Anda di halaman 1dari 19

BUDAYA DAN KEPRIBADIAN

MANUSIA
A.Budaya Dalam Ranah Individual
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial sekaligus ranah
individual. Pada ranah sosial dikarenakan budaya lahir ketika manusia
bertemu dengan manusia yang lainnya dan membangun kehidupan
bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari
kehidupan bersama tersebut selanjutnya diadakanlah aturan-aturan, nilai-
nilai, kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-
kepercayaan transendental yang kesemuanya berpengaruh sekaligus
menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam
kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang
dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Pada ranah individual adalah karena budaya diawali ketika individu-
individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-
individu tersebut memiliki keunikan-keunikan masing-masing dan untuk
selanjutnya saling memberi pengaruh. Pada perkembangan selanjutnya
ketika sudah terbentuk budaya, setiap individu secara hakikat adalah
agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan,
sekaligus penyebar.
B.Kepribadian Dalam Lintas Budaya
Manusia sebagai individu tidak pernah keluar dari kerangka pembicaraan
mengenai keperibadian, konsep diri dan budaya dimana individu manusia
tersebut hidup. Budaya, keperibadian dan konsep diri saling mempengaruhi
satu sama lain sekaligus dan dengan tujuan akhir bekerja integratif
membentuk individu yang utuh.
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologis yang berusaha
menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi
kerangka acuan dari pola pikir, perasaan dan perilaku individu manusai, serta
bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut. Ia
merupakan aspek inti keberadaan manusia yang karenanya tak lepas dari
konsep kemanusiaan yang yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruk
sosial.
Berdasar pendapat ahli (Matsumoto,1996) kepribadian adalah serangkaian
karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda antar setiap
individu dan kenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi.
Semua teoritisi, meski berbeda dalam konsepsi mengenai bagaimana
kepribadian berkembang, tetapi memiliki kesamaan kesepakatan dalam
memehami kepribadian yaitu; yaitu sebagai hal yang relatif stabil dan
konsisten disemua ruang dan waktu.
1. Kandungan Kepribadian

Kondisi sosial budaya pada waktu suatu teori dibangun


sangat mempengaruhi kandungan teori tersebut. Dilain
sisi disadari yang namanya kondisi sosial adalah terus
berubah sebagaimana budaya yang dinamis saling
berasimilasi dan berakulturasi. Sebagai contoh
Psikoanalisa Sigmun Freud yang menegaskan pengaruh
ketidaksadaran yang berisi pengalaman-pengalaman
yang ditekan terhadap perilaku manusia. Freud
membangun teorinya dengan mengambil subjek-subjek
measyarakat menengah-bawah di Vina Austria,
masyarakat yang tertekan dan tidak mempunyai
kesempatan untuk menyalurkan aspirasi dan emosinya
akibat dogmatisasi gereja dan kuasa kaum bangsawan.
2. Metodologi dan Cara Pengukuran

Banyak sekali kesulitan dan bias yang timbul ketika


diadakan studi-studi dalam ranah Psikologi lintas
budaya. Persoalan bahasa adalah salah satunya,
dimana telah banyak penelitian mengenai bahasa
menunjukkan bahwa penggunaan multilingual
(peneliti dan subjek penelitian memiliki bahasa
yang berbeda) memberi respon yang berbeda
terhadap pernyataan-pernyataan dalam tes
kepribadian. (Matsumo,1996)
3. Locus of control

Hal paling menarik dalam kajian yang menghubungkan antara


kepribadian dengan konteks lintas budaya adalah masalah Locus
of Control. (Rotter,1966) menyatakan bahwa setiap orang
berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri
mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang
lain serta lingkungan.
Lokus kontrol kepribadian umumnya dibedakan menjadi dua
berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu
dengan eksternal lokus kontrol melihat diri mereka sangat
ditentukan oleh bagiamana orang lain dan lingkungan melihat
meraka. Sebagai contoh indovidual dengan eksternal (Locus of
Control Ekdternal) ketika mendapat keberhasilan dalam suatu
ujian, akan berkeyakinan bahwa keberhasilan lebih disebabkan
keberuntungan, soal yang mudah, dan atau kebaikan sang guru.
Sedangkan Locus of Control Internal melihat Independency yang
besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh
dirinya sendiri.
4. Budaya dan Perkembangan Kepribadian

Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam


arah-arah karekter yang lebih jelas dan mantang. Perubahan-
perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi-
fungsi bawaan sebagai dasarnya. (Saffer,1985) menyebut dengan
Rubber Band Hypotethesis (Hipotesa ban karet). Predisposisi
seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor
genetik menentukan sampai dimana ban karet tadi dapat ditarik
(direntang) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa
panjang ban karet tadi dapat ditarik atau direntang. Dari hipotesa
diatas tentunya dapat ditarik hipotesa lanjutan bahwa budaya
memberi pengaruh pada perkembangan kepribadia seseoarang.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh gutman (Price,2002)
dengan menggunakan responden laki-laki amerika dan indian maya,
yaitu adanya perubahan-perubahan kepribadian ditinjau dari
semakin bertambahnya usia. Semakin bertambah tua seseorang,
tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonom
semaik turun dan locus kontrol semakin mengarah keluar.
5. Budaya dan Indigenius Personalites
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian
kepribadian dalam tinjauan lintas budaya diatas menggambarkan
sebuah kenyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat
mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda
mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kenyataan yang
merangsang perlunya kajian-kajian yang bersifat lokal yang mampu
memberi penjalasan mengenai kepribadian individu dari suatu
budaya yang mendalam. Suatu kajian kebudayaan yang bersifat
lokal (Indigenuous Personlity)
Konsep barat tentang diri dan sifat kepribadian selalu merujuk
pada diri yang terpisah, otonom dan atomis (terbentuk dari
seperangkat sifat, kemampuan, nilai, dan motif yang dapat saling
dipisah) dengan mencari keunikan yang menunjukkan arti
keterpisahan dan ketaktergantungan dengan orang lain.
Sebaliknya, dalam budaya timur, kebertalian (relatedness),
kesalingterhubungan (connectedness) dan saling ketergantungan
(interdependency) merupakan landasan konsep diri yang tak
terpisah dan selalu terkait dengan orang lain dan lingkungan luar.
C.Budaya dan Konsep Diri

Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi


diri. Organisasi diri bagaimana kita mengenal,
menerima, dan menilai diri kita sendiri. Suatu
deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas
fisik, sifat, hingga prinsip. Berfikir bagaimana
mempersepsi diri dalam percakapan awam adalah
bagiamana seseoarang memberi gambaran
mengenai sesuatu (hubungannya dengan orang
lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya) pada
dirinya. Contohnya, seoarang yang mengatakan
bahwa dirinya adalah seorang yang humoris.
Deskripsi ini akan berimplikasi bahwa :
• Orang tersebut memiliki atribut sebagai seorang
humoris dalam dirinya, yang boleh jadi
merupakan kemampuan ataupun ketertarikan
terhadap segala hal yang berbau humor
• semua tindakan, pikiran dan perasaan orang
tersebut mempunyai hubungan yang dekat
dengan atribut tersebut, bahwa orang tersebut
selama ini dalam setiap perilakunya selalu tampak
humoris
• Tindakan, pikiran dan perasaan orang tersebut
dimasa depan akan dikontrol oleh atributnya
tersebut, bahwa orang tersebut dalam dalam
perilakunya di esok hari akan selalu menyesuaikan
dengan atributnya tersebut.
1. Diri Individual

Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal


yang siafatnya personal-kemampuan individual, intelegensi,
sifat kepribadian, dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah
terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi
sepanjang sejarahnya untuk mendorong ketidak tergantungan
setiap anggota pada anggota yang lain. Mereke didorong
untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang
lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang
cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Didalam kerangaka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan
perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas
individualisme. Ketika invidu sukses untuk melaksanakan
tugas budayanya, tidak tergantung pada orang lain, maka
mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka
meningkat seiringnya.
2. Diri Kolektif

Budaya yang menekankan nilai dari kolektif sangat khas


dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu
sama lain, bahkan antar dirinya dengan mikro kosmos dengan
lingkungan dliar dirinya makro kosmos. Tugas normatif utama
pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan
memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu
diminta menyesuaikan dirinya dengan orang lain atau
kelompok dimana mereka bergabung, untuk mampu
membaca dan memahami pikiran perasaan orang lain,
bersimpati, untuk menempati dan memainkan peran yang
telah diberikan kelompok (misal peran orang dewasa-remaja,
peran kepala keluarga-anak, peran guru-wiraswasta).
Tugas normatif sepanjang sejarah budaya adalah mendorong
saling ketergantungan (interdependence) satu sama lain.
Karenaya, diri (Self) lebih fokus pada atribut eksternal
termasuk kebutuhan dan harapan-harapannya.
3. Pengaruhnya Terhadap Persepsi Diri

Bebarapa studi yang dilakukan oleh Bond & Tak-Sing (1983) dan Shweder
dan Bourne (1984) telah menunjukkan bagaimana perbedaan konstruksi diri
mempengaruhi persepsi diri. Dalam studinya yang membandingkan
kelompok Amerika dengan kelompok Asia, mereka meminta subjek
penelitian untuk menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan
diri mereka sendiri. Subjek umumnya memberikan beberapa respon, yang
bila dianalisa dapat dibagi dua jenis, yaitu : Respon Abstrak atau deskripsi
sifat- kepribadian semacam saya seorang yang mudah bersosialisasi, saya
orang yang ulet, pemarah dan sebagainya; dan Respon Situasional semacam
saya biasanya mudah bersosialisasi dengan teman-teman saya, saya ramah
terhadap tetangga dsb.
Hasil studi menunjukkan bshwa subjek Amerika cenderung memberikan
respon abstrak dibanding dengan subjek Asiayang cenderung memberikan
respon situasional. Penemuan ini selanjutnya dianalisa bahwa individu-
individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada
atribut personal, kemampuan atau ataupun sifat kepribadian. Sebaliknya
individu-individu dengan konstruk diri interdependent lebih cenderung
melihat diri mereka dalam konteks sitasional dalam hubungannya dengan
orang lain (Matsumo, 1996).
Hasil diatas tidaklah berarti dapat dimaknai bahwa orang Amerika
lebih mengenali diri mereka dibanding orang Asia, ataupun
sebaliknya. Namun tampaknya orang Asia mengalami kesulitan dalam
mendeskripsikan diri meraka yang terpisah dengan lingkungan dan
orang lain sementara dalam kesadaran dan ketidak sadaran mereka
orang Asia cenderung melihat diri mereka sebagai bagian tak terpisah
dari orang-orang di sekitar mereka.
4. Pengaruhnya Pada Social Explanation

Individu-individu dengan diri individual (independent self), yang memiliki


keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif
stabil semacam : sifat kepribadian, sikap, dan kemampuan, akan menganggap
orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan
pengamatan dan interpretasi terhadap prilaku orang lain, mereka berkeyakinan
dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut juga didasari
dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Sebuah riset yang dilakukan Jone & Harris (1967,Matsumo, 1996) telah
mendukung asumsi tersebut. Ketika subjek yang keseluruhannya warga Amerika
diminta membaca sebuah artikel yang mendukung Fidel Kastro (Pimpinan
Negara Kuba yang merupakan musuh besar Pemerintah Amerika) dan ditulis
dengan bahasa dan argumentasi yang sangat bagus, para subjek umumnya
menyimpulkan bahwa penulis tersebut (atribut Internal) mendukung Fidel
Castro. Menariknya, kesimpulan ini condong tetap tidak berubah sekalipun
diberi informasi tambahan bahwa penulis artikel tersebut dipaksa untuk
menulis artikel yang mendukung Fidel Castro dan tidak ada pilihan lain. Para
subjek tampaknya mengabaikan aspek situasi dan melakukan kesalahan dalam
menyimpulkan mengenai karakter penulis. Kesalahan dalam pengambilan
kesimpulan mengenai perilaku orang lain (atribusi) yang didasari asumsi atribut
internal ini disebut Fundamental Atribution Error.
5. Pengaruhnya Pada Motovasi BerprestasI

Motivasi adalah faktor yang membangkitkan (direct) dan menyediakan


(energize) tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. Motivasi
manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan
diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling kontraversial karena
banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Diantaranya;
• Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hirarki kebutuhan
dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan yang
paling tinggi yaitu aktualisasi diri.
• Menurut Mc-Clelland manusia juga dimotivasi oleh dorongan
sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu :
berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Diantara ketiganya yang paling utama adalah kebutuhan berprestasi.
Menurut Mc-Clelland motivasi berprestasi adalah sebuah keteguhan,
karakter belajar dimana terdapat kepuasan yang diperoleh melalui
perjuangan dan penggapaian suatu keunggulan. Menurut Mc-Clelland
motivasi yang tinggi sering diasosiasikan dengan kesuksesan dalam
materi dan karier.
6. Pengaruhnya Pada Peningkatan Diri (Self Enhancement)

Banyak Psikolog yang mengatakan mengenai pentingnya memiliki


pandangan positif mengenai diri. Pandangan positif mengenai diri
akan membangkitkan keyakinan diri, kepercayaan diri, dan
motivasi diri untuk lebih bersosialisasi dan mencapai prestasi yang
lebih tinggi.
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan
memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung
Interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya
Interdependent penaksiran atribut internal diri mungkin tidak
terkait dengan harga diri ataupun kepuasan diri. Sebaliknya harga
diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan
keberhasilan memainkan peran dalam kelompok, memelihara
harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu, bagi orang-orang
dari interdependent, melihat diri sebagai unik atau berbeda malah
akan menjadikan ketidakseimbangan psikologisi diri. Mereka akan
merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai
manusia.
7. Pengaruhnya Pada Emosi

Beberapa emosi semacam kebanggaan atau perasaan superioritas


atas keunggulan dari beberapa atribut internal yang dimiliki
individu dibandingkan individu lain seperti kekayaan atau
kecerdasan, atau beberapa emosi negatif semacam marah atau
prustasi dimasukkan dalam Socially Disengaged Emotions. Emosi-
emosi ini cenderung mendorong terjadinya pemisahan, penarikan
diri, ataupun penolakan hubungan sosial sekaligus secara simultan
meningkatkan rasa penerimaan diri untuk mandiri dan lepas dari
ketergantungan orang lain.
Sebaliknya beberapa emosi positif semacam rasa bersahabat atau
rasa menghargai diri dan dihargai berjalan berjalan pada arah
sebaliknya dan dimasukkan dalam Socially Engaged Emotions.
Emosi ini dialami sebagai hasil dan menjadi bagian dari suatu
hubungan dekat dan rasa ikatan harmonis. Emosi ini sekaligus
memberi energi untuk membangun hubungan yang sudah dekat
menjadi lebih dekat.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai