SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakaan bahwa tesis Kajian Data Jumlah Kasus Baru
Kusta di Pulau Jawa Menggunakan Pemodelan Linear Terampat dan Spasial adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Data jumlah kasus baru kusta merupakan data cacah non negatif. Salah satu
metode klasik yang digunakan untuk menganalisis data cacah adalah regresi
Poisson. Namun apabila pada data respon yang diamati ditemukan adanya kondisi
overdispersi (pada kasus ini, nilai ragam lebih besar dari rataan), maka regresi
Poisson tidak tepat lagi untuk diterapkan. Teknik analisis regresi yang dapat
diterapkan untuk mengatasi masalah overdispersi diantaranya yaitu regresi
binomial negatif.
Metode regresi binomial negatif kurang sesuai jika diterapkan pada data
spasial yang menyebabkan perbedaan karakteristik antara wilayah satu dengan
wilayah lainnya. Oleh karena itu diperlukan teknik analisis lain untuk mengatasi
kondisi overdispersi dan mencakup pengaruh spasial. Metode Regresi Poisson
Terboboti Geografis (RPTG) adalah salah satu metode yang dikembangkan untuk
analisis data dengan memperhitungkan faktor spasial. Peubah respon yang diteliti
merupakan peubah acak diskrit yang berdistribusi Poisson dan memperhatikan
faktor spasial, maka hubungan antara peubah respon dalam hal ini jumlah kasus
baru kusta dan peubah penjelas dapat diketahui dengan metode tersebut sehingga
dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus
baru kusta di tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa. Sebagai perbandingan, digunakan
pula metode Geographically Weighted Negative Binomial Regression (Regresi
Binomial Negatif Terboboti Geografis/RBNTG) untuk penanganan overdispersi
dan pengaruh spasial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji data jumlah kasus baru kusta di Pulau
Jawa tahun 2017 menggunakan pemodelan linear terampat (yakni model regresi
Poisson dan regresi binomial negatif) dan pemodelan spasial (RPTG dan RBNTG);
membandingkan hasil dari keempat pemodelan tersebut untuk memperoleh
pemodelan terbaik; dan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus
baru kusta di Pulau Jawa berdasarkan pemodelan terbaik yang diperoleh. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Profil Kesehatan Tahun 2017
dari Dinas Kesehatan seluruh provinsi di Pulau Jawa dan publikasi Daerah Dalam
Angka Tahun 2018 dari BPS Provinsi di Pulau Jawa. Unit pengamatan yang
digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa yang ada sebanyak 119
kabupaten/kota. Peubah respon yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah
kasus baru kusta pada tahun 2017. Peubah penjelas yang diamati yaitu jumlah
penduduk, persentase balita yang diimunisasi BCG, persentase rumah tangga
berperilaku hidup bersih dan sehat, persentase rumah sehat, persentase jumlah
penduduk dengan akses air minum layak, persentase jumlah penduduk dengan
sanitasi layak, dan rata-rata tenaga kesehatan per desa/kelurahan.
Dari hasil eksplorasi data diperoleh nilai jangkauan dan ragam yang besar
pada data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa mengindikasikan jumlah kasus
baru kusta yang beragam pada tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa. Hubungan antara
jumlah kasus baru kusta dan faktor-faktor yang memengaruhinya dianalisis
menggunakan analisis regresi Poisson. Pemeriksaan overdispersi pada data jumlah
kasus baru kusta dilakukan dengan uji dispersi menghasilkan nilai sebesar 51.61
yang lebih dari 1 menunjukkan adanya overdispersi. Keberadaan overdispersi
dalam model harus diatasi, salah satunya dengan menggunakan regresi binomial
negatif. Nilai AIC dan BIC dari model regresi binomial negatif jauh lebih rendah
dibandingkan model regresi Poisson. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi
binomial negatif lebih baik daripada model regresi Poisson. Namun masih ada
masalah keragaman spasial yang belum diatasi. Adanya keragaman spasial antara
satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya dapat dilihat dengan
pengujian Breusch-Pagan. Dari hasil pengolahan uji ini diperoleh nilai statistik BP
sebesar 28.409 dengan nilai p sebesar 1.854×10-4 pada taraf nyata 5% sehingga
disimpulkan bahwa ada keragaman spasial antar wilayah.
Hasil pemodelan dengan RBNTG diperoleh nilai koefisien dan peubah yang
signifikan berpengaruh terhadap kasus baru kusta berbeda-beda tiap kabupaten/kota
di Pulau Jawa. Pemodelan RBNTG menghasilkan 14 kelompok kabupaten/kota
berdasarkan kesamaan peubah penjelas yang signifikan. Sedangkan pada
pemodelan dengan menggunakan pendekatan RPTG menghasilkan 6 kelompok
kabupaten/kota yang memiliki kesamaan peubah penjelas yang signifikan.
Penilaian terhadap model dilakukan berdasarkan nilai AIC dan BIC terkecil. Model
yang lebih baik diterapkan untuk data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa adalah
model RBNTG karena mempunyai nilai AIC dan BIC yang paling kecil.
YOPI ARIESIA ULFA. Study of the Number of New Cases of Leprosy Data in
Java using the Generalized Linear Models and Spatial Modeling. Supervised by
AGUS MOHAMAD SOLEH and BAGUS SARTONO.
The number of new cases of leprosy data are non-negative enumeration data.
One of the classic methods used to analyze the count data is Poisson regression.
However, if the observed response data is found to have an overdispersion condition
(in this case, the variance value is greater than the mean), then Poisson regression
is no longer appropriate to be applied. Regression analysis techniques that can be
applied to overcome the overdispersion problem include negative binomial
regression (Mann et al. 2014).
Negative binomial regression methods are less appropriate when applied to
spatial data which causes differences in characteristics between regions. Another
analytical technique is needed to overcome the overdispersion conditions and
include spatial influence. Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR) is
one of the methods developed for data analysis by taking into account spatial
factors. The response variable studied was a disktrit random variable that is
distributed with Poisson and pay attention to spatial factors, then the relationship
between the response variables in this case the number of new cases of leprosy and
explanatory variables can be identified by this method so that the factors that can
significantly influence the number of new cases of leprosy can be identified by
explaining the method in each district / city on the island of Java. As a comparison,
the Geographically Weighted Negative Binomial Regression (GWNBR) method is
used for handling overdispersion and spatial effects.
This study aims to examine data on the number of new cases of leprosy in
Java in 2017 using linearly generalized linear models (Poisson regression model
and negative binomial regression) and spatial modeling (GWPR and GWNBR);
compare the results of the four modeling to get the best modeling; and know the
factors that influence the number of new cases of leprosy in Java based on the best
modeling obtained. The data sources used in this study came from the Health Profile
of 2017 from the Health Offices of all provinces in Java and the publication of
Regions in Figures 2018 from BPS Provinces in Java. The observation units used
were 119 regencies/munipalities in Java. The response variables used in this study
were the number of new cases of leprosy in 2017. Observing explanatory variables
were the population, the percentage of children under five immunized with BCG,
the percentage of households behaving clean and healthy, the percentage of healthy
homes, the percentage of the population with access to drinking water feasible, the
percentage of the population with proper sanitation, and the average health worker
per village.
From the results of data exploration, it is obtained a large range and variety
value in the data on the number of new cases of leprosy in Java indicating the
number of new cases of leprosy that vary in each regencies/munipalities in Java.
The relationship between the number of new cases of leprosy and the factors that
influence it was analyzed using Poisson regression analysis. Overdispersion
examination on data on the number of new cases of leprosy were carried out by
dispersion test resulting in a value of 51.61 which is more than 1 indicating the
presence of overdispersion. The existence of overdispersion in the model must be
overcome, one of them by using negative binomial regression. The processing
results obtained by the ratio of the value of the deviance with the degree of freedom
is 1.24. The AIC and BIC values of the negative binomial regression model are
much lower than the Poisson regression model. This shows that the negative
binomial regression model is better than the Poisson regression model. But there
are still issues of spatial diversity that have not been addressed. The existence of
spatial diversity between one observation point with another observation point can
be seen with the Breusch-Pagan test. From the results of this test processing, it is
obtained the BP statistical value of 28.409 with a p value of 1.854 × 10-4 at 5%
significance level so that it is concluded that there is spatial diversity between
regions.
The results of modeling with the RBNTG obtained coefficient values and
variables that significantly affect the new cases of leprosy vary by district / city in
Java. RBNTG modeling produced 14 groups of districts / cities based on the
similarity of significant explanatory variables. Whereas the modeling using the
RPTG approach produced 6 groups of districts / cities that had significant similarity
in explanatory variables. The assessment of the model is based on the smallest AIC
and BIC values. The smaller AIC and BIC values indicate an increasingly suitable
model. A better model applied for data on the number of new cases of leprosy in
Java is the RBNTG model because it has the smallest AIC and BIC values.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN DATA JUMLAH KASUS BARU KUSTA DI PULAU
JAWA MENGGUNAKAN PEMODELAN LINEAR
TERAMPAT DAN SPASIAL
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Statistika Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PRAKATA
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Regresi Poisson 3
Overdispersi 3
Regresi Binomial Negatif 4
Efek Spasial 5
Matriks Pembobot Spasial 6
Bandwidth (lebar jendela) 7
Regresi Poisson Terboboti Geografis 8
Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis 8
Kriteria Kebaikan Model 9
3 METODE 9
Data 9
Prosedur Analisis Data 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Deskripsi Data 11
Pemeriksaan Multikolinearitas 15
Pemodelan Regresi Poisson 16
Pemeriksaan Overdispersi 17
Pemodelan Regresi Binomial Negatif 17
Pengujian Efek Spasial 18
Matriks Pembobot Spasial 19
Pemodelan Regresi Poisson Terboboti Geografis 19
Pemodelan Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis 21
Pemilihan Model Terbaik 23
5 SIMPULAN 24
DAFTAR PUSTAKA 24
LAMPIRAN 27
RIWAYAT HIDUP 38
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1. Jumlah kasus baru kusta menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2017 12
2. Pengelompokan kabupaten/kota ke dalam kelas rendah dan tinggi 13
3. Diagram pencar jumlah kasus baru kusta dan faktor-faktor yang
memengaruhinya 15
4. Pengelompokan kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kesamaan
peubah peubah yang signifikan hasil pemodelan RPTG 21
5. Pengelompokan kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kesamaan
peubah penjelas yang signifikan hasil pemodelan RBNTG 23
6. Kriteria pemilihan model terbaik 23
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Istilah kusta berasal dari Bahasa Sansekerta yakni kustha yang memiliki arti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta, atau sering juga disebut
lepra, memiliki nama lain Morbus Hansen sesuai dengan nama yang menemukan
kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.
Penyakit ini menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya kulit dan saraf. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
Berdasarkan Weekly Epidemiological Record WHO pada September 2017,
jumlah kasus baru kusta di dunia paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara,
diikuti regional Amerika dan Afrika. Indonesia telah mencapai status eliminasi
kusta yaitu prevalensi kusta <1 per 10 000 penduduk pada tahun 2000. Angka
prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0.70 kasus per 10 ribu
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6.08 kasus per 100 ribu
penduduk (Kementerian Kesehatan RI 2018).
Data dari Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI menyebutkan bahwa pada tahun 2017 jumlah kasus baru kusta yang
muncul di Pulau Jawa merupakan yang paling tinggi di Indonesia apabila
dibandingkan dengan jumlah kejadian di pulau-pulau lainnya (Pusdatin
Kementerian Kesehatan RI 2018). Untuk itu perlu untuk ditelaah masalah faktor-
faktor apa saja yang memengaruhi munculnya kasus baru kusta di Pulau Jawa
(meliputi seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa yakni DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Banten).
Teknik analisis yang sesuai dibutuhkan untuk meneliti data kasus baru kusta.
Ketika peubah respon berupa data cacahan yaitu data yang nilainya non negatif dan
menyatakan banyaknya kejadian dalam interval waktu, ruang, atau volume tertentu,
analisis regresi yang biasa digunakan adalah analisis Regresi Poisson (Cameron dan
Trivedi 2013). Beberapa asumsi yang harus dipenuhi jika hendak menggunakan
model Regresi Poisson yaitu peubah respon merupakan data cacahan dan asumsi
kedua yaitu terpenuhinya kondisi equidispersi atau rata-rata peubah respon harus
sama dengan ragamnya (Dobson dan Barnett 2002). Pada umumnya sering ditemui
data cacahan dengan nilai ragam lebih besar dibandingkan rataannya ata disebut
dengan overdispersi (McCullagh dan Nelder 1989).
Pendekatan yang dapat digunakan untuk memodelkan overdispersi
sehubungan dengan model regresi Poisson yaitu dengan memuat parameter
tambahan yang diasumsikan berasal dari distribusi Gamma di dalam rataan model
Poisson untuk mengakomodasi kelebihan ragam dari pengamatan (McCullagh dan
Nelder 1989). Dari pendekatan ini diperoleh distribusi campuran Poisson-Gamma
yang mirip dengan fungsi distribusi binomial negatif. Model regresi binomial
negatif dapat mengatasi masalah overdispersi karena tidak mengharuskan nilai
rataan sama dengan nilai ragam seperti pada model regresi Poisson.
Regresi binomial negatif akan menghasilkan dugaan parameter yang bersifat
global yang berlaku untuk semua wilayah dimana data diambil. Pada kenyataannya,
kondisi geografis, sosial budaya dan ekonomi tentunya akan berbeda antar wilayah
2
yang satu dengan yang wilayah yang lain. Hal ini menggambarkan adanya efek
keragaman spasial antar wilayah. Pengembangan model regresi yang
memperhatikan adanya faktor keragaman spasial yaitu regresi dengan pembobotan
geografis (Geographically Weighted Regression/GWR) (Fotheringham et al.
2002). Dengan diberikan pembobotan berdasarkan jarak satu wilayah pengamatan
dengan wilayah pengamatan yang lainnya maka model ini akan menghasilkan
dugaan parameter lokal yang berbeda-beda di tiap wilayah.
Pada penelitian ini akan digunakan metode regresi yang mempertimbangkan efek
spasial data. Salah satu metide yang digunakan adalah metode Regresi Poisson
Terboboti Geografis (RPTG). Peubah respon yang diteliti merupakan peubah acak
diskrit yang berdistribusi Poisson dan memperhatikan faktor spasial, maka hubungan
antara peubah respon dalam hal ini jumlah kasus baru kusta dan peubah penjelas dapat
diketahi dengan metode tersebut sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang signifikan
terhadap jumlah kasus baru kusta di tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa. Metode lain
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Geographically Weighted Negative
Binomial Regression atau Regresi Binomial negatif Terboboti Geografis (RBNTG).
Metode RBNTG merupakan pengembangan dari regresi binomial negatif yang
digunakan untuk mengatasi masalah kasus overdispersi pada regresi Poisson dan
ada penambahan efek spasial.
Beberapa penelitian yang menggunakan RBNTG ini antara lain Afri (2012) yang
meneliti faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah kematian bayi tahun 2008 di
Jawa Timur dengan pembobot kernel adaptif kuadrat ganda dengan hasil
mengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Timur menjadi 16 kelompok berdasarkan
faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap kematian bayi. Widodo (2013)
memodelkan kasus balita gizi buruk di Jawa Timur dengan RBNTG dengan hasil
kabupaten/kota dikelompokkan menjadi sepuluh dengan peubah penjelas yang
berbeda-beda di setiap kelompoknya. Selain itu ada pula penelitian Ramadhan (2016)
yang menggunakan RBNTG pada data angka kematian bayi tahun 2012 di Pulau
Jawa yang menghasilkan lima kelompok kabupaten/kota sepulau Jawa dengan
peubah penjelas yang berbeda-beda di setiap kelompoknya.
Sejumlah penelitian tentang kusta yang telah dilakukan antara lain Aini
(2013) yang menganalisis data penderita kusta kering tahun 2012 di beberapa
kabupaten/kota di Jawa Barat dengan pendekatan Geographically Weighted
Poisson Regression. Dzikrina dan Purnami (2013) memodelkan angka prevalensi
kusta di Jawa Timur dengan pendekatan Geographically Weighted Regression.
Aditya (2014) menggunakan robust regresi data panel untuk memprediksi kasus
kusta pada tahun 2012-2016 di Provinsi Jawa Barat.
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Regresi Poisson
Overdispersi
Regresi binomial negatif adalah salah satu alternatif solusi untuk mengatasi
masalah overdispersi pada data cacah yang didasarkan pada model campuran
Poisson-Gamma (Hardin et al. 2007). Peubah 𝑌𝑖 diasumsikan berdistribusi binomial
negatif yang dihasilkan dari distribusi campuran Poisson-Gamma, dimana
𝑦|𝜇~𝑃𝑜𝑖𝑠𝑠𝑜𝑛(𝜇) dan 𝜇~𝐺𝑎𝑚𝑚𝑎(𝛼, 𝛽). Fungsi kepekatan peluang Binomial
negatif yang dihasilkan dari distribusi campuran Poisson-Gamma adalah:
Γ(𝑦+𝛼) 1 𝛼 1 𝑦
𝑓(𝑦; 𝛼, 𝛽) = ( ) (1 − 1+𝛽) , 𝑦 = 0,1,2, … (6)
𝑦!Γ(𝛼) 1+𝛽
Nilai tengah dan ragamnya adalah 𝐸(𝑌) = 𝛼𝛽 dan 𝑉(𝑌) = 𝛼𝛽 + 𝛼𝛽 2.
Untuk membentuk suatu model regresi pada distribusi binomial negatif, maka
nilai parameter dari distribusi campuran Poisson-Gamma dinyatakan dalam bentuk
1
𝜇 = 𝛼𝛽 dan 𝑘 = 𝛼 sehingga diperoleh:
1 1
Γ(𝑦+ ) 1 𝑘𝜇 𝑦
𝑘 𝑘
𝑓(𝑦; 𝜇, 𝑘) = 1 (1+𝑘𝜇) (1+𝑘𝜇) , 𝑦 = 0,1,2, … (7)
𝑦!Γ( )
𝑘
dengan nilai tengah adalah 𝜇 dan ragam 𝜇 + 𝑘𝜇 2, 𝑘 adalah parameter dispersi.
Jika 𝑘 = 0, distribusi binomial negatif memiliki nilai tengah yang sama
nilainya dengan ragam atau 𝐸(𝑌𝑖 ) = 𝑉𝑎𝑟(𝑌𝑖 ) = 𝜇 dan akan menjadi seperti
distribusi Poisson. Namun jika 𝑘 > 0 maka nilai ragam akan melebihi nilai
tengahnya atau 𝑉𝑎𝑟(𝑌𝑖 ) > 𝐸(𝑌𝑖 ). Maka dari itu model binomial negatif terlihat
dapat mengatasi data cacah yang terindikasi kasus overdispersi.
Regresi binomial negatif memiliki model yang sama dengan regresi Poisson.
Model regresi binomial negatif diformulasikan sebagai berikut:
′
𝜇 𝑖 = 𝑒 𝒙𝒊 𝜷
Dalam generalized linear model (GLM), terdapat sebuah fungsi 𝑔 yang
menghubungkan rata-rata dari peubah respon dengan sebuah prediktor linear, yaitu:
𝑔(𝜇𝑖 ) = 𝜂𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑥𝑘
Fungsi 𝑔 disebut fungsi penghubung log.
Pendugaan parameter pada model regresi binomial negatif menggunakan
metode Pendugaan Kemungkinan Maksimum, yaitu dengan memaksimumkan
fungsi likelihood dari distribusi binomial negatif. Fungsi likelihood dari distribusi
binomial negatif adalah:
𝑛 𝛼𝜇 1 1
ln 𝐿(𝑦; 𝜇, 𝛼) = ∑ 𝑦𝑖 𝑙𝑛 ( ) − 𝑙𝑛(1 + 𝛼𝜇) + 𝑙𝑛Γ (𝑦𝑖 + )
𝑖=1 1 + 𝛼𝜇 𝛼 𝛼
1
−𝑙𝑛Γ(𝑦𝑖 + 1) − 𝑙𝑛Γ (𝛼) (8)
5
Efek Spasial
jarak berjauhan atau tersebar secara renggang, bandwidth yang diperoleh semakin
luas (Dwinata 2012).
Beberapa jenis fungsi kernel tetap adalah:
1. Fungsi kernel tetap Gaussian
1 𝑑 2
𝑤𝑖𝑗 = 𝑒𝑥𝑝 (− 2 ( 𝑏𝑖𝑗 ) ) (13)
2. Fungsi kernel tetap kuadrat ganda
𝑑 2 2
𝑖𝑗
𝑤𝑖𝑗 = {(1 − ( 𝑏 ) ) , 𝑗𝑖𝑘𝑎𝑑𝑖𝑗 < 𝑏 (14)
0, 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
Sama halnya dengan fungsi kernel tetap, fungsi kernel adaptif juga memiliki
beberapa jenis fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi kernel adaptif Gaussian
2
1 𝑑𝑖𝑗
𝑤𝑖𝑗 = 𝑒𝑥𝑝 (− 2 (𝑏 ) ) (15)
𝑖(𝑞)
menggunakan teknik Golden Section Search. Teknik ini dilakukan secara iterasi
dengan mengevaluasi CV pada interval jarak minimum dan maksimum antar lokasi
pengamatan sehingga diperoleh nilai CV minimum.
3 METODE
Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Profil
Kesehatan Tahun 2017 dari Dinas Kesehatan seluruh provinsi di Pulau Jawa dan
publikasi Daerah Dalam Angka Tahun 2018 dari BPS Provinsi di Pulau Jawa. Unit
10
pengamatan yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa yang ada
sebanyak 119 kabupaten/kota. Peubah yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
atas tujuh peubah penjelas dan satu peubah respon. Peubah-peubah yang digunakan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian
Peubah Satuan Sumber Pustaka
Jumlah kasus baru kusta (Y) Kasus -
Jumlah penduduk (X1) Ribu Orang Afridina et al (2017)
Persentase balita yang diimunisasi BCG Persen Susanti dan Azam
(X2) (2016)
Persentase rumah tangga berperilaku Persen Shovalina dan Atok
hidup bersih dan sehat (X3) (2016)
Persentase rumah sehat (X4) Persen Dzikrina dan Purnami
(2013)
Persentase jumlah penduduk dengan Persen Shovalina dan Atok
akses air minum layak (X5) (2016)
Persentase jumlah penduduk dengan Persen Afridina et al (2017)
sanitasi layak (X6)
Rata-rata tenaga kesehatan (dokter, Orang/desa Afridina et al (2017)
bidan, perawat) per desa/kelurahan (X7)
pengaruhnya jika nilai VIF semakin besar (VIF>5). Akibat dari munculnya
masalah multikolinear ini adalah ragam estimasi menjadi besar.
3. Melakukan pemodelan regresi Poisson, termasuk didalamnya melakukan
pendugaan parameter model dengan metode Pendugaan Kemungkinan
Maksimum, menguji signifikansi parameter model serta menghitung nilai AIC
dan BIC.
4. Melakukan uji dispersi untuk mengidentifikasi overdispersi pada peubah
respon.
5. Melakukan pemodelan regresi binomial negatif termasuk didalamnya
melakukan pendugaan parameter model dengan metode Pendugaan
Kemungkinan Maksimum, menguji signifikansi parameter model serta
menghitung nilai AIC dan BIC.
6. Melakukan uji Breush-Pagan untuk melihat keragaman spasial.
7. Menghitung jarak Euclidean antar lokasi pengamatan berdasarkan posisi
geografis.
8. Menghitung bandwidth optimal untuk setiap lokasi pengamatan dengan
menggunakan kriteria cross validation (CV).
9. Menghitung matriks pembobot dengan menggunakan fungsi kernel adaptive
bisquare.
10. Melakukan pemodelan RPTG yang termasuk didalamnya melakukan
pendugaan parameter model, pengujian signifikansi parameter model, serta
menghitung nilai AIC dan BIC.
11. Melakukan pemodelan RBNTG yang termasuk didalamnya melakukan
pendugaan parameter model, pengujian signifikansi parameter model, serta
menghitung nilai AIC dan BIC.
12. Melakukan pemilihan model terbaik.
Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan R 3.6.2.
Deskripsi Data
Pada tahun 2017, jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa paling banyak terjadi
di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur yakni sebanyak 463 kasus. Disusul Kabupaten
Tangerang, Banten dengan 400 kasus, kemudian Kabupaten Jember, Jawa Timur
dengan 353 kasus, dan Kabupaten Sampang, Jawa Timur dengan 333 kasus. Namun
ada 5 kabupaten/kota yang tidak memiliki kasus baru kusta yakni Kabupaten Kulon
Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta di Provinsi DI Yogyakarta, Kota
Banjar di Jawa Barat serta Kota Madiun di Jawa Timur. Pada Tabel 1 dapat dilihat
bahwa nilai tengah jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa adalah sebesar 76.59 dan
ragam sebesar 9029.26. Hal ini menunjukkan jumlah kasus baru kusta beragam
pada tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Pengelompokan peubah jumlah kasus kusta dilakukan berdasarkan yang
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).
Kemenkes RI mengelompokkan provinsi berdasarkan bebannya menjadi dua
kelompok yaitu beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low
12
burden). Suatu provinsi disebut memiliki beban kusta tinggi jika jumlah kasus baru
kusta di provinsi tersebut >1000 kasus. Namun jika jumlah kasus baru kusta <1000
maka disebut memiliki beban kusta rendah.
Tabel 2 Deskripsi jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa Tahun 2017 dan faktor-
faktor yang memengaruhinya
Peubah Minimum Maksimum Jangkauan Rataan Ragam
Y 0 463 463 76.59 9029.26
X1 23.90 5715.00 5691.10 1229.50 768998.20
X2 60.16 99.46 39.30 92.93 34.94
X3 24.22 97.25 73.03 62.97 257.86
X4 25.08 99.42 74.34 72.90 254.24
X5 49.16 99.56 50.40 77.65 173.29
X6 25.72 97.26 71,54 75.15 218.73
X7 1.98 171.61 169.63 25.99 1226.49
Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur merupakan provinsi
dengan beban kusta tinggi di Pulau Jawa, dengan jumlah kasus baru kusta masing-
masing sebanyak 1994, 1918, dan 3880. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, dan Banten masuk kategori provinsi dengan beban kusta rendah.
Bahkan ada 5 kabupaten/kota yang tidak memiliki kasus baru kusta yakni
Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta di Provinsi DI
Yogyakarta, Kota Banjar di Jawa Barat serta Kota Madiun di Jawa Timur.
4000
3500
3000
Jumlah kasus
2500
2000
1500
1000
500
0
Jabar Jateng Jatim DKI DIY Banten
Gambar 1 Jumlah kasus baru kusta menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2017
Pengelompokan juga dilakukan pada peubah penjelas yang akan digunakan
dalam pemodelan. Setiap peubah penjelas dikelompokkan juga menjadi kelas
rendah dan kelas tinggi. Hasil pengelompokan delapan peubah penjelas ditunjukkan
pada Gambar 2. Pengelompokan peubah jumlah penduduk dilakukan dengan batas
kelas berupa nilai rataan yaitu sebesar 1.23 juta orang. Sebagaimana yang tersaji
dalam Gambar 2 tepatnya dalam batang X1, terlihat bahwa sebagian besar
kabupaten/kota memiliki jumlah penduduk yang tergolong rendah. Hal ini
13
diakibatkan penggunaan nilai rataan sebagai batas kelas, dimana nilai rataan rentan
terhadap adanya pencilan. Peubah jumlah penduduk (X1) memiliki nilai minimum
sebesar 23.90 ribu orang (tepatnya di Kab. Kep. Seribu) dan nilai maksimum
sebesar 5.72 juta orang (tepatnya di Kab. Bogor).
Untuk peubah persentase balita yang telah diimunisasi BCG (X2),
pengelompokan menggunakan batas kelas berupa besaran target yang ditentukan
oleh Kemenkes RI. Pada 2017, Kemenkes RI menargetkan 92% balita di Indonesia
mendapatkan imunisasi BCG. Dalam Gambar 2 menunjukkan bahwa sebagian
besar kabupaten/kota di Pulau Jawa telah memenuhi target tersebut. Nilai rataan
peubah ini pun tergolong tinggi yaitu sebesar 92.93 persen. Diharapkan dengan
tingginya persentase balita yang telah diimunisasi BCG ini akan memberikan
kekebalan komunal terhadap penyakit kusta di kemudian hari, sehingga jumlah
kasus kusta dapat menurun.
100.00
90.00
80.00
70.00
PERSENTASE
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
rendah tinggi
lantai rumah tidak dari tanah. Pengelompokan peubah persentase rumah sehat (X4)
berdasarkan target yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu sebesar 80%.
Sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2 pada batang X4, hanya 36.13%
kabupaten/kota di Pulau Jawa yang telah memenuhi target, sisanya sebesar 63.87%
kabupaten/kota belum mencapai target.
Salah satu target dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs) pada sektor lingkungan hidup adalah memastikan
masyarakat mencapai akses universal air bersih dan sanitasi yang layak. Pemenuhan
kebutuhan air minum di rumah tangga dapat diukur dari akses air minum layak,
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap akses air minum layak, diantaranya
adalah jenis sumber air utama yang digunakan untuk diminum; jenis sumber air
utama yang digunakan untuk memasak, mandi, dan mencuci; dan jarak sumber air
ke penampungan limbah/kotoran/tinja terdekat ≥ 10 meter. Pengelompokan peubah
persentase penduduk yang memiliki akses air bersih (X5) menggunakan batas kelas
berupa target yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu sebesar 80%. Hasilnya
sebanyak 51.26% kabupaten/kota belum mencapai target, sedangkan kabupaten/
kota yang telah berhasil mencapai target sebanyak 48.74%.
Definisi sanitasi menurut WHO merujuk kepada penyediaan sarana dan
pelayanan pembuangan limbah korotan manusia seperti urine dan faeces. Definisi
rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak adalah apabila fasilitas sanitasi
yang digunakan memenuhi syarat kesehatan, antara lain dilengkapi dengan jenis
kloset leher angsa atau plengsengan dengan tutup dan memiliki tempat pembuangan
akhir tinja tangki (septic tank) atau Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL), dan
merupakan fasilitas buang air besar yang digunakan sendiri atau bersama.
Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi layak (jamban
sehat) paling banyak berada di Kota Bekasi dan paling sedikit berada di Kabupaten
Lebak. Pengelompokan peubah persentase penduduk dengan sanitasi layak (X6)
menggunakan batas kelas berupa target yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu
sebesar 70%. Seperti yang ditampilkan dalam Gambar 2 pada batang X6, sebagian
besar (tepatnya sebanyak 73.11%) kabupaten/kota di Pulau Jawa telah berhasil
memenuhi target.
Peubah rataan tenaga kesehatan per desa (X7) menggunakan batas kelas
sebesar 25.99. Pada Gambar 2 nampak bahwa pada batang milik X7 hanya sedikit
kabupaten/kota yang masuk kategori tinggi. Wilayah dengan rataan tenaga
kesehatan paling tinggi adalah Kota Jakarta Utara dan paling kecil ada di Kabupaten
Pandeglang.
Gambar 3 menyajikan diagram pencar dari masing-masing peubah penjelas
yang akan digunakan dalam pemodelan dengan peubah respon jumlah kasus baru
kusta. Dengan melihat diagram tersebut dapat mempermudah dalam menganalisa
bagaimana pola hubungan antara peubah respon dengan masing-masing peubah
penjelas. Dalam Gambar 3 terlihat adanya pola hubungan linear antara peubah
respon yaitu jumlah kasus baru kusta dengan peubah-peubah penjelasnya.
Berdasarkan Gambar 3 juga dapat dilihat bahwa peubah pesentase balita yang
diimunisasi BCG (X2), persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat
(X3), persentase rumah sehat (X4), persentase rumah tangga dengan akses air
minum layak (X5), persentase rumah tangga dengan sanitasi layak (X6), dan rataan
tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7) memiliki sifat hubungan yang negatif
terhadap jumlah kasus baru kusta. Artinya bahwa jika peubah-peubah tersebut
15
nilainya meningkat, maka nilai jumlah kasus baru kusta akan mengalami
penurunan. Namun dari Gambar 3 juga dapat dilihat bahwa ada satu peubah yang
memiliki sifat hubungan yang positif, yaitu peubah jumlah penduduk (X1). Artinya
jika nilai peubah jumlah penduduk meningkat, maka nilai jumlah kasus baru kusta
juga akan ikut meningkat.
Gambar 3 Diagram pencar jumlah kasus baru kusta dan faktor-faktor yang
memengaruhinya
Pemeriksaan Multikolinearitas
peubah penjelas lebih kecil dari 5 (VIF<5) sehingga disimpulkan tidak terjadi
multikolinearitas. Oleh karena itu dalam penelitian ini seluruh peubah penjelas
dapat digunakan dalam kajian pemodelan.
Tabel 3 Nilai koefisien korelasi dan VIF tujuh peubah penjelas
Peubah X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 VIF
X1 1.000 -0.058 -0.151 -0.121 -0.244 -0.231 -0.055 1.090
X2 -0.058 1.000 0.184 0.416 0.209 0.416 0.163 1.333
X3 -0.151 0.184 1.000 0.356 0.150 0.348 0.209 1.251
X4 -0.121 0.416 0.356 1.000 0.198 0.468 0.117 1.471
X5 -0.244 0.209 0.150 0.198 1.000 0.557 0.029 1.498
X6 -0.231 0.416 0.348 0.468 0.557 1.000 0.096 2.005
X7 -0.055 0.163 0.209 0.117 0.029 0.096 1.000 1.065
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai p dari seluruh peubah penjelas lebih
kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh peubah bebas yang
digunakan dalam model yakni X1, X2, X3, X4, X5, X6, dan X7 memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap jumlah kasus baru kusta.
Pemeriksaan Overdispersi
Salah satu asumsi yang harus terpenuhi dalam regresi Poisson adalah kondisi
nilai tengah sama dengan ragam yang disebut ekuidispersi. Namun dari hasil yang
ditampilkan di Tabel 1 bahwa nilai rataan jumlah kasus baru kusta sebesar 76.59
tidak sama dengan nilai ragamnya yaitu sebesar 9029.26, bahkan nilai ragamnya
jauh lebih besar, hal menunjukkan adanya overdispersi pada data. Di samping itu
besaran nilai uji dispersi adalah sebesar 541.61 yang lebih dari 1 maka disimpulkan
adanya kondisi overdispersi. Nilai residual deviance sebesar 5975.60 dengan
derajat bebas 111 sehingga rasio nilai deviance dengan derajat bebasnya bernilai
53.83. Nilai tersebut lebih besar dari 1 yang artinya data jumlah kasus baru kusta
mengalami overdispersi. Dengan demikian model regresi Poisson tidak sesuai
untuk diterapkan karena menghasilkan dugaan parameter yang tidak efisien.
Hasil pengujian parameter secara parsial dapat dilihat dari nilai p. Dari Tabel
5 diketahui bahwa dari tujuh peubah penjelas, terdapat tiga peubah (yaitu jumlah
penduduk (X1), persentase balita yang diimunisasi BCG (X2), dan persentase rataan
tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7)) yang memiliki nilai p yang lebih kecil
dari 5% yang berarti ketiga peubah penjelas tersebut memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap peubah respon. Sedangkan empat peubah penjelas yang lain
yakni X3, X4, X6, X7, dan X8 memiliki nilai p yang lebih besar dari 5%, sehingga
disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini belum memiliki
cukup bukti untuk menyatakan keempat peubah tersebut memberi pengaruh yang
nyata terhadap jumlah kasus baru kusta.
Dari Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa nilai galat baku dari model regresi
binomial negatif tidak sekecil nilai galat baku dari model regresi Poisson (Tabel 4).
Adanya overdispersi pada data jumlah kasus kusta menyebabkan nilai galat baku
menjadikan lebih kecil (underestimate). Selain itu, nilai residual deviance sebesar
138.27 dengan derajat bebas 111 sehingga rasio nilai deviance dengan derajat
bebasnya bernilai 1.24. Nilai ini mendekati nilai 1 dan jauh lebih kecil dibandingkan
dengan nilai rasio dispersi dari model regresi Poisson yang sebesar 57.09. Hal ini
menunjukkan bahwa model regresi binomial negatif lebih cocok diterapkan pada
data jumlah kasus baru kusta daripada model regresi Poisson.
Berdasarkan hasil pengujian efek spasial pada data jumlah kasus baru kusta
di seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa didapatkan hasil bahwa terdapat
dependensi spasial dan terdapat keragaman spasial, sehingga analisis dapat
geografis dilanjutkan dengan pemodelan berbasis secara RPTG dan RBNTG.
X1, X2, X3, X4, Gunung Kidul, Bantul, Yogyakarta, Kulon Progo, Purworejo,
X5, X6 Sleman, Klaten, Sukoharjo, Kebumen, Kota Surakarta,
Boyolali, Kota Magelang, Magelang, Wonosobo, Sragen, Kota
Salatiga, Banjarnegara, Temanggung, Semarang, Grobogan,
Pekalongan, Batang, Kota Semarang, Kendal, Demak, Kota
Pekalongan, Kudus, Pati, Jepara
X1, X2, X3, X5, Malang, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Pacitan, Lumajang,
X6 Kota Blitar, Kota Malang, Ponorogo, Wonogiri, Kota Batu,
Kota Kediri, Kediri, Kota Probolinggo, Pasuruan, Magetan,
Kota Pasuruan, Kota Madiun, Madiun, Karanganyar,
Mojokerto, Nganjuk, Jombang, Kota Mojokerto, Sidoarjo,
Ngawi, Kota Surabaya, Bojonegoro, Gresik, Lamongan, Blora,
Bangkalan, Tuban, Rembang
X1, X2, X3, X4, Pangandaran, Tasikmalaya, Cilacap, Banyumas, Garut, Kota
X6, X7 Banjar, Kota Tasikmalaya, Cianjur, Purbalingga, Ciamis,
Bandung, Sukabumi, Brebes, Pemalang, Tegal, Kuningan,
Kota Sukabumi, Kota Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi,
Kota Tegal, Sumedang, Majalengka, Kota Cirebon, Cirebon,
Purwakarta, Kota Bogor, Subang, Indramayu, Kota Depok,
Kota Bekasi, Jakarta Selatan, Karawang, Bekasi, Jakarta
Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Utara
bersih (X5), dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7) memiliki tanda
koefisien (-) yang sama yang memiliki arti bahwa setiap kenaikan persentase rumah
tangga berperilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi rata-rata jumlah kasus
baru kusta. Peubah yang signifikan di seluruh kabupaten/kota adalah jumlah
penduduk (X1) dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7).
Untuk penilaian model terbaik dilakukan berdasarkan kriteria AIC dan BIC.
Gambar 6 menyajikan nilai AIC dan BIC dari keempat model yang telah diterapkan.
Nilai AIC dan BIC yang semakin kecil menunjukkan model yang semakin sesuai.
Model yang lebih baik diterapkan untuk data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa
adalah model RBNTG karena mempunyai nilai AIC dan BIC yang lebih kecil
dibandingkan dengan model regresi Poisson, regresi binomial negatif, dan RPTG.
Selain itu, dari hasil pemodelan RBNTG dihasilkan kesesuaian tanda koefisien
dugaan parameter yang lebih banyak dibandingkan dengan hasil pemodelan lain.
8000
6951.43
7000 6620
0
Regresi Poisson Regresi Binomial RPTG RBNTG
Negatif
AIC BIC
5 SIMPULAN
Pemodelan linear terampat (yakni model regresi Poisson dan regresi binomial
negatif) dan pemodelan spasial (RPTG dan RBNTG) telah digunakan untuk
mengkaji data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa tahun 2017. Pemodelan
RBNTG memberikan hasil yang paling baik dalam memodelkan jumlah kasus baru
kusta di Pulau Jawa tahun 2017 berupa data cacah yang memiliki masalah
overdispersi serta keragaman spasial. Model RBNTG dinilai paling baik untuk
diterapkan karena mempunyai nilai AIC dan BIC terkecil serta memiliki kesesuaian
tanda koefisien parameter model yang lebih banyak.
Faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus kusta di setiap kabupaten/kota
di Pulau Jawa beragam. Model RBNTG dengan pembobot kernel adaptif kuadrat
ganda mengelompokkan kabupaten/kota di Pulau Jawa menjadi 14 kelompok
berdasarkan faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap jumlah kasus baru
kusta. Peubah jumlah penduduk (X1) memiliki tanda koefisien (+) yang sama di
semua kabupaten/kota, yang artinya setiap kenaikan peubah tersebut sebanyak satu
satuan akan turut menambah rata-rata jumlah kasus baru kusta. Sedangkan peubah
persentase balita yang diimunisasi BCG (X2), persentase rumah tangga berperilaku
hidup bersh dan sehat (X3), persentase rumah sehat (X4), persentase penduduk
dengan akses air bersih (X5), dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7)
memiliki tanda koefisien (-) yang sama yang memiliki arti bahwa setiap kenaikan
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi rata-
rata jumlah kasus baru kusta. Peubah yang signifikan di seluruh kabupaten/kota
adalah jumlah penduduk (X1) dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7).
DAFTAR PUSTAKA
Aditya G. 2014. Robust Regresi Data Panel untuk Memprediksi Kasus Kusta pada
Tahun 2012-2016 di Provinsi Jawa Barat [Tesis]. Bandung (ID): Universitas
Padjajaran.
Afri LE. 2012. Model Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis Untuk Data
Kematian Bayi [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Agresti A. 2002. Categorical Data Analysis, second edition. New York (US): Jhon
Wiley & Sons, Inc.
Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Boston (US): Kluwer
Academic Publishers.
Arfidina KI, Susilawati M, & Srinadi IGAM. 2017. Regresi Poisson dalam
Memodelkan Jumlah Penderita Kusta di Provinsi Bali. Prosiding Seminar
Nasional SAINSTEK 2017. doi:10.1142/S1793536909000047.
Cameron AC, Trivedi PK. 2013. Regression Analysis of Count Data. Cambridge
(UK): Cambridge University Press.
Dobson AJ, Barnett A. (2002). An introduction to generalized linear models Thirth
Edition. Boca Raton (US): CRC press.
25
Widodo TC, Sunaryo S, Purhadi. 2013. Pemodelan Spasial Balita Gizi Buruk
dengan Geographically Weighted Negative Binomial Regression dan
Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi 2015 Institut Teknologi Nasional Malang. 631-638.
doi:10.33964/jp.v27i1.402
27
LAMPIRAN
28
Peubah
penjelas yang Kabupaten/Kota
signifikan
X1, X4, X5, X6, Situbondo, Banyuwangi
X7
X1, X2, X4, X5, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Sumenep, Sampang,
X6, X7 Pamekasan, Bangkalan, Kota Probolinggo
X1, X2, X3, X5, Pangandaran, Cilacap, Kota Banjar, Ciamis, Kuningan,
X6, X7 Majalengka, Kota Cirebon, Cirebon, Indramayu, Subang,
Purwakarta, Tasikmalaya
X1, X2, X3, X4, Klaten, Purworejo, Karanganyar, Sukoharjo, Kota Surakarta,
X6, X7 Boyolali, Grobogan, Sragen, Demak, Kudus, Jepara, Kota
Salatiga, Temanggung, Semarang, Blora, Kota Semarang,
Kendal
X1, X2, X3, X4, Banjarnegara, Wonosobo, Kebumen, Banyumas, Purbalingga,
X5, X7 Pemalang, Batang, Brebes, Tegal, Kota Tegal, Pekalongan,
Kota Pekalongan
X1, X2, X5, X6, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Kota Kediri, Kota
X7 Blitar
X1, X2, X3, X5, Rembang, Pati, Pacitan, Ponorogo, Ngawi, Madiun, Nganjuk,
X7 Bojonegoro, Tuban, Gresik, Lamongan, Kota Madiun
X1, X2, X4, X5, Magetan, Lumajang, Probolinggo, Jombang
X7
X1, X2, X4, X6, Malang, Kota Malang, Kota Batu
X7
X1, X2, X3, X4, Wonogiri, Kota Surakarta, Kota Magelang, Magelang,
X7 Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, Kota Yogyakarta,
Sleman
X1, X2, X6, X7 Garut, Kota Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Kota
Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi, Sumedang, Kota
Sukabumi
X1, X2, X4, X7 Pasuruan, Kota Pasuruan
X1, X2, X5, X7 Mojokerto, Sidoarjo, Kota Mojokerto, Kota Surabaya
X1, X2, X3, X4, Kep. Seribu, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
X5, X6, X7 Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Pandeglang, Serang, Lebak,
Purwakarta, Kota Bogor, Bogor, Subang, Kota Depok, Kota
Bekasi, Tangerang Selatan, Karawang, Bekasi, Kota
Tangerang, Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon
38
RIWAYAT HIDUP