Anda di halaman 1dari 20

Metode

Ilmiah
Kelompok 9
Cindy Deviyanti T.A. 1414051018
Deddy Kurniawan 1414051020
Fatimah 1414051038
Hotma ria T 1414051042
Raisa Amalia 1414051078
Ria Apriani 1414051080
Judul skripsi 1 :
PENGARUH KONSENTRASI HIDROGEN
PEROKSIDA TERHADAP SIFAT KIMIA PULP
KERTAS KORAN BEKAS
Pembahasan Skripsi
Penurunan kadar hemiselulosa disebabkan karena hemiselulosa merupakan
senyawa yang mudah teregradasi pada pembuatan pulp alkali dan proses
pemutihan. Degradasi dimulai dengan isomerasi ujung pada karbon yang
terdapat ikatan glikosida, pada kedudukan terhadap gugus karbonil (Fengel
dan Wegener, 1989). Sjostrom (1981) juga menyatakan bahwa ikatan-ikatan
glikosida yang terdapat pada hemiselulosa sangat sesitif terhadap hidrolisis
yang bersifat asam. Hemiselulosa lebih mudah diserang dibandingkan dengan
selulosa, karena derajat polimerisasinya relatif lebih rendah dan ikatan
glikosidanya pun sangat labil terhadap hidrolisis yang bersifat asam. Menurut
Fengel dan Wegener (1995), hemiselulosa mudah didegradasi menjadi unit-
unit yang lebih sederhana dan mudah larut air karena berbentuk non-kristal.
Fengel dan Wegener (1989) menyatakan bahwa jika selulosa mengalami
degradasi akibat oksidasi, maka hemiselulosa akan tergradasi menjadi unit-
unit yang lebih sederhana dan mudah larut dalam air.
Refrase
Hemiselulosa merupakan salah satu komponen utama dalam pulp sebab menurut Dence dan
Reeve (1996) hemiselulosa memegang peranan penting dalam pengolahan serat dan
peningkatan serat dalam lebaran kertas. Selain itu Casey (1952) menyatakan bahwa
hemiselulosa dapat mempengaruhi ketahanan tarik, retak, dan lipat karena berfungsi sebagai
perekat antar sekat. Penurunan kadar hemiselulosa disebabkan karena hemiselulosa
merupakan senyawa yang mudah teregradasi pada pembuatan pulp alkali dan proses
pemutihan. Degradasi dimulai dengan isomerasi ujung pada karbon yang terdapat pada
ikatan glikosida, pada kedudukan terhadap gugus karbonil (Fengel dan Wegener, 1989).
Hemiselulosa bersifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, serta mudah mengembang
sehingga hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap jalinan antar serat pada saat
pembentukan lembaran, lebih mudah larut dalam pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis
dengan asam (Case, 1960). Sjostrom (1981) menyatakan bahwa ikatan-ikatan glikosida
yang terdapat pada hemiselulosa sangat sensitif terhadap hidrolisis yang bersifat asam.
Hemiselulosa lebih mudah diserang dibandingkan dengan selulosa, karena derajat
polimerisasinya relatif lebih rendah dan ikatan glikosidanya pun sangat labil terhadap
hidrolisis yang bersifat asam. Menurut Fengel dan Wengener (1995), hemiselulosa mudah
didegradasi menjadi unit-unit yang lebih sederhana dan mudah larut air karena berbentuk
non kristal.
Judul skripsi 2 :
Sistem Recovery Dan Karakterisasi Biosurfaktan Yang
Dihasilkan Bacilus sp. BMN-14
Pembahasan di Skripsi
Aktifitas antimikroba biosurfaktan sistem dua fasa tidak berbeda nyata. Hal ini
diduga pada sistem dua fasa interaksi antara biosurfaktan dan kapang masih lemah
sehingga aktifitas antimikroba tidak mampu untuk mencegah benang-benang fibrin
pada kapang. Namun dari Gambar 8 kita dapat melihat bahwa aktifitas antimikroba
biosurfaktan sistem dua fasa lebih baik dalam menekan pertumbuhan koloni
kapang Aspergillus oryzae dibandingkan dengan antimikroba biosurfaktan sistem
satu fasa.

Padahal surfaktin merupakan lipopeptida yang dihasilkan Bacillus subtilis adalah


salah satu biosurfaktan yang sangat aktif sebagai antimikroba (Arima et al., 1968).
Senyawa ini mampu menghambat pertumbuhan benang-benang fibrin dan melisis
eritrosit speroplas daan protoplas bakteri dan mampu menurunkan tegangan
permukaan air dari 72 dyne/cm menjadi 27 dyne/cm (Cooper et al., 1981).
Refrase
Aktivitas antimikroba biosurfaktan sistem dua frasa tidak berbeda nyata dengan
sistem satu fasa. Hal ini bisa dimungkinkan pada sistem dua fasa interaksi antara
biosurfaktan dan kapang masih lemah sehingga aktivitas antimikroba tidak mampu
untuk mencegah benang-benang fibrin pada kapang. Pada Gambar 8 dapat dilihat
bahwa aktivitas antimikroba biosurfaktan sistem dua fasa lebih baik dalam
menekan pertumbuhan koloni kapang Aspergillus oryzae dibandingkan dengan
antimikroba biosurfaktan sistem satu fasa.

Surfaktin merupakan lipopeptida yang dihasilkan Bacillus subtilis, adalah salah


satu biosurfaktan yang sangat aktif sebagai antimikroba (Arima et al., 1968).
Menurut Cooper, et al., (1981), Senyawa ini mampu menghambat pertumbuhan
benang-benang fibrin dan melisis eritrosit speroplas daan protoplas bakteri dan
mampu menurunkan tegangan permukaan air dari 72 dyne/cm menjadi 27
dyne/cm.
Judul skripsi 3:
Pengaruh Perendaman dalam Larutan
Asam Cuka Untuk Mengurangi
Residu Formalin pada Ikan Tongkol
Pembahasan
Berdasarkan Skripsi
Selama perendaman asam cuka telah mampu
melepaskan ikatan formalin dengan protein
pada sampel-sampel ikan yang berformalin.
Riawan (1990) juga mengungkapkan, bahwa
aldehid dapat dipisahkan dengan suatu
campuran dengan menggunakan asam.
Suasana asam yang terdapat dalam larutan
perendam membuat ikatan metilen diduga
semakin mudah pecah. Hal ini karena asam
dapat berfungsi sebagai penyedia ion H +
selama perendaman.
Refrase
Asam cuka mampu melepaskan ikatan antara
formalin dengan protein ikan selama proses
perendaman. Menurut Riawan (1990),
formalin merupakan senyawa aldehid yang
dapat dipisahkan dari suatu campuran
dengan menggunakan asam. Ikatan metilen
yang terbentuk antara formalin dan protein
akan terlepas dengan adanya perendaman
dalam larutan asam. Dengan demikian,
formalin dalam ikan akan terpisah selama
perendaman. Hal tersebut terjadi karena
asam terasosiasi menjadi ion H+ dalam
larutan perendaman.
Judul skripsi 4:
PENGARUH PENAMBAHAN JENIS SUMBER NITROGEN
TERHADAP KINERJA PROSES PENGOMPOSAN
LIMBAH PADAT TEBU (BAGASSE, BLOTONG, ABU)
Pembahasan di Skripsi
Pada perlakuan pertama yaitu penambahan sumber
nitrogen dengan urea(S1) suhu pengomposan tertinggi
didapatkan pada hari ketiga yaitu sebesar 62,33 0C dan
suhu pengomposan terendah sebesar 34,71 0C pada hari
ke-29. Bila dibandingkan dengan perlakuan lain (kotoran
sapi dan tanah) suhu tertinggi pada urea lebih rendah. Hal
tersebut terjadi kemungkinan dikarenakan pada urea
hanya terdapat sumber nitrogen dan tidak terdapat
mikroorganisme yang mendegradasi seperti yang terdapat
pada kotoran sapi dan tanah. Mikroorganisme yang
mendegradasi kompos secara alami berasal dari bahan
kompos( bagsse, abu, blotong). Fase termofilik pada
perlakuan ini berlangsung selama 13 hari pengomposan.
Refrase
Pada penambahan sumber nitrogen dengan urea (S1) dalam
pengomposan, suhu tertinggi didapatkan pada hari ketiga
yaitu sebesar 62,330C dan suhu pengomposan terendah
sebesar 34,710C pada hari ke-29. Pada urea hanya terdapat
sumber nitrogen dan tidak terdapat mikroorganisme yang
dapat mendegradasi kompos tersebut. Sehingga apabila
penambahan sumber nitrogen dengan urea(S1) pada kompos
dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu penambahan
kotoran sapi dan tanah, suhu tertinggi pada urea lebih
rendah. Mikroorganisme yang mendegradasi kompos secara
alami berasal dari bahan kompos( bagasse, abu, blotong).
Fase termofilik pada perlakuan ini berlangsung selama 13 hari
pengomposan.
Judul Skripsi 5:
Pengaruh Konsentrasi Asam Sitrat
Terhadap Rendemen dan Sifat Serat
Pangan Daun Cincau Pohon (Premna
oblongifolia Merr)
Pembahasan di Skripsi
Towle dan Christensen (1973) menyatakan bahwa kelarutan
pektin ditentukan oleh jumlah gugus metoksil,
penyebarannya dalam pelarut, pH, suhu, konsentrasi, dan
bobot molekulnya. Towle dan Christensen (1973)
menambahkam, umumnya kelarutan meningkat dengan
meningkatnya metil ester (DE). Adanya kelarutan yang
tinggi pada konsentrasi 0,4 % diduga karena jumlah metil
ester yang tinggi akibat terganggunya aktivitas pektin
esterase. DE yang cukup tinggi mengurangi aktivitas Ca
untuk berikatan dengan gugus karbosil pektin, air yang
terperangkap dalam pembentukan gel akan berkurang, sisi
polar dapat berinteraksi dengan air lebih banyak dengan
penyebarannya yang lebih luas sehingga meningkatkan
kelarutan.
Refrase
Menurut Towle dan Christensen (1973), kelarutan pektin dalam air yang ada pada bahan
tergantung pada jumlah gugus metoksil dan penyebarannya dalam pelarut, pH, suhu ,
konsentrasi, dan bobot molekul juga akan menentukan kelarutan. Sifat-sifat fungsional dari
pektin yaitu membutuhkan suhu ekstraksi 40-100oC, dan akan lebih singkat waktunya jika
pada suhu dan keasamaan tinggi. Towle dan Christensen (1973) menambahkan, kelarutan
pektin dalam air akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah metil ester atau
derajat esterifikasinya. Pada penambahan asam sitrat dengan konsentrasi 0,4% diduga
memiliki jumlah metil ester (DE) yang tinggi sehingga menghasilkan nilai kelarutan cincau
dalam air yang paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lain. DE yang cukup tinggi
akan mengurangi aktivitas Ca untuk berikatan dengan gugus karboksil pada pektin, sehingga
air yang terperangkap pada saat pembentukan gel akan berkurang dan sisi polar pektin akan
berinteraksi dengan air lebih banyak sehingga meningkatkan kelarutannya dalam air.
Pengikatan ion Ca oleh asam sitrat akan meningkatkan polaritas dari pektin dan juga
meningkatkan daya serapnya pada air sehingga cincau akan larut dalam air. Pada pektin,
adanya ion Ca diperlukan untuk menghubungkan rantai-rantai asam pektinat sehingga dapat
membentuk jaringan gel. Dengan adanya ion Ca yang mengikat pektin, maka gel akan
terbentuk, sehingga untuk menghambatnya dan meningkatkan kelarutannya dalam air
dilakukan penambahan asam sitrat.
Judul Skripsi 6:
Kajian Karakteristik Biskuit yang dipengaruhi
Perbandingan Tepung Ubi Jalar (Ipomea Batatas L.)
dan Tepung Kacang Merah (Phaseolus Vulgaris L.)
Pembahasan di Skripsi
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan
makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw yaitu
jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisma untuk
pertumbuhannya (Winarno, 1991). Berdasarkan hasil analisis kadar air
pada sampel biskuit terpilih diperoleh kadar air sebesar 1.72%, kadar air
yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu biskuit menurut SNI nomor
2973:1992 maksimum 5%. Biskuit memiliki kadar air rendah, hal tersebut
terjadi pada proses pembuatan biskuit dengan pemanggangan. Proses
pemanggangan terjadi perpindahan panas dan perpindahan masa secara
simultan. Perpindahan panas terjadi dari sumber pemanas kemedia
pemanas (permukaan panas dan udara panas) ke bahan yang dipanggang.
Perpindahan massa terjadi adalah pergerakan air dari bahan ke udara
dalam bentuk uap (Muchtadi, 2013).
Refrase
Daya tahan suatu produk pangan sangat berkaitan dengan kandungan air yang
terdapat dalam bahan pangan tersebut. Aw merupakan jumlah air bebas yang
digunakan mikroorganisme untuk tumbuh, dimana aw ini sangat berpengaruh
terhadap daya tahan suatu bahan pangan (Winarno, 1991). Pada penelitian ini
kadar air biskuit yang diperoleh telah memenuhi SNI mutu Biskuit nomor
2973:1992 dengan batas maksimum 5%. Kadar air sampel biskuit yang diperoleh
sangat rendah yaitu 1,72%. Rendahnya kadar air pada biskuit dipengaruhi oleh
salah satu proses pembuatan biskuit yaitu proses pemanggangan. Proses
pemanggangan terjadi karena adanya pindah panas dari sumber panas ke media
panas lalu ke bahan yang dipanggang. Selama proses pemanggangan juga terjadi
perpindahan massa yang menyebabkan air yang terdapat pada bahan pangan
mengalami pergerakan ke udara dalam bentuk uap (Muchtadi, 2013). Hal ini
yang menyebabkan kadar air pada biskuit berkurang atau menjadi rendah.
Semakin rendah kadar airnya maka semakin lama daya simpan produk tersebut.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai