Anda di halaman 1dari 52

Journal Reading

The Impact of Prior Tonsillitis and Treatment Modality on the Recurrence of Peritonsillar
Abscess: A Nationwide Cohort Study

Oleh:
Hanifah Hanum 1618012077

Pembimbing:
dr. Agum Tyzi, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK – KEPALA


LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT RSUD AHMAD YANI METRO
2018
PENDAHULUAN

Studi menunjukkan adanya peningkatan risiko kekambuhan peritonsillar


abscess (PTA) pada pasien dengan tonsilitis sebelumnya. Namun, asosiasi ini
masih belum konsisten dan dapat dipengaruhi oleh modalitas pengobatan
yang berbeda. jurnal ini bertujuan untuk menilai risiko kekambuhan di antara
pasien PTA dengan berbagai tingkat tonsilitis dan modalitas pengobatan
sebelumnya, dan peran tonsilektomi dalam praktik saat ini
CRITICAL
APPRAISAL
ANALISIS PICO

PROBLEM
• risiko kekambuhan peritonsillar abscess (PTA) pada
pasien dengan tonsilitis sebelumnya

Intervention
• Jenis penelitian adalah kohort nasional retrospektif. Data
diperoleh dari pasien PTA di Taiwan tahun 2001-2009
yang mengikuti program Asuransi Kesehatan Nasional
ANALISIS PICO

COMPARISON
• Riwayat tonsillitis, usia, pengobatan yang diberikan

OUTCOME
• Tingkat kekambuhan secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan
kejadian tonsillitis lebih dari lima kali dibandingkan dengan yang tidak
mengalami tonsilitis sebelumnya. HR pada pasien yang diobati dengan
aspirasi jarum adalah 1,08 dibandingkan dengan yang diobati dengan insisi &
drainase. Berdasarkan usia, HR pada pasien dengan kejadian tonsillitis lebih
dari lima kali meningkat menjadi 2,92 dan 3,50 pada pasien berusia 18 dan
19-29. HR dari aspirasi hanya meningkat pada pasien 18 tahun
VALIDITY

 Jenis penelitian ini merupakan penelitian kohort nasional retrospektif untuk


menentukan tingkat kekambuhan PTA dengan periode tindak lanjut spesifik
dan untuk menyelidiki pengaruh tonsilitis dan pengobatan sebelumnya pada
risiko kekambuhan PTA.
 Data diperoleh dari semua pasien PTA di Taiwan antara 2001 hingga 2009
yang diidentifikasi dari seluruh populasi dalam program Asuransi Kesehatan
Nasional. Pasien dengan data registri abnormal atau tidak konsisten, atau
data yang hilang; pasien yang dilakukan tonsilektomi sebelum diketahui
adanya PTA; dan mereka dengan episode PTA pada tahun 2000 dikeluarkan
 Kekambuhan didefinisikan sebagai kejadian pertama PTA yang terjadi ≥30 hari
dari PTA awal. Faktor independen terkait dengan kekambuhan dianalisis
menggunakan Cox proportional hazard model setelah disesuaikan untuk data
demografi dan klinis
IMPORTANCE

 Infeksi leher dalam adalah salah satu penyakit infeksi yang paling mematikan
dalam kerangka kompleks yang dibentuk oleh tiga lapisan fasia serviks dalam,
dengan potensi morbiditas dan mortalitas mulai dari 1,6% hingga 40%.
 PTA adalah jenis infeksi leher dalam yang paling umum, bahasa sehari-hari
disebut sebagai '' Quinsy ’, dan menyumbang sekitar 30% dari abses kepala
dan leher.
 Meskipun semua pengobatan untuk PTA pada awalnya efektif, sebagian
besar PTA cenderung kambuh. Studi menunjukkan peningkatan risiko
kekambuhan PTA pada pasien dengan tonsilitis sebelumnya. Namun, asosiasi
ini tidak konsisten dan dapat dipengaruhi oleh modalitas pengobatan yang
berbeda
 Sehingga penelitian ini penting karena bertujuan untuk menilai risiko
kekambuhan pada pasien PTA dengan derajat tonsilitis dan modalitas
pengobatan yang berbeda, dan peran tonsilektomi dalam praktik saat ini.
APPLICABILITY

 Penelitian ini membuktikan adanya hubungan peningkatan risiko kekambuhan


PTA pada pasien dengan riwayat tonsilitis sebelumnya di semua kelompok usia
dan pada pasien subkelompok pediatrik yang ditata laksana dengan asprasi
jarum. Pasien yang lebih muda dari 30 tahun dengan lebih dari lima episode
tonsilitis sebelumnya memiliki risiko kekambuhan PTA terbesar
 Berdasarkan penelitian ini, sebagian besar pasien dengan PTA awal atau PTA
kekambuhan di Taiwan berhasil diobati dengan pengulangan aspirasi atau
insisi dan drainase dan / atau antibiotic
 Penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia. Berdasarkan jurnal ini, dokter
dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya kekambuhan PTA pada pasien
dan untuk membantu mempertimbangkan pengobatan yang diberikan
Tinjauan Pustaka
KLASIFIKASI TONSILITIS

• Bakteri
Akut • Virus

• Tonsilitis Berulang
Kronik

• Difteri
Membranosa
TONSILITIS AKUT

Etiologi :

 Virus
- virus Epstein Barr
- Hemofillus Influenza (Tonsilitis Supuratif)
- Coxschakie (tampak luka-luka di tonsil dan rongga mulut)

 Bakteri
- grup A Streptococus beta hemolitik (GABHS)
- Penumokokus
- Streptococus viridan dan Streptococus piogenes
Perbedaan Tonsilitis akut dan kronik
TONSILITIS
KRONIS
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

 Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan


relaps dan remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi
resisten, yang tidak ditangani dengan baik
 Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara
serangan tidak jarang tonsil tampak sehat.
 Data epidemiologi menunjukkan penyakit ini sering terjadi pada usia 5-10
tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun.
ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

 Salah satu penyebab tersering pada tonsilitis adalah bakteri grup


AStreptococus beta hemolitik (GABHS).
 Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae dan
Staphylococcus aureus
 Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik : rangsangan yang menahun
dari rokok, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsilits akut yang tidak adekuat
PATOFISIOLOGI

proses
epitel mukosa dan
proses radang penyembuhan
jaringan limfoid
berulang jaringan diganti
terkikis,
oleh jaringan parut

kripta akan timbul perlekatan


melebar, dan meluas hingga dengan jaringan
akan menembus kapsul sekitar fossa
diisi oleh dendritus tonsilaris.
MANIFESTASI KLINIS

 penderita sering mengeluh: hipertrofi dan perlengketan ke


jaringan sekitar, kripta yang
 serangan tonsilitis akut yang berulang
melebar, tonsil ditutupi oleh
ulang, eksudat yang purulen atau
 adanya rasa sakit (nyeri) yang terus- seperti keju.
menerus pada tenggorokan
(odinofagi), Gambaran tonsil
 nyeri waktu menelan atau ada
sesuatu yang mengganjal di tonsil tetap kecil, mengeriput,
kerongkongan bila menelan, dengan tepi yang hiperemis, kripta
yang melebar dan ditutupi eksudat
 terasa kering dan pernafasan berbau. yang purulen.
DIAGNOSIS

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK


 Gejala klinis tonsillitis kronis didahului
gejala tonsillitis akut seperti nyeri
tenggorok yang tidak hilang
sempurna.
 Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering di
tenggorok dan napas berbau
(halitosis).
 Pembesaran tonsil dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi
sehingga timbul gangguan
menelan,obstruksi sleep apneu dan
gangguan suara.
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi
menjadi:

 T0 : (tonsil di dalam fossa atau sudah diangkat).


 T1 : (<25%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior- uvula).
 T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-
uvula).
 T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-
uvula).
 T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).
GRADE
PEMBESARAN
TONSIL
Pembesaran Tonsil: (A) T1 (B)
T2 (C) T3 (D) T4
Sumber: Mogoanta CA, Ionita
E, Prici D, Mitroi M, Anghelina
F, Ciolofan S, dkk. 2008.
Chronic tonsilitis histological
and immunohistochemical
aspects. Romanian Journal of
Morphology and Embriology;
49(3): 381-86.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Mikrobiologi
 Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil
 Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti
Staphylococcus aureus
 Histopatologi
 infiltrasi limfosit ringan sampai sedang,
 adanya Ugra’s abses
 infitrasi limfosit yang difus.
PENATALAKSANAAN

TERAPI LOKAL MEDIKAMENTOSA PEMBEDAHAN

Tonsilektomi menjadi
Antibiotik golongan prosedur pembedahan
higiene mulut dengan
penisilin, golongan pilihan utamabagipasien
berkumur
sefalosporin anak maupun dewasa
dengan tonsillitis kronik

obat kumur yang


mengandung klorheksidin
Analgesik Indikasi tonsilektomi
atau benzidamin pada
pasien dewasa
KOMPLIKASI

Komplikasi Sekitar Tonsil: Komplikasi Organ jauh :


 Rhinitis kronik  Endokarditis, Artritis, Miositis, Nefritis,
 Sinusitis Uveitis, Iridosiklitis, Dermatitis, Pruritus,
 Otitis media urtikaria, dan furunkulosis.
TONSILITIS DIFTERI
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

 Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh


Corynebacterium diphteriae.
 Tonsilitis difteri adalah infeksi difteri yang menyerang tonsil
 Ketika terjadi endemik difteri, penyakit ini terutama menyerang anak-anak
di bawah usia 15 tahun.
 Namun saat ini, infeksi difteri juga menyerang usia dewasa yang tidak
mendapatkan vaksin/ booster
ETIOLOGI

 Penyebab tonsilitis difteri adalah


kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif
dan hidung di saluran nafas bagian
atas yaitu hidung, faring, dan laring
 Corynebacterium diphteriae dikenal
juga dengan sebagai basil Klebs-
Löffler
PATOFISIOLOGI

memproduksi eksotoksin
Masa inkubasi
Kuman masuk polipeptida 62-kd, yang
kuman difteri menghambat sintesis protein
melalui droplet dan menyebabkan nekrosis
selama 2-4 hari jaringan lokal

Selama beberapa hari infeksi


saluran napas, koagulum
nekrotik padat organisme, sel
Inflamasi lokal epitel, fibrin, leukosit, dan
eritorit, membentuk sebuah
pseudomembran
GEJALA KLINIK

 Gejala umum
 Seperti gejala infeksi lainnya, yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan
 Gejala local
 Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas
dan bersatu membentuk membran semu.
 kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals
 Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri
 akan timbul kerusakan jaringan tubuh : pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria
GEJALA KLINIK
DIAGNOSIS

 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 pemeriksaan laboratorium
 pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu
 kultur dari usapan nasofaring dengan hasil akan didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae
PENATALAKSAAN

 Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dosis 20.000-
100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
 Antibiotik penisilin atau eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
 Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
 Antipiretik untuk simtomatis
 Bedrest 2-3 minggu
KOMPLIKASI

 Laringitis difteri dapat beralngsung cepat, membran semu menjalar ke


laring dan menyebabkan gejala sumbatan.
 Miokarditis, cardiac arrhytmias, acute circulatory failure.
 Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau,
dan kelumpuhan otot-otot pernapasan
PENCEGAHAN

ISOLASI PENDERITA
• baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung
menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae

IMUNISASI
• Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan pertusis :
DTaP, Tdap, DT, dan Td.
ABSES
PERITONSIL
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

 Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan


peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis berulang
atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil
 Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat sekitar 30 kasus per 100.000 per
tahun
 Usia pasien yang mengalami abses peritonsil bervariasi, antara usia 1
sampai 76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada rentang usia antara 15-
35 tahun
ETIOLOGI

 Kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan


kuman aerob dan anaerob
 Organismee aerob yang paling sering adalah Streptococcus pyogenes
(Group A Beta-hemolitik streptococcus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenza,
 Organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.
PATOFISIOLOGI
Pembengkakan peritonsil
Infeksi yang terjadi akan infiltrasi supurasi ke ruang akan mendorong tonsil
menembus kapsul tonsil potensial peritonsil dan uvula ke arah
kontralateral

terjadi infeksi berulang peradangan jaringan di


meluas kedalam ruang
sekitarnya akan
jaringan ikat diantara dan sistem saluran menyebabkan iritasi
kapsul dan dinding kelenjar tersebut akan pada m. pterigoid
posterior fosa tonsil membentuk pus interna,

Timbul sumbatan
terhadap sekresi kelenjar sehingga timbul trism.
Weber yang Jika tidak diobati secara Abses dapat pecah
mengakibatkan maksimal spontan, mungkin dapat
terjadinya pembesaran terjadi aspirasi ke paru.us
kelenjar
GEJALA KLINIS

 Keluhan utama nyeri menelan (odinofagia)


 Pasien juga mengeluhkan demam, lemah, lesu serta nyeri kepala
 Pada kasus yang agak berat, terdapat sulit menelan (disfagia), nyeri alih
ke telinga pada sisi terbentuknya abses peritonsil, saliva yang meningkat,
serta trismus.
 Pembengkakan peritonsil mengganggu artikulasi sehingga pasien sulit
berbicara dan mengakibatkan suara gumam (hot potato voice).
GEJALA KLINIS

 Tonsil sendiri dapat terlihat bengkak, hiperemis, dan mungkin banyak


detritus.
 Tonsil juga dapat terdorong ke arah medial, depan, ataupun bawah.
DIAGNOSIS

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK


 Onset biasanya 3-5 hari  Palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi.
 sakit ditenggorok yang terus menerus Uvula membengkak dan terdorong ke sisi
kontra lateral
 Rasa nyeri terlokalisir, demam, lemah
dan mual  tonsil umumnya tertutup oleh jaringan
sekitarnya yang membengkak atau tertutup
 hipersalivasi oleh mukopus,
 mulut berbau (foetorexore), muntah  tampak hiperemis dan ada pembengkakan
(regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga unilateral, karena jarang kedua tonsil
(otalgi). Trismus terinfeksi pada waktu bersamaan.

 kesulitan berbicara, suara menjadi  Paling sering abses peritonsil pada bagian
supratonsil atau di belakang tonsil,
seperti suara hidung, membesar seperti penyebaran pus ke arah inferior dapat
mengulum kentang panas (hot menimbulkan pembengkakan supraglotis dan
potato’svoice) obstruksi jalan nafas
DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium RADIOLOGI Tindakan diagnostik

•Pemeriksaan radiologi •Aspirasi dengan jarum


•Pemeriksaan laboratorium dapat berupa foto rontgen pada daerah yang paling
darah berupa pemeriksaan polos. Pada posisi antero fluktuatif, atau punksi
darah lengkap, posterior, film •Tes kultur dan sensitifitas
•serta kultur darah memperlihatkan distorsi
jaringan lunak
•Pada USG, mayoritas kasus
yang diperiksa
menampakkan gambaran
cincin isoechoic dengan
gambaran sentral
hypoechoic
•Pada pemeriksaan CT-scan
biasanya tampak kumpulan
cairan hypodense di apex
tonsil yang terinfeksi (the
affected tonsil), dengan
“peripheral rim
enhancement”
DIAGNOSIS BANDING

 Infeksi mononukleosis
 Limfoma
 Selulitis peritonsil
PENATALAKSAAN

 Terapi simtomatik
 Pasien dengan abses peritonsilar yang mengalami dehidrasi diberikan terapi
cairan intravena sampai inflamasi mulai berkurang dan pasien dapat
mengonsumsi intake secara oral.
 Antipiretik dan analgesik diberikan untuk mengurangi demam dan rasa tidak
nyaman pasien.
 Kumur- kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk
mengendurkan tegangan otot)
PENATALAKSAAN

 Terapi Antibiotik
 Terapi antibiotik sebaiknya diberikan segera setelah diperoleh hasil kultur dari
abses.
 Penisilin dosis tinggi masih menjadi pilihan untuk penatalaksanaan abses
peritonsil secara empiris.
 Agen yang mengatasi kopatogen dan melawan beta laktam juga
direkomendasikan sebagai pilihan pertama.
 Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazole)
merupakan pilihan terbaik
PENATALAKSAAN

 Terapi Insisi dan Drainase


 Pada penderita yang sadar,tindakan dapat dilakukan
dengan posisi duduk menggunakan anestesi lokal.
 Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar
dari nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan
inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan
menyuntikkan lidokain melalui mukosa kedalam fosa
tonsil
 Insisi diperdalam dengan klem dan pus
yang keluar langsung dihisap dengan
menggunakan alat penghisap.
 Tindakan ini penting dilakukan untuk
mencegah aspirasi yang dapat
mengakibatkan timbulnya pneumonitis.
Biasanya bila insisi yang dibuat tidak
cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan
diperbesar. Setelah cukup banyak pus
yang keluar dan lubang insisi yang cukup
besar, penderita kemudian disuruh
berkumur dengan antiseptik dan diberi
terapi antibiotika
PENATALAKSAAN

 Teknik aspirasi
 Tindakan dilakukan menggunakan spuit 10 ml, dan jarum
no.18 setelah pemberian anestesi topikal (misalnya xylocain
spray) dan infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain).
 Aspirasi jarum,seperti juga insisi dan drainase, merupakan
tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada
anak dengan abses peritonsil karena biasanya mereka
tidak dapat bekerjasama.
 Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan
aspirasi darah dan pus ke dalam saluran nafas yang relatif
berukuran kecil
PENATALAKSAAN

 Tonsilektomi
 Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abes, disebut tonsilektomi
“a’ chaud”.
 Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’ tiede”.
 Bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi
“a’ froid”.
 Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses
KOMPLIKASI

 Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru,


atau piemia
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring. Pada penjalarang
selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
PROGNOSIS

 Kebanyakan pasien yang ditangani dengan antibiotik dan drainase yang


adekuat pada abses mereka, dapat pulih dalam beberapa hari.
 Apabila pasien kembali melaporkan terdapat nyeri tenggorokkan rekuren
atau kronis, atau bahkan sampai timbul abses setelah dilakukan insisi dan
drainase, maka dapat menjadi indikasi untuk dilakukan tonsilektomi

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai