The Impact of Prior Tonsillitis and Treatment Modality on the Recurrence of Peritonsillar
Abscess: A Nationwide Cohort Study
Oleh:
Hanifah Hanum 1618012077
Pembimbing:
dr. Agum Tyzi, Sp.THT-KL
PROBLEM
• risiko kekambuhan peritonsillar abscess (PTA) pada
pasien dengan tonsilitis sebelumnya
Intervention
• Jenis penelitian adalah kohort nasional retrospektif. Data
diperoleh dari pasien PTA di Taiwan tahun 2001-2009
yang mengikuti program Asuransi Kesehatan Nasional
ANALISIS PICO
COMPARISON
• Riwayat tonsillitis, usia, pengobatan yang diberikan
OUTCOME
• Tingkat kekambuhan secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan
kejadian tonsillitis lebih dari lima kali dibandingkan dengan yang tidak
mengalami tonsilitis sebelumnya. HR pada pasien yang diobati dengan
aspirasi jarum adalah 1,08 dibandingkan dengan yang diobati dengan insisi &
drainase. Berdasarkan usia, HR pada pasien dengan kejadian tonsillitis lebih
dari lima kali meningkat menjadi 2,92 dan 3,50 pada pasien berusia 18 dan
19-29. HR dari aspirasi hanya meningkat pada pasien 18 tahun
VALIDITY
Infeksi leher dalam adalah salah satu penyakit infeksi yang paling mematikan
dalam kerangka kompleks yang dibentuk oleh tiga lapisan fasia serviks dalam,
dengan potensi morbiditas dan mortalitas mulai dari 1,6% hingga 40%.
PTA adalah jenis infeksi leher dalam yang paling umum, bahasa sehari-hari
disebut sebagai '' Quinsy ’, dan menyumbang sekitar 30% dari abses kepala
dan leher.
Meskipun semua pengobatan untuk PTA pada awalnya efektif, sebagian
besar PTA cenderung kambuh. Studi menunjukkan peningkatan risiko
kekambuhan PTA pada pasien dengan tonsilitis sebelumnya. Namun, asosiasi
ini tidak konsisten dan dapat dipengaruhi oleh modalitas pengobatan yang
berbeda
Sehingga penelitian ini penting karena bertujuan untuk menilai risiko
kekambuhan pada pasien PTA dengan derajat tonsilitis dan modalitas
pengobatan yang berbeda, dan peran tonsilektomi dalam praktik saat ini.
APPLICABILITY
• Bakteri
Akut • Virus
• Tonsilitis Berulang
Kronik
• Difteri
Membranosa
TONSILITIS AKUT
Etiologi :
Virus
- virus Epstein Barr
- Hemofillus Influenza (Tonsilitis Supuratif)
- Coxschakie (tampak luka-luka di tonsil dan rongga mulut)
Bakteri
- grup A Streptococus beta hemolitik (GABHS)
- Penumokokus
- Streptococus viridan dan Streptococus piogenes
Perbedaan Tonsilitis akut dan kronik
TONSILITIS
KRONIS
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
proses
epitel mukosa dan
proses radang penyembuhan
jaringan limfoid
berulang jaringan diganti
terkikis,
oleh jaringan parut
Mikrobiologi
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti
Staphylococcus aureus
Histopatologi
infiltrasi limfosit ringan sampai sedang,
adanya Ugra’s abses
infitrasi limfosit yang difus.
PENATALAKSANAAN
Tonsilektomi menjadi
Antibiotik golongan prosedur pembedahan
higiene mulut dengan
penisilin, golongan pilihan utamabagipasien
berkumur
sefalosporin anak maupun dewasa
dengan tonsillitis kronik
memproduksi eksotoksin
Masa inkubasi
Kuman masuk polipeptida 62-kd, yang
kuman difteri menghambat sintesis protein
melalui droplet dan menyebabkan nekrosis
selama 2-4 hari jaringan lokal
Gejala umum
Seperti gejala infeksi lainnya, yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan
Gejala local
Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas
dan bersatu membentuk membran semu.
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals
Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri
akan timbul kerusakan jaringan tubuh : pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria
GEJALA KLINIK
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
pemeriksaan laboratorium
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu
kultur dari usapan nasofaring dengan hasil akan didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae
PENATALAKSAAN
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dosis 20.000-
100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Antibiotik penisilin atau eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
Antipiretik untuk simtomatis
Bedrest 2-3 minggu
KOMPLIKASI
ISOLASI PENDERITA
• baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung
menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae
IMUNISASI
• Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan pertusis :
DTaP, Tdap, DT, dan Td.
ABSES
PERITONSIL
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Timbul sumbatan
terhadap sekresi kelenjar sehingga timbul trism.
Weber yang Jika tidak diobati secara Abses dapat pecah
mengakibatkan maksimal spontan, mungkin dapat
terjadinya pembesaran terjadi aspirasi ke paru.us
kelenjar
GEJALA KLINIS
kesulitan berbicara, suara menjadi Paling sering abses peritonsil pada bagian
supratonsil atau di belakang tonsil,
seperti suara hidung, membesar seperti penyebaran pus ke arah inferior dapat
mengulum kentang panas (hot menimbulkan pembengkakan supraglotis dan
potato’svoice) obstruksi jalan nafas
DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium RADIOLOGI Tindakan diagnostik
Infeksi mononukleosis
Limfoma
Selulitis peritonsil
PENATALAKSAAN
Terapi simtomatik
Pasien dengan abses peritonsilar yang mengalami dehidrasi diberikan terapi
cairan intravena sampai inflamasi mulai berkurang dan pasien dapat
mengonsumsi intake secara oral.
Antipiretik dan analgesik diberikan untuk mengurangi demam dan rasa tidak
nyaman pasien.
Kumur- kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk
mengendurkan tegangan otot)
PENATALAKSAAN
Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik sebaiknya diberikan segera setelah diperoleh hasil kultur dari
abses.
Penisilin dosis tinggi masih menjadi pilihan untuk penatalaksanaan abses
peritonsil secara empiris.
Agen yang mengatasi kopatogen dan melawan beta laktam juga
direkomendasikan sebagai pilihan pertama.
Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazole)
merupakan pilihan terbaik
PENATALAKSAAN
Teknik aspirasi
Tindakan dilakukan menggunakan spuit 10 ml, dan jarum
no.18 setelah pemberian anestesi topikal (misalnya xylocain
spray) dan infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain).
Aspirasi jarum,seperti juga insisi dan drainase, merupakan
tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada
anak dengan abses peritonsil karena biasanya mereka
tidak dapat bekerjasama.
Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan
aspirasi darah dan pus ke dalam saluran nafas yang relatif
berukuran kecil
PENATALAKSAAN
Tonsilektomi
Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abes, disebut tonsilektomi
“a’ chaud”.
Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’ tiede”.
Bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi
“a’ froid”.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses
KOMPLIKASI