Anda di halaman 1dari 45

PENYAKIT

INFEKSI
By :
Dr. PURNAMA SIMANJUNTAK
CON’T

1. TYPHOID FEVER
2. DENGUE FEVER/DENGUE HEMORRHAGIC FEVER
3. TETANUS
4. ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME
(AIDS)
TYPHOID FEVER
 Disebut juga enteric fever = typhoid abdominalis
 Merupakan penyakit infeksi pada usus halus
 Demam paratyphoid bersifat lebih ringan
 Etiologi : Salmonella typhi (typhoid fever),
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan
Salmonella paratyphi C (paratyphoid fever)
 Salmonella adalah bakteri gram negatif, bergerak
dengan flagella
 Merupakan penyakit infeksi tropik, bersifat endemik
di Indonesia, sepanjang musim sepanjang tahun
 Penularan melalui makanan dan air yang tercemar
feces dan urine carrier typhoid fever
 Carrier typhoid fever : pasien dengan demam
typhoid yang masih mengekskresikan S.typhi
melalui feces dan urine
CON’T

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI :


 Kuman masuk melalui makanan dan air tercemar
—› masuk melalui mulut —› usus halus —›
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis
—› menembus lamina propria —› aliran limfe —›
kelenjar limfe mesenterial —› sistem
retikuloendotelial
 Sebagian kuman menembus lamina propria —›
ductus thoracicus —› aliran darah —› limpa
 Sebagian kuman menembus lamina propria —›
sirkulasi portal —› hati
 S.typhi dan endotoksin merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit —› demam
CON’T

MANIFESTASI KLINIS :
 Masa inkubasi 10 – 14 hari
 Gejala : demam (suhu tubuh tinggi pada sore-
malam hari, pagi agak reda), semakin hari semakin
tinggi (step ladder) nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi atau diare,
rasa tidak enak di perut, batuk, kadang epistaksis
 Tanda : bradikardia relatif, lidah yang khas/coated
tongue (kotor di bagian tengah lidah, di tepi dan
ujung merah, tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dapat terjadi gangguan mental
(somnolen, stupor, koma, delirium, psikosis)
 Laboratorium : sering leukopenia, SGOT dan SGPT
meningkat, uji Widal, IgM anti salmonella
CON’T

UJI WIDAL :
 Merupakan reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella +
antibodi (aglutinin) yang spesifik
 Antigen yang digunakan : suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium
 Pasien dengan demam typhoid, pernah ketularan demam
typhoid dan pernah divaksinasi demam typhoid memiliki
antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap Salmonella
 Tujuan Uji Widal : menentukan adanya
aglutinin(antibodi) dalam plasma darah pasien
yang disangka demam typhoid
 Jenis antibodi/aglutinin :
a. Aglutinin O : karena rangsangan antigen O (dari tubuh
kuman)
b. Aglutinin H : karena rangsangan antigen H (dari flagella
kuman)
c. Aglutinin vi : karena rangsangan antigen Vi (dari kapsul
kuman)
CON’T

 Diagnosis ditentukan berdasarkan tingginya titer


aglutinin O dan H (terutama O)
 Interpretasi Uji Widal : titer aglutinin O 1/320
atau titer aglutinin H 1/640, atau peningkatan
titer pada pemeriksaan ulang interval 5 hari pada
pasien dengan gejala klinis khas, atau
peningkatan titer 4x lipat selama 2 – 3 minggu
 Aglutinin dapat berada pada darah seseorang
yang telah sembuh dari demam typhoid atau di
vaksinasi salmonella dalam waktu lama
CON’T

KOMPLIKASI :
 terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan
umum, sering terjadi mulai minggu ke-3 dan 4 penyakit
 Komplikasi intestinal :
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik

 Komplikasi ekstra intestinal :


a. Komplikasi kardiovaskuler : shock sepsis, myokarditis,
trombosis, trombophlebitis
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, DIC, sindrome
uremia hemolitik
c. Komplikasi paru : pneumonia, pleuritis, empyema
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis,
cholecystitis
CON’T

e. Komplikasi ginjal : glomerulonephritis,


pyelonephritis, perinephritis
f. Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis,
spondylitis, arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium,
meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
Guillain Barre syndrome, psikosis, sindrom
katatonia
CON’T

PENATALAKSANAAN :
a. Perawatan
b. Diet
c. Obat

1.PERAWATAN :
Tirah baring total sampai minimal 7 hari bebas
demam (± 14 hari), jika perlu dirawat di RS
Tujuan tirah baring : mencegah komplikasi
perdarahan usus dan perforasi usus
Cegah konstipasi dan retentio urine
CON’T

2. DIET :
Dulu diberi diet bubur saring – bubur kasar – nasi
Tujuan : menghindari komplikasi perdarahan
usus dan perforasi usus
Kendala : pasien kurang suka —› menyebabkan
tidak selera makan —› keadaan umum dan gizi
pasien menurun —› memperlambat
penyembuhan
Sekarang : makanan padat (nasi) dengan lauk
pauk rendah serat kasar
CON’T

3. OBAT :
Obat symptomatika : antipiretika, obat saluran
cerna (anti emetik, anti sekresi asam lambung)
Antibiotika :
a. Kloramfenikol : dosis dewasa 4 x 500mg, dosis
anak 50mg/kg BB/hari dibagi 4 dosis; secara oral/i.v
sampai 7 hari bebas demam. Merupakan obat
pilihan utama. Demam tifoid turun rata-rata setelah
5 hari
b. Tiamfenikol : dosis dan efektivitas sama seperti
kloramfenikol
c. Fluorokuinolon : sekarang menjadi pilihan efektif.
Dosis Ciprofloxacin 2x500mg, Levofloksacin 500 –
1000mg/hari, diberikan secara oral/iv. Demam
biasanya turun rata-rata setelah 2 hari. Kontra
indikasi : ibu hamil, ibu menyusui, anak < 16 tahun
d. Co-trimoxazole : dosis dewasa 2 x 960mg. Demam
biasanya turun rata-rata setelah 5 – 6 hari
CON’T

e. Ampicillin dan amoxicillin : dosis 75 –


150mg/kgBB/hari sampai 7 hari bebas demam.
Demam biasanya turun setelah 7 – 9 hari
f. Sefalosporin generasi ke-3 : ceftriaxon,
cefotaxim, cefoperazon. Pemberian secara i.v
Kortikosteroid : diberikan pada pasien dengan
keadaan toksik. Diberikan secara oral atau
parenteral selama 5 hari
DENGUE FEVER/DENGUE HEMORRHAGIC
FEVER
Merupakan penyakit infeksi tropis
Di Indonesia bersifat endemik, dapat terjadi letusan
epidemi dalam jarak 5 – 20 tahun
Etiologi : virus Dengue, grup Flaviviridae, ada 4 serotype
yaitu Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan Dengue 4
Vektor : nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
(bersarang di air jernih, jarak terbang 40 – 100meter,
mengigit di siang dan sore hari, dan sering menggigit
beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat)
Klasifikasi penyakit :
1. Asymptomatik
2. Symtomatik :
a. Dengue fever
b. Dengue Hemorrhagic Fever : Derajat I, Derajat II, Derajat
III dan Dengue Shock Syndrome
CON’T

PATOGENESIS :
Infeksi pertama kali virus dengue menimbulkan
gejala Dengue Fever saja
Infeksi berulang menimbulkan kondisi yang lebih
berat (Hipotesis “The secondary heterologous
Infection” atau “The Sequential infection
hypothesis”)
Hipotesis ini menyatakan : DHF dapat terjadi bila
seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama
kali, mendapat infeksi berulang virus dengue
lainnya
Re-infeksi ini menyebabkan suatu reaksi anamnestik
antibodi —› konsentrasi kompleks antigen-antibodi
(kompleks virus antibodi) meninggi
Gambar :
CON’T
CON’T

Kompleks virus-antibodi menyebabkan :


1. Aktivasi komplement —› melepaskan anafilatoksin
C3a dan C5a —› meningkatkan permeabilitas
dinding pembuluh darah —› kebocoran plasma ke
jaringan interstitial —› shock
2. Agregasi trombosit (platelet) —› perubahan
bentuk dan fungsi trombosit —› terjadi agregasi
trombosit —› dihancurkan oleh Retikulum
Endotelial System (RES) —› trombositopenia —›
perdarahan. Trombosit yang ber-aggregasi akan
melepaskan histamin dan serotonin —›
meningkatkan permeabilitas kapiler dan
melepaskan faktor 3 trombosit —› kebocoran
plasma dan koagulasi intravaskular (Disseminated
Intravascular Coagulation/DIC) —› shock
3. Aktivasi faktor Hageman (faktor XII) —›
plasminogen menjadi plasmin —› fibrin
degradation factor meningkat —› DIC —› shock
CON’T

Hipotesis lain : keempat serotype virus dengue


mempunyai potensi patogen yang sama, dan DSS
disebabkan oleh serotype yang paling virulen
Di Indonesia serotype Dengue 3 adalah yang paling
utama dan virulen
DSS terjadi pada saat demam turun (antara hari ke-3
dan 7 sakit)
Teori terjadinya DSS : “the immunological
enhancement hypothesis’’
1. Virus dengue berikatan dengan reseptor Non-neutralizing
antibody pada sel fagosit (monosit, histiosit, macrophage)
2. Virus dengue ber-replikasi di dalam sel fagosit tersebut
3. Viru dengue merangsang pelepasan mediator inflamasi
(cytokine, kynin, bradikynin) —› meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah dan thromboplastik —›
kebocoran vaskuler dan Disseminated Intravascular
Coagulation —› shock
4. Shock yang terjadi adalah type shock hipovolemia
CON’T

PATOFISIOLOGI DF dan DHF :


Setelah virus dengue masuk ke dalam darah
(viraemia) —› keluhan dan gejala (demam, sakit
kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan,
hiperemia di tenggorokan, ruam, pembesaran KGB,
hati dan limpa)
Ruam terjadi akibat kongesti pembuluh darah kulit
Perbedaan antara DF dan DHF : pada DHF terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler —›
pelepasan histamin dan serotonin —› kebocoran
plasma ke jaringan interstitial —› shock
Kebocoran plasma ke jaringan interstitial terutama
ke rongga serosa : peritoneum (ascites), pleura
(efusi pleura), pericardial (effusi pericardial)
Shock yang terjadi pada DSS adalah shock
hipovolemia —› menyebabkan anoksia jaringan —›
asidosis metabolik —› kematian
CON’T

Perdarahan pada DHF disebabkan oleh


trombositopenia, gangguan fungsi
trombosit dan gangguan sistem koagulasi
Trombositopenia disebabkan karena
meningkatnya penghancuran fungsi trombosit
oleh sistem RES dan memendeknya umur
trombosit
CON’T

GAMBARAN KLINIS :
Masa inkubasi : 3 – 15 hari (rata-rata 5 – 8 hari)
Gejala : demam mendadak tinggi (semakin hari
suhu semakin tinggi), sakit kepala menyeluruh atau
supraorbital dan retroorbital, nyeri hebat pada sendi
dan otot (break bone fever), mual, kadang
muntah dan batuk ringan, kadang-kadang konstipasi
Tanda : ruam kulit, lidah kotor, hepatomegali dan
splenomegali, gejala perdarahan ( mulai pada hari
ke-3 atau ke-5) berupa ptekiae, purpura, ekimosis,
hematemesis, melena, epistaksis, gusi berdarah
Uji torniquet/Rumple Leede (+)
Gejala shock : keringat dingin, acral dingin dan
lembab, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi < 20
mmHg, kesadaran menurun
Dapat terjadi Asidosis metabolik
CON’T

LABORATORIUM :
1. Leukopenia dan trombositopenia mulai hari ke- 2
dan ke-3 demam, hematokrit meningkat > 20 %
2. Uji torniquet/Rumple Leede (+) : memompa
sphygmomanometer (setinggi tekanan systole +
diastole : 2) selama 5 menit lalu melihat muncul
nya ptechiae dalam kotak 1 inch 2 jari di bawah
fossa cubiti
3. Urine : kadang proteinuria ringan
4. Serologi : uji IgM dan IgG anti dengue dan NS1Ag
CON’T

DIAGNOSIS :
Kriteria klinis Demam Dengue (DF) :
1. Suhu badan tiba-tiba meninggi
2. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari
tanpa disertai adanya tanda sumber infeksi yang
jelas
3. Kurva demam yang menyerupai pelana kuda
(saddle back fever)
4. Nyeri tekan di otot dan persendian
5. Adanya ruam pada kulit
6. Leukopenia
CON’T

Kriteria Klinis DHF menurut WHO :


1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari,
kemudian turun secara lisis, disertai gejala non
spesifik : anoreksia, lemah, nyeri otot, sendi dan
tulang, sakit kepala
2. Manifestasi perdarahan : uji torniquete (+),
ptechiae, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, melena
3. Hepatomegali dan nyeri tekan
4. Shock saat demam turun (hari ke-3 sampai ke-7
sakit)
5. Peningkatan kadar hematokrit > 20 % dan
trombositopenia
CON’T

DERAJAT DHF :
1. Derajat I (ringan) : demam mendadak 2 – 7 hari,
disertai uji torniquete (+)
2. Derajat II (sedang) : disertai perdarahan kulit
(ptechiae, purpura, ekimosis) dan manifestasi
perdarahan lain
3. Derajat III : ditemukan tanda-tanda dini shock
4. Derajat IV (DSS) : tensi dan nadi tidak terukur
CON’T

PENATALAKSANAAN :
1. Tirah baring
2. Makanan lunak
3. Obat symtomatik : antipiretika, anti emetik, anti
sekresi asam
4. Antibiotika jika terdapat infeksi sekunder
5. Pemberian cairan intravena untuk mengembalikan
volume cairan intravaskuler ke tingkat normal.
Pemberian cairan dapat dengan kristaloid (NaCl o,9
%, Ringer Asetat, Ringer Lactat). Jika sudah ada
tanda-tanda shock dapat diberikan cairan koloid
(HES, dextran, haemacel)
6. Jika terjadi perdarahan dapat diberikan transfusi
seluruh komponen darah (whole blood) atau suspensi
trombosit
7. Bila sudah terjadi shock, perlu dilakukan koreksi
asidosis metabolik, pemberian kortikosteroid
CON’T

PENCEGAHAN :
pemberantasan vektor (nyamuk Aedes aegypti) dengan
cara pemberantasan sarang nyamuk
Pemberantasan dengan menggunakan insektisida :
a. Dengan malathion untuk membunuh nyamuk dewasa
(pengasapan/thermal fogging atau pengabutan cold
fogging)
b. temephos (abate) untuk membunuh larva nyamuk 1
gram abate untuk 10 liter air

Pemberantasan tanpa insektisida (3M) :


a. Menguras bak mandi, tempayan dan tempat
penampungan air minimal 1x/minggu
b. Menutup tempat penampungan air
c. Mengubur/membersihkan kaleng bekas, botol atau ban
bekas yang bisa menjadi tempat tertampung air bagi
sarang nyamuk
d. Menggunakan repellent dan kelambu untuk mencegah
gigitan nyamuk
TETANUS
Merupakan penyakit infeksi akibat toksin kuman
Clostridium tetani (bakteri batang, gram positif
dan anaerob)
C.tetani menghasilkan toksin bersifat neurotoksik
menimbulkan kejang otot dan saraf perifer
Kondisi anaerob yang menjadi tempat tumbuh
C.tetani :
a. Luka dalam (mis : luka tusuk paku, pecahan kaca,
kaleng, pisau, benda tajam lain)
b. Luka tabrakan, kecelakaan kerja, luka perang
c. Luka ringan : luka gores. Lesi pada mata, telinga,
tonsil, gigitan serangga
CON’T

Hipotesis cara kerja toksin :


a. Toksin diabsorbsi ujung saraf motorik dibawa ke
kornu anterior susunan saraf pusat
b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik masuk ke
dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk
susunan saraf pusat

Toksin sangat mudah diikat jaringan saraf dan


sulit dinetralkan antitoksin
Toksin yang masih bebas dalam darah masih
dapat dinetralkan antitoksin
CON’T

GEJALA KLINIS :
Masa inkubasi : 2 – 21 hari
Gejala klinis mendadak : ketegangan otot terutama
pada rahang dan leher —› kesulitan membuka mulut
(trismus) karena spasme otot masseter —› kaku
kuduk, dinding perut dan sepanjang tulang belakang
(opistotonus), spasme otot muka disertai alis tertarik
ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi (risus sardonicus), tungkai
ekstensi, lengan kaku dan mengepal
Saat kejang pasien tetap sadar
Kejang dirangsang oleh perubahan suara, cahaya
maupun sentuhan, tetapi bisa juga terjadi spontan
Karena kejang sangat kuat dapat menyebabkan
asfiksia dan sianosis, patah tulang belakang (pada
anak)
Demam biasanya ringan
CON’T

LABORATORIUM :
leukositosis ringan, kadang-kadang peninggian
tekanan intra kranial

DIAGNOSIS :
Riwayat luka
Gejala klinis : gejala kejang yang khas
CON’T

PENATALAKSANAAN :
A.UMUM :
Merawat dan membersihkan luka
Diet cukup kalori dan protein diberikan lewat NGT
atau parenteral
Isolasi pasien untuk menghindari rangsang suara
dan cahaya
Oksigen, kadang-kadang dilakukan intubasi ETT
dan tracheostomi
Pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit
CON’T

B. OBAT-OBATAN :
Anti toksin : Tetanus Immuno Globulin (TIG) dosis
5.000 IU im dan dilanjutkan 500 – 6.000 IU. Atau Anti
Tetanus Serum (ATS) dosis 5.000 IU im
Anti kejang : diazepam, klorpromazin, fenobarbital
Antibiotika : penicilin procainamide 1,2 juta iu/hari
atau tetrasiklin 1 gram/hari secara iv

PROGNOSIS buruk dipengaruhi :


1. Masa inkubasi (makin pendek akan semakin toksik)
2. Neonatus dan usia tua (> 55 tahun)
3. Frekuensi kejang yang sering
4. Demam tinggi
5. Pengobatan terlambat
6. Periode trismus dan kejang semakin sering
7. Spasme otot nafas dan obstruksi jalan nafas
CON’T

PENCEGAHAN :
1. Mencegah terjadi luka
2. Perawatan luka dengan baik
3. Pemberian ATS dengan dosis 1500 iu secara im
setelah tes kulit
4. Pemberian vaksin tetanus toksoid dan TIG :
IMUNISASI LUKA KECIL DAN LUKA – LUKA LAINNYA
TETANUS BERSIH
SEBELUMNY TOKSOID TIG TOKSOID TIG
A (DOSIS)

TIDAK DPT -- DPT YA


JELAS
0–1 DPT -- DPT YA
2 DPT -- DPT -- (kecuali
luka > 24
jam)
3 - LEBIH -- (Kecuali -- -- (kecuali --
ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY
SYNDROME (AIDS)
Definisi : suatu kumpulan gejala penyakit dengan
karakteristik defisiensi imunitas yang berat
dan merupakan manifestasi stadium akhir
infesi HIV
1. Suatu penyakit yang menunjukkan adanya
defisiensi immunitas selular, mis : Kaposi
sarcoma, atau satu atau lebih infeksi oportunistik
yang di diagnostik dengan cara yang dapat
dipercaya
2. Tidak adanya sebab-sebab lain imunodefisiensi
selular yang diketahui berkaitan dengan penyakit
tersebut
CON’T

KETENTUAN KLINIK UNTUK DIAGNOSTIK AIDS :


a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit
dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak
ada sebab-sebab imunodefisiensi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid
yang lama.
Gejala Mayor :
1. Penurunan BB > 10 %
2. Diare kronik > 1 bulan
3. Demam > 1 bulan (kontinyu atau intermitten)
Gejala minor :
1. Batuk > 1 bulan
2. Dermatitis pruritik umum
3. Herpes zoster recurrents
4. Kandidiasis orofaring
5. Lymphadenopathy generalisata
6. Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
CON’T

b. Dicurigai AIDS pada anak, bila terdapat paling sedikit dua


gejala mayor dan dua gejala minor, dan tidak terdapat
sebab-sebab imunosupresi lain seperti kanker, malnutrisi
berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi
lain
Gejala mayor :
1. Penurunan BB atau pertumbuhan yang lambat dan
abnormal
2. Diare kronik > 1 bulan
3. Demam > 1 bulan
Gejala minor :
1. Lymphadenopathy generalisata
2. Kandidiasis orofaring
3. Infeksi umum yang berulang
4. Batuk persisten
5. Dermatitis generalisata
6. Infeksi HIV pada ibunya
CON’T

Disebut AIDS juga jika terdapat HIV (+) dan


jumlah sel limfosit CD4 < 200/mm3
Gejala penyakit lain sebagai indikator AIDS :
pneumonia bakterial rekuren, tbc paru, kanker
leher rahim yang invasif

ETIOLOGI AIDS : HIV (HUMAN


IMMUNODEFICIENCY VIRUS)
Virus HIV 1 dan HIV 2 : merupakan suatu virus
RNA yang termasuk retrovirus dan lentivirus.
Target sel utama : limfosit T4 yang mempunyai
reseptor CD4
CON’T

CARA PENULARAN :
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh (sperma,
cairan vagina dan cervix, dan cairan otak)
Dalam saliva, air mata, urine, keringat dan air susu sangat
sedikit sekali
Cara penularan HIV :
1. Hubungan seksual : secara vaginal, oral atau pun anal
dengan seorang pengidap. Resiko penularan secara
hubungan seksual secara anal lebih besar dibandingkan
secara vaginal, karena epitel silindris mukosa rektum,
mukosa uretra laki-laki mempunyai reseptor CD4
2. Kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum
suntik (tranfusi darah, pemakaian jarum suntik tidak
steril/pemakaian jarum suntik bersama pada para
pecandu narkoba, tertusuk jarum suntik pada petugas
kesehatan)
3. Secara vertikal : dari ibu hamil pengidap HIV kepada
bayinya baik selama hamil, melahirkan ataupun setelah
melahirkan
CON’T

MANIFESTASI KLINIK :
KLASIFIKASI INFEKSI HIV :
GRUP 1 : Infeksi Akut
GRUP 2 : Infeksi Kronik Asimtomatik
GRUP 3 : Persistent generalized
Lymphadenopathy/Pembengkakan Kelenjar Limfe
menyeluruh
GRUP 4 : Penyakit lain :
Sub grup A : Penyakit konstitusional
Sub grup B : Penyakit Neurologis
Sub grup C : Penyakit Infeksi sekunder
Sub grup D : kanker sekunder
Sub grup E : kondisi-kondisi lainnya
CON’T

MASA INKUBASI : 5 – 10 tahun

INFEKSI AKUT :
Demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk,
myalgia, keringat malam dan keluhan GIT berupa
nyeri menelan, mual, muntah dan diare
Pembesaran kelenjar limfe leher, faringitis,
macular rash dan aseptik meningitis
Pemeriksaan Antigen virus sudah positif

INFEKSI KRONIS ASIMTOMATIK :


Tidak ada gejala selama bertahun-tahun
Pemeriksaan antigen virus sudah positif
Pengidap dapat menularkan penyakit kepada
orang lain
CON’T

PEMBENGKAKAN KELENJAR LIMFE :


Disebabkan hiperaktivitas sel limfosit B dan
kelenjar limfe selama bertahun-tahun

PENYAKIT LAIN :
a. Gejala dan keluhan yang tidak langsung dengan
HIV : diare, demam > 1 bulan, keringat malam,
rasa lelah berlebihan, batuk kronik > 1 bulan,
penurunan BB > 10 %
b. Gejala langsung akibat HIV : myelopati, neuropati
perifer dan penyakit susunan saraf otak
(gangguan fungsi motorik dan fungsi kognitif)
c. Infeksi oportunistik (tbc paru, jamur, parasit) dan
neoplasma (Kaposi sarcoma, limfoma)
CON’T

PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
1. Pemeriksaan Antibodi dan Antigen HIV.
Pemeriksaan antibodi HIV dapat dengan cara
ELISA 3 metode, Western Blot, RIPA dan IFA.
Pemeriksaan antigen HIV : pembiakan virus,
antigen p24 dan PCR
2. Pemeriksaan defisiensi imun : anemia,
leukopenia, trombositopenia dan displasia
sumsum tulang, kadar CD4 > 200/mm3
3. Tes untuk infeksi oportunistik
CON’T

PENATALAKSANAAN :
1. OBAT ANTIRETROVIRUS : zidovudine (AZT) 200mg
3x1, Didanosine/Videx mendampingi AZT jika
terjadi intoleransi AZT, dosis 2 x 250mg (jika BB
> 60kg) atau 2 x 125mg (jika BB < 60 kg)
2. OBAT UNTUK INFEKSI OPORTUNISTIK : obat anti
fungal, anti tbc, cotrimoxazole 2 tablet 2x/minggu
3. OBAT UNTUK KANKER SEKUNDER
4. SIMTOMATIS DAN SUPORTIF : analgetik, vitamin,
transfusi darah, tranquilizer minor

Anda mungkin juga menyukai