Anda di halaman 1dari 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Menstruasi Menstruasi merupakan suatu hal yang berulang, akibat adanya interaksi hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofise dan ovarium. Lamanya siklus menstruasi adalah jumlah hari mulai hari pertama keluarnya darah sampai menstruasi pada siklus berikutnya. Rata-rata lama siklus menstruasi 25 sampai 31 hari dengan rata-rata keluarnya darah 3 sampai 7 hari dan kehilangan darah 30 sampai 40 ml ( Mayo, 1998; Braverman dan Sondhelmer, 1997). Siklus menstruasi dapat dibedakan menjadi 2 fase yakni fase folikular atau proliferatif dan fase luteal atau sekresi. Fase folikular atau proliferatif disebut juga fase estrogen, dimulai pada hari ke-5 setelah menstruasi dan berlangsung selama 11 hari. Pelepasan gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menstimulasi kelenjar hipofise mensekresi luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) yang kemudian menstimulasi pertumbuhan folikel ovarium. Folikel ini dominan menghasilkan estrogen yang merangsang pertumbuhan endometrium. Sel stroma dan sel epitel berproliferasi dengan cepat sehingga memicu terjadinya ovulasi (Khan-sabir dan Carr, 2008; Jabbour et al, 2006). Fase luteal atau sekresi disebut juga fase progesteron terjadi setelah ovulasi dan berlangsung selama 12 hari (Mayo, 1998). Karakteristik dijumpai adanya korpus luteum. Korpus luteum ini mensekresi progesteron dalam jumlah yang banyak dan sedikit estrogen. Progesteron bekerja berlawanan dengan estrogen, yakni

menghambat proliferasi dan menghasilkan perubahan glandular untuk menerima implantasi dari ovum yang telah dibuahi. Bila tidak terjadi pembuahan dan produksi human chorionic gonadotropin (HCG), korpus luteum tidak akan bertahan. Regresi dari korpus luteum ini mengakibatkan penurunan progesteron dan estrogen yang memicu penipisan lapisan endometrium sehingga terjadi menstruasi (Braverman dan

Universitas Sumatera Utara

Sondhelmer, 1997; Jabbour et al, 2006). Gambar di bawah ini memperlihatkan perubahan kadar hormon dan endometrium yang terjadi selama siklus menstruasi normal.

Gambar 2.1.Kadar hormon dan perubahan endometrium selama siklus menstruasi Sumber: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall, 1997

2.2. Dismenorea 2.2.1 Definisi Dismenorea Dismenorea berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang berarti sulit atau menyakitkan atau tidak normal. Meno berarti bulan dan rrhea yang berarti aliran. Sehingga dismenorea didefinisikan sebagai aliran menstruasi yang sulit atau nyeri haid (Karim, 2009). Dismenorea adalah rasa nyeri yang terjadi selama masa menstruasi, ditandai dengan nyeri kram di perut bawah. Dismenorea umumnya pada usia 15-25 tahun (Simanjuntak, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Epidemiologi Dismenorea Dismenorea dapat mempengaruhi lebih dari setengah wanita haid, dan prevalensi yang dilaporkan telah sangat bervariasi. Sebuah survei dari 113 pasien dalam praktek pengaturan keluarga menunjukkan prevalensi dismenorea adalah 29%44%, wanita berusia 18-45 tahun telah dilaporkan memiliki angka prevalensi tertinggi yaitu 90%. Klein dan Litt melaporkan, prevalensi dismenorea pada remaja umur 1217 tahun adalah 59,7% (Karim, 2009). Pasien melaporkan nyeri saat haid, dimana sebanyak 12% nyeri haid sudah parah, 37% nyeri haid sedang, dan 49% nyeri haid masih ringan. Dismenorea menyebabkan 14% dari pasien sering ketidakhadiran di sekolah atau tidak menjalani kegiatan. Meskipun remaja kulit hitam tidak melaporkan kejadian peningkatan dismenorea, mereka tidak hadir di sekolah lebih sering (23,6%) dibandingkan remaja kulit putih(12,3%), bahkan setelah disesuaikan untuk status sosial ekonomi (Karim, 2009). Studi prevalensi di Thailand melaporkan kejadian dismenorea adalah 84,2% pada remaja perempuan pubertas. Jumlah ketidakhadiran di sekolah sebesar 21,1% yang dihubungkan dengan beratnya gejala (Tangchai et al, 2004).

2.2.3 Klasifikasi Dismenorea Dismenorea diklasifikasi menjadi 2 bagian yaitu dismenorea primer dan sekunder. 1. Dismenorea primer adalah nyeri haid yang di jumpai tanpa kelainan pada alatalat genital yang nyata (Simanjuntak, 2007). Pada dismenorea primer, nyeri haid tidak berhubungan dengan patologi pelvis secara makroskopis (Kamir, 2009). Dismenorea primer biasanya setelah 6 sampai 12 bulan setelah menarche. Oleh karena itu, siklus haid pada bulan pertama setelah menarche umumnya berjenis anovulatoar yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan

Universitas Sumatera Utara

haid dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun beberapa kasus dapat berlangsung beberapa hari. Sifat rasa nyeri ialah kejang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya (Simanjuntak, 2007). 2. Dismenorea sekunder adalah nyeri haid yang di jumpai dengan adanya kelainan pada alat-alat genital yang nyata (Simanjuntak, 2007). dismenorea sekunder terjadi pada semua umur, dimana rasa nyeri semakin bertambah seiring bertambahnya umur dan memburuk seiring dengan waktu.

Karakteristik nyeri berbeda-beda pada setiap siklus menstruasi dimana nyeri menstruasi terjadi berhubungan dengan kelainan patologis panggul (Reddish, 2006).

2.2.4 Etiologi dismenorea Banyak teori telah dikemukakan untuk menerangkan penyebab dismenorea primer tetapi patofisiologinya belum jelas dimengerti. Rupanya beberapa faktor memegang peranan sebagai penyabab dismenorea primer antara lain: 1. Faktor kejiwaan dimana pada gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika mereka tidak mendapat penerangan yang baik tentang proses haid maka mudah timbul dismenore (Simanjuntak, 2007). 2. Faktor konstitusi, faktor ini yang erat hubungannya dengan faktor tersebut diatas, dapat juga menurunkan ketahanan terhadapa rasa nyeri. Faktor-faktor seperti anemia, penyakit menahun, dan sebagainya dapat mempengaruhi timbulnya dismenore (Simanjuntak, 2007). 3. Faktor obstruksi kanalis servikalis, salah satu teori yang paling tua untuk menerangkan terjadinya dismenore primer. Pada wanita dengan uterus dalam hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis, akan tetapi hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting sebagai penyebab

Universitas Sumatera Utara

dismenore. Banyak wanita menderita dismenore tanpa stenosis servikalis dan tanpa uterus dalam hiperantefleksi. Sebaliknya, terdapat banyak wanita tanpa keluhan dismenorea, walaupun ada stenosis servikalis dan uterus terletak dalam hiperantefleksi atau hiperretrofleksi. Mioma submukosum bertangkai atau polip endometrium dapat menyebabkan dismenore karena otot-otot uterus berkontraksi keras dalam usaha untuk mengeluarkan kelainan tersebut (Simanjuntak, 2007). 4. Faktor endokrin, pada umumnya ada anggapan bahwa kejang yang terjadi pada dismenore primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Faktor endokrin mempunyai hubungan dengan soal tonus dan kontraktilitas otot usus. Novak dan Reynolds yang melakukan penelitian pada uterus kelinci berkesimpulan bahwa hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus, sedangkan hormon progesteron menghambat atau mencegahnya. Tetapi, teori ini tidak dapat menerangkan fakta mengapa tidak timbul rasa nyeri pada perdarahan disfungsional anovulatoar, yang biasanya bersamaan dengan kadar estrogen yang berlebihan tanpa adanya progesteron (Simanjuntak, 2007). 5. Faktor alergi, teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi antara dismenore dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith menduga bahwa sebab alergi ialah toksin haid (Simanjuntak, 2007). Penyebab dari dismenorea sekunder adalah pemakaian alat kontrasepsi, adenomiosis, uterine myoma (fibroid), polip rahim, adhesi, kelainan bawaan sistem mullerian , striktur atau stenosis serviks, kista ovarium, pelvic congestion syndrome, Allen-Masters syndrome, Mittelschmerz (nyeri pertengahan siklus ovulasi) dan sakit psikogenik (Kamir, 2009).

2.2.5 Faktor Risiko Dismenorea Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan beratnya gejala dismenorea adalah usia yang lebih muda saat terjadinya menarche, periode menstruasi yang lebih lama, banyaknya darah yang keluar selama menstruasi, perokok, riwayat keluarga

Universitas Sumatera Utara

dengan dismenore. Obesitas dan penggunaan alkohol juga dihubungkan dengan terjadinya dismenore primer (Lefebvre et al, 2005). Wang L dkk melaporkan hubungan yang bemakna antara stres dengan peningkatan insiden beratnya gejala dismenore yang terjadi (Wang et al, 2004).

2.2.6 Patofisiologi Dismenorea primer Dismenorea primer adalah rasa nyeri yang terjadi selama masa menstruasi dan selalu berhubungan dengan siklus ovulasi disebabkan oleh kontraksi dari miometrium yang diinduksi oleh prostaglandin tanpa adanya kelainan patologis pelvis (Speroff dan Fritz, 2005; Polaneczky dan Siap, 1992). Pada remaja dengan dismenorea primer akan dijumpai peningkatan prostaglandin oleh endometrium dengan pelepasan yang terbanyak selama menstruasi didapat pada 48 jam pertama dan berhubungan dengan beratnya gejala yang terjadi (Speroff dan Fritz, 2005; Mayo, 1997). Prostaglandin F2 (PGF2) adalah perantara yang paling berperan dalam terjadinya dismenorea primer. Prostaglandin ini merupakan stimulan kontraksi miometrium yang kuat serta efek vasokonstriksi pembuluh darah. Peningkatan PGF2 dalam endometrium diikuti dengan penurunan progesteron pada fase luteal membuat membran lisosomal menjadi tidak stabil sehingga melepaskan enzim lisosomal. Pelepasan enzim ini menyebabkan pelepasan enzim phospholipase A2 yang berperan pada konversi fosfolipid menjadi asam arakidonat dan selanjutnya menjadi PGF2 dan prostaglandin E2 (PGE2) melalui siklus endoperoxidase dengan perantara prostaglandin G2 (PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2). Peningkatan kadar prostaglandin ini mengakibatkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan sehingga menyebabkan nyeri pada saat menstruasi (Braverman dan Sondhelmer, 1997; Mclachlan et al, 2002).

2.2.7 Diagnosa Dismenorea primer Anamnese mengenai usia saat terjadinya menarche, keteraturan menstruasi, lamanya periode menstruasi, perkiraan perdarahan yang terjadi, ada atau tidaknya

Universitas Sumatera Utara

perdarahan diantara siklus menstruasi, hubungannya dengan aktivitas fisik dan social, beratnya nyeri, dan riwayat seksualitas sebelumnya. Nyeri yang terjadi harus dijelaskan mengenai tipe, lokasi, penjalaran, dan hubungannya dengan gejala lain (Levabvre et al, 2005). Dismenorea primer umumnya terjadi 6 sampai 12 bulam setelah menarche. Nyeri kram di perut bawah dan menjalar kearah paha dan daerah pinggang merupakan gejala yang tersering. Sakit kepala, mual, muntah, konstipasi atau diare, dan muntah kadang dapat terjadi. Karakteristik nyeri dijumpai pada hari pertama dari menstruasi, bersamaan dengan keluarnya darah menstruasi. Gejala puncaknya dalam 24 jam dan menghilang setelah 2 hari (Proctor dan Farquhar, 2006; Reddish, 2006). Perbedaan gambaran klinis dismenorea primer dan sekunder seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2. Perbedaan gambaran klinis dismenorea primer dan sekunder Dismenorea primer Onset singkat setelah menarche Dismenorea sekunder Onset dapat terjadi kapan saja setelah menarche Nyeri kram di perut bawah atau pelvis Waktu dari nyeri berubah-ubah sepanjang dengan awal keluarnya darah selama 8- siklus menstruasi 72 jam Pola nyeri sama setiap siklus Memburuk setiap waktu, dapat unilateral, dapat memburuk pada waktu berkemih Nyeri pada paha dan pinggang, sakit Dijumpai gejala ginekologi: dispareunia kepala, diare, mual dan muntah dapat dan menorragia dijumpai Tidak dijumpai kelainan patologis pelvis Dijumpai abnormalitas pelvis patologis

Sumber: Diagnosis and management of dysmenorrhea ( Proctor dan Farquhar, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan

laboratorium

dan

radiologis

tidak

dibutuhkan

dalam

mendiagnosis dismenorea primer. Pemeriksaan yang mendetail hanya dilakukan bila dari gejala klinis disangkakan suatu dismenore sekunder (Levabvre et al, 2005).

2.2.8 Penanganan Dismenorea Untuk penanganan pada penderita dismenorea, awalnya diperlukan

penerangan dan nasihat. Dimana perlu dijelaskan kepada penderita bahwa dismenorea adalah gangguan yang tidak berbahaya untuk kesehatan. Hendaknya diadakan penjelasan dan diskusi mengenai cara hidup, pekerjaan, kegiatan, dan lingkungan penderita. Nasihat-nasihat mengenai makanan sehat, istirahat yang cukup, dan olahraga mungkin berguna. Kadang-kadang diperlukan psikoterapi (Simanjuntak, 2007) . Tujuan pengobatan dismenorea primer adalah mengurangi nyeri atau gejala yang timbul oleh karena peningkatan produksi prostaglandin (Proctor dan Farquhar, 2006), sehingga pemberian obat yang menghambat sintesis prostaglandin dan mempunyai efek analgesik merupakan pilihan (Kamir, 2009). Pengobatan dengan menggunakan analgesik, NSAID dan penghambatan spesifik COX-2 bekerja dengan mengurangi aktifitas cyclo-oxygenase sehingga menghambat produksi prostaglandin, sedangkan kontrasepsi oral bekerja dengan menghambat terjadinya ovulasi (Proctor dan Farquhar, 2006). Penghambat spesifik COX-2 yang sudah dilaporkan adalah rofecoxib (Morrison et al, 1999) dan valdecoxib (Daniels et al, 2002). Pada pemberian kontrasepsi oral dosis rendah menunjukkan perbaikan dismenore dihubungkan dengan rasa nyeri yang terjadi (Davis et al, 2005). Pengobatan lain yang umum dipakai adalah latihan fisik, pemanasan daerah pelvis, intervensi tingkah laku, suplemen diet atau obat tradisional Latihan fisik dapat meningkatkan aliran darah ke daerah pelvis sehingga menstimulasi pelepasan endorfin yang bekerja sebagai analgesik non spesifik. Penempelan panas dengan suhu

Universitas Sumatera Utara

39C selama 12 jam terbukti efektifnya dengan penggunaan ibuprofen (Proctor dan Fraquhar, 2006). Studi acak tersamar ganda manfaat obat tradisional cina (Si Wu Tang) di Taiwan mendapatkan hasil tidak berbeda bermakna dibanding plasebo dalam mengurangi dismenorea yang terjadi (Liang et al, 2007). Pengobatan dismenore secara akupunktur terbukti efektif pada penderita yang sudah tidak respon terhadap NSAID dan kontrasepsi oral (Junizar et al, 2001; Lorno et al, 2008). Pengobatan dismenorea sekunder melibatkan koreksi penyebab organik yang mendasari. Langkah-langkah khusus yang dilakukan adalah tindakan pembedahan, mungkin diperlukan untuk mengobati patologi pelvis (misalnya, endometriosis) dan untuk memperbaiki dismenorea yang terkait. Agen analgesik sebagai terapi tambahan (Kamir, 2009).

2.3. Tingkat pengetahuan dan sikap 2.3.1 Tingkat pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1947) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul. c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

Universitas Sumatera Utara

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewti tahap-tahap tersebut (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yakni: 1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. 2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, san sebagainya dalam konteks atau situasi lain. 4. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis) menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkanatau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Evaluasi (evaluation) ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni kepercayaan terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, dan kecendrungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni 1. Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespons (responding) , dimana memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (valuing) mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai