Anda di halaman 1dari 3

Staphylococcus Scalded Skin Syndrome pada Bayi

Harijono Karlosentono, Ny. Indah Yulianto, M. Goedadl Hadilukito Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Kultt dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret RSU Dr Muwardi, Surakarta

PENDAHULUAN Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) adalah penyakit infeksi disebabkan oleh Staphylococcus aureus grup II dengan manifestasi klinik beraneka ragam, dari bentuk ringan dengan kelainan kulit setempat (lokal), impetigo bulosa sampai bentuk generalisata dengan tanda epidermolisis dan deskuamasi(1). Penyebab terjadinya lesi kulit adalah eksotoksin spesifik yang diproduksi oleh S. aureus grup II yang mengakibatkan kerusakan superfisial pada stratum granulosum. Pertama kali Ritter von Rittershain pada abad 19 menggambarkan kasus-kasus yang disebutnya dermatitis exfoliatif neonatorum. Baru pada tahun-tahun 19401950 adanya hubungan. dengan stafilokokus grup II dapat dibuktikan (dikutip dari 1). Sedangkan Lyell (1956) menyebutnya sebagai NET (Nekrolisis epidermal toksik) untuk bentuk epidermolisis yang general dengan etiologi yang belum jelas, yang diduga disebabkan alergi obat terutama sistemik, infeksi (virus, bakteri, fungus, parasit) dan sebab-sebab lain seperti keganasan, radioterapi dan idiopatikm. Dan jika NET disebabkan oleh karena infeksi stafilokokus maka disebut SSSS. Bentuk generalisata dari SSSS biasanya atau sering ditemukan pada neonatus kurang dari 3 (tiga) bulan; jarang pada orang dewasa kecuali pada kasus-kasus gangguan imunologis atau insufisiensi ginjal sebagai faktor predisposisi. Infeksi oleh stafilokokus grup II ini biasanya dimulai dari konjungtivitis purulenta, otitis media atau infeksi nasofaringeal; mungkin pula berasal dari infeksi di tem-pat lain yang tersembunyi. Bayi baru lahir (neonatus) merupakan awal kehidupan manusia yang rentan terhadap infeksi, ditambah lagi respon imunologik belum sempurna; terutama bila kelahiran bayi ditolong dukun yang kurang memperhatikan masalah kebersihan atau sterilitas pada saat persalinan, misalnya pada waktu meDibacakan di: Kongres Nasional VII Perdoski, Bukitt inggi 912 Nopember 1992

motong tali pusat. Pada neonatus inilah SSSS dapat berakibat fatal walaupun pada orang dewasa dapat juga terjadi. Angka kematian berkisar antara 2 3% dan biasanya disebabkan oleh sepsis(3). Berikut ini dilaporkan satu kasus SSSS pada seorang bayi usia 10 hari yang lahir dengan pertolongan dukun di rumah sendiri. Penderita telah mulai sakit sejak usia 7 hari dan dirawat di Lab./UPF Kulit & Kelamin RS Dr. Muwardi Surakarta bersama dokter spesialis anak. Berakhir dengan kematian pada hari ke 9, oleh karena sejak datang di RSDM sudah dalam keadaan sepsis. LAPORAN KASUS Seorang bayi laki-laki usia 10 hari masuk rumah sakit di laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Rumah Sakit Dr. Muwardi Surakarta (RSDM) pada tanggal 13 Mei 1992. Keluhan utama (dari orang tua) adalah kulit bayi mengelupas pada hampir seluruh tubuh serta kemerahan, dan bayi dalam keadaan rewel, suhu tubuhnya panas. Riwayat penyakit Dari allo anamnesis orang tua, didapatkan bahwa penderita lahir cukup bulan dengan pertolongan dukun di rumah sendiri. Pada saatberusia 7 hari, kulitbayi mulai terlihat kemerahan pada wajah dan lipatan-lipatan kulit di badan. Kemudian timbul lepuh-lepuh kecil berisi cairan jernih dengan dinding kendor yang makin lama makin bertambah banyak dan meluas ke seluruh tubuh. Lepuh-lepuh bertambah lebar dan kemudian memecah sehingga kulit tampak mengelupas serta berwarna kemerahan. Sehari kemudian penderita mulai demam dan rewel. Oleh karena badan semakin panas dan semakin rewel penderita dibawa ke Puskesmas yang kemudian dianjurkan dan dirujuk ke RSDM.

Penderita minum ASI sejak lahir dan belum pemah diimunisasi, belum pernah sakit lain sebelumnya. Sakit yang sekarang ini belum diobati. Pada saat lahir bayi lahir spontan, cukup bulan dan menangis cukup kuat. Pemeriksaan (tanggal 13 Mei 1992) : Status umum Keadaan umum bayi tampak sakit dan lemah, kesadaran kompos mentis dan gizi kurang. Tanda-tanda vital : BB = 3.2 kg, PB = 50 cm, nadi 160 kali/menit, isi dan tegangan cukup, irama reguler, suhu 39C. Pernafasan 36 kali/menit, menggigil dan agak sianosis. Status internus Paru-paru, jantung dalam batas normal; inspeksi: abdomen lebih tinggi daripada dada, pada palpasi teraba tegang (distended). Hapar & lien tidak teraba, Peristaltik usus negatip. Status dermatologis Kepala Terutama di sekitar mulut serta daerah oksipital didapatkan deskuamasi, sebagian menjadi erosi dan di beberapa tempat masih tampak adanya vesikel dan bula, isi jemih. Di daerah wajah sekitar mulut terdapat erosi kemerahan, vesikel dan bula yang kendor. Tanda Nikolsky sulit dinilai. Mata : konjungtiva hiperemis, sekret tidak didapatkan dan palpebra oedem. Badan Di daerah dada sampai leher terlihat deskuamasi, kemerahan, erosi dan di beberapa tempat didapatkan krusta. Juga di daerah punggung terdapat deskuamasi serta erosi, kemerahan. Ekstremitas Deskuamasi dan denuded area terlihat dominan pada daerah bokong, sampai tungkai bawah. Pada telapak kaki kulit juga mengalami deskuamasi. Terlihat erosi yang luas kemerahan, bula yang kendor, isi cairan keruh pada telapak tangan dan kaki. Pada ekstremitas atas, daerah aksila, siku sampai tangan didapatkan deskuamasi dengan dasar eritematous. Pemeriksaan laboratorium Tanggal 15 Mei 1992 basil pemeriksaan sebagai berikut, Darah : Hb = 13.5 g%, Ht = 36, lekosit = 9500/mm3 Urine : warna kurang jemih, pH = 5, reduksi +4 Sedimen : eritrosit : 23/1p., lekosit : 35/lp., epitel : 46/Ip., kristal : [], silinder : hialin [+], jamur : [+] Tinja : Warna kuning muda, konsistensi cair; lendir [+], lekosit = 10-15, eritrosit 12, amuba [], telur cacing lain-lain: lemak [+], bakteri [+]. Sitologi cairan isi bula tidak menemukan sel akantolitik dan pewarnaan gram tidak mendapatkan kuman coccus. Pemeriksaan C-Reactive Protein tidak dikerjakan berhubung orang tua bayi menolak. Diagnosis banding SSSS Impetigo bullosa Diagnosis kerja Staphylococcus Scalded Skin Syndrome

Pengobatan sementara Amoksisilin sirop = 3 x 125 mg/hari; topikal diberi gentamisin him 0.1%. Penderita dikonsulkan ke lab/UPF IKA (Ilmu Kesehatan Anak) dengan jawaban sebagai berikut : (Tgl. 15 Mei '92) Bayi 10 hari dengan persalinan dukun, terlihat lemah, merintih, febris (+) dengan suhu 39C, kulit mengelupas cor/pulmo tak ada kelainan; abdomen kembung (meteorimus), peristaltik (). Diare cair, warna putih, bising usus (). Diagnosis Neonatus BB lahir cukup bulan dengan sepsis + dermatitis exfoliatif general. Saran pengobatan Infus dekstrose 0.25 in saline = 1516 tts/mnt, injeksi visilin = 3 X 150 mg + gentamisin 2 X 75 mg iv. Oral : parasetamol 30 mg tiap kali diperlukan, pasang gastric tube dan bayi dipuasakan. Selama perawatan Setelah konsultasi ke lab/UPF Anak, pengobatan diberikan sesuai dengan anjuran dan amoksisilin (oral) dihentikan. Pada hari ke 4, lesi kulit mulai mengering, terutama yang di badan, sedangkan lesi di sekitar mulut masih ada berupa makula eritematosa, erosi dan krustae. Namun keadaan umum penderita tetap lemah, dan bayi bertambah rewel. Pada hari ke 8, hampir seluruh tubuh terbentuk krustae dan erosi terjadi lagi serta deskuamasi luas. Anak mulai sesak nafas dan keadaan umum bertambah lemah serta abdomen masih tetap distended. Pengobatan ditambah pemberian O2 dan antibiotika diganti dengan Claforan intravena. Hari ke 9 tidak ada perbaikan, anak mulai apatis, lesi kulit hampir seluruh tubuh erosif, krustae dan deskuamasi. Pada pukul 10.00 tangga1 20 Mei 1992 (hari ke 10) penderita meninggal dunia. DISKUSI Pada kasus ini diagnosis SSSS ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinis yang khas; pemeriksaan laboratorium yang menyokong adalah hitung lekosit = 9500. Sayang pemeriksaan C-Reactive Protein tak dapat dikerjakan. Gejala-gejala yang khas berupa deskuamasi kulit yang luas terjadi akut terutama di leher, aksila, sekitar mulut dan bokong sampai telapak kaki. Didapatkan pula daerah dengan erosi yang luas (denuded area) dan eritematous. Selain itu masih didapatkan bula dengan dinding kendor pada telapak tangan dan kaki. Sejak pertama datang penderita telah mengalami sepsis, dengan tanda panas tinggi, rewel, menggigil dan sianosis; perut kembung (distended) dan peristaltik usus negatif yang memberikan indikasi adanya ileus paralitik. Penderita juga mengalami diare dengan faeces berupa cairan putih yang menandakan ASI tidak diabsorbsi di usus. Sepsis biasanya diikuti dengan syok (septic shock), disebabkan oleh bakteriemi basilLbasil gram negatif seperti E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus spesies dan Pseudomonas(4).

Sepsis pada neonatus sering berakibat fatal, oleh karena pada neonatus kemampuan bakterisid dari granulosit masih rendah. Begitu pula fungsi makrofag juga masih belum sempurna dan derajat komponen sistim komplemen yang memainkan peranan dalam fagositosis organisme tubuh yang belum terpajan, hanya meningkat sedikit(5). Penderita ini kelahirannya ditolong dukun dan berlangsung di rumah; kemungkinan sepsis -dapat terjadi akibat kurangnya kebersihan dan sterilitas pada saat persalinan maupun perawatan bayi setelah lahir; sehingga bayi terkena infeksi oleh kuman komensal, seperti Pseudomonas di hidung dan Staphylococcus di umbilikus. Penggunaan antibiotik ampisilin dan gentamisin tidak memberikan respon baik. Sayangnya penggantian dengan Claforan agak terlambat sehingga penderita meninggal dunia. Penatalaksanaan kasus SSSS dengan sepsis terutama pada neonatus harus lebih hati-hati dan pengobatan secara cepat dan tepat menggunakan antibiotika berspektrum luas untuk bakteribakteri gram positif maupun negatif. Hal ini diperlukan untuk mengatasi sepsis sehingga dapat menghindari akibat fatal yang mungkin bisa terjadi.

RINGKASAN DAN PENUTUP Telah dilaporkan satu kasus SSSS pada bayi usia 10 hari. Sejak datang penderita telah mengalami sepsis mungkin disebabkan infeksi yang terjadi pada saat persalinan oleh dukun di rumah sendiri. Perawatan dilakukan bersama dengan dokter spesialis anak di Lab/UPF Kulit dan Kelamin RSU Dr. Muwardi Surakarta; sayangnya berakhir dengan kematian pada hari ke 9 oleh karena tidak dapat mengatasi sepsisnya.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Ellias PM, Fritsch PO. Staphylococcal Scalded - Skin syndrome. In: Fitzpatrick;s et al (eds) Dermatology in General Medicine, third ed. New York: Mc Graw Hill Books Co. 1987. p. 56771. Djuanda A. Diagnosis dan pengobatan NET, penderita rawat inap, Medika 1991; 17(12): 9826. Maibach HI, My R, Noble W. Bacterial infections of the skin. In: Moschella S, Hurley HJ. (eds) Dermatology, second ed. Vol I, W B Saunders & Co, 1985; p. 599642. Petersdorf RG. Septic shock. In: Harrison's Principle of Internal Medicine. Sixth ed. Mc Graw Hill Book Co Ltd 1971; p. 73640.

Never throw mud You may miss your mark but you certainly have dirty hands (Joseph Parker)

Anda mungkin juga menyukai