Anda di halaman 1dari 51

Pembimbing : dr. Yan Edwin Bunde, Sp.THT – KL, MH.

Kes
Faring merupakan separuh tabung muskulofascialis yang
menghubungkan cavitas oris dan cavitas nasi di dalam regio capitis
yang menuju laring dan esofagus didalam regio cervicalis.
Faring terletak setinggi vertebra CVI dengan puncak esofagus.
 Faring dibagi menjadi 3 regio, yaitu:
1. Pars nasalis faringis atau nasofaring
2. Pars oralis faringis atau orofaring
3. Pars laringea faringis atau laringofaring
 Otot faring disusun menjadi 2 kelompok:
1. Musculi konstriktor pharyngis
Musculus Perlekatan Perlekatan anterior Persarafa Fungsi
posterior n

M. Konstriktor Raphe Raphe Nervus Konstriksi


pharyngis pharyngis pterygomandibularis dan vagus faring
superior tulang yang berdekatan
pada mandibula dan
hamulus pterygoideus
M. Konstriktor Raphe Tepi superior cornu majus Nervus Konstriksi
pharyngis pharyngis os hyoideum dan tepi yang vagus faring
medius berdekatan dengan cornu
minus dan ligamentum
stylohyoideum
M. Konstriktor Raphe Cartilago cricoidea, linea Nervus Konstriksi
pharyngis pharyngis obliqua, cartilaginis vagus faring
inferior thyriodei, dan sebuah
ligamentum yang
terbentang diantara
perlekatan dan menyilang
musculus cricothyroideus
 Musculi longitudinales

Musculus Origo Insertio Persafaran Fungsi


M. Sisi medialis Dinding Nervus Elevasi
Stylopharyngeus basis processus cavitas glossopharyngeu faring
styloideus pharyngis s
M. Aspectus Dinding Nervus vagus Elevasi
Salpingopharyng inferior ujung cavitas faring
eus pharyngealis pharyngis
tuba auditive
M. Permukaan Dinding Nervus vagus Elevasi
Palatopharyngeus superior cavitas faring dan
aponeurosis pharyngis penutupan
palatinus isthmus
faucium
 Nasofaring terletak di belakang apertura posterior (choana) dari
cavitas nasi dan diatas palatum mole. Atapnya dibentuk oleh basis
craniid dan terdiri dari bagian posterior corpus os sphenoidale dan
pars basilaris os occipital. Atap dan dinding lateral nasofaring
membentuk sebuah kubah pada puncak cavitas pharyngis yang
selalu terbuka.
 Cavitas nasofaring berlanjut ke bawah menjadi cavitas orofaring
pada isthmus pharyngeum. Terdapat jaringan limfoid (tonsillar
pharyngealis) di dalam mukosa yang menutupi atap nasofaring.
Pembesaran tonsil tersebut dikenal sebagai adenoid, yang dapat
menutup nasofaring
 Struktur yang paling menonjol pada tiap sisi lateral nasofaring adalah:
1. Ostium pharyngeum tuba auditoni yang terletak di posterior dan sedikit di atas
palatum durum, dan lateral dari puncak palatum mole.
2. Peninggian mukosa dan lipatan mukosa menutup akhiran tuba auditiva dan otot
yang berdekatan
 Angiofibroma nasofaring - suatu
tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis
bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang
dan meluas ke jaringan sekitarnya
 Sebutan lain untuk angiofibroma di
dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile
nasopharyngeal angiofibroma (JNA)
& nasal cavity tumor
Sampai saat ini tidak jelas,
berikut hasil beberapa
penelitian…

Faktor
ketidakseimbangan
hormonal juga banyak
dikemukakan sebagai
penyebab dari tumor ini,
bahwa JNA berasal dari
sex steroid-stimulated
hamartomatous tissue
yang terletak di turbinate

ETIOLOGI cartilage.
Angiofibroma merupakan tumor jinak yang
paling sering terdapat pada nasofaring, tetapi
jumlahnya kurang dari 0.05% dari tumor
EPIDEMIOLOGI kepala dan leher. Tumor ini biasanya paling
banyak terjadi pada laki-laki decade ke-2
antara umur 7-19 tahun. Tumor ini jarang pada
usia lebih dari 25 tahun.
Sessions Fisch Chandler
1981 1982 1984

Radowski
(Revisi Sessions)
1996
Pada pemeriksaan histopatologi
angiofibroma nasofaring, ditemukan
jaringan fibrous yang matur yang
terdiri dari berbagai ukuran
pembuluh darah dengan dinding
yang tipis. Pembuluh darah tersebut
dibatasi endotelium tetapi pada
dinding pembuluh darahnya sedikit
mengandung elemen kontraktil otot
yang normal.
Etiologi : Tumbuh di
• Teori jaringan asal  perlekatan jaringan posterolateral
angiofiboma di dinding posterolateratl atap rongga
hidung koana di atap
• Hormonal (androgen/estrogen) nasofaring

Meluas

Averdi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT dan KL. UI


Posterior septum  tonjolan masadi atap rongga hidung osterior

Anterior  mendorong septum dan memipihkan konka

Lateral  ke foramen spenopalatina  mendesak dinding posterior sinus maxilla -> terus ke
ifratemporal  benjolan di pipi dan rasa penuh

Bola mata  muka kodok

Perluasan ke intrakranial

• Fosa infratemporal dan pterigomaksila  fosa serebri media


• Dari sinus etmoid  fosa serebri anterior
• Sinus sfenoid  fosa hipofise

Averdi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT dan KL. U


 Hidung tersumat progresif  rinore kronis 
gangguan penciuman
 Epistaksis berulang masif (terutama unilateral)
 Nyeri kepala
 Tuba eustachius
 Ketulian
 Otalgia

Averdi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT dan KL.


https://emedicine.medscape.com/article/872580-overvi
1. Foto Polos kepala
2. CT scan kepala
3. MRI kepala
4. Digital Subtraction Angiography (DSA)
5. Patologi Anatomi
 Adanya massa pada nasofaring
 Opasifikasi sinus sfenoid
 Tanda Holman-Miller (penonjolan dinding posterior sinus maksilaris ke arah
anterior)
 Pelebaran fissura pterygomaxillaris dan fossa pterygopalatina
 Erosi os pterygoid media
 Tanda Holman-Miller (penonjolan dinding posterior sinus maksilaris ke arah
anterior)
 Erosi pada dasar sinus sfenoid dan penyebaran tumor dari nasofaring ke sinus
sfenoid
 Erosi pada dasar tulang pterygoid
 Tampak gambaran tumor berbatas tegas yang berlobus-lobus melibatkan fossa
infratemporal dan dapat menyebar ke fissura orbitalis inferior, posterior, dan
superior.
 Erosi dan pelebaran canalis pterygoidea (vidian canal).
 salt and pepper appearance
Stadium I
IA Tumor terbatas pada hidung posterior dan/atau kubah nasofaring
IB Tumor melibatkan hidung posterior dan/atau kubah nasofaring dengan
minimal satu sinus paranasal
Stadium II
IIA Penyebaran minimal ke lateral fossa pterygo-maksilaris
IIB Menutupi seluruh fossa pterygo-maksillaris dengan atau tanpa erosi tulang
orbita
IIC Penyebaran ke fossa infratemporalis atau ke os pterygoid posterior
Stadium III
IIIA Erosi pada basis cranii (fossa cranialis media/basis os pterygoid) -
penyebaran minimal ke intrakranial
Penyebaran luas ke intrakranial dengan atau tanpa penyebaran ke sinus
IIIB
cavernosus
 Menentukan sumber utama
vaskularisasi angiofibroma
nasofaring
 Tersering  arteri maksilaris
interna
 Gejala klinis
 Hidung tersumat progresif
 Rinore kronis
 Hipo/anosmia
 Epistaksis berulang masif
 Nyeri kepala
 Ketulian, otalgia

Averdi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT dan KL.


https://emedicine.medscape.com/article/872580-overvi
 Pemeriksaan fisik
 Rinoskopi posterior :
 Masa konsistensi kenyal, warna bervariasi dari abu
sampai merah muda.
 Tumor nasofaring diliputi selaput lendir bewarna
abu.
 Tumor yang meluas ke luar nasofaring putih/abu
 Mukosa hipervaskularisasi
 Ulserasi

Averdi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT dan KL.


 Pemeriksaan penujang
 Foto waters  “Holman Miller”
 Arteriografi  vaskularisasi tumor

Averdi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT dan KL.


Karsinoma Nasofaring Neuroblastoma Olfaktorius

 Keganasan primer nasofaring  Keganasan yang jarang


 Asal: epitel skuamosa  Asal: sel krista neural
 Lokasi: fossa Rosenmuller  Lokasi: recessus olfactorius superior
 Epidemiologi  Epidemiologi
 Pria : wanita = 3:1  Pria = wanita
 Usia 40-60 tahun  Usia 20-30 tahun dan 50-60 tahun

 Gejala  Gejala
 Hidung tersumbat  Hidung tersumbat
 Epistaksis  Rinore
 Tuli konduktif  Epistaksis
 Limfadenopati colli  Anosmia

Penegakkan diagostik ketiganya adalah dengan pemeriksaan


patologi anatomi.
Hormonal Embolisasi Pembedahan Radioterapi Kemoterapi
Endoskopik Midfasial Rinotomi Weber Transpalatal Osteotomi Fossa
degloving Lateral Ferguson Lefort I Infratemporal

Nasofaring
Intranasal Cavum nasi
Ethmoid
Spenoid
Fossa Palatina
IFT medial
IFT lateral
Sin kav med
Sin kav lat
Fossa kranialis
med
Dilakukan stereotaktik radioterapi Diberikan pada tumor residu dimana
(Gama knife) atau jika tumor meluas tidak ada indikasi untuk operasi
ke intrakranial dengan radioterapi maupun radioterapi.
konformal 3 dimensi. Dapat diberikan :
pada tumor yang telah mencapai doxorubicin dan dacarbazine
intrakranial dan melibatkan sinus
kavernosus dan kiasma optikus. vincristin, dactinomycin dan
cyclophosphamid
 Komplikasi dapat mengenai intrakranial (penyakit stadium IV), seperti infeksi SSP dan
defisit neurologi, perdarahan yang tak terkontrol dan kematian.
 Komplikasi akibat embolisasi diklasifikasikan menjadi mayor dan minor.
 Komplikasi minor termasuk nyeri atau parestesia, sakit kepala dan edema wajah, yang
biasanya hilang dalam seminggu.
 Komplikasi mayor termasuk stroke, kebutaan, kelumpuhan wajah, perforasi septum,
atau palatum nekrosis, semuanya memiliki insidensi kurang dari 2%.
 Studi Sun, dkk. mengidentifikasi tiga faktor prediktif yang mungkin meningkatkan
kekambuhan, yaitu usia saat diagnosis (di bawah 18 tahun), ukuran tumor (>4 cm),
dan staging berdasarkan klasifikasi Radkowski.
 Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang
tidak menutupi rongga nasofaring lebih mudah diangkat.
 Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso K, editors
Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346
 Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses tanggal 28
Mei 2018.
 Bell, DJ, Gaillard, F, et al. 2018. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.
https://radiopaedia.org/articles/juvenile-nasopharyngeal-angiofibroma . 28th May
2018. 11.06 pm.
 Bickle, I, Gaillard, F, et al. 2018. Nasopharyngeal Carcinoma.
https://radiopaedia.org/articles/nasopharyngeal-carcinoma. May 29th 2018. 01.02 pm.
 Drake R.L., Vogl W., Mitchell A.W.L. 2012. Gray’s Anatomy for Students. New York:
Elsevier Churchill Livingston. P 551-6.
 Efiaty, Nurbaiti, Jenny, Ratna. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi VI. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
 Knipe, H, Gaillard, F. 2018. Olfactory Neuroblastoma.
https://radiopaedia.org/articles/olfactory-neuroblastoma . May 29th 2018. 01.26
pm.
 Llorente JL, Lopez F, Suarez V, Costales M, Suarez C. Evolution in the treatment of
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Acta Otorinolaringol Esp. 2011;62(4): 279-
86.
 Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006. Available from :
http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
 Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1. Jakarta.1999.111
 Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma : Evolution of
Management. International Journal of Pediatric. 2012 : 1-11
 Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta.
 Ogawa, A. I., Fornazieri, M. A., Victor, L., Silva, E. R., Pinna, F. d., Voegels, R. L.,
Mendes, J. G. (2012). Juvenile angiofibroma: Major and minor complications of
preoperative. Rhinology 50.
 Oliveira JAA, Tavares MG, Aguiar CV, Azevedo J, Sousa J, Almeida P et al.
Comparison between endoscopic and open surgery in 37 patients with
nasopharyngeal angiofibroma. Braz J Otorhinolaryngol. 2012;78 (1); 75- 80.
 Rogers, Derek, Christoper. 2017. Open Acces Atlas Of Otolaryngologi Head and
neck surgery. USA : Dept. of Otolaryngology Harvard Medical School.
 Roedzin A, Dharmabakti US, Musa Z. 2014. Buku Ajar Ilmu kesehatan Telinga
Hidung dan Tenggorok : Angiofibroma Nasofaring Belia. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Soepardi, EA, Iskandar, N, Bashiruddin, J, Restuti, RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung & Tenggorok. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hlm. 164-66.
 Ted L Tewfik, dkk. “Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma”. 27 Mei 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/872580-overview
 Thakar, A, Hota, A, Pookamala, S. 2013. Review Article: Nasopharyngeal
Angiofibroma. The Otorhinolaryngologist; 6(1): 25-34.
 Tewfik, T. L., Garni, M. A., & Meyers, A. D. (2018). Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma Treatment & Management. Medscape.
 Wendler O, Schaefer R, Schick B. Mast Cells and T-lymphocytes in Juvenile
Angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2007;264: 769- 75

Anda mungkin juga menyukai