Anda di halaman 1dari 9

Kebijakan Perpajakan bagi Sektor

Nirlaba di Indonesia
Kebijakan mengenai perpajakan bagi sektor nirlaba di Indonesia bisa dilihat pada tujuh Undang-undang
pokok yang mengatur masalah perpajakan di Indonesia. Ketujuh Undang-undang tersebut adalah:
1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
2. Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
3. Undang-undang No.18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah
4. Undang-undang No.19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
5. Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun
1985 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
6. Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang tentang perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985 Pajak Bumi dan Bangunan
7. Undang-undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Dari ketujuh Undang-undang tersebut, ada tiga UU yang berkaitan langsung dengan kebijakan
perpajakan untuk organisasi nirlaba, yakni UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU
Pajak Penghasilan, dan UU Pajak Pertambahan Nilai. Mengacu pada ketiga Undang-undang tersebut,
kebijakan perpajakan terhadap organisasi nirlaba secara umum tidak terlalu berbeda dengan badan
usaha yang merupakan organisasi komersial.
Sebagai wajib pajak, maka yayasan dan berbagai bentuk organisasi nirlaba lainnya
harus tunduk pada hukum perpajakan di Indonesia. Pengurus organisasi ini harus
memenuhi kewajibannya untuk datang Kantor Pelayanan Pajak untuk mendaftarkan
diri dan dicatat sebagai wajib pajak, sekaligus mendapatkan NPWP (Nomor Pokok
Wajib Pajak) sebagai identitas wajib pajak.
Setelah terdaftar sebagai wajib pajak, yayasan atau jenis organisasi nirlaba diharuskan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai wajib pajak, antara lain:
1. Memotong pajak orang/badan lain yang menerima penghasilan dari organisasi
nirlaba tersebut
2. Memotong, menyetorkan, dan melaporkan pajak atas penghasilan yang
diperolehnya berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya
dengan nama apapun yang diterima oleh orang yang bekerja di organisasi nirlaba
tersebut
3. Menyetorkan pajak yang sudah dipotong ke kas negara melalui bank persepsi
(bank yang ditunjuk oleh pemerintah)
4. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa dan Tahunan
5. Memelihara pembukuan dan bukti-bukti tersebut
Kebijakan Insentif Perpajakan di
Indonesia
1. Insentif Pajak bagi Organisasi
Nirlaba
Tax exemption (pengecualian/pembebasan pajak) adalah pemberian fasilitas perpajakan berupa
pengecualian pajak atas penghasilan yang diperoleh oleh wajib pajak. Meski organisasi nirlaba dikenal
sebagai tax exempt organization atau organisasi bebas pajak, namun organisasi ini tidak memiliki
kekebalan terhadap kewajiban membayar pajak. Seperti negara-negara lainnya, Indonesia tidak
memberikan pengecualian kepada organisasi nirlaba maupun para pegiat/pekerjanya sebagai wajib
pajak. Pemerintah hanya memberikan fasilitas pengecualian sebagai objek pajak pada penghasilan yang
didapat oleh organisasi nirlaba dalam bentuk hibah, sumbangan, maupun warisan. Kebijakan
pemberian insentif pengecualian pajak (tax exemption) bagi penghasilan organisasi yang berasal dari
bantuan dan sumbangan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan. Pasal 4 ayat 3 huruf a.1 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa yang tidak termasuk
objek pajak adalah “Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak.”
pemerintah hanya membatasi pemberian fasilitas pengecualian sebagai objek pada hibah atau
sumbangan yang diterima oleh organisasi nirlaba. Sementara penghasilan lainnya berupa penghasilan
pasif (seperti, deviden, bunga, sewa, royalti, dll.) dan penghasilan yang didapat dari kegiatan usaha yang
dijalankan oleh organisasi nirlaba tetap dikenakan pajak. Pengenaan pajak terhadap berbagai
penghasilan organisasi nirlaba sebagai wajib pajak itu diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 pasal 4 ayat 1 dan 2.
2. Insentif Pajak bagi Penyumbang
• Kebijakan pemberian insentif perpajakan bagi penyumbang organisasi nirlaba di berbagai negara
umumnya diberikan dalam bentuk pemotongan pajak, baik dalam skema tax deduction maupun tax
credit. Negara memberikan pemotongan atau pengurangan terhadap penghasilan kena pajak yang
didapatkan oleh wajib pajak individu, perusahaan atau lembaga yang memberikan hibah,
sumbangan atau warisan pada lembaga yang memenuhi syarat. Kebijakan pemberian insentif
berupa pemotongan/pengurangan pajak ini umumnya dikaitkan dengan pemberian fasilitas tax
exemption terhadap sumbangan yang diberikan.
• Kebijakan pemberian insentif perpajakan kepada donatur, baik dalam tax deduction maupun tax
credit, dalam sistem perpajakan di Indonesia tidak begitu jelas, bahkan cenderung tidak dikenal.
Jika mengacu pada beberapa undang-undang pajak, khususnya UU No.17/2000 tentang Pajak
Penghasilan, pengecualian bantuan sumbangan sebagai objek pajak tidak secara otomatis menjadi
pengurang penghasilan kena pajak dari donatur yang memberikannya.
“harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib
Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah.”
Pemerintah hanya memberikan insentif berupa pengurangan terhadap penghasilan kena pajak bagi
individu yang memberikan sumbangan dalam bentuk zakat. Namun, pemerintah hanya memberikan
fasilitas tersebut pada individu atau pribadi pemeluk agama Islam dan/atau wajab pajak badan yang
dimiliki oleh umat Islam. Pemerintah juga mensyaratkan bahwa pemberian fasilitas itu berlaku bila
wajib pajak memberikan zakatnya kepada badan amil zakat (BAZ) atau lembaga amil Zakat (LAZ) yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
• Pembatasan kebijakan pemberian pemotongan pajak hanya pada sumbangan
dalam bentuk zakat ini terkesan diskriminatif. Aturan ini hanya bisa didapatkan
oleh pemeluk agama Islam yang membayarkan sumbangan dalam bentuk zakat
• Tidak komprehensifnya pengaturan mengenai insentif pajak berupa pengurangan
pajak bagi donatur mengakibatkan pemerintah sering mengambil tindakan ad-hoc
dalam menetapkan kebijakan tersebut. Pemerintah lebih sering menetapkan
kebijakan semacam ini, terutama pada saat terjadi bencana besar dan berskala
nasional. Misalnya, pada saat penanganan bencana alam Tsunami di Aceh dan Nias
pada akhir 2004. Menteri Keuangan pada saat itu mengeluarkan peraturan No.
609/04 yang menyatakan bahwa donasi bagi bencana alam di Aceh dapat menjadi
pengurang pajak penghasilan bagi para donaturnya. Walaupun demikian, paling
tidak dari kebijakan tersebut dapat dilihat juga bahwa pemerintah sebenarnya
menyadari bahwa insentif pajak bagi donatur adalah penting dan dapat
meningkatkan gairah kedermawanan para donatur pribadi maupun perusahaan
untuk semakin banyak menyumbang bagi sektor sosial.
PERBEDAAN ORGANISASI NON PROFIT
DAN ORGANISASI PROFIT
Banyak hal yang membedakan antara organisasi nirlaba
dengan organisasi lainnya (laba). Dalam hal kepemilikan, tidak
jelas siapa sesungguhnya ’pemilik’ organisasi nirlaba, apakah
anggota, klien, atau donatur . Pada organisasi laba, pemilik
jelas memperoleh untung dari hasil usaha organisasinya.
Dalam hal donatur organisasi nirlaba membutuhkannya
sebagai sumber pendanaan. Berbeda dengan organisasi laba
yang telah memiliki sumber pendanaan yang jelas, yakni dari
keuntungan usahanya. Dalam hal penyebaran tanggung
jawab, pada organisasi laba telah jelas siapa yang menjadi
Dewan Komisaris, yang kemudian memilih seorang Direktur
Pelaksana. Sedangkan pada organisasi nirlaba, hal ini tidak
mudah dilakukan. Anggota Dewan Komisaris bukanlah
’pemilik’ organisasi.

Anda mungkin juga menyukai