Anda di halaman 1dari 29

Dermatitis Atopik: Pandangan pada

Patogenesis, Evaluasi dan Manajemen

R I RI N A Z H A RI
G1A216067
D O S EN P E MBI M BI N G
Pendahuluan
Dermatitis atopik (AD) merupakan penyakit kulit kronis yang sangat gatal yang biasanya
ditemukan selama masa awal kanak-kanak dan sering disamakan dengan eksim.
Dermatitis atopik merupakan manifestasi pertama dari atopi.
Epidemiologi

Prevalensi AD pada anak 10% hingga 20%. Kemudian meningkat dua hingga tiga kali lipat setelah tahun 1970.

Genetik
kejadian AD jika ibu yang terkena
Peran kromosom 5q 31-33 karena mengandung kelompok family gen sitokin yaitu IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-SCF,
yang diekspresikan oleh sel Th2.
Perbandingan kasus kontrol : Hubungan genotip antara polimorfisme dari allel T -590C/T dari region gen promoter .
Penelitian oleh Turner et al : hubungan untuk AD pada family kromosom 3q21 pada anak Jerman dan Skandinavia.
Region ini mengodingkan molekul CD80 dan CD86 sehingga kemudian memodulasi respon sel T.
Penelitian oleh Cookson et al melaporkan hubungan AD dengan kromosom 1q21, 17q25 dan 20p.
Patogenesis
Interaksi antar gen, lingkungan host dan faktor imunologis.
Penelitian genetik terfokus pada mekanisme imunologis
Namun juga dilakukan antisipasi pada defek barrier epitel.
Fillagrin merupakan protein yang memfasilitasi diferensiasi terminal dari epidermis dan
pembentukan barrier kulit. Dalam gen pengode fillagrin terjadi hilangnya fungsi dua varian
genetik independen (R510X dan 2282de14)
Fillargin merupakan sumber utama dari faktor pelembab alami pada stratum korneum ( asam
pyrrolidone karbosiklik dan asam urokonik).
Respon Imun Sistemik

Pada pasien AD kedua respon imun baik bawaan maupun adaptif mengalami gangguan.
Pruritus merupakan tanda khas
Barrier kulit (stratum korneum) diperlukan untuk respon imun bawaan
Reseptor dari mannan-binding lectin protein surfaktan yang mengenali bakteri gram positif dan gram
negatif, jamur dan virus. Mereka dapat bertindak langsung sebagai opsonin dengan cara menyelubungi
patogen dan membuatnya dapat difagositosis atau dapat secara langsung mengaktivasi jalur komplemen.
Defisiensi mannan-binding lectin tampak mempredisposisikan individu terhadap infeksi bakteri dan
virus, termasuk HSV dan S. aureus .
Telah dilaporkan bahwa mutase pada gen R753Q Toll-like receptor 2 frekuensinya meningkat pada
pasien dengan AD dan berhubungan dengan fenotipe yang lebih berat, kadar IgE serum total yang lebih
tinggi, dan kerentanan terhadap kolonisasi S. aureus yang lebih besar.
Reseptor 1L-1 : respon pertahanan imun host terhadap S. Aureus.
Anak AD: penurunan CD14 disebabkan menurunnya kapasitas respon terhadap sinyal mikrobial.
Penelitian telah menunjukan berbagai defek polimorfonukleasr pada AD, meliputi gangguan
fungsi fagositik, penurunan kapasitas spesies untuk menghasilkan oksigen juga memiliki
aktivitas kemotaksis yang tidak sempurna yang berhubungan dengan keparahan dan adanya
infeksi kulit.
Pada darah perifer di temukan peningkatan simpanan sel T yang menghasilkan interleukin ( IL-
4,IL-5, IL-13) dan interferon.
Sel mononuklear pada AD menglami peningkatan enzim siklik adenosine monofosfat (caMP)
fosfodiedterase. Abnormalitas berhubungan dengan peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan IL-4
oleh produksi sel T.
Imunopatologi Kulit
Ekspresi Sitokin
Lesi akut dikarakteristikkan dengan infiltrat limfosit yang secara dominan terdiri dari sel T
memori teraktivasi dan banyak sel yang menghasilkan IL-4, IL-5 dan IL-13 namun hanya sedikit
sel yang mengekspresikan IFN-γ atau IL-12 mRNA.
Lesi kulit AD kronik memiliki jumlah sel pengekskresi IL-4 dan IL-13 mRNA yang lebih
sedikit, namun memiliki IL-5, sel pengekskresi faktor penstimulasi koloni makrofag-granulosit
(GM-CSF) IL-12 dan INF-γ mRNA yang lebih banyak dibandingkan AD akut. IL-5 dan GM-CSF
kemungkinan berkontribusi terhadap peningkatan jumlah eosinofil dan makrofag. Peningkatan
ekspresi IL-2 pada lesi kulit AD kronik adalah karena sitokin memainkan peran penting dalam
produksi IFN-γ. Ekspresinya pada eosinofil dan/atau makrofag dapat menginisiasi pertukaran
perkembangan sel Th1 atau Th10 pada AD kronik
Antigen-presenting cells
Kulit AD mengalami peningkatan jumlah IgE-bearing LC, yang tampak memiliki peran penting
dalam tampilan presentasi alergen kutaneus terhadap sel Th2. IgE-bearing LC menangkap alergen akan
mengaktivasi memori sel T di kulit yang atopik namun juga berpindah ke nodus limfe untuk
menstimulasi sel T naïve untuk meningkatkan kelompok sel Th2 sistemik.
Infiltrat sel inflamasi
Pada lesi kulit AD akut, IL-6, kemoreaktan untuk sel T CD4+, mengalami peningkatan.
Chemokine C, RANTES, protein kemotaksis monosit-4, dan eotaksin juga didapatkan meningkat pada
lesi kulit AD dan kemungkinan berkontribusi terhadap kemotaksis eosinofil dan limfosit Th2 ke kulit.
Beberapa penelitian menunjukkan peran untuk cutaneous T cell-attracting chemokine
(CTACK/CCL27) dalam potensi atraksi sel T CLA+ ke kulit. Reseptor chemokin CCR3, yang
ditemukan di eosinofil dan limfosit Th2 dan dapat memediasi aksi eotaksin, RANTES, dan MCP-4,
dilaporkan meningkat pada kulit non-lesi maupun lesi pada pasien dengan AD.
Inflamasi kulit akut dan kronis
Respon imun pada kulit AD dapat ditimbulkan oleh berbagai pencetus, seperti aeroalergen
dan alergen makanan. APC yang menangkap alergen akan mengaktivasi sel Th2 yang kemudian
mensekresi sejumlah sitokin, seperti IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13. Aktivasi limfosit B oleh IL-4
dan IL-13 menginduksi sintesis IgE. IL-5 secara umum bertanggung jawab untuk aktivasi dan
kelangsungan hidup eosinofil.
Lesi AD kronik berhubungan dengan pemanjangan kelangsungan hidup eosinofil dan monosit-
makrofag di kulit atopik. Ekspresi IL-5 selama AD kronik memainkan peran dalam pemanjangan
kelangsungan hidup eosinofil dan meningkatkan fungsinya. Pada AD kronik, peningkatan
ekspresi GM-CSF memainkan peran penting dalam mengatur kelangsungan hidup dan fungsi
monosit, LC dan eosinofil. Keratinosit epidermal dari pasien AD memiliki kadar ekspresi
RANTES yang lebih tinggi secara signifikan setelah stimulasi dengan faktor nekrosis tumor
(TNF)-α dan IFN-γ dibandingkan keratinosit pada pasien psoriasis. Hal ini dapat dijadikan
sebagai satu mekanisme dimana produksi TNF-γ dan IFN-γ selama AD kronik meningkatkan
kronisitas dan keparahan eksim. Trauma mekanis juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α dan
banyak sitokin proinflamasi lainnya dari keratinosit epidermal. Dengan demikian, menggaruk
yang kronik dapat memainkan peran dalam memperlama kejadian dan memancing inflamasi kulit
pada AD.
Kriteria Diagnosis
Tampilan ensensial
◦ Pruritus
◦ Perubahan eksimatosa yang akut, subakut, atau kronik
◦ Pola tipikal dan spesifik pada usia tertentu:
◦ Keterlibatan wajah, leher dan ekstensor pada bayi dan anak
◦ Sedang mengalami atau lesi fleksura awal pada dewasa/usia manapun
◦ Menyisakan region pangkal paha dan aksila
◦ Rangkaian kronik atau relaps
Pencetus Imunologis
Bakteri, virus, jamur
Pasien dengan AD : Peningkatan mengalami infeksi kulit bakterial, viral dan fungal.
S. aureus ditemukan pada 90% lesi kulit AD.
Virus dengan DNA rantai ganda, meliputi Herpes Simplex Virus (HSV), virus moluskum
kontagiosum, dan virus vaccinia mampu menimbulkan infeksi yang lebih berat dan menyeluruh
pada pasien dengan AD
Peran alergi makanan dalam terjadinya AD
Alergi makanan dihubungkan terjadinya persistensi AD, terutama selama masa bayi dan kanak-
kanak awal.
Eigenmann et al. menilai prevalensi alergi makanan diantara anak dengan AD sedang hingga
berat. Setelah evaluasi meliputi tes makanan oral, 37% pasien tersebut di diagnosa dengan alergi
makanan. Penelitian berikutnya mengkonfirmasi bahwa sejumlah makanan tertentu dapat
menyebabkan gejala klinis pada pasien AD yang berusia lebih muda misalnya kedelai, gandum
dam ikan.
Menskrining anak dengan AD sedang hingga berat untuk sensitivitasnya terhadap telur, susu,
kacang, kedelai, gandum, ikan dan tree nuts (kenari, mende, kemiri) dengan menggunakan tes
tusuk kulit atau RAST.
Management
Pengobatan Topikal

Hidrasi Kutaneus
Pasien dengan AD mengalami penurunan fungsi barrier kulit berhubungan dengan
menurunnya kadar ceramide dan meningkatnya kehilangan air transepidermal. Hal ini
mengakibatkan timbulnya kulit kering (xerosis) yang berkontribusi terhadap morbiditas penyakit
dengan terjadinya mikrofisura dan retakan, yang dapat menjadi portal masuknya patogen kulit,
iritan dan alergen.
Lukewarm soathing bath selama setidaknya 20 menit, diikuti dengan aplikasi salep oklusif
untuk menjaga kelembapan dapat memberikan perbaikan gejala yang sangat baik. Penggunaan
salep efektif dikombinasikan dengan terapi hidrasi akan membantu menjaga dan mengembalikan
barrier stratum korneum.
Steroid Topikal
Kortikosteroid dan inhibitor calcineurin topikal digunakan sebagai agen antiinflamasi. Potensi
steroid dapat berbeda tidak hanya berdasarkan bahan aktif obat namun juga zat pembawanya yang
diformulasikan. Konsentrasi steroid topikal dianggap lebih poten dalam bentuk salep
dibandingkan krim.
Glukokortikoid merupakan pilihan pertama dari pengobatan antiinflamasi
Klasifikasi kortikosteroid topikal berdasarkan potensi
Inhibitor Calcineurin Topikal
Inhibitor calcineurin (tacrolimus dan pimecrolimus) digunakan dalam pengobatan AD.
Pimecrolimus menghambat produksi sitokin Th1 dan Th2, menurunkan kapasitas antigen-
presenting dari DC, sel mast dan basofil.
Krim pimecrolimus telah disetujui oleh FDA untuk penggunaan jangka pendek dan penggunaan
jangka panjang intermiten pada AD ringan-sedang berusia 2 tahun.
Tacrolimus digunakan secara topikal, inhibitor calcineurin bertindak dengan mengikat FK
binding protein, menghambat aktivasi sejumlah sel kunci yang terlibat dalam AD, meliputi sel T,
LC, sel mast dan keratinosit.
Salep tacrolimus digunakan jangka pendek dan jangka panjang intermiten pada AD sedang-berat
untuk anak berusia 2-15 tahun dan dewasa.
Pengobatan eksim atopik harus berdasarkan “stepped-care plan”
Pasien yang diresepkan steroid atau inhibitor calcineurin diajarkan untuk menggunakan Fingertip
Units (FTU) untuk mengukur jumlah obat yang diperlukan untuk dioles di bagian tubuh yang
berbeda.
Terapi Sistemik
Glukokortikosteroid
Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednisone oral, jarang diindikasikan untuk
pengobatan AD kronik. Perbaikan klinis dengan glukokortikoid sistemik seringkali berhubungan
dengan kambuhan AD ulang yang berat akibat penghentian glukokortikoid sistemik.
Glukokortikoid oral cukup untuk eksaserbasi akut dari AD, penting untuk menurunkan dosis
secara bertahap dan memulai perawatan kulit yang intens, terutama dengan glukokortikoid topikal
dan sering mandi diikuti dengan aplikasi salep yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan AD.
Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena dapat menurunkan inflamasi kulit pada pasien dengan AD namun
bersifat singkat, yaitu efeknya hilang dalam 3 minggu.

Interferon-γ
Interferon-γ dapat menekan respon IgE dan menurunkan regulasi proliferasi dan fungsi sel Th2.
Penurunan keparahan klinis AD berhubungan dengan kemampuan INF-γ untuk menurunkan
jumlah eosinofil total yang bersirkulasi.
Siklosporin
Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang beraksi secara primer di sel T dengan menekan transkripsi
sitokin.

Steroid topikal
Penggunaan steroid potensi ringan untuk wajah dan leher. Namun, pada keadaan kekambuhan yang berat yang
dapat diberikan steroid potensi sedang dalam jangka pendek (3-5 hari).
Steroid dengan potensi sedang atau kortikosteroid poten hanya diindikasikan dalam periode yang pendek (7-14
hari) untuk kekambuhan pada daerah yang rentan seperti aksila dan pangkal paha.
Jika steroid topikal ringan atau sedang tidak dapat mengontrol eksim dalam 7-14 hari, maka harus dipertimbangkan
adanya infeksi bakteri atau viral sekunder.
Jika steroid poten gagal untuk memberikan efek dalam waktu dekat maka anak harus dirujuk ke spesialis kulit.
Antihistamin
Antihistamin non-sedasi digunakan selama sebulan pada anak dengan eksim berat atau pada anak
dengan eksim ringan/sedang yang mengeluh akibat rasa gatal yang berat atau urtikaria.  
Terapi Altenatif
Fototerapi
Melalui fototerapi, sel epidermal IgE binding, seperti mastosit, sel dendritic dan sel Langerhan mengalami penurunan
yang signifikan.

Bakteri probiotik dan serat prebiotic

Imunoterapi omalizumab
Bahwa pasien dengan defisiensi barrier kulit primer kurang dapat mendapatkan manfaat dari terapi imunomodulator
dengan anti-IgE.
Imunoterapi spesifik alergen
Imunoterapi spesifik-alergen (alergen-SIT) merupakan satu-satunya pengobatan yang langsung kepada penyebab
penyakit IgE-mediated.
Prognosis
AD pada anak merupakan penyakit seumur hidup.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai