Anda di halaman 1dari 27

Tutorial

Pengelolaan anestesi pada penyakit


pernafasan
Pembimbing : dr. Santi, Sp.An
Penulis : Rima Mustafa
Manajemen anestesi pada asma
1.Penanganan anestesi preoperatif
a.Evaluasi preoperatif
b.pengelolaan preoperatif
c.premedikasi
2.Penanganan anestesi intraoperatif
a. Regional anestesi
b. Anestesi umum
-agent inhalasi
-obat induksi intravena
-muscle relaxant
c. Terapi bronkospasme intaroperatif
d. Penanganan post operatif
1. Penanganan anestesi preoperatif
a. Evaluasi preoperatif
1.)Riwayat penyakit
-lama penyakit , frekuensi serangan, lama
berat serangan, faktor-faktor yang
mempengaruhi, riwayat terakhir kali
serangan, pengobatannya
2)pemeriksaan fisik
-dilihat dari derjat obstruksi jalan nafas yang terjadi
I: sianosis, ekspirasi memanjang, tampak sesak
P: takikardi
P: hipersonor
A: wheezing, ronki
- tanda serangan asma berat dilihat dari penggunaan otot
pernafasan tambahan
3) Lab
-eosnifil total dalam darah sering meningkat
4) Rontgen thorax
-dilakukan bila ada kecurigaan proses patologi di paru
5)Pemeriksaan fungsi paru (spirometri)
-untuk mengetahui kondisi klinis asma perlu dilakukan
pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volume ekspirasi
paksa detik pertama(FEV1) dan arus puncak ekspirasi
(PEFR)
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri

Keadaan Klinik % FEV/FVC

Normal 80-100

Asma Ringan 75-79

Asma Sedang 50-74

Asma Berat 35-49

Status Asmatikus <35


6) Analisa gas darah
-pemeriksaan gas darah biasanya dilakukan pada
serangan asma yang berat
7) Fisoterapi dada
-keadaan akut untuk dilakukan fisioterapi adalah pasien-
pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau
abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada
pasien yang batuknya sangat lemah
b. Pengelolaan preoeratif
-persiapan pertama dengan gangguan pernafasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan
reversibilitas kelainan
-proses obstruksi reversible (dengan bronkodilator) atau
ireversible
c. Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah
-Simpatomimetik atau b2 adrenergik
agonisbronkodilatasi
contoh : albuterol(ventolin) 2 puffs dengan MDI 3-4 jam
salmeterol (serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12jam
metaproterenol 2 puff dengan MDI 3-4 jam
-Parasimpatolitik bronkodilatasi
contoh Ipratropium bromide inhaler
-metilxantin
teofilin
-kortikosteroid
steroid intravena meliputi hidrokortisone 100mg tiap 8
jam
-kromolin
-mukolitik
Premedikasi
Tujuan untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek
bronkokontriksi terhadap iritasi jalan nafas
-sedatif (benzodizepin)
-opioid (fentanil)
-bronkodilator inhaler atau kortikosteroid inhaler,
kortikosteroid parentral
2.Penanganan anestesi intraoperatif

A. Regional Anestesi
Pada pasien asma yang pernapasannya tergantung
pada penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk
inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa).
Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika
hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi
kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau
memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal
napas.
Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan
penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan
berbaring dimeja operasi dalam waktu lama, batuk
spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu
pada tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi
adalah selama instrumentasi jalan napas
Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama
anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme
Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan
pelepasan histamin (seperti curare, atracurium,
mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau
diberikan dengan sangat lambat jika digunakan.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti
halothan
-menimbulkan pelebaran bronkus sebagai akibat dari blokade pada
reflex bronkokonstruksi bronkodilator yang poten
-halotan tidak ideal pada pasien yang menderita kelainan jantung
karena halotan dapat mengakibatkan disaritmia karena efek
katekolamin release.
MAC :0,72%
Isofluran dan desfluran
-dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara
tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan
di jalan napas
ISO MAC :1.12 %
Sevofluran
-tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek
bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas.
MAC : 2.05%
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang
mempunyai onset kerja yang cepat
-Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah
ketamin. Dosis induksi 1-3mg/kgBB
OOA 30 detik, DOA 10-20 menit tetapi memerlukan
waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh
3. Muscle relaxant
-Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam
penggunan muscle relaxan adalah perlu tidaknya
mereverse kerjanya
-Dengan menghambat penghancuran ACH endogen,
inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat
meningkatkan sekresi jalan napas dan dapat
menimbulkan bronkospasme
-Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis
muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5
mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik.
-suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin
tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman
pada kebanyakan pasien asma.
Terapi bronkospasme intraopratif

Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi


managemen yang harus dilakukan :

-Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%


-Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen
volatile
-Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan
-Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus
I.v (10g=0,1 ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v
secara lambat
-Hidrokortison 200 mg i.v.
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas
wheezing, aksi pelemas otot nondepolarisasi perlu
direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu
terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan
antikolinergik dengan dosis sesuai

Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi


pulihnya reflek jalan napas normal untuk mencegah
brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh.

Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau


dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan
reflek jalan napas.2
d. Penanganan postopeartif
-Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural
analgesia. NSAID harus dihindari karena dapat
mencetus terjadinya bronkospasme
-Oksigenasi harus tetap diberikan
-Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian
bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada
pasca pembedahan
-Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau
sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan
MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI
specer bila memenuhi kriteria sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit
untuk pria
Pertimbangan Anestesi
PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Pasien dengan PPOK harus dipersiapkan secara optimal
sebelum prosedur pembedahan elektif. Pasien harus
ditanyai mengenai perubahan-perubahan terbaru dalam
dispnu, sputum, dan mengi.
PFT, foto thoraks, dan pengukuran gas darah harus
dinilai secara hati-hati.
Kebanyakan pasien memiliki penyakit jantung yang
menyertai sehingga harus mendapatkan evaluasi
kardiovaskuler yang cermat
Intervensi preoperatif pada pasien dengan PPOK
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia, melegakan
bronkhospasme, memobilisasi dan mengurangi sekresi,
dan mengobati infeksi dapat menurunkan angka
kejadian komplikasi pulmo pascaoperasi. Pasien dengan
risiko tinggi mengalami komplikasi yaitu pasien dengan
pengukuran fungsi paru preoperatif kurang dari 50%
dibandingkan dengan yang diramalkan.
Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum
operasi dilakukan untuk mengurangi sekresi dan
komplikasi komplikasi paru.
Bronchospasme harus diterapi dengan bronchodilator.
Hipertensi pulmonal harus diterapi dengan
mengoptimalkan oksigenasi
PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIVE
Walaupun penggunaan regional anestesi lebih
disukai daripada general anestesi pada pasien
dengan PPOK, Spinal tinggi ataupun epidural
anestesi dapat mengurangi volume paru,
merestriksi penggunaan otot2 accesorius
pernapasan, dan menimbulkan batuk yang tidak
efektif yang bisa menyebabkan dispneu dan
retensi sekresi.
Air trapping harus dihindari dengan cara pemberian
ventilasi yang terkontrol dengan tidal volume kecil
sampai moderate dan rate yang kecil.
Hindari penggunaan N2O terutama pada pasien PPOK
dengan pulmonary bulae dan hipertensi pulmonal.
Obat-obatan yang sering berhubungan dengan
pelepasan histamin (contohnya, kurare, atrakurium,
mivakurium, morfin, dan meperidin) harus dihindari atau
jika digunakan, diberikan dengan sangat lambat.
Ekstubasi dapat mengurangi resiko terjadinya
bronkospasme tetapi harus dilihat apakah nafas pasien
sudah adekuat.

Anda mungkin juga menyukai