Anda di halaman 1dari 25

Presentasi Kasus :

Generalized Tonic Clonic Seizures

Oleh :
Rianti
NIPP. 20174011078

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
1. Identitas pasien

 Nama : An.A
 Usia : 7 Tahun
 Alamat : Dendengan, Bonjong
 Pekerjaan : Siswi
 Status : Belum menikah
 Tanggal Periksa : 16 januari 2018
2. Anamnesis
 Keluhan Utama
Pasien mengalami kejang 1 hari sebelum periksa.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Saraf RSUD Tidar Kota Magelang pada hari Selasa
tanggal 16 Januari 2018 karena mengalami serangan kejang 1 hari sebelum
periksa.Kejang dideskripsikan diawali gerakan kaku lalu diikuti dengan
gerakan kelojotan pada seluruh anggota gerak secara bersamaan.
Durasi kejang sekitar ± 3 menit. Pada saat kejang pasien mengaku tidak
sadarkan diri. Pasien terakhir kontrol 3 tahun yang lalu.
Hal-hal yang diyakini pasien sebagai pencetus kejang adalah ketika pasien
kecapaian dan kurang istirahat.
Penyakit yang menyertai seperti pusing, mual, muntah, gangguan
penglihatan (penglihatan ganda) disangkal, perasaan tidak nyaman ketika
melihat cahaya atau suara sebelum serangan disangkal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan dirasakan sejak usia 1,5 tahun. Awalnya pasien mengalami demam
tinggi, lalu tubuh mendadak biru , kaku, matanya melek ± 1 menit. Selanjutnya
kejang sering kambuh saat pasien kecapean.
Pasien mulai datang berobat ke RSUD Tidar Kota Magelang tahun 2013 dan
kontrol rutin sampai tahun 2016. pertengahan tahun 2016 tidak pernah kontrol lagi
karena sudah tidak pernah kejang.
Riwayat jatuh (-). Riwayat trauma kepala (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga
ibu dan adik kandung pasien punya riwayat keluhan yang sama.
 Riwayat Personal Sosial
Pasien adalah seorang siswi kelas 1 SD.
3. Pemeriksaan fisik

 Keadaan umum : Baik


 GCS : (E4 M6 V5)
 Kesadaran : Compos Mentis
 Nadi : 80x/menit
 Napas : 22 x/menit
 Suhu : 36,8oC
 BB : 24 Kg
 Kepala
Wajah : kanan dan kiri simetris.
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) refleks Cahaya Langsung (+/+),
reflek cahaya tidak langsung (+/+)
 Thorax
Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi (-),dbn
Perkusi : paru kanan-kiri sonor, dbn
Palpasi : ketinggalan gerak (-/-),dbn
Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-),dbn
 Abdomen
Bising usus (+), supel, nyeri tekan abdomen (-),
 Ekstremitas
Akral teraba hangat pada seluruh ekstremitas, edema (-), tidak ada masalah pada kedua
ekstremitas.
4. Pemeriksaan neurologis
Sistem Motorik
Ekstremitas atas Kanan Kiri
Kekuatan 555 555

Gerakan involunteer (-) (-)

Refleks brakhioradialis + +

Refleks Hoffman / Tromner (-) (-)

Ekstremitas bawah Kanan Kiri


Kekuatan 555 555

Gerakan involunteer (-) (-)

Refleks Patella + +

Refleks Openheim (-) (-)


 Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Brudzinsky 3 : (-)
Brudzinsky 4 : (-)
Laseque : (-)
Kernig : (-)
 Manuver
Laseque : (-)
Patrick : (-)
Kontrapatrick : (-)
Valsava : (-)
Saraf kranialis
Nervus1,5 Keterangan Nervus Keterangan

I : Olfaktorius Tidak dilakukan VII: Fasialis normal

II : Optikus Normal VIII :Vestobulocochlearis Normal

III : Okulomotorius Normal IX : Glossofaringeus Normal

IV : Trochlearis Normal X: Vagus Normal

V : Trigeminus Normal XI : Acsesorius Normal

VI : Abducen Normal XII : Hypoglosus Normal


5. Pemeriksaan penunjang
 Tidak ada
6. Diagnosis

 Diagnosis klinis : Bangkitan Epilepsi Umum Tipe Tonik klonik


(Generalized Tonic Clonic Seizure)
 Diagnosis etiologis : idiopatik
7. Tatalaksana

Depakote 125 mg No. X


B complex No.V
Da in caps dtd 2x1 No. LX
PEMBAHASAN
A. Definisi

 Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat


sementara dan tiba-tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik
yang abnormal didalam otak. Jika gangguan aktivitas listrik ini
terbatas pada area otak tertentu , maka dapat menimbulkan kejang
yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik terjadi di
seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat
umum.
 Kejang umum tonik klonik/generalized tonic clonic seizure (GTCS)
adalah jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh
peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti hentakan
simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik).
B. Epidemiologi
 Risiko seumur hidup terhadap terjadinya kejang umum adalah 3-4% dengan
puncak kejadian pada awal kejang (kejang neonates atau tumor dan stroke)
kehidupan. Kita ketahui epilepsy adalah salah satu penyakit tertua di dunia
dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran
otak. Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50 juta orang di seluruh dunia.
Epilepsi bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global, dimana
80% beban tersebut berada di negara berkembang. Pada negara berkembang
di beberapa area 80-90% kasus tidak menerima pengobatan sama sekali.
 Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar antara 40-70
kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang, insiden berkisar
antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi dari epilepsi
bervariasi antara 5-10 kasus per 1.000 orang.
 Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi
diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia
adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per
tahun.
C. Etiologi
 GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan bagian
manifestasi klinik dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada dewasa maupun
kanak-kanak. Misalnya, benign neonatal convulsions, benign myoclonic
epilepsy of infancy, childhood absence epilepsy, juvenile absence epilepsy,
juvenile myoclonic epilepsy, GTCS yang terjadi saat bangun tidur, temporal
lobe epilepsy syndrome, frontal lobe epilepsy syndrome, West syndrome, dan
lain-lain. Dengan perkembangan ilmu, telah dapat ditentukan lokus-lokus
genetik yang pasti dari berbagai tipe atau sindrom epilepsi.
 GTCS sering juga terjadi sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. Hal-
hal yang dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek kongenital
dan trauma saat lahir, febris (terutama pada anak), infeksi akut ataupun
kronis termasuk AIDS, trauma kepala, lesi desak ruang seperti tumor atau
hematoma, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, strok, dan penyakit
degeneratif seperti penyakit Alzheimer. Penyakit-penyakit metabolik yang
juga berhubungan dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit, uremia,
hipoglikemia, dan disfungsi hepar yang berat. Bangkitan kejang umum tidak
umum ditemukan pada bayi dan jarang pada neonatus. Pada pasien usia
lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder yang berasal dari lesi
fokal otak.
D. Patofisiologi
 Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas
muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu
dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan
listrik.
 Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah
atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali dasar suatu
serangan epilepsi.
 Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan
berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar
neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan
epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-
zat yang penting untuk fungsi otak.
E. Gejala
Pada tahap tonik pasien dapat:
 kehilangan kesadaran,
 kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang,
 berteriak tanpa alasan yang jelas,
 menggigit pipi bagian dalam atau lidah.
Pada saat fase klonik:
 terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
 mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol,
 pasien tampak sangat pucat,
 pasien mungkin akan merasa lemas,
 letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
F. Penegakkan diagnosis

Anamnesis
 Pola / bentuk serangan
 Lama serangan
 Gejala sebelum, selama dan paska serangan
 Frekuensi serangan
 Faktor pencetus
 Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
 Usia saat serangan terjadinya pertama
 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Pemeriksaan fisik (trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus)
Pemeriksaan penunjang (EEG, Rekaman video EEG,, dan Radiologis)
G. Diagnosa banding

 GTCS primer yang merupakan bagian dari epilepsi general atau idiopatik perlu
dibedakan dengan kejang parsial yang menjadi GTCS sekunder sebagai bagian
dari epilepsi fokal simptomatik.
 Beberapa keadaan atau penyakit yang juga perlu dibedakan dengan GTCS
adalah kejang parsial kompleks, gangguan keseimbangan, kejang demam,
distonia, dan hiperventilasi.
H. Penatalaksanaan
 Pada GTCS primer, OAE lini pertama adalah adalah sodium valproat, lamotrigine,
topiramate, dan carbamazepine. OAE lini keduanya adalah clobazam,
levetiracetam, dan oxcarbazepine. OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah
clonazepam, phenobarbital, dan phenytoin.
 untuk GTCS sekunder, OAE lini pertama adalah carbamazepine, oxcarbazepine,
sodium valproat, topiramate, lamotrigine; OAE lini kedua adalah clobazam,
gabapentine, levetiracetam, phenytoin, dan tiagabine; dan OAE lain yang dapat
dipertimbangkan adalah clonazepam dan phenobarbital. Untuk sindrom epilepsi
umum tonik-klonik (GTCS), disarankan sodium valproat, lamotrigine,
carbamazepine, dan topiramate sebagai OAE lini pertama; levetiracetam sebagai
OAE lini kedua; dan clobazam, clonazepam, oxcarbazepine, phenobarbital, dan
phenytoin sebagai OAE lain yang dapat dipertimbangkan.
I. Prognosis

 Quo Ad Vitam : Bonam


 Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
 Quo Ad Sanationam : Dubia
K. Kesimpulan

 Generalized Tonic Clonic Seizures atau kejang umum tonik klonik


adalah jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh
peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti hentakan
simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik).
 GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan
bagian manifestasi klinik dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada
dewasa maupun kanak-kanak.
 Pada penatalaksanaannya untuk sindrom epilepsi umum tonik-klonik
(GTCS), disarankan sodium valproat, lamotrigine, carbamazepine, dan
topiramate sebagai OAE lini pertama; levetiracetam sebagai OAE lini
kedua; dan clobazam, clonazepam, oxcarbazepine, phenobarbital,
dan phenytoin sebagai OAE lain yang dapat dipertimbangkan
L. Daftar pustaka
 Baugh, R. H., Ishii, L. E., et al. 2013. Clinical Practice Guideline : Bell’s Palsy.
Otolaryngol Head Neck Surg;149(3 Suppl):S1-27. doi: 10.1177/0194599813505967.

 Baehr, M., Frotscher, M., 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisisologi,
Tanda, Gejala Edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

 Baugh, R. F., Basura,G. J., et al., 2013. Otolaryngology–Head and Neck Surgery
149(3S) S1–S27 : American Academy of Otolaryngology. DOI:
10.1177/0194599813505967 http://otojournal.org

 Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain reaction
amplification of Herpes Simplex Viral DNA from the geniculate ganglion of a patient
with Bell’s palsy. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1994;103:775.

 Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid


diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202.

 Lowis, H., Gaharu, M. N., 2012. Bell’s Palsy : Diagnosis dan Tatalaksana di
Pelayanan Primer. J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1.

Anda mungkin juga menyukai