Anda di halaman 1dari 42

Clinical Pharmacokinetics on Obes,

Pediatry and Geriatri Patients

KELOMPOK 8
Rianti Novaliana 11 01 01 089
Risnalia 11 01 01 090
Rizky Akbar 11 01 01 091
Sri Rahayu Putri 11 01 01 094
Suci Amanda 11 01 01 095
PROSES ADME OBAT
Ketika suatu sediaan obat diberikan dengan cara
ekstravaskuler ( per oral, intramuskular, intraperitoneal,
subkutan, dan melalui rektum ) kepada pasien, maka obat
akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME), sebelum ia mencapai reseptor (R).

Obat akan berada didalam sirkulasi sistemik dengan


kadar tertentu,, kemudian menembus keluar dari pembuluh
darah, terdistribusi keseluruh jaringan organ dan akhirnya
berikatan dengan reseptor pada sel membran. Ikatan obat
dengan reseptor ini kemudian memicu berbagai reaksi kimia
didalam sel, sampai timbul efek obat.
NASIB OBAT DALAM TUBUH
o Absorpsi
o Distribusi
o Metabolisme
o Eksresi
Nasib obat dalam tubuh. Setelah masuk kedalam
tubuh, ia mengalami proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi(ADME), menghasilkan
kadar obat didalam darah terhadap waktu
sebelum obat menimbulkan efek farmakologi.
DEFINISI OBESITAS
Obesitas merupakan suatu kelainan komplek
pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi
yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik
spesifik. Faktor genetik diketahui sangat
berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini.
Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai
akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan
dijaringan adiposa sehingga dapat mengganggu
kesehatan.
Pengaturan asupan makanan seperti kita
ketahui sebelumnya diatur oleh suatu pusat
lapar di hipotalamus lateral dan pusat kenyang
di ventromedialis hipotalamus. Dengan adanya
perangsangan di hipotalamus lateral seorang
individu akan makan dengan rakus sedangkan
apabila terjadi perangsangan di inti
ventromedialis hipotalamus akan menyebabkan
rasa kenyang bahkan menolak untuk makan.
Terdapat juga beberapa pusat makan lain
yang letaknya berdekatan dengan hipotalamus
yang memegang peranan penting dalam
pengendalian nafsu makan, yaitu amigdala dan
daerah kortek sistem limbik.
FAKTOR YANG MENGATUR
ASUPAN MAKANAN DALAM TUBUH
o Faktor Nutrisi
yang berfungsi mempertahankan jumlah
simpanan nutrien normal dalam tubuh.

o Faktor Pengaturan Pencernaan


yang terutama berpengaruh langsung dengan
keinginan makan. Faktor ini biasa disebut juga
sebagai pengaturan perifer atau pengaturan
jangka pendek.
o Faktor Genetik
Dikatakan juga mempunyai peranan akan
terjadinya obesitas. Kelainan genetik
tersebut dapat terjadi berupa kelainan
genetik pusat pengaturan makan maupun
kondisi psikis yang secara herediter
abnormal, maupun kondisi genetik yang
menyebabkan terjadinya peningkatan
cadangan lemak tubuh.
Beberapa Faktor Nutrisi Yang
Mengendalikan Derajat Aktifitas Makan
1. Ketersediaan glukosa pada sel tubuh.(Teori glukostatik )
Telah lama diketahui bahwa penurunan kadar glukosa darah berkaitan dengan
timbulnya rasa lapar.Ada dua hasil pengamatan yang mendukung faktor ini yaitu
adanya kondisi naiknya kadar glukosa darah akan meningkatkan aktifitas listrik
diinti ventromedialis hipotalamus sebagai pusat kenyang dan menghambat
aktifitas listrik dilateral hipotalamus sebagai pusat lapar. Kondisi kedua adalah
kenyataan bahwa adanya sifat glukosa yang dapat bekerja meningkatkan derajat
rasa kenyang pada inti ventromedialis sebagai pusat kenyang.

2. Pengaruh konsentrasi asam amino darah


Kenaikan kadar asam amino dalam darah dapat juga mengurangi makan sedangkan
turunnya kadar asam amino didalam darah akan meningkatkan makan. Walaupun
demikian secara umum kondisi ini tidak sekuat mekanisme glukostatik.

3. Pengaruh metabolisme lemak (Pengaruh jangka panjang ).


Derajat makan secara keseluruhan bervariasi hampir terbalik dengan dengan
jumlah jaringan adiposa. Jika kuantitas jaringan adiposa meningkat,maka laju
makan akan menurun. Oleh karena itu para ahli fisiologi percaya bahwa
pengaturan makan jangka panjang dikendalikan terutama oleh metabolik lemak.
Teori ini disebut juga sebagai teori lipostatik.
Selain kondisi diatas terdapat juga
beberapa interaksi endokrin yang berasal dari
saluran cerna yang dipercaya ikut mengatur
atau mempengaruhi pusat makan dari jalur
perifer. Beberapa hormon tersebut adalah ;
cholesistokinin, peptida dan ghrelin. Hormon
terakhir ini saat ini dikenal sebagai ”hunger
hormone” yang dapat meningkatkan rasa lapar
dan menimbulkan terjadinya obesitas bila
diberikan secara kronik. Selain saluran cerna
beberapa organ lain seperti hepar, pankreas,
jaringan adiposa dan otot rangka juga dapat
terlibat dalam jalur perifer ini.
Klasifikasi Obesitas
• Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit sehingga sebagai
penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT)
untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.2Disamping
IMT, menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung untuk
menilai adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama pada IMT 25-
34,9 kg/m2.2

• IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan serta praktis untuk
mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.
Pengukuran ini merupakan langkah awal dalam menetukan derajat adipositas, dan
dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak tubuh.16,17 Untuk
penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat badan
dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT
menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.2

• Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasi yang


diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World Health
Organization (WHO), yang tertera pada tabel 1 dibawah ini. Definisi berat badan
lebih dan obes sangat tergantung dengan ras. Klasifikasi NIH dan WHO sering
digunakan untuk ras kulit putih, hispanik dan ras kulit hitam.
Klasifikasi Berat Badan Lebih dan
Obesitas Berdasarkan IMT
KATEGORI IMT (Kg/m2) Keterangan

Berat Badan Kurang ˂ 18,5

Kisaran Normal 18,5 – 24,9

Berat Badan Lebih ˃ 25

Pra-Obes 25,0 – 29,9

Obes Tingkat l 30,0 – 34,9

Obes Tingkat ll 35,0 – 39,9

Obes Tingkat lll ˃40,0


GEJALA DAN TANDA-TANDA OBESITAS

Salah satu tanda-tanda dari obesitas adalah penimbunan lemak yang


berlebihan dibawah diafragma dan didalam dinding dada yang bisa
menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasaan dan sesak
nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan.
Biasanya gangguan pernapasan itu terjadi pada saat tidur dan
menyebabkan terhentinya pernapasan untuk sementara (tidur apneu),
sehingga pada siang hari penderita sering merasa mengantuk.
Obesitas juga sering ditemukan pada berbagai masalah ortopedik,
termasuk nyeri punggung bawah dan masalah osteoritis. Sering juga
ditemukan kelainan tubuh pada penderita, seseorang yang obesitas
memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan
dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang
secara efesien dan mengeluarkan keringat yang banyak. Pada obesitas
dapat juga ditemukan gejala edema (pembengkakan akibat penimbunan
jumlah cairan) didaerah tungkai dan pergelangan tangan.
(Sarwono,2003)
Tabel 3.32 Faktor-faktor yang mempengaruhi ADME obat pada obesitas
(Ritschel & Kearns, 2004; Lee dkk, 2006; Blouin & Ensom, 2007)
Parameter Faktor Fisiologik Akibat
Absorpsi Perubahan minor Data terbatas; untuk propranolo
tidak terpengaruh.

Distribusi Kenaikan berat tubuh langsing Volume distribusi obat larut


(lean body mass), jaringan lemak (lipofilik) lebih besar,
adipose, ukuran organ, volume tetapi volume distribusi obat
darah, dan curah jantung. hidrofilik relatif tetap.

Kenaikan ikatan obat dengan α- Penurunan fraksi bebas obat basa


acid glycoprotein (AAG), lemah. Kemungkinan pendesakan
lipoprotein, asam lemak bebas obat asam lemah.

Metabolisme Kenaikan aliran darah splanchnic Biasanya mengurangi klirens obat


dan hati, jumlah sel hati, dengan rasio ekstraksi hepatik
degenerasi sel parensim, (Eh) tinggi. Aktivitas enzim
infiltrasi lemak, kolestasis, tertentu (metabolisme fase-1)
fibrosis dan infiltrasi periportal. berkurang. Glukuronidasi dan
sulfasi meningkat.

Ekskresi Kenaikan ukuran ginjal, kecepatan Kenaikan klirens renal.


aliaran darah ginjal, filtrasi
glomeruli, dan sekresi tubular.
Rumus Berat Badan Untuk Penetapan Dosis
Penetapan dosis obat pada pasien obesitas dapat berdasarkan
berat badan total (TBW), berat badan langsing yang memperkirakan
berat badan tanpa lemak, fat-free mass (lean body weight, LBW),
indeks masa tubuh (body mass index, BMI), atau luas permukaan
tubuh (BSA), tergantung sifat fisiko-kimiawi obat dan tingkat
obesitas.
(Ritschel & Kearns, 2004; Lee dkk, 2006).
Misalnya untuk penetapan loading dose, volume distribusi obat
lipofilik dihitung menggunakan TBW, untuk penatapan dosis
maintenance obat yang klirens tidak terpengaruh oleh obesitas
digunakan IBW, sedangkan jika klirens meningkat digunakan LBW.
Karena distribusi obat-obat yang hidrofilik ke dalam jaringan adipose
sangat kecil, sehingga nilai Vd-nya relatif tidak berubah, maka tidak
diperlukan perubahn loading dose pada obesitas. Jadi acuan dosis
untuk loadig dose menggunakan IBW (Anonim, 2008).
Persamaan-persamaan Berat Badan
(Anonim, 2008; Green &Duffull, 2004)
Untuk pasien dengan tinggi badan ≥ 150 cm :
• IBW pria dewasa = 50 kg + { 0,9 kg x (T – 150)}
• IBW wanita dewasa = 45 kg + { 0,9 kg x (T – 150)}

Indeks masa tubuh (BMI) juga lazim digunakan untuk menghitung dosis pada
kelebihan berat badan dan obesitas (Shargel dkk, 2005) :

BMI = Berat Badan / Tinggi badan x 10.000

(BMI dengan satuan kg/m², berat badan dalam kilogram,


tinggi badan dalam cm)
Absorpsi Obat
Informasi tentang pengaruh obesitas terhadap
ketersediaan hayati obat masih belum banyak, sehingga
sementara ini belum dapat dibuat generalisasi mengenai
disposisi obat. Ketersediaan hayati midazolam dan
propranolol, dua obat dengan rasio ekstraksi hepatik (Eh)
tinggi, dan juga dexfenfluramin, tidak berbeda antara
subyek kegemukan dengan berat badan normal. Begitu pula
ketersediaan hayati siklosporin pada penerima cangkok
ginjal, tidak berbeda antara pasien obesitas dan normal.
Bahkan absorpsi dan enzim metabolisme intestinal tidak
terpengaruh oleh pasien obesitas yang mengalami hypass
lambung atau jejunoileum, ketika antipirin digunakan
sebagai probe (Blouin & Ensom, 2007)
DISTRIBUSI OBAT
Kecepatan dan luas distribusi obat tergantung dari
berbagai faktor obat dan fisiologik, sedangkan pada obesitas ,
terjadi kenaikan curah jantung, volume darah, berat organ,
berat tubuh langsing (lean body mass; LBM) dan kenaikan
jaringan adipose. Seperti yang diketahui, LBM terdiri dari
massa sel tubuh termasuk lemak membran sel (merupakan
komponen utama tubuh), air ekstraseluler, dan jaringan
konektif tanpa lemak; dan di dalam massa sel tubuh inilah lebih
dari 99% metabolisme terjadi (Nawaratne dkk, 1998).

Jadi distribusi obat yang larut lemak (lipofilik) umumnya


meningkat karena kenaikan berat badan total, sehingga
mempengaruhi besar loading dose, interval pemberian obat,
waktu-paro eliminasi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
kadar tunak di dalam darah.
Tabel 3.33. pengaruh obesitas dan berat badan
normal (LBM) terhadap volume distribusi (liter)
beberapa obat (Blouin & Ensom, 2007)

Obat Obesitas LBM Rasio


Obesitas/LBM
Amikasin 26,8 18,6 1,4
Diazepam 291,9 90,7 3,2
Digoksin 981 937 1,1
Kafein 69,9 43,6 1,6
Siklosporin 229 295 0,8
Verapamil 71,3 301 2,4
METABOLISME OBAT
Studi tentang aktivitas metabolisme pada obesitas masih belum
banyak. Namun tabel berikut (Tabel 3.35) untuk sementara dapat dijadikan
acuan dalam memperkirakan disposisi obat.

Tabel 3.35. Pengaruh obesitas terhadap eliminasi hepatik dan renal


(Blouin & Ensom, 2007)

Enzim Hepatik
CYP2E1 Meningkat
CYP3A4 dan CYP2B6 Berkurang
Glukuronidase dan Sulfatase Meningkat
Asetilase Tidak berubah
Ekskresi ginjal
GFR dan sekresi tubular Meningkat
Reabsorpsi tubular Berkuang
CYP2E1. Kenaikan aktivitas enzim ini dibuktikan
menggunakan chlorzoxazone, suatu marker yang
selektif untuk enzim CYP2E1, ketika klirens oral obat
tersebut lebih cepat pada obesitas dibandingkan
subyek dengan berat badan normal. Contoh obat lain
yang dimetabolisme oleh enzim ini ialah parasetamol,
halotan, enfluran, isofluran, dan metoksifluran.
Kenaikan aktivitas enzim ini yang diduga sebagai
penyebab kanker pada obesitas, sebab ia juga
memetabolisme pro-karsinogen (N-nitrosamin), dan
penyebab penyakit hati karena alkohol (Bibi, 2008).
EKSKRESI OBAT
Kegemukan juga mempercepat filtrasi glomeruli (GFR) dan
sekresi obat melalui tubuli ginjal, namun mengurangi reabsorpsi
tubuli ginjal. Hasil akhir dari fenomena ini ialah terjadinya
kenaiakan klirens ginjal. Jika eliminasi obat dari tubuh sebagian
besar melalui ginjal, dan sedikit dimetabolisme, maka kenaikan
klirens ginjal dapat diartikan sebagai kenaikan klirens total
obat dari tubuh. Akibatnya dosis perlu dinaikan untuk
mengimbangi kenaikan klirens tersebut.
Selain itu, pada obesitas juga terjadi kenaikan ukuran
ginjal, dimana kenaikan ini sebanding dengan kenaikan berat
tubuh total dan luas permukaan tubuh. Kenaikan GFR pada
obesitas dibuktikan melalui klirens Cr-EDTA dan klirens
kreatinin, sedangkan kenaikan klirens ginjal prokainamid,
simetidin dan sefotaksim (Blouin & Ensom, 2007).
Tabel 3.36. Klirens obat pada obesitas
(Blouin & Ensom, 2007; Anonim, 2008)
Tidak Berubah Meningkat Berkurang
Alprazolam Bisoprolol Doxorubisin
Antipirin Busulfan Metilprednisolon
Diazepam Chlorzoxazone Karbamazepin
Desmetildiazepam Diazepam Propranolol
Digoksin Enfluran Triazolam
Dexfenfluramin Gentamisin
Enoxaparin Halotan
Fenitoin* Ibuprofen
Gliburid Kafein
Glipizid Litium*
Ifosfamid Lorazepam
Karbamazepin Nebivolol
Labetalol Nitrazepam
Lidokain Oksazepam
Midazolam Parasetamol
Prokainamid Prednisolon
Propofol Sefatoksim
Siklofosfamid Simetidin
Siklosporin Siprofloksasin
Sotalol Tiopental
Sufentanil Tobramisin
Teofilin Vankomisin
Trazodon
Vekuronium
Verapamil
FARMAKOKINETIK OBAT-OBAT OBESITAS
• Sibutramine Hydrochloride

Struktur Sibutramine Hydrochloride

Sibutramine hydrochloride merupakan golongan OBAT KERAS yang


digunakan dalam pengobatan obesitas, dimana obat ini hanya dapat
diperoleh dan digunakan berdasarkan resep dokter.
Sibutramine direkomendasikan untuk pasien obesitas dengan index
massa tubuh ≥ 30 kg/m2, atau ≥ 27 kg/m2 untuk pasien dengan resiko
diabetes, dislipidemia, dan hipertensi.
Mekanisme Aksi
Sibutramin hydrochloride menghambat reuptake
noradrenaline dan serotonin oleh sel saraf setelah kedua
neurotransmiter ini menyampaikan pesan diantara sel saraf
yang ada di otak. dihambatnya reuptake membuat kedua
neurotransmitter ini bebas menjelajah di otak. saat itulah
keduanya menghasilkan perasaan penuh (kenyang) pada pasien
sehingga mengurangi keinginan untuk makan.
Obat ini terbukti menurunkan asupan makanan dan
meningkatkan thermogenesis. Secara invivo, sibutramine
bekerja melalui 2 metabolit aktif yaitu M1 dan M2. Efikasinya
untuk menurunkan dan mempertahankan berat badan telah
ditunjukkan pada beberapa penelitian klinis.
Farmakokinetik Obat
Sibutramine diabsorpsi cepat di saluran gastroinestinal
(77%). Sibutramin terdistribusi luas ke jaringan terutama
di hati dan ginjal. Metabolit M1 dan M2 terikat sebanyak
94% pada protein plasma sedangkan sibutramine terikat
97% pada protein plasma. Hal ini menunjukkan bahwa
volume distribusi (Vd) sibutramin, metabolit M1 dan M2
kecil didalam tubuh.
Sibutramin mengalami first pass metabolisme di hati
oleh sitokrom P450 isoenzim CYP3A4 mengahasilkan dua
metabolit aktif, M1 dan M2. Kedua metabolit ini selanjutnya
mengalami konjugasi dan hidroksilasi menjadi metabolit
inaktif, yaitu M5 dan M6. T1/2 eliminasi sibutramin adalah 1
jam , Metabolite: M1 : 14 jam, M2 : 16 jam. Tmaks
sibutramin 1,2 jam, Metabolit : M1dan M2 : 3-4 jam.
Sibutramin dan metabolitnya dieksresikan terutama lewat
urine (77%) dan feses.
• Xenical

Xenical yang mengandung Orlistat 120 mg ,rumus kimianya (S)-2-


formylamino-4-methyl-pentanoic acid (S)-1-[[(2S, 3S)-3-hexyl-4-
oxo-2-oxetanyl] methyl]-dodecyl ester. Rumus Empirisnya C29H53NO5.

Mekanisme Aksi

Xenical adalah suatu penghambat enzim lipase saluran cerna yang


poten dan spesifik dengan lama kerja yang panjang. Bekerja pada lumen
lambung dan usus halus dengan membentuk suatu ikatan kovalen pada
bagian serine yang aktif dari lipase pankreas dan lambung. Enzim yang di
non-aktifkan tersebut dengan demikian tidak dapat menghidrolisis
trigliserida makanan menjadi asam lemak bebas dan monogliserida yang
dapat diabsorpsi. Karena trigliserida yang utuh tidak diserap, maka defisit
kalori akan berdampak positif pada pengaturan berat badan. Dengan
demikian tidak diperlukan absorpsi sistemik dari obat untuk dapat
melakukan aktivitas kerjanya.
Farmakokinetik Obat
Absorpsi :

Studi pada relawan sehat dengan berat badan normal dan relawan dengan obesitas
memperlihatkan jumlah orlistat yang diserap adalah minimal. Konsentrasi plasma orlistat
yang tidak terurai tidak terukur ( < 5 ng/ml) setelah 8 jam pemberian orlistat per oral
. Umumnya pada dosis terapi, kadar plasma orlistat yang tidak terurai hanya terdeteksi
secara sporadis dan dalam konsentrasi yang sangat rendah (<10 ng/ml atau 0,02mm),
tanpa bukti-bukti akumulasi, yaitu konsisten dengan tingkat absorpsi yang dapat
diabaikan. Distribusi Volume distribusi tidak dapat ditentukan karena tingkat absorpsi
obat sangat minimal dan tidak memiliki farmakokinetik sistemik yang jelas. Orlistat in
vitro memperlihatkan > 99 % ikatan protein plasma (terutama lipoprotein dan albumin).
Distribusi orlistat ke dalam eritrosit sangat sedikit.

Metabolisme

Berdasarkan data yang diperoleh dari hewan, sangat mungkin metabolisme orlistat
terutama berlangsung pada dinding usus. Berdasarkan studi pada pasien obesitas, dua
metabolit utama yaitu M1 (cincin lakton 4 anggota dihidrolisis) dan M3 (M1 dengan N-
formil leucine moiety dibelah) meliputi hampir 42 % dari total konsentrasi plasma yang
dihasilkan oleh fraksi yang sangat kecil dari obat yang diabsorpsi secara sistemik. M1
dan M3 mempunyai cincin B-lakton terbuka dan aktivitas hambat lipase yang sangat
lemah (1000 dan 2500 kali lebih lemah dari orlistat). Memperhatikan aktivitas hambat
dan kadar plasma yang rendah pada dosis terapetik (rata-rata 26 ng/ml dan 108
ng/ml), maka metabolit ini dianggap tidak bermakna secara farmakologi.
Eliminasi

Studi pada orang yang beratnya normal dan pasien obesitas menunjukkan
bahwa ekskresi melalui feses dari obat yang tidak diserap adalah merupakan cara
eliminasi utama. Hampir 97 % dari dosis obat yang diberikan akan diekskresi melalui
feses dan 83%nya dalam bentuk orlistat yang tidak terurai. Ekskresi ginjal
kumulatif dari total orlistat adalah < 2% dari dosis. Waktu untuk mencapai ekskresi
lengkap (feses dan kemih) adalah 3 - 5 hari. Ekskresi orlistat tampaknya serupa
antara orang yang mempunyai berat normal dan obesitas. Orlistat, M1 dan M3 juga
diekskresi melalui empedu. Indikasi dan penggunaan Xenical bersama-sama dengan
diet rendah kalori diindikasikan untuk pengobatan pasien-pasien obesitas dengan
indeks massa tubuh (BMI) lebih besar atau sama dengan 30 kg/m2, atau pasien
dengan berat badan berlebih (BMI >28 kg/m2 dengan faktor risiko penyerta).

Pengobatan dengan orlistat sebaiknya hanya dimulai jika sebelumnya usaha


penurunan berat badan dengan melakukan diet berhasil mengurangi berat badan
sedikitnya 2,5 kg dalam 4 minggu berturut-turut. Pengobatan dengan orlistat
sebaiknya dihentikan setelah 12 minggu jika pasien tidak dapat mencapai penurunan
berat sedikitnya 5% dari berat badan saat memulai pengobatan.
Dosis dan Pemakaian
Dewasa

Dosis Xenical yang dianjurkan adalah 1 kapsul 120 mg setiap kali makan (saat
makan atau hingga 1 jam setelah makan). Jika tidak makan atau makanan tidak
mengandung lemak, Xenical boleh tidak diberikan. Khasiat pengobatan Xenical (termasuk
pengaturan berat badan dan perbaikan faktor resiko) terus berlanjut pada pemakaian
jangka panjang. Pasien harus mendapat diet rendah kalori dengan nutrisi berimbang
dengan kandungan lemak kira-kira 30% dari jumlah kalori total. Diet dianjurkan agar
kaya akan buah-buahan dan sayur-sayuran. Asupan harian lemak, karbohidrat dan
protein harus dibagi rata dalam 3 kali makan. Karena tidak ada data mengenai uji
khasiat dan keamanan, maka pengobatan dengan orlistat tidak boleh lebih dari 2 tahun

Dosis di atas 120 mg tiga kali perhari belum menunjukkan manfaat tambahan.
Penyesuaian dosis tidak diperlukan untuk pasien geriatri.
Berdasaran pengukuran lemak feses, efek Xenical dapat segera terlihat 24-48 jam
setelah pemberian. Pada penghentian pengobatan, kandungan lemak feses biasanya
kembali pada keadaan sebelumnya dalam 48-72. jam.

Anak-anak dibawah 18 tahun

Keamanan dan khasiat Xenical pada anak-anak belum ditentukan. Penggunaan Xenical
tidak ditujukan bagi anak-anak.
• Pentermine
(30 mg pada pagi hari atau 8 mg sebelum makan ) adalah stimulant yang agak
kuat dan potensial penyalahgunaan yang lebih rendah daripada amphetamine dan lebih
efektif daripada placebo-control studies. Efek samping ( peningkatan tekanan darah,
palpitasi, aritmia, midriasis, peningkatan kerja insulin hingga terjadi hipoglikemi) dan
ineteraksi dengan MAOI yang memiliki implikasi pada beberapa pasien.

• Dietilpropion
( 25 mg sebelum makan atau 75 mg pada sediaan lepas lambat setiap pagi)
lebih efktif dari pada placebo dapat mengurangi berat badan dengan cepat. Adalah
salah satu supresan noradrenergic yang aman dan dapt digunakan pada pasien dengan
hipertensi ringan sampai sedang atau angina tapi tidak dapat digunakan pada pasien
dengan hipertensi berat atau penyakit kardiovaskuler yang signifikan.

• Amfetamin
secara umum dihindari karena kekuatan stimulan dan potensial adiksinya.

• Efedrin
(20 mg dengan atau tanpa caffeine 200 mg, sampai 3 kali sehari) memiliki
aktifitas supresif dan termogenik yang lebih baik daripada placebo dalam percobaan
hingga 6 bulan. Efek samping yang umum terjadi adalah tremor, agitasi, panic,
keringat berlebih dan insomnia, palpitasi dan takikardi juga pernah dilaporkan.
Fluoksetin
65 mg sehari memiliki penurunan berat badan 2-4 kg dari pada percobaan
control-plasebo. Tapi tidak berbeda diantara masing-masing grup dalam periode
hingga 1 tahun. Penemuan sejenis juga ditemukan pada penggunaan sertralin 200mg
per hari.

Peptida- peptida
(seperti leptin, neuropeptida Y, galanin) yang sedang diselidiki karena
manipulasi eksogenus mungkin menyediakan pendekatan terapetik kedepan untuk
manajemen obesitas (dipiro, 2005)

Obat-obat yang ada di indonesia :


- Orlistat ( xenical® ) golongan obat kerasa ( K )
- Sibutramin K
- Mazindol ( Teronac® ) K
- Dietilpropion ( apisate® ) K
- Deksfenfluramina ( Isomeride® ) K
- Fenluramina-HCL ( Ponderal® ) K
- Efedrin K
- Fluoksetin ( Andep®, antiprestin®, courage®, foransi®, kalxetin®, lodep®,
prestin®, Prozac® ) K
- Sertralin ( Deptral®, fridep®, nudep®, zerlin®, Zoloft® ) K
Penggunaan Obat Pada Anak-anak
( Pediatry )
Penggunaan obat pada anak-anak merupakan hal khusus yang berkaitan dengan
perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh maupun enzim yang
bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Sesuai dengan alasan
tersebut maka dosis obat, formulasi, hasil pengobatan dan efek samping obat timbul
sangat beragam sepanjang masa anak-anak.
Agar dapat menentukan dosis obat disarankan beberapa penggolongan untuk
membagi masa anak-anak. The British Paediatric Association (BPA) mengusulkan
rentang waktu berikut yang didasarkan pada saat terjadinya perubahan-perubahan
biologis :
Neonatus : Awal kelahiran sampai usia 1 bulan ( dengan subseksi tersendiri
untuk bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu dalam
kandungan.
Bayi : 1 bulan sampai 2 tahun
Anak : 2 sampai 12 tahun (dengan subseksi: anak dibawah usia 6 tahun
memerlukan bentuk sediaan yang sesuai.
Remaja : 12 sampai 18 tahun.

Perubahan biologis yang diwakili oleh tiap rentang waktu tersebut adalah:
neonatus, terjadi perubahan klimakterik yang sangat penting; bayi, merupakan masa
awal pertumbuhan yang pesat; anak-anak adalah masa pertumbuhan secara bertahap;
remaja, merupakan akhir tahap perkembangan secara pesat hingga menjadi dewasa.
FARMAKOKINETIK OBAT PADA ANAK
• Absorpsi
Ada dua faktor utama yang terlibat: laju absorpsi dan
jumlah yang terabsorpsi. Semakin cepat laju absorpsi, semakin
tinggi kadar puncak obat dalam darah dan efek terapeutik
semakin cepat pula tercapai. Sedangkan tingkat paparan
terhadap obat akan bergantung pada jumlah obat yang
terabsorpsi.
Absorpsi sediaan oral dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, meliputi waktu transit didalam lambung dan usus, pH
lambung dan usus serta waktu pengosongan lambung, yang
kesemuanya berbeda pada neonatus maupun pada bayi. Waktu
pengosongan lambung akan menyamai orang dewasa pada bayi
usia 6 bulan dan baru setelah 2 tahun produksi asam lambung
akan meningkat sebanding dengan kadar per kg seperti pada
orang dewasa. Namun, pada bayi yang lebih tua dan pada anak-
anak ada bukti yang menunjukkan bahwa kebanyakan sediaan
oral yang diberikan akan diabsorpsi pada laju dan jumlah yang
sebanding dengan orang dewasa.
• Distribusi
selama usia bayi, kadar air total dalam tubuh terhadap berat
badan total memiliki prosantase yang lebih besar daripada anak yang
lebih tua atau pada orang dewasa. Prosantase ini akan menurun sesuai
usia sebagaimana tercantum dalam tabel 12.1 (Walker & Edward,
1999). Obat yang larut dalam air seharusnya diberikan dengan dosis
yang lebih besar pada neonatus untuk mencapai efek terapeutik yang
dikehendaki. Sebagai contoh adalah gentamisin yang memerlukan dosis
3mg/kg/pemberian pada neonatus dibandingkan dengan dosis
2,5mg/kg/pemberian pada anak yang lebih tua untuk mencapai kadar
obat dalam plasma yang sama.

Tabel 12.1 Prosantase volume cairan ekstraseluler dan kadar air total dalam
tubuh terhadap berat badan
Usia Kadar air total dalam tubuh (%) Cairan Ekstraseluler (%)
Preterm neonatus 85 50
Term neonatus 75 45
3 bulan 75 30
1 tahun 60 25
Dewasa 60 20
• Metabolisme
Pada saat lahir sebagian besar sistem enzim yang terlibat dalam
metabolisme obat belum terbentuk atau sudah ada namun dalam jumlah
yang sangat sedikit. Sehingga kapasitas degradasi metabolismenya juga
belum optimal.
Tetapi, ukuran hati dibandingkan dengan berat badan total pada
anak yang sedang berkembang lebih besar 50% dibandingkan dengan
orang dewasa. Oleh karena it, pada bayi yang lebih tua dan anak
terdapat peningkatan yang cukup besar dalam hal laju metabolismenya.
Sehingga untuk obat-obat tertentu dosis (mg/kg) yang lebih besar
mungkin diperlukan oleh anak-anak dibandingkan orang dewasa.

• Ekskresi
Laju filtrasi glomeruler (GFR) pada bayi yang baru lahir lebih
rendah dibandingkan dengan orang dewasa karena ginjalnya relatif belum
berkembang dengan baik. sebagai contoh, fungsi ginjal pada neonatus
sekitar 30-40% atau kurang dari itu, dibandingkan dengan orang dewasa.
Jadi, kemampuan mengeliminasi obat pada neonatus dan bayi yang sangat
belia tentu saja menjadi belum optimal dan penurunan dosis mungkin
diperlukan. Tetapi GFR akan meningkat secara cepat setalah minggu-
mingggu pertama kelahiran dan mencapai nilai yang sebanding dengan
orang dewasa pada usia 1 tahun.
DOSIS
• Banyak rumus yang telah dikembangkan untuk
memperkirakan dosis pada anak berdasarkan usia, berat
dantinggi badan. Namun perubahan pada luas permukaan
tubuh paling mencerminkan klirens obat sekaligus
kebutuhan akan perubahan pada dosis obat. Perhitungan
dosis berdasarkan luas permukaan tubuh terutama penting
bila berkaitan dengan obat yang mempunyai indeks terapi
sempit, misalnya bahan sitotoksik. Rumus berikut dapat
digunakan untuk menghitung luas permukaan tubuh pada
pasien tersebut.

Luas permukaan tubuh = √((tinggi (cm)x berat (kg) / 3600


Tabel 12.3 Prosantase terhadap dosis dewasa untuk
berbagai usia dan berat badan anak
Usia Berat Badan Ideal Luas Permukaan Prosentase Terhadap
(kg) Tubuh (m²) Dosis Dewasa*
Neonatus (full term) 3,5 0,23 12,5
1 bulan 4,2 0,26 14,5
3 bulan 5,6 0,32 18
6 bulan 7,7 0,40 22
1 tahun 10 0,47 25
3 tahun 15 0,62 33
5 tahun 18 0,73 40
7 tahun 23 0,88 50
12 tahun 39 1,25 75
Dewasa – Pria 68 1,80 100
Dewasa – Wanita 56 1,60 100
Penggunaan Obat Pada Geriatri (Lanjut Usia)
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006).
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak
masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada
golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak
obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan
(Anonim, 2004).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga
pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian
banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara
logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara
demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian
dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian.
Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang
biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang
lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung,
diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi
keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif,
keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini
menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak
jenisnya(Darmansjah, 1994).
• FARMAKOKINETIK

Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang


diduga mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH
lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan
curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan
gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat
absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada
beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin
(Bustami, 2001).

Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran


obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma
(biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan
protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah
merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia
lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa
lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan
penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali
terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila
terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah.
Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat
bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang
membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan
cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak
dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati
yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi
metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal.
Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan
(uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya
tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut,
penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi
obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.

Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh
karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang,
begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi
glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda.
Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi
glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat
bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif
disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus
(Bustami, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, lukman.2011.farmakokinetik klinik.Farmasi-Universitas Gajah Mada : Yogyakarta

Anonim, 1997, FDA Talk Paper, FDA Approves Sibutramine To Treat Obesity,
http://fdahomepage.html, diakses tanggal 15 Maret 2009

Anonim, 2006, Drug Information Handbook, 14th Edition, 1444-1446, Lexi Comp, Ohio

Anonim, 2008, Sibutramine Turunkan Berat Badan, http://princessraia.blogspot.com, diakses


tanggal 15 Maret 2009

Anonim, 2008, Tanggung Jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan Terhadap Konsumen Obat
Tradisional Yang Mengandung Bahan Kimia Obat ( BKO ), http://pustaka.net, diakses tanggal 15
Maret 2009

Anonim, 2009, Meridia, http://rxlist.com, diakses tanggal 15 Maret 2009

Tjay, Tan Hoan, dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting, Edisi Keenam, 497-499, Elex
Media Computindo, Jakarta

Dipiro et al, 2005, Pharmacotherapy A Pathophyisiologic Approach, McGraw-Hill Companies, USA

Kusumawardhani, A., 200,. Food Addiction in Obesity, Majalah kedokteran Indonesia,


Volume:56, hal.205-208
Waspadji, Sarwono, et all, 2003, Pengkajian Status Gizi, Cetakan Pertama, Balai Penerbit:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Wing, Rena R., et all, 2006, A Self-Regulation Program for Maintenance of Weight Loss,
NEJM, Volume:355, hal 1563-1571.

Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri),


http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-geriatri.html

Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret 2009

Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung

Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta

Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses
tanggal 14 Maret 2009

Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai