Anda di halaman 1dari 29

Dermatitis Atopik: Pandangan pada Patogenesis,

Evaluasi dan Manajemen


Pendahuluan

• Dermatitis atopik (AD) merupakan penyakit kulit kronis yang sangat gatal yang
biasanya ditemukan selama masa awal kanak-kanak dan sering disamakan dengan
eksim.
• Dermatitis atopik merupakan manifestasi pertama dari atopi.
Epidemiologi

• Prevalensi AD pada anak 10% hingga 20%. Kemudian meningkat dua hingga tiga
kali lipat setelah tahun 1970.

Genetik
kejadian AD jika ibu yang terkena
• Peran kromosom 5q 31-33 karena mengandung kelompok family gen sitokin yaitu
IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-SCF, yang diekspresikan oleh sel Th2.
• Perbandingan kasus kontrol : Hubungan genotip antara polimorfisme dari allel T
-590C/T dari region gen promoter .
• Penelitian oleh Turner et al : hubungan untuk AD pada family kromosom 3q21
pada anak Jerman dan Skandinavia. Region ini mengodingkan molekul CD80 dan
CD86 sehingga kemudian memodulasi respon sel T.
• Penelitian oleh Cookson et al melaporkan hubungan AD dengan kromosom 1q21,
17q25 dan 20p.
Patogenesis
• Interaksi antar gen, lingkungan host dan faktor imunologis.
• Penelitian genetik terfokus pada mekanisme imunologis
• Namun juga dilakukan antisipasi pada defek barrier epitel.
• Fillagrin merupakan protein yang memfasilitasi diferensiasi terminal dari
epidermis dan pembentukan barrier kulit. Dalam gen pengode fillagrin
terjadi hilangnya fungsi dua varian genetik independen (R510X dan
2282de14)
• Fillargin merupakan sumber utama dari faktor pelembab alami pada
stratum korneum ( asam pyrrolidone karbosiklik dan asam urokonik).
Respon Imun Sistemik

• Pada pasien AD kedua respon imun baik bawaan maupun adaptif mengalami
gangguan.
• Pruritus merupakan tanda khas
• Barrier kulit (stratum korneum) diperlukan untuk respon imun bawaan
• Reseptor dari mannan-binding lectin protein surfaktan yang mengenali bakteri
gram positif dan gram negatif, jamur dan virus. Mereka dapat bertindak langsung
sebagai opsonin dengan cara menyelubungi patogen dan membuatnya dapat
difagositosis atau dapat secara langsung mengaktivasi jalur komplemen.
• Defisiensi mannan-binding lectin tampak mempredisposisikan individu terhadap
infeksi bakteri dan virus, termasuk HSV dan S. aureus .
• Telah dilaporkan bahwa mutase pada gen R753Q Toll-like receptor 2 frekuensinya
meningkat pada pasien dengan AD dan berhubungan dengan fenotipe yang lebih
berat, kadar IgE serum total yang lebih tinggi, dan kerentanan terhadap kolonisasi
S. aureus yang lebih besar.
• Reseptor 1L-1 : respon pertahanan imun host terhadap S. Aureus.
• Anak AD: penurunan CD14 disebabkan menurunnya kapasitas respon
terhadap sinyal mikrobial.
• Penelitian telah menunjukan berbagai defek polimorfonukleasr pada AD,
meliputi gangguan fungsi fagositik, penurunan kapasitas spesies untuk
menghasilkan oksigen juga memiliki aktivitas kemotaksis yang tidak
sempurna yang berhubungan dengan keparahan dan adanya infeksi kulit.
• Pada darah perifer di temukan peningkatan simpanan sel T yang
menghasilkan interleukin ( IL-4,IL-5, IL-13) dan interferon.
• Sel mononuklear pada AD menglami peningkatan enzim siklik adenosine
monofosfat (caMP) fosfodiedterase. Abnormalitas berhubungan dengan
peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan IL-4 oleh produksi sel T.
Imunopatologi Kulit

• Ekspresi Sitokin
Lesi akut dikarakteristikkan dengan infiltrat limfosit yang secara dominan terdiri
dari sel T memori teraktivasi dan banyak sel yang menghasilkan IL-4, IL-5 dan IL-13
namun hanya sedikit sel yang mengekspresikan IFN-γ atau IL-12 mRNA.
Lesi kulit AD kronik memiliki jumlah sel pengekskresi IL-4 dan IL-13 mRNA
yang lebih sedikit, namun memiliki IL-5, sel pengekskresi faktor penstimulasi koloni
makrofag-granulosit (GM-CSF) IL-12 dan INF-γ mRNA yang lebih banyak
dibandingkan AD akut. IL-5 dan GM-CSF kemungkinan berkontribusi terhadap
peningkatan jumlah eosinofil dan makrofag. Peningkatan ekspresi IL-2 pada lesi kulit
AD kronik adalah karena sitokin memainkan peran penting dalam produksi IFN-γ.
Ekspresinya pada eosinofil dan/atau makrofag dapat menginisiasi pertukaran
perkembangan sel Th1 atau Th10 pada AD kronik
• Antigen-presenting cells
Kulit AD mengalami peningkatan jumlah IgE-bearing LC, yang tampak
memiliki peran penting dalam tampilan presentasi alergen kutaneus terhadap
sel Th2. IgE-bearing LC menangkap alergen akan mengaktivasi memori sel T
di kulit yang atopik namun juga berpindah ke nodus limfe untuk menstimulasi
sel T naïve untuk meningkatkan kelompok sel Th2 sistemik.
• Infiltrat sel inflamasi
Pada lesi kulit AD akut, IL-6, kemoreaktan untuk sel T CD4+, mengalami
peningkatan. Chemokine C, RANTES, protein kemotaksis monosit-4, dan
eotaksin juga didapatkan meningkat pada lesi kulit AD dan kemungkinan
berkontribusi terhadap kemotaksis eosinofil dan limfosit Th2 ke kulit.
Beberapa penelitian menunjukkan peran untuk cutaneous T cell-attracting
chemokine (CTACK/CCL27) dalam potensi atraksi sel T CLA+ ke kulit.
Reseptor chemokin CCR3, yang ditemukan di eosinofil dan limfosit Th2 dan
dapat memediasi aksi eotaksin, RANTES, dan MCP-4, dilaporkan meningkat
pada kulit non-lesi maupun lesi pada pasien dengan AD.
• Inflamasi kulit akut dan kronis
Respon imun pada kulit AD dapat ditimbulkan oleh berbagai pencetus,
seperti aeroalergen dan alergen makanan. APC yang menangkap alergen akan
mengaktivasi sel Th2 yang kemudian mensekresi sejumlah sitokin, seperti IL-
4, IL-5, IL-10, dan IL-13. Aktivasi limfosit B oleh IL-4 dan IL-13
menginduksi sintesis IgE. IL-5 secara umum bertanggung jawab untuk
aktivasi dan kelangsungan hidup eosinofil.
• Lesi AD kronik berhubungan dengan pemanjangan kelangsungan hidup
eosinofil dan monosit-makrofag di kulit atopik. Ekspresi IL-5 selama AD
kronik memainkan peran dalam pemanjangan kelangsungan hidup
eosinofil dan meningkatkan fungsinya. Pada AD kronik, peningkatan
ekspresi GM-CSF memainkan peran penting dalam mengatur
kelangsungan hidup dan fungsi monosit, LC dan eosinofil. Keratinosit
epidermal dari pasien AD memiliki kadar ekspresi RANTES yang lebih
tinggi secara signifikan setelah stimulasi dengan faktor nekrosis tumor
(TNF)-α dan IFN-γ dibandingkan keratinosit pada pasien psoriasis. Hal ini
dapat dijadikan sebagai satu mekanisme dimana produksi TNF-γ dan IFN-
γ selama AD kronik meningkatkan kronisitas dan keparahan eksim.
Trauma mekanis juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α dan banyak
sitokin proinflamasi lainnya dari keratinosit epidermal. Dengan demikian,
menggaruk yang kronik dapat memainkan peran dalam memperlama
kejadian dan memancing inflamasi kulit pada AD.
Kriteria Diagnosis

• Tampilan ensensial
– Pruritus
– Perubahan eksimatosa yang akut, subakut, atau kronik
• Pola tipikal dan spesifik pada usia tertentu:
– Keterlibatan wajah, leher dan ekstensor pada bayi dan anak
– Sedang mengalami atau lesi fleksura awal pada dewasa/usia
manapun
– Menyisakan region pangkal paha dan aksila
• Rangkaian kronik atau relaps
Pencetus Imunologis

• Bakteri, virus, jamur


Pasien dengan AD : Peningkatan mengalami infeksi kulit bakterial, viral
dan fungal.
S. aureus ditemukan pada 90% lesi kulit AD.
Virus dengan DNA rantai ganda, meliputi Herpes Simplex Virus (HSV), virus
moluskum kontagiosum, dan virus vaccinia mampu menimbulkan infeksi
yang lebih berat dan menyeluruh pada pasien dengan AD
• Peran alergi makanan dalam terjadinya AD
• Alergi makanan dihubungkan terjadinya persistensi AD, terutama selama
masa bayi dan kanak-kanak awal.
• Eigenmann et al. menilai prevalensi alergi makanan diantara anak dengan
AD sedang hingga berat. Setelah evaluasi meliputi tes makanan oral, 37%
pasien tersebut di diagnosa dengan alergi makanan. Penelitian berikutnya
mengkonfirmasi bahwa sejumlah makanan tertentu dapat menyebabkan
gejala klinis pada pasien AD yang berusia lebih muda misalnya kedelai,
gandum dam ikan.
• Menskrining anak dengan AD sedang hingga berat untuk sensitivitasnya
terhadap telur, susu, kacang, kedelai, gandum, ikan dan tree nuts (kenari,
mende, kemiri) dengan menggunakan tes tusuk kulit atau RAST.
Management
Pengobatan Topikal

• Hidrasi Kutaneus
Pasien dengan AD mengalami penurunan fungsi barrier kulit
berhubungan dengan menurunnya kadar ceramide dan meningkatnya
kehilangan air transepidermal. Hal ini mengakibatkan timbulnya kulit kering
(xerosis) yang berkontribusi terhadap morbiditas penyakit dengan terjadinya
mikrofisura dan retakan, yang dapat menjadi portal masuknya patogen kulit,
iritan dan alergen.
Lukewarm soathing bath selama setidaknya 20 menit, diikuti dengan
aplikasi salep oklusif untuk menjaga kelembapan dapat memberikan perbaikan
gejala yang sangat baik. Penggunaan salep efektif dikombinasikan dengan
terapi hidrasi akan membantu menjaga dan mengembalikan barrier stratum
korneum.
• Steroid Topikal
Kortikosteroid dan inhibitor calcineurin topikal digunakan sebagai agen
antiinflamasi. Potensi steroid dapat berbeda tidak hanya berdasarkan bahan
aktif obat namun juga zat pembawanya yang diformulasikan. Konsentrasi
steroid topikal dianggap lebih poten dalam bentuk salep dibandingkan krim.
Glukokortikoid merupakan pilihan pertama dari pengobatan antiinflamasi
• Klasifikasi kortikosteroid topikal berdasarkan potensi
• Inhibitor Calcineurin Topikal
Inhibitor calcineurin (tacrolimus dan pimecrolimus) digunakan dalam
pengobatan AD.
Pimecrolimus menghambat produksi sitokin Th1 dan Th2, menurunkan
kapasitas antigen-presenting dari DC, sel mast dan basofil.
Krim pimecrolimus telah disetujui oleh FDA untuk penggunaan jangka
pendek dan penggunaan jangka panjang intermiten pada AD ringan-sedang
berusia 2 tahun.
• Tacrolimus digunakan secara topikal, inhibitor calcineurin bertindak
dengan mengikat FK binding protein, menghambat aktivasi sejumlah sel
kunci yang terlibat dalam AD, meliputi sel T, LC, sel mast dan keratinosit.
• Salep tacrolimus digunakan jangka pendek dan jangka panjang intermiten
pada AD sedang-berat untuk anak berusia 2-15 tahun dan dewasa.
• Pengobatan eksim atopik harus berdasarkan “stepped-care plan”
• Pasien yang diresepkan steroid atau inhibitor calcineurin diajarkan untuk
menggunakan Fingertip Units (FTU) untuk mengukur jumlah obat yang
diperlukan untuk dioles di bagian tubuh yang berbeda.
Terapi Sistemik

• Glukokortikosteroid
Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednisone oral, jarang
diindikasikan untuk pengobatan AD kronik. Perbaikan klinis dengan
glukokortikoid sistemik seringkali berhubungan dengan kambuhan AD ulang
yang berat akibat penghentian glukokortikoid sistemik.
Glukokortikoid oral cukup untuk eksaserbasi akut dari AD, penting untuk
menurunkan dosis secara bertahap dan memulai perawatan kulit yang intens,
terutama dengan glukokortikoid topikal dan sering mandi diikuti dengan
aplikasi salep yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan AD.
• Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena dapat menurunkan inflamasi kulit pada pasien
dengan AD namun bersifat singkat, yaitu efeknya hilang dalam 3 minggu.

• Interferon-γ
Interferon-γ dapat menekan respon IgE dan menurunkan regulasi
proliferasi dan fungsi sel Th2. Penurunan keparahan klinis AD berhubungan
dengan kemampuan INF-γ untuk menurunkan jumlah eosinofil total yang
bersirkulasi.
• Siklosporin
Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang beraksi secara primer
di sel T dengan menekan transkripsi sitokin.

• Steroid topikal
Penggunaan steroid potensi ringan untuk wajah dan leher. Namun, pada
keadaan kekambuhan yang berat yang dapat diberikan steroid potensi sedang
dalam jangka pendek (3-5 hari).
Steroid dengan potensi sedang atau kortikosteroid poten hanya diindikasikan
dalam periode yang pendek (7-14 hari) untuk kekambuhan pada daerah yang
rentan seperti aksila dan pangkal paha.
Jika steroid topikal ringan atau sedang tidak dapat mengontrol eksim dalam 7-
14 hari, maka harus dipertimbangkan adanya infeksi bakteri atau viral
sekunder.
Jika steroid poten gagal untuk memberikan efek dalam waktu dekat maka
anak harus dirujuk ke spesialis kulit.
• Antihistamin
Antihistamin non-sedasi digunakan selama sebulan pada anak dengan eksim
berat atau pada anak dengan eksim ringan/sedang yang mengeluh akibat rasa
gatal yang berat atau urtikaria.  
Terapi Altenatif
• Fototerapi
Melalui fototerapi, sel epidermal IgE binding, seperti mastosit, sel
dendritic dan sel Langerhan mengalami penurunan yang signifikan.

• Bakteri probiotik dan serat prebiotic

• Imunoterapi omalizumab
Bahwa pasien dengan defisiensi barrier kulit primer kurang dapat
mendapatkan manfaat dari terapi imunomodulator dengan anti-IgE.
• Imunoterapi spesifik alergen
Imunoterapi spesifik-alergen (alergen-SIT) merupakan satu-satunya
pengobatan yang langsung kepada penyebab penyakit IgE-mediated.
Prognosis

• AD pada anak merupakan penyakit seumur hidup.


TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai