Anda di halaman 1dari 7

TEORI DAN METODOLOGI ANTROPOLOGI

TEORI DIFUSI

OLEH:

ANGGUN MUSTIKA YANTI 18161006

KONSENTRASI SOSIOLOGI/ANTROPOLOGI
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018
A. Sejarah Perkembangan Teori Difusi.

Perkembangan sejarah unsur-unsur kebudayaan manusia di awali oleh seorang sarjana

bernama F. Ratzel (1844-1904). Dia adalah seorang sarjana Ilmu hayat merangkap ilmu

bumi, yang memberiakan suatu anggapan bahwa Kebudayaan manusia itu pangkalnya satu,

dan di satu tempat yang tertentu, yaitu pada waktu makhluk manusia baru saja muncul di

dunia ini. Kemudian, kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecah ke dalam

banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Dalam proses

pemecahan itu bangsa-bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan baru tadi tidak tetap

tinggal terpisah. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi gerak perpindahan

bangsa-bangsa yang saling berhubungan serta pengaruh mempengaruhi.

B. Ragam Teori Difusi

1. Teori Difusi Rivers (1864-1922) meneliti unsur-unsur kebudayaan di daerah

Melanesia. Ia anggota Cambridge Torres Straits Expedition dan meneliti hubungan

antara kebudayaan suku bangsa yang mendiami sekitar Selat Torres, yaitu Irian

Selatan dan Australia Utara dengan mengembangkan metode wawancara melalui

pengumpulan bahan mengenai sistem kemasyarakatannya dengan mengumpulkan

data mengenai asal-usul individu dengan mengajukan pertanyaan tentang kerabat dan

nenek moyang sebagai pangkalnya. Metode tersebut diuraikan dalam karagannya

berjudul A genealogical Method of Anthropological Inquiry (1910). Metode tersebut

lebih dikenal dengan genealogical method atau metoe genealogi yang merupakan alat

utama untuk melakukan field work Di beberapa tempat Rivers juga menggunakan

metode field work yaitu untuk meneliti suku bangsa Toda di Propinsi Mysore, India

Selatan yang meghasilkan buku The Todas (1906) ia mendapat bahan mengenai

sistem kekerabatan orang Toda. Kemudia ia bandingkan dengan bahan yang diperoleh
dari Melanesia dan dikembangkan beberapa konsepsi baru dalam penelitian sistem

kekerabatan (Sulasman dan Gumilar, 2013: 158).

2. Teori Difusi Elliot Smith (1871-1937) Dan W.J Perry (1887-1949) Sejarah

kebudayaan dunia pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi besar

yang berpangkal di Mesir yang bergerak kea rah timur dan meliputi jarak yang sangat

jauh. Teori ini disebut heliolithic theory, meskipun sangat dikecam R.H. Lowie, ahli

antropologi Amerika, yang menyatakan bahwa teori Heliotik itu merupakan teori

difusi yang sangat extreme yang tidak sesuai dengan kenyataan, baik dipandang dari

hasil penggalian ilmu Prehistori maupun dari sudut konsep- konsep tentang proses

difusi dan pertukaran unsur-unsur kebudayaan (Sulasman dan Gumilar, 2013: 159).

C. Kelebihan dan Kekurangan Teori Difusi

Teori difusi kebudayaan juga memiliki kelebihan yang patut menjadi catatn dalam

kajian antropologi. Teori difusi memiliki kelebihan karena merupakan pandangan awal yang

menyatakan bahwa kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari kebudayaan lainnya. Dari

sini terdapat cara pandang baru yang meletakkan dinamika dan perkembangan kebudayaan

tidak hanya dalam bentang waktu,tetapi juga dalam bentang ruang sebagaimana yang

diperlihatkan oleh Perry dan Smith dalam pemikirannya. Kelebihan lainnya adalah para

pengusung teori ini telah menggunakan analisis komparatif yang berlandaskan standar

kualitas dan kuantitas dalam menentukan wilayah persebaran kebudayaan sebagaimana yang

mereka yakini. Kelebihan lainnya adalah para penyokong teori ini sangat memerhatika setiap

detail catatan mengenai kebudayaan sehingga mereka mendapatkan beragam hubungan atau

keterkaitan antara satu kebudayaan dan kebudayaan lainnya. Kelebihan yang terpenting dari

teori ini adalah penekanan mereka pada penelitian lapangan untuk mendapatkan data yang
lebih dan akurat, sebagaimana yang diperhatikan oleh Boas yang kemudian diikuti oleh para

murid yang menjadi pengikutnya selnjutnya (Sulasman dan Gumilar, 2013: 159).

Meskipun demikian, teori difusi tidak lepas pula dari beragam kelemahan atau

kekurangan. Secara umum, teori difusi kebudayaan memiliki kelemahan dari sisi data karena

tidak memeiliki dukungan data yang cukup dan akurat dan pengumpulan data pun tidak

dilakukan melalui prosedurdan metode penelitian yang jelas. Hal ini tampak pada kesimpulan

teori ini yang mengatakan bahwa peradaban kuno di bumi sebenarnya berasal dari orang-

orang Mesir, hal ini memperlihatkan para pengusungnya yang sangat Mesir-Sentrishanya

karena kekaguman mereka dan keterpesonaan mereka dengan kebudayaan negeri Firaun ini

setelah lama melakukan penelitian di tempat ini.

Kelemahan lain terletak pada teori ini adalah karena keterikatan mereka dengan

catatan sejarah sebagai bagian dari model teori yang mereka gunakan. Akibatnya, tidak

semua sejarah yang berkaitan dengan suku-suku tertentu di ungkapkan karena beragam sebab

terhadap suku tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikritik oleh Malinowski dan Brown yang

melakukan penelitian sejarah terhadap suku yang masih sederhana dikalangan orang

Andaman. Akan tetapi, karena keterbatasan data yang menerangkan mengenai keberadaan

mereka, penelitian dengan menggunakan teori difusi ssebagaimana yang dikemukakan oleh

Boas dan kawan-kawan sulit untuk dilakukan (Sulasman dan Gumilar, 2013: 162).

D. Proses Difusi

Penyebaran manusia. Ilmu paleoantropologi memperkirakan bahwa makhluk manusia

yang pertama hidup di daerah sabana beriklim tropis di Afrika Timur. Manusia sekarang telah

menduduki hampir seluruh muka bumi dengan berbagai lingkungan iklim yang berbeda-beda.

Hal itu hanya mungkin terjadi dengan proses pengembangbiakan, migrasi, serta adaptasi fisik
dan sosial budaya, yang berlangsung beratus-ratus ribu tahun lamanya. Migrasi ada yang

berlangsung lamban dan otomatis, tetapi ada pula yang cepat dan mendadak. Migrasi yang

lamban dan otomatis berkembang sejajar dengan peningkatan jumlah umat manusia di dunia.

Proses evolusi itu menyebabkan bahwa mahkluk manusia senantiasa memerlukan daerah

yang maikn lama makin luas. Selain migrasi yang berlangsung lamban itu, terjadi pula

migrasi yang cepat dan emndadak, yang dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa, seperti

bencana alam, perubahan mata pencaharian, perang dan peristiwa lainnya (Koenjaraningrat,

2003: 150).

Bentuk difusi yang terutama mendapat perhatian antropologi adalah penyebaran

unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu dari

berbagai kelompok yang berbeda. Hubungan antara kelompok yang berbeda-beda yang telah

berlangsung selama berabad-abad itu dan hampir tidak mempengaruhi bentuk kebudayaan

masing-masing, adalah hubungan symbiotic, seperti yang terjadi antara suku bangsa peladang

penduduk pedalam Kongo, Togo, dan kamerun Afriak Tengah dan Barat, dengan suku

bangsa peladang dan suku bangsa Negrito yang bermata pencaharian sebagai pemburu dan

perambah. Pertemuan antara kelompok-kelompok yang berbeda juga dapat terjadi karena

perdagangan dengan akibat yang lebih jauh daripada yang terjadi pada hubungan symbiotic,

yang disebutpenetration pacificque (atau penerobosan dengan jalan damai). Dalam hal ini,

unsur kebudayaan asing turut masuk ke adalam kebudayaan penerima secar tidak sengaja dan

tanpa paksaan (Koenjaraningrat, 2003: 154).

Dengan berkembangnya media elektronik akhir-akhir ini, difusi unsur kebudayaan

yang muncul di suatu tempat berlangsung sangat cepat, bahkan umumnya tanpa adanya

kontak secar pribadi antara individu-individu di dua tempat yang berbeda itu. Akhirnya kalu

suatu proses difusi tidak hanya dilihat dari bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lain dimuka bumi, tetapi terutama sebagai proses dibawanya unsur-unsur

kebudayaan oleh individu suatu kebudayaan kepada individu kebudayaan lain, maka tampak

bahwa bukan hanya satu unsur kebudayaan saja yang diinginkan. Unsur-unsur kebudayaan

yang didifusikan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan senantiasa merupakan suatu

kompleks unsur-unsur yang tidak mudah dipisahkan. Contohnya adalah mobil. Mobil adalh

suatu unsur kebudayan di Eropa dan Amerika, dan selnjutnya disebarkan ke benua-benua

lain. Namun masyarakat lain tidak mungkin dapat memanfaatkanya sebagai alat

pengangkutan tanpa ada unsur-unsur seperti jaringan jalan, sistem servis dan penyediaan suku

cadang, pendidikan montir, sistem pajak mobil, asuransi mobil, dan sebagainya. Begitu juga

unsur-unsur kebudayaan lainnya umumnya juga menyangkut berbagai unsur lainnya. Dalam

ilmu antropologi, gabungan dari unsur-unsur kebudayaan seperti itu disebut kulturkompleks

(Koenjaraningrat, 2003: 155).


DAFTAR PUSTAKA

Koenjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.

Sulasman dan Gumilar, Setia. 2013. Teori-Teori Kebudayaan. Bandung: CV Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai