan dengan
banyaknya aktivitas wisatawan. Di mana aktivitas tersebut memiliki
kecenderungan mematikan ekosistem terumbu karang.
Menurut Ministery of State for Environment dalam [2], luas terumbu
karang di Indonesia ± 5000 km² diperkirakan hanya 7 % terumbu karang yang
kondisinya sangat baik, 33 % baik, 46 % rusak, dan 15 % dalam kondisi sangat
kritis, sedangkan menurut Moosa dan Suharsono, secara umum kondisi terumbu

59
karang di kawasan Indonesia bagian timur dari 31 lokasi hanya 9,80 % dalam
kondisi sangat baik, 29,55 % dalam kondisi baik, 29,55 % kondisi sedang dan
sisanya 32,74 % dalam kondisi sangat buruk

Gambar III.6 Sirkulasi pengguna Gambar III.7 Eksplorasi Zoning Site Plan

Gambar III.8 Eksplorasi Biomorfik Gambar III.9 Eksplorasi tatanan massa

Di Taman Nasional Karimunjawa, Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011


terdapat beberapa aktivitas pariwisata yang kurang memiliki tanggung jawab dan
dapat merusak lingkungan. Beberapa contohnya, wisatawan diperkenankan untuk
mengambil foto di bawah laut dengan gaya memegang terumbu karang, selain itu
wisatawan juga diperbolehkan untuk memberi makanan kepada ikan-ikan laut
yang bertujuan untuk memanggil ikan-ikan tersebut agar dapat difoto. Ada
kekhawatiran bahwa di objek-objek wisata bahari lain di Indonesia, khususnya
pada kawasan konservasi atau taman nasional, terdapat indikasi yang sama
terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pariwisata.
Segala aktivitas atau kegiatan wisata, khususnya kegiatan wisata bahari
yang tidak bertanggungjawab juga dapat mengancam kelestarian hidup makhluk

60
hidup laut dan lebih jauh lagi dapat merusak objek wisata itu sendiri. Ancaman
terhadap kelangsungan hidup terumbu karang, mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang besar. Terumbu karang yang merupakan sentral dari ekosistem
laut sangat mempengaruhi kehidupan di laut. Komposisi oksigen di laut menjadi
berkurang. Banyak biota laut, baik hewan maupun tumbuhan akan ikut musnah
jika terumbu karang menjadi rusak. Selain itu, di daerah-daerah pesisir pantai
akan mudah terjadi abrasi, mengakibatkan perubahan lingkungan yang drastis dan
membuat tidak adanya perlindungan terhadap daerah pantai. Berbagai pencemaran
yang terjadi bukan hanya merusak laut tapi juga mengancam kesehatan manusia.
Untuk itu diperlukan suatu perancangan arsitektur yang bersifat ekologis dan
mengedukasi wisatawan.
Fasilitas tersebut dapat berupa suatu eco-resort yang dirancang untuk
menjadi suatu destinasi wisata bahari dengan wawasan eko-wisata, sehingga
wisatawan dapat tetap menikmati keindahan alam tanpa kekhawatiran adanya
indikasi pengrusakan terumbu karang pada kawasan tersebut.

A. Pendekatan Desain
Konsep perancangan resort melalui pendekatan eco-design ini merupakan
pengembangan resort yang memanfaatkan kondisi kekayaan alam tanpa
adanya indikasi pengrusakan lingkungan. Penggunaan pendekatan ini
secara langsung mengajak pengunjung resort, staff resort dan penduduk
lokal sekitar untuk bertanggung jawab terhadap alam dalam melestarikan
lingkungan dengan memberikan pengalaman pribadi dan meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan.
Pada penerapannya eco-design membentuk resort yang mampu
mewadahi kebutuhan eco-tourist dengan bentuk ruang yang memberikan
pengalaman dalam hal environtment awareness, selain itu desain pada
resort dapat menerapkan sustainable development dan green architecture
dalam pembangunan maupun pengembangan resort.

61
Gambar III.10 Tampak depan Cottage Gambar III.11 Perspektif cottage

Gambar III.12 Skema konstruksi Gambar III.13 potongan cottage dan


penerapan konsep ekologis

Gambar III.14 Tampak samping cottage Gambar III.15 Material cottage

B. Proses Desain
Pencarian fakta diambil dari fenomena yang terjadi pada suatu lokasi,
yaitu kerusakan terumbu karang akibat aktivitas manusia. Kemudian
penentuan isu dapat difokuskan pada lokasi lahan yang diambil, yaitu
Pulau Menjangan Kecil Karimunjawa. Dari penentuan isu tersebut, dapat
ditetapkan tujuan yang ingin dicapai dari permasalahan yang ada di Pulau
Menjangan Kecil Karimunjawa, seperti mengurangi dampak kerusakan
yang terjadi pada terumbu karang yaitu dengan mendirikan suatu
bangunan yang didesain secara ekologis di mana bangunan tersebut

62
memberi respon arsitektural terhadap permasalahan yang ada serta dapat
menumbuhkan kepekaan terhadap kepedulian lingkungan sehingga
megurangi aktivitas pengrusakan terhadap terumbu karang. Dalam
mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa kebutuhan tampilan dalam
sebuah rancangan yaitu merancang resort yang mampu meningkatkan
kepekaan lingkungan pada wisatawan khususnya para pemerhati
lingkungan. Dengan demikian dapat muncul konsep rancang berupa eco-
tourist resort.
C. Metode Desain
Arsitektur biomorfik merupakan salah satu pemaknaan dari
arsitektur organik. Dalam dunia arsitektur, arsitektur biomorfik muncul
dari pemikiran akan pentingnya berorientasi ke alam beserta
lingkungannya, yang kemudian melahirkan suatu aliran baru, yakni aliran
biotektur (arsitektur biologi). Aliran ini berpendapat bahwa alam sendiri
adalah konstruksi yang ideal dalam arsitektur. Kemudian aliran biotektur
berkembang menjadi arsitektur biomorfik dimana keadaan alam dapat di
manfaatkan sebagai contoh desain untuk bangunan yang menggunakan
prinsip struktur dan motif dari alam.
Biomorfik menekankan pada proses terbentuknya dan
pembentukan wujud-wujud arsitektural. Peter Collins menekankan pada
hakekat-hakekat pengibaratan biologikal atau lebih khusus pada
kesejajaran yang ada antara organisme- organisme yang ada di alam
dengan arsitektur, kemudian disajikan pula ketidaksejajaran antara
organisme di alam dengan arsitektur. Dalam proses pembentukan ada dua
ibaratan biologikal, yaitu: Organik dan Biomorfik. Keduanya memberikan
penekanan pada proses yang dijalani oleh suatu organisme di alam yang
hidup.
Dalam organisme yang hidup ada unsur yang menandai
kehidupannya, yaitu:
1. Memiliki struktur susunan yang teratur dan tertentu.

63
2. Pentautan antara struktur itu dan bentuk atau wujud organisme
dalam fungsi organisme (Structure, form, function).
3. Function, Life Form within (Kaitan fungsi dan kehidupan).

Gambar III.16 Ilustrasi ruang dalam. Gambar III.17 Ilustrasi perspektif.

Gambar III.18 ilustrasi view teras. Gambar III.19 Ilustrasi View gerbang
resort.
Hasli dan eksplorasi
a. Konsep gubahan massa
Desain Perancangan Eco Resort Tepi Pantai Kep. Karimunjawa ini
menggunakan metode arsitektur biomorfik yang mendasari bentukkan dari
alam dan makhluk hidup. Oleh karena itu, bentuk tatanan massa bangunan
pada perancangan mengadaptasi dari bentuk kerang.
b. Konsep arsitejtur tropis
Arsitektur tropis merupakan arsitektur yang berada di daerah
tropis. Kep. Karimunjawa berada pada area beriklim tropis yang
memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap bentuk bangunan.
Kondisi iklim seperti temperatur udara, radiasi matahari, angin,
kelembaban, serta curah hujan, mempengaruhi desain.
Berikut ciri-ciri dari penerapan arsitektur tropis:
 Memiliki atap dengan bubungan tinggi

64
 Sistem rumah panggung
 Menggunakan material alam
 Mempunyai lubang untuk ventilasi secara silang
 Mempunyai tritisan / overstek atap
c. Orientasi bangunan
Orientasi bangunan beriklim tropis dipengaruhi arah edar matahari,
yaitu selatan-utara dengan bangunan yang berada di barat-timur [3].
Sedangkan orientasi bangunan terhadap arah angin harus tegak lurus
terhadap arah datangnya angin.
Namun pada keadaan existing, orientasi yang baik untuk
memanfaatkan view potensial pantai berlawanan dengan orientasi
matahari. Oleh karena perancangan merupakan bangunan komersial yang
memberikan kenyamanan dan memanjakan mata pengguna maka view ke
arah laut dipilih sebagai view utama dalam daya tarik yang ditawarkan
dari perancangan resort.
d. Tatanan Massa Bangunan
Pada perancangan dengan pendekatan ekologis, kenyamanan
termal menjadi peran yang penting. Dengan penataan massa yang tepat,
kenyamanan termal dapat dicapai dengan memaksimalkan aliran angin
yang masuk ke dalam bangunan [4]. Pola tatanan massa yang tepat untuk
resort adalah tatanan cluster.
Di mana pola tatanan cluster akan memberikan banyak sisi
bangunan yang dilewati aliran angin dan sirkulasi angin silang yang cukup
baik.

e. Material bangunan
Penggunaan material pada perancangan erat kaitannya dengan
tujuan hemat energi dan ramah lingkungan. Untuk itu digunakan material
hijau atau material ramah lingkungan. Prinsip material ekologis yaitu [5],
 Renewable resources (sumber daya yang terbarukan).
 Low energy process (diproses dengan sedikit energi)

65
 Local ability (diproduksi di daerah tersebut)
 Recycle content (dapat didaur ulang)
 Remanufacture (dapat diproduksi kembali)
Dengan demikian material yang digunakan dalam perancangan
adalah kayu kelapa sebagai material keseluruhan bangunan. Dan
dikombinasikan dengan material alam yaitu grass block, paving block,
paving stone, pasir pantai. Sesuai dengan fungsi kebutuhan bangunan.

Gambar III.20 Ilustrasi View resort. Gambar III.21 Ilustrasi View taman

III.3 Kesimpulan Studi Banding Arsitektur Eklogis


Tabel III.3 Kesimpulan Studi Banding
Kesimpulan & Penerapan
Lokasi/site Konsep Saran

di Kota sungguminasa • Rencana perancangan • Dengan dilakukannya


Kabupaten Gowa, kawasan ini akan di penataan kawasan ini
terutama permukiman di bangun sesuai lokasi diharapkan dapat
sekitar tanggul Sungai yang ditentukan RTRW memecahkan masalah
Je’neberang tepatnya dan RTBL dalam perda kekumuhan yang terjadi
sekitar Jl.Syamsuddin kab. Gowa no.4 tahun di lokasi perencanaan.
Tunru RW 02 Kelurahan 2014. • Memanfaatkan energi
Sungguminasa • Upaya menerapkan yang di sediakan oleh
penekanan arsitektur alam sekitar agar dapat
ekologis pada mengurangi penggunaan
perancangan penataan listrik yang dapat
kawasan baik dari merugikan.

66
bentuk fisik maupun • Mengoptimalkan
dari segi non fisik penggunaan energi
• Dengan demikian objek tanpa
rancangan akan membatasi/mengubah
memiliki unsur-unsur fungsi dasarnya.
Biomorfik.

67

Anda mungkin juga menyukai