Anda di halaman 1dari 30

BAB 3

Prinsip
Dasar
Bank
Syariah
 Materi bab 3 menjelaskan tentang prinsip
syariah yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan suatu bank syariah.

 Relevansi bab ini adalah sebagai landasan


untuk memahami berbagai transaksi yang
dilarang dalam agama Islam terkait
dengan aktivitas ekonomi antar-individu.
Definisi

Lembaga Keuangan Syariah (LKS)


menurut DSN adalah lembaga keuangan
yang mengeluarkan produk keuangan
syariah dan yang mendapatkan izin
operasional sebagai lembaga keuangan
syariah (DSN)-MUI, 2003).
Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) Harus Memenuhi Dua
Unsur, Yaitu:
1. Unsur kesesuaian dengan syariah
Islam.
2. Unsur legalitas operasi sebagai
lembaga keuangan.
Institusi yang Memiki Kewenangan
Mengeluarkan Izin Operasi (sebelum OJK)

Bank Indonesia
sebagai institusi yang
berwenang mengatur Departemen
dan mengawasi Bank Keuangan
Umum dan Bank sebagai institusi
Departemen
Perkreditan Rakyat. yang berwenang
Koperasi
mengawasi
sebagai institusi yang
asuransi dan pasar
berwenang mengatur
modal.
dan mengawasi
koperasi.
Institusi yang Memiki Kewenangan
Mengeluarkan Izin Operasi (sejak OJK
berperan)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Departemen


adalah institusi yang berwenang Koperasi
mengatur dan mengawasi Lembaga sebagai institusi yang
Keuangan Non-bank seperti berwenang mengatur
asuransi dan pasar modal (efetif dan mengawasi
sejak 1 Januari 2013) dan Bank koperasi.
(efektif sejak 1 Januari 2014)
MUAMALAH
Prinsip dalam Hukum
Muamalah Adalah:
Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah
mubah (boleh), kecuali yang ditentukan lain oleh
Alquran dan Sunah Rasul.
Muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa
mengandung unsur-unsur paksaan.
Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan menghindari mudarat.
Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai
keadilan dan menghindari unsur-unsur
penganiyaan, pengambilan kesempatan dalam
kesempitan.
Larangan
LARANGAN
terhadap
Transaksi
1. Larangan terhadap Transaksi yang
Haram Zatnya
 Larangan terhadap transaksi yang haram
zatnya sering dikaitkan dengan adanya
larangan yang eksplisit disebut dalam Alquran
dan Sunah dan prinsip muamalah yang ketiga,
yaitu keharusan menghindari kemudaratan.
 Bagi industri perbankan syariah, pelarangan
terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut
diwujudkan dalam bentuk larangan
memberikan pembiayaan yang terkait dengan
aktivitas produksi makanan, minuman, dan
tindakan yang diharamkan dalam Islam.
KATEGORI
2. Larangan
terhadap Transaksi
Haram Selain
Zatnya
 Tadlis adalah transaksi yang salah satu pihak (pembeli atau
penjual) tidak memiliki informasi yang seharusnya dimiliki
(unknown to one party).

 Tadlis dapat terjadi dari empat hal, yaitu:

1. Kuantitas
2. Kualitas
3. Harga
4. Waktu Penyerahan
GHARAR
 Gharar adalah ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah pihak
yang bertransaksi jual-beli.

 Gharar dapat terjadi dari empat hal, yaitu:

1. Kuantitas
2. Kualitas
3. Harga
4. Waktu Penyerahan
Bai’ Ikhtikar

 Bai’ Ikhtikar adalah mengupayakan


adanya kelangkaan barang dengan
cara menimbun.
Bai’ Najasy

 Bai’ najasy adalah tindakan menciptakan permintaan


palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap
suatu produk, sehingga harga jual produknya akan
naik.
MAYSIR

 Maysir (gambling/judi) adalah sebuah permainan


di mana satu pihak akan memperoleh
keuntungan, sementara pihak lain akan menderita
kerugian.
RIBA

 Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam


transaksi bisnis tanpa adanya padanan ( iwad)
yang dibenarkan syariah atas penambahan
tersebut.
Fase Pelarangan Riba
 Fase pemahaman—Q.S. Ar-Rum : 39.
 Fase pengabaran larangan riba pada
umat terdahulu—Q.S. An-Nisa 160 –
161.
 Fase pelarangan riba yang berlipat—
Q.S. Ali-Imran : 130.
 Fase pelarangan segala jenis riba—Q.S.
Al-Baqarah 275, 276, 278, 279.
RIBA
 Dalil larangan Riba:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah  disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa
yang datang kepadanya peringatan dari Allah.
Lalu ia berhenti  maka  baginya  adalah  apa 
yang telah berlalu  dan urusannya  adalah 
kepada Allah dan barang siapa yang kembali
lagi, maka  mereka  adalah penghuni  neraka
yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus
riba dan melipatgandakan sedekah dan Allah
tidak suka kepada orang-orang Kafir lagi
pendosa.”(Q.S. Al-Baqarah : 275 –276)
RIBA
 Dalil Larangan Riba:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-
Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertobat (dari pengambilan riba) maka
bagimu pokok hartamu. Kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
(Q.S. Al-Baqarah 278–279)
RIBA
 Dalil Kriteria Riba:
Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ubadah bin
Samit yang terdapat dalam Abu Daud hadis 3343 dan
dalam At Tirmidzi hadis 2819 dengan bunyi sebagai
berikut:

“Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum


dengan gandum, tepung gandum dengan tepung gandum
dalam ukuran yang sama, kurma dengan kurma dalam
ukuran yang sama, garam dengan garam dalam ukuran
yang sama. Jika seseorang memberi lebih atau meminta
lebih, dia telah berhubungan dengan riba. Tetapi tidak
diharamkan penjualan emas dengan perak dan perak
dengan emas dalam berat yang tidak sama. Pembayaran
dilakukan pada saat itu juga dan janganlah menjual jika
dibayar belakangan. Dan tidak diharamkan menjual
gandum dengan tepung gandum dan tepung gandum
(dengan gandum) dalam ukuran yang berbeda,
pembayaran dilakukan pada saat itu. Jika pembayaran
dilakukan kemudian, janganlah menjualnya.”
RIBA
 Dalil Kriteria Riba: - Lanjutan
Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Muslim:
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar;
satu dirham dengan dua dirham; satu sha’ dengan
dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba.
Seorang bertanya: Wahai Rasul, bagaimana jika
seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa
ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor
unta? Jawab Nabi SAW: Tidak mengapa, asal
dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).”
(H.R.Muslim)
Barang ribawi dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Kelompok mata uang; dapat dibagi dalam beberapa
jenis, yaitu emas dan perak secara khusus baik dalam
bentuk mata uang dan dalam bentuk lainnya.
2. Kelompok bahan makanan pokok: seperti beras,
gandum, dan jagung serta bahan makanan seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan.
RIBA DAPAT TERJADI PADA:

1. Tranksaksi hutang-piutang
2. Transaksi jual beli barang
ribawi
Transaksi
Hutang-
Piutang

Riba qardh adalah kelebihan tertentu


yang disyaratkan pada yang berhutang.

Riba jahiliyyah adalah riba yang timbul


karena peminjam tidak mampu
mengembalikan hutangnya pada
waktu yang ditetapkan.
Transaksi jual-beli
barang ribawi
Riba fadhl adalah
riba yang timbul karena
pertukaran antar-barang ribawi
yang sejenis dengan kadar dan
takaran yang berbeda.

Riba nasi’ah adalah


riba yang timbul karena penangguhan
penyerahan atau penerimaan barang
yang dipertukarkan.
Larangan terhadap Transaksi yang
Tidak Sah Akadnya

 Akad secara bahasa adalah ikatan

 Akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan


diri dengan keinginan orang lain dengan cara
memunculkan adanya komitmen tertentu yang
disyariatkan.
Rukun-Rukun Akad Adalah:
1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikat
dengan akad.
2. Adanya sesuatu yang diikat dengan akad.
3. Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah
terima (ijab-kabul).
Larangan Satu Transaksi Dua
Akad
 Akad tidak boleh mengandung unsur dua akad dalam satu transaksi
(two in one transaction).

 Misal: transaksi sewa modal atau capital lease yang mana pembayaran
sewanya diakui juga diakui sebagai peralihan kepemilikan. Dalam Islam
mekanisme yang dibolehkan adalah selama masa sewa pembayaran
hanya diakui sebagai pembayaran sewa, adapun peralihan kepemilikan
dilakukan setelah masa sewa. Ini memberi kepastian siapa pemilik
barang.
Larangan Ta’alluq
 Ta’alluq, yaitu dua akad yang saling berkaitan
di mana berlakunya akad 1 bergantung pada
akad 2.
 Misal: transaksi dengan cara ‘inah, yaitu
seseorang ‘A’ menjual barang seharga tertentu
secara cicilan (misalkan Rp11 juta) kepada
orang lain ‘B’ dengan syarat, orang lain ‘B’
tersebut kembali menjual barang tersebut
secara tunai kepada A (misalkan Rp10 juta)

Anda mungkin juga menyukai