Anda di halaman 1dari 19

Manajemen dan Evaluasi Pre-Operatif

Menurut Barash, dkk (2006), tujuan dari manajemen preoperative adalah untuk menurunkan resiko
pasien dan morbiditas pembedahan, serta meningkatkan efisiensi. The Joint Commission for the
Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO) mengharuskan semua pasien mendapatkan evaluasi
preoperative anestesi. The American Society of Anesthesiologists (ASA) telah menyetujui standar dasar
perawatan preanestesi (Basic Standards for Preanesthetic Care), yang menguraikan persyaratan
minimum untuk evaluasi preopreatif.
Evaluasi preoperatif memiliki beberapa komponen dan tujuan. Pertama, melakukan anamnesis untuk
mengetahui riwayat penyakit, kemudian melakukan pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan kondisi
pasien dan operasi yang akan dilakukan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, lakukan tes
laboratorium yang sesuai dengan konsultasi preoperatif. Melalui hal ini dapat ditentukan apakah kondisi
preoperatif pasien dapat ditingkatkan sebelum operasi. Ahli anestesi harus dapat memilih anestesi dan
rencana perawatan yang tepat.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi resiko anestesi :

- Status fisik pasien, umur,

- Faktor resiko khusus ( kardiorespirasi dan penyulit lain)

- Urgensi pembedahan

- Derajat stress pembedahan ( macam pembedahan dan lama pembedahan)

- Kondisi teknik/ alat, monitor , penunjang

- Lingkungan dan kondisi subyektif ( pendidikan dan pengalaman dokter anestesi) Penilaian

prabeedah :

- Riwayat (anamnesis)

- Pemeriksaan fisik

- Catatan / riwayat sebelumnya

- Laboratorium dan tindakan diagnostik khusus

- Konsultasi dengan kolega spesialis lain

- Tencana untuk persiapan praanestesi/intervenmsi terapi

- Perencanaan teknik anastesi dan penanganan pasca bedah

- Informasi kepada pasien , informed consent


Pendekatan Sistem

Airway

Evaluasi jalan nafas meliputi evaluasi jarak mentothyroid, kemampuan untuk fleksi-ekstensi kepala, dan
pemeriksaan rongga mulut, termasuk gigi. Klasifikasi Mallampati telah menjadi standar untuk menilai
hubungan ukuran lidah relatif terhadap rongga mulut meskipun klasifikasi Mallampati memiliki nilai
prediksi positif yang rendah dalam mengidentifikasi pasien yang sulit diintubasi.

Sistem Klasifikasi Airway

Kelas Visualisasi langsung, pasien duduk Pemeriksaan Laringoskopi

I Palatum molle, uvula, arkus Seluruh glotis

II Palatum molle, uvula tertutup sebagian Komisura posterior

III Palatum molle, pangkal uvula Ujung epiglottis

IV Palatum durum Tidak tampak struktur glotis

Gambar 1. Mallampati score


Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali (reversible). Anestesi umum adalah tindakan yang menimbulkan keadaan tidak
sadar selama prosedur medis dilakukan, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat sesuatu yang
terjadi.
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari sedasi, analgesia, dan relaksasi.
Keuntungan anestesi umum :
- Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
- Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local
- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
- Dapat diberikan dengan cepat
- Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang

Kekurangan anestesi umum :


- Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit
kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental yang normal
- Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi umum
menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia.
(Press, 2013)
Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus
dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan
pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya,
sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak
pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai
klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien
secara umum.

Persiapan pasien
A. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien
(alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan
pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam
anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial,
pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris,
dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan
obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik,
antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti
alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang
waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan
intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti:
merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah
relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang
dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada
pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan
manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana
mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak
menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin
operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat
kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan
terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.

D. Kebugaran untuk anestesi


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan
bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

E. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang
terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman
bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.

F. Klasifikasi status fisik


Setelah melakukan evaluasi pra bedah, kita dapat mengklasifikasikan status fisik pasien berdasarkan
American Society of Anesthesiologist (ASA) dan mengetahui resikonya terhadap mortalitas.

ASA Deskripsi

1 Sehat , tidak ada gangguan organik, fisiologis, biokimiawi,


mental

2 Penyakit sistemik ringan- sedang, dapat tidak berhubungan


dengan pembedahan yang dilakukan

3 Penyakit sistemik berat

4 Penyakit yang mengancam jiwa

5 Moribund, tidak ada harapan hidup 24 jam dengan/ tanpa


pembedahan

G. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan kecemasan dan ketakutan -Memperlancar induksi anesthesia -Mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkus -Meminimalkan jumlah obat anestetik -Mengurangi mual muntah pasca
bedah -Menciptakan amnesia -Mengurangi isi cairan lambung -Mengurangi refleks yang
membahayakan
Premedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu obat atau kombinasi. Pemilihan obat
tergantung tujuan dari premedikasi itu.
Contoh obat untuk premedikasi
Indikasi Obat Golongan

Cemas, takut Benzodiazepin


Temazepam

Lorazepam

Diazepam

Midazolam
Nyeri
Parasetamol

Dikolfenak NSAID
Morfin, petidin, fentanyl Opioid
Mual/ muntah Cyclizine
Metoclopramide

Bradikardi Antikolinergik
Atropin

Hyosin

Glikopironium
Antisialogog Antikolinergik
Atropin

Hyosis

Glikopironium
Resiko aspirasi
Ranitidin Na sitrat Metoclopramid H2 reseptor antagonis Antasida

(Siregar, 2011)

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan
sampai dengan sedang mungkin bias menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau
midazolam.

H. INDUKSI
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan
selesai.
Sebelum dilakukan induksi, harus dipersiapkan terlebih dahulu DAMMIS.
D : Drugs - obat-obatan yang diperlukan
A : Airway Equipment - peralatan airway seperti nasofaring tube, orofaring tube, dan endotracheal
tube M : Machine - Mesin anestesi M : Monitor I : IV line S : Suction

• Tahap induksi dapat dicapai dengan injeksi intravena agen induksi (obat yang bekerja
cepat, seperti propofol), inhalasi lambat obat anestesi, atau kombinasi keduanya.
• Selain obat induksi, sebagian besar pasien mendapat suntikan analgesic opioid, seperti
fentanyl. Agen induksi dan opioid bekerja secara sinergis untuk menginduksi anestesi.
Selain itu, opioid dapat digunakan untuk mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi,
seperti pemasangan intubasi dan insisi kulit yang dapat meningkatkan tekanan darah dan
denyut jantung pasien.
• Langkah berikutnya dari proses induksi adalah mengamankan jalan napas.
• Tidak semua pembedahan membutuhkan pelumpuh otot (muscle relaxant). Untuk
pembedahan di abdomen atau thorax, muscle relaxant intermediate atau long acting dapat
digunakan sebagai tambahan agen induksi dan opioid. Pelumpuh otot ini juga
mempengaruhi otot-otot pernafasan, sehingga pasien membutuhkan bantuan ventilasi dan
intubasi endotrakeal.
(Press, 2013)
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau rectal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena,
karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara
3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah
dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB.
Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering
diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering
menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti
midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi
(tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata
terbuka.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis
5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini
dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut
disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai
dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai
dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang
diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi
dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-tanda
induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada
kelopak mata.

Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum
pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka
ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala
ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan
ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 %
tergantung reaksi dan besar tubuh penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan
terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia sudah cukup dalam,
rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-
1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa
menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%
beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan
sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada
kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Harus yakin
bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu
bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa
endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak
menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat
anestesi.
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali Teknik induksi anestesi dan intubasi
sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator setiap
inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila
nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang
simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan
dengan membantu usaha “nafas sendiri” secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan
fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2
diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
- Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang
otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

I. Rumatan anestesi (maintenance)


Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total) atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu
pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan
agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB.
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + 02 atau N2O + O2.

J. Manajemen Post operatif


Yang harus dievaluasi selama pos operatif adalah B1-B6 serta komplikasi post operatif yang dapat
terjadi. Untuk menilai keadaan selama pasien di recovery room juga dapat menggunakan Aldrete
Score untuk general anastesi dan Bromage skor untuk spinal anastesi.
Skor Aldrete
Skor Aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di ruang
pemulihan ( recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya pasien dikeluarkan
dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya dinilai pada saat observasi di ruang
pulih sadar adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas
motorik. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal).
Namun bila skor telah diatas 8, pasien boleh dikeluarkan dari ruang pemulihan.

Kriteria Skor

Kesadaran

Sadar penuh 2

Terangsang oleh stimulus verbal 1

Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0


Respirasi

Dapat bernafas dalam dan batuk 2

Dispneu atau hanya dapat bernafas dangkal 1

Tidak dapat bernafas tanpa bantuan (apneu) 0

Tekanan Darah 2
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi 1

Berbeda 20-50% dari tekanan darah sebelum operasi 0

Berbeda >50% dari tekanan darah sebelum operasi


Oksigenasi

SpO2 > 92% pada udara ruangan 2


Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 92% 1

SpO2< 90% meskipun telah mendapat )2 tambahan 0


Fungsi Motorik

Dapat menggerakan 4 ekstrimitas 2

Dapat menggerakan 2 ekstrimitas 1

Tidak dapat menggerakan ekstrimitas 0

Skor Bromage
Kriteria nilai
Kriteria Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tak mampu ekstensi tungkai 1

Tak mampu fleksi lutut 2


Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Jika bromage score 2, dapat dipindah ke ruangan


Komplikasi yang dapt muncul setelah pembedahan adalah obstruksi jalan nafas, bronkospasme,
hipo/hiperventilasi, komplikasi kardiovaskuler, menggigil, kenaikan suhu, hipertermi maligna,
reaksi hipersensitif, nyeri pasca bedah, mual muntah.
ALERGI MAKANAN

Menurut Soegiarto, dkk (2007), reaksi adversi terhadap makanan adalah setiap reaksi yang tidak
dikehendaki yang timbul setelah mukosa saluran makanan terpapar suatu makanan atau bahan
tambahan yang terkandung dalam makanan tersebut. Reaksi tersebut dapat dibagi menjadi 2, yaitu
alergi makanan dan intoleransi makanan. Alergi makanan adalah reaksi adversi terhadap makanan
yang terjadi melalui suatu mekanisme imunologis. Intoleransi makanan adalah reaksi adversi
terhadap makanan yang terjadi melalui mekanisme fisiologis/ non-imunologis.
Antigen makanan terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Alergi makanan terutama
disebabkan oleh glikoprotein yang terkandung di dalamnya. Glikoprotein yang bersifat alergenik
biasanya memiliki berat molekul antara 10.000 hingga 67.000 dalton, larut dalam air, stabil
terhadap pemanasan, serta mampu bertahan terhadap asam lambung dan enzim-enzim proteolitik.

Walaupun setiap makanan berpotensi alergenik, nyatanya hanya sebagian kecil makanan yang
menyebabkan sebagian besar reaksi alergi makanan. Alergen makanan utama pada anak-anak dan
dewasa:
Anak-anak Dewasa
Susu Kacang tanah
Telur Kacang polong
Kacang tanah Ikan
Kacang kedelai Udang
Gandum Kerang
Ikan
Kacang polong

Reaksi hipersensitifitas terhadap makanan yang dimediasi oleh IgE merupakan akibat dari pelepasan
mediator oleh sel mast dan basophil. IgE spesifik terhadap allergen makanan terikat pada sel mast atau
basophil melalui reseptor berafinitas tinggi. Bila terjadi ikatan silang antara suatu antigen dengan dua
fragmen pengikat antigen dari dua struktur IgE yang berdekatan, maka akan terjadi degranulasi sel mast
dan basophil. Dalam prosestersebut dilepaskan mediator-mediator yang telah terbentuk sebelumnya
(misalnya histamine), atau yang baru dibentuk
(misalnya leukotriene dan prostaglandin). Mediator tersebut selanjutnya menyebabkan kontraksi otot polos,
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan sekresi mucus. Selain itu diproduksi pula beberapa
jenis sitokin yang diduga mempunyai peran penting pada respons fase lanjut, yaitu pengarahan sel-sel
eosinophil, monosit, dan limfosit, serta merangsang pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya.
Manifestasi klinis tergantung pada system organ yang terkena. Reaksi tersebut dapat mengenai satu organ
saja, kombinasi >1 organ, hingga reaksi anafilaktik sistemik.
Manifestasi klinis alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE meliputi food induced enterocolitis, food
induced colitis, sindroma malabsorbsi, dan penyakit celiac. Penyebab alergi yang tersering adalah susu
sapid an susu kedelai (Sicherer, 2014). Hipersensitifitas terhadap makanan berkaitan dengan malabsorbsi.
Gejala pertama umumnya timbul pada bayi usia beberapa bulan dan tidak dipengaruhi oleh jenis allergen
penyebabnya. Manifestasinya bervariasi mulai dari faeces yang mengandung lemak hingga diare, berat
badan yang tidak bertambah, dan kegagalan tumbuh kembang.

Gejala dan tanda alergi makanan antara lain:

• Gatal pada mulut


• Angioedema
• Stridor
• Disfonia
• Batuk
• Sesak
• Dispnea
• Wheezing
• Spasme bronkus
• Edema laring
• Mual, muntah
• Diare
• Urtikaria
• Gatal pada mata, edema konjunctiva, pembengkakan periokular
• Hidung buntu, gatal, rhinorrhea, bersin
• Nyeri perut
• Gangguan kardiovaskular

Diagnosis alergi makanan membutuhkan anamnesis yang menyeluruh untuk membedakan antara
reaksi alergi dengan intoleransi makanan. Data yang diperlukan pada evaluasi alergi makanan :

• Makanan yang dicurigai


• Banyaknya bahan makanan yang diperlukan untuk memicu timbulnya reaksi
• Adanya riwayat timbulnya reaksi setiap kali paparan
• Waktu antara paparan hingga timbulnya alergi
• Manifestasi klinis yang sesuai dengan alergi makanan
• Hilangnya gejala setelah makanan yang dicurigai dihindari
• Lama berlangsungnya gejala
• Pengobatan yang diperlukan untuk mengatasi reaksi.

Uji tusuk kulit dapat dilakukan pada penderita yang gejalanya dicurigai sebagai reaksi yang dimediasi oleh
IgE. Uji tusuk kulit dianggap positif bila timbul bentol dengan diameter >3mm dari control negative. Uji in
vitro meliputi pengukuran IgE spesifik dengan teknik RAST. Pemeriksaan ini hanya dianjurkan bila
terdapat dermatitis atopic yang parah atau dermografisme, dimana uji tusuk kulit tidak mungkin dilakukan.
Reaksi alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE dapat ditegakkan terutama dengan adanya respon
terhadap eliminasi allergen dari diet, walaupun beberapa jenis penyakit juga membutuhkan dukungan
biopsy (Soegiarto, 2007).

Pengobatan
• Setelah hipersensitifitas terhadap makanan ditegakkan, allergen spesifik penyebabnya harus
dihindari secara ketat.
• Injeksi epinefrin merupakan pilihan untuk manajemen awal bila terjadi reaksi anafilaktik akibat
makanan. Epinefrin dapat disuntikkan secara intramuscular.
• Dapat juga diberikan antihistamin untuk mengurangi gejala reaksi alergi makanan.

ANESTESIA IN PATIENT WITH MULTIPLE DRUG ALLERGIES

Menurut Dewachter dkk (2011), pada evaluasi preoperative, pasien sering menunjukkan alergi obat
multiple yang belum divalidasi. Potensi alergi reaksi silang antara obat dan makanan juga sering
dipertimbangkan sebagai factor resiko hipersensitivitas perioperatif.
Konsep sindroma alergi obat multiple didefinisikan sebagai kecenderungan untuk bereaksi terhadap
obat antibiotic atau non antibiotic yang tidak terkait secara kimiawi. Pada kebanyakan kasus, sindroma
ini berupa urtikaria akut, angioedema, atau keduanya. Nan
Reaksi silang alergi (allergenic cross reactivity) didefinisikan sebagai antibodi individual terjadap
allergen lain dengan struktur yang mirip dan dapat ditemukan pada kelompok obat atau agen yang
digunakan selama periode perioperative. Reaksi
Neuromuscular blocking agents (NMBAs) dan antibiotic adalah obat yang paling sering memicu
anafilaksis perioperative. Alergi reaksi silang adalah komponen yang menonjol dari respons IgE dan
reflex filogenetik antar organisme (Aalberse, 2001). Dua allergen dengan epitope umum atau serupa
dapat dikenali oleh suatu antibody tunggal dan sensitisasi terhadap satu allergen dapat menyebabkan
sensitisasi silang pada pasien tanpa eksposure langsung terhadap allergen. Reaktifitas silang telah
dijelaskan dengan NMBAs, antibiotic, kontras iodin, dan beberapa makanan tertentu, dan mengacu
pada allergen dengan kesamaan structural pada struktur primer dari sekuens asam amino pada
beberapa kasus. Pola glikosilasi protein juga dapat memicu reaksi silang. Antibodi galaktosa alpha 1,3
galactose ditemukan pada pasien dengan reaksi terhadap cetuximab, antibody monoclonal yang
disetujui untuk digunakan pada SCC kolorektal dan kepala-leher, serta daging di Amerika Serikat
bagian selatan mengindikasikan reaksi silang antara cetuximab dan allergen daging (Chung, 2008).
Pengelompokan makanan laut meliputi ikan, crustacean, dan Mollusca. Krustasea dan Mollusca pada
umumnya disebut sebagai kerang. Kerang dan ikan termasuk makanan yang paling umum memicu
anafilaksis parah. Meskipun allergen utama yang bertanggung jawab untuk krustasea terkait
anafilaksis adalah tropmyosin, allergen utama dalam ikan adalah protein otot parvalbumin. Alergen
kerang tidak bereaksi silang dengan allergen ikan. Karena allergen determinan untuk ikan dan kerang
adalah protein otot dan bukan komponen lain seperti iodin, maka tidak ada alas an untuk memodifikasi
protocol anestesi pada pasien alergi kerang atau alergi ikan (Dewachter, 2011).

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Dokumen21 halaman
    Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • GiziBalita
    GiziBalita
    Dokumen2 halaman
    GiziBalita
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • 74 143 1 SM
    74 143 1 SM
    Dokumen23 halaman
    74 143 1 SM
    Teguh Bayu Permana
    Belum ada peringkat
  • Contoh Bukti Daftra Hadir
    Contoh Bukti Daftra Hadir
    Dokumen2 halaman
    Contoh Bukti Daftra Hadir
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Artkel
    Artkel
    Dokumen8 halaman
    Artkel
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Pterigium
    Laporan Kasus Pterigium
    Dokumen29 halaman
    Laporan Kasus Pterigium
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen9 halaman
    Bab Ii
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen5 halaman
    Jurnal
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • PERSALINAN NORMAL
    PERSALINAN NORMAL
    Dokumen9 halaman
    PERSALINAN NORMAL
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Invaginasi Usus
    Invaginasi Usus
    Dokumen22 halaman
    Invaginasi Usus
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Invaginasi Usus
    Invaginasi Usus
    Dokumen22 halaman
    Invaginasi Usus
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Hemoroid
    Hemoroid
    Dokumen19 halaman
    Hemoroid
    Anggun Rosalina
    Belum ada peringkat
  • Syok
    Syok
    Dokumen47 halaman
    Syok
    Vivie Rembang
    Belum ada peringkat