Anda di halaman 1dari 52

KAJIAN DATA JUMLAH KASUS BARU KUSTA DI PULAU

JAWA MENGGUNAKAN PEMODELAN LINEAR


TERAMPAT DAN SPASIAL

YOPI ARIESIA ULFA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakaan bahwa tesis Kajian Data Jumlah Kasus Baru
Kusta di Pulau Jawa Menggunakan Pemodelan Linear Terampat dan Spasial adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2020

Yopi Ariesia Ulfa


NIM G152164334
RINGKASAN
YOPI ARIESIA ULFA. Kajian Data Jumlah Kasus Baru Kusta di Pulau Jawa
Menggunakan Pemodelan Linear Terampat dan Spasial. Dibimbing oleh AGUS
MOHAMAD SOLEH dan BAGUS SARTONO.

Data jumlah kasus baru kusta merupakan data cacah non negatif. Salah satu
metode klasik yang digunakan untuk menganalisis data cacah adalah regresi
Poisson. Namun apabila pada data respon yang diamati ditemukan adanya kondisi
overdispersi (pada kasus ini, nilai ragam lebih besar dari rataan), maka regresi
Poisson tidak tepat lagi untuk diterapkan. Teknik analisis regresi yang dapat
diterapkan untuk mengatasi masalah overdispersi diantaranya yaitu regresi
binomial negatif.
Metode regresi binomial negatif kurang sesuai jika diterapkan pada data
spasial yang menyebabkan perbedaan karakteristik antara wilayah satu dengan
wilayah lainnya. Oleh karena itu diperlukan teknik analisis lain untuk mengatasi
kondisi overdispersi dan mencakup pengaruh spasial. Metode Regresi Poisson
Terboboti Geografis (RPTG) adalah salah satu metode yang dikembangkan untuk
analisis data dengan memperhitungkan faktor spasial. Peubah respon yang diteliti
merupakan peubah acak diskrit yang berdistribusi Poisson dan memperhatikan
faktor spasial, maka hubungan antara peubah respon dalam hal ini jumlah kasus
baru kusta dan peubah penjelas dapat diketahui dengan metode tersebut sehingga
dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus
baru kusta di tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa. Sebagai perbandingan, digunakan
pula metode Geographically Weighted Negative Binomial Regression (Regresi
Binomial Negatif Terboboti Geografis/RBNTG) untuk penanganan overdispersi
dan pengaruh spasial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji data jumlah kasus baru kusta di Pulau
Jawa tahun 2017 menggunakan pemodelan linear terampat (yakni model regresi
Poisson dan regresi binomial negatif) dan pemodelan spasial (RPTG dan RBNTG);
membandingkan hasil dari keempat pemodelan tersebut untuk memperoleh
pemodelan terbaik; dan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus
baru kusta di Pulau Jawa berdasarkan pemodelan terbaik yang diperoleh. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Profil Kesehatan Tahun 2017
dari Dinas Kesehatan seluruh provinsi di Pulau Jawa dan publikasi Daerah Dalam
Angka Tahun 2018 dari BPS Provinsi di Pulau Jawa. Unit pengamatan yang
digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa yang ada sebanyak 119
kabupaten/kota. Peubah respon yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah
kasus baru kusta pada tahun 2017. Peubah penjelas yang diamati yaitu jumlah
penduduk, persentase balita yang diimunisasi BCG, persentase rumah tangga
berperilaku hidup bersih dan sehat, persentase rumah sehat, persentase jumlah
penduduk dengan akses air minum layak, persentase jumlah penduduk dengan
sanitasi layak, dan rata-rata tenaga kesehatan per desa/kelurahan.
Dari hasil eksplorasi data diperoleh nilai jangkauan dan ragam yang besar
pada data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa mengindikasikan jumlah kasus
baru kusta yang beragam pada tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa. Hubungan antara
jumlah kasus baru kusta dan faktor-faktor yang memengaruhinya dianalisis
menggunakan analisis regresi Poisson. Pemeriksaan overdispersi pada data jumlah
kasus baru kusta dilakukan dengan uji dispersi menghasilkan nilai sebesar 51.61
yang lebih dari 1 menunjukkan adanya overdispersi. Keberadaan overdispersi
dalam model harus diatasi, salah satunya dengan menggunakan regresi binomial
negatif. Nilai AIC dan BIC dari model regresi binomial negatif jauh lebih rendah
dibandingkan model regresi Poisson. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi
binomial negatif lebih baik daripada model regresi Poisson. Namun masih ada
masalah keragaman spasial yang belum diatasi. Adanya keragaman spasial antara
satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya dapat dilihat dengan
pengujian Breusch-Pagan. Dari hasil pengolahan uji ini diperoleh nilai statistik BP
sebesar 28.409 dengan nilai p sebesar 1.854×10-4 pada taraf nyata 5% sehingga
disimpulkan bahwa ada keragaman spasial antar wilayah.
Hasil pemodelan dengan RBNTG diperoleh nilai koefisien dan peubah yang
signifikan berpengaruh terhadap kasus baru kusta berbeda-beda tiap kabupaten/kota
di Pulau Jawa. Pemodelan RBNTG menghasilkan 14 kelompok kabupaten/kota
berdasarkan kesamaan peubah penjelas yang signifikan. Sedangkan pada
pemodelan dengan menggunakan pendekatan RPTG menghasilkan 6 kelompok
kabupaten/kota yang memiliki kesamaan peubah penjelas yang signifikan.
Penilaian terhadap model dilakukan berdasarkan nilai AIC dan BIC terkecil. Model
yang lebih baik diterapkan untuk data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa adalah
model RBNTG karena mempunyai nilai AIC dan BIC yang paling kecil.

Kata kunci: kasus baru kusta, keragaman spasial, overdispersi, RBNTG


SUMMARY

YOPI ARIESIA ULFA. Study of the Number of New Cases of Leprosy Data in
Java using the Generalized Linear Models and Spatial Modeling. Supervised by
AGUS MOHAMAD SOLEH and BAGUS SARTONO.

The number of new cases of leprosy data are non-negative enumeration data.
One of the classic methods used to analyze the count data is Poisson regression.
However, if the observed response data is found to have an overdispersion condition
(in this case, the variance value is greater than the mean), then Poisson regression
is no longer appropriate to be applied. Regression analysis techniques that can be
applied to overcome the overdispersion problem include negative binomial
regression (Mann et al. 2014).
Negative binomial regression methods are less appropriate when applied to
spatial data which causes differences in characteristics between regions. Another
analytical technique is needed to overcome the overdispersion conditions and
include spatial influence. Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR) is
one of the methods developed for data analysis by taking into account spatial
factors. The response variable studied was a disktrit random variable that is
distributed with Poisson and pay attention to spatial factors, then the relationship
between the response variables in this case the number of new cases of leprosy and
explanatory variables can be identified by this method so that the factors that can
significantly influence the number of new cases of leprosy can be identified by
explaining the method in each district / city on the island of Java. As a comparison,
the Geographically Weighted Negative Binomial Regression (GWNBR) method is
used for handling overdispersion and spatial effects.
This study aims to examine data on the number of new cases of leprosy in
Java in 2017 using linearly generalized linear models (Poisson regression model
and negative binomial regression) and spatial modeling (GWPR and GWNBR);
compare the results of the four modeling to get the best modeling; and know the
factors that influence the number of new cases of leprosy in Java based on the best
modeling obtained. The data sources used in this study came from the Health Profile
of 2017 from the Health Offices of all provinces in Java and the publication of
Regions in Figures 2018 from BPS Provinces in Java. The observation units used
were 119 regencies/munipalities in Java. The response variables used in this study
were the number of new cases of leprosy in 2017. Observing explanatory variables
were the population, the percentage of children under five immunized with BCG,
the percentage of households behaving clean and healthy, the percentage of healthy
homes, the percentage of the population with access to drinking water feasible, the
percentage of the population with proper sanitation, and the average health worker
per village.
From the results of data exploration, it is obtained a large range and variety
value in the data on the number of new cases of leprosy in Java indicating the
number of new cases of leprosy that vary in each regencies/munipalities in Java.
The relationship between the number of new cases of leprosy and the factors that
influence it was analyzed using Poisson regression analysis. Overdispersion
examination on data on the number of new cases of leprosy were carried out by
dispersion test resulting in a value of 51.61 which is more than 1 indicating the
presence of overdispersion. The existence of overdispersion in the model must be
overcome, one of them by using negative binomial regression. The processing
results obtained by the ratio of the value of the deviance with the degree of freedom
is 1.24. The AIC and BIC values of the negative binomial regression model are
much lower than the Poisson regression model. This shows that the negative
binomial regression model is better than the Poisson regression model. But there
are still issues of spatial diversity that have not been addressed. The existence of
spatial diversity between one observation point with another observation point can
be seen with the Breusch-Pagan test. From the results of this test processing, it is
obtained the BP statistical value of 28.409 with a p value of 1.854 × 10-4 at 5%
significance level so that it is concluded that there is spatial diversity between
regions.
The results of modeling with the RBNTG obtained coefficient values and
variables that significantly affect the new cases of leprosy vary by district / city in
Java. RBNTG modeling produced 14 groups of districts / cities based on the
similarity of significant explanatory variables. Whereas the modeling using the
RPTG approach produced 6 groups of districts / cities that had significant similarity
in explanatory variables. The assessment of the model is based on the smallest AIC
and BIC values. The smaller AIC and BIC values indicate an increasingly suitable
model. A better model applied for data on the number of new cases of leprosy in
Java is the RBNTG model because it has the smallest AIC and BIC values.

Keywords:_ GWNBR, new cases of leprosy, overdispersion, spatial diversity


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2020
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN DATA JUMLAH KASUS BARU KUSTA DI PULAU
JAWA MENGGUNAKAN PEMODELAN LINEAR
TERAMPAT DAN SPASIAL

YOPI ARIESIA ULFA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Statistika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah


subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Kajian
Data Jumlah Kasus Baru Kusta di Pulau Jawa Menggunakan Pemodelan Linear
Terampat dan Spasial” ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga
tercurah kepada pemimpin ummat, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam, beserta keluarga dan para sahabat.
Penyelesaian tesis ini tidak luput dari bantuan yang berasal dari banyak pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Agus Mohamad Soleh, S.Si, M.T. dan Bapak Dr. Bagus Sartono,
S.Si, M.Si. selaku komisi pembimbing yang sabar mengarahkan dan
memberikan ilmu serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
2. Ibu Dr. Ir. Indahwati, M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang
memberikan ilmu dan masukan untuk menyempurnakan tesis ini.
3. Pimpinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah memberi kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Statistika Terapan
IPB.
4. Kedua orang tua yaitu Ibu Hj. Yusti Endro Kiswaningsih dan Bapak H. Pudji
Hariyanto dan juga Ibu mertua Hj. Fatimah yang selalu memberikan dukungan
baik moril maupun materil serta kasih sayang dan doa yang tak pernah putus
untuk penulis.
5. Suami penulis, Ahmad Khadafi, yang memberi seluruh perhatian, cinta,
kesabaran, dukungan, semangat dan pengertian yang telah diberikan selama
penulis menyelesaikan studi.
6. Agha Naraya Reksayoda dan Ravabia Briana Almahyra, selaku anak-anak
penyejuk hati penulis, yang menjadi pelipur lara, terima kasih atas pengertian
dan kesabarannya.
7. Seluruh dosen dan civitas akademika Departemen Statistika IPB.
8. Teman-teman STT-BPS 2016, atas persaudaraan dan kebersamaannya.
9. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tesis ini yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah
SWT. Penulis juga menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada tesis ini.
Namun demikian, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2020

Yopi Ariesia Ulfa


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Regresi Poisson 3
Overdispersi 3
Regresi Binomial Negatif 4
Efek Spasial 5
Matriks Pembobot Spasial 6
Bandwidth (lebar jendela) 7
Regresi Poisson Terboboti Geografis 8
Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis 8
Kriteria Kebaikan Model 9
3 METODE 9
Data 9
Prosedur Analisis Data 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Deskripsi Data 11
Pemeriksaan Multikolinearitas 15
Pemodelan Regresi Poisson 16
Pemeriksaan Overdispersi 17
Pemodelan Regresi Binomial Negatif 17
Pengujian Efek Spasial 18
Matriks Pembobot Spasial 19
Pemodelan Regresi Poisson Terboboti Geografis 19
Pemodelan Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis 21
Pemilihan Model Terbaik 23
5 SIMPULAN 24
DAFTAR PUSTAKA 24
LAMPIRAN 27
RIWAYAT HIDUP 38
DAFTAR TABEL

1. Peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian 10


2. Deskripsi jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa Tahun 2017 dan
faktor-faktor yang memengaruhinya 12
3. Nilai koefisien korelasi dan VIF tujuh peubah penjelas 16
4. Nilai dugaan parameter model Regresi Poisson 16
5. Nilai dugaan parameter model regresi binomial negatif 17
6. Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan faktor-faktor yang
memengaruhi jumlah kasus baru kusta dengan model RPTG 20

DAFTAR GAMBAR

1. Jumlah kasus baru kusta menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2017 12
2. Pengelompokan kabupaten/kota ke dalam kelas rendah dan tinggi 13
3. Diagram pencar jumlah kasus baru kusta dan faktor-faktor yang
memengaruhinya 15
4. Pengelompokan kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kesamaan
peubah peubah yang signifikan hasil pemodelan RPTG 21
5. Pengelompokan kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kesamaan
peubah penjelas yang signifikan hasil pemodelan RBNTG 23
6. Kriteria pemilihan model terbaik 23

DAFTAR LAMPIRAN

1. Jarak euclidean antar kabupaten/kota di Pulau Jawa 28


2. Matriks pembobot spasial 29
3. Penduga parameter analisis RBNTG 30
4. Ringkasan nilai dugaan parameter hasil pemodelan RBNTG 36
5. Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan kesamaan peubah penjelas
yang signifikan hasil model RBNTG 37
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Istilah kusta berasal dari Bahasa Sansekerta yakni kustha yang memiliki arti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta, atau sering juga disebut
lepra, memiliki nama lain Morbus Hansen sesuai dengan nama yang menemukan
kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.
Penyakit ini menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya kulit dan saraf. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
Berdasarkan Weekly Epidemiological Record WHO pada September 2017,
jumlah kasus baru kusta di dunia paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara,
diikuti regional Amerika dan Afrika. Indonesia telah mencapai status eliminasi
kusta yaitu prevalensi kusta <1 per 10 000 penduduk pada tahun 2000. Angka
prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0.70 kasus per 10 ribu
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6.08 kasus per 100 ribu
penduduk (Kementerian Kesehatan RI 2018).
Data dari Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI menyebutkan bahwa pada tahun 2017 jumlah kasus baru kusta yang
muncul di Pulau Jawa merupakan yang paling tinggi di Indonesia apabila
dibandingkan dengan jumlah kejadian di pulau-pulau lainnya (Pusdatin
Kementerian Kesehatan RI 2018). Untuk itu perlu untuk ditelaah masalah faktor-
faktor apa saja yang memengaruhi munculnya kasus baru kusta di Pulau Jawa
(meliputi seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa yakni DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Banten).
Teknik analisis yang sesuai dibutuhkan untuk meneliti data kasus baru kusta.
Ketika peubah respon berupa data cacahan yaitu data yang nilainya non negatif dan
menyatakan banyaknya kejadian dalam interval waktu, ruang, atau volume tertentu,
analisis regresi yang biasa digunakan adalah analisis Regresi Poisson (Cameron dan
Trivedi 2013). Beberapa asumsi yang harus dipenuhi jika hendak menggunakan
model Regresi Poisson yaitu peubah respon merupakan data cacahan dan asumsi
kedua yaitu terpenuhinya kondisi equidispersi atau rata-rata peubah respon harus
sama dengan ragamnya (Dobson dan Barnett 2002). Pada umumnya sering ditemui
data cacahan dengan nilai ragam lebih besar dibandingkan rataannya ata disebut
dengan overdispersi (McCullagh dan Nelder 1989).
Pendekatan yang dapat digunakan untuk memodelkan overdispersi
sehubungan dengan model regresi Poisson yaitu dengan memuat parameter
tambahan yang diasumsikan berasal dari distribusi Gamma di dalam rataan model
Poisson untuk mengakomodasi kelebihan ragam dari pengamatan (McCullagh dan
Nelder 1989). Dari pendekatan ini diperoleh distribusi campuran Poisson-Gamma
yang mirip dengan fungsi distribusi binomial negatif. Model regresi binomial
negatif dapat mengatasi masalah overdispersi karena tidak mengharuskan nilai
rataan sama dengan nilai ragam seperti pada model regresi Poisson.
Regresi binomial negatif akan menghasilkan dugaan parameter yang bersifat
global yang berlaku untuk semua wilayah dimana data diambil. Pada kenyataannya,
kondisi geografis, sosial budaya dan ekonomi tentunya akan berbeda antar wilayah
2

yang satu dengan yang wilayah yang lain. Hal ini menggambarkan adanya efek
keragaman spasial antar wilayah. Pengembangan model regresi yang
memperhatikan adanya faktor keragaman spasial yaitu regresi dengan pembobotan
geografis (Geographically Weighted Regression/GWR) (Fotheringham et al.
2002). Dengan diberikan pembobotan berdasarkan jarak satu wilayah pengamatan
dengan wilayah pengamatan yang lainnya maka model ini akan menghasilkan
dugaan parameter lokal yang berbeda-beda di tiap wilayah.
Pada penelitian ini akan digunakan metode regresi yang mempertimbangkan efek
spasial data. Salah satu metide yang digunakan adalah metode Regresi Poisson
Terboboti Geografis (RPTG). Peubah respon yang diteliti merupakan peubah acak
diskrit yang berdistribusi Poisson dan memperhatikan faktor spasial, maka hubungan
antara peubah respon dalam hal ini jumlah kasus baru kusta dan peubah penjelas dapat
diketahi dengan metode tersebut sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang signifikan
terhadap jumlah kasus baru kusta di tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa. Metode lain
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Geographically Weighted Negative
Binomial Regression atau Regresi Binomial negatif Terboboti Geografis (RBNTG).
Metode RBNTG merupakan pengembangan dari regresi binomial negatif yang
digunakan untuk mengatasi masalah kasus overdispersi pada regresi Poisson dan
ada penambahan efek spasial.
Beberapa penelitian yang menggunakan RBNTG ini antara lain Afri (2012) yang
meneliti faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah kematian bayi tahun 2008 di
Jawa Timur dengan pembobot kernel adaptif kuadrat ganda dengan hasil
mengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Timur menjadi 16 kelompok berdasarkan
faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap kematian bayi. Widodo (2013)
memodelkan kasus balita gizi buruk di Jawa Timur dengan RBNTG dengan hasil
kabupaten/kota dikelompokkan menjadi sepuluh dengan peubah penjelas yang
berbeda-beda di setiap kelompoknya. Selain itu ada pula penelitian Ramadhan (2016)
yang menggunakan RBNTG pada data angka kematian bayi tahun 2012 di Pulau
Jawa yang menghasilkan lima kelompok kabupaten/kota sepulau Jawa dengan
peubah penjelas yang berbeda-beda di setiap kelompoknya.
Sejumlah penelitian tentang kusta yang telah dilakukan antara lain Aini
(2013) yang menganalisis data penderita kusta kering tahun 2012 di beberapa
kabupaten/kota di Jawa Barat dengan pendekatan Geographically Weighted
Poisson Regression. Dzikrina dan Purnami (2013) memodelkan angka prevalensi
kusta di Jawa Timur dengan pendekatan Geographically Weighted Regression.
Aditya (2014) menggunakan robust regresi data panel untuk memprediksi kasus
kusta pada tahun 2012-2016 di Provinsi Jawa Barat.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:


1. Mengkaji data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa tahun 2017
menggunakan pemodelan linear terampat (yakni model regresi Poisson dan
regresi binomial negatif) dan pemodelan spasial (RPTG dan RBNTG).
2. Membandingkan hasil dari keempat pemodelan tersebut untuk memperoleh
pemodelan terbaik.
3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus baru kusta di
Pulau Jawa berdasarkan pemodelan terbaik yang diperoleh.
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Regresi Poisson

Menurut Walpole et al. (1993) percobaan yang menghasilkan nilai untuk


peubah acak dan merupakan banyaknya hasil percobaan yang terjadi selama selang
waktu tertentu atau di suatu daerah tertentu disebut percobaan Poisson. Jika peubah
acak Y berdistribusi Poisson dengan parameter 𝜇𝑖 dan 𝜇𝑖 > 0, Y mempunyai fungsi
kepekatan peluang (pdf) sebagai berikut (Hilbe, 2011):
𝑒 −𝜇𝑖 𝜇𝑖 𝑦𝑖
𝑓(𝑦𝑖 ) = ; 𝑦𝑖 = 0,1,2, … (1)
𝑦𝑖 !
Distribusi ini hanya mempunyai parameter tunggal 𝜇. Distribusi Poisson
mempunyai karakteristik yang tidak biasa yaitu mempunyai rataan dan ragam yang
sama yaitu 𝜇 .
Distribusi peluang Poisson ini kemudian dipakai sebagai dasar regresi
Poisson yaitu digunakan untuk memodelkan peubah respon yang berupa data cacah.
Misalnya data tersebut dilambangkan dengan Y yaitu kejadian yang terjadi dalam
suatu selang waktu atau wilayah tertentu. Regresi Poisson menggambarkan
hubungan antara peubah respon Y yang berupa data diskrit berdistribusi Poisson
dengan peubah penjelas X.
Model Regresi Poisson dapat ditulis sebagai berikut (Myers et al. 2010):
𝑔(𝜇𝑖 ) = 𝜂𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑥𝑘 = 𝒙′𝒊 𝜷 (2)

) ) )
dalam hal ini 𝑔(𝜇𝑖 = ln(𝜇𝑖 = 𝒙𝒊 𝜷 dan 𝑔(𝜇𝑖 merupakan fungsi hubung log.
Pendugaan koefisien parameter Regresi Poisson menggunaan metode
Pendugaan Kemungkinan Maksimum. Adapun fungsi likelihood yang digunakan
yaitu:
𝑒 −𝜇𝑖 𝜇𝑖 𝑦𝑖 ∏𝑛 𝑦𝑖 𝑛
𝑖=1 𝜇𝑖 exp(− ∑𝑖=1 𝜇𝑖 )
𝐿(𝜷; 𝒚) = ∏𝑛𝑖=1 𝑓𝑖 (𝑦𝑖 ) = ∏𝑛𝑖=1 = ∏𝑛
(3)
𝑦𝑖 ! 𝑖=1 𝑦𝑖 !

sehingga diperoleh fungsi logaritma natural likelihood:


ln 𝐿(𝜷; 𝒚) = ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 ln(𝜇𝑖 ) − ∑𝑛𝑖=1 𝜇𝑖 − ∑𝑛𝑖=1 ln⁡(𝑦𝑖 !) (4)
Untuk menduga koefisien parameter dilakukan dengan melakukan turunan
parsial fungsi logaritma natural likelihood terhadap parameter yang akan diduga
dan diiterasikan dengan menggunakan metode iterasi Newton-Raphson. Setelah
dugaan parameter b diperoleh, maka persamaan regresi Poisson dapat dituliskan
sebagai berikut:
𝑦̂𝑖 = 𝑔−1 (𝒙′𝒊 𝒃) = exp(𝒙′𝒊 𝒃) (5)

Overdispersi

Regresi Poisson dikatakan mengandung overdispersi apabila nilai ragaminya


lebih besar dari nilai rataannya. Menurut Molla dan Muniswamy (2012), data
overdispersi yang dianalisis menggunakan model Poisson akan mengakibatkan
galat baku bagi parameter dugaan regresi akan berbias ke bawah (underestimate)
walaupun dugaan parameter koefisien regresi tetap konsisten namun tidak efisien,
4

sehingga menyebabkan kesalahan dalam penarikan kesimpulan regresi. Akibatnya


model Poisson tidak tepat digunakan pada data overdispersi.
Overdispersi dapat diindikasikan dengan nilai deviance atau Pearson Chi
Square yang dibagi dengan derajat bebasnya (Agresti 2002). Jika nilai Pearson Chi
Square yang dibagi dengan derajat bebasnya lebih besar dari 1, ini menunjukkan
nilai ragam yang lebih besar daripada nilai rataannya. Hal ini menunjukkan
overdispersi pada data.

Regresi Binomial Negatif

Regresi binomial negatif adalah salah satu alternatif solusi untuk mengatasi
masalah overdispersi pada data cacah yang didasarkan pada model campuran
Poisson-Gamma (Hardin et al. 2007). Peubah 𝑌𝑖 diasumsikan berdistribusi binomial
negatif yang dihasilkan dari distribusi campuran Poisson-Gamma, dimana
𝑦|𝜇~𝑃𝑜𝑖𝑠𝑠𝑜𝑛⁡(𝜇) dan 𝜇~𝐺𝑎𝑚𝑚𝑎(𝛼, 𝛽). Fungsi kepekatan peluang Binomial
negatif yang dihasilkan dari distribusi campuran Poisson-Gamma adalah:
Γ(𝑦+𝛼) 1 𝛼 1 𝑦
𝑓(𝑦; 𝛼, 𝛽) = ⁡( ) ⁡(1 − 1+𝛽) , 𝑦 = 0,1,2, …⁡ (6)
𝑦!Γ(𝛼) 1+𝛽
Nilai tengah dan ragamnya adalah 𝐸(𝑌) = 𝛼𝛽 dan 𝑉(𝑌) = 𝛼𝛽 + 𝛼𝛽 2.
Untuk membentuk suatu model regresi pada distribusi binomial negatif, maka
nilai parameter dari distribusi campuran Poisson-Gamma dinyatakan dalam bentuk
1
𝜇 = ⁡𝛼𝛽 dan 𝑘 = 𝛼 sehingga diperoleh:
1 1
Γ(𝑦+ ) 1 𝑘𝜇 𝑦
𝑘 𝑘
𝑓(𝑦; 𝜇, 𝑘) = 1 ⁡(1+𝑘𝜇) ⁡(1+𝑘𝜇) , 𝑦 = 0,1,2, …⁡ (7)
𝑦!Γ( )
𝑘
dengan nilai tengah adalah 𝜇 dan ragam 𝜇 + 𝑘𝜇 2, 𝑘 adalah parameter dispersi.
Jika 𝑘 = 0, distribusi binomial negatif memiliki nilai tengah yang sama
nilainya dengan ragam atau 𝐸(𝑌𝑖 ) = 𝑉𝑎𝑟(𝑌𝑖 ) = 𝜇 dan akan menjadi seperti
distribusi Poisson. Namun jika 𝑘 > 0 maka nilai ragam akan melebihi nilai
tengahnya atau 𝑉𝑎𝑟(𝑌𝑖 ) > 𝐸(𝑌𝑖 ). Maka dari itu model binomial negatif terlihat
dapat mengatasi data cacah yang terindikasi kasus overdispersi.
Regresi binomial negatif memiliki model yang sama dengan regresi Poisson.
Model regresi binomial negatif diformulasikan sebagai berikut:

𝜇 𝑖 = 𝑒 𝒙𝒊 𝜷
Dalam generalized linear model (GLM), terdapat sebuah fungsi 𝑔 yang
menghubungkan rata-rata dari peubah respon dengan sebuah prediktor linear, yaitu:
𝑔(𝜇𝑖 ) = 𝜂𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑥𝑘
Fungsi 𝑔 disebut fungsi penghubung log.
Pendugaan parameter pada model regresi binomial negatif menggunakan
metode Pendugaan Kemungkinan Maksimum, yaitu dengan memaksimumkan
fungsi likelihood dari distribusi binomial negatif. Fungsi likelihood dari distribusi
binomial negatif adalah:
𝑛 𝛼𝜇 1 1
ln 𝐿(𝑦; 𝜇, 𝛼) = ∑ 𝑦𝑖 𝑙𝑛 ( ) − 𝑙𝑛(1 + 𝛼𝜇) + 𝑙𝑛Γ (𝑦𝑖 + )
𝑖=1 1 + 𝛼𝜇 𝛼 𝛼
1
−𝑙𝑛Γ(𝑦𝑖 + 1) − 𝑙𝑛Γ (𝛼) (8)
5

Efek Spasial

Pemodelan regresi spasial merupakan salah satu metode yang digunakan


untuk mengetahui hubungan antara peubah respon dan peubah penjelas dengan
memperhatikan aspek wilayah atau spasial. Aspek spasial yang dimaksud
adalah data yang digunakan memiliki sisaan yang saling berkorelasi dan
memiliki keragaman spasial. Pengujian dependensi spasial dilakukan untuk
melihat apakah pengamatan di suatu wilayah berpengaruh terhadap pengamatan
di wilayah lain yang letaknya berdekatan. Sedangkan pengujian keragaman
spasial dilakukan untuk melihat apakah terdapat kekhasan pada setiap wilayah
pengamatan sehingga parameter regresi yang dihasilkan berbeda-beda secara
spasial.
Pengujian dependensi spasial dilakukan menggunakan statistik uji
Moran’s I. Hipotesis yang diuji yaitu:
𝐻0 ∶ ⁡⁡𝐼 = 0 (tidak terdapat dependensi spasial)
𝐻1 ∶ ⁡𝐼 ≠ 0 (terdapat dependensi spasial)
Statistik uji:
𝐼̂ −𝐸(𝐼̂)
𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = (9)
√𝑉𝑎𝑟(𝐼̂)
dimana
𝑛 ∑𝑛 𝑛
𝑖=1 ∑𝑗=1 𝑤𝑖𝑗 (𝑦𝑖 −𝑦
̅)(𝑦𝑗 −𝑦
̅)
𝐼̂ = (10)
(∑𝑛 𝑛 𝑛
𝑖=1 ∑𝑗=1 𝑤𝑖𝑗 ) ∑𝑖=1(𝑦𝑖 −𝑦
̅)
Keterangan:
𝑛 = banyaknya pengamatan
𝑦̅ = nilai rataan dari 𝑦𝑖 dari n wilayah
𝑦𝑖 = nilai pengamatan pada wilayah ke-⁡𝑖
𝑦𝑗 = nilai pengamatan pada wilayah ke-⁡𝑗
𝑤𝑖𝑗 = elemen matriks pembobot spasial
Dalam perhitungan indeks Moran’s I terdapat beberapa pembobot spasial
(𝑤𝑖𝑗 ) yang dapat digunakan. Salah satu pembobot yang dapat digunakan adalah
fungsi pembobot adaptif kuadrat ganda. Untuk pengujian Moran’s I dihasilkan
keputusan menolak 𝐻0 jika |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | lebih besar dari 𝑍𝛼/2 yang artinya terdapat
dependensi spasial dalam model.
Keragaman spasial ini dapat diketahui dengan menggunakan pengujian
Breusch-Pagan (Anselin 1988). Hipotesis yang diuji yaitu:
𝐻0 ∶ ⁡⁡ 𝜎12 = 𝜎22 = ⋯ = 𝜎𝑛2 = 𝜎 2 (keragaman antar wilayah sama)
𝐻1 ∶⁡minimal ada satu 𝜎𝑖2 ≠ 0, 𝑖 = 1,2, … , 𝑛 (terdapat keragaman spasial)
Statistik uji yang digunakan yaitu statistik uji Breusch-Pagan dengan rumus:
1
𝐵𝑃 = 2 𝒇′ 𝒁(𝒁′ 𝒁)−𝟏 𝒁′ 𝒇 (11)
dalam hal ini:
̂ )2
(𝑦 −𝑦
𝒇⁡⁡⁡⁡ = (𝑓1 , 𝑓2 , … , 𝑓𝑛 )′ dengan 𝑓𝑖 = ( 𝑖 𝜎̂2 𝑖 − 1)
𝒁 = matriks berukuran n(k+1) yang berisi vektor yang sudah dinormalbakukan
untuk setiap pengamatan
2
𝜎̂ = ragam y
Keputusan menolak 𝐻0 jika 𝐵𝑃 > 𝜒𝑝2 artinya adalah keragaman antar wilayah tidak
sama.
6

Matriks Pembobot Spasial

Jika terdapat keragaman spasial antar wilayah pada pengamatan, matriks


pembobot pada regresi ini perlu untuk dibuat. Matriks pembobot tersebut
mempunyai fungsi yaitu untuk menentukan atau menduga parameter yang berbeda-
beda pada setiap titik wilayah pengamatan. Matriks pembobot merupakan matriks
pembobot yang berbasis pada kedekatan wilayah antarsatu pengamatan dengan
wilayah pengamatan lainnya tanpa ada hubungan korelasi yang dinyatakan secara
eksplisit (Fotheringham et al. 2002).
Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai
pembobot. Salah satunya adalah dengan memberikan pembobot sebesar 1 untuk
setiap wilayah pengamatan i dan j. Model yang dihasilkan apabila menggunakan
fungsi pembobot ini yaitu model regresi linear klasik. Jika pembobot masing-
masing wilayah pengamatan sama dengan satu, hal ini sama saja dengan tidak
memperhatikan keragaman wilayah.
Cara kedua untuk menentukan nilai pembobot adalah dengan fungsi invers
jarak sebagai berikut:
1, 𝑗𝑖𝑘𝑎⁡𝑑𝑖𝑗 < 𝑏
𝑤𝑖𝑗 = {
0, 𝑗𝑖𝑘𝑎⁡𝑑𝑖𝑗 ≥ 𝑏
dengan
2 2
𝑑𝑖𝑗 = √(𝑢𝑖 − 𝑢𝑗 ) + (𝑣𝑖 − 𝑣𝑗 ) (12)
𝑑𝑖𝑗 ⁡adalah jarak euclidean antara titik wilayah pengamatan ke-i dan titik wilayah
pengamatan ke-j, dalam hal ini 𝑢𝑖 adalah koordinat lintang wilayah ke-i; 𝑢𝑗 adalah
koordinat lintang wilayah ke-⁡𝑗; 𝑣𝑖 adalah koordinat bujur wilayah ke-i; 𝑣𝑗 ⁡adalah
koordinat bujur wilayah ke-⁡𝑗 (Fotheringham et al. 2002). Fungsi pembobot 𝑤𝑖𝑗
yang digunakan merupakan fungsi kontinu dari 𝑑𝑖𝑗 , karena parameter yang
dihasilkan dapat berubah secara drastis ketika wilayah pengamatan berubah.
Sedangkan 𝑏 adalah bandwidth atau lebar jendela yang biasa dianalogikan sebagai
radius (𝑏) dari suatu lingkaran dimana sebuah titik wilayah pengamatan yang ada
pada radius lingkaran dianggap berpengaruh dalam pembentukan parameter di titik
wilayah pengamatan ke-i. Oleh karena itu, jika titik wilayah ke-j berada dalam
radius (b) dari titik wilayah pengamatan ke-i, fungsi invers jarak akan memberikan
nilai bobot=1. Sebaliknya, jika titik wilayah ke-j berada di luar radius(b), fungsi
invers akan memiliki bobot=0.
Cara ketiga yaitu dengan menggunakan fungsi kernel. Fungsi kernel
memberikan pembobotan sesuai bandwidth optimum yang nilainya bergantung
pada kondisi data. Ada dua jenis fungsi kernel, yaitu fungsi kernel tetap atau fixed
kernel dan fungsi kernel adaptif atau adaptive kernel (Fotheringham et al. 2002).
Fungsi kernel tetap memiliki lebar jendela yang sama pada setiap titik wilayah
pengamatan. Sedangkan fungsi kernel adaptif memiliki lebar jendela yang berbeda
untuk setiap titik wilayah pengamatan. Hal ini disebabkan kemampuan fungsi
kernel adaptif yang dapat menyesuaikan dengan kondisi titik-titik pengamatan. Jika
di sekitar wilayah pengamatan ke-i terdapat titik-titik wilayah pengamatan tersebar
secara rapat, bandwidth yang diperoleh relatif sempit. Sebaliknya jika di sekitar
wilayah pengamatan ke-i terdapat titik-titik wilayah pengamatan yang memiliki
7

jarak berjauhan atau tersebar secara renggang, bandwidth yang diperoleh semakin
luas (Dwinata 2012).
Beberapa jenis fungsi kernel tetap adalah:
1. Fungsi kernel tetap Gaussian
1 𝑑 2
𝑤𝑖𝑗 = 𝑒𝑥𝑝 (− 2 ( 𝑏𝑖𝑗 ) ) (13)
2. Fungsi kernel tetap kuadrat ganda
𝑑 2 2
𝑖𝑗
𝑤𝑖𝑗 = {(1 − ( 𝑏 ) ) , 𝑗𝑖𝑘𝑎⁡𝑑𝑖𝑗 < 𝑏 (14)
0, 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
Sama halnya dengan fungsi kernel tetap, fungsi kernel adaptif juga memiliki
beberapa jenis fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi kernel adaptif Gaussian
2
1 𝑑𝑖𝑗
𝑤𝑖𝑗 = 𝑒𝑥𝑝 (− 2 (𝑏 ) ) (15)
𝑖(𝑞)

2. Fungsi kernel adaptif kuadrat ganda


2 2
𝑑𝑖𝑗
𝑤𝑖𝑗 = {(1 − (𝑏𝑖(𝑞) ) ) , 𝑗𝑖𝑘𝑎⁡𝑑𝑖𝑗 < 𝑏 (16)
0, 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
dengan 𝑏𝑖(𝑞) adalah lebar jendela adaptif dengan 𝑞 menyatakan jarak tetangga
terdekat dari titik lokasi pengamatan ke-i.
Fungsi kernel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi kernel
adaptif kuadrat ganda dengan pertimbangan kemudahan dalam penerapan serta
hasil yang tidak terlalu berbeda jika dibandingkan dengan penggunaan fungsi
kernel yang lainnya.

Bandwidth (lebar jendela)

Bandwidth atau lebar jendela merupakan radius suatu lingkaran dimana


titik yang berada dalam radius lingkaran dianggap masih memberikan pengaruh
dalam membentuk parameter di titik pusat atau wilayah pengamatan ke-i. Atau
dengan kata lain, bandwidth merupakan suatu nilai yang menggambarkan jarak
maksimal suatu wilayah masih memengaruhi wilayah lainnya.
Nilai bandwidth yang terlalu kecil mengakibatkan pendugaan parameter di
wilayah pengamatan titik ke-i semakin bergantung pada titik wilayah pengamatan
lain yang memiliki jarak terdekat. Hal ini menyebabkan ragam yang dihasilkan
akan semakin besar. Sebaliknya, jika nilai bandwidth sangat besar menyebabkan
bias yang semakin besar (Dwinata 2012).
Pemilihan bandwidth optimum haruslah diperhatikan karena dapat
mempengarui ketepatan model terhadap data. Oleh karena itu, penting untuk
dilakukan penentuan bandwidth optimum. Salah satu cara yang dapat digunakan
sebagai kriteria untuk mendapatkan nilai bandwidth optimum adalah dengan
meminimumkan nilai koefisien validasi silang, dengan rumus:
𝐶𝑉⁡(𝑏) = ∑𝑛𝑖=1(𝑦𝑖 − 𝑦̂≠𝑖 (𝑏))2 (17)
dengan 𝑦̂≠𝑖 (𝑏) adalah nilai dugaan dari 𝑦𝑖 dengan pengamatan di lokasi (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 )
dihilangkan dari proses dugaan. Proses pemilihan lebar jendela optimum
8

menggunakan teknik Golden Section Search. Teknik ini dilakukan secara iterasi
dengan mengevaluasi CV pada interval jarak minimum dan maksimum antar lokasi
pengamatan sehingga diperoleh nilai CV minimum.

Regresi Poisson Terboboti Geografis

Model RPTG adalah salah satu metode statistika yang merupakan


pengembangan dari regresi Poisson dengan penduga parameter model bersifat lokal
untuk setiap titik atau lokasi, dimana data memenuhi asumsi data berdistribusi Poisson.
Peubah respon Y diduga oleh peubah-peubah penduga X yang bergantung pada lokasi
dimana data tersebut diamati, sehingga dugaan parameter yang dihasilkan berbeda
untuk setiap lokasi. Model RPTG adalah sebagai berikut:
𝜇𝑖 = exp⁡(𝒙𝒊 𝑻 𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 )) (18)
Dalam proses pendugaan parameter model RPTG di suatu titik (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 )
dibutuhkan pembobot spasial dimana pembobot yang digunakan adalah fungsi
kernel tetap kuadrat ganda (fixed bisquare). Penduga parameter menggunakan
metode Pendugaan Kemungkinan Maksimum dengan menambahkan faktor
pembobot letak geografis pada fungsi ln likelihoodnya sehinga didapatkan
persamaan sebagai berikut:
ln 𝐿(𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 )) = ∑𝑛𝑖=1 (− exp(𝒙𝒊 𝑻 𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 )) + 𝑦𝑖 𝒙𝒊 𝑻 𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) −
⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡⁡𝒍𝒏(𝑦𝑖 !)⁡) 𝑤𝑖𝑗 (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) (19)
Kemudian diselesaikan dengan iterasi Newton-Raphson. Iterasi berhenti pada saat
konvergen, yaitu pada saat ‖𝛽 (𝑚+1) (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) − 𝛽 (𝑚) (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 )‖ ≤ 𝜀, dimana 𝜀
merupakan bilangan yang sangat kecil.
Pengujian parameter model dilakukan dengan menguji parameter secara
parsial. Pengujian ini untuk mengetahui parameter mana saja yang signifikan
memengaruhi peubah responnya. Bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut:
𝐻0 ∶ ⁡ 𝛽𝑘 (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) = 0 (parameter 𝛽𝑘 (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) tidak signifikan pada lokasi (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ))
𝐻1 ∶ ⁡ 𝛽𝑘 (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) ≠ 0 (parameter 𝛽𝑘 (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) signifikan pada lokasi (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ))
Statistik uji yang digunakan adalah:
̂ (𝑢𝑖 ,𝑣𝑖 )
𝛽
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑠𝑒(𝛽̂𝑘 (20)
𝑘 (𝑢𝑖 ,𝑣𝑖 ))
Kriteria pengujiannya adalah tolak 𝐻0 jika |𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | > 𝑡𝛼,𝑛−(𝑝+1) .
2

Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis

Model Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis (RBNTG) adalah salah


satu metode yang cukup efektif menduga data yang memiliki spasial heterogenitas
untuk data cacah yang memiliki overdispersi (Widodo et al. 2013). Model RBNTG
akan menghasilkan parameter lokal dengan masing-masing wilayah akan memiliki
parameter berbeda. Model RBNTG dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝐸(𝑦𝑖 ) = 𝜇̃𝑖 = exp(𝒙𝑻𝒊 𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) + 𝛿𝑖 ); i = 1,2,…, n (21)
dengan 𝜇𝑖 = exp (𝒙𝑻𝒊 𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 )) adalah nilai tengah model Poisson pada lokasi ke-
i. Fungsi sebaran binomial negatif untuk setiap lokasi berdasarkan persamaan di
atas dapat ditulis dalam bentuk persamaan berikut:
9

Γ(𝑦𝑖 +𝜙−1 ) 𝜙𝜇𝑖 𝑦𝑖 1 𝜙−1


𝑓(𝑦𝑖 |𝒙𝒊 , 𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ), 𝜙) = ( ) (1+𝜙𝜇 ) (22)
Γ(𝜙−1 )𝑦𝑖 ! 1+𝜙𝜇𝑖 𝑖
Pendugaan parameter koefisien RBNTG dilakukan dengan menggunakan
metode Pendugaan Kemungkinan Maksimum. Faktor letak geografis merupakan
faktor pembobot pada model RBNTG memiliki nilai yang berbeda untuk setiap
lokasi yang menunjukkan sifat lokal pada model. Fungsi logaritma natural
kemungkinan yang diberi pembobot untuk model RBNTG adalah:
𝑙𝑛𝐿∗ (𝜷(𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ), 𝜙|𝑦, 𝒙) =
Γ(𝑦𝑖 +𝜙−1 )
∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖𝑗 (𝑢𝑖 , 𝑣𝑖 ) {𝑙𝑛 [ ] − (𝑦𝑖 + 𝜙 −1 ) ln(1 + 𝜙𝜇𝑖 ) + 𝑦𝑖 ln 𝜙𝜇𝑖 } (23)
Γ(𝜙−1 )Γ(𝑦𝑖 +1)
Proses pendugaan parameter koefisien regresi diperoleh melalui metode
iterasi numerik yaitu metode iterasi numerik Newton-Raphson. Hasil pendugaan
tersebut kemudian diuji signifikansi parameternya dengan menggunakan statistik
uji 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 .

Kriteria Kebaikan Model

Akaike Information Criterion (AIC) adalah salah satu kriteria dalam


mengukur kesesuaian model dalam menduga model secara statistik atau untuk
mengetahui seberapa dekat parameter dugaan dengan nilai populasi yang
sebenarnya (Widodo et al. 2013). Model regresi terbaik adalah model regresi yang
memiliki nilai AIC terkecil. AIC dapat dihitung dengan menggunakan fungsi
sebagai berikut:
𝐴𝐼𝐶 = 2𝑘 − 2log⁡(𝐿) (24)
dengan 𝑘 adalah banyaknya parameter penduga pada model dan 𝐿 merupakan
fungsi Likelihood dari model.
Selain AIC, kriteria penentuan model terbaik dapat menggunakan Bayesian
Information Criterion (BIC) yang aslinya diformulasikan oleh Gideon Schwarz
pada 1978. Perumusan BIC menggunakan teorema Bayesian untuk menentukan
probabilitas posterior. Pendugaan parameter dalam model regresi menggunakan
MLE. Kemudian BIC digunakan untuk pemilihan model regresi. Hasil pemilihan
model dengan BIC cukup akurat karena jumlah parameter dalam model
diperhatikan (Widodo et al. 2013). BIC didefinisikan sebagai berikut oleh Hilbe
(2011):
𝐵𝐼𝐶 = −2log⁡(𝐿) + 𝑘 ln(𝑛) (25)
𝐿 merupakan fungsi Likelihood dari model, 𝑘 adalah banyaknya parameter dalam
model, dan 𝑛 adalah banyaknya observasi.

3 METODE

Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Profil
Kesehatan Tahun 2017 dari Dinas Kesehatan seluruh provinsi di Pulau Jawa dan
publikasi Daerah Dalam Angka Tahun 2018 dari BPS Provinsi di Pulau Jawa. Unit
10

pengamatan yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa yang ada
sebanyak 119 kabupaten/kota. Peubah yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
atas tujuh peubah penjelas dan satu peubah respon. Peubah-peubah yang digunakan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian
Peubah Satuan Sumber Pustaka
Jumlah kasus baru kusta (Y) Kasus -
Jumlah penduduk (X1) Ribu Orang Afridina et al (2017)
Persentase balita yang diimunisasi BCG Persen Susanti dan Azam
(X2) (2016)
Persentase rumah tangga berperilaku Persen Shovalina dan Atok
hidup bersih dan sehat (X3) (2016)
Persentase rumah sehat (X4) Persen Dzikrina dan Purnami
(2013)
Persentase jumlah penduduk dengan Persen Shovalina dan Atok
akses air minum layak (X5) (2016)
Persentase jumlah penduduk dengan Persen Afridina et al (2017)
sanitasi layak (X6)
Rata-rata tenaga kesehatan (dokter, Orang/desa Afridina et al (2017)
bidan, perawat) per desa/kelurahan (X7)

Di samping itu juga digunakan dua peubah geografis mengenai lokasi


kabupaten/kota di Pulau Jawa yaitu:
𝑢𝑖 = garis lintang tiap kabupaten/kota
𝑣𝑖 = garis bujur tiap kabupaten/kota.

Prosedur Analisis Data

Langkah-langkah dalam analisis data untuk mencapai tujuan penelitian


adalah sebagai berikut:
1. Melakukan eksplorasi data (analisis deskriptif) pada peubah respon dan peubah
penjelas.
2. Memeriksa asumsi multikolinearitas antara peubah penjelas dengan kriteria
korelasi dan nilai VIF.
Jika di antara peubah penjelas tidak saling bebas atau memiliki hubungan linier
maka terindikasi adanya multikolinearitas. Multikolinearitas salah satunya
dapat dideteksi dari nilai Variance Inflation Factor (VIF). VIF merupakan
fungsi dari R2 model antar peubah penjelas. Nilai VIF dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
1
𝑉𝐼𝐹𝑗 = 2
(26)
(1−𝑅𝑗 )
dalam hal ini 𝑅𝑗2 adalah nilai koefisien determinasi (ukuran keeratan antar
peubah penjelas) atau R2 ketika Xj diregresikan dengan peubah penjelas selain
Xj. Jika nilai VIF yang diperoleh lebih besar dari satu (VIF>1), maka terjadi
kolineraritas antar peubah penjelas (multikolinearitas) dan semakin besar
11

pengaruhnya jika nilai VIF semakin besar (VIF>5). Akibat dari munculnya
masalah multikolinear ini adalah ragam estimasi menjadi besar.
3. Melakukan pemodelan regresi Poisson, termasuk didalamnya melakukan
pendugaan parameter model dengan metode Pendugaan Kemungkinan
Maksimum, menguji signifikansi parameter model serta menghitung nilai AIC
dan BIC.
4. Melakukan uji dispersi untuk mengidentifikasi overdispersi pada peubah
respon.
5. Melakukan pemodelan regresi binomial negatif termasuk didalamnya
melakukan pendugaan parameter model dengan metode Pendugaan
Kemungkinan Maksimum, menguji signifikansi parameter model serta
menghitung nilai AIC dan BIC.
6. Melakukan uji Breush-Pagan untuk melihat keragaman spasial.
7. Menghitung jarak Euclidean antar lokasi pengamatan berdasarkan posisi
geografis.
8. Menghitung bandwidth optimal untuk setiap lokasi pengamatan dengan
menggunakan kriteria cross validation (CV).
9. Menghitung matriks pembobot dengan menggunakan fungsi kernel adaptive
bisquare.
10. Melakukan pemodelan RPTG yang termasuk didalamnya melakukan
pendugaan parameter model, pengujian signifikansi parameter model, serta
menghitung nilai AIC dan BIC.
11. Melakukan pemodelan RBNTG yang termasuk didalamnya melakukan
pendugaan parameter model, pengujian signifikansi parameter model, serta
menghitung nilai AIC dan BIC.
12. Melakukan pemilihan model terbaik.
Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan R 3.6.2.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Data

Pada tahun 2017, jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa paling banyak terjadi
di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur yakni sebanyak 463 kasus. Disusul Kabupaten
Tangerang, Banten dengan 400 kasus, kemudian Kabupaten Jember, Jawa Timur
dengan 353 kasus, dan Kabupaten Sampang, Jawa Timur dengan 333 kasus. Namun
ada 5 kabupaten/kota yang tidak memiliki kasus baru kusta yakni Kabupaten Kulon
Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta di Provinsi DI Yogyakarta, Kota
Banjar di Jawa Barat serta Kota Madiun di Jawa Timur. Pada Tabel 1 dapat dilihat
bahwa nilai tengah jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa adalah sebesar 76.59 dan
ragam sebesar 9029.26. Hal ini menunjukkan jumlah kasus baru kusta beragam
pada tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Pengelompokan peubah jumlah kasus kusta dilakukan berdasarkan yang
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).
Kemenkes RI mengelompokkan provinsi berdasarkan bebannya menjadi dua
kelompok yaitu beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low
12

burden). Suatu provinsi disebut memiliki beban kusta tinggi jika jumlah kasus baru
kusta di provinsi tersebut >1000 kasus. Namun jika jumlah kasus baru kusta <1000
maka disebut memiliki beban kusta rendah.

Tabel 2 Deskripsi jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa Tahun 2017 dan faktor-
faktor yang memengaruhinya
Peubah Minimum Maksimum Jangkauan Rataan Ragam
Y 0 463 463 76.59 9029.26
X1 23.90 5715.00 5691.10 1229.50 768998.20
X2 60.16 99.46 39.30 92.93 34.94
X3 24.22 97.25 73.03 62.97 257.86
X4 25.08 99.42 74.34 72.90 254.24
X5 49.16 99.56 50.40 77.65 173.29
X6 25.72 97.26 71,54 75.15 218.73
X7 1.98 171.61 169.63 25.99 1226.49

Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur merupakan provinsi
dengan beban kusta tinggi di Pulau Jawa, dengan jumlah kasus baru kusta masing-
masing sebanyak 1994, 1918, dan 3880. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, dan Banten masuk kategori provinsi dengan beban kusta rendah.
Bahkan ada 5 kabupaten/kota yang tidak memiliki kasus baru kusta yakni
Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta di Provinsi DI
Yogyakarta, Kota Banjar di Jawa Barat serta Kota Madiun di Jawa Timur.

4000
3500
3000
Jumlah kasus

2500
2000
1500
1000
500
0
Jabar Jateng Jatim DKI DIY Banten
Gambar 1 Jumlah kasus baru kusta menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2017
Pengelompokan juga dilakukan pada peubah penjelas yang akan digunakan
dalam pemodelan. Setiap peubah penjelas dikelompokkan juga menjadi kelas
rendah dan kelas tinggi. Hasil pengelompokan delapan peubah penjelas ditunjukkan
pada Gambar 2. Pengelompokan peubah jumlah penduduk dilakukan dengan batas
kelas berupa nilai rataan yaitu sebesar 1.23 juta orang. Sebagaimana yang tersaji
dalam Gambar 2 tepatnya dalam batang X1, terlihat bahwa sebagian besar
kabupaten/kota memiliki jumlah penduduk yang tergolong rendah. Hal ini
13

diakibatkan penggunaan nilai rataan sebagai batas kelas, dimana nilai rataan rentan
terhadap adanya pencilan. Peubah jumlah penduduk (X1) memiliki nilai minimum
sebesar 23.90 ribu orang (tepatnya di Kab. Kep. Seribu) dan nilai maksimum
sebesar 5.72 juta orang (tepatnya di Kab. Bogor).
Untuk peubah persentase balita yang telah diimunisasi BCG (X2),
pengelompokan menggunakan batas kelas berupa besaran target yang ditentukan
oleh Kemenkes RI. Pada 2017, Kemenkes RI menargetkan 92% balita di Indonesia
mendapatkan imunisasi BCG. Dalam Gambar 2 menunjukkan bahwa sebagian
besar kabupaten/kota di Pulau Jawa telah memenuhi target tersebut. Nilai rataan
peubah ini pun tergolong tinggi yaitu sebesar 92.93 persen. Diharapkan dengan
tingginya persentase balita yang telah diimunisasi BCG ini akan memberikan
kekebalan komunal terhadap penyakit kusta di kemudian hari, sehingga jumlah
kasus kusta dapat menurun.
100.00
90.00
80.00
70.00
PERSENTASE

60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

rendah tinggi

Gambar 2 Pengelompokan kabupaten/kota ke dalam kelas rendah dan tinggi


menurut peubah penjelas
Persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
didapatkan dari jumlah rumah tangga yang melaksanakan 10 indikator PHBS dibagi
dengan rumah tangga yang dipantau. Sepuluh indikator tersebut adalah pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan; bayi diberi ASI eksklusif; balita ditimbang setiap
bulan; menggunakan air bersih; mencuci tangan dengan air bersih dan sabun;
menggunakan jamban sehat; memberantas jentik di rumah sekali seminggu; makan
sayur dan buah setiap hari; melakukan aktifitas fisik setiap hari; dan tidak merokok
di dalam rumah. Kemenkes RI menetapkan target persentase rumah tangga yang
berperilaku hidup bersih dan sehat sebesar 60%. Pada batang X3 di Gambar 2
menampilkan kabupaten/kota yang telah memenuhi target sebesar 54.62 persen.
Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat paling banyak dimiliki
oleh Kota Magelang 97.25%, dan terendah dimiliki oleh Kab. Probolinggo sebesar
24.22%.
Rumah Sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi syarat
kesehatan yang terdiri dari komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku antara
lain yaitu memiliki jamban sehat, tempat pembuangan sampah, sarana air bersih,
sarana pembuangan air limbah, ventilasi baik, kepadatan hunian rumah sesuai dan
14

lantai rumah tidak dari tanah. Pengelompokan peubah persentase rumah sehat (X4)
berdasarkan target yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu sebesar 80%.
Sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2 pada batang X4, hanya 36.13%
kabupaten/kota di Pulau Jawa yang telah memenuhi target, sisanya sebesar 63.87%
kabupaten/kota belum mencapai target.
Salah satu target dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs) pada sektor lingkungan hidup adalah memastikan
masyarakat mencapai akses universal air bersih dan sanitasi yang layak. Pemenuhan
kebutuhan air minum di rumah tangga dapat diukur dari akses air minum layak,
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap akses air minum layak, diantaranya
adalah jenis sumber air utama yang digunakan untuk diminum; jenis sumber air
utama yang digunakan untuk memasak, mandi, dan mencuci; dan jarak sumber air
ke penampungan limbah/kotoran/tinja terdekat ≥ 10 meter. Pengelompokan peubah
persentase penduduk yang memiliki akses air bersih (X5) menggunakan batas kelas
berupa target yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu sebesar 80%. Hasilnya
sebanyak 51.26% kabupaten/kota belum mencapai target, sedangkan kabupaten/
kota yang telah berhasil mencapai target sebanyak 48.74%.
Definisi sanitasi menurut WHO merujuk kepada penyediaan sarana dan
pelayanan pembuangan limbah korotan manusia seperti urine dan faeces. Definisi
rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak adalah apabila fasilitas sanitasi
yang digunakan memenuhi syarat kesehatan, antara lain dilengkapi dengan jenis
kloset leher angsa atau plengsengan dengan tutup dan memiliki tempat pembuangan
akhir tinja tangki (septic tank) atau Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL), dan
merupakan fasilitas buang air besar yang digunakan sendiri atau bersama.
Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi layak (jamban
sehat) paling banyak berada di Kota Bekasi dan paling sedikit berada di Kabupaten
Lebak. Pengelompokan peubah persentase penduduk dengan sanitasi layak (X6)
menggunakan batas kelas berupa target yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu
sebesar 70%. Seperti yang ditampilkan dalam Gambar 2 pada batang X6, sebagian
besar (tepatnya sebanyak 73.11%) kabupaten/kota di Pulau Jawa telah berhasil
memenuhi target.
Peubah rataan tenaga kesehatan per desa (X7) menggunakan batas kelas
sebesar 25.99. Pada Gambar 2 nampak bahwa pada batang milik X7 hanya sedikit
kabupaten/kota yang masuk kategori tinggi. Wilayah dengan rataan tenaga
kesehatan paling tinggi adalah Kota Jakarta Utara dan paling kecil ada di Kabupaten
Pandeglang.
Gambar 3 menyajikan diagram pencar dari masing-masing peubah penjelas
yang akan digunakan dalam pemodelan dengan peubah respon jumlah kasus baru
kusta. Dengan melihat diagram tersebut dapat mempermudah dalam menganalisa
bagaimana pola hubungan antara peubah respon dengan masing-masing peubah
penjelas. Dalam Gambar 3 terlihat adanya pola hubungan linear antara peubah
respon yaitu jumlah kasus baru kusta dengan peubah-peubah penjelasnya.
Berdasarkan Gambar 3 juga dapat dilihat bahwa peubah pesentase balita yang
diimunisasi BCG (X2), persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat
(X3), persentase rumah sehat (X4), persentase rumah tangga dengan akses air
minum layak (X5), persentase rumah tangga dengan sanitasi layak (X6), dan rataan
tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7) memiliki sifat hubungan yang negatif
terhadap jumlah kasus baru kusta. Artinya bahwa jika peubah-peubah tersebut
15

nilainya meningkat, maka nilai jumlah kasus baru kusta akan mengalami
penurunan. Namun dari Gambar 3 juga dapat dilihat bahwa ada satu peubah yang
memiliki sifat hubungan yang positif, yaitu peubah jumlah penduduk (X1). Artinya
jika nilai peubah jumlah penduduk meningkat, maka nilai jumlah kasus baru kusta
juga akan ikut meningkat.

Gambar 3 Diagram pencar jumlah kasus baru kusta dan faktor-faktor yang
memengaruhinya

Pemeriksaan Multikolinearitas

Penelitian ini melibatkan tujuh peubah penjelas yang berhubungan dengan


jumlah kasus baru kusta. Sebelum melakukan analisis menggunakan metode
Regresi Poisson, Regresi Binomial Negatif, RPTG, dan RBNTG maka dilakukan
pengujian multikolinearitas. Pemeriksaan multikolineraritas antar peubah penjelas
dapat dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi dan nilai Variance
Inflation Factor (VIF). Tabel 3 menyajikan tentang nilai koefisien korelasi dan nilai
VIF setiap peubah penjelasnya.
Tabel 3 menunjukkan bahwa ada beberapa peubah penjelas yang saling
berkorelasi (memiliki hubungan linear) yang ditunjukkan dengan besarnya nilai
koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi paling tinggi dimiliki oleh peubah
persentase rumah sehat (X4) dengan persentase jumlah penduduk dengan sanitasi
layak (X6) yang memiliki koefisien korelasi sebesar 0.557. Disusul kemudia peubah
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat (X3) dengan persentase
jumlah penduduk dengan sanitasi layak (X6) yang memiliki koefisien korelasi
sebesar 0.468. Namun di antara peubah penjelas tersebut tidak ada yang memiliki
nilai korelasi yang tinggi (nilai korelasi<0.9). Sehingga disimpulkan seluruh
peubah penjelas masih aman untuk digunakan dalam pemodelan regresi.
Selain dengan melihat besarnya nilai koefisien korelasi, pemeriksaan
multikolinearitas juga dilakukan dengan melihat nilai VIF yang diperoleh dengan
model regresi linear. Masalah multikolinearitas yang serius antar peubah penjelas
terjadi jika nilai VIF>5. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai VIF seluruh
16

peubah penjelas lebih kecil dari 5 (VIF<5) sehingga disimpulkan tidak terjadi
multikolinearitas. Oleh karena itu dalam penelitian ini seluruh peubah penjelas
dapat digunakan dalam kajian pemodelan.
Tabel 3 Nilai koefisien korelasi dan VIF tujuh peubah penjelas

Peubah X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 VIF
X1 1.000 -0.058 -0.151 -0.121 -0.244 -0.231 -0.055 1.090
X2 -0.058 1.000 0.184 0.416 0.209 0.416 0.163 1.333
X3 -0.151 0.184 1.000 0.356 0.150 0.348 0.209 1.251
X4 -0.121 0.416 0.356 1.000 0.198 0.468 0.117 1.471
X5 -0.244 0.209 0.150 0.198 1.000 0.557 0.029 1.498
X6 -0.231 0.416 0.348 0.468 0.557 1.000 0.096 2.005
X7 -0.055 0.163 0.209 0.117 0.029 0.096 1.000 1.065

Pemodelan Regresi Poisson

Pemodelan jumlah kasus baru kusta menggunakan delapan peubah bebas.


Oleh karena data jumlah kasus baru kusta merupakan data cacahan yang
diasumsikan berdistribusi Poisson, pemodelan dilakukan dengan regresi Poisson
dengan fungsi hubung log. Model Regresi Poisson dapat ditulis sebagai berikut:
𝑔(𝜇𝑖 ) = ln(𝜇𝑖 ) = 𝜂𝑖 = 𝒙′𝒊 𝜷 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑥𝑘 ;
dalam hal ini 𝑔(𝜇𝑖 ) merupakan fungsi hubung log.
Pemodelan regresi Poisson dengan delapan peubah penjelas menghasilkan
dugaan parameter sebagai berikut:
Tabel 4 Nilai dugaan parameter model Regresi Poisson
Parameter Nilai dugaan Galat baku Zhitung Nilai p
𝛽0 ⁡(Intersep) 9.427 9.554 x 10-2 98.680 < 2 x 10-16*
𝛽1 3.750 x 10-4 9.225 x 10-6 40.647 < 2 x 10-16*
𝛽2 -4.443 x 10-2 1.123 x 10-3 -39.562 < 2 x 10-16*
𝛽3 -8.612 x 10-3 7.782 x 10-4 -11.066 < 2 x 10-16*
𝛽4 -3.782 x 10-3 7.773 x 10-4 -4.865 1.150 x 10-6*
𝛽5 -1.572 x 10-2 1.033 x 10-3 -15.223 < 2 x 10-16*
𝛽6 6.920 x 10-3 9.716 x 10-4 7.123 1.060 x 10-12*
𝛽7 -6.009 x 10-3 4.178 x 10-4 -14.385 < 2 x 10-16*
Keterangan: *signifikan pada taraf nyata 5%
Setelah diperoleh hasil nilai dugaan parameter b seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 4, maka persamaan regresi Poisson dapat dituliskan sebagai berikut:
𝜂𝑖 = 9.427 + 3.750 × 10−4 𝑥1 − 4.443 × 10−2 𝑥2 − 8.612 × 10−3 𝑥3 −
⁡3.782 × 10−3 𝑥4 − 1.572 × 10−2 𝑥5 + 6.920 × 10−3 𝑥6 − 6.009 × 10−2 𝑥7
Setelah didapatkan nilai estimasi parameter model Regresi Poisson maka
selanjutnya dilakukan pengujian parameter model. Hipotesis yang digunakan
adalah:
H0 :𝛽𝑘 = 0
H1 : 𝛽𝑘 ≠ 0; 𝑘 = 1,2, … ,7
17

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai p dari seluruh peubah penjelas lebih
kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh peubah bebas yang
digunakan dalam model yakni X1, X2, X3, X4, X5, X6, dan X7 memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap jumlah kasus baru kusta.

Pemeriksaan Overdispersi

Salah satu asumsi yang harus terpenuhi dalam regresi Poisson adalah kondisi
nilai tengah sama dengan ragam yang disebut ekuidispersi. Namun dari hasil yang
ditampilkan di Tabel 1 bahwa nilai rataan jumlah kasus baru kusta sebesar 76.59
tidak sama dengan nilai ragamnya yaitu sebesar 9029.26, bahkan nilai ragamnya
jauh lebih besar, hal menunjukkan adanya overdispersi pada data. Di samping itu
besaran nilai uji dispersi adalah sebesar 541.61 yang lebih dari 1 maka disimpulkan
adanya kondisi overdispersi. Nilai residual deviance sebesar 5975.60 dengan
derajat bebas 111 sehingga rasio nilai deviance dengan derajat bebasnya bernilai
53.83. Nilai tersebut lebih besar dari 1 yang artinya data jumlah kasus baru kusta
mengalami overdispersi. Dengan demikian model regresi Poisson tidak sesuai
untuk diterapkan karena menghasilkan dugaan parameter yang tidak efisien.

Pemodelan Regresi Binomial Negatif

Model regresi yang diharapkan dapat mengatasi masalah overdispersi yang


terjadi adalah model regresi binomial negatif. Sebagaimana pada model regresi
Poisson, model regresi binomial negatif dapat ditulis sebagai berikut:
𝑔(𝜇𝑖 ) = ln(𝜇𝑖 ) = 𝜂𝑖 = 𝒙′𝒊 𝜷 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑥𝑘 ;
dalam hal ini 𝑔(𝜇𝑖 ) merupakan fungsi hubung log. Pada Tabel 5 ditunjukkan hasil
pendugaan parameter model regresi dengan tujuh peubah penjelas.
Tabel 5 Nilai dugaan parameter model regresi binomial negatif
Parameter Nilai dugaan Galat baku Zhitung Nilai p
𝛽0 ⁡(Intersep) 10.295 1.250 8.233 < 2 x 10-16*
𝛽1 6.639 x 10-3 0.001 6.350 2.150 x 10-10*
𝛽2 -0.063 0.014 -4.400 1.080 x 10-5*
𝛽3 -2.885 x 10-4 0.005 -0.049 0.961
𝛽4 -0.010 0.007 -1.476 0.140
𝛽5 -0.014 0.008 -1.825 0.067
𝛽6 0.011 0.008 1.301 0.193
𝛽7 -0.008 0.003 3.051 0.002*
Keterangan: *signifikan pada taraf nyata 5%
Bentuk persamaan model regresi binomial negatif yang diperoleh adalah:
𝜂𝑖 = 10.295 + 6.639 × 10−3 𝑥1 − 0.063 𝑥2 − 2.885 × 10−4 𝑥3 − 0.010 𝑥4 −
0.014 𝑥5 + 0.011 𝑥6 − 0.008 𝑥7
Selanjutnya untuk mengetahui peubah penjelas mana saja yang memiliki
pengaruh signifikan terhadap peubah respon dilakukan pengujian parameter model.
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 :𝛽𝑘 = 0
H1 : 𝛽𝑘 ≠ 0; 𝑘 = 1,2, … ,7
18

Hasil pengujian parameter secara parsial dapat dilihat dari nilai p. Dari Tabel
5 diketahui bahwa dari tujuh peubah penjelas, terdapat tiga peubah (yaitu jumlah
penduduk (X1), persentase balita yang diimunisasi BCG (X2), dan persentase rataan
tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7)) yang memiliki nilai p yang lebih kecil
dari 5% yang berarti ketiga peubah penjelas tersebut memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap peubah respon. Sedangkan empat peubah penjelas yang lain
yakni X3, X4, X6, X7, dan X8 memiliki nilai p yang lebih besar dari 5%, sehingga
disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini belum memiliki
cukup bukti untuk menyatakan keempat peubah tersebut memberi pengaruh yang
nyata terhadap jumlah kasus baru kusta.
Dari Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa nilai galat baku dari model regresi
binomial negatif tidak sekecil nilai galat baku dari model regresi Poisson (Tabel 4).
Adanya overdispersi pada data jumlah kasus kusta menyebabkan nilai galat baku
menjadikan lebih kecil (underestimate). Selain itu, nilai residual deviance sebesar
138.27 dengan derajat bebas 111 sehingga rasio nilai deviance dengan derajat
bebasnya bernilai 1.24. Nilai ini mendekati nilai 1 dan jauh lebih kecil dibandingkan
dengan nilai rasio dispersi dari model regresi Poisson yang sebesar 57.09. Hal ini
menunjukkan bahwa model regresi binomial negatif lebih cocok diterapkan pada
data jumlah kasus baru kusta daripada model regresi Poisson.

Pengujian Efek Spasial

Sebelum dilakukan pemodelan spasial, maka terlebih dahulu dilakukan


pengujian aspek data spasial. Pengujian efek spasial dilakukan dengan
menggunakan uji Moran’s I dan uji Breusch-Pagan. Dalam pengujian aspek data
spasial menggunakan taraf nyata 5%. Berikut ini adalah hasil pengujian efek
spasial.
- Uji Moran’s I
Pengujian ini digunakan untuk mengetahui apakah pengamatan di suatu
wilayah memiliki pengaruh pada pengamatan di wilayah lain yang letaknya
berdekatan (dependensi spasial). Hipotesis yang diuji yaitu:
𝐻0 ∶ ⁡⁡𝐼 = 0 (tidak terdapat dependensi spasial)
𝐻1 ∶ ⁡𝐼 ≠ 0 (terdapat dependensi spasial)
Hasil pengolahan diperoleh nilai p sebesar 2.651×10-13. Karena nilai p kurang
dari 5% maka disimpulkan terdapat dependensi spasial antar wilayah.
- Uji Breusch-Pagan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui adanya keragaman spasial antara
satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya. Hipotesis yang diuji
adalah:
𝐻0 ∶ ⁡⁡ 𝜎12 = 𝜎22 = ⋯ = 𝜎119
2
= 𝜎 2 (keragaman antar wilayah sama)
𝐻1 ∶⁡minimal ada satu 𝜎𝑖2 ≠ 0, 𝑖 = 1,2, … ,119 (keragaman antar wilayah
berbeda)
Dari hasil pengolahan uji ini diperoleh nilai p sebesar 1.854×10-4. Karena nilai
p kurang dari 5% maka disimpulkan bahwa ada keragaman antar wilayah
berbeda (terdapat keragaman spasial antar wilayah).
19

Berdasarkan hasil pengujian efek spasial pada data jumlah kasus baru kusta
di seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa didapatkan hasil bahwa terdapat
dependensi spasial dan terdapat keragaman spasial, sehingga analisis dapat
geografis dilanjutkan dengan pemodelan berbasis secara RPTG dan RBNTG.

Matriks Pembobot Spasial

Pemodelan regresi terboboti geografis dilakukan dengan memasukan


pembobot spasial. Matriks pembobot yang digunakan merupakan matriks yang
berisi fungsi kernel yang terdiri dari jarak antar lokasi dan bandwidth, untuk itu
langkah pertama yang harus dilakukan dalam pemodelan dengan regresi terboboti
geografis adalah menentukan jarak euclidean antar lokasi pengamatan. Jarak
euclidean antar pengamatan hasil penghitungan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Fungsi kernel yang digunakan dalam pemodelan regresi terboboti geografis ini
adalah fungsi kernel adaptif kuadrat ganda karena pengamatan tersebar secara
mengelompok, sehingga membutuhkan bandwidth yang berbeda-beda di tiap
lokasinya. Penentuan bandwidth dilakukan dengan metode cross validation.
Setelah diperoleh nilai bandwidth maka diperoleh matriks pembobot spasial dengan
memasukan nilai bandwidth dan jarak euclidean kedalam fungsi kernel. Matriks
pembobot spasial yang diperoleh untuk tiap-tiap lokasi kemudian digunakan untuk
membentuk model regresi terboboti geografis sehingga tiap-tiap lokasi memiliki
model yang berbeda-beda. Matriks pembobot spasial yang diperoleh dapat dilihat
pada Lampiran 2.

Pemodelan Regresi Poisson Terboboti Geografis

Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan pendekatan RPTG.


Langkah-langkah untuk membangun model ini adalah dengan memilih bandwidth
optimum, menentukan matriks pembobot, penaksiran parameter dan pengujian
hipotesis. Peubah yang berpengaruh secara signifikan pada masing-masing
kabupaten/kota diperoleh melalui uji parsial dengan membandingkan nilai |𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 |
dari parameter pada masing-masing kabupaten/kota dengan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 . Dengan
menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5% maka nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = ⁡ 𝑡𝛼,𝑛−(𝑝+1) =
2
𝑡0.025;110 = 2.2725. Misalnya akan menguji apakah parameter
𝛽5 signifikan di lokasi pertama (𝑢1 , 𝑣1 ) yaitu Kab. Kep. Seribu, maka bentuk
pengujian hipotesisnya adalah:
𝐻0 :⁡𝛽5 (𝑢1 , 𝑣1 ) = 0⁡(parameter 𝛽2 tidak berpengaruh signifikan pada lokasi
(𝑢1 , 𝑣1 )
𝐻1 :⁡𝛽5 (𝑢1 , 𝑣1 ) ≠ 0⁡(parameter 𝛽2 berpengaruh signifikan pada lokasi (𝑢1 , 𝑣1 )
Dari hasi perhitungan diperoleh nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 Kep. Seribu adalah 2.7351. Sehingga
|𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yang berarti parameter 𝛽5 signifikan di Kab. Kep. Seribu, tetapi
hal ini belum tentu mengandung pengertian bahwa parameter 𝛽5 juga signifikan di
lokasi lain.
Adapun peubah-peubah yang signifikan di tiap kabupaten/kota dapat dilihat
pada Tabel 6. Pemodelan RPTG menghasilkan 6 kelompok kabupaten/kota
berdasarkan kesamaan peubah penjelas yang signifikan. Koefisien dan peubah yang
20

signifikan berpengaruh terhadap kasus baru kusta berbeda-beda tiap kabupaten/kota


di Pulau Jawa. Beberapa peubah memiliki tanda koefisien yang sama, yaitu peubah
X1, X2, X3, X5, dan X7. Peubah jumlah penduduk (X1) dan peubah persentase rumah
tangga berperilaku hidup bersih dan sehat (X3) memiliki tanda koefisien (+) yang
sama di semua kabupaten/kota, yang artinya setiap kenaikan peubah tersebut
sebanyak satu satuan akan turut menambah rata-rata jumlah kasus baru kusta.
Sedangkan peubah persentase balita yang diimunisasi BCG (X2), persentase
penduduk dengan akses air bersih (X5), dan rataan tenaga kesehatan per
desa/kelurahan (X7) memiliki tanda koefisien (-) yang sama yang memiliki arti
bahwa setiap kenaikan persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat
akan mengurangi rata-rata jumlah kasus baru kusta.
Tabel 6 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan faktor-faktor yang
memengaruhi jumlah kasus baru kusta dengan model RPTG
Peubah
penjelas yang Kabupaten/Kota
signifikan
X1, X2, X3, X5, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Pamekasan,
X6, X7 Sampang, Sumenep

X1, X2, X3, X4, Gunung Kidul, Bantul, Yogyakarta, Kulon Progo, Purworejo,
X5, X6 Sleman, Klaten, Sukoharjo, Kebumen, Kota Surakarta,
Boyolali, Kota Magelang, Magelang, Wonosobo, Sragen, Kota
Salatiga, Banjarnegara, Temanggung, Semarang, Grobogan,
Pekalongan, Batang, Kota Semarang, Kendal, Demak, Kota
Pekalongan, Kudus, Pati, Jepara
X1, X2, X3, X5, Malang, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Pacitan, Lumajang,
X6 Kota Blitar, Kota Malang, Ponorogo, Wonogiri, Kota Batu,
Kota Kediri, Kediri, Kota Probolinggo, Pasuruan, Magetan,
Kota Pasuruan, Kota Madiun, Madiun, Karanganyar,
Mojokerto, Nganjuk, Jombang, Kota Mojokerto, Sidoarjo,
Ngawi, Kota Surabaya, Bojonegoro, Gresik, Lamongan, Blora,
Bangkalan, Tuban, Rembang
X1, X2, X3, X4, Pangandaran, Tasikmalaya, Cilacap, Banyumas, Garut, Kota
X6, X7 Banjar, Kota Tasikmalaya, Cianjur, Purbalingga, Ciamis,
Bandung, Sukabumi, Brebes, Pemalang, Tegal, Kuningan,
Kota Sukabumi, Kota Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi,
Kota Tegal, Sumedang, Majalengka, Kota Cirebon, Cirebon,
Purwakarta, Kota Bogor, Subang, Indramayu, Kota Depok,
Kota Bekasi, Jakarta Selatan, Karawang, Bekasi, Jakarta
Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Utara

X1, X2, X3, X4, Purbalingga, Pemalang


X6
X1, X2, X3, X4, Pandeglang, Lebak, Bogor, Kota Tangerang, Kota Tangerang
X5, X6, X7 Selatan, Tangerang, Serang, Kota Serang, Kota Cilegon,
Jakarta Barat
21

Gambar 4 Pengelompokan kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kesamaan


peubah peubah yang signifikan hasil pemodelan RPTG

Pemodelan Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis

Pemodelan jumlah kasus baru kusta menggunakan metode RBNTG


diharapkan memiliki hasil yang lebih baik. Pendugaan parameter koefisien regresi
pada model RBNTG menggunakan metode Pendugaan Kemungkinan Maksimum
dengan memasukkan pembobot spasial dalam perhitungannya. Model ini
merupakan model nonlinier dan bersifat implisit, sehingga proses pendugaan
koefisien regresi menggunakan iterasi numerik Newton Raphson. Hasil pendugaan
parameter koefisien regresi binomial negatif digunakan sebagai nilai awal dari
iterasi Newton Raphson. Proses iterasi ini dilakukan per kabupaten/kota di Pulau
Jawa.
Matriks pembobot yang digunakan sebagaimana pada Lampiran 2
disesuaikan dengan kabupaten/kota yang akan diduga parameter koefisien
modelnya. Misalnya Kab. Kep. Seribu menggunakan mariks pembobot W(𝑢1 , 𝑣1 ),
Kota Jakarta Selatan dengan matriks pembobot W(𝑢2 , 𝑣2 ), dan seterusnya sampai
Kota Tangerang Selatan dengan matriks pembobot W(𝑢119 , 𝑣119 ).
Pengujian parsial hasil dugaan parameter model digunakan untuk mengetahui
faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus baru kusta di setiap kabupaten/kota
di Pulau Jawa. Koefisien dan peubah yang signifikan berpengaruh terhadap kasus
baru kusta berbeda-beda tiap kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pengujian signifikansi
parameter model menggunakan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 dengan taraf nyata 5%. Nilai dugaan
parameter model pada masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran
3 dan 4, sedangkan untuk pengelompokan berdasarkan peubah yang signifikan
dapat dilihat pada Gambar 6.
Model RBNTG dibangun berdasarkan konsep keragaman spasial dalam data.
Hal tersebut mengakibatkan setiap wilayah memiliki model regresi yang berbeda-
beda. Misal model RBNTG untuk Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut:
̂ = 1.044 + 0.014𝑥1 − 7.16 × 10−5 ⁡𝑥2 − 0.022⁡𝑥3 − 0.053⁡𝑥4
ln(𝜇)
−0.001𝑥5 − 0.007⁡𝑥6 − 0.006𝑥7
22

Model RBNTG Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa peubah jumlah penduduk


(X1) memiliki pengaruh yang positif terhadap jumlah kasus baru kusta. Sedangkan
enam peubah penjelas lainnya yaitu persentase balita yang diimunisasi BCG (X2),
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersh dan sehat (X3), persentase rumah
sehat (X4), persentase penduduk dengan akses air bersih (X5), persentase penduduk
dengan sanitasi layak (X6), dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7)
memiliki pengaruh yang negatif. Hasil pengujian signifikansi parameter model
pada model ini adalah seluruh peubah penjelas memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap jumlah kasus baru kusta.
Untuk menginterpretasikan model RBNTG Kabupaten Bogor yang telah
diperoleh digunakanlah nilai rasio odd dari masing-masing koefisien, yang
dijabarkan sebagai berikut:
 𝛽̂1 = 0.014; artinya untuk setiap penambahan seribu orang penduduk akan
meningkatkan rata-rata jumlah kasus baru kusta sebesar (𝑒 0.014 − 1) ×
100% = 1.410% dengan asumsi peubah lain tetap.
 𝛽̂2 = −7.16 × 10−5; peubah persentase balita yang diimunisasi BCG
memiliki koefien regresinya bertanda negatif maka untuk setiap penambahan
persentase balita yang diimunisasi BCG sebesar 1% akan menurunkan rata-
−5
rata jumlah kasus baru kusta sebesar (1 − 𝑒 −7.16×10 ) × 100% = 0.007%
dengan asumsi peubah lain tetap.
 𝛽̂3 = −0.022; artinya untuk setiap penambahan persentase rumah tangga
berperilaku hidup bersih dan sehat sebesar 1% akan menurunkan rata-rata
jumlah kasus baru kusta sebesar (1 − 𝑒 −0.022 ) × 100% = 2.176% dengan
asumsi peubah lain tetap
 𝛽̂4 = −0.053; artinya untuk setiap penambahan persentase rumah sehat
sebesar 1% akan mengakibatkan penurunan rata-rata jumlah kasus baru kusta
sebesar (1 − 𝑒 −0.053 ) × 100% = 5.162% dengan asumsi peubah lain tetap.
 𝛽̂5 = −0.001; artinya untuk setiap penambahan persentase penduduk dengan
akses air bersih sebesar 1% akan mengakibatkan rata-rata jumlah kasus baru
kusta menurun sebesar (1 − 𝑒 −0.001 ) × 100% = 0.099% dengan asumsi
peubah lain tetap.
 𝛽̂6 = −0.007; artinya untuk setiap penambahan persentase penduduk dengan
sanitasi layak sebesar 1% akan mengakibatkan rata-rata jumlah kasus baru
kusta menurun sebesar (1 − 𝑒 −0.007 ) × 100% = 0.698% dengan asumsi
peubah lain tetap.
 𝛽̂7 = −0.006; artinya untuk setiap penambahan rataan fasilitas kesehatan
sebanyak 1 unit per desa akan mengakibatkan penurunan rata-rata jumlah
kasus baru kusta sebesar (1 − 𝑒 −0.006 ) × 100% = 0.598% dengan asumsi
peubah lain tetap.
Pemodelan RBNTG menghasilkan 14 kelompok kabupaten/kota berdasarkan
kesamaan peubah penjelas yang signifikan. Beberapa peubah memiliki tanda
koefisien yang sama, yaitu peubah X1, X2, X3, X4, X5, dan X7. Peubah jumlah
penduduk (X1) memiliki tanda koefisien (+) yang sama di semua kabupaten/kota,
yang artinya setiap kenaikan peubah tersebut sebanyak satu satuan akan turut
menambah rata-rata jumlah kasus baru kusta. Sedangkan peubah persentase balita
yang diimunisasi BCG (X2), persentase rumah tangga berperilaku hidup bersh dan
sehat (X3), persentase rumah sehat (X4), persentase penduduk dengan akses air
23

bersih (X5), dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7) memiliki tanda
koefisien (-) yang sama yang memiliki arti bahwa setiap kenaikan persentase rumah
tangga berperilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi rata-rata jumlah kasus
baru kusta. Peubah yang signifikan di seluruh kabupaten/kota adalah jumlah
penduduk (X1) dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7).

Gambar 5 Pengelompokan kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kesamaan


peubah penjelas yang signifikan hasil pemodelan RBNTG

Pemilihan Model Terbaik

Untuk penilaian model terbaik dilakukan berdasarkan kriteria AIC dan BIC.
Gambar 6 menyajikan nilai AIC dan BIC dari keempat model yang telah diterapkan.
Nilai AIC dan BIC yang semakin kecil menunjukkan model yang semakin sesuai.
Model yang lebih baik diterapkan untuk data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa
adalah model RBNTG karena mempunyai nilai AIC dan BIC yang lebih kecil
dibandingkan dengan model regresi Poisson, regresi binomial negatif, dan RPTG.
Selain itu, dari hasil pemodelan RBNTG dihasilkan kesesuaian tanda koefisien
dugaan parameter yang lebih banyak dibandingkan dengan hasil pemodelan lain.

8000
6951.43
7000 6620

6000 5407.88 5410.31


5000
4000
3000
2000 1212.6 1236.19
1000 646.82 649.44

0
Regresi Poisson Regresi Binomial RPTG RBNTG
Negatif

AIC BIC

Gambar 6 Kriteria pemilihan model terbaik


24

5 SIMPULAN

Pemodelan linear terampat (yakni model regresi Poisson dan regresi binomial
negatif) dan pemodelan spasial (RPTG dan RBNTG) telah digunakan untuk
mengkaji data jumlah kasus baru kusta di Pulau Jawa tahun 2017. Pemodelan
RBNTG memberikan hasil yang paling baik dalam memodelkan jumlah kasus baru
kusta di Pulau Jawa tahun 2017 berupa data cacah yang memiliki masalah
overdispersi serta keragaman spasial. Model RBNTG dinilai paling baik untuk
diterapkan karena mempunyai nilai AIC dan BIC terkecil serta memiliki kesesuaian
tanda koefisien parameter model yang lebih banyak.
Faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus kusta di setiap kabupaten/kota
di Pulau Jawa beragam. Model RBNTG dengan pembobot kernel adaptif kuadrat
ganda mengelompokkan kabupaten/kota di Pulau Jawa menjadi 14 kelompok
berdasarkan faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap jumlah kasus baru
kusta. Peubah jumlah penduduk (X1) memiliki tanda koefisien (+) yang sama di
semua kabupaten/kota, yang artinya setiap kenaikan peubah tersebut sebanyak satu
satuan akan turut menambah rata-rata jumlah kasus baru kusta. Sedangkan peubah
persentase balita yang diimunisasi BCG (X2), persentase rumah tangga berperilaku
hidup bersh dan sehat (X3), persentase rumah sehat (X4), persentase penduduk
dengan akses air bersih (X5), dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7)
memiliki tanda koefisien (-) yang sama yang memiliki arti bahwa setiap kenaikan
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi rata-
rata jumlah kasus baru kusta. Peubah yang signifikan di seluruh kabupaten/kota
adalah jumlah penduduk (X1) dan rataan tenaga kesehatan per desa/kelurahan (X7).

DAFTAR PUSTAKA

Aditya G. 2014. Robust Regresi Data Panel untuk Memprediksi Kasus Kusta pada
Tahun 2012-2016 di Provinsi Jawa Barat [Tesis]. Bandung (ID): Universitas
Padjajaran.
Afri LE. 2012. Model Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis Untuk Data
Kematian Bayi [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Agresti A. 2002. Categorical Data Analysis, second edition. New York (US): Jhon
Wiley & Sons, Inc.
Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Boston (US): Kluwer
Academic Publishers.
Arfidina KI, Susilawati M, & Srinadi IGAM. 2017. Regresi Poisson dalam
Memodelkan Jumlah Penderita Kusta di Provinsi Bali. Prosiding Seminar
Nasional SAINSTEK 2017. doi:10.1142/S1793536909000047.
Cameron AC, Trivedi PK. 2013. Regression Analysis of Count Data. Cambridge
(UK): Cambridge University Press.
Dobson AJ, Barnett A. (2002). An introduction to generalized linear models Thirth
Edition. Boca Raton (US): CRC press.
25

Dwinata A. 2012. Model Regresi Logistik Terboboti Geografis (Studi Kasus:


Pemodelan Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur) [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Dzikrina AM, Purnami SW. 2013. Pemodelan Angka Prevalensi Kusta dan Faktor-
faktor yang Memengaruhi di Jawa Timur dengan Pendekatan Geographically
Weighted Regression (GWR). Jurnal Sains dan Seni Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Vol. 2 No. 2. 275–281. doi:10.21082/akp.v14n2.2016.149-
162.
Fotheringham AS, Brunsdon C, Charlton M. 2002. Geographically Weighted
Regression: The Analysis of Spatially Varying Relationships. Chichester (UK):
John Wiley & Sons.
Hardin JW, Hilbe JM, Hilbe J. 2007. Generalized Linear Models and
Extensions Fourth Edition. Texas (US): Stata Press. Publication
Hilbe JM. 2011. Negative Binomial Regression 2nd Edition. Cambridge (UK):
Cambridge University Press.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Mann J, Larsen P, Brinkley J. 2014. Exploring The Use of Negative Binomial
Regression Modeling for Pediatric Peripheral Intravenous Catheterization.
Journal of Medical Statistics and Informatics. 2(1). 6. doi:10.7243/2053-
7662-2-6.
Molla DT, Muniswamy B. 2012. Power of Tests for Overdispersion Parameter in
Negative Binomial Regression Model. Journals of Mathematics. 4(1):29-36.
McCullagh P, Nelder JA. 1989. Generalized Linear Models Second Edition.
London (UK): Chapman and Hall.
McCulloch CE, Searle SR. 2001. Generalized Linear and Mixed Models. Canada
(CA): John Wiley & Sons, Inc
Myers RH, Montgomery DC, Vining GG, Robinson TJ. 2010. Generalized Linear
Models with Applications in Engineering and the Sciences Second Edition.
New Jersey (US): John Wiley & Sons.
Nurfain, Purnami SW. 2017. Analisis Regresi Cox Extended pada Pasien Kusta di
Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan. Jurnal Sains dan Seni Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Vol. 6 No. 1. 94–100.
doi:10.1098/rspa.2003.1221.
Pusdatin Kementerian Kesehatan RI. 2018. Hapuskan Stigma dan Diskriminasi
Terhadap Kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Ramadhan RF, Kurniawan R. 2016. Pemodelan Data Kematian Bayi dengan
Geographically Weighted Negative Binomial Regression. Media Statistika
Vol. 9 No. 2. 95-106. doi:10.14710/medstat.9.2.95-106
Shovalina MR, Atok RM. 2016. Pemodelan dan Pemetaan Prevalensi Kusta di
Kabupaten/Kota Jawa Timur dengan Pendekatan Mixed Geographically
Weighted Regression. Jurnal Sains dan Seni Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Vol. 5 No. 2. 396 – 401. doi: 10.1016/j.eneco.2007.02.012
Susanti KN, Mahalul Azam. Hubungan Status Vaksinasi BCG, Riwayat Kontak
dan Personal Hygiene dengan Kusta di Kota Pekalongan. Unnes Journal of
Public Health 5 (2) (2016): 130-139. doi: 10.15294/ujph.v5i2
Walpole RE, Myers RH, Myers SL, Ye K. 1993. Probability and statistics for
engineers and scientists (Vol. 5). New York (US): Macmillan.
26

Widodo TC, Sunaryo S, Purhadi. 2013. Pemodelan Spasial Balita Gizi Buruk
dengan Geographically Weighted Negative Binomial Regression dan
Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi 2015 Institut Teknologi Nasional Malang. 631-638.
doi:10.33964/jp.v27i1.402
27

LAMPIRAN
28

Lampiran 1 Jarak euclidean antar kabupaten/kota di Pulau Jawa


Tangerang
Kab/Kota Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat …
Selatan
Kep. Seribu 0 0.082002 0.088169 … 0.175600
Jak. Pusat 0.082002 0 0.094700 … 0.255640
Jak. Utara 0.088169 0.160684 0 … 0.142347
Jak. Barat 0.094700 0.162447 0.123569 … 0.106667
Jak. Selatan 0.105713 0.068171 0.193862 … 0.251242
Jak. Timur 0.513454 0.538293 0.447511 … 0.548064
Bogor 0.437967 0.510301 0.414630 … 0.272609
Sukabumi 0.902111 0.952792 0.909950 … 0.772795
Cianjur 1.261249 1.272674 1.310485 … 1.208396
Bandung 1.202453 1.188108 1.271700 … 1.205494
Garut 1.554565 1.543615 1.620810 … 1.546041
Tasikmalaya 1.941761 1.921613 2.013644 … 1.950305
Ciamis 1.941658 1.90585 2.022191 … 1.984992
Kuningan 1.911474 1.864071 1.996691 … 1.981552
Cirebon 1.694751 1.638149 1.782319 … 1.787680
Majalengka 1.557863 1.509011 1.643642 … 1.633387
Sumedang 1.314276 1.272105 1.397920 … 1.376739
Indramayu 1.384135 1.321349 1.472301 … 1.493830
Subang 0.946573 0.892405 1.033898 … 1.040722
Purwakarta 0.726490 0.692980 0.807593 … 0.781846
Karawang 0.523957 0.460088 0.612053 … 0.648719
Bekasi 0.287619 0.225402 0.375664 … 0.422177
Bandung
Barat 0.921229 0.909385 0.989752 … 0.924615
Pangandaran 2.224938 2.196875 2.301326 … 2.249514
Kota Bogor 0.763874 0.797538 0.794152 … 0.673920
Kota …
Sukabumi 1.101066 1.077162 1.176359 1.126430
Kota …
Cirebon 1.807442 1.751735 1.894838 1.897663
Kota Bekasi 0.171963 0.153732 0.254678 … 0.269126
Kota Depok 0.215647 0.269271 0.240585 … 0.144414
Kota Cimahi 0.992257 0.970943 1.066360 … 1.014197
Kota …
Tasikmalaya 1.818328 1.790029 1.895106 1.845597
Kota Banjar 2.103814 2.067601 2.184462 … 2.147254
Cilacap 2.296691 2.258031 2.378391 … 2.344901
Banyumas 2.642161 2.597371 2.726300 … 2.703467
Purbalingga 2.814228 2.764620 2.899986 … 2.886535
Banjarnegara 3.055495 3.004227 3.141718 … 3.131313
Kebumen 3.148587 3.103580 3.232732 … 3.209253
Purworejo 3.479698 3.432191 3.564709 … 3.545745
Wonosobo 3.310830 3.258795 3.397247 … 3.388081
Magelang 3.741415 3.687498 3.828290 … 3.822702
Boyolali 4.018815 3.964243 4.105833 … 4.101422
Klaten 4.073131 4.020756 4.159600 … 4.150244
Sukoharjo 4.271452 4.217809 4.358241 … 4.351504
Wonogiri 4.513754 4.462416 4.599918 … 4.587904
Karanganyar 4.428927 4.373496 4.516122 … 4.513301
… … … … … …
Tangerang
Selatan 0.175600 0.255640 0.142347 … 0
29

Lampiran 2 Matriks pembobot spasial


Tangerang
Kab/Kota Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat …
Selatan
Kep. Seribu 1 0.999442 0.999355 … 0.997445
Jak. Pusat 0.999429 1 0.997809 … 0.994460
Jak. Utara 0.999378 0.997934 1 … 0.998379
Jak. Barat 0.999256 0.997811 0.998733 … 0.999056
Jak. Selatan 0.999032 0.999598 0.996748 … 0.994541
Jak. Timur 0.981705 0.979901 0.986087 … 0.979169
Bogor 0.984932 0.979571 0.986489 … 0.994148
Sukabumi 0.932007 0.924307 0.930842 … 0.949869
Cianjur 0.830080 0.827134 0.817234 … 0.843428
Bandung 0.823490 0.827478 0.803710 … 0.822640
Garut 0.686755 0.690746 0.662265 … 0.689863
Tasikmalaya 0.442302 0.451547 0.409344 … 0.438382
Ciamis 0.374797 0.392349 0.335670 … 0.353672
Kuningan 0.363315 0.387150 0.320975 … 0.328437
Cirebon 0.521787 0.548466 0.480131 … 0.477570
Majalengka 0.618216 0.639140 0.580770 … 0.585289
Sumedang 0.755898 0.770303 0.726373 … 0.733965
Indramayu 0.717436 0.740598 0.683773 … 0.675366
Subang 0.889254 0.901245 0.868626 … 0.866948
Purwakarta 0.941720 0.946900 0.928236 … 0.932660
Karawang 0.971775 0.978201 0.961587 … 0.956899
Bekasi 0.992291 0.995262 0.986868 … 0.983429
Bandung
Barat 0.905116 0.907481 0.890896 … 0.904435
Pangandaran 0.205607 0.218219 0.172445 … 0.194744
Kota Bogor 0.985441 0.981735 0.984204 … 0.992031
Kota …
Sukabumi 0.946871 0.942156 0.942639 0.958522
Kota …
Cirebon 0.850479 0.856652 0.830308 0.843806
Kota Bekasi 0.436831 0.464456 0.393566 … 0.392172
Kota Depok 0.997378 0.997904 0.994254 … 0.993584
Kota Cimahi 0.996082 0.993894 0.995125 … 0.998242
Kota …
Tasikmalaya 0.883845 0.888635 0.866489 0.878818
Kota Banjar 0.489996 0.503054 0.454448 … 0.477387
Cilacap 0.249078 0.266434 0.211540 … 0.228653
Banyumas 0.156375 0.172744 0.123669 … 0.136749
Purbalingga 0.017777 0.026395 0.005968 … 0.008583
Banjarnegara 0.001355 0.004966 0 … 0
Kebumen 0 0 0 … 0
Purworejo 0 0 0 … 0
Wonosobo 0 0 0 … 0
Magelang 0 0 0 … 0
Boyolali 0 0 0 … 0
Klaten 0 0 0 … 0
Sukoharjo 0 0 0 … 0
Wonogiri 0 0 0 … 0
Karanganyar 0 0 0 … 0
… … … … … …
Tangerang
Selatan 0.997535 0.994778 0.998380 … 1
30

Lampiran 3 Penduga parameter analisis RBNTG


No. Kab/Kota Intersep 𝛽̂1 𝛽̂2 𝛽̂3 𝛽̂4
1 Kep. Seribu 1.065371 0.008130 -0.000420 -0.00995 -0.03237
2 Jakarta Pusat 1.064242 0.008266 -0.000430 -0.01034 -0.03387
3 Jakarta Utara 1.060852 0.008623 -0.000440 -0.01136 -0.03765
4 Jakarta Barat 1.054944 0.009173 -0.000450 -0.01259 -0.04117
5 Jakarta Selatan 1.057135 0.008985 -0.000450 -0.01220 -0.04021
6 Jakarta Timur 1.059063 0.008806 -0.000450 -0.01180 -0.03909
7 Bogor 1.043966 0.014615 -7.16E-05 -0.02262 -0.05337
8 Sukabumi 1.062817 0.008428 -0.000440 -0.01080 -0.03578
9 Cianjur 1.058692 0.008843 -0.000450 -0.01189 -0.03935
10 Bandung 1.041802 0.010078 -0.000410 -0.01402 -0.04436
11 Garut 1.061067 0.008622 -0.000440 -0.01132 -0.0377
12 Tasikmalaya 1.054009 0.009268 -0.000450 -0.01275 -0.04166
13 Ciamis 1.048360 0.009685 -0.000440 -0.01345 -0.04323
14 Kuningan 1.065045 0.008198 -0.000430 -0.01006 -0.03307
15 Cirebon 1.036160 0.010347 -0.000370 -0.01441 -0.04512
16 Majalengka 1.063927 0.008327 -0.000430 -0.01045 -0.03467
17 Sumedang 1.060706 0.008671 -0.000440 -0.01142 -0.03814
18 Indramayu 1.065716 0.008126 -0.000420 -0.00981 -0.03227
19 Subang 1.057979 0.008934 -0.000450 -0.01206 -0.03998
20 Purwakarta 1.031357 0.010539 -0.000320 -0.01470 -0.04567
21 Karawang 1.036745 0.010312 -0.000370 -0.01438 -0.04509
22 Bekasi 1.058586 0.008882 -0.000450 -0.01193 -0.03966
23 Bandung Barat 1.063238 0.008411 -0.000430 -0.01068 -0.03565
24 Pangandaran 1.061992 0.008547 -0.000440 -0.01107 -0.03706
25 Kota Bogor 1.026047 0.010791 -0.000250 -0.01502 -0.04624
26 Kota Sukabumi 1.037033 0.010290 -0.000370 -0.01436 -0.04510
27 Kota Bandung 1.042229 0.010049 -0.000410 -0.01399 -0.04441
28 Kota Cirebon 1.046064 0.009839 -0.000430 -0.01367 -0.04379
29 Kota Bekasi 1.052845 0.009382 -0.000450 -0.01292 -0.04219
30 Kota Depok 1.029519 0.012139 -0.000210 -0.01560 -0.04718
31 Kota Cimahi 1.062337 0.008519 -0.000440 -0.01097 -0.03680
32 KotaTasikmalaya 1.037990 0.013930 -0.000120 -0.01764 -0.04993
33 Kota Banjar 1.054501 0.009254 -0.000450 -0.01268 -0.04166
34 Cilacap 1.055502 0.009171 -0.000450 -0.01252 -0.04128
35 Banyumas 1.048946 0.009662 -0.000440 -0.01339 -0.04323
36 Purbalingga 1.060721 0.008690 -0.000440 -0.01143 -0.03833
37 Banjarnegara 1.039433 0.014163 -0.000110 -0.01837 -0.05073
38 Kebumen 1.057742 0.008981 -0.000440 -0.01212 -0.04029
39 Purworejo 1.045986 0.009847 -0.000420 -0.01368 -0.04385
40 Wonosobo 1.059613 0.008806 -0.000440 -0.01171 -0.03919
41 Magelang 1.042359 0.010040 -0.000400 -0.01399 -0.04445
42 Boyolali 1.033263 0.010416 -0.000330 -0.01460 -0.04559
43 Klaten 1.036414 0.010294 -0.000360 -0.01440 -0.04524
44 Sukoharjo 1.060517 0.008724 -0.000440 -0.01149 -0.03860
45 Wonogiri 1.061673 0.008608 -0.000440 -0.01118 -0.03764
46 Karanganyar 1.052867 0.009398 -0.000440 -0.01292 -0.04230
47 Sragen 1.037637 0.013663 -0.000140 -0.01714 -0.04936
48 Grobogan 1.035333 0.013148 -0.000160 -0.01638 -0.04837
49 Blora 1.040926 0.014340 -9.56E-05 -0.01927 -0.05159
50 Rembang 1.027827 0.011052 -0.000240 -0.01510 -0.04645
51 Pati 1.048489 0.009703 -0.000430 -0.01344 -0.04343
52 Kudus 1.038679 0.013838 -0.000130 -0.01754 -0.04984
53 Jepara 1.039919 0.014089 -0.000110 -0.01826 -0.05065
54 Demak 1.031506 0.012042 -0.000210 -0.01552 -0.04713
31

No. Kab/Kota Intersep 𝛽̂1 𝛽̂2 𝛽̂3 𝛽̂4


55 Semarang 1.041964 0.014520 -8.35E-05 -0.02045 -0.05248
56 Temanggung 1.040068 0.010136 -0.000380 -0.01416 -0.04484
57 Kendal 1.034081 0.012695 -0.000190 -0.01595 -0.04778
58 Batang 1.039456 0.013931 -0.000120 -0.01782 -0.05018
59 Pekalongan 1.061876 0.008604 -0.000430 -0.01112 -0.03760
60 Pemalang 1.031447 0.010463 -0.000290 -0.01472 -0.04587
61 Tegal 1.057031 0.009076 -0.000440 -0.01227 -0.04084
62 Brebes 1.061046 0.008693 -0.000440 -0.01136 -0.03835
63 Kota Magelang 1.039252 0.010163 -0.000370 -0.01422 -0.04498
64 Kota Surakarta 1.060082 0.008803 -0.000440 -0.01161 -0.03917
65 Kota Salatiga 1.047977 0.009746 -0.000420 -0.01349 -0.04365
66 Kota Semarang 1.041915 0.014359 -9.13E-05 -0.01968 -0.05195
67 Kota Pekalongan 1.053607 0.009374 -0.000440 -0.01283 -0.04225
68 Kota Tegal 1.043188 0.014662 -7.24E-05 -0.02220 -0.05329
69 Kulon Progo 1.064490 0.008333 -0.000420 -0.01025 -0.03467
70 Bantul 1.038325 0.013417 -0.000150 -0.01682 -0.04902
71 Gunung Kidul 1.034012 0.012172 -0.000210 -0.01557 -0.04728
72 Sleman 1.063819 0.008412 -0.000430 -0.01049 -0.03562
73 Kota Yogyakarta 1.062784 0.008529 -0.000430 -0.01084 -0.03687
74 Pacitan 1.035858 0.012699 -0.000180 -0.01596 -0.04786
75 Ponorogo 1.037315 0.013107 -0.000160 -0.01639 -0.04846
76 Trenggalek 1.031975 0.011385 -0.000230 -0.01516 -0.04665
77 Tulungagung 1.038022 0.010187 -0.000350 -0.01430 -0.04521
78 Blitar 1.039903 0.013771 -0.000130 -0.01754 -0.04991
79 Kediri 1.065288 0.008245 -0.000420 -0.00994 -0.03352
80 Malang 1.032091 0.010409 -0.000280 -0.01470 -0.04591
81 Lumajang 1.057821 0.009038 -0.000440 -0.01212 -0.04063
82 Jember 1.043145 0.014580 -7.64E-05 -0.02156 -0.05307
83 Banyuwangi 1.042191 0.014316 -9.24E-05 -0.01960 -0.05191
84 Bondowoso 1.043208 0.009985 -0.000390 -0.01392 -0.04455
85 Situbondo 1.042597 0.014405 -8.67E-05 -0.02019 -0.05233
86 Probolinggo 1.034637 0.012021 -0.000210 -0.01546 -0.04716
87 Pasuruan 1.042447 0.014350 -8.98E-05 -0.01986 -0.05210
88 Sidoarjo 1.038253 0.013145 -0.000160 -0.01646 -0.04859
89 Mojokerto 1.041807 0.014130 -0.000100 -0.01880 -0.05124
90 Jombang 1.041248 0.013962 -0.000110 -0.01818 -0.05063
91 Nganjuk 1.047403 0.009789 -0.000410 -0.01355 -0.04388
92 Madiun 1.054555 0.009331 -0.000430 -0.01268 -0.04207
93 Magetan 1.040711 0.013729 -0.000130 -0.01756 -0.04997
94 Ngawi 1.049884 0.009656 -0.000420 -0.01329 -0.04340
95 Bojonegoro 1.041136 0.013797 -0.000120 -0.01777 -0.05021
96 Tuban 1.044450 0.014836 -5.95E-05 -0.02616 -0.05292
97 Lamongan 1.044159 0.014725 -6.58E-05 -0.02400 -0.05344
98 Gresik 1.043092 0.014349 -8.75E-05 -0.02017 -0.05234
99 Bangkalan 1.043755 0.014567 -7.47E-05 -0.02199 -0.05322
100 Sampang 1.046231 0.009849 -0.000390 -0.01366 -0.04418
101 Pamekasan 1.043966 0.014615 -7.16E-05 -0.02262 -0.05337
102 Sumenep 1.042904 0.014199 -9.55E-05 -0.01942 -0.05180
103 Kota Kediri 1.042277 0.013936 -0.000110 -0.01834 -0.05084
104 Kota Blitar 1.044004 0.014533 -7.54E-05 -0.02198 -0.05322
105 Kota Malang 1.044211 0.014552 -7.37E-05 -0.02236 -0.05331
106 Kota Probolinggo 1.044031 0.014467 -7.84E-05 -0.02152 -0.05306
107 Kota Pasuruan 1.044172 0.014518 -7.55E-05 -0.02204 -0.05323
108 Kota Mojokerto 1.043735 0.014327 -8.63E-05 -0.02044 -0.05252
109 Kota Madiun 1.044002 0.014408 -8.14E-05 -0.02111 -0.05288
110 Kota Surabaya 1.044166 0.014468 -7.79E-05 -0.02166 -0.05311
111 Kota Batu 1.044399 0.014551 -7.30E-05 -0.02259 -0.05335
32

No. Kab/Kota Intersep 𝛽̂1 𝛽̂2 𝛽̂3 𝛽̂4


112 Lebak 1.044273 0.014497 -7.61E-05 -0.02199 -0.05321
113 Pandeglang 1.044496 0.014587 -7.09E-05 -0.02305 -0.05342
114 Serang 1.044355 0.014521 -7.46E-05 -0.02227 -0.05329
115 Tangerang 1.044833 0.014715 -6.36E-05 -0.02518 -0.05320
116 Kota Tangerang 1.044271 0.014469 -7.74E-05 -0.02177 -0.05315
117 Kota Cilegon 1.044758 0.014669 -6.61E-05 -0.02439 -0.05336
118 Kota Serang 1.044962 0.014686 -6.45E-05 -0.02506 -0.05322
119 Tangerang Selatan 1.044947 0.014544 -7.13E-05 -0.02331 -0.05341
33

Lampiran 3 Penduga parameter analisis RBNTG (lanjutan)


No. Kab/Kota 𝛽̂5 𝛽̂6 𝛽̂7
1 Kep. Seribu -0.00303 0.000748 -0.00499
2 Jakarta Pusat -0.00300 0.000505 -0.00485
3 Jakarta Utara -0.00288 -7.92E-05 -0.00453
4 Jakarta Barat -0.00261 -0.001040 -0.00402
5 Jakarta Selatan -0.00272 -0.000720 -0.00419
6 Jakarta Timur -0.00281 -0.000420 -0.00435
7 Bogor -0.00126 -0.007170 -0.00066
8 Sukabumi -0.00296 0.000215 -0.00469
9 Cianjur -0.00280 -0.000490 -0.00431
10 Bandung -0.00168 -0.002830 -0.00314
11 Garut -0.00291 -0.000150 -0.00449
12 Tasikmalaya -0.00257 -0.001320 -0.00389
13 Ciamis -0.00220 -0.002130 -0.00350
14 Kuningan -0.00305 0.000553 -0.00488
15 Cirebon -0.00113 -0.003450 -0.00282
16 Majalengka -0.00302 0.000324 -0.00476
17 Sumedang -0.00291 -0.000280 -0.00443
18 Indramayu -0.00307 0.000657 -0.00494
19 Subang -0.00279 -0.000760 -0.00418
20 Purwakarta -0.00058 -0.003800 -0.00257
21 Karawang -0.00118 -0.003520 -0.00281
22 Bekasi -0.00282 -0.000680 -0.00423
23 Bandung Barat -0.00300 0.000157 -0.00467
24 Pangandaran -0.00296 -8.91E-05 -0.00453
25 Kota Bogor 0.00016 -0.003770 -0.00229
26 Kota Sukabumi -0.00119 -0.003630 -0.00279
27 Kota Bandung -0.00170 -0.003110 -0.00306
28 Kota Cirebon -0.00203 -0.002650 -0.00328
29 Kota Bekasi -0.00251 -0.001690 -0.00373
30 Kota Depok 0.00581 -0.004690 -0.00156
31 Kota Cimahi -0.00298 -6.45E-05 -0.00455
32 KotaTasikmalaya 0.01117 -0.006250 -0.00086
33 Kota Banjar -0.00262 -0.001450 -0.00385
34 Cilacap -0.00267 -0.001290 -0.00392
35 Banyumas -0.00225 -0.002310 -0.00344
36 Purbalingga -0.00292 -0.000390 -0.00438
37 Banjarnegara 0.01177 -0.006460 -0.00079
38 Kebumen -0.00279 -0.000950 -0.00410
39 Purworejo -0.00202 -0.002780 -0.00323
40 Wonosobo -0.00288 -0.000620 -0.00426
41 Magelang -0.00017 -0.003260 -0.00301
42 Boyolali -0.00071 -0.004140 -0.00252
43 Klaten -0.00108 -0.003940 -0.00267
44 Sukoharjo -0.00293 -0.000490 -0.00433
45 Wonogiri -0.00297 -0.000280 -0.00444
46 Karanganyar -0.00253 -0.001860 -0.00366
47 Sragen 0.00103 -0.006250 -0.00091
48 Grobogan 0.00085 -0.005880 -0.00108
49 Blora 0.00122 -0.006690 -0.00074
50 Rembang 0.00024 -0.004250 -0.00202
51 Pati -0.00222 -0.002590 -0.00334
52 Kudus 0.00108 -0.006410 -0.00086
53 Jepara 0.00115 -0.006580 -0.00079
54 Demak 0.00047 -0.005120 -0.00151
55 Semarang 0.00125 -0.006820 -0.00070
34

No. Kab/Kota 𝛽̂5 𝛽̂6 𝛽̂7


56 Temanggung -0.001460 -0.00375 -0.00281
57 Kendal 0.000683 -0.00567 -0.00123
58 Batang 0.001105 -0.00654 -0.00082
59 Pekalongan -0.003000 -0.00032 -0.00442
60 Pemalang -0.000400 -0.00444 -0.00234
61 Tegal -0.002780 -0.00127 -0.00395
62 Brebes -0.002970 -0.00050 -0.00433
63 Kota Magelang -0.001360 -0.00395 -0.00274
64 Kota Surakarta -0.002940 -0.00076 -0.00420
65 Kota Salatiga -0.002180 -0.00293 -0.00321
66 Kota Semarang 0.001212 -0.00687 -0.00072
67 Kota Pekalongan -0.002600 -0.00202 -0.00361
68 Kota Tegal 0.001270 -0.00699 -0.00067
69 Kulon Progo -0.003100 0.00014 -0.00466
70 Bantul 0.000923 -0.00645 -0.00094
71 Gunung Kidul 0.000448 -0.00566 -0.00138
72 Sleman -0.003080 -1.70E-05 -0.00458
73 Kota Yogyakarta -0.003050 -0.00024 -0.00446
74 Pacitan 0.000645 -0.00604 -0.00117
75 Ponorogo 0.000804 -0.00630 -0.00103
76 Trenggalek 0.000174 -0.00517 -0.00172
77 Tulungagung -0.001170 -0.00437 -0.00258
78 Blitar 0.001045 -0.00668 -0.00083
79 Kediri -0.003120 0.00029 -0.00474
80 Malang -0.000370 -0.00473 -0.00225
81 Lumajang -0.002850 -0.00132 -0.00394
82 Jember 0.001254 -0.00702 -0.00068
83 Banyuwangi 0.001199 -0.00694 -0.00072
84 Bondowoso -0.001730 -0.00387 -0.00284
85 Situbondo 0.001219 -0.00699 -0.00070
86 Probolinggo 0.000358 -0.00578 -0.00140
87 Pasuruan 0.001206 -0.00698 -0.00071
88 Sidoarjo 0.000807 -0.00648 -0.00099
89 Mojokerto 0.001150 -0.00694 -0.00074
90 Jombang 0.001101 -0.00689 -0.00078
91 Nganjuk -0.002130 -0.00337 -0.00306
92 Madiun -0.002670 -0.00209 -0.00360
93 Magetan 0.001023 -0.00685 -0.00082
94 Ngawi -0.002340 -0.00304 -0.00321
95 Bojonegoro 0.001044 -0.00691 -0.00080
96 Tuban 0.001288 -0.00716 -0.00064
97 Lamongan 0.001273 -0.00715 -0.00065
98 Gresik 0.001202 -0.00711 -0.00069
99 Bangkalan 0.001247 -0.00715 -0.00067
100 Sampang -0.002010 -0.00380 -0.00291
101 Pamekasan -0.001260 -0.00717 -0.00066
102 Sumenep 0.001163 -0.00713 -0.00071
103 Kota Kediri 0.001085 -0.00709 -0.00076
104 Kota Blitar 0.001238 -0.00721 -0.00066
105 Kota Malang 0.001241 -0.00724 -0.00066
106 Kota Probolinggo 0.001224 -0.00724 -0.00067
107 Kota Pasuruan 0.001234 -0.00725 -0.00066
108 Kota Mojokerto 0.001192 -0.00724 -0.00068
109 Kota Madiun 0.001210 -0.00726 -0.00067
110 Kota Surabaya 0.001223 -0.00727 -0.00067
111 Kota Batu 0.001239 -0.00728 -0.00066
112 Lebak 0.001229 -0.00728 -0.00066
35

No. Kab/Kota 𝛽̂5 𝛽̂6 𝛽̂7


113 Pandeglang 0.001246 -0.00728 -0.00065
114 Serang 0.001233 -0.00728 -0.00066
115 Tangerang 0.001267 -0.00729 -0.00064
116 Kota Tangerang 0.001222 -0.00729 -0.00066
117 Kota Cilegon 0.001259 -0.00730 -0.00064
118 Kota Serang 0.001261 -0.00733 -0.00064
119 Tangerang Selatan 0.001234 -0.00739 -0.00065
36

Lampiran 4 Ringkasan nilai dugaan parameter hasil pemodelan RBNTG

Min Mean Median Max


Intersep 1.026047 1.065716 1.047026 1.044172
𝛽̂1 0.008126 0.014836 0.011424 0.010409
𝛽̂2 -0.000450 -0.000059 -0.000270 -0.000330
𝛽̂3 -0.026160 -0.009810 -0.015840 -0.014600
𝛽̂4 -0.053440 -0.032270 -0.045550 -0.045590
𝛽̂5 -0.003120 -0.011770 -0.000570 -0.001080
𝛽̂6 -0.007390 -0.000748 -0.003990 -0.003950
𝛽̂7 -0.004990 -0.000640 -0.002420 -0.002570
37

Lampiran 5 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan kesamaan peubah


penjelas yang signifikan hasil model RBNTG

Peubah
penjelas yang Kabupaten/Kota
signifikan
X1, X4, X5, X6, Situbondo, Banyuwangi
X7
X1, X2, X4, X5, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Sumenep, Sampang,
X6, X7 Pamekasan, Bangkalan, Kota Probolinggo
X1, X2, X3, X5, Pangandaran, Cilacap, Kota Banjar, Ciamis, Kuningan,
X6, X7 Majalengka, Kota Cirebon, Cirebon, Indramayu, Subang,
Purwakarta, Tasikmalaya
X1, X2, X3, X4, Klaten, Purworejo, Karanganyar, Sukoharjo, Kota Surakarta,
X6, X7 Boyolali, Grobogan, Sragen, Demak, Kudus, Jepara, Kota
Salatiga, Temanggung, Semarang, Blora, Kota Semarang,
Kendal
X1, X2, X3, X4, Banjarnegara, Wonosobo, Kebumen, Banyumas, Purbalingga,
X5, X7 Pemalang, Batang, Brebes, Tegal, Kota Tegal, Pekalongan,
Kota Pekalongan
X1, X2, X5, X6, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Kota Kediri, Kota
X7 Blitar
X1, X2, X3, X5, Rembang, Pati, Pacitan, Ponorogo, Ngawi, Madiun, Nganjuk,
X7 Bojonegoro, Tuban, Gresik, Lamongan, Kota Madiun
X1, X2, X4, X5, Magetan, Lumajang, Probolinggo, Jombang
X7
X1, X2, X4, X6, Malang, Kota Malang, Kota Batu
X7
X1, X2, X3, X4, Wonogiri, Kota Surakarta, Kota Magelang, Magelang,
X7 Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, Kota Yogyakarta,
Sleman
X1, X2, X6, X7 Garut, Kota Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Kota
Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi, Sumedang, Kota
Sukabumi
X1, X2, X4, X7 Pasuruan, Kota Pasuruan
X1, X2, X5, X7 Mojokerto, Sidoarjo, Kota Mojokerto, Kota Surabaya
X1, X2, X3, X4, Kep. Seribu, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
X5, X6, X7 Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Pandeglang, Serang, Lebak,
Purwakarta, Kota Bogor, Bogor, Subang, Kota Depok, Kota
Bekasi, Tangerang Selatan, Karawang, Bekasi, Kota
Tangerang, Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon
38

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 29 Maret 1986,


sebagai bungsu dari dua bersaudara pasangan Bapak Pudji Hariyanto dan Ibu Yusti
Endro Kiswaningsih. Pada tahun 2003 penulis diterima Sekolah Tinggi Ilmu
Statistik (STIS) Jakarta dan menyelesaikannya pada tahun 2007. Setelah
menyelesaikan pendidikan Diploma IV, penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil di Badan Pusat Statistik Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat pada Mei
2008 hingga 30 November 2013 kemudian di Subdirektorat Statistik Pariwisata
BPS RI pada 1 Desember 2013 hingga saat ini.
Kesempatan untuk melanjutkan program magister (S2) pada program studi
Statistika Terapan, Sekolah Pascasarjana IPB, diperoleh pada tahun 2016 dengan
program Beasiswa APBN Badan Pusat Statistik Republik Indohnesia (BPS RI).

Anda mungkin juga menyukai